ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN BANYUWANGI, KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN MADIUN,
SERTA KABUPATEN TUBAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
J ur usan Ekonomi Pembangunan
Oleh :
Ardhana Nikwari 1011010037/FE/IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SKRIPSI
ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN BANYUWANGI, KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN MADIUN
SERTA KABUPATEN TUBAN
Disusun Oleh :
Ardhana Nikwari NPM 1011010037
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima
oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada Tanggal : 14 Maret 2014
Pembimbing : Tim Penguji :
Pembimbing Utama Ketua
Pr of. Dr. Syamsul Huda, SE, MT Pr of. Dr. Syamsul Huda, SE, MT
Sekertaris
Dra. Ec. Niniek Imaningsih, MP Anggota
Dr. Ec. Wiwin Priana, MT
Mengetahui
Dekan Fakultas Ekonomi
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan mengambil judul:
“Analisis Tingkat Kemandirian Keuangan Di Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar Dan Kabupaten Madiun Serta Kabupaten
Tuban”.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dengan maksud untuk melengkapi
persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar sarjana ekonomi pada
jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta
pengarahan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti dengan
kerendahan hati yang tulus ikhlas mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada banyak pihak, yaitu :
1. Bapak Pr of. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah memberikan
banyak bantuan berupa sarana fasilitas dan perijinan guna pelaksanaan skripsi
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, SE, MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Ec. Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Pr of. Dr. Syamsul Huda, SE, MT selaku dosen pembimbing dan
dosen wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu dosen serta staf karyawan Fakultas Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah dengan ikhlas
memberikan banyak ilmu pengetahuannya selama masa perkuliahan dan
pelayanan akademik bagi peneliti.
6. Secara khusus saya persembahkan kepada kedua orangtua yang sangat saya
sayangi. Romo dan Ibu. Terimakasih buat semua kasih sayang, doa,
pengorbanan dan semangat yang telah diberikan.
7. Kepada suami dan putra saya yang sangat sayangi. Terimaksih telah menjadi
penyemangat saya dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada para teman-teman saya angkatan 2010 khususnya yang
telah memberi semangat dan dukungan kepada saya yang telah mengerjakan
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
demikian skripsi ini diusahakan sesuai dengan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dan semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi yang membutuhkan serta bagi pembaca untukpenelitian
selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Surabaya, Maret 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iv
Daftar Tabel ... ix
Daftar Gambar ... xi
Daftar Lampiran ... xii
Abstraksi ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJ AUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Penelitian terdahulu ... 8
2.2. Landasan Teori... 11
2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal ... 11
2.2.2.1. Definisi Otonomi Daerah ... 13
2.2.2.2. Tujuan Otonomi Daerah... 15
2.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ... 18
2.2.3.1. Pengertian dan Unsur-unsur APBD ... 18
2.2.3.2. Struktur APBD ... 19
2.2.4. Pendapatan Asli Daerah ... 19
2.2.4.1. Definisi Pendapatan Asli Daerah ... 19
2.2.4.2. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah ... 21
2.2.5. Dana Perimbangan ... 35
2.2.5.1. Dana Bagi Hasil ... 36
2.2.5.2. Dana Alokasi Umum (DAU) ... 36
2.2.5.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 39
2.3. Kerangka Pikir ... 40
2.4. Hipotesis ... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Definisi oprasional dan Pengukuran variabel ... 43
3.2.1. Jenis Dan Sumber Data ... 44
3.2.2. Pengumpulan Data ... 45
3.3. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ... 45
3.3.1. Indeks Desentralisasi Fiskal ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ... 50
4.1.1. Kabupaten Banyuwangi ... 50
4.1.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Banyuwangi ... 50
4.1.1.2. Kependudukan Kabupaten Banyuwangi ... 51
4.1.2. Kabupaten Blitar ... 52
4.1.2.1. Keadaan Geografis Kabupaten Blitar ... 52
4.1.2.2. Kependudukan Kabupaten Blitar ... 53
4.1.3. Kabupaten Madiun ... 53
4.1.3.1. Keadaan Geografis Kabupaten Madiun ... 53
4.1.3.2. Kependudukan Kabupaten Madiun ... 54
4.1.4. Kabupaten Tuban ... 55
4.1.4.2. Kependudukan Kabupaten Tuban ... 55
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 56
4.2.1. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi ... 56
4.2.2. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Blitar ... 57
4.2.3. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Madiun ... 58
4.2.4. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Tuban ... 59
4.3. Analisis Dan Pengujian Hipotesis ... 60
4.3.1. Uji Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal... 60
4.3.1.1. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar
Dan Kabupaten Madiun Serta Kabupaten Tuban
... . 60
4.3.1.2. Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
(BHPBP) Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar Dan Kabupaten Madiun
Serta Kabupaten Tuban... .. 64
4.3.1.3. Rasio Sumbangan Daerah (SD)
Kabupaten Banyuwangi,Kabupaten Blitar Dan
Kabupaten Madiun Serta Kabupaten Tuban
BAB V . KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 78
5.2. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
3.1. Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal... 51
3.2. Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah... ... 53
4.1. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi... ... 60
4.2. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Blitar... ... 61
4.3. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Madiun... ... 62
4.4. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Tuban... ... 63
4.5. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD, Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban Tahun 2009... ... 64
4.6. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD, Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban Tahun 2010... ... 66
4.7. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD, Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban Tahun 2011... ... 67
4.9. Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBH
terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal) Tahun 2010... 70
4.10.Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBH
terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal) Tahun 2011... 71
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi
Lampiran 2 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar
Lampiran 3 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Madiun
Lampiran 4 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.
Lampiran 5 : Rata-rata Rasio PAD Terhadap TPD, BHPBP Terhadap TPD dan
Rasio SD Terhadap TPD Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban.
Lampiran 6 : Sektor Pertanian Lumbung Kedelai Nasional Purwoharjo
Kabupaten Banyuwangi.
Lampiran 7 : Sektor Perdagangan Pasar Legi Kabupaten Blitar.
Lampiran 8 : Sektor Industri Brem Kabupaten Madiun.
ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN BANYUWANGI, KABUPATEN BILTAR DAN KABUPATEN MADIUN
SERTA KABUPATEN TUBAN
Oleh
Ardhana Nikwari
Abstraksi
Dalam melaksanakan otonomi daerah di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban diperlukan kemampuan untuk meningkatkan penerimaan sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam melaksanakan upaya peningkatan penerimaan daerah, perlu diadakan analisis potensi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), peningkatan terhadap Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), dan Sumbangan Daerah.
Agar dapat menopang penerimaan daerah digunakan suatu indikator untuk mengukur emampuan keuangan daerah tersebut. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD), rasio antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD), dan rasio Sumbangan Daerah (SD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD). Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah PAD, BHPBP, SD, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban. Teknik analisa yang digunakan yaitu Indeks Desentralisasi Fiskal, sedangkan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan BPS (Badan Pusat Statistik).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dengan perhitungan Indeks Desentralisasi Fiskal menunjukkan hasil bahwa kondisi kemampuan keuangan daerah Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban masih belum mandiri karena peranan PAD dan juga BHPBP sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan bantuan dana dari pusat. Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban adalah pola hubungan intsruktif.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian
masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah
akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah
tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah (pemerintah daerah), yang
di kenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan,
potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. (Haryati, 2006 : 1)
Alasan-alasan yang menyebabkan lahirnya tuntutan tersebut. Adalah
pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah
dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Hal
tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga
pemerintahdaerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan,
membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan
datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas,
pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada
perdagangan internasional, informasi, serta transaksi keuangan (Mardiasmo, 2002
: 3-4).
Pembangunan Nasional harus dilaksanakan melihat berbagai potensi yang
ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat keterbatasan tenaga
yang profesional maupun dana yang tersedia maka Pembangunan Nasional
dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan jangka pendek, menengah, dan
jangka panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat
besar. Kondisi yang demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan
untuk lebih berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas Desentralisasi maka dalam rangka
melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna, dan berhasil guna maka
dibentuklah Daerah Otonomi (Anonim, 2004 : 8)
Otonomi bagi daerah mempunyai banyak tujuan, salah satunya adalah
guna menambah kelancaran pembangunan di daerah dan terciptanya suatu
kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan
hasil-hasilnya. Guna mewujudkan fenomena diatas satu hal yang harus dimiliki oleh
daerah yaitu kemampuandalam penyediaan pembiayaan pembangunan yang
konsepsi Otonomi Daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab karena
pada dasarnya yang hendak dibangun serta ditingkatkan adalah kekuatan
pembangunan dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam melaksanakan otonomi daerah di Kabupaten Banyuwangi dan
Kabupaten Madiun maka diperlukan kemampuan untuk meningkatkan
kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah
ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang sesuai dengan ketentuan yang
ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam
melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), perlu diadakan
analisis potensi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan peningkatan
terhadap Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak agar dapat menopang dari suatu
penerimaan daerah tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur
kemampuan keuangan daerah tersebut adalah indikator desentralisasi fiskal.
Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan
daerah.
Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan oleh karena secara
struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan
yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat.
Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pusat. Adapun
pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi Rp. 1.211.463.765,-. PAD
Kabupaten Blitar pada tahun 2009 sebesar Rp. 901.207.592,-, tahun 2010
mengalami peningkatan sebesar Rp. 928.965.249,-, PAD Kabupaten Blitar tahun
2011 mengalami peningkatan Rp. 1.118.580.455,-. Pada Kabupaten Madiun tahun
2009 PAD sebesar Rp. 638.594.835,-, pada tahun 2010 meningkat sebesar Rp.
683.032.120,-, kemudian pada tahun 2011 PAD meningkat menjadi Rp.
861.905.959,-. PAD Kabupaten Tuban tahun 2009 adalah Rp. 752.572.365,-, pada
tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar Rp. 821.582.427,-, pada tahun 2011
PAD Kabupaten Tuban juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 1.049.552.188,-.
(Anonim, 2011 : 515-544)
Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan
anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa
terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat
kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan melihatkemampuan atau
tingkat kemandirian daerah. Oleh karena itu untuk terciptanya kemandirian pada
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Madiun, pemerintah pusat memberikan
otonomi kepada pemerintahan daerah agar dapat menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri. Dengan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas sehingga pembangunan di daerah diarahkan agar lebih mendorong
daerah di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Madiun dalam masa otonomi
daerah. Oleh karena itu penulis mengambil judul Skripsi dengan judul “Analisis
Tingkat Kemandirian Keuangan di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar Dan Kabupaten Madiun Ser ta Kabupaten Tuban.”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikemukakan perumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah PAD (Pendapatan Asli Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban untuk menuju mandiri ?
2. Apakah BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dapat mendukung
Kabupaten banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta
Kabupaten Tuban untuk menuju mandiri ?
3. Apakah SD (Sumbangan Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban untuk menuju mandiri ?
4. Apakah indeks desentralisasi fiskal di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
1. Untuk mengetahui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat mendukung
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta
Kabupaten Tuban menjadi daerah yang mandiri.
2. Untuk mengetahui BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dapat
mendukung Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten
Madiun serta Kabupaten Tuban menjadi daerah yang mandiri.
3. Untuk mengetahui SD (Sumbangan Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban menjadi daerah yang mandiri.
4. Untuk mengetahui indeks desentralisasi fiskal di Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban sudah
mandiri.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan yang telah di kemukakan di
atas maka dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan otonomi daerah agar dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Serta masukan dalam rancangan
Banyuwangi, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Tuban serta Kabupaten
Blitar dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya yang berkaitan
dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Madiun, serta Kabupaten
Tuban, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang lain untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban.
3. Sebagai sumber atau bahan informasi bagi penelitian-penelitian yang
selanjutnya dan dapat memberikan manfaat yang berhubungan dengan
penelitian ini.
4. Sebagai bahan penerapan teori-teori yang diperoleh dari bangku kuliah
baik diperoleh secara langsung maupun tidak langsung serta dapat
membandingkan dengan kenyataan yang ada, khususnya yang
berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Ter dahulu
Dalam penelitian dan penulisan skripsi yang mana ada keterkaitan atau
hubungan dengan permasalahan keuangan daerah yang pernah dilakukan, berikut
ini yang dikemukakan dalam hasil penelitian atau skripsi yang dilakukan oleh :
Menurut Sholikhah (2011) dengan judul “Analisis Kemampuan
Kemandirian Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2000-2009”. Berdasarkan rasio
kemampuan keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angkarasio rata-ratanya
adalah sangat kurang karena hanya memiliki rata-rata 6,68% menunjukkan bahwa
tingkat kemandirian/kemampuan keuangan Kabupaten Wonogiri masih rendah
dalam melaksanakan otonominya. Serta kemampuan keuangan daerah
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (growth).
Menurut Fauzyni (2013) tentang “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH)
Pajak/Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten/Kota Provonsi
Jawa Tengah Tahun 2003-2011”. Variabel penelitian terdiri dari variabel terikat
yaitu Pertumbuhan Ekonomi (Y) dan tiga variabel bebas yaitu Pendapatan Asli
estimasi Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
PDRB dengan tingkat signifikasi 5 %, dimana nilai koefisiennya adalah sebesar
2.654913. Berdasarkan estimasi Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB dengan tingkat signifikasi 5 % dimana nilai
koefisiennya adalah sebesar 6.916613. Berdasarkan estimasi Dana Bagi Hasil
Pajak/Bukan Pajak berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap PDRB
dengan 97 tingkat signifikasi 5 % dimana nilai koefisiennya adalah sebesar
1.960468. Berdasarkan Model FEM dihasilkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan siginifikan terhadap PDRB
sedangkan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap PDRB. Dari pengolahan data diperoleh nilai Chi-Sq Statistic
adalah 8.1507066 dengan nilai Chi square tabel pada d.f (3) α = 5% adalah 7,81.
Menurut Ladjin (2011) tentang “.Analisis Kemandirian Fiskal di Era
Otonomi Daerah (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah) Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat yaitu Kemandirian
Fiskal dan variabel bebasnya yaitu investasi dan PDRB perkapita. Derajat
kemandirian fiskal Propinsi Sulawesi Tengah selama kurun waktu penelitian
(2006–2011) disimpulkan Untuk proporsi PAD terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) diperoleh hasil rata-rata sebesar 24,18 persen. Untuk proporsi bagi
hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah
diperoleh hasil rata-rata sebesar 6,24 persen. Untuk proporsi Dana Alokasi Umum
hasil rata-rata sebesar 61,36 persen. Untuk proporsi Pinjaman Daerah sebesar
0,77% dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu sebesar 6,67%. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa kemandirian keuangan daerah Propinsi
Sulawesi Tengah di era otonomi daerah masih rendah, atau dapat dinyatakan
bahwa tingkat ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih cukup tinggi. Hal
ini ditandai dari proporsi DAU dan DAK terhadap TPD yang relatif semakin
besar. Sebaliknya, kontribusi PAD dan BHPBP terhadap TPD yang masih sangat
rendah.
Agastari (2010), dengan judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal Pada
Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) I Provinsi Jawa Timur”. Derajat
desentralisasi fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah
(PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi hasil pajak
dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai
dengan 2008, sebesar 22.37% yang menunjukkan bahwa DDF SWP I Jawa Timur
rendah dan mempunyai pola hubungan keuangan.
Menurut Savitry (2013), dengan judul “Analisis Kemampuan Keuangan
Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 Di Kota
Makassar”. Tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam
pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 dianggap masih kurang.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan
daerah selama lima tahun terakhir yang menghasilkan jumlah rata-ratanya sebesar
dengan jelas masih besarnya ketergantungan pemerintah Kota Makassar terhadap
sumber-sumber dana bantuan dari pihak ekstern, baik dari pemerintah pusat
maupu dari pemerintah provinsi, dengan komponen bantuan terbesar adalah Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Penyesuaian.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun menunujukkan
angka rata-rata sebesar 15,39% dengan kemampuan keuangan yang tergolong
kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah Kota Makassar belum mampu
membiayai pengeluarannya sendiri. Pemerintah Kota Makassar masih bergantung
kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pengeluaran.
Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin daerah,
yang sering disebut juga dengan Rasio IKR (Indeks Kemampuan Rutin) rata-rata
hanya sebesar 24,99% dengan pola kemampuan keuangan yang masih berada
dalam interval 20,01% - 40,00% yang dinilai kurang. Artinya, PAD Kota
Makassar belum mampu membiayai belanja rutin yang dilakukan oleh pemerintah
kota.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pengertian Desentr alisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk
Desentralisai fiskal merupakan konsekuensi logis dari diterapkan
kebijakan otonomi daerah. Prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah money
follow functions, artinya penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah
membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Perimbangan keuangan dilakukan melalui mekanisme dana
perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.
(Ehtisham, 2002).
Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan
pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi
landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan
barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan
kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih
mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program
dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi
penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya
guna (Sumarsono danUtomo, 2009:53).
Tiga variasi desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat
kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah yaitu (Bird dan
1. Desentralisasi, yang berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam
lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau pemerintah
daerah.
2. Delegasi yang berhubungan dengan situasi, yaitu daerah bertindak sebagai
perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama
pemerintah.
3. Devolusi atau pelimpahan yang berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu
dikerjakan, berada di daerah.
2.2.2. Otonomi Daerah
2.2.2.1.Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah berpijak pada perundang-undangan yang kuat (Farida,
2011:342-343), yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar
Sebagaimana telah disebutkan, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).
undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD
1945 pasca-amandemen mencantumkan permasalahan pemerintah daerah
dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh
undang-undang.
2. KetetapanMPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah
menyebutkan, pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam
UU No. 22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Akan tetapi, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
Didalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, didalamnya tertuang
tentang otonomi daerah, yaitu hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini tuntutan terhadap daerah adalah bagaimana daerah tersebut mampu memenuhi
kebutuhan rumah tangga dan tuntutan warganya. Selain itu warga masyarakat juga
diharuskan membantu pemerintah daerahnya dengan berpartisipasi aktif dalam
usaha pengembangan dan peningkatan kondisi perekonomian daerah dengan cara
memaksimalkan peran mereka dan melakukan efektivitas terhadap potensi sumber
daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah memberikan wewenang
kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan didaerahnya
masing-masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, dan pemerintah pusat
akan membantu dan memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dlakukan
oleh daerah. (Soeparmoko, 2001 : 9)
2.2.2.2.Tujuan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut yang
menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai normatifikasi
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus
memperhatikan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Sejalan dengan hal itu, Soepomo dalam Ladjin (2008) mengatakan bahwa
otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut
riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri dalam kadar Negara kesatuan. Tiap daerah
mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah
lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Martin dalam Paturusi (2009) mengemukakan bahwa tujuan utama
otonomi daerah pada era otonomi daerah telah tertuang dalam kebijakan
desentralisasi sejak tahun 1999, yakni:
a. Pembebasan pusat, meksudnya membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban tidak perlu mengenai urusan domestic sehingga ia berkesempatan
mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama sangat diharapkan
pemerintah pusat lebih mampu berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional
dari yang bersifat strategis.
b. Pemberdayaan lokal atau daerah. Alokasi kewenangan pemerintah pusat ke
daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu
sehingga kapasitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestic akan
c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah. Desentralisasi merupakan
simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini dengan
sendirinya mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah dan masyarakat
daerah.
Dalam Undang-undang Pasal 22 No.32 Tahun 2004 dalam menyelenggarakan
otonomi daerah, daerah mempunyai kewajiban :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilirtas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administasi kependudukan;
n. membentuk dan menerapkan peraturan pperundang-undangan sersuai dengan
kewenangannya, dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
2.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daer ah (APBD)
2.2.3.1.Pengertian Dan Unsur-unsur APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu
rencana keuangan tahunan daerah yang memuat tentang rencana penerimaan,
rencana pengeluaran, serta rencana pembiayaan daerah selama satu tahun
anggaran.
Menurut Bastian (2006 : 189), APBD merupakan rencana pemda dalam
bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan
kesejahteraan publik.
Menurut Saragih (2003 : 122) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran
tertentu, umumnya satu tahun.
Unsur-unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut :
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi
biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya
yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan
3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran yang biasanya satu tahun.
2.2.3.2.Struktur APBD
Struktur APBD Berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negeri nomor 13
tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan
susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/2006 pasal 22 ayat 1 terdiri
dari 3 bagian, yaitu : pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1
dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja
langsung dan belanja tidak langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. (Permendagri 13/2006)
2.2.4. Pendapatan Asli Daerah
2.2.4.1.Definisi Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari
sumber-sumber daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan Asli
Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya
kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang
diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD,semakin besar kontribusi
semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah
pusat.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 1, “Pendapatan Asli
Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli
digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil
ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 6, “Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : a. Pajak daerah, b. Retribusi daerah, c. Hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, d. Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sah.”
Menurut Mardiasmo (2002 : 132), “Pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik
daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah.”
Menurut Halim (2004 : 67), “ Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan,
yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah.”
2.2.4.2.Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2007 : 96), kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan
menjadi empat pendapatan :
a. Pajak Daerah
Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah, yang
dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya disebut dengan pajak adalah
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Menurut Mardiasmo (2009 ; 21), pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Menurut Siahaan (2010;64) pajak kabupaten atau kota yang diatur dalam
a. Pajak Hotel
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20
dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
b. Pajak Restoran
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Sedangkan yang dimaksud dengan restoran adalah fasilitas penyedia makanan
dan atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah
makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/catering.
c. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Sedangkan
yang dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan,
permainan, dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
d. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Sedangkan
yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial
memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik
perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat,
dibaca, didengar, dirasakan, dan atau dinikmati oleh umum.
e. Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik,
baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan
jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang
rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan mineral bukan logam dan batuan adalah mineral bukan
logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan
perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara. Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan merupakan pengganti dari Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan
C yang semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Saat ini, sampai dengan diberlakukannya ketentuan dalam
Logam dan Batuan, pemerintah kabupaten/kota masih dimungkinkan untuk
memungut Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan
galian Golongan C sesuai dengan peraanturan perundang-undangan yang
berlaku. Bahan galian golongan C adalah bahan galian golongan C
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Golongan bahan galian strategis
b. Golongan bagan galian vital
c. Golongan bahan gailan yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.
Penunjukan suatu bahan galian ke dalam suatu golongan diatur dengan
peraturan pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan ini pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang
Penggolongan Bahan-bahan Galian, yang mulai berlaku pada tanggal
diungkapkan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1980.
g. Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor. Sedangkan yang dimaksud dengan parkir adalah keadaan
h. Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air
tanah. Yang dimaksud dengan air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan
tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Pajak Air Tanah semula
bernama Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan
(PPPABTAP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan
merupakan jenis pajak provinsi, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak,
yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah; dimana Pajak Air Permukaan
dimasukkan sebagai pajak provinsi sedangkan Pajak Air Tanah ditetapkan
menjadi pajak kabupaten/kota.
i. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan
atau pengusahaan sarang burung walet. Yang dimaksud dengan burung walet
adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga,
collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. Pajak Sarang
Burung Walet merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pajak
Sarang Burung Walet, dengan berbagai nama, pada dasarnya telah banyak
diterapkan oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia. Pungutan atas
dengan nama yang berbeda, ada yang secara tegas dinyatakan sebagai pajak
daerah, tetapi ada pula yang dinyatakan sebagai retribusi daerah. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, dimana
ditentukan bahwa pemerintah kabupaten/kota dimungkinkan untuk memungut
pajak dan atau retribusi daerah selain yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000, sepanjang memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan
dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak
atas bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud
dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sedangkan yan dimaksud
dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan pedalaman dan atau laut. PBB
Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru
diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
PBB Perdesaan dan Perkotaan dewasa ini pada dasarnya merupakan suatu
Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, di mana hasilnya sebagian besar
diserahkan kapada daerah. Walaupun telah ditetapkan menjadi salah satu jenis
pajak kabupatan/kota, tetapi tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan
pemungutan PBB tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat sampai dengan
tahun 2013. Ketentuan Pasal 180 ayat 5 tersebut membuat pemungutan PBB
Perdesaan dan Perkotaan pada setiap kabupaten/kota di Indonesia mungkin
saja tidak serempak, tergantung kesiapan pemerintah kabupaten/kota untuk
menetapkan peraturan daerah yang berkaitan. Hanya saja diharapkan paling
lambat 1 Januari 2014, PBB Perdesaan dan Perkotaan telah menjadi pajak
daerah pada suatu kabupaten/kota.
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum uang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadai atau badan. Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah
dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang
pertanahan dan bangunan. BPHTB merupakan jenis pajak kabupaten/kota
Sebagaimana halnya PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB dewasa ini
pada dasarnya merupakan suatu jenis pajak pusat, yang dipungut oleh
pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan,
di mana hasilnya sebagian besar diserahkan kepada daerah. Walaupun telah
ditetapkan menjadi salah satu jenis pajak kabupaten/kota, tetapi sepanjang
pada suatu kabupaten/kota belum ada peraturan daerah tentang BPHTB,
pemungutan BPHTB tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat sampai
dengan tahun 2010.
b. Retribusi Daerah
Menurut Siahaan (2010;620) penggolongan jenis retribusi dimaksudkan
guna menetapkan kebijakan umum tentang prinsip dan sasaran dalam
penetapan tarif retribusi daerah. Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 Pasal 18 ayat 2 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 108
ayat 2-4, retribusi daerah dibagi atas tiga golongan, sebagaimana disebut di
bawah ini:
a. Retribusi Jasa Umum
b. Retribusi Jasa Usaha
c. Retribusi Perizinan Tertentu
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 149 ayat 2-4,
penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan
perundang-undangan. Hal yang sama juga berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa
usaha untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan sesuai dengan
jasa/pelayanan yang diberikan oleh daerah masing-masing. Rincian jenis objek
dari setiap retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan
tertentu diatur dalam peraturan daerah yang bersangkutan.
a. Retribusi Jasa Umum
Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah, untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek retribusi
jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum saat ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 110-124, sebagaimana di bawah ini:
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan.
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil.
4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat.
5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
6. Retribusi Pelayanan Pasar.
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran.
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta.
10.Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan Kakus.
11.Retribusi Pengolahan Limbah Cair.
12.Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang.
13.Retribusi Pelayanan Pendidikan.
14.Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
b. Retribusi Jasa Usaha
Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya
dapat pula disediakan oleh sector swasta. Objek retribusi jasa usaha adalah
pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip
komersial. Pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersial meliputi:
1. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang
belum dimanfaatkan secara optimal; dan
2. Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai disediakan
oleh pihak swasta.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3
huruf b, retribusi jasa usaha ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini.
1. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa
2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang
seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki/dikuaisai daerah yang belum dimanfaatkan
secara penuh oleh pemerintah daerah. Pengertian harta adalah semua harta
bergerak dan tidak bergerak, tidak termasuk uang kas, surat-surat
berharga, dan harta lainnya yang bersifat lancar.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha saat ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 127-138, sebagaimana di bawah ini.
1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
2. Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan
3. Retribusi Tempat Pelelangan
4. Retribusi Terminal
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
7. Retribusi Rumah Potong Hewan
8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
10.Retribusi Penyeberangan di Air
11.Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
c. Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Objek retribusi perizinan tertentu
adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin
kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,
penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3
huruf c, retribusi perizinan tertentu ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini.
1. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintah yang diserahkan
kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.
2. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan
umum.
3. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut
dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin
tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu saat ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 141-146, adalah sebagai berikut :
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.
3. Retribusi Izin Gangguan.
4. Retribusi Izin Trayek.
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek
pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik negara/BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik swasta atau kelompok masyarakat.
Halim (2004) menyebutkan bahwa jenis pendapatan ini meliputi objek
pendapatan berikut :
1. Bagian laba perusahaan milik daerah.
2. Bagian laba lembaga keuangan bank.
3. Bagian laba lembaga keuangan non bank.
4. Bagian laba atas penyertaan modal/investasi.
d. Lain-lain PAD yang sah
Lain-lain pendapatan daerah bertujuan memberi peluang kepada daerah
untuk memperoleh pendapatan selain dari PAD dan dana perimbangan yang
terdiri dari hibah dan dana darurat. Dalam rangka melaksanakan wewenang
tentang Pemerintahan Daerah dan UU no 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah harus
melakukan maksimalisasi Pendapatan Daerah. Peningkatan Pendapatan Daerah
dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Intensifikasi, melalui upaya: a). Pendapatan dan peremajaan objek dan
subjek pajak dan retribusi daerah. b). Mempelajari kembali pajak daerah
yang dipangkas guna mencari kemungkinan untuk dialihkan menjadi
retribusi. c). Mengintensifikasi penerimaan retribusi yang ada. d).
Memperbaiki sarana dan prasarana pungutan yang belum memadai.
2. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi). Penggalian
sumber-sumber pendapatan daerah tersebut harus ditekankan agar tidak
menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi. Sebab pada dasarnya, tujuan
meningkatkan Pendapatan Daerah melalui upaya ekstensifikasi adalah
untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian
upaya ekstensifikasi lebih diarahkan kepada upaya untuk mempertahankan
potensi daerah sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini merupakan penerimaan daerah
yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Jenis pendapat ini meliputi objek
pendapatan sebagai berikut :
a. Hasil penjualan daerah yang tidak dapat dipisahkan,
c. Pendapatan bunga,
d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah,
e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan pengadaan barang dan jasa oleh daerah,
f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing,
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan,
h. Pendapatan denda pajak,
i. Pendapatan denda retribusi,
j. Pendapatan ekuitas atas jaminan,
k. Pendapatan dari pengembalian,
l. Fasilitas sosial dan umum,
m. Pendapatan dari penyelnggaraan pendidikan dan pelatihan,
n. Pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan
2.2.5. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri atas Dana bagi hasil ,Dana
2.2.5.1.Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH), dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Dana Bagi Hasil Pajak
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal (11) disebutkan bahwa bagian daerah
dari bagi hasil pajak berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) perorangan
dalam negeri.
b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, SDA yang dibagihasilkan adalah
minyak bumi, gas alam, panas bumi, pertambangan umum (seperti batu bara,
nikel, emas, dsb), hasil hutan dan hasil perikanan. Bagi hasil dilakukan antara
pusat dengan daerah dimana SDA itu berada. Jadi, jadi daerah yang tidak
memiliki SDA atau yang tidak berada dalam satu provinsi dengan daerah kaya,
pada dasarnya tidak akan memperoleh bagian.
2.2.5.2.Dana Alokasi Umum (DAU)
Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004, “Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Menurut Halim (2004 : 160), “Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desntralisasi.”
Menurut Saragih (2003 : 98) kebijakan DAU merupakan instrumen
penyeimbang fiskal antar daerah. Sebab tidak semua daerah mempunyai struktur
dan kemampuan fiskal yang sama (horizontal fiscal imbalance). DAU sebagai
bagian dari kebijakan transfer fiskal dari pusat ke daerah (intergovernmental
transfer) berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta
memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah.
Menurut Saragih (2003 : 104) “Bagi daerah yang relatif minim Sumber
Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna
mendukung operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan
pembangunan.”
Menurut Saragih (2003 : 132), “Tujuan DAU disamping untuk mendukung
sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan
keuangan pemerintah daerah.”
“Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan block grant yang diberikan
kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara
kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah
Dengan kata lain, tujuan penting Dana Alokasi Umum (DAU) adalah
dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar
pemerintah daerah di Indonesia.” (Kuncoro, 2004 : 30)
“Distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif
besar akan memperoleh DAU lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
relatif besar.” (Sidik, 2004 : 96)
Menurut Kuncoro (2004 : 30) Dana Alokasi Umum (DAU) dapat diartikan
sebagai berikut :
a. Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang
pengalokasiannya didasarkan atas Konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah
Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan
Kapasitas Fiskal.
b. Instrumen untuk mengatasi horizontal inbalances, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana
penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
c. Equalization Grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Bagi Hasil sumber daya alam yang diperoleh daerah.
Mengacu pada PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
Tujuan Dana Alokasi Umum (DAU) terutama adalah untuk : horizontal
equity dan sufficiency. Tujuan horizontal equity merupakan kepentingan
pemerintah pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan
merata agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antar daerah. Sementara itu, yang
menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah
untuk menutup (fiscal gap). Suffiency dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
kewenangan, beban, dan Standar Pelayanan Umum (SPM).
2.2.5.3.Dana Alokasi Khusus (DAK)
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana Alokasi Khusus selanjutnya
disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.”
Menurut Kuncoro (2004 : 34) “Dana Alokasi Khusus ditujukan untuk
daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang
didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat
2.3. Kerangka Pikir
Berdasarkan teori yang telah diuraikan diatas, maka terbuat kerangka pikir
sebagai berikut :
a. Semakin tinggi PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka semakin menguat
pula indeks desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya).
Semakin rendah PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka semakin lemah
derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya).
b. Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), semakin kuat
pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya).
Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), maka
semakin lemah derajat desntralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian
daerahnya).
c. Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SD) maka semakin lemah derajat
desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah
Sumbangan Daerahnya (SD) maka semakin kuat derajat desentralisasi
GAMBAR KERANGKA PEMIKIRAN
TPD : Total Penerimaan Daerah
Sumber : Peneliti
2.4. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dengan
melihat latar belakang, hasil-hasil penelitian terdahulu, dan landasan teori yang
ada, maka dapat ditarik hipotesa sebagai berikut :
1. Diduga Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
Sumbangan Daerah
(SD)
T
P
D
Indeks
Desentralisasi
Fiskal
2. Diduga BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dapat mendukung
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta
Kabupaten Tuban menjadi daerah yang mandiri.
3. Diduga SD (Sumbangan Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban menjadi daerah yang mandiri.
4. Diduga indeks desentralisasi fiskal di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Dalam menganalisis sektor-sektor yang akan dijadikan sektor unggulan
agar dapat terarah pada pokok permasalahannya baik itu untuk uji Location
Quotient maupun untuk Index Desentralisasi Fiscal, maka definisi Operasional
Variabel adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan pemerintah daerah
yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah tersebut yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
perundang-undangan, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah hasil perusahaan
milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah, serta lain-lain
PAD yang sah. Satuan ukur yang digunakan adalah juta rupiah.
b. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)adalah bagian dari penerimaan
pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan
penerimaan dari sumber daya alam. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah
penghasil. Satuan ukur yang digunakan adalah juta rupiah.
c. Subsidi/Bantuan (SD) adalah sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat