• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif dan generativitas individu voluntary childlessness.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Motif dan generativitas individu voluntary childlessness."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

1

THE MOTIVES AND GENERATIVITY OF VOLUNTARY CHILDLESSNESS INDIVIDUALS

A Student’s Research

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Ghea Teresa

ABSTRACT

This research is conducted to obtain the overviews about 1) The background motivesof the individuals whodecided not to have a child, 2) The presence of generativity in voluntary childlessness individuals, 3) The process of generativity forming of voluntary childlessness individuals. The data is collected by interviews and Loyola’s generativity scale filling by two couples which are married and were agreed not to have any child. The result of this research shows that the background motives of the decision are life experience, the gained advantages, and because of the influence of zero growth population movement, carrier and economic reasons. Beside those, voluntary childlessness individuals havea tendency of generativity. Generativity is formed through the childhood experiences and their lifes among

pro-natal society.

(2)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ghea Teresa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikangambaranmengenai 1) motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, 2) ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta 3) proses pembentukan generativitas individu

voluntary childlessness. Data diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian skala generativitas Loyola oleh dua orang subjek yang telah menikah dan tidak ingin memiliki anak.Hasil penelitian menunjukkan bahwamotif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak adalah pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan

zero growth population, karir dan alasan ekonomi. Selain itu, individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas.Generativitas terbentuk melalui pengalaman masa kecil dan kehidupannya di tengah masyarakat pronatal.

(3)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

SKRIPSI

Diajikan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Ghea Teresa

109114056

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

SKRIPSI

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Oleh: Ghea Teresa

109114056

Telah Disetujui oleh:

Pembimbing Utama

(5)

SKRIPSI

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Disusun oleh:

Ghea Teresa

109114056

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

Pada tanggal 10 September 2014

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji Tanda Tangan

1. V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. ………..

2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. ………..

3. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. ………..

Yogyakarta,

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(6)

Halaman Persembahan

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Oktober 2014

Penulis,

(8)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ghea Teresa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai 1) motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, 2) ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta 3) proses pembentukan generativitas individu

voluntary childlessness. Data diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian skala generativitas Loyola oleh dua orang subjek yang telah menikah dan tidak ingin memiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak adalah pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan zero growth population, karir dan alasan ekonomi. Selain itu, individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas. Generativitas terbentuk melalui pengalaman masa kecil dan kehidupannya di tengah masyarakat pronatal.

(9)

THE MOTIVES AND GENERATIVITY OF VOLUNTARY CHILDLESSNESS INDIVIDUALS

A Student‟s Research

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Ghea Teresa

ABSTRACT

This research is conducted to obtain the overviews about 1) The background motives of the individuals who decided not to have a child, 2) The presence of generativity in voluntary childlessness individuals, 3) The process of generativity forming of voluntary childlessness individuals. The data is collected by interviews and Loyola‟s generativity scale filling by two couples which are married and were agreed not to have any child. The result of this research shows that the background motives of the decision are life experience, the gained advantages, and because of the influence of zero growth population movement, career and economic reasons. Beside those, voluntary childlessness individuals have a tendency of generativity. Generativity is formed through the childhood experiences and their lifes among

pro-natal society.

(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Ghea Teresa

Nomor Mahasiswa : 109114056

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 6 Oktober 2014

Yang menyatakan,

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis boleh menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat pemerolehan gelar Sarjana Psikologi. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih untuk semua pihak yang telah bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini serta semua pihak yang selalu setia untuk mendukungku hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi yang telah selesai ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 6 Oktober 2014

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN DATA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

(13)

A. Voluntary childlessness ... 7

B. Generativitas ... 11

C. Generativitas pada voluntary childlessness ... 17

D. Narasi dalam pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness ... 18

E. Pertanyaan penelitian ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 21

A. Jenis Penelitian ... 21

B. Subjek Penelitian ... 21

C. Fokus Penelitian ... 22

D. Metode Pengumpulan data ... 22

E. Metode Analisa Data ... 23

1. Analisis Deskriptif ... 23

2. Analisis Interpretatif ... 23

F. Kredibilitas Penelitian ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 25

B. Subjek I ... 26

1. Deskripsi Subjek... 26

2. Analisis Deskriptif ... 27

3. Analisis Interpretatif ... 30

(14)

1. Deskripsi Subjek... 34

2. Analisis Deskriptif ... 35

3. Analisis Interpretatif ... 38

D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek ... 41

E. Pembahasan ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Keterbatasan Penelitian ... 52

C. Saran ... 52

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Generativitas merupakan salah satu tahap dalam tahapan perkembangan psikologis menurut Erikson. Pada tahap ini, seorang individu memiliki hasrat untuk membantu generasi selanjutnya. Erikson menyatakan bahwa generativitas merupakan tanda kematangan dan kesehatan psikologis. Orang dewasa membutuhkan agar dibutuhkan, dan kematangan memerlukan bimbingan dan dorongan dari anak-anak yang dilahirkan dan harus diasuh (Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989). Dengan kata lain, orang dewasa memiliki keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi selanjutnya. Apabila seorang individu tidak dapat mengembangkan generativitas maka individu tersebut akan berada pada tahap stagnasi, yaitu keadaan dimana mereka merasa tidak melakukan apa-apa bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian, orang dewasa tanpa anak biasanya perlu menemukan orang-orang muda pengganti melalui adopsi, perwalian, atau hubungan dekat dengan anak-anak dari teman-teman dan kerabatnya agar individu tersebut tidak mencapai tahap stagnasi (Santrock, 1985).

(16)

anak. Menurut Elly Nagasaputra (2013), voluntary childlessness telah menjadi sebuah trend di kota-kota besar. Individu voluntary childlessness biasanya memiliki pendidikan yang tinggi, bekerja penuh waktu, punya jabatan yang tinggi, menjadi senior di tempat kerja dan memiliki pendapatan yang besar. Selain itu, mereka juga lebih fleksibel sehingga dapat menjadi sukarelawan. Mereka juga menjadi lebih bahagia karena bebas dan menjadi lebih fleksibel dalam hidupnya, khususnya dalam hal menghabiskan waktu dan privasi, relaksasi serta menikmati kebebasan (Victor J. Callan, 1987; Heller, Tsai, & Chalfant; Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. & Martinez, G., 2006).

(17)

memunculkan beberapa stereotype, yakni voluntary childlessness merupakan individu yang egois, matrelialistis, belum dewasa dan dingin (Kopper & Smith; Mueller & Yoder; LaMastro; Lampman & Dowling-Guyer dalam Giles, Shaw & Morgan, 2009). Stereotype yang muncul seakan menghakimi bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi, yaitu tahap dimana individu tidak peduli terhadap siapapun. Perlu diketahui bahwa menjadi orang tua bukanlah jaminan seseorang dapat mencapai tahap generativitas, sebab menjadi orang tua hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai generativitas (Rothrauff, T. & Cooney, T.M., 2008). Selain itu, ketika individu menginginkan bahkan memiliki anak, belum tentu individu tersebut dapat mencapai generativitas (Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989). Generativitas dapat bersumber dari terlibatnya individu dalam beberapa peran, seperti menjadi kepala keluarga, pemimpin dalam organisasi dan komunitas (Staudinger & Bluck dalam Human Development, 2008).

(18)

ketika individu mengembangkan keahlian yang akan diturunkan kepada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa saat ini semakin banyak jumlah pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan untuk tidak memiliki anak tersebut memunculkan stereotype yang mencerminkan bahwa voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi. Padahal, orang dewasa dapat mengekspresikan generativitas melalui banyak cara, seperti menjadi orang tua, pemimpin, pengajar, serta bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial. Meskipun demikian, adapula motif yang mencerminkan bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap generativitas, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi atau tidak ingin mengulangi gaya pengasuhan yang salah. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.

Penelitian mengenai generativitas pada voluntary childlessness masih perlu untuk dilakukan karena kebanyakan penelitian yang dilakukan pada voluntary childlessness merupakan penelitian yang menawarkan tentang

(19)

mengenai individu voluntary childlessness penting untuk dilakukan di budaya Timur sebab salah satu tujuan utama dari pernikahan di budaya timur adalah menghasilkan keturunan (Irasistible, 2012). Sehingga, apabila memutuskan untuk tidak memiliki anak pada budaya Timur, maka individu tersebut akan mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada memutuskan untuk tidak memiliki anak pada budaya Barat. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk melihat motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada

individu voluntary childlessness?”.

C. Tujuan Penelitian

(20)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi Perkembangan, khususnya dalam hal generativitas pada individu voluntary childlessness sehingga dapat menambah informasi bagi peneliti selanjutnya. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi dan menjawab keterbatasan penelitian sebelumnya mengenai generativitas pada voluntary childlessness.

2. Manfaat Praktis

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Voluntary Childlessness

Keadaan belum memiliki anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu involuntary childlessness dan voluntary childlessness (Mc. Quillan, Greil, White, & Jacob dalam Cahyani, 2013). Involuntary childlessness adalah sebuah keadaan dimana pasangan belum memiliki anak dan berharap nantinya akan memiliki anak, sedangkan voluntary childlessness, adalah sebuah keadaan dimana pasangan yang belum memiliki anak disebabkan keinginan pasangan tersebut yang dapat dikarenakan beberapa hal, misalnya saja ingin lebih memikirkan karir.

Samantha A. Kwon (2005) dalam ulasan literaturnya menyebutkan bahwa terdapat lima macam motif yang mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan sebagai voluntary childlessness, seperti ekonomi, feminisme, zero polulation growth, pengalaman hidup serta manfaat yang dirasakan.

1. Ekonomi

(22)

sehingga mereka cenderung mendapatkan pekerjaan sebagai seorang profesional dan memiliki jabatan yang bagus di tempatnya bekerja. Selain itu, para voluntary childlessness memiliki kebutuhan untuk dapat berekreasi, memperoleh harta benda dan mempertahankan gaya hidupnya. Mereka percaya bahwa kehadiran seorang anak dapat menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhannya, sebab mereka perlu untuk mengeluarkan biaya dalam mengurus anak (Cameron; hird & Abshoff dalam Kwon, 2005). Oleh sebab itu, mereka memilih untuk tidak memiliki anak.

2. Feminisme

Faktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan adalah feminisme. Tujuan dari gerakan feminisme adalah membebaskan kaum perempuan dari masalah penindasan. Tujuan tersebut memungkinkan bagi kaum perempuan untuk secara bebas dapat memilih pilihan reproduksi (Campbell dalam Kwon, 2005).

3. Zero population growth

(23)

tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi. Selain itu, gerakan tersebut juga membenarkan keputusan menjadi voluntary childlessness (Campbell; Connidis & McMulIIn; Hird & Abshoff; Mei dalam Kwon, 2005).

4. Pengalaman hidup

(24)

5. Manfaat yang dirasakan dari pengambilan keputusan sebagai

voluntary childlessness

(25)

terhadap hubungan pernikahannya sebab mereka dapat lebih mudah menjaga keintiman serta kenyamanan dalam relasinya dengan pasangan. Bagi voluntary childlessness, kehadiran seorang anak dapat mengubah hubungan mereka dengan pasangannya. Selain itu, mereka cenderung lebih fleksibel dalam membagi waktunya untuk diri sendiri, pasangan, keluarga, teman, pekerjaan, hobi serta bergabung dalam kegiatan sebagai sukarelawan atau pekerjaan sebagai seorang penolong yang dapat membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Dengan demikian, mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mencapai tujuan hidup (Majumdar, D., 2004; Victor J. Callan, 1987; Heller, Tsai, & Chalfant; Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. & Martinez, G., 2006; Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012).

B. Generativitas

(26)

ketertarikan dalam membuat kontribusi dan mengarah pada kehidupan yang produktif (Hamachek dalam Lemme, 1995). Berkurangnya tanggung jawab dalam keluarga dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan generativitas pada skala yang lebih luas (Papalia, 2008). Ketika individu tidak menemukan saluran untuk mengembangkan generativitas maka individu tersebut akan mengalami stagnasi, dimana individu akan terfokus pada kebutuhan dan kepentingan pribadinya hingga memanjakan dirinya sendiri seolah-olah dirinya adalah anak sendiri.

Generativitas merupakan aspek yang penting dalam perkembangan psikososial dewasa madya dan dapat diekspresikan melalui banyak cara. Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial serta keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam Papalia, 2008). Kotre (1984) menyebutkan bahwa terdapat empat macam bentuk generativitas, yaitu generativitas biologis, generativitas parental, generativitas teknis dan generativitas kultural. Terlepas dari bentuknya, orang dewasa dapat mengekspresikan generativitas melalui dua cara, yaitu communal dan agentic (Kotre dalam Papalia, 2008). Cara communal merupakan cara yang mengandung perhatian dan pengasuhan terhadap orang lain, sedangkan cara agentic dilakukan dengan cara memberi kontribusi personal kepada

(27)

1. Generativitas Biologis

Generativitas biologis dapat berkembang ketika seseorang memiliki rencana untuk menghasilkan keturunan dan merawatnya. Target dalam generativitas biologis adalah bayi yang baru lahir. Generativitas biologis berlangsung setelah periode pembuahan hingga tahun pertama kehidupan seorang anak. Dalam periode ini, orang tua menyediakan makanan yang diperlukan oleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup anak mereka (McKeering, H. & Pakenham, K.I., 2000). Erikson (dalam Scoklitsch, A., 2012) menekankan bahwa generativitas melibatkan kemampuan seseorang untuk memberikan keturunan, produktivitas dan kreativitas sehingga orang dewasa diharapkan dapat melahirkan, mengasuh serta membimbing generasi yang lebih muda. Generativitas biologis sama halnya dengan istilah prokreativitas yang diutarakan oleh Erikson, dimana seseorang menghasilkan keturunan dan merawatnya. Salah satu bentuk perilaku yang mengekspresikan generativitas adalah orang dewasa memiliki ketertarikan untuk memiliki keturunan dan merawat anaknya sendiri (Hamachek dalam Lemme, 1995).

2. Generativitas Parental

(28)

keluarga. Pada penelitian sebelumnya, Pratt, Norris, Arnold dan Flyer (1999) menyatakan bahwa generativitas berkaitan dengan kepentingan orang dewasa dalam mensosialisasikan nilai-nilai kepada orang muda. Selain itu, Hart, McAdam, Hirsch dan Bauer (2001) juga menunjukkan bahwa individu yang generatif memiliki kesadaran dimana mereka memiliki tugas sebagai guru dan panutan bagi anak-anak mereka. Cara seseorang merawat anak dapat memperluas generativitas sosial (McKeering dan Pakenham, 2000). Misalnya, ketika seorang individu memiliki keprihatinan pada perkembangan sosial emosi anaknya, maka individu tersebut juga memiliki keprihatian pada kesejahteraan umum masyarakat. Seseorang dapat sukses dalam mengembangkan generativitas apabila upayanya dalam merawat anak berjalan dengan baik dan menghasilkan hubungan yang dekat dengan anak (Snarey, 1993).

3. Generativitas Teknis

(29)

lalunya mengenai kemampuan yang dimilikinya serta menyadari bahwa kemampuan tersebut dapat diperluas di masa depan (Weber, S., 1990).

4. Generativitas Kultural

(30)

dalam hidupnya sehingga dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai makna yang ada dibalik perilaku anak tersebut, sebab anak memerlukan sebuah kerangka yang dapat dipercaya dari sebuah budaya.

Lebih lanjut, Mc.Adams (1992) menyebutkan terdapat tiga macam aspek yang dapat digunakan untuk mengukur generativitas, yakni komitmen, perilaku generatif dan naratif.

1. Komitmen

Komitmen dalam perilaku generativitas muncul karena adanya pengaruh dari tuntutan budaya, dorongan dari dalam diri, perhatian serta adanya rasa percaya pada harapannya untuk memajukan serta memperbaiki kehidupan generasi selanjutnya. Keempat hal tersebut akan memunculkan rasa tanggung jawab sehingga individu berani mengambil keputusan serta menjalankan tujuannya yang bersifat generatif.

(31)

item merupakan item yang handal atau reliabel. Dalam menskor skala tersebut, digunakan angka 0-3. Individu diminta untuk memutuskan seberapa dekat pernyataan-pernyataan yang ada dengan dirinya. Angka 0 jika tidak sama sekali, angka 1 jika kadang-kadang atau jarang, angka 2 jika cukup sering dan angka 3 jika sangat sering atau hampir selalu.

2. Aksi/ Perilaku Generatif

Dalam perilaku generatif, seseorang akan menjadi kreatif dan produktif sehingga menghasilkan hal atau orang. Idealnya, perilaku generatif berkaitan langsung dengan komitmen. Perilaku yang termasuk dalam perilaku generatif adalah membuat, memelihara, dan memberikan penawaran pada orang lain.

3. Narasi

(32)

C. Generativitas pada Voluntary Childlessness

Generativitas adalah perhatian orang dewasa untuk membentuk dan membimbing generasi selanjutnya. Dengan kata lain, orang dewasa memiliki keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi yang lebih muda. Generativitas berkembang pada usia dewasa madya. Orang dewasa tanpa anak bisa berhasil melewati tahap generativitas, sebab menjadi orang tua hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai generativitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa generativitas pada voluntary childlessness dapat dikembangkan melalui berbagai macam cara.

Hal tersebut nampak pada motif yang mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak, seperti bergabung dalam kegiatan sebagai sukarelawan, berprofesi sebagai seorang penolong yang dapat membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik, tidak ingin mengulang kembali kekerasan yang diakibatkan oleh gaya pengasuhan yang salah serta tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi yang dapat menyebabkan kurangnya sumber daya.

D. Narasi dalam pembentukan Generativitas Pada Individu Voluntary

Childlessness

(33)

yang perlu untuk dipahami. Dan untuk memahami identitas yang dipandang sebagai kisah hidup tersebut, dapat digunakan narasi. Sebab, fungsi utama narasi adalah menata sesuatu yang tidak tertata. Melalui narasi, kita dapat menangkap keteraturan pada sesuatu yang kelihatannya tidak teratur (Murray dalam Smith, 2009).

Erikson dalam Papalia (2008) menyatakan bahwa generativitas merupakan sebuah aspek dari pembentukan identitas dan identitas terkait erat dengan komitmen serta peran sosial. Meskipun Erikson mengatakan bahwa pembentukan identitas merupakan masalah utama masa remaja, dia juga mengatakan bahwa identitas akan terus berkembang (Papalia, 2008). Hal tersebut didukung oleh pandangan beberapa ahli yang mengatakan bahwa proses pembentukan identitas merupakan isu pokok dalam masa dewasa (McAdams & de St. Aubin dalam Paplia, 2008). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentukan identitas yang terjadi pada masa dewasa madya adalah pembentukan generativitas. Ketika individu menjadi semakin tua, generativitas dapat menjadi tema penting dalam kisah hidupnya. Naskah generativitas dapat memberikan akhir yang bahagia untuk kisah kehidupan tersebut.

(34)

(McAdams, Diamon, de. St. Aubin, & Mansfield dalam Papalia, 2008). Orang dewasa yang generatif biasanya menuturkan kisah komitmen dan telah menikmati hidup yang lebih baik serta memiliki keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain (McAdams dalam Papalia, 2008).

E. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada

(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (Moleong, 2012). Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggali lebih dalam serta memahami permasalahan seorang individu maupun kelompok (Creswell dalam Herdiansyah, 2010).

B. Subjek Penelitian

(36)

C. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah pengalaman hidup individu voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal. Pengalaman hidup yang dimaksud berupa pengalaman ketika individu mengambil keputusan untuk hidup tanpa anak serta pengalaman ketika menjalani keputusan tersebut di tengah masyarakat pronatal hingga saat ini. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan gambaran mengenai keberadaan dorongan generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses terbentuknya dorongan generativitas tersebut.

D. Metode Pengumpulan Data

(37)

(LGS) untuk menambah informasi mengenai komitmen individu voluntary

childlessness dalam pengambilan keputusan serta berperilaku generatif.

E. Metode Analisa Data

Metode yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah metode analisis naratif. Menurut Murray dalam Smith (2009), terdapat dua langkah yang dilakukan untuk menganalisa data mentah yang telah didapatkan, yaitu:

1. Analisis Deskriptif

Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam analisis deskriptif adalah membuat sebuah ringkasan yang terdiri dari alur cerita awal, tengah dan akhir. Tujuan dari membuat ringkasan adalah untuk memungkinkan bagi peneliti dalam memperoleh gagasan mengenai isu-isu utama yang muncul (Mishler dalam Smith, 2009). Kerangka yang telah dibuat memungkinkan peneliti untuk menangkap makna menyeluruh dari berbagai narasi yang ada, serta beragam isu khusus yang muncul pada masing-masing narasi.

2. Analisis Interpretatif

(38)

dengan literatur teoretis untuk menginterpretasi kisah yang berssangkutan.

F. Kredibilitas Penelitian

(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan persiapan terlebih dahulu. Pertama-tama, peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria subjek dalam penelitian ini. Peneliti mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria melalui teman dan keluarga. Peneliti segera menghubungi ketiga subjek tersebut untuk menjelaskan tujuan dari penelitian ini serta menanyakan kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah ketiga subjek tersebut bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti segera menentukan waktu dan tempat bertemu dengan mereka. Berikut jadwal bertemu subjek dengan peneliti:

Tabel 2. Jadwal wawancara dan pengisian skala

No. Subjek Hari,Tanggal Waktu Tempat 1. B Sabtu, 17 Mei 2014 17.00-19.00 Rumah subjek 2. T Jumat, 23 Mei 2014 14.00-14.30 Rumah subjek 3. P Senin, 26 Mei 2014 11.00-13.00 Rumah subjek

(40)

kedua terpaksa harus peneliti gugurkan karena subjek kedua tidak masuk dalam kriteria subjek yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Sama seperti proses wawancara dengan subjek pertama, proses wawancara dengan subjek ketiga juga berjalan dengan lancar. Setelah wawancara selesai, peneliti kemudian membuat verbatim yang sesuai dengan deskripsi yang telah subjek sebutkan sebelumnya serta melakukan analisis dari deskripsi tersebut.

B. SUBJEK I

1. Deskripsi Subjek

(41)

pertamanya dengan lelaki tersebut, B menceritakan permasalahan yang terjadi pada dirinya dan menemukan kecocokan dengan lelaki tersebut. B merasa cocok dengan lelaki tersebut karena mereka memiliki jalan pikiran yang sama, khususnya dalam hal pengambilan keputusan untuk tidak memiliki anak. Karena kecocokan tersebutlah, B menikah dengan lelaki itu.

2. Analisis Deskriptif a. Awal

(42)

mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya apabila B memiliki anak.

b. Tengah

Selama menjalankan pilihannya untuk tidak memiliki anak, B sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar anak dari lingkungan sekitar. Pada awalnya, B masih sangat bersemangat untuk menjelaskan kepada mereka mengenai alasannya memilih tidak memiliki anak. Namun, saat ini B tidak begitu bersemangat lagi dan lebih memilih untuk memberikan jawaban yang diharapkan oleh lingkungan. “Harus belajar ngeles,

sama orang harus dapetin jawaban yang mereka mau”.

Ibu B sempat tidak menyetujui keputusan B tersebut. namun, perlahan-lahan ibu B mulai menyadari bahwa B tidak ingin menyusahkan ibunya sehingga ibu B mendukung keputusan B. Ketidakpedulian B pada komentar lingkungan sekitar serta Adanya dukungan dan upaya dari sang ibu agar B terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga besar, membuat B semakin berpegang teguh pada pilihannya. “Mau

ngomong apa juga bodo. Hahaha. Hidupku. Hahaha. Yang penting kan keluarga”.

(43)

pilihan hidupnya merupakan pilihan yang benar. “Dan memang

saudara-saudara ngeliat aku juga makin maju aja, jadi ya „ah.. mungkin itu memang pilihan yang benar‟. Gitu aja sih. Itu pembuktian juga”.

c. Akhir

Pada akhirnya, keputusan B untuk tidak memiliki anak tetap B jalani hingga saat ini. Hal ini dikarenakan B merasa hidup yang dijalaninya sudah memuaskan. Sebab, hal yang diinginkan oleh B telah tercapai, yakni tidak berlaku tidak adil pada anaknya. “Kehidupan seperti ini lebih adil. Nggak bayangin kan, kalo

punya anak, suami dimana, istri dimana, anak dimana, itu juga tambah nggak lucu lagi”. Selain itu, B juga merasakan adanya keuntungan dari menjalankan pilihannya tersebut, yakni lebih bebas dalam menggunakan waktunya untuk karir dan diri sendiri serta tidak berkontribusi dalam ledakan populasi.

d. Kesimpulan

Kisah hidup B bersifat progresif. Usaha yang dilakukan B untuk mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal membuatnya semakin

(44)

3. Analisis Interpretatif a. Generativitas

Skor generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas Loyola juga menunjukkan bahwa B memiliki komitmen dalam berperilaku yang berkaitan dengan generativitas yang tergolong normal. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa B mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan bertanggung jawab pada orang lain.

Generativitas Parental

Salah satu cara B untuk menyalurkan dorongan generativitas yaitu melalui generativitas parental. B akan menyalurkan kasih sayang dan perhatiannya pada suami dan hewan peliharaan.

“Soalnya kalo cuman mikir obyek afeksi aja, stiap orang pasti

butuh obyek afeksi kan. Toh ada suami, ada kucing tiga.“

Selain itu, B juga memiliki keinginan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu serta memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Toh kalo nanti memang butuh anak, atau ngerasa butuh obyek

(45)

juga kan ya. Masih banyak yang butuh di bantu juga kok. Kalopun

nggak ngangkat, paling nggak bantu anak buat digedein gitu. Di

keluarganya sendiri atau apa.”

“Kerjaanku di program nasional pemberdayaan masyarakat”

B memiliki keinginan untuk tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anak seperti yang dilakukan oleh orang tua subjek terhadapnya.

“Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu

sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih

kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak

fair sama anakku.”

“... kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya.”

“Dan ketika aku aktif banget, akan nggak fair buat anakku

nanti.”

“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin

pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan

sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat

anaknya.”

“... di sisi yang lain juga aku tidak berlaku tidak adil pada

anakku kalo aku punya anak.”

Generativitas Kultural

(46)

“Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia.

Terlalu banyak manusia.”

b. Motif-motif Karir

B memilih untuk tidak memiliki anak karena masih ingin membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.

“Aku sadar karena pertama, waktu itu aku masih merasa aku harus bangun karir dulu gitu.”

“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya.”

Zero Population Growth

(47)

Pengalaman hidup

Pengalaman masa kanak-kanak B sangat mempengaruhi B dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. B memiliki pengalaman yang kurang baik sebagai seorang anak. Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan.

“Jadi aku dititipkan di orang tua dan kemudian mereka akan sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari.”

(48)

fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga B dapat bekerja semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar cita-citanya. Selain itu, B merasa kehidupan yang ia jalani saat ini sangat memuaskan dan lebih adil. Keinginan B untuk tidak bersikap tidak adil pun terpenuhi.

“... lebih enteng untuk ngejalanin opsiku buat memilih karir dan kerja gitu kan. Eee.. bahwa aku juga bebas maksimalkan waktuku untuk kerja buat masyarakat. Yang kayak gitu. Eeem.. aku juga bisa pakai waktuku banyak tanpa harus.. misal memang ada kerjaan yang belum selesai, kalo aku harus kerja sampe jam 11, aku nggak akan mikir „ooh.. ada anakku yang harus ini.. nggak enak.. gimana..‟ jadi nggak stengah-stengah. Kalo kerja, kerja total gitu. Totalitas aja sih.”

“Ketika aku tidak mem... tidak menjalankan citaku dengan stengah-stengah di satu sisi,...”

“Kehidupan seperti ini lebih adil.”

C. Subjek II

1. Deskripsi Subjek

(49)

sebanyak-dan IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia sebanyak-dan fakultas hukum. Ketika P masih muda, P bergabung dengan organisasi yang membela para buruh. Selain itu, dulu B juga bekerja sebagai dosen. Berhubung saat ini P sudah menginjak usia 54 tahun, P merasa bahwa dirinya sudah tua dan tidak ada perusahaan yang ingin menerimanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, P sekarang hanya bergabung dalam kegiatan di masyarakat dan gereja serta berjualan makanan ringan untuk menambah biaya hidup keluarganya. P telah menikah dengan seorang perempuan yang kebetulan rahimnya telah diangkat. P merasa bahwa dengan mendapatkan istri yang tidak memiliki Rahim tersebut justru mendukung obsesinya untuk menolong orang lain sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.

2. Analisis Deskriptif a. Awal

(50)

bertemu dengan seorang perempuan yang rahimnya telah diangkat. “Bulek kan bicara gini „Pak. Bapak. Tapi aku udah diangkat loh

rahimnya. Dak kecewa toh dapet aku?‟. Nggak. Malah kebetulan. Jadi, mendukung obsesi om toh”. P tidak mempermasalahkan hal tersebut karena P sudah dari awal memutuskan untuk tidak memiliki anak demi menjalankan keinginannya, yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

b. Tengah

Setelah menjalani kehidupannya sebagai voluntary childlessness, P sering mendapatkan pertanyaan mengenai anak

dari beberapa orang yang P temui, terutama dari lingkungan tempat tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut dirasakan P cukup mengganggu. “Yang halangannya kalo ada

orang tidak seiman, trus kok udah married lama nggak dikasih anak?”. Untuk mengatasi hal tersebut, P akan memberikan jawaban

(51)

tersebut. Untuk bertahan pada situasi tersebut, P selalu berserah, bersyukur kepada Tuhan dan berusaha menolong sesama dengan sebaik-baiknya. “Ya udahlah nanti masa tua kan mengalir. Hidup ini mengalir. Bersyukur pada Tuhan, sesuai dengan penyelenggaraan Allah, penyelenggaraan Tuhan, hidup mengalir berusaha menolong melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Nanti Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik buat om dan bulek”. Kerabat serta orang-orang seiman tidak pernah mempermasalahkan pilihan hidup P untuk tidak memiliki anak. Dari menjalani hidupnya sebagai voluntary childlessness, P menunjukkan pada masyarakat sekitar bahwa dirinya merupakan individu yang ringan tangan sehingga P menjadi salah satu orang yang diperhatikan dan dipandang oleh masyarakat.

c. Akhir

Akhir cerita, P tetap menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness hingga saat ini. Hal ini dikarenakan P merasakan adanya keuntungan dari tidak memiliki anak, yaitu P bebas dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, P merasa sangat bahagia karena P mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya. “Secara psikis om

bahagia sekali”.

Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih

(52)

diperkuat oleh kesepakatan P dengan sang istri untuk tidak mengadopsi anak.

d. Kesimpulan dan Isu yang Terkait

Kisah hidup P bersifat progresif. Melalui usahanya untuk tetap mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat Pronatal, P saat ini merasa

sangat bahagia. Selain itu, pengalaman religiusitas P semakin diperkuat setelah menjalani keputusannya untuk tidak memiliki anak. P terus berserah dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah Tuhan berikan kepadanya.

3. Analisis Interpretatif a. Generativitas

(53)

Generativitas Parental

Salah satu cara yang dilakukan P untuk menyalurkan dorongan generativitas, yaitu melalui generativitas parental. P memiliki keinginan untuk membantu orang lain.

“... supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut

berbagi dengan banyak orang.”

“Kepengennya ya melayani itu tok.”

P melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat untuk menyalurkan dorongan tersebut.

“Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan,

jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah

minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan

UMR daerah itu, harus diperjuangkan.”

“Melayani itu misalnya ya, misalnya melayani itu ada melayani

untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja

kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di

karang taruna, belum di masyarakat.”

“Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om.”

Generativitas Kultural

P juga menyalurkan dorongan generativitas melalui generativitas kultural, dimana P menanamkan nilai-nilai pada mahasiswanya ketika P menjadi seorang dosen.

“Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk

(54)

Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah jam tujuh ya,

stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi

dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, „bapak udah dateng loh. Udah di

dalam ruangan loh.‟. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling nggak

ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin.”

Generativitas Teknis

P meneruskan ilmu pengetahuan yang P miliki pada generasi muda melalui perannya sebagai seorang dosen. P juga menanamkan nilai-nilai pada generasi muda.

Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya

om, tak ajarkan.”

b. Motif-motif Ekonomi

Salah satu alasan P memilih untuk tidak memiliki anak adalah alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

(55)

Pengalaman hidup

Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak.

“Dulu bapak sering berpesan „gemar-gemarlah menolong orang lain‟.”

Manfaat yang dirasakan

Adanya manfaat yang P rasakan setelah menjalani keputusannya, membuat P semakin kuat pada pendiriannya untuk tidak memiliki anak. P saat ini merasa sangat bahagia karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu.

“... ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana-mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni.”

“Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani.”

D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek

(56)

keputusan untuk tidak memiliki anak di tengah masyarakat pronatal. Keputusan yang mereka ambil mengantar mereka pada kehidupan yang kurang nyaman. Beragam pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh masyarakat pronatal. Pertanyaan dan komentar yang didapat merupakan konsekuensi dari keputusan yang telah mereka ambil dan dirasa cukup mengganggu oleh kedua subjek. Berbagai macam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Akhir cerita, usaha yang mereka lakukan membuahkan hasil yang baik, yakni subjek pertama merasa bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil serta semakin sukses dalam meniti karirnya sedangkan subjek kedua semakin diperkuat dalam pengalaman religiusitasnya dan merasa sangat bahagia karena ia dapat melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.

Kedua subjek sama-sama memiliki dorongan generativitas. Generativitas yang muncul pada diri individu voluntary childlessness adalah generativitas parental, generativitas kultural dan generativitas teknis. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan skala generativitas loyola, komitmen kedua subjek untuk bertanggung jawab terhadap generativitas selanjutnya tergolong normal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua subjek dapat mengembangkan generativitas melalui berbagai macam cara, seperti melalui generativitas parental, kultural dan teknis.

(57)

dan masyarakat yang kurang beruntung. Generativitas kultural kedua subjek muncul dalam bentuk mempertahankan budaya yang sudah ada, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi dan menanamkan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda. Sedangkan generativitas teknis muncul dalam bentuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.

Dalam mengambil keputusan sebagai individu voluntary childlessness, kedua subjek sama-sama memiliki motif yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan adanya manfaat yang dirasakan. Motif lain yang muncul adalah adanya pengaruh zero population growth, alasan ekonomi dan karir. Motif-motif tersebut muncul karena adanya pengaruh dari pengalaman pribadi dan lingkungan.

Dalam konteks personal, kedua subjek memiliki pengalaman yang berbeda. Subjek pertama menganggap bahwa tantangan utama dalam menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness adalah membuktikan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak yang diambilnya merupakan pilihan yang tepat. Konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya memang dirasa cukup mengganggu, namun tidak dilihat sebagai ancaman melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dapat membawanya untuk lebih maju. B mendeskripsikan berbagai pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari keluarga.

(58)

mendeskripsikan pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari pasangan dan kerabatnya. Konsekuensi yang didapat P tidak dilihat sebagai ancaman untuk menolong orang sebanyak-banyaknya, melainkan sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pada konteks sosial, narasi dilihat melalui perspektif moral (Noblitt dan Dempsey dalam Murray dalam Smith, 2008) sebagai suatu dongeng tentang benar dan salah, dari berbagai usaha untuk melakukan kesalehan selama masa cobaan (Murray dalam Smith, 2008). Dalam menghadapi konsekuensi yang didapat dari masyarakat pronatal, B tidak berusaha melawan masyarakat, melainkan berusaha berdamai dengan keadaan yang ada. B akan memberikan penjelasan serta jawaban yang diharapkan oleh masyarakat apabila B mendapatkan pertanyaan seputar anak. Sedangkan P, apablia P mendapatkan komentar dan pertanyaan dari masyarakat pronatal, P juga akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat. Selain itu, P juga memiliki kehidupan iman yang kuat sehingga P melihat konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya sebagai sebuah sarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.

E. Pembahasan

(59)

untuk menjalankan kehidupan tanpa anak di tengah masyarakat pronatal. Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar. Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Masyarakat pronatal sering melontarkan komentar dan pertanyaan-pertanyaan yang dirasa cukup mengganggu. Meskipun demikian, kedua subjek juga mendapatkan dukungan dari pasangan dan beberapa kerabatnya. Kemugkinan mendapatkan tekanan yang lebih besar dari lingkungan sekitar akan terjadi pada subjek pertama dibandingkan subjek kedua. Hal ini dikarenakan subjek kedua memiliki istri yang rahimnya telah diangkat dan memungkinkan berkurangnya mendapatkan tekanan dari keluarga.

Beragam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk menghadapi masyarakat pronatal. Dalam hal mengatasi komentar serta pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tersebut, kedua subjek akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat pronatal, seperti “belum

dikaruniai” agar tidak memperpanjang pembicaraan. Beberapa individu

(60)

dalam Doyle, Polley & Breen, 2012). Sebagai contoh, subjek pertama mengatakan bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil dari kehidupan sebelumnya untuk membuktikan keputusan yang telah diambilnya tersebut benar. Sedangkan subjek kedua mengatakan bahwa ia merasa sangat bahagia setelah menjalani kehidupan tanpa anak sebab ia dapat melayani orang sebanyak-banyaknya. Pada subjek pertama, ada kemungkinan dilakukannya mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi tekanan yang ia dapatkan dari luar. Sebab, subjek pertama tidak menikah secara sah dan memiliki ketakutan mendapatkan label negatif dari masyarakat.

Para voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas. Generativitas dapat diekspresikan melalui banyak cara. Mereka mengekspresikan generativitasnya melalui generativitas parental, kultural dan teknis. Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial serta keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam Papalia, 2008). Selain itu, berkurangnya tanggung jawab dalam keluarga dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan generativitas pada skala yang lebih luas (Papalia, 2008).

(61)

dari luar. Motif merupakan sebuah dorongan yang dapat berasal dari pengalaman-pengalaman masa lalu (Hasibuan, 2005).

Motif yang pertama adalah karir. Dengan mengambil keputusan untuk hidup tanpa anak, individu voluntary childlessness akan lebih bebas untuk menentukan pilihan hidupnya, terutama dalam hal karir. Kebebasan dilihat sebagai komponen yang diperlukan dalam karir (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Sebagai contoh keinginan B untuk tidak memiliki anak muncul karena B masih ingin membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.

Motif lainnya adalah zero population growth. Tujuan dari gerakan ini adalah membuat masyarakat sadar akan ledakan populasi (Samantha A. Kwon, 2005). Dalam hal ini, B menyadari bahwa salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia adalah masalah ledakan populasi. Kesadaran B akan hal tersebut mempengaruhi B untuk tetap menjalani kehidupan tanpa anak.

(62)

Sebagai contoh, P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani orang lain melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

Pengalaman masa kanak-kanak kedua subjek juga mempengaruhi keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu, pengalaman buruk pada masa kanak-kanak dapat memicu seseorang untuk memilih tidak memiliki anak (Park dalam Giles, Shaw & Morgan, 2009) sebab pengalaman tersebut membuat mereka menjadi takut dan cemas untuk mengulangi gaya pengasuhan yang kurang baik (Hird & Abshoff dalam Kwon, 2005). Misalnya, Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan dan ambisinya untuk mengejar cita-citanya.

(63)

Adanya manfaat yang dirasakan oleh kedua subjek dari menjalankan keputusannya, membuat kedua subjek hingga saat ini tetap memilih untuk tidak memiliki anak. Manfaat yang kedua subjek rasakan, yaitu berupa fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga mereka dapat bekerja semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar cita-citanya. Kebebasan dilihat sebagai hal penting untuk karir mereka karena mereka tidak terkekang untuk dapat mencurahkan waktu dan perhatian mereka dimana hal tersebut dianggap penting ketika mereka kembali pada komunitas mereka (Doyle, Pooley & Breen, 2005). Dengan demikian, B merasa kehidupan yang ia jalani saat ini sangat memuaskan, lebih adil, serta keinginannya untuk tidak bersikap tidak adil pun terpenuhi. Selain itu, P saat ini merasa sangat bahagia karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu.

(64)
(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menemukan bahwa hidup sebagai voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal bukan hal yang mudah. Kedua

subjek melukiskan kisah hidupnya sebagai sebuah narasi progresif, yaitu kehidupan merupakan sebuah tantangan yang mengandung kesempatan untuk membuatnya maju. Ketika kedua subjek memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai voluntary childlessness, saat itu pulalah tantangan dalam hidup dimulai. Tak jarang mereka mendapatkan berbagaimacam pertanyaan serta komentar dari lingkungan sekitar mengenai menghasilkan keturunan. Meskipun demikian, kedua subjek tetap berpegang teguh pada keputusan awal dan terus menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness. Akhir cerita, usaha yang dilakukan oleh kedua subjek tersebut membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik.

(66)

B. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data. Metode yang digunakan tersebut kurang dapat menggali lebih dalam mengenai motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini lebih mengarah kepada alasan individu untuk tidak memiliki anak.

C. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya

Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data. Hal ini mengakibatkan kurang mendalamnya data yang didapat. Hasil yang didapat lebih mengarah kepada alasan seseorang memilih untuk tidak memiliki anak, bukan kepada motif yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk tidak memiliki anak. Oleh sebab itu, bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa sebaiknya menggunakan atau menambahkan metode lainnya untuk mendapatkan data.

2. Bagi para psikolog

(67)

3. Bagi para voluntary childlessness

Bagi para voluntary childlessness, terutama yang terlibat dalam penelitian ini, diharapkan untuk terus melanjutkan naskah generativitas yang telah dibuat sebelumnya, sebab dengan mencapai tahap generativitas, individu voluntary childlessness juga dapat memenuhi tahap perkembangan selanjutnya, yaitu integritas.

4. Bagi masyarakat

(68)

DAFTAR PUSTAKA

Abma, J. C., & Martinez, G. M. (2006). Childlessness among older women in the

United States: Trends and profiles. Journal of Marriage and

Family, 68(4), 1045-1056.

Agus, C. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I. Jakarta: PT Gramedia.

Cahyani, T. F. (2013). Gaya Eksplanatori Wanita Menikah Yang Belum Dikaruniai Keturunan: Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang

Belum Dikaruniai Keturunan (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).

Callan, V. J. (1987). The personal and marital adjustment of mothers and of voluntarily and involuntarily childless wives. Journal of Marriage and the Family, 847-856.

Carmichael, G. A., & Whittaker, A. (2007). Choice and circumstance: Qualitative insights into contemporary childlessness in Australia. European Journal of Population/Revue Européenne de Démographie, 23(2), 111-143.

(69)

Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. United States of America: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Doyle, J., Pooley, J. A., & Breen, L. (2012). A phenomenological exploration of the childfree choice in a sample of Australian women. Journal of health psychology, 1359105312444647.

Giles, D., Shaw, R. L., & Morgan, W. (2009). Representations of voluntary childlessness in the UK press, 1990—2008. Journal of health psychology,14(8), 1218-1228.

Hart, H. M., McAdams, D. P., Hirsch, B. J., & Bauer, J. J. (2001). Generativity and social involvement among African Americans and White adults. Journal of Research in Personality, 35(2), 208-230.

Hasibuan, S. P. M. (2005). Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.

Herdiansyah, H. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Kotre, J. (1999). What Makes a Culture Generative?. University of Michigan Dearborn.

Kwon, S. (2005). Childfree by Choice: A Qualitative Exploration of Asian/white Interracial Couples in a Childfree Marriage (Doctoral dissertation, Alliant

(70)

Lemme, H. (1995). Development in Adulthood. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Manheimer, R. J. (1995). Redeeming the aging self: John Kotre, George Drury, and cultural generativity. Journal of Aging Studies, 9(1), 13-20.

Majumdar, D. (2004). Choosing childlessness: Intentions of voluntary childlessness in the United States. Michigan Sociological Review, 108-135.

Mawson, D. L. (2005). The meaning and experience of voluntary childlessness for married couples (Doctoral dissertation, University of British Columbia).

McAdams, D. P., & De St Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of personality and social psychology, 62(6), 1003. McKeering, H., & Pakenham, K. I. (2000). Gender and generativity issues in

parenting: Do fathers benefit more than mothers from involvement in child care activities?. Sex Roles, 43(7-8), 459-480.

Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Papalia, D. E., et. Al. (2008). Human Development. Jakarta: Kencana.

(71)

Rothrauff, T., & Cooney, T. M. (2008). The role of generativity in psychological well-being: Does it differ for childless adults and parents?. Journal of Adult Development, 15(3-4), 148-159.

Santosa, B. & Zuhri, S. (Ed.). (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, J. W. (1985). Adult Development and Aging. United States of America. Weber, S. (1990). The teacher educator's experience: Cultural generativity and

(72)
(73)

VERBATIM SUBJEK 1

Mbak sudah berapa lama menikah?

Aku udah nikah 4 tahun lebih. Mau jalan ke 5. Empat tahun setengah. Kok mbak memilih untuk tidak memiliki anak?

Jadi aku sadar bahwa aku nggak mau punya anak itu waktu aku masih kuliah. Eemm.. disitu, itu timbul karena aku waktu itu memang udah punya pacar yang udah lama banget, yang waktu itu aku juga udah sempet diajak nikah pun, tapi aku merasa pilihan pekerjaanku dan pilihan hidupku nggak sejalan dengen eee.. punya anak. Aku suka aktif banget, aku suka punya banyak kegiatan. Pada saat aku kuliah pun aku punya tiga atau empat pekerjaan sekaligus, salah satunya pun full time, kemudian malamnya aku masih kerja, pokoknya aku... apa namanya... rutinitasnya parah banget deh. Mobile terus. Dan ketika aku punya anak, aku akan harus terpaksa diam di rumah selama beberapa bulan atau harus hati-hati dalam memilih kegiatan. Jadi, aku merasa keknya dengen pilihan kegiatanku atau pekerjaanku, aku nggak mungkin punya anak.

Berarti alasannya alasan pekerjaan?

(74)

sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari. Dan yang aku lihat dari keseharian mereka sampe aku SD, SMP, SMA pun masih mereka haha hihi dengen temennya aja. Gitu. Dan aku dititipkan di orang tua. Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.

Mbak anak ke berapa sih?

Pertama dari dua bersaudara. Dan pada saat yang bersamaan kami memutuskan untuk cukup sadar bahwa kami berdua nggak mau punya anak. dan kami ngomong pada saat yang berbeda gitu. Jadi dua hari sebelumnya adikku ngomong ke ibuku, terpisah gitu. Dia nggak mau punya anak. dua hari berikutnya aku ngomong. Ibu langsung nangis. Tapi kita bilang alesannya kenapa dan lambat laun sampe kesini akhirnya ibu ngerti, gitu. Ya ternyata mungkin karena lingkungannya kekgitu juga. Karna kita tumbuh di lingkungan yang sama, kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya. Gitu.

Hubungan mbak dengan orang tua sendiri gimana?

Hubungan cukup baaaik, tiga atau dua tahun belakangan aja. Jadi, aku masih punya dendam yang cukup besar sampe aku sulit memaafkan, tu sampe aku nikah pun masih. Keknya baru dua tiga tahun lalu aja itu membaik. Tinggal sama ibu aja kan. Bapak udah meninggal waktu aku SMA.

Dendamnya itu karena apa mbak?

Karena aku merasa itu hak anak untuk diurus. Gitu. Kalo nggak kan mending nggak usah dilahirin sekalian kan. Jadi, aku masih punya dendam itu sampe aku menyalahkan ibuku untuk beberapa hal yang aku nggak punyai atau nggak dapet kesempatan itu. Gitu.

Berarti dulu sempat memiliki hubungan yang kurang harmonis? Iya.

Kalo peran ayah sendiri gimana?

(75)

mereka main, mereka main sama-sama. Jadi aku memang dititip ke eee... kakek nenek, karna mereka traveling, karna mereka kerja, karna mereka nongkrong, minum kopi, minum bir, kemana gitu kan. Jadi yaa.. eee... ya mereka sama-sama kayak gitu, kupikir memang mereka berdua belum siap punya anak dan belum cukup dewasa untuk bisa ngerawat anak sendiri kali ya. Gitu aja sih.

ee.. kan itu sebelum menikah toh mbak berpkir untuk tidak memiliki anak itu.

Makanya aku putus dari pacarku yang dulu. 8 tahun pacaran padahal. Aku memutuskan pada saat itu aku nggak mau nikah dan nggak mau punya anak. dan hidup di apa namanya, bukan selibat sih. Punya hubungan tapi ya sudahlah. Gitu aja. Ngalir gitu aja. Ternyata dia memang nggak bisa menerima situasi yang seperti itu karena kebanyakan orang dibesarkan di keluarga yang normal dan baik-baik saja. Jadi, ya udahlah aku putus sama dia, kemudian selang berapa waktu aku ketemu orang yang punya paham yang sama dengan aku. Jadi aku justru malah nikah sama dia. Itu cuman sebagai apa ya... ironi atas pilihan kami sih. Kami berdua memilih untuk tidak menikah, jadi pernikahan itu jadi ironi gitu. Lagian kalo tinggal di desa kayak gini butuh surat. Itu pun kita nggak nikah di gereja pun sebenernya. Tanda tangan, sudah. Asal suratnya bisa dikasih RT,

Berarti sebelum menikah juga udah dibilang sama pasangan?

Aku ketemu pasanganku ini kayak eat pray love gitu sih. Kayak di film itu. Yang melarikan diri dari dua laki-laki yang melamar aku, kemudian ketemu sama satu laki-laki ya. Trus aku curhat sama dia, aku sebenernya melarikan diri dari dua orang yang lamar aku dan cerita aku punya prinsip yang kayak kayak gini, dia langsung interested, trus ya udah, langsung nempel aja.

Gambar

Tabel 2. Jadwal wawancara dan pengisian skala

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Kristen Maranatha Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap lima orang yang menikah beda agama antara Agama Islam dan Kristen, mereka memang

Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin meneliti dengan subjek yang menikah pada usia dini/ ≤ 18 tahun sebaiknya meneliti subjek yang melakukan pernikahan dini pada

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 2 (dua) orang orang petugas administrasi jurusan serta 2 (dua) dosen pembimbing akademik ternyata diperoleh kesimpulan bahwa terdapat

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan di Kantor Balai Wilayah Sungai Sumatera II sebanyak 124 orang Data yang diperoleh menggunakan Skala Perilaku inovatif

Wawancara dilakukan kepada lima subjek penelitian dalam hal ini adalah dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan yang akan digali pengalamannya saat

Subjek penelitian berjumlah dua orang dan memiliki karakteristik, yaitu penyintas kanker serviks yang telah selesai menjalani pengobatan kanker, berstatus menikah,

Metode wawancara mendalam dilakukan pada satu orang subjek dewasa awal yang orangtuanya bercerai saat masa kanak-kanak.. Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa

Wawancara dilakukan dengan dua subjek siswa HSKS, subjek yang pertama mempunyai motivasi belajar di dalam kesibukannya sebagai seorang atlet, dan subjek yang