• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi Domba Komposit Sumatera dan Persilangan Barbados terhadap Iklim Mikro Kandang dan Pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi Domba Komposit Sumatera dan Persilangan Barbados terhadap Iklim Mikro Kandang dan Pakan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adaptasi Domba Komposit Sumatera dan Persilangan Barbados terhadap Iklim Mikro Kandang dan Pakan

Daya bertahan atau adaptasi domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan ternak lainnya, yaitu memiliki jangkauan perbedaan keadaan iklim yang luas (tropis, sub-tropis, dan gurun) terhadap ketersediaan pakan dan kemampuan bereproduksi. Domba lokal Indonesia dikenal mampu bertahan pada lingkungan ekstrim tropis, contohnya domba sumatera, domba garut, domba jonggol, domba kisar, domba donggala, domba rote, dan domba sumbawa. Domba lokal sumatera yang disilangkan dengan domba St. Croix dan barbados menghasilkan domba komposit sumatera. Domba lokal sumatera yang disilangkan dengan domba barbados menghasilkan domba barbados cross atau domba barbados persilangan. Dua bangsa domba ini merupakan materi ternak yang digunakan pada penelitian untuk dilihat adaptasinya terhadap cekaman panas oleh iklim mikro (suhu, kelembaban, dan THI) kandang dan pemberian ransum yang disuplementasi CRM dan cassapon.

Hasil tanggap atau respons fisiologis pada domba KS dan BC adalah normal dan nyaman (laju respirasi, laju denyut jantung, suhu rektal, dan suhu kulit) pada waktu pagi dan siang hari (Tabel 9, 10, dan 11). Pengaruh suhu kandang yang berada pada thermoneutral zone yang dicerminkan pada hasil THI yang rendah menyebabkan kandang berada pada kondisi nyaman (Gambar 8 dan 9). Sementara itu, hasil konsumsi energi dan kecernaan energi dari perbedaan ransum yang diberikan belum terdapat pola yang terstruktur terhadap status fisiologis yang dihasilkan. Pemberian ransum yang disuplai onggok, CRM dan cassapon tidak mempengaruhi kondisi fisiologis domba KS dan BC pada kondisi lingkungan yang nyaman.

Adaptasi yang baik terhadap lingkungan akan menghasilkan produktivitas, pertumbuhan, dan perkembangan domba yang baik. Untuk melihat nilai pertumbuhan dapat ditinjau dari nilai komposisi tubuh domba pada umur fisiologisnya. Teknik urea space atau ruang urea yang digunakan untuk menduga komposisi tubuh (air, protein, dan lemak) pada periode pertumbuhan pascasapih domba betina KS dan BC. Hasil komposisi tubuh antara domba perlakuan tidak

(2)

dipengaruhi oleh perbedaan ransum yang disuplementasi onggok, CRM, dan cassapon (P>0.05). Komposisi tubuh domba KS dan BC berada pada pola pertumbuhan yang normal. Urutan rataan proporsi komposisi tubuh adalah air tubuh (58.51% BB0.75), lemak tubuh (20.76% BB0.75), dan protein tubuh (15.03% BB0.75). Lemak tubuh sangat baik dan dibutuhkan untuk pertumbuhan hormonal, pertumbuhan bobot badan, dan melindungi tubuh dari cekaman panas lingkungan. Sementara itu, protein tubuh bertindak untuk regenerasi sel, pertumbuhan otot, saraf dan lain-lain. Pertumbuhan pascasapih merupakan pertumbuhan yang krusial karena 75% pertumbuhan domba terjadi pada waktu ini sebelum mencapai titik infleksi dan pertumbuhan mendekati konstan.

Laju Respirasi

Indikasi terjadinya stres panas pada domba salah satunya dapat dilihat melalui laju respirasi yang dihasilkan, selain melalui metode perhitungan aliran gas oksigen yang dihirup oleh domba dengan menggunakan chamber atau head box. Laju respirasi digunakan sebagai indikator stres panas karena berhubungan dengan pengurangan gas CO2 pada jaringan tubuh dan masuknya O2 sebagai

pembakaran pakan yang akan menghasilkan panas (Marai et al. 2007). Hasil laju respirasi yang didapat kemudian dibandingkan dengan laju respirasi normal yang umum pada domba (26-32 respirasi/menit Frandson 1992; 15-40 respirasi/menit Hecker 1983) dan keterkaitannya dengan zona nyaman lingkungan atau Thermoneutral zone dengan kriteria suhu yaitu: 22-31°C (Yousef 1985), dan berada pada Indeks Suhu dan Kelembaban (ISK/THI) di luar cekaman panas.

Laju respirasi untuk semua domba perlakuan adalah normal. Nilai laju respirasi pada Tabel 9 merupakan indikator bahwa domba percobaan terbebas dari cekaman panas (<155-200 respirasi/menit) dengan suhu lingkungan kandang 22-27°C (Gambar 9) berada pada zona nyaman (22-31°C) dengan nilai THI<82 (Gambar 8) pada waktu pagi dan siang hari. Suhu, RH, dan THI lingkungan kandang penelitian sangat baik untuk tumbuh dan kembang domba. Ketika berada pada zona nyaman, domba akan mengeluarkan dan menyerap panas secara sensible melalui radiasi, konveksi, dan konduksi (Yani & Purwanto 2003).

(3)

Tabel 9 Laju respirasi domba KS dan BC pada pagi dan siang hari

Waktu Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D Pagi (respirasi/mnt) KS 27.67±0.47 24.00±3.77 28.00±0.94 31.33±0.94 27.75±3.16a BC 26.33±0.47 23.33±0.00 26.33±0.47 24.67±0.94 25.17±1.41b Rataan 27.00±0.86a 23.67±2.21b 27.17±1.14a 28.00±3.92a Siang (respirasi/mnt) KS 27.33±8.48 24.67±5.66 27.00±0.47 28.00±3.77 26.75±4.32b BC 30.67±3.77 30.33±3.29 32.67±0.00 34.33±4.24 32.00±3.02a Rataan 29.00±5.69 27.50±5.00 29.83±3.28 31.17±4.91

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh bangsa domba KS dan BC. Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh ransum perlakuan. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

Nilai laju respirasi domba KS pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan domba BC dan sebaliknya di waktu siang hari laju respirasi domba KS lebih rendah pada Tabel 9 (P<0.05). Tingginya laju respirasi domba KS di pagi hari diduga berkaitan dengan proses makan yang cepat dan tinggi konsumsi nutrien (Tabel 15). Hal ini sesuai dengan pengamatan Bluet et al. (2001) bahwa tingginya konsumsi nutrien akan mempengaruhi laju respirasi pada domba. Di waktu siang, domba KS lebih banyak istirahat dibandingkan dengan domba BC yang masih mengkonsumsi rumput. Suhu di siang hari akan lebih banyak mempengaruhi cekaman panas yang terjadi pada domba. Oleh karena itu, domba BC memiliki nilai laju respirasi yang tinggi karena aktivitas konsumsi pakan dan paparan suhu kandang di siang hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai laju respirasi tersebut masih dalam wilayah yang normal. Laju respirasi domba garut betina yang dipelihara pada suhu 21.00-25.80°C dengan kelembaban 83-95% (pagi hari) adalah 32.00±4.32 respirasi/menit dan pada siang hari dengan suhu 26.00-36.00°C dengan kelembaban 52-86% adalah 64.00±7.09 respirasi/menit (Suherman 2009). Data fisiologis domba betina garut tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya cekaman panas karena memiliki rataan laju respirasi di atas normal dan memiliki nilai ISK (THI) yang tinggi, yaitu 77.87-93.81. Sebaliknya, domba KS dan BC yang dipelihara memiliki nilai ISK yang termasuk ke dalam kategori tidak tercekam panas (nyaman) pada suhu nyaman (thermoneutral zone) dan mempunyai nilai laju respirasi yang normal. Kestabilan nilai laju respirasi ini merupakan suatu indikasi domba dapat

(4)

beradaptasi dengan baik pada perlakuan ransum yang diberikan dan lingkungan yang terjadi.

Tambahan perbandingan respons respirasi terhadap suhu lingkungan adalah pada studi Martawidjaya et al. (1999) yang menggunakan domba Garut, St. Croix dan Moulton Charollais betina lepas sapih dipelihara pada suhu pagi 22.8°C, siang 32.7°C dan sore 29.6°C (rataan 28.3°C) memiliki rataan laju respirasi pagi 47.25 respirasi/menit, siang 95.92 respirasi/menit dan sore hari 86.78 respirasi/menit. Hal ini menunjukan suhu lingkungan yang tidak nyaman dan paparan cekaman panas yang tinggi.

Domba KS dan BC merespons perbedaan perlakuan ransum yang diberikan dengan laju respirasi yang serupa (P>0.05). Konsumsi BK (Tabel 15) dan kecernaan BK (Tabel 16) antara domba dengan ransum yang berbeda tidak nyata sehingga laju respirasi domba terlihat seragam. Kandungan energi ransum (Tabel 16) yang tinggi pada ransum yang disuplai CRM (C), ransum yang disuplai cassapon (D) dan ransum yang disuplai onggok (B) dibandingkan dengan ransum kontrol (A) tidak mampu dicerna oleh pencernaan domba secara linear. Hasil kecernaan energi terbaik pada ransum kontrol (A) dan berbanding terbalik dengan konsumsi nutrien. Sehingga, nilai laju respirasi yang disajikan pada Tabel 9 tampak tidak berbeda antar perlakuan jenis ransum.

Laju Denyut Jantung

Laju denyut jantung antara domba perlakuan untuk semua kategori waktu tidak berbeda (P>0.05) dan berada pada wilayah yang normal (60-120 detak/menit Duke’s 1995). Laju denyut jantung memiliki motif berbanding terbalik dengan laju respirasi terhadap ransum perlakuan. Jika laju respirasi tinggi maka laju denyut jantung rendah. Hal ini dapat dilihat pada domba dengan pemberian ransum yang disuplementasi onggok pada Tabel 9 yang memiliki laju respirasi rendah dan laju denyut jantung yang tinggi (Tabel 10) di waktu pagi dan siang hari. Laju denyut jantung lebih tinggi ketika setelah melakukan aktivitas makan dibandingkan sewaktu istirahat di siang hari. Hal ini serupa dengan studi Barkai et al. (2002) yang melakukan penelitian denyut jantung domba awassi dan silangannya, laju denyut jantung signifikan ketika setelah makan 98 detak/menit

(5)

Tabel 10 Laju denyut jantung domba KS dan BC pada pagi dan siang hari

Waktu Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D Pagi (detak/mnt) KS 85.33±18.85 90.67±9.43 93.33±13.19 84.00±13.19 88.33±11.39 BC 100.67±4.71 100.00±9.43 94.67±15.08 99.33±2.83 98.67±7.47 Rataan 93.00±14.29 95.33±9.40 94.00±11.60 91.67±11.79 Siang (detak/mnt) KS 94.67±1.88 98.00±2.83 102.00±8.48 91.33±23.57 96.50±10.45 BC 95.33±10.37 104.00±0.00 94.00±2.83 98.67±0.00 98.00±5.79 Rataan 95.00±6.10 101.00±3.83 98.00±6.93 95.00±14.25

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh bangsa domba KS dan BC. Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh ransum perlakuan. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

dan sewaktu istirahat 108 detak/menit. Kecernaan energi yang didapat pada studi dan hubunganya dengan laju denyut jantung tidak memiliki pola yang terstruktur. Namun, laju denyut jantung berada dalam wilayah normal pada berbagai perlakuan ransum yang diberikan dan kemampuan adaptasi fisiologis domba yang baik.

Domba garut, St. Croix dan moulton charollais betina lepas sapih dipelihara pada suhu pagi 22.8°C, siang 32.7°C dan sore 29.6°C (rataan 28.3°C) memiliki rataan laju denyut jantung pagi 77.18 detak/menit, siang 109.38 detak/menit dan sore 101.44 detak/menit (Martawidjaya et al. 1999). Studi suhu lingkungan kandang yang digunakan penelitian kami lebih rendah dibandingkan dengan Martawidjaya et al. (1999) sehingga menghasilkan laju denyut jantung dengan nilai yang lebih rendah.

Suhu Rektal dan Suhu Kulit

Suhu rektal dapat digunakan sebagai ukuran representatif dari suhu tubuh yang merupakan hasil paparan dari suhu dan kelembaban lingkungan. Suhu rektal normal dan nyaman untuk domba adalah 38.3-39.9°C pada zona thermoneutral zone (Marai et al. 2007). Suhu rektal antara domba perlakuan untuk semua kategori waktu tidak berbeda nyata (P>0.05). Suhu rektal antarperlakuan terlihat lebih beragam untuk semua kategori waktu. Suhu rektal untuk semua perlakuan dalam kategori normal pada thermoneutral zone ialah 38.2-39.39°C.

(6)

Tabel 11 Suhu rektal dan suhu kulit domba KS dan BC pada pagi dan siang hari

Peubah Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D Suhu rektal Pagi (°C) KS 38.66±0.62 38.65±0.27 38.56±0.56 38.32±0.56 38.55±0.42 BC 38.63±0.13 38.88±0.65 38.85±0.61 39.02±0.19 38.85±0.38 Rataan 38.65±0.37 38.76±0.43 38.71±0.51 38.67±0.53 Siang (°C) KS 39.42±0.12 39.20±0.09 38.85±0.26 39.31±0.02 39.19±0.25 BC 39.10±0.47 39.43±0.00 39.17±0.28 39.47±0.23 39.29±0.28 Rataan 39.26±0.33 39.32±0.14 39.01±0.29 39.39±0.16 Suhu kulit Pagi (°C) KS 32.77±0.15 33.33±0.21 33.38±0.63 34.29±0.72 33.44±0.69 BC 31.68±0.15 33.38±0.38 33.45±0.05 33.57±0.36 33.02±0.86 Rataan 32.23±0.64b 33.35±0.25a 33.41±0.36a 33.93±0.62a Siang (°C) KS 34.44±0.86 35.25±0.09 35.57±0.36 36.22±0.15 35.37±0.77 BC 35.54±0.04 35.49±0.09 36.01±0.28 35.87±0.27 35.73±0.28 Rataan 34.99±0.80c 35.37±0.16bc 35.79±0.36ab 36.05±0.27a

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh bangsa domba KS dan BC. Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh ransum perlakuan. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

Rataan suhu rektal domba garut, St. Croix dan moulton charollais betina lepas sapih dipelihara pada suhu kandang pagi 22.8°C, siang 32.7°C, dan sore 29.6°C (rataan 28.3°C) diperoleh suhu rektal pagi 39.01°C, siang 39.87°C dan sore 39.82°C. Suhu rektal yang telah disebutkan merupakan suhu rektal pada nilai THI yang tinggi sehingga mendapat cekaman panas yang berat. Suhu rektal pada domba KS dan BC pada studi kami yang disajikan pada Tabel 11 merupakan representatif suhu tubuh normal domba yang berada pada kondisi lingkungan yang nyaman sehingga panas tubuh domba dapat dialirkan secara normal berupa sensible heat loss melalui konduksi, konveksi, dan radiasi.

Kulit pada domba merupakan bagian tubuh yang penting untuk terjadinya pertukaran panas antara bagian permukaan tubuh dengan lingkungan. Paparan suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan peningkatan suhu kulit. Suhu kulit yang diukur adalah suhu di atas permukaan kulit di bawah wol. Suhu kulit untuk waktu siang hari terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan pagi hari. Suhu kulit domba yang diberi ransum dengan suplementasi cassapon memiliki suhu yang tertinggi untuk semua kategori waktu (P<0.05). Suhu kulit sangat erat hubungannya dengan suhu lingkungan dan suhu tubuh. Paparan suhu lingkungan akan langsung direspons oleh wol dan kulit domba. Suhu kulit domba penelitian

(7)

memiliki pola yang sama dengan Marai et al. (2007) dan Singh et al. (1980) yaitu 34.2-35.2 pada suhu lingkungan 21-24°C.

Kadar N-Urea Darah dan Ammonia terhadap Cekaman Panas

Kadar N urea dan ammonia dalam darah merupakan salah satu parameter untuk meninjau cekaman panas yang terjadi dilingkungan terhadap suhu tubuh. Studi Marai & Haeeb (2010) pada kerbau, Ayat dan Marai (1997) pada kelinci, dan Ronchi et al. (1995) pada sapi perah FH yang dipelihara pada musim panas dan dingin menghasilkan perbedaan kadar N urea darah. Kadar N urea darah pada musim panas akan lebih rendah dibandingkan dengan pada musim dingin. Penurunan kadar N urea darah ketika mengalami cekaman atau stres panas diduga disebabkan oleh reabsorbsi yang berlebih pada kadar N urea dari darah ke rumen sebagai suatu kompensasi dari penurunan N ammonia di rumen karena penurunan konsumsi bahan kering dan penurunan kecernaan nitrogen (El-Fouly et al. 1978; Yousef 1990).

Kadar N-urea darah dan N-ammonia pada semua domba percobaan (Tabel 12) tidak berbeda nyata dan normal pada semua jenis ransum yang diberikan (P>0.05). Kadar N-urea darah normal pada domba adalah 35-50 mg/dl. Kadar N urea darah pada Tabel 12 akan berbanding lurus dengan peningkatan suhu kulit pada Tabel 11. Suhu kulit pada domba KS yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon pada pagi dan siang hari secara deskriptif tertinggi yang diikuti dengan penurunan kadar N urea darah, begitu juga pada domba BC yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM . Parameter N-urea darah merupakan suatu penegasan aspek fisiologis terhadap cekaman panas yang terjadi di lingkungan. Sementara itu, aspek laju respirasi yang tinggi pada domba KS yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon (Tabel 9) juga diikuti dengan penurunan kadar N-urea darah dan ammonia pada domba perlakuan yang sama (Tabel 12). Walaupun hubungan antara kadar N-urea darah dan ammonia dengan laju respirasi domba BC tidak terpola seperti domba KS.

(8)

Tabel 12 Kadar N-urea pada darah dan kadar N-NH3 pada rumen

Peubah Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D N urea darah (mg/dl) KS 44.09±7.81 46.32±5.54 44.09±0.50 36.70±0.00 42.76±5.30 BC 49.17±4.28 38.57±6.42 36.61±1.89 46.23±8.94 42.65±7.17 Rataan 46.59±5.95 42.45±6.63 40.31±4.42 41.47±7.55 N-NH3 (mM) KS 9.44±2.34 8.34±0.92 8.43±0.79 6.94±0.52 8.29±1.39 BC 6.70±2.47 6.75±2.96 6.91±1.77 6.15±0.06 6.63±1.63 Rataan 8.07±2.52 7.55±2.01 7.67±1.42 6.54±0.55

Keterangan: Nilai menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05). Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% Cassapon dalam konsentrat

Suhu dan Cekaman Panas yang Terjadi di Lingkungan Kandang

Kandang domba penelitian di Balitnak, Ciawi Bogor termasuk ke dalam wilayah dataran sedang dengan ketinggian 415 meter dpl. Interaksi yang terbentuk antara suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin menyebabkan suasana yang nyaman. Hal ini dapat dilihat dari nilai suhu lingkungan kandang dan interaksinya dengan kelembaban berupa THI pada Gambar 8 dan 9 yang memiliki nilai rendah dan berada pada thermoneutral zone.

THI di pagi hari lebih rendah dibandingkan dengan THI di waktu siang karena di pagi hari suhu lebih rendah (Gambar 8 dan 9) dan konstruksi bangunan kandang yang baik serta dilengkapi dengan insulator panas. THI merupakan gambaran cekaman panas yang terjadi di lingkungan. THI untuk sapi perah dan

Gambar 8 THI lingkugan kandang pada waktu pagi dan siang hari

Siang Pagi 90 86 82 78 74 70 Waktu TH I

THI >86 cekaman panas berat

THI <82 tidak terdapat cekaman panas ringan

84<THI <86 cekaman panas sedang 82<THI <84 cekaman panas ringan

(9)

mbar 7 THI lingkungan kandang pada waktu pagi dan siang hari

Gambar 9 Suhu lingkungan kandang berdasarkan waktu

sapi pedaging lebih rendah dibandingkan untuk domba. Domba memiliki wilayah yang luas dalam menerima suhu lingkungan. THI domba pada pagi hari 70.52-77.10 dan siang 74.44-77.50. Menurut Silanikove (2000) peningkatan THI juga diikuti dengan peningkatan parameter fisiologis seperti suhu rektal. Hal ini juga terjadi pada penelitian ini bahwa peningkatan THI di siang hari nyata meningkatkan parameter fisiologis yang diukur (suhu rektal, suhu kulit, laju respirasi, dan denyut jantung).

Suhu lingkungan yang nyaman untuk domba menurut Yousef (1985) adalah 25-31°C. Lingkungan kandang penelitian memiliki nilai rataan 24.79°C yang tercakup pada wilayah nyaman untuk pemeliharaan domba. Silanikove (2000) menyarankan untuk daerah tropis dan musim panas memiliki suhu lingkungan 24°C dan dengan kisaran THI 70 karena sesuai untuk terjadinya tingkah laku yang nyaman. Adaptasi fisiologis domba KS dan BC terhadap iklim mikro kandang tidak terlalu berat, sehingga pengaruh perbedaan ransum pada hal konsumsi dan kecernaan BK dan energi dapat ditinjau.

Komposisi Tubuh Domba KS dan BC

Ruang urea (urea space) merupakan salah satu cara estimasi nilai potong karkas tanpa ternak harus dipotong. Domba yang digunakan pada bangsa KS dan

17:00 16:00 15:00 14:00 13:00 12:00 11:00 10:00 9:00 8:00 7:00 6:00 27 26 25 24 23 22 21 20 Waktu S uh u ( C ) Suhu Lingkungan °

(10)

BC merupakan domba betina lepas sapih sehingga terlihat kandungan air tubuh domba lebih dominan diikuti dengan lemak dan protein. Persentase air, lemak, dan protein tubuh tidak berbeda pada perlakuan ransum yang diberikan. Urutan pertumbuhan adalah air, lemak, dan protein (Tabel 13).

Kandungan lemak yang tinggi dan protein yang proporsional sangat menguntungkan bagi pertumbuhan domba lepas sapih. Domba yang menerima ransum yang disuplementasi CRM dapat tumbuh lebih dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, kandungan lemak yang tinggi dapat mengurangi cekaman stres panas pada iklim tropis (Sudarman & Ito 2000). Hal ini menguntungkan bagi domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon dengan status fisiologis yang tidak berbeda antarperlakuanya dengan domba perlakuan kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok. Persentase ruang urea antara domba bangsa KS dan BC terlihat tidak berbeda untuk semua peubah (air, lemak dan protein tubuh).

Tabel 13 Komposisi tubuh pada domba KS dan BC

Peubah Bangsa Ransum Rataan

A B C D BB (kg) KS 25.80±00 28.00±1.13 25.10±0.14 25.40±3.39 26.08±1.82 BC 23.50±2.97 23.00±0.57 25.20±1.14 22.10±1.27 23.45±1.81 Rataan 24.65±2.17 25.50±2.98 25.15±0.82 23.75±2.83 AT (% BB) KS 58.54±0.25 58.36±0.21 58.43±0.09 58.78±0.75 58.53±0.35 BC 58.54±0.16 58.49±0.05 58.37±0.06 58.61±0.10 58.51±0.12 Rataan 58.54±0.17 58.43±0.15 58.40±0.08 58.69±0.45 LT (% BB) KS 20.73±0.33 20.95±0.29 20.87±0.13 20.41±0.99 20.74±0.47 BC 20.72±0.21 20.79±0.07 20.95±0.08 20.63±0.13 20.77±0.16 Rataan 20.73±0.23 20.87±0.19 20.91± 0.09 20.52± 0.59 LT (kg) KS 5.35±0.09 5.86±0.32 5.24±0.06 5.20±0.94 5.41±0.47 BC 4.87±0.57 4.78±0.10 5.28±0.32 4.56±0.29 4.87±0.39 Rataan 5.11± 0.43 5.32±0.66 5.26±0.19 4.88±0.68 PT (% BB) KS 15.04±0.07 14.99±0.06 15.01±0.03 15.11±0.19 15.04±0.07 BC 15.04±0.04 15.03±0.01 14.99±0.02 15.06±0.03 15.04±0.04 Rataan 15.04±0.05 15.01± 0.04 15.00±0.02 15.08±0.12 PT (kg) KS 3.88±0.02 4.19±0.15 3.77±0.01 3.83±0.46 3.92±0.25 BC 3.54±0.46 3.46±0.09 3.77±0.21 3.33±0.18 3.52±0.27 Rataan 3.71±0.33 3.83± 0.44 3.77± 0.12 3.58±0.41

Keterangan : Nilai menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05); BB = Bobot Badan; AT = Air tubuh; LT = Lemak Tubuh; dan PT = Protein Tubuh. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

(11)

Hasil komposisi tubuh antara domba perlakuan tidak dipengaruhi oleh perbedaan ransum yang disuplementasi onggok, CRM dan cassapon (P>0.05). Komposisi tubuh domba KS dan BC berada pada pola pertumbuhan yang normal. Urutan rataan proporsi komposisi tubuh adalah air tubuh (58.51% BB0.75), lemak tubuh (20.76% BB0.75), dan protein tubuh (15.03% BB0.75). Lemak tubuh sangat baik dan dibutuhkan untuk perkembangan hormonal, pertumbuhan bobot badan, dan melindungi tubuh dari cekaman panas lingkungan. Sementara itu, protein tubuh bertindak untuk regenerasi sel, pertumbuhan otot, saraf dll. Pertumbuhan pasca sapih merupakan pertumbuhan yang krusial karena 75% pertumbuhan domba terjadi di waktu ini.

Pengaruh Bangsa Domba terhadap Peubah yang diamati

Domba bangsa komposit sumatera (KS) memiliki konsumsi nutrien (BK, BO, PK, SK, NDF, GE) yang lebih unggul dibandingkan dengan domba barbados cross (BC) (P<0.05). Selanjutnya, pengaruh bangsa domba tidak tampak terhadap peubah selain konsumsi nutrien, yaitu: PBBH, ekosistem rumen, FCR, bakteri, status fisiologis, kecernaan dan nilai komposisi tubuh (P>0.05). Perbedaan jenis bangsa domba komposit sumatera dan persilangan barbados menghasilkan pengaruh emisi gas metana enterik yang sama (P>0.05). Perbedaan produksi gas metana yang tidak signifikan antara bangsa domba KS dan BC dapat dijelaskan oleh rendahnya nilai heritabilitas tentang produksi gas metana ternak. Penurunan sifat atau nilai heritabilitas produksi gas metana ternak adalah 0.29 (Budle et al. 2010). Domba komposit sumatera merupakan domba komposit hasil bentukan antara domba lokal sumatera, barbados, dan st. croix oleh karena itu masih terdapat hubungan genetika antara domba persilangan barbados dan komposit sumatera.

Bangsa domba KS merupakan domba komposit yang terbentuk dari domba St. Croix, domba sumatera dan domba barbados. Domba KS diharapkan memiliki performa produksi yang lebih baik dari bangsa domba pembentuknya dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis panas. Keunggulan domba KS terlihat dari hasil studi pada konsumsi nutrien pakan dibandingkan dengan domba BC. Pemberian ransum dengan suplementasi onggok, CRM, dan cassapon belum dapat mempengaruhi kecernaan domba pada rumen, hanya sebatas mampu

(12)

merombak (degradibility) ransum. Hasil gas fermentasi, PBBH, ekosistem rumen, komposisi tubuh dan kecernaan nutrien tidak signifikan antara bangsa domba.

Domba KS dan domba BC merupakan bangsa domba yang telah lama beradaptasi di lingkungan tropis. Pengaruh lingkungan kandang di Balitnak Ciawi sebagai cerminan cekaman panas menghasilkan respons fisiologis yang normal pada kedua bangsa domba ini dan berada pada kondisi nyaman (thermoneutral zone). Selain itu, pengaruh pemberian perlakuan ransum yang berhubungan dengan metabolisme tidak nyata terhadap respons fisiologis kedua bangsa domba yang diamati. Hal ini dapat dijelaskan bahwa domba KS dan BC sudah dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan tropis panas dan ketersediaan pakan seperti halnya domba lokal Indonesia (domba ekor tipis, domba ekor gemuk, domba garut, dan domba jonggol).

PBBH dan Produksi Gas Metana

Mekanisme pengaruh pertambahan bobot badan harian (PBBH) secara tidak langsung dapat dipengaruhi oleh peningkatan efesiensi energi domba akibat turunya gas metana enterik dalam rumen. Peningkatan kecernaan nutrien baik bahan kering maupun energi sebagai kompensasinya akan meningkatkan PBBH pada ternak sehingga proporsi energi yang terbuang menjadi gas metana berkurang. Pengurangan produksi gas metana dapat juga terjadi karena proses defaunasi oleh kandungan saponin terhadap protozoa sehingga bakteri metanogen yang bersimbiosis berkurang.

Pertambahan Bobot Badan dan Rasio Konversi Pakan

Pertambahan bobot badan harian tidak nyata pengaruhnya pada domba perlakuan yang disajikan pada Tabel 14 (P>0.05). Suplementasi CRM terlihat bekerja walaupun tidak berbeda nyata secara deskriptif (Gambar 10). Studi sebelumnya (Thalib et al. 2010) melaporkan bahwa perlakuan CRM meningkatkan PBBH sebesar 20% dengan PBBH 73.5 g/ekor/hari. Namun, pada studi CRM ini, walaupun persentase PBBH lebih kecil, tetapi secara kuantitatif lebih besar. Peningkatan PBBH pada domba yang diberi ransum dengan suplai

(13)

Gambar 10 Grafik pertumbuhan domba berdasarkan perlakuan pakan campuran CRM berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi BK (Tabel 15) dan penurunan proporsi gas metana (Tabel 22 dan 23). PBBH dalam penelitian ini telah masuk dalam kategori untuk pembesaran domba 70 g/ekor/hari (Thalib et al. 2010) walaupun domba yang kami gunakan merupakan domba betina bukan untuk tujuan pembesaran, hanya untuk dilihat pola pertumbuhan.

Hal ini menunujukkan bahwa CRM sedikit dapat meningkatkan performa sistem pencernaan ternak ruminansia. Pertambahan bobot hidup dan konsumsi pakan merupakan faktor utama yang berpengaruh pada rasio konversi pakan (FCR) dan nilai FCR dipengaruhi oleh kecernaan dan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam proses metabolisme yang berlangsung dalam sistem pencernaan.

Domba KS dan BC pada Tabel 14 memiliki nilai FCR yang relatif sama antara perlakuan ransum (P>0.05). PBBH dan FCR yang tidak signifikan pengaruhnya terhadap ransum yang diberikan merupakan indikasi bahwa suplai CRM dan cassapon belum mampu meningkatkan kecernaan domba namun masih dalam proses perombakan pakan pada rumen dan konsumsi nutrien.

Tabel 14 PBBH dan FCR pada domba KS dan BC

Peubah Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D PBBH (g/ek/hr) KS 84.42±5.71 90.91±8.68 89.61±6.95 82.22±8.21 86.79±7.65 BC 78.89±7.96 82.79±23.98 87.34±9.86 81.82±7.86 82.71±13.01 Rataan 81.66±7.06 86.85±17.25 88.47±7.99 82.02± 7.45 FCR KS 6.72±0.69 6.38±0.33 6.52±0.60 7.03±1.01 6.66±0.68 BC 6.95±0.49 7.02±2.18 6.72±0.83 6.76±1.05 6.87±1.17 Rataan 6.84±0.57 6.70±1.49 6.62±0.68 6.89±0.96

Keterangan : Nilai menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05). Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

10 12 14 16 18 20 22 24 26 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 B B ( k g )

Waktu pemeliharaan (minggu)

A B C D

(14)

Sebagai perbandingan, domba KS yang dipelihara dengan cara padang penggembalaan dengan integrasi kelapa sawit didapatkan nilai BB domba betina lepas sapih umur 48 minggu sebesar 23.3 kg. Bobot badan domba betina percobaan pada umur pemeliharaan 24 minggu (umur domba betina 40 bulan) yang memiliki rataan 24.49 kg (Gambar 9) lebih baik dari pemeliharaan di padang penggembalaan.

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien

Domba yang diberi ransum kontrol mengkonsumsi lebih sedikit bahan kering dibandingkan dengan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM. Perlakuan CRM pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon meningkatkan konsumsi bahan kering. Hal ini menunjukan bahwa CRM dapat meningkatkan performa sistem pencernaan domba dan meningkatkan PBBH serta FCR (Tabel 14). Kinerja CRM pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon juga meningkatkan konsumsi nutrien yang lain (PK, SK, NDF, dan GE). Kecernaan protein kasar dan serat kasar pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon terlihat lebih baik dibandingkan dengan domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok. Kandungan ransum dengan suplementasi campuran CRM memang memiliki nilai nutrien serat kasar yang tinggi (10.11%) dibandingkan dengan ransum kontrol (8.22%) dan konsumsi BK ransum dengan suplementasi campuran CRM juga lebih tinggi sehingga konsumsi serat kasar tinggi. Menurut Haryanto dan Thalib (2009) pakan yang memiliki kandungan serat kasar tinggi akan memproduksi gas metana yang lebih tinggi. Peran CRM yang terdapat pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon telah sedikit bekerja efektif untuk menurunkan proporsi gas metana (Tabel 22 dan Tabel 23). Selain itu peran CRM sebagai

(15)

Tabel 15 Konsumsi nutrien pada domba KS dan BC yang mendapat suplementasi CRM dan cassapon

Peubah Bangsa Ransum Rataan

A B C D BK (g/ek/hr) KS 564.30±24.85 577.93±31.61 581.37±16.72 572.13±19.34 573.93±22.33 BC 546.59±33.43 543.08±38.44 581.01±1.38 547.75±39.48 554.61±32.89 Rataan 555.45±28.87 560.50±37.53 581.19±10.98 559.94±31.59 BO (g BK/ek/hr) KS 510.28±22.32 522.93±28.39 526.38±15.01 516.35±17.37 518.99±20.17a BC 494.37±30.03 491.63±34.53 526.05±1.24 494.46±35.45 501.63±29.73b Rataan 502.32±25.93 507.28±33.71 526.21±9.86 505.41±28.37 PK (g BK/ek/hr) KS 79.32±2.08 75.09±2.65 78.58±1.39 73.19±1.62 76.54±3.15a BC 77.84±2.80 72.17±3.22 78.55±0.12 71.15±3.31 74.92±4.18b Rataan 78.58±2.42a 73.63±3.14b 78.57±0.92a 72.17±2.65b SK (g BK/ek/hr) KS 115.69±8.66 122.07±11.02 126.56±5.83 128.14±6.74 123.11±8.94a BC 109.52±11.65 109.92±13.39 126.43±0.48 119.64±13.76 116.37±12.43b Rataan 112.61±10.06c 115.99±13.08bc 126.49±3.83a 123.88±11.01ab NDF(gBK/ek/hr) KS 273.23±15.99 283.71±20.35 296.23±10.76 295.12±12.45 286.32±16.45a BC 261.84±21.52 261.28±24.74 295.99±0.89 276.43±25.41 273.88±23.61b Rataan 267.53±18.58b 272.49±24.16b 296.11±7.07a 284.27±20.33ab GE (MJ/ek/hr) KS 9.43±0.39 9.51±0.49 9.66±0.26 9.29±0.31 9.47±0.36a BC 9.16±0.52 8.97±0.60 9.65±0.02 8.91±0.62 9.17±0.54b Rataan 9.29±0.45ab 9.24±0.58ab 9.65±0.17a 9.09±0.49b

Keterangan :Nilai dengan superskrip berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh bangsa domba KS dan BC. Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh ransum perlakuan. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat. BK (Bahan Kering); PK (Protein Kasar); SK (Serat Kasar); NDF (Neutral Detergent Fiber); GE (Gross Energy).

imbuhan pakan (feed aditive) juga dapat bermanfaat meningkatkan nilai pakan dengan nutrisi rendah (memiliki serat kasar tinggi).

Konsumsi NDF dan energi pada domba yang diberi ransum domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM terlihat paling tinggi. Konsumsi energi yang tinggi pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM diimbangi dengan nilai kecernaan energi yang tinggi (Tabel 16). Menurut Thalib et al. (2010) efisiensi energi (kecernaan energi) berhubungan dengan produksi gas metana enterik, semakin efisien penggunaan energi maka makin rendah produksi gas metana enterik.

Konsumsi nutrien terlihat lebih tinggi pada bangsa KS dibandingkan dengan BC pada peubah BK, PK, SK, NDF, dan energi. Konsumsi nutrien domba KS yang tinggi menyebabkan PBBH pada domba KS lebih tinggi (Tabel 14). Hal ini mengindikasikan keunggulan pada domba KS sebagai domba komposit yang merupakan hasil persilangan dari domba barbados, domba sumatera dan domba St. Croix.

(16)

Tabel 16 Kecernaan nutrien pada domba KS dan BC terhadap suplementasi CRM dan cassapon

Peubah Bangsa Jenis Pakan Rataan

A B C D BK (%) KS 64.63±4.49 63.45±0.97 60.17±2.30 61.06±1.31 62.33±2.93 BC 65.29±2.70 65.29±1.21 61.51±2.06 63.55±7.85 63.91±4.03 Rataan 64.96±3.33 64.37±1.41 60.84±2.09 62.30±5.21 PK (%) KS 76.32±4.39 73.27±2.31 69.99±1.45 71.27±1.89 72.71±3.42 BC 77.88±1.26 74.59±2.01 70.93±0.49 73.56±8.15 72.24±4.46 Rataan 77.10±3.01 73.93±2.07 70.46±1.09 72.42±5.44 SK (%) KS 35.08±5.25 31.12±9.35 34.41±8.95 34.23±4.82 33.70±6.49 BC 27.70±10.90 34.21±13.06 37.02±8.63 31.34±6.83 32.56±9.36 Rataan 31.39±8.65 32.66±10.29 35.71±7.99 32.78±5.52 NDF (%) KS 43.73±3.68 40.48±3.41 41.50±5.26 38.50±2.02 41.05±3.77 BC 41.36±6.41 43.47±5.00 43.63±5.27 40.25±5.00 42.17±4.88 Rataan 42.54±4.85 41.97±4.16 42.56±4.85 39.37±3.54 DE (%) KS 68.14±4.30 65.91±1.07 62.75±2.08 63.65±1.32 65.11±3.07 BC 68.96±2.32 67.63±1.19 63.99±1.81 66.05±7.64 66.65±4.02 Rataan 68.55±3.12a 66.77±1.39ab 63.37±1.87b 64.85±5.08ab IVDMD (%) 49.02±2.38ab 52.56±4.81a 44.25±0.95b 47.61±1.76ab IVOMD (%) 53.63±2.12ab 56.54±4.43a 49.71±0.98b 52.57±1.67ab

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05) untuk pengaruh ransum perlakuan. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat. BK (Bahan Kering); PK (Protein Kasar); SK (Serat Kasar); NDF (Neutral Detergent Fiber); DE (Digestible Energy); IVDMD (In Vitro Dry Matter Degradibility) & IVOMD (In vitro Organic Matter Degradibility) dengan inokulum domba fistula.

Kecernaan bahan kering (KCBK) antar perlakuan terlihat tidak signifikan (P>0.05). Domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon memiliki KCBK yang rendah dibandingkan dengan domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok. Kecernaan protein juga rendah pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon. Namun demikian konversi protein yang dikonsumsi (terserap) menjadi protein tubuh bila dihitung domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon (0.88 g protein/ g bobot hidup) lebih efisien dibandingkan dengan domba yang diberi ransum kontrol (yakni 0.96 g protein/ g bobot hidup).

Daya kerja CRM terlihat tinggi pada kecernaan serat kasar dan NDF pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon. Tingginya kecernaan

(17)

NDF serupa dengan Pen et al. (2007) menggunakan tumbuhan Quillaja yang mengandung saponin. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan populasi protozoa dan peningkatan populasi bakteri (Pen et al. 2007). Kecernaan serat kasar yang tinggi menguntungkan bagi peternak yang memiliki pakan atau ransum dengan kandungan serat kasar yang tinggi sehingga dapat meningkatkan PBBH dan FCR. Energi yang dicerna oleh domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon terlihat tinggi sehingga energi yang dihasilkan pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon menjadi rendah. Kecernaan nutrien berdasarkan studi Patra dan Saxena (2010) tidak terpengaruh oleh pengaruh panambahan saponin dari ekstrak tumbuhan PSM (plant secondary metabolite).

Laju Produksi Gas Metana terhadap Pengaruh CRM dan Cassapon

Laju produksi gas yang disuplementasi oleh CRM dan cassapon terlihat lebih reaktif pada gas metana, karbondioksida, dan total gas (Tabel 17 dan Gambar 11). Secara berurutan penurunan laju produksi adalah domba yang diberi ransum kontrol, domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok, domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon. Rendahnya laju produksi dan penurunan proporsi produksi gas metana merupakan indikasi bahwa ransum yang diberi suplementasi CRM dan cassapon bekerja efektif. penambahan faktor pertumbuhan bakteri, reduksi karbondioksida dari bakteri asetogenik Asetoanaerobium notrae, dan peran defaunasi oleh senyawa saponin buah lerak, legum Albizia falcutaria dan Sesbania grandiflora menyebabkan hasil produksi metana yang rendah dan laju produksi gas yang sesuai dengan yang diharapkan.

Kecepatan produksi gas yang tinggi juga dipengaruhi oleh banyaknya karbohidrat yang difermentasi sehingga nilai persentase asetat terhadap VFA total tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai persentase asetat/VFA total pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon yang tertinggi

(18)

dibandingkan dengan domba yang diberi ransum lain (Tabel 20) sehingga laju produksi tinggi (Tabel 17).

Studi Thalib (2008) terhadap penggunaan kultur isolat bakteri asetogen Asetobacterium woodii + faktor pertumbuhan mikroba (FPM) + defaunator menghasilkan jumlah produksi gas yang tinggi dibandingkan dengan kontrol (cairan rumen domba fistula dengan pakan rumput gajah dan konsentrat). Selain itu, setiap penambahan masing-masing unsur FPM, saponin, dan bakteri asetogen akan menambah jumlah produksi gas total namun secara spontan mengurangi persentase gas metana terhadap gas total.

Laju produksi gas mendeskripsikan daya rombak atau kemampuan mendegradasi substrat pakan dalam rumen oleh bakteri rumen. Laju produksi gas dari masing-masing domba perlakuan secara berurutan menurun pada domba yang diberi ransum kontrol, domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok, domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM, dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon untuk keseluruhan jenis gas fermentasi rumen yang disajikan pada Tabel 17). Reaktifnya laju produksi akan menyebabkan tingginya gas yang diproduksi. Laju produksi yang rendah merupakan indikator peran bakteri homoasetogenik untuk mereduksi CO2 atau penggunaan hidrogen pada reaksi stoikiometeri metanogenesis dan

peran senyawa saponin untuk menurunkan metanogen.

Tabel 17 Laju produksi gas hasil fermentasi inokulum domba fistula

Jenis Gas Ransum Laju Produksi (ml/jam) Persamaan

%CH4 A 0.357 Y = 12.20 + 13.65 [1-EXP(-0.3507 t)] B 0.309 Y = 0.97 + 22.12 [1-EXP(-0.3090 t)] C 0.334 Y = 2.12 + 22.11 [1-EXP(-0.3344 t)] D 0.191 Y = 9.26 + 14.70 [1-EXP(-0.1919 t)] CO2 A 0.165 Y = 1.34 + 29.22 [1-EXP(-0.1648 t)] B 0.099 Y = 9.99 + 28.32 [1-EXP(-0.0998 t)] C 0.120 Y = 4.88 + 28.55 [1-EXP(-0.1201 t)] D 0.113 Y = 5.08 + 29.47 [1-EXP(-0.1135 t)] Total A 0.171 Y = -0.68 + 41.30 [1-EXP(-0.1716 t)] B 0.113 Y = 8.54 + 40.21 [1-EXP(-0.1134 t)] C 0.138 Y = 2.22 + 40.67 [1-EXP(-0.1380 t)] D 0.118 Y = 3.69 + 40.93 [1-EXP(-0.1187 t)]

Keterangan: Laju produksi berdasarkan persamaan Y = a+b(1-ect) (McDonalds 1981). Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

(19)

Ekosistem Rumen terhadap Perlakuan CRM dan Cassapon

Efektivitas Cassapon terhadap Protozoa Rumen

Cassapon merupakan formulasi pakan komersial Balitnak yang merupakan gabungan antara perlakuan CRM dan onggok. Thalib et al. (2010) menyatakan bahwa defaunasi pada protozoa karena CRM mengandung senyawa saponin yang terdapat pada sediaan buah rerak (Sapindus rarak) berupa giling maupun ekstrak dan tambahan daun leguminosa Sesbania sp. dan Albizia sp dengan kandungan saponin masing-masing berturut-turut 8.4% dan 12.96%. Efektifitas cassapon sebagai defaunator protozoa disajikan pada Tabel 18. Salah satu fungsi saponin adalah menurunkan populasi protozoa dan secara tidak langsung menekan jumlah bakteri metanogen sehingga terjadinya penghambatan produksi gas metana (Patra & Saxena 2010). Sistem kerja saponin selain menurunkan jumlah protozoa juga melisiskan gen pembentuk produksi gas metana pada bakteri metanogen secara langsung tanpa mengurangi populasi bakteri metanogen sehingga produksi gas metana berkurang (Guo et al. 2008).

Peran cassapon sebagai dafaunator sangat terlihat menurunkan populasi protozoa (Tabel 18). Cassapon 40 adalah cassapon yang digunakan dalam ransum percobaan ini. Penggunaan cassapon 40 dalam percobaan sangat efektif karena antara cassapon 40, 50, 60 dan 70 tidak berbeda nyata (P>0.05). Terlihat cassapon 40 efektif mendefaunasi protozoa 32% dibandingkan cassapon tanpa CRM. Rata-rata penurunan seluruh tipe cassapon adalah 38.85%. Penggunaan cassapon 40 tepat karena secara statistika tidak berbeda nyata dengan jenis cassapon 50, 60, dan 70.

Tabel 18 Populasi protozoa yang didefaunasi oleh Cassapon secara in vitro

Tipe Cassapon Protozoa (1 x 106)

Cassapon 0 (100% Onggok) 1.30±0.13bc Cassapon 10 (90% Onggok + 10% CRM) 1.92±0.13a Cassapon 20 (80% Onggok + 20% CRM) 1.42±0.19b Cassapon 30 (70% Onggok + 30% CRM) 1.12±0.15cd Cassapon 40 (60% Onggok + 40% CRM) 0.88±0.10d Cassapon 50 (50% Onggok + 50% CRM) 0.92±0.08d Cassapon 60 (40% Onggok + 60% CRM) 0.85±0.05d Cassapon 70 (30% Onggok + 70% CRM) 0.75±0.13d

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P<0.05). Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% Cassapon dalam konsentrat.

(20)

Populasi Bakteri, Protozoa dan VFA

Populasi bakteri rumen tidak selalu mengikuti peranan populasi protozoa karena peran saponin berdasarkan banyak studi menghasilkan keragaman populasi bakteri akibat defaunasi bergantung pada dosis dan jenis saponin serta adaptasi bakteri terhadap pakan (mengandung saponin) yang diberikan (Patra & Saxena 2010). Populasi protozoa pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM nyata lebih rendah dibandingkan dengan domba kontrol (P<0.05). Populasi bakteri mengikuti dafaunasi saponin terhadap protozoa yang nyata semakin rendah pada domba perlakuan C dan D (P<0.05). Identifikasi rumen tidak dilakukan pada penelitian ini sehingga secara pasti tidak mengetahui apakah jumlah bakteri metanogen yang turun dalam jumlah besar juga diikuti turunnya populasi bakteri yang lain.

Peran penambahan bakteri asetogen atau lebih tepat dinamakan bakteri homoasetogenik yang berperan sebagai katalis reduksi karbondioksida menjadi asetat sehingga produksi gas metana oleh bakteri metanogen berkurang, belum dapat menambah jumlah bakteri dalam rumen (Tabel 19). Jika bakteri asetogen, faktor pertumbuhan mikroba, dan sumber energi dari onggok yang didesain sesuai dengan diharapkan maka kemungkinan jumlah bakteri akan lebih tinggi pada rumen domba yang diberi ransum D. Namun, dalam penelitian ini didapatkan bahwa jumlah bakteri rendah pada rumen domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon. Rendahnya bakteri rumen domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM dan cassapon diduga oleh beberapa hal berikut: (1) adanya sifat resistensi bakteri metanogen terhadap perlakuan ransum Tabel 19 Populasi bakteri, protozoa, ATP dan biomassa bakteri rumen

menggunakan inokulum domba perlakuan secara in vivo

Peubah Jenis Ransum

A B C D

Protozoa (106 sel/ml) 2,78±0.13a 2.04±0.21b 2.00±0.77b 1.34±0.09b Total bakteri (1010 cfu/ml) 2.94±0.61a 1.91±0.14b 1.59±0.08c 1.49±0.11c Produksi ATP bakteri (mol)* 0.19±0.02a 0.19±0.01a 0.16±0.01b 0.15±0.01b Biomassa bakteri (g)* 1.94±0.18a 1.99±0.14a 1.65±0.15b 1.48±0.10b Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P<0.05); *berdasarkan

perhitungan (Owens & Goetsch 1988; Widiawati & Thalib 2009). Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

(21)

yang diberikan sehingga bakteri tidak signifikan meningkat dan gas metana tidak sepenuhnya termitigasi, (2) dosis saponin pada buah rerak dan legume Albizia falcutaria dan Sesbania grandiflora yang terlalu tinggi sehingga timbul efek keracunan berlebih pada bakteri rumen lainnya, dan (3) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bakteri asetogen, faktor pertumbuhan mikroba, dan sumber energi dari onggok belum dapat bekerja maksimal.

Sinkronisasi antara protozoa yang didafaunasi dengan peningkatan jumlah bakteri rumen tidak selalu konsisten. Studi Hess et al. (2004) bahwa penggunaan saponin pada buah Sapindus saponaria (dosis saponin 5g/kg BB0.75) secara in vivo pada domba selama 21 hari menghasilkan peningkatan jumlah bakteri metanogen, penurunan protozoa, total VFA, dan kecernaan. Selanjutnya pada buah Pithecellobium saman (dosis saponin 17 g/kg pakan) dan Enterolobium cyclocarpum (dosis saponin 19 g/kg pakan) dengan metode Rusitec selama 10 hari memberikan hasil peningkatan protozoa sebesar 54% dan pengaruh yang tidak nyata pada total VFA dan kecernaan nutrien (Hess et al. 2003). Pen et al. (2007) menambahkan bahwa ekstrak Quillaja saponaria (dosis saponin 5-7%) yang diberikan kepada domba secara in vivo selama 18 hari tidak mempengaruhi jumlah protozoa, total VFA, kecernaan nutrien dan rasio asetat propionat. Peran adaptasi bakteri rumen terhadap durasi penelitian dan dosis saponin akan sangat mempengaruhi ekosistem rumen (jumlah protozoa, bakteri rumen, VFA).

Produksi ATP dan biomassa bakteri dihitung dengan komposisi asetat, propionat, dan butirat menurut rumusan Owens dan Goetsch (1988) dan Widiawati dan Thalib (2009). Hasil produksi ATP dan biomassa bakteri mengikuti populasi bakteri yang terbentuk. ATP merupakan senyawa yang berguna sebagai energi bagi bakteri. Jumlah bakteri yang besar berarti memiliki biomassa bakteri yang besar sehingga menghasilkan ATP yang lebih besar.

Sementara itu, hasil pengukuran pH rumen, N-NH3, dan produk akhir

fermentasi di rumen berupa VFA atau asam lemak terbang diperlihatkan pada Tabel 20. Cairan rumen pada semua perlakuan memiliki pH yang berada pada kisaran angka optimum untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen senilai 6-7. Derajat keasaman atau pH mendekati nilai netral dan berada pada nilai normal.

(22)

Kadar ammonia atau N-NH3 berada dalam kisaran yang normal adalah 6-21

mM (Mc Donald et al. 2002) dan 3-14.5 mM (Mc Donald et al. 1995) merupakan nilai ammonia untuk pertumbuhan bakteri yang optimum. Thalib et al. (2000) menyatakan bahwa kandungan amonia berhubungan dengan degradasi substrat yang mengandung protein. Protein akan didegradasi oleh enzim proteolitik yang dihasilkan bakteri menjadi peptida dan asam-asam amino. Asam amino mengalami deaminasi dan menghasilkan ammonia. Ammonia digunakan bakteri untuk mensintesis protein selnya. Nilai N-NH3 rumen domba percobaan yang

disajikan pada Tabel 20 berada dalam kisaran normal (6.54-8.07 mM) dan tidak berbeda nyata (P>0.05). Nilai ammonia menunjukkan kandungan yang sangat mencukupi untuk kebutuhan kandungan bakteri. Konsumsi protein akan berkorelasi dengan kandungan N-NH3 dengan nilai korelasi nyata positip sebesar

0.563 (P<0.05), data perhitungan korelasi ditampilkan pada Lampiran 24.

Konsumsi protein tertinggi terdapat pada domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dengan nilai yang relatif sama yaitu 78 g BK/ekor/hari (Tabel 20) dan berbanding lurus dengan kandungan nilai ammonia. Namun, protein yang dicerna berdasarkan kecernaan protein kasar pada Tabel 16 belum dapat tercerna dengan baik secara deskriptif pada domba percobaan yang disuplementasi CRM dan cassapon. Nilai N-NH3

Tabel 20 Nilai pH, N-NH3 dan VFA in vivo inokulum domba percobaan

Peubah Jenis Ransum

A B C D pH cairan rumen 6.70±0.06a 6.49±0.15b 6.58±0.11ab 6.62±0.08ab N-amonia (mM) 8.07± 2.52 7.55±2.01 7.67±1.42 6.54±0.55 VFA total (mM) 76.75±6.81a 78.09±4.95a 65.41±5.59b 59.41±4.13b Asetat (mM) 48.38±4.12a 49.84±2.59a 40.73±3.76b 38.03±2.60b Propionat (mM) 17.45±3.33ab 16.21±2.90a 14.76±2.02ab 12.07±0.59b nButirat (mM) 7.39±0.66ab 8.72±1.00a 6.59±0.39bc 5.49±1.62c IButirat (mM) 1.46±0.11a 1.43±0.21a 1.43±0.09a 1.77±0.32b nValerat (mM) 0.50 nd nd nd IValerat (mM) 1.94± 0.05 1.90±0.15 1.89± 0.12 2.04± 0.22 C2/Total (%) 63.11±3.19 63.87±2.17 62.26±1.55 64.04±1.84 C3/Total (%) 22.65±2.80 20.69±2.76 22.52±1.77 20.34±0.82 i-C (mM) 3.41± 0.14 3.33± 0.36 3.32±0.21 3.81±0.54 C2 : C3 2.83±0.45 3.14±0.51 2.78±0.27 3.15±0.09

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata pada taraf nyata 5% (P<0.05); nd = tidak terdeteksi; i-C = IC4 + IC5. Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

(23)

pada Tabel 20 yang didapat berbanding lurus pada N urea darah yang disajikan pada Tabel 12.

VFA (Volatile Fatty Acid) atau asam lemak terbang merupakan salah satu sumber energi bagi bakteri rumen yang dihasilkan bakteri dari fermentasi pakan yang mengandung karbohidrat. Sumber VFA yang potensial untuk energi bagi bakteri adalah asam-asam asetat, propionat, dan butirat. Nilai VFA pada Tabel 20 nyata rendah pada ransum yang disuplementasi CRM dan ransum yang disuplementasi cassapon dibandingkan dengan ransum kontrol dan ransum yang disuplementasi cassapon (P<0.05). Nilai VFA total in vivo pada Tabel 20 dan in vitro pada Tabel 21 berbanding lurus dengan jumlah bakteri rumen pada Tabel 19. Domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang disuplai onggok dengan VFA yang lebih tinggi akan mendapatkan sumber energi yang lebih baik dibandingkan dengan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon. Hal ini diduga karena bakteri homoasetogenik dan faktor pertumbuhan mikroba yang merupakan unsur dari kandungan CRM dan cassapon belum dapat bekerja secara maksimal untuk mempertahankan bakteri rumen non metanogen sehingga dapat mensintesis VFA lebih banyak.

Nilai VFA total pada Tabel 20 seirama dengan nilai jumlah mol asetat dan jumlah mol propionat (P<0.05). Tingginya VFA total pada ransum kontrol berbanding lurus dengan tingginya konsumsi protein pada domba yang diberi ransum kontrol (Tabel 15). Namun, rasio asetat atau propionat pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon tidak berbeda dengan domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran cassapon (P>0.05). Hal yang sama juga terjadi pada persentase nilai asetat yang tidak berbeda antar perlakuan ransum pada kisaran nilai 62-63%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sediaan kultur bakteri Acetoanaerobium noterae belum dapat bekerja maksimal dalam menggunakan CO2 dan H2 membentuk

asetat menurut jalur reaksi Ljungdahl (1986): 2CO2 + 4H2  CH3COOH + 2H2O.

VFA bercabang atau iso VFA (I-Cn) pada Tabel 20 memperlihatkan hasil

(24)

VFA bercabang secara in vitro memperlihatkan hasil yang sama dengan in vivo dengan kisaran nilai 2.26-2.62 mM. Asam lemak terbang bercabang ini merupakan salah satu indikator untuk bakteri selulolitik tumbuh dan berkembang dengan baik. Bakteri selulolitik memerlukan asam lemak terbang bercabang sebagai nutrien untuk biosintesis asam amino.

Patra dan Saxena (2010) membahas berbagai literatur (review) peran saponin yang berasal dari tumbuhan (plant secondary metabolite atau PSM) untuk menurunkan produksi gas metana hubungannya dengan penurunan bakteri metanogen. Beberapa kesimpulan yang didapat oleh Patra dan Saxena (2010) adalah peningkatan total VFA, penurunan rasio asetat propionat, dan peningkatan proporsi propionat terjadi akibat kerja senyawa saponin oleh PSM. Namun, pola total VFA, rasio asetat propionat dan proporsi propionat beragam. Banyak dijumpai hasil studi total VFA, rasio asetat propionat, dan proporsi propionat tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan yang nyata pada produksi gas metana.

Penelitian ini menghasilkan pengaruh nyata penurunan rasio asetat propionat, total VFA dan proporsi propionat yang tidak berbeda nyata. Sehingga terjadi penurunan gas metana berdasarkan perhitungan VFA Peranan penambahan bakteri asetogenik dan saponin untuk merubah stoikiometri penghasil metana menjadi propionat belum dapat bekerja secara maksimal. Hal ini terlihat dari jumlah proporsi propionat yang tidak nyata antara domba perlakuan (P>0.05). Produksi Gas Metana

Gas hasil fermentasi yang dihasilkan secara enterik pada domba berupa CH4

atau metana dihitung dengan menggunakan perhitungan stoikiometri asam lemak terbang atau VFA dengan inokulum dari rumen domba percobaan in vivo. Perhitungan menghasilkan bahwa gas CH4 yang diproduksi secara in vivo oleh

domba perlakuan CRM dan cassapon nyata lebih rendah dibandingkan dengan domba yang diberi ransum kontrol dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi campuran onggok yang ditampilkan pada Tabel 21 (P<0.05). Hal ini memperlihatkan bahwa peran kerja saponin dalam menurunkan gas CH4 dengan

(25)

Tabel 21 Produksi gas CH4 dengan menggunakan perhitungan stoikiometri VFA

Jenis Gas Bangsa Jenis Ransum Rataan

A B C D

CH4 (mM) KS 24.73±2.31 24.75±2.88 21.38±0.39 17.93±0.95 22.19±3.34 BC 22.32±1.43 25.70±0.29 18.55±0.54 19.56±1.85 21.53±3.10 Rataan 23.52± 2.09a 25.23±1.76a 19.97±1.67b 18.75±1.53b

Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama. berbeda nyata pada taraf nyata 5% (P<0.05); Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

cara defaunasi protzoa rumen terlihat efektif. Penelitian sebelumnya tentang peran CRM dalam mitigasi produksi gas metana telah berhasil menurunkan gas metana sebesar 24% pada domba jantan pasca sapih (Thalib et al. 2010), percobaan lain dengan menggunakan Acetoanaerobium noterae ditambah dengan campuran Sapindus rarak dengan metanol telah berhasil menurunkan gas metana sebesar 15 dan 20% (Thalib & Widiawati 2008), dan pada percobaan terpisah lainya yaitu pada penggunaan saponin ekstrak buah Sapindus rarak dengan metanol secara in vitro telah berhasil menurunkan produksi gas metana sebesar 31% (Thalib 2004).

Kemampuan senyawa saponin dalam menurunkan gas metana adalah dengan cara menurunkan jumlah populasi protozoa didalam rumen sehingga bakteri metanogen yang bersiombiosis pada protozoa ikut mati atau turun jumlahnya. Senyawa saponin merupakan kelompok glikosida dengan bobot molekular tinggi atau bersifat steroid menurunkan jumlah protozoa dengan cara melisiskan sel membran protozoa (Jayanegara 2008). Menurut Guo et al. (2008) kerja saponin dalam menurunkan produksi gas metana dapat melalui mekanisme pengurangan produksi gas metana oleh gen yang memproduksi gas metana pada bakteri metanogen didalam rumen. Sehingga saponin dapat mempengaruhi kerja gen yang memproduksi gas metana pada bakteri metanogen tanpa mengurangi populasinya.

Penurunan produksi gas metana berdasarkan perhitungan VFA dengan inokulum domba percobaan nyata menurunkan produksi gas metana sebesar 20.28% untuk domba yang diberi ransum dengan suplementasi cassapon dan 15.09% untuk domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM berdasarkan perhitungan pada Tabel 21. Penurunan gas metana tersebut seirama dengan penurunan jumlah protozoa sebesar 50.36% untuk domba yang diberi ransum

(26)

dengan suplementasi cassapon dan 28.06% untuk domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM. Korelasi antara populasi protozoa rumen nyata dengan produksi gas metana domba percobaan dan negatif dengan nilai -0.69 (lampiran 26).

Perhitungan H2 recovery menurut persamaan Van Nevel dan Demeyer

(1995) pada domba perlakuan studi dari nilai VFA rumen domba perlakuan adalah tidak nyata dengan nilai rataan 91.17% (H2 released 131.89 mol/L dan H2

accepted 120.26 mol/L). Hal ini menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap keseimbangan antara hidrogen yang diproduksi dan hidrogen yang digunakan selama fermentasi makromolekul berlangsung. Nilai H2

recovery akan rendah bila terjadi pemakaian hidrogen untuk mereduksi karbondioksida oleh bakteri asetogenik Acetoanaerobium noterae. Nilai H2

recovery untuk domba yang disuplai CRM dan cassapon secara deskriptif memiliki nilai yang rendah dibandingkan dengan domba dengan ransum kontrol (lampiran 27). Penelitian ini telah terlihat pola kerja bakteri asetogenik yang maksimal karena pada domba yang disuplai CRM dan cassapon diasumsikan memiliki nilai metanogen yang rendah sehingga terjadi penurunan gas metana enterik pada Tabel 21.

Penurunan gas CH4 berkaitan dengan penurunan nilai molar asam asetat

pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM dan domba yang diberi ransum dengan suplementasi cassapon pada Tabel 21 dan 22 menurut reaksi A dan B berikut (Thalib 2008):

CO2 + 4H2  CH4 + 2H2O ΔG° = -32.75 KJ/mol H2 (reaksi A)

2CO2 + 4H2  CH3COOH + 2H2O ΔG° = -15.75 KJ/mol H2 (reaksi B)

Penurunan gas metana pada domba yang suplementasi dengan CRM dan cassapon belum mampu meningkatkan nilai VFA total. Hasil tersebut diduga karena tiga hal: (1) pemberian faktor pertumbuhan atau stimulator mikroba (FPM) yang digunakan untuk meningkatkan aktifitas bakteri selulolitik pada rumen domba belum bekerja secara maksimal; (2) jenis protozoa yang didefaunasi pada percobaan ini diduga merupakan tipe dengan kategori predasi lemah terhadap bakteri rumen, hal tersebut berkaitan dengan sifat predasi atau membunuh bakteri rumen oleh protozoa; dan (3) bakteri metanogen tidak banyak berkurang akibat

(27)

defaunasi yang dilakukan sehingga jumlah bakteri rumen pada domba yang disuplementasi CRM dan cassapon rendah dan menghasilkan VFA yang rendah.

Perbedaan jenis bangsa domba antara domba komposit sumatera dengan domba barbados menghasilkan nilai gas metana dengan kisaran nilai yang sama pada Tabel 21 (P>0.05). Bangsa domba persilangan barbados (BC) merupakan salah satu tahapan dalam pembentukan domba komposit sumatera yang ditampilkan pada gambar 2 dan gambar 5. Hubungan darah atau genetika yang dekat tersebut diduga memberikan suatu pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi gas metana masing-masing bangsa domba. Budle et al. (2010) menyatakan bahwa penurunan sifat atau nilai heritabilitas produksi gas metana ternak adalah 0.29. Menurut Haryanto dan Thalib (2009) bahwa pengaruh bangsa ternak terhadap perbedaan produksi gas metana karena perbedaan efektifitas pencernaan pakan yang dipengaruhi oleh perbedaan komposisi dan populasi mikroba dalam rumen.

Percobaan in vitro pada Tabel 22 dengan menggunakan inokulum domba fistula menghasilkan produksi gas metana domba perlakuan CRM dan cassapon lebih rendah dibandingkan dengan domba perlakuan kontrol (P<0.05). Domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM menghasilkan persentase penurunan gas metana sebesar 8.89% dan untuk domba yang diberi ransum dengan suplementasi cassapon menghasilkan persentase penurunan gas metana sebesar 12.13%.

Penambahan onggok pada ransum yang disuplementasi cassapon berperan lebih dalam hal menurunkan produksi gas metana dibandingkan dengan ransum yang hanya disuplementasi CRM yang disajikan pada Tabel 22 (P<0.05). Keterpaduan kinerja kandungan senyawa saponin, bakteri asetogenik, dan FPM Tabel 22 Produksi gas hasil fermentasi rumen secara in vitro dengan

menggunakan inokulum domba fistula

Peubah Jenis Ransum

A B C D

CH4 (% v/v) 24.40±2.93a 20.93±0.96b 22.23±0.97ab 21.44±0.52b Keterangan : Nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata pada taraf nyata 5%

(P<0.05); Perlakuan A = kontrol (konsentrat 16% protein + rumput gajah); B = K + 5% onggok dalam konsentrat; C = K + 2% CRM dalam konsentrat; dan D = K + 5% cassapon dalam konsentrat.

(28)

lebih ditingkatkan dengan penambahan onggok sebagai substrat bagi konsorsium mikroba selulolitik untuk produksi enzim selulosa sehingga bakteri rumen diharapkan berkembang lebih baik.

Penurunan produksi gas metana ini diikuti dengan penurunan laju produksi gas yang sebelumnya telah dijelaskan pada Tabel 17. Kemampuan bakteri rumen dalam mendegradasi substrat akan menentukan tingginya laju produksi gas yang dihasilkan. Laju produksi gas total, CO2 dan CH4 memiliki nilai yang menurun

secara berurutan adalah domba yang diberi ransum kontrol, suplementasi onggok, suplementasi CRM, dan suplementasi cassapon.

Percobaan in vitro dengan menggunakan inokulum domba fistula meneguhkan hasil pada percobaan in vivo dengan menggunakan perhitungan stoikiometri VFA untuk produksi gas metana. Kemampuan cassapon dalam menurunkan produksi gas metana baik in vivo dan in vitro dinilai lebih unggul bila dibandingkan dengan ransum yang disuplementasi CRM. Deskripsi penurunan gas metana pada domba yang diberi ransum dengan suplementasi CRM dan cassapon ditampilkan pada Gambar 11.

(29)

Gambar 11 Produksi (a) gas CH4; (b) gas CO2; dan (c) gas total dengan

menggunakan inokulum domba fistula secara in vitro . Perlakuan A = kontrol ( ); perlakuan B = suplementasi onggok ( ); perlakuan C = suplementasi CRM ( ); perlakuan D = suplementasi cassapon ( ) 0 10 20 30 40 50 60 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Vo lum e g a s to ta l (m l)

Waktu inkubasi (jam)

(a) (b) (c) 0 2 4 6 8 10 12 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Vo lu m e G a s CH ( m l)

Waktu Inkubasi (jam)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Vo lu m e g a s CO (m l)

Waktu inkubasi (jam)

(b)

4

(30)

Pembahasan Umum

Peranan CRM dan Cassapon Terhadap Mitigasi Gas Metana, Produktifitas, dan Status Fisiologis pada Domba Komposit dan Persilangan Barbados

Kandungan senyawa saponin, faktor pertumbuhan mikroba (FPM), dan tambahan sediaan bakteri asetogenik Acetanoanaerobium noterae pada CRM dan cassapon dengan tambahan onggok sebagai substrat bagi konsorsium mikroba selulolitik untuk produksi enzim selulosa telah mampu menurunkan jumlah populasi protozoa rumen. Penurunan jumlah protozoa rumen diikuti secara optimal untuk terjadinya mitigasi gas metana pada domba betina komposit sumatera dan persilangan barbados. Penurunan gas metana terlihat nyata pada skala in vivo dengan menggunakan perhitungan stoikiometri VFA dan in vitro dengan menggunakan inokulum domba fistula. Hasil H2 recovery secara deskriptif

rendah pada domba percobaan yang diberi ransum dengan suplementasi CRM dan cassapon. Kemampuan kerja CRM dan Cassapon dalam menurunkan protozoa dan gas metana ditampilkan pada Tabel 23.

Jumlah bakteri rumen tidak ikut meningkat diduga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) jenis protozoa yang didefaunasi pada lingkungan rumen domba percobaan mungkin memiliki tipe predasi yang lemah terhadap metanogen; (2) senyawa saponin tidak mengurangi jumlah populasi metanogen tetapi hanya merusak gen yang memproduksi gas metana pada metanogen; (3) saponin menyebabkan bakteri metanogen resisten sehingga populasinya tidak berkurang; (4) dosis saponin yang terlalu tinggi sehingga bakteri rumen selain metanogen ikut lisis; dan (5) kerja bakteri asetogenik kurang maksimal terlihat dari nilai H2 recovery yang tidak berbeda nyata antara domba percobaan dan nilai

asetat yang rendah pada domba percobaan yang disuplementasi CRM dan cassapon.

Tabel 23 Kerja CRM dan cassapon terhadap penurunan protozoa dan gas CH4

Suplementasi Penurunan CH4 (%) Penurunan protozoa (%) In vivo In vitro In vivo

CRM 15.09 8.89 28.06

(31)

Populasi bakteri rumen yang rendah pada domba percobaan yang disuplementasi CRM dan cassapon mengakibatkan jumlah pakan yang terfermentasi sedikit. Rendahnya pakan yang terfermentasi dapat dilihat dari indikator nilai kecernaan dan VFA yang rendah pada domba KS dan BC yang disuplementasi ransum CRM dan cassapon dibandingkan dengan domba KS dan BC pada pemberian ransum kontrol dan pemberian campuran onggok. Rendahnya nilai kecernaan dan VFA tersebut diduga menyebabkan PBBH memiliki nilai yang sama pada seluruh domba perlakuan KS dan BC. Selain itu, nilai konversi pakan dan komposisi tubuh (air, lemak dan protein tubuh) juga berada dalam kisaran nilai yang sama pada seluruh domba perlakuan KS dan BC.

Lingkungan kandang Balitnak-Ciawi yang nyaman memudahkan untuk menguji pengaruh ransum yang disuplementasi CRM dan cassapon terhadap respons fisiologis. Respons fisiologis pada domba betina KS dan BC menghasilkan nilai normal dan nyaman untuk seluruh peubah aspek fisiologis (laju respirasi, denyut jantung, suhu rektal, suhu kulit, kadar N-NH3, dan kadar

N-urea darah). Apabila uji ransum CRM dan cassapon dilakukan menghasilkan respons fisiologis yang tidak normal maka hal itu bukan merupakan pengaruh ransum yang diberikan, melainkan dari pengaruh selain ransum yaitu: iklim mikro, cuaca, dll.

Gambar

Tabel 9 Laju respirasi domba KS dan BC pada pagi dan siang hari
Tabel 10 Laju denyut jantung domba KS dan BC pada pagi dan siang hari
Tabel 11 Suhu rektal dan suhu kulit domba KS dan BC pada pagi dan siang hari
Tabel 12 Kadar N-urea pada darah dan kadar N-NH 3  pada rumen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) Informasi rasio keuangan tahun 2001 bermanfaat atau dapat digunakan untuk memprediksi perubahan laba tahun 2002 dan H1 diterima..

(3) Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi metode analisis yang digunakan pada larutan alpha arbutin.. menggunakan

Hasil penelitian Sumartini (2010) menunjukkan bahwa setelah diberikan coaching oleh kepala ruang maka perawat primer yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik,

Pelanggaran Etika Kepribadian Yang Dilakukan Oleh Anggota Polisi Di Polsek Rangsang Kepulauan Meranti Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 (Studi

Pada aspek kegiatan awal, tiga indikator mendapat skor 1, yakni indikator siswa memperhatikan penjelasan guru tentang tujuan pembelajaran membaca pemahaman tentang

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan metode Admiralty data pasang surut lapangan menunjukan bahwa nilai K1 yang merupakan pasang surut diurnal yang

Pelaksana pengabdian kepada masyarakat memberikan bantuan Kelompok binaan P2WKSS (Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera) untuk melakukan

[r]