• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah"

Copied!
359
0
0

Teks penuh

(1)

COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH

PASCA SEKS PRANIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Maria Rosaria Angela Moa

NIM : 129114092

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

-

smile, spirit, happiness -

Dari perempuan, oleh perempuan

dan untuk perempuan

(5)

v

Untuk jiwa yang memberi kehidupan,

Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas

Kecemasan sekaligus kebanggaan,

(Alm) Lusia Pratidarmanastiti

Perempuan,

teruntuk mereka yang bertahan

(6)
(7)

vii

COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Maria Rosaria Angela Moa ABSTRAK

Pasca seks pranikah, ada berbagai permasalahan yang berdampak pada stabilitas kehidupan wanita dewasa awal yang disebut stresor. Oleh karena itu, untuk mengatasi stresor dibutuhkan coping stres. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur pada dua informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga stresor, yaitu permasalahan internal dan eksternal.

Coping stres yang paling banyak digunakan oleh semua informan untuk mengatasi

stresor adalah problem focused coping. Faktor yang mempengaruhi coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah adalah social support, material

resources, dan positive beliefs.

(8)

viii

COPING STRESS ON COLLEGE STUDENTS WHO GOT MARRIED

IN THE POST OF PREMARITAL SEXUAL INTERCOURSE

Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Maria Rosaria Angela Moa

ABSTRACT

In the post of premarital sexual intercourse, there were some issues that gave impact to life stability of students which named stressor. Therefore, coping stress was needed to overcome the stressor. This research aimed to describe coping stress of the college students who got married in the post of premarital sexual intercourse. This study used a qualitative method through a case study approach. The data was collected from semi structured interview to the two informants. The result of the research showed that there were two stressors, which were internal issues and external issues. Problem Focused Coping was mostly used by all of the informants to fix the stressor. Social supports, material resources, and positive beliefs were all the factors which affected to the college students who got married post premarital sexual intercourse.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria untuk

kasih yang menuntun peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “COPING

STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH”.

Penyelesaian skripsi ini tak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah

mendukung dan membantu. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Alm. Ibu terkasih, Dra. Lusia Pratidarmanastiti. Terima kasih sudah menuntun

peneliti di awal proses pengerjaan skripsi. Terima kasih karena telah membimbing

peneliti beserta teman-teman lainnya dalam ketegasan yang khas tanpa

mengurangi sisi keibuan.

2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari M.Si yang meluangkan waktu untuk

membimbing peneliti di sela kesibukan ibu. Terima kasih banyak untuk perhatian

dan bantuan ibu dalam proses pengerjaan skripsi.

3. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko M.Psi selaku dosen pembimbing yang

selalu menjawab kebingungan dan membantu peneliti hingga akhir pengerjaan

skripsi ini. Terima kasih untuk canda tawa ringan di ruangan Bapak dan

kekerabatan bersama teman lain saat bimbingan di kantin. Joooosss 

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si (sekaligus Dosen Pembimbing Akademik) dan Ibu

Diana Permata Sari, M.Sc selaku dosen penguji yang memberi banyak masukan

(11)

xi

5. Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas, terima kasih bapa dan mama yang

telah melahirkan, membesarkan, dan mengasihi peneliti. Terima kasih karena

tidak pernah menuntut apapun selama menjalani pendidikan sedari dulu hingga

boleh selesai saat ini. Dukungan dan doa tulus bapa dan mama kiranya dibalas

oleh Tuhan Yesus Kristus.

6. Ketiga kakak laki-laki peneliti, Billy Rivaldo Moa beserta istri, Alfridus Moa, dan

Neville Novensius Moa. Terima kasih karena telah melindungi dan menyayangi

adik perempuan kalian. Terima kasih juga untuk dukungan, doa, dan bantuannya

mencari jurnal hahaha 

7. Keponakan tercinta peneliti. Fanuel Allessandro Christelgo Moa, Margarethieysa

Cassandra Olivia Moa, Ezperiensa Della Vita Moa, Alzevanya di Jayapura. Para

‘tuyul’ yang membuat peneliti selalu rindu untuk pulang dan tersenyum kala lelah

mengerjakan skripsi.

8. Abang terkasih, Piet Pihara. Terima kasih untuk ketegasan, motivasi, dan doanya.

Terima kasih sudah meluangkan waktu mendengarkan keluh kesah peneliti,

bersedia diganggu saat sibuk, dan selalu berbagi canda tawa yang diselingi

perselisahan.Ah…ngai an oi nyi, eiiiooo eiiioooo 

9. Rock n Roll Kost, ex bapak Har***o. Terima kasih kakak Christiani Natalia

Banik untuk ketulusannya membantu peneliti mengerjakan koding yang

melelahkan itu hahaha. Terima kasih pada Dian Anggraeni Willianto (selamat

sudah berhasil duluan, kecup), kakak Maria Pula Toby (S.Psi soon, ingat skripsi

(12)

xii

dihalalin Yudha), Bernadeta Savitri (selamat sudah berhasil duluan, kecup), dan

kak Lydia Haba. Mereka yang memberi motivasi dan ‘kebaperan’ selama

berdinamika. Banyak canda tawa dan tangis bersama.

10.Kontrakan Cemara Ceria, Grevia Nanda Charisma Anie, Febby Galih Shintiyani,

Franciska Vitriyanti, dan Karmelita Galuh Widya Sesfaot ‘si mendes’ (ini

berdasarkan urutan kelahiran, biar tidak ada kecemburuan sosial hahaha).

Makasih Ge, makan, tidur, dan kerja skripsi (beberapa kali) sama-sama, Ma Ani

sayang ooo. Febby yang menemani peneliti sambil mengerjakan laporannya di

ruang tengah, terima kasih sudah memotivasi ya nak, ‘unda sayang deh  buat

‘peliharaan KCC’ Ipo, jangan mendahului kakak-kakak. Ndes, terima kasih sudah

banyak membantu, mendengarkan, sharing, dan menjadi editor ‘luar biasa’

hahaha. Tambahan penghuni, Lydia Abineno (Le pu muka macam ade-ade dong,

hahaha) terima kasih untuk canda tawa dan dukungannya, Le harus semangat

skripsi juga.

11.Maria Karina Wijayanti (Ndutski), Chlara Rekaasta Indah Graha, Regina Giovani,

Bernadeta Intan Setya Rosari, Mbak Devi Putri Sari, Rosalia Stefani Making.

Terima kasih kalian ‘gossipers’ cantik cucok semester satu sampe saat ini jadi

pejuang skripsi sama-sama (kecuali BM yang udah duluan, hihihi). Tetap

semangat ya, sukses buat kita semua pokoknya.

12.Lydia Andronixoes Christiani, kawan senasib sepenanggungan. Pertemuan kita

yang tidak pernah terduga, kocak, terima kasih untuk segala cerita yang diukir

(13)

xiii

pernah patah semangat, hidup skripsi! Semoga rumah tangganya dengan suami

selalu langgeng dan jauh dari masalah berat.

13.Asvita Kharisma, teman seperjuangan dari jaman Alm. Bu Lusi sampai sekarang.

Makasih untuk sharing dan energi positifnya ya. Teruntuk Delvianty Parinding,

terima kasih sudah saling membantu selama ini, rempong bersama hehehe. Maria

Grasia Deivi yang bersama melewati masa akhir menuju sidang hingga ACC

wkwkwk 

14.Radytia Paramitha Takwa sang malaikat, untuk 27 Mei 2017 bersama Louis Itho

Oematan, Amel, dan Febby. Entah harus ngomong apa, intinya pengalaman kita

‘’luar biasa’’. Hahahhaha… salam OT.P.

15.Malika English Course, thanks for positive dynamic together and “laughing never

end”. Hahahahaha… Thanks for helping and the process to learned with Amel,

Itho, Edwind, Aresi, Dus, Ipo. Special thanks to Miss Lea who was humble to

share her studies. I’ll always remember this moment.

16.NP dan AN yang bersedia untuk berbagi pengalaman dalam penelitian ini. Seribu

terima kasih karena telah banyak membantu. Tetap semangat, Tuhan berkenan

membalas kebaikan kalian.

17.Para perempuan yang dengan rendah hati dan mau untuk bertanggung jawab atas

peran gandanya, kalian hebat kalian luar biasa.

18.Dan untuk pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih

(14)

xiv

Kesadaran bahwa skripsi adalah karya pertama, tidaklah menjadi lengkap

tanpa kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga karya sederhana

ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan dan perempuan pengenyam peran

ganda.

Yogyakarta, 16 Februari 2017

Peneliti

(15)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 7

(16)

xvi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1Stres ... 9

2.1.1 Definisi Stres ... 9

2.1.2 Penyebab Stres ... 10

2.1.3 Gejala Stres ... 11

2.2Coping Stres ... 12

2.2.1 Definisi Coping Stres ... 12

2.2.2 Jenis Coping Stres ... 12

2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres ... 15

2.3Mahasiswa ... 16

2.4Seks Pranikah ... 20

2.5Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Fokus Penelitian ... 27

3.3 Informan Penelitian ... 27

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 28

3.5 Metode Analisis Data ... 30

3.6 Kredibilitas Penelitian ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 32

(17)

xvii

4.2.1 Informan Pertama ... 34

4.2.2 Informan Kedua ... 37

4.3 Hasil Penelitian ... 39

4.3.1 Informan Pertama ... 39

4.3.2 Informan Kedua ... 56

4.4 Kesimpulan Analisis Dua Informan ... 72

4.5 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1 Kesimpulan ... 87

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 87

5.3 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Informan Pertama ... 55

Gambar 2. Skema Informan Kedua ... 71

Gambar 3. Skema Kedua Informan ... 76

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 93

Lampiran 2. Tabel Verbatim ... 95

Lampiran 3. Tabel Kategori Tema dan Sub-Kategori Tema ... 264

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seks pranikah merupakan bentuk penyaluran dorongan seksual yang

menyimpang (Setiono, 2011). Penyaluran dorongan seksual pada pasangan akan

mengakibatkan kehamilan yang mungkin berujung pada pelaksanaan pernikahan

secara mendadak. Hal ini justru bertolak belakang dengan idealnya suatu

pernikahan terkait persiapan yang matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan

perencanaan masa depan. Seks pranikah dinilai sebagai tindakan yang melanggar

nilai dan norma yang dipegang masyarakat bahwa aktivitas seksual (senggama)

harus dilakukan secara sah, baik dalam hukum agama maupun negara

(Endraswara, dalam Handayani, 2010).

Survei menunjukan bahwa seks pranikah banyak dilakukan oleh kaum

muda. Survei oleh Lefkowitz & Gillen (dalam Santrock, 2011) pada tahun 2006

di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 60% kaum muda berusia 18

tahun ke atas pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan data dari Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Indonesia pada

tahun 2014 menyebutkan bahwa 48-51% kelompok siswi berusia 15-19 tahun dan

kelompok mahasiswa berusia 20-24 tahun sebanyak 56,2% pernah melakukan

(21)

Mereka yang disebut kaum muda oleh Santrock (2002) berada pada

rentang usia 18-25 tahun dan sedang menjalani masa transisinya ke perguruan

tinggi sebagai seorang mahasiswa. Siswanto (2007) menambahkan bahwa

mahasiswa harus melakukan penyesuaian terhadap berbagai situasi dan tuntutan.

Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Papalia (2011) karena selama periode

perkuliahan mahasiswa memiliki pengalaman intelektual dan pertumbuhan

pribadi, terutama dalam keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, dan

penalaran moral yang berpengaruh di masa depan.

Menurut Sumanto (2014), idealnya bahwa mahasiswa menyelesaikan

pendidikannya di perguruan tinggi terlebih dahulu sebelum membina rumah

tangga. Pada kenyataannya, seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan pada

mahasiswa menyebabkan dirinya harus menikah pada saat yang sama. Ia harus

menyesuaikan diri dengan beban sebagai ibu muda dan mempertahankan relasi

yang memuaskan dengan suami dalam menjalankan perannya sebagai seorang

istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).

Ada berbagai dampak negatif yang mempengaruhi stabilitas kehidupan

mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah. Penelitian oleh Sonata (2014)

menyebutkan bahwa di masa kehamilan terjadi ketegangan emosional, muncul

perasaan bersalah, malu, dan marah pada diri sendiri akibat seks pranikah. Hasil

penelitian juga menunjukan munculnya perasaan sedih dan takut menjalani

(22)

bahkan muncul dalam benak salah satu informan. Ketegangan emosional akan

mempengaruhi kesehatan janin yang mengakibatkan kelahiran prematur,

penurunan sistem kekebalan tubuh, atau keterhambatan perkembangan seperti

gangguan emosi (Priyoto, 2014).

Penelitian menunjukan bahwa mahasiswa mendapat dukungan dari suami

sekaligus mengalami penurunan prestasi akademik karena terganggu dengan

urusan rumah tangga (Mukkaromah & Nuqul, 2012). Penelitian Sonata (2014)

memperkuat bahwa mahasiswa yang menikah akibat seks pranikah mengalami

kesulitan dalam membagi perannya sebagai mahasiswa, istri sekaligus sebagai

seorang ibu.

Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah juga rentan terhadap respon

negatif dari keluarga dan lingkungan sekitar. Amarah keluarga, kekecewaan, dan

penolakan terjadi pada mereka (Sonata, 2014). Mahmudin (2015) menambahkan

bahwa hukuman sosial berupa ejekan, cemoohan, atau tindakan lain yang

menunjukan orang lain tidak respek bisa muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Survei awal yang dilakukan oleh peneliti secara acak pada 22 mahasiswa laki-laki

dan perempuan turut memperkuat respon negatif lingkungan. 17 orang memiliki

penilaian negatif karena mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dianggap

memiliki kontrol diri yang kurang, seharusnya mereka bisa menjaga nama baik

sendiri dan keluarga sehingga tidak terjebak dalam pergaulan bebas yang

(23)

Setelah menikah, ada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan papan,

sandang, dan pangan dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Pemenuhan

kebutuhan ini didukung dengan kesiapan ekonomi yang memadai. Jika kesiapan

ekonomi belum cukup memadai maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam

menjalani pernikahan dan membentuk rumah tangga akan bergantung pada

orangtua (Duvall, dalam Setiono, 2011). Survei awal melalui wawancara pada

mahasiswa dengan kasus yang sama menunjukkan bahwa ia harus merelakan

anaknya dirawat oleh sang mertua karena pasangannya belum mampu untuk

bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Fakta ini membuktikan bahwa

kesiapan secara ekonomi menyangkut masa depan pernikahan sangat penting

untuk diperhitungan.

Perubahan aspek hidup meliputi perubahan emosional, peran, dan

perubahan sosial-ekonomi pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah

menyebabkan mereka cenderung mengalami stres. Perubahan ini didukung

dengan pendapat Atkinson (2010) bahwa perubahan atas berbagai peristiwa yang

terjadi dapat memicu stres, termasuk perubahan akibat pernikahan.

Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah

lainnya dalam kehidupan (Ardani, 2007). Pemicu atau sumber stres itu disebut

stresor. Menurut Priyoto (2014), stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap

setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas

(24)

sakit kepala, jantung berdebar, kelelahan, dan sulit tidur. Sementara itu, dampak

psikologis yang terjadi pada mereka, yaitu ketidakmampuan untuk berkonsentrasi

dan menyelesaikan tugas serta keadaan emosi yang tidak terkendali.

Usaha untuk beradaptasi pada stresor disebut coping. Lazarus dan

Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000) mendefinisikan coping

stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan

untuk mengelola tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai melebihi

kemampuan individu. Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi

tiga jenis, yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking

social support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba

untuk menghadapi dan menangani tuntutan akan situasi atau usaha untuk

mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional

focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola respon

emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres. Sedangkan Seeking

social support yaitu strategi individu dengan cara beralih ke orang lain untuk

mencari bantuan dan dukungan emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan

dari orang lain bisa dapat berupa materi atau non materi.

Bart Smet (1994) menjelaskan bahwa coping stres yang efektif adalah

coping yang disesuaikan dengan jenis stres dan situasi. Apabila coping stres tidak

efektif maka stresor tidak berubah atau kemungkinan mengalami peningkatan

(25)

bahwa apabila mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah tidak

menanggulangi permasalahannya (stresor) maka timbul dampak negatif yang

mempengaruhi stabilitas kehidupan mereka. Oleh karena itu, penelitian mengenai

coping stres sangatlah penting untuk dilakukan. Siswanto (2007) menambahkan

bahwa coping stres penting dilakukan karena coping tersebut membantu

seseorang beradaptasi dan bertahan atau keluar dari permasalahan yang

mempengaruhi kehidupannya.

Di samping dampak yang mempengaruhi kestabilan hidup setelah

menikah, penelitian ini penting dilakukan karena secara statistik seks pranikah

pada mahasiswa mengalami peningkatan sesuai dengan pemaparan peneliti di

awal. Penelitian ini juga menyajikan kekhususan pada informan yang menjalani

peran gandanya sebagai mahasiswa, istri, sekaligus sebagai seorang ibu yang

belum pernah diteliti. Kebanyakan penelitian sebelumnya memilih informan yang

tidak menikah secara sah lalu melanjutkan pendidikan atau sebaliknya

memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dan

menikah untuk membina rumah tangga seperti penelitian oleh Hutama (2014).

Padahal Papalia (2008) mengungkapkan bahwa pendidikan dan pernikahan itu

sendiri berpengaruh positif pada kehidupan di masa yang akan datang terkait skill,

pekerjaan dan karier, serta kehidupan dalam menjalani rumah tangga dengan

(26)

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai coping stres pada

mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif. Sejalan

dengan pendapat Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) bahwa penelitian kualitatif

dengan model studi kasus menekankan eksplorasi yang saling terkait satu sama

lain, yaitu eksplorasi atas stresor pada mahasiswa yang menikah pasca seks

pranikah yang disertai penggalian informasi secara mendalam untuk

mendeskripsikan coping stres yang digunakan oleh mereka. Penelitian ini sesuai

dengan model studi kasus karena informan penelitian memiliki pengalaman yang

unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan pendidikannya di perguruan

tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat yang sama.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks

pranikah ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan coping stres yang

digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

1.4 Manfaat Penelitian

(27)

Penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan dalam kajian

ilmu psikologi perkembangan dan ilmu psikologi pada umumnya mengenai

coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai

coping stres pada mahasiswa lainnya yang memiliki permasalahan serupa

sehingga mereka bisa mengurangi dampak negatif yang mempengaruhi

stabilitas kehidupannya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diharapkan

agar memberi gambaran bagi keluarga atau kerabat dekat dari mahasiswa

(28)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Definisi Stres

Looker dan Gregson (2004) mendefinisikan stres sebagai suatu

keadaan yang dialami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan yang

diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya. Stres adalah tekanan

internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah yang berasal dari

berbagai bidang kehidupan (Ardani, 2007).

Priyoto (2014) menyatakan bahwa stres berkaitan dengan kenyataan

yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan. Stres adalah

suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan

ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres

adalah suatu situasi ketika individu mengalami tekanan internal maupun

eksternal serta situasi bermasalah lainnya yang tidak sesuai kemampuan

individu sehingga menimbulkan reaksi fisik, psikologis, dan reaksi sosial

(29)

2.1.2 Penyebab Stres

Menurut Priyoto (2014), sumber stres atau suatu hal yang

menyebabkan stres disebut sebagai stresor. Atkinson (2010)

mengungkapkan bahwa banyak peristiwa yang dapat menyebabkan stres.

Sebagian darinya adalah perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang

sekaligus atau peristiwa traumatik, misalnya perang, kecelakaan nuklir,

gempa bumi, dan kecelakaan yang mengerikan (tabrakan mobil atau

pesawat). Peristiwa lainnya adalah perubahan dalam kehidupan seseorang,

seperti pindah ke tempat yang baru, pindah kerja, menikah, kehilangan

teman, menderita penyakit serius. Percekcokan sehari-hari juga dirasakan

sebagai stresor, misalnya perbedaan pendapat dengan orang lain. Stresor

juga berasal dari individu yang merupakan proses internal, yaitu konflik

antara tujuan atau tindakan yang tidak sejalan atau bertentangan. Konflik

juga dapat timbul jika dua kebutuhan internal atau motif berlawanan di

dalam masyarakat.

Sarafino (dalam Smet, 1994) membedakan penyebab atau sumber

stres itu dapat berasal dari dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan

masyarakat. Stres dari individu akan muncul melalui penilaian dari kekuatan

motivasional yang melawan, saat individu mengalami konflik. Penyebab

stres dari keluarga biasanya muncul karena interaksi antara anggota

(30)

muncul juga akibat interaksi individu dengan lingkungannya, misalnya

dalam dunia pekerjaan, pendidikan, komunitas tertentu, atau keadaan

lingkungan fisik seperti suhu, cuaca, kecelakaan, dan bencana alam.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

stresor dapat berasal dari berbagai konflik dalam kehidupan individu baik

secara internal maupun eksternal.

2.1.3 Gejala Stres

Secara umum, ada dua gejala stres yang sering muncul, yaitu gejala

fisik dan psikologis (Priyoto, 2014). Gejala fisik yang muncul ketika stres

adalah sakit kepala, mual, jantung berdebar-debar, keringat dingin, lelah,

sukar tidur, merasa gerah, alergi, tekanan darah tinggi. Gejala psikologis

yang muncul secara kognitif, yaitu cenderung memiliki ingatan yang lemah

atau pelupa, sulit berkonsentrasi, merasa tidak berguna, dan tidak mampu

mengatasi permasalahan. Individu juga cenderung mengalami

ketidakstabilan emosional seperti mudah marah atau sedih, merasa cemas,

dan frustasi. Perilaku yang cenderung muncul saat stres adalah peningkatan

(31)

2.2 Coping Stres

2.2.1 Definisi Coping Stres

Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000)

mendefinisikan coping stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang

berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan atau tekanan eksternal

maupun internal yang dinilai melebihi kemampuan individu.

Siswanto (2007) menambahkan bahwa coping mengarah pada

individu yang bereaksi atau menyesuaikan diri ketika menghadapi stres

sebagai upaya untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan kedua penjelasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan

bahwa coping stres adalah berbagai usaha untuk menyesuaikan diri atau

mengurangi tekanan internal maupun eksternal yang mempengaruhi

kehidupan individu dengan melakukan penilaian secara kognitif, bereaksi

terhadap sumber tuntutan atau tekanan, dan bertindak untuk memecahkan

masalah.

2.2.2 Jenis Coping Stres

Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi tiga jenis,

yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking social

support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba

(32)

mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional

focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola

respon emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres.

Sedangkan Seeking social support yaitu strategi atau usaha yang individu

dengan cara beralih ke orang lain untuk mencari bantuan dan dukungan

emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan dari orang lain bisa dapat

berupa materi atau non materi.

Ada lima bentuk problem focused coping. Pertama, Planning yang

merupakan usaha individu untuk menghadapi stresor atau menyelesaikan

masalah dengan membuat perencanaan atau beberapa alternatif pemecahan

masalah terlebih dahulu. Kedua, Active coping and problem solving yang

merupakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah. Kemudian

suppressing competing activities, yaitu usaha individu untuk melakukan

pemusatan perhatian hanya pada suatu masalah yang dihadapi sehingga

lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Keempat, exercising restraint

yang adalah pengelolaan stres dengan cara menunggu kesempatan sampai

pada waktu yang tepat untuk bertindak dalam menyelesaikan masalah

sehingga tidak tergesa-gesa. Bentuk terakhir problem focused coping adalah

assertive confrontation, yaitu usaha tegas dari individu dalam menghadapi

(33)

Pada emotional focused coping, ada tujuh bentuk pengelolaan stres.

Pertama adalah positive reinterpretation, yaitu individu menilai kembali

permasalahannya secara lebih positif sebagai bagian dari pengembangan

pengalaman hidupnya. Selanjutnya adalah acceptance, yaitu penerimaan

dari individu karena menyadari bahwa dirinya tidak dapat mengubah situasi.

Bentuk ketiga adalah denial yang merupakan penolakan atau penyangkalan

pada permasalahan yang dihadapinya. Bentuk keempat adalah repression,

upaya individu menghalangi atau menekan impuls yang muncul untuk

menghindari konflik atau permasalahannya sehingga tidak diekspresikan

dalam bentuk tingkah laku. Adapula escape avoidance yang merupakan

coping individu dengan menghindar atau melarikan diri dari masalah.

Berikutnya adalah wishful thingking, yaitu individu yang menganggap

bahwa masih ada harapan untuk menghadapi kembali permasalahannya.

Bentuk emotional focused coping yang ketujuh adalah controlling feelings.

Controlling feelings adalah coping individu untuk mengatur atau

mengontrol perasaan dengan memahami perasaannya sendiri dan mencoba

memahami permasalahan yang ada. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989)

menambahkan dua bentuk emotional focused coping, yaitu turning to

religion dan mental disengagement. Turning to religion adalah coping

(34)

keagamaan. Mental disengagement adalah coping alternatif untuk

mengalihkan permasalahan dengan melakukan aktivitas lain.

Coping stres yang terakhir adalah seeking social support dalam

empat bentuk berbeda. Help and guidance adalah individu yang mencari

bantuan dan petunjuk dari orang lain yang menghadapi masalah serupa atau

mungkin lebih berpengalaman. Berikutnya adalah emotional support, yaitu

upaya individu mencari dukungan sosial sebagai kekuatan untuk bertahan

dalam situasi yang bermasalah. Bentuk ketiga adalah affirmation of worth,

yaitu upaya individu mencari penegasan dari orang lain tentang manfaat

positif yang bisa diambil dari permasalahannya. Bentuk keempat dari

seeking social support, yaitu tangiable aid yang merupakan usaha individu

dengan mencari dukungan dari orang lain berupa materi seperti uang atau

penghasilan.

2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres

Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, et all., 2000) menyatakan

bahwa ada enam faktor pendukung atau sumber coping. Pertama, health and

energy dimana kesehatan individu secara signifikan berpengaruh terhadap

kemampuannya untuk mengatasi masalah. Semakin kuat dan sehat maka

semakin lama mereka bertahan tanpa memasuki tahap kelelahan. Faktor

(35)

individu merancang coping untuk lebih percaya diri atau percaya pada orang

lain serta yakin akan pertolongan Tuhan. Selanjutnya adalah individu yang

merasa memiliki internal locus of control lebih berhasil melakukan coping

dibanding mereka yang tidak memiliki kontrol dalam hidupnya.

Social skills yang efektif membantu individu tidak hanya

berinteraksi tetapi juga mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang

dimiliki, meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi

permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang. Social support sebagai

salah satu faktor yang mempengaruhi coping bisa mencegah efek stres

akibat perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis,

kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Saat

berhadapan dengan stresor, teman dan keluarga memberi dukungan

sehingga bisa mengimbangi perubahan hidup seseorang. Faktor pendukung

lainnya adalah material resources dimana saat individu mengatasi stres

maka uang dan barang lain yang bisa dibeli dengan uang dapat menjadi

sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia

untuk menghilangkan stresor atau mengurangi efek stres.

2.3 Mahasiswa

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), mahasiswa didefinisikan

(36)

Mahasiswa erat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan

mahasiswa, termasuk di dalamnya kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di

luar perguruan tinggi.

Havighurst (dalam Sumanto, 2014) menyatakan bahwa mahasiswa

menginternalisasi nilai-nilai hidup masa remaja akhir hingga membawanya pada

masa dewasa awal dan menjadikannya pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa

dikatakan sebagai individu yang sedang dalam tahap perkembangan dewasa awal

pada usia 18-25 tahun. Masa ini ditandai dengan kegiatan yang bersifat

eksperimen dan eksplorasi sehingga terjadi perubahan yang berkesinambungan.

Transisi dari sekolah hingga ke perguruan tinggi sering kali melibatkan

karakteristik positif maupun negatif pada mahasiswa (Santrock, 2011). Di

perguruan tinggi, para mahasiswa cenderung merasa dirinya telah dewasa,

mampu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sebaya, memiliki lebih

banyak peluang untuk mengeskplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai

berbeda, lebih terbebas dari pengawasan orangtua, serta tertantang secara

intelektual oleh tugas-tugas akademis. Meski demikian, studi yang dilakukan

Asosiasi Kesehatan Universitas Amerika pada tahun 2008 menunjukan bahwa

lebih dari 90.000 mahasiswa di 177 perguruan tinggi mengungkapkan bahwa

mereka tidak memiliki harapan, merasa kewalahan dengan aktivitas akademik dan

(37)

Brouwer (dalam Siswanto, 2007) mencatat beberapa masalah yang

berkaitan dengan status sebagai mahasiswa. Permasalahan-permasalahan ini

menimbulkan tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, yaitu perbedaan cara

belajar, perpindahan tempat, mencari teman baru atau hal lain yang berkaitan

dengan pergaulan, perubahan relasi, pengaturan waktu, dan nilai-nilai hidup.

Perbedaan cara belajar di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk lebih

aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Memasuki perguruan tinggi,

perpindahan tempat membutuhkan energi yang besar untuk melakukan

penyesuaian karena sebagian besar mahasiswa dituntut untuk mandiri akibat

perpisahannya dengan orangtua. Mahasiswa memiliki kualititas hubungan yang

cenderung menurun dengan teman lamanya sehingga mencari teman baru yang

cocok dari berbagai latar belakang budaya di perguruan tinggi akan dilakukan

pada masa ini. Kegagalan mendapatkan teman bisa menimbulkan perasaan

kesepian. Permasalahan lain yang muncul dalam pertemanan dan pergaulan

adalah masalah seksualitas. Secara biologis, mahasiswa telah mencapai

kematangan seksual namun norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku

seksual secara penuh. Ketika mahasiswa menjalin relasi dengan lawan jenis, ia

dituntut untuk membuat keputusan atau pilihan sendiri dan dalam hal ini

seksualitas muncul menjadi masalah yang serius.

Mahasiswa mengalami perubahan relasi dari yang sifatnya personal

(38)

Begitu pula relasi teman sepermainan diganti dengan relasi antar-mahasiswa.

Perubahan relasi ini dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa.

Mahasiswa juga memiliki kebebasan dalam mengatur waktu karena tidak ada

orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan mengatur waktu antara kegiatan

kuliah, belajar, bermain, atau mengurus rumah tangga (bagi mahasiswa yang

sudah menikah), dan aktivitas lainnya dapat mengakibatkan masalah lain yang

berkaitan dengan tugas belajar. Di samping itu, informasi yang diterima di

perguruan tinggi biasanya lebih terbuka dan kemungkinan mahasiswa mengalami

krisis nilai hidup. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi dihadapkan dengan

nilai baru yang ditemui yang dirasakan mahasiswa justru lebih sesuai. Tidak

jarang selama masa krisis ini, mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak

menentu dan membawa setidaknya dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya.

Menurut Siswanto (2007), apabila mahasiswa yang bersangkutan berhasil

menangani tekanan atau masalah dengan sukses, maka dia akan dapat menjalani

kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan lancar. Sebaliknya, bila

mahasiswa tersebut gagal dalam melakukan penanganan atas permasalahan yang

dihadapinya, maka peranannya sebagai mahasiswa akan mengalami gangguan

(39)

2.4 Seks Pranikah

Schulz, Bohrnstedt, Borgatta, & Evans (1977) menyebutkan bahwa seks

pranikah atau premarital sexual intercourse adalah salah satu bentuk aktivitas

seksual (senggama atau coitus) pada laki-laki dan perempuan yang telah matang

secara biologis dan berlangsung tanpa ikatan perkawinan.

Pandangan mengenai aktivitas seksual terbagi dalam tiga kategori utama

(Papalia, 2011). Pertama, sikap tradisional atau sikap reproduktif tentang seks

bahwa seks hanya diperbolehkan untuk tujuan reproduksi dalam perkawinan.

Kedua, pandangan rekreasional tentang seks bahwa selama menyenangkan dan

tidak menyakiti orang lain maka sah-sah saja. Ketiga, hampir sebagian menganut

pandangan relasional bahwa seks harus disertai dengan cinta dan kasih sayang,

tapi tidak harus dengan pernikahan.

Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Christopher dan Cate (dalam

Sprecher & McKinney, 1993) yang mendasari seseorang berhubungan seksual

untuk pertama kalinya. Alasan pertama adalah positive affection atau

communication, yaitu hubungan seks (sexual intercourse) sebagai ungkapan cinta

pada pasangan meski ada kemungkinan terjadinya perkawinan. Alasan kedua

yang mendasari hubungan seks, yaitu arousal atau receptivity (gairah atau

keterbukaan) karena adanya rangsangan atau gairah fisik yang diterima segera

sebelum terjadinya hubungan seksual. Sedangkan alasan ketiga adalah obligation

(40)

untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan atau sebaliknya bahwa ada

tekanan yang muncul dari pasangan untuk melakukan hubungan seksual. Selain

itu, tekanan akan pengalaman teman yang terlibat dalam sexual intercourse juga

turut mendukung alasan seseorang melakukan hubungan seksual. Alasan keempat

adalah circumstantial yang merupakan faktor situasional dimana ada peningkatan

situasi yang mendukung terjadinya hubungan seksual.

Berkaitan dengan penelitian ini, dorongan yang muncul untuk penyaluran

kebutuhan seksual sering kali menyimpang dan mempengaruhi peningkatan seks

pranikah terutama di masa perkuliahan (Papalia, 2011). Di Indonesia sendiri, seks

pranikah dianggap menyimpang karena hubungan seksual (senggama) menjadi

hal yang sakral (seiring dengan masuknya agama Kristen) yang bukan hanya

hubungan biologis semata tetapi menjadi fungsi untuk menjaga keharmonisan

berumah tangga (Endraswara, dalam Handayani, 2010). Apabila seseorang

terlibat seks pranikah maka ia telah melanggar nilai dan norma yang dihidupi

dalam budaya Timur bahwa aktivitas seksual (senggama) harus dilakukan secara

sah, baik dalam hukum agama maupun negara. Herbert Miles (dalam

Djiwandono, 2008) menambahkan bahwa seks pranikah ditolak oleh orangtua,

agama, dan masyarakat karena beresiko mengalami infeksi menular seksual,

tekanan dari hati nurani dan perasaan bersalah, serta kehamilan diluar pernikahan.

Santrock (2011) menyatakan bahwa mahasiswa yang mengalami transisi

(41)

perubahan, diantaranya relasi dengan pasangan, rencana hidup, hak dan tanggung

jawab masing-masing pasangan terkait peran sebagai suami maupun istri.

Setelah menikah, pasangan suami istri akan menyesuaikan sistem

pernikahan untuk memberi ruang bagi anak dan merawat anaknya (Santrock,

2002). Mereka bertanggung jawab pada keuangan dan tugas rumah tangga

meskipun pengalaman dan implikasi dari pernikahan mungkin berbeda bagi

suami dan istri. Status sebagai istri disetujui untuk bertanggung jawab atas

pekerjaan rumah tangga dan suami seharusnya membantu. Istri merasakan

pekerjaan rumah tangga baik secara positif maupun negatif. Pekerjaan rumah

tangga yang dilakukan sebagian besar oleh istri adalah yang tidak pernah

berakhir, berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan, memasak,

mengawasi anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan beres-beres. Hal ini

menjelaskan bahwa beberapa pekerjaan sekaligus kurang membuat mereka santai,

merasa tertekan dan tidak menyenangkan, meskipun istri juga menikmati merawat

kebutuhan orang yang dikasihinya. Namun pekerjaan rumah tangga sering

membuat istri khawatir, melelahkan, hina, berulang dan tidak pernah selesai,

terisolasi, tidak dapat dihindari, serta tidak dihargai sehingga mereka memiliki

perasaan yang campur aduk. Santrock juga menambahkan bahwa kesulitan

(42)

2.5 Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah

Setiono (2011) menjelaskan bahwa seks pranikah adalah bentuk

penyaluran dorongan seksual yang menyimpang karena dapat mengakibatkan

kehamilan yang memungkinkan seseorang melaksanakan pernikahan secara

mendadak. Hal ini bertolak belakang dengan pernikahan ideal yang melalui

persiapan matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan perencanaan masa

depan bersama. Endraswara (dalam Handayani, 2010) juga menegaskan bahwa

sejarah masuknya agama Kristen di Indonesia berpengaruh terhadap nilai dan

norma yang berkembang mengenai aktivitas seksual yang hanya diperbolehkan

jika seseorang telah menikah secara sah dalam hukum negara dan agama.

Mereka yang terlibat seks pranikah disebut Santrock (2002) sebagai kaum

muda yang menjalani masa transisinya ke perguruan tinggi. Seks pranikah yang

mengakibatkan kehamilan pada mahasiswa menyebabkan ia harus menikah dan

menyesuaikan diri dengan peran sebagai ibu muda sekaligus mempertahankan

relasi dengan suami sebagai seorang istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).

Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah rentan terhadap berbagai

masalah. Sonata (2014) menyebutkan bahwa mereka mengalami ketegangan

emosional di masa kehamilannya, seperti perasaan bersalah, malu, dan marah

pada diri sendiri akibat seks pranikah, serta ketakutan akan masa depan

pernikahan. Percobaan bunuh diri dan membunuh pasangan juga muncul dalam

(43)

lingkungan sosial seperti rasa kecewa, marah, dan penolakan juga kerap kali

terjadi. Duvall (dalam Setiono, 2011) menambahkan bahwa tuntutan untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi juga semakin meningkat seiring berjalannya

kehidupan berumah tangga sehingga apabila tidak mampu terpenuhi maka

menimbulkan ketergantungan pada orangtua.

Secara akademik, tuntutan sebagai kaum intelektual membuat mahasiswa

harus terlibat secara aktif dalam studi dan lingkungan akademisnya (Papalia,

2008). Hal ini menyebabkan mereka kesulitan untuk membagi peran gandanya

sebagai mahasiswa, istri, dan ibu sehingga ada penurunan prestasi akademik

karena terganggu dengan urusan rumah tangga (Sonata, 2014).

Keputusan untuk menikah bisa memunculkan berbagai permasalahan,

tekanan, tuntutan, atau situasi lain yang tidak menyenangkan karena kurangnya

persiapan sehingga berpotensi menimbulkan stres. Atkinson (2010) memperjelas

bahwa perubahan yang mendadak termasuk di dalamnya perubahan akibat

menikah dapat memicu stres. Dampak negatif yang muncul adalah sakit kepala,

kelelahan, sulit tidur, ketidakstabilan emosi, dan ketidakampuan untuk

berkonsentrasi serta menyelesaikan tugas (Priyoto, 2014). Oleh karena itu,

mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah perlu melakukan penanggulangan

atau usaha dalam mengolah stresor sehingga mereka dapat bertahan atau

mengurangi dampak negatif yang sekiranya berpengaruh pada kelangsungan

(44)

Usaha untuk menanggulangi stres disebut coping stres. Passer dan Smith

(2007) mengemukakan tiga jenis coping stres, yaitu problem focused coping,

emotional focused coping, dan seeking social support. Apabila coping stres tidak

efektif maka kondisi stres tidak berubah atau kemungkinan meningkat sehingga

berdampak pada stabilitas kehidupannya sehari-hari (Smet, 1994).

Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti memfokuskan penelitian ini

pada coping stres yang digunakan oleh mahasiswa yang menikah pasca seks

(45)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut

Creswell (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang tujuannya

menggali informasi secara lebih mendalam dengan setting alamiah pada individu

atau kelompok terkait permasalahan dalam konteks sosial yang dialami. Pada

penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif agar dapat menggali

informasi yang lebih mendalam pada informan terkait permasalahan sosialnya,

yaitu menggali berbagai informasi mengenai permasalahan yang muncul secara

rinci pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah beserta coping stres

yang digunakan oleh mereka. Melalui penelitian kualitatif, peneliti juga dapat

menyajikan informasi yang murni dari sudut pandang informan dengan prosedur

pengumpulan data yang alamiah (Creswell, dalam Herdiansyah, 2015).

Penelitian kualitatif ini menggunakan model penelitian studi kasus yang

oleh Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) menekankan pada eksplorasi dari suatu

sistem yang saling terkait satu sama lain pada beberapa hal dalam satu kasus

secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang

melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Ciri khas studi

(46)

(sebab-akibat) antara aspek atau faktor yang membentuk suatu fenomena merupakan sesuatu

yang penting untuk dijelaskan. Studi kasus juga memiliki keunikan dan kekhasan

tersendiri dari kasus atau masalah yang diangkat.

Penelitian ini sesuai dengan model studi kasus karena informan penelitian

memiliki pengalaman yang unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan

pendidikannya di perguruan tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat

yang sama pasca seks pranikah. Oleh karena itu, studi kasus sejalan untuk

mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini hendak memfokuskan pada penggalian informasi mengenai

berbagai masalah yang kemungkinan memicu stres yang disertai dengan coping

pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

3.3 Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah tiga mahasiswa yang masih aktif kuliah dan

menikah pasca seks pranikah. Rentang usia mereka adalah 18-25 tahun. Mengacu

pada kriteria ini, tentunya mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah memiliki

potensi stres karena belum menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi

(47)

sekaligus ibu. Pada pelaksanaannya, hanya dua informan yang bersedia untuk ikut

serta dalam penelitian ini.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara.

Stewart dan Cash (dalam Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa wawancara

adalah suatu informasi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau sharing aturan,

tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi. Wawancara

melibatkan komunikasi dua arah antara informan dan peneliti sehingga dapat

mencapai tujuan melalui komunikasi tersebut.

Ada tiga bentuk wawancara dalam penelitian kualitatif (Herdiansyah,

2015), yaitu wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan wawancara tidak

terstruktur. Peneliti menggunakan bentuk wawancara semi-terstruktur karena

sifatnya yang fleksibel bagi peneliti untuk menyesuaikan informasi yang berasal

dari cerita informan. Terdapat lima tahapan yang dilakukan peneliti dalam

melakukan pengambilan atau pengumpulan data. Pertama, peneliti mencari

informan yang sesuai dengan kriteria informan penelitian. Kedua, meminta

kesediaan informan untuk diwawancarai dan mengatur jadwal pertemuan. Ketiga,

peneliti membuat kesepakatan untuk pengambilan data yang jaminan

kerahasiannya dituangkan secara tertulis dalam informed consent lalu ditanda

(48)

informan sekaligus menyampaikan tujuan penelitian. Kelima, peneliti mulai

melakukan pengambilan data dengan alat perekam dalam proses wawancara.

Pada proses pengumpulan data, peneliti memberikan pertanyaan terbuka

namun ada batasan tema dan alur pembicaraan dari panduan wawancara sehingga

dapat dijadikan sebagai patokan wawancara. Penduan wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sub-pertanyaan yang berasal dari pertanyaan

penelitian.

Tabel 1. Panduan Wawancara

Pertanyaan Penelitian Panduan Wawancara

Bagaimana suka duka pengalaman

anda selama berumah tangga ?

• Bisakah anda menceritakan

aktivitas anda setiap hari ?

• Menurut anda, apa saja

pengalaman yang berkesan ?

• Bagaimana dengan duka atau

permasalahan yang pernah terjadi ?

Bagaimana usaha atau cara anda

untuk mengatasi permasalahan ?

• Bagaimana menyelesaikan setiap

permasalahan yang menghampiri

(49)

3.5 Metode Analisis Data

Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2015) mengemukakan tahapan

dalam melakukan analisis data kualitatif, antara lain :

1. Tahap pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data berupa hasil wawancara

yang sesuai dengan topik penelitian.

2. Tahap reduksi data yang merupakan proses penggabungan dan penyeragaman

segala bentuk data menjadi satu bentuk tulisan (script). Rekaman hasil

wawancara diubah menjadi bentuk verbatim wawancara kemudian dianalisis

oleh peneliti.

3. Tahap display data, yaitu mengolah data setengah jadi yang seragam ke dalam

bentuk tulisan dan memiliki alur tema yang jelas melalui tabel akumulasi data.

Peneliti lalu membuat matriks kategorisasi sesuai kategori atau

pengelompokan tema-tema. Tema yang ada dipecah dalam bentuk yang lebih

konkret dan sederhana, yaitu subtema. Setelah itu, peneliti memberi kode

(coding) dari subtema yang sesuai dengan verbatim wawancara.

4. Kesimpulan atau verifikasi merupakan tahapan akhir dalam menganalisis

data. Ada tiga cara yang perlu dilakukan dalam tahapan ini. Pertama,

menguraikan subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan pengodean

disertai dengan quote verbatim wawancara. Kedua, memberi penjelasan hasil

penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian sebelumnya. Ketiga,

(50)

3.6 Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan pengganti konsep

validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai

maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok

sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Peneliti

menggunakan validitas komunikatif agar dapat mengkonfirmasi data dan hasil

analisis mengenai permasalahan serta coping stres yang digunakan oleh kedua

informan penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan

kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan

melihat kembali data mentah. Pada validitas argumentatif, peneliti melakukan

diskusi bersama dosen pembimbing terkait data dan hasil analisis dengan harapan

bahwa temuan tidak mengandung unsur subjektifitas dari peneliti.

Moleong (2009) menyatakan bahwa kredibilitas suatu penelitian juga bisa

dicapai dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data

untuk mengecek atau membandingkan data yang ada dengan sumber lain. Pada

penelitian ini, triangulasi hendak dicapai dengan menggali informasi perihal

(51)

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlangsung selama tiga bulan, yaitu pada bulan

Juli sampai dengan Oktober 2016. Penelitian ini menggunakan wawancara semi

terstruktur untuk memperoleh data dari informan. Peneliti membuat panduan

wawancara yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan

coping stres yang digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

Informan yang diwawancarai adalah mahasiswa yang aktif kuliah dan menikah

setelah seks pranikah.

Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari informan yang sesuai kriteria

karena beberapa orang yang dihubungi menolak untuk berbagi pengalamannya.

Awalnya peneliti memilih tiga orang sebagai informan dalam penelitian ini.

Peneliti sebelumnya sudah kenal dengan dua diantara mereka. Peneliti kemudian

mencari informan ketiga dengan bertanya pada beberapa teman, namun dua orang

yang dihubungi tidak merespon. Pada akhirnya, hanya dua informan yang

berkenan untuk terlibat pada penelitian ini.

Peneliti menghubungi kedua informan lalu meminta kesediaan mereka.

Peneliti kemudian membuat janji untuk bertemu. Pada pertemuan pertama,

(52)

informan dan peneliti. Peneliti juga berbagi pengalaman pada informan mengenai

alasan peneliti untuk mengangkat kasus seks pranikah menjadi suatu topik penelitian.

Setelah itu, peneliti menyampaikan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Peneliti

memberi kesempatan pada informan untuk membaca informed consent lalu kembali

menjelaskannya secara lisan dengan singkat dan lebih jelas terutama saat informan

menanyakan beberapa hal yang belum jelas. Peneliti meminta persetujuan untuk

menggunakan alat perekam selama wawancara berlangsung lalu mulai melaksanakan

wawancara.

Peneliti melaksanakan wawancara dengan bertemu secara langsung pada

kedua informan. Akan tetapi, informan pertama sedang ada kesibukan sehingga

wawancara ketiga dilakukan via telepon. Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan

(53)

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan Tempat

Rabu, 20 Juli 2016 Wawancara pertama NP

Kos adik NP

Kamis, 28 Juli 2016 Wawancara kedua NP

Kos adik NP

Senin, 19 September 2016

Wawancara ketiga NP

(via telepon)

-

Minggu, 14 Agustus 2016

Wawancara pertama AN

Kos AN

Selasa, 20 September 2016

Wawancara kedua AN

Kos AN

Kamis, 20 Oktober 2016

Wawancara ketiga AN

Kos AN

4.2

Profil Informan

4.2.1

Informan Pertama

Informan pertama adalah NP yang berusia 22 tahun dan saat ini

sedang menempuh pendidikannya di salah satu universitas swasta di

Yogyakarta. NP memandang dirinya sebagai orang yang moody dan

pencemburu. NP menganut agama Katolik dan memiliki latar belakang

(54)

tinggal bersama adik dan kedua orangtuanya di Papua lalu pindah ke

Klaten, Jawa Tengah saat kelas tiga SMP.

NP mengatakan bahwa ia berpacaran dengan suami secara tidak

sengaja. NP merasa dirinya terlalu bebas dan kurang bisa menjaga iman

karena tergoda dengan gaya pacaran jaman sekarang. Jika keduanya sering

bertemu, mereka bisa melakukan hubungan seksual maksimal tiga kali

dalam satu bulan di kos suami. Kos suaminya terlihat bebas dan NP

pernah melihat salah satu diantara penghuni kos tinggal bersama

pasangannya. Pemilik kos tersebut mengetahui kebiasaan mereka yang

tinggal di sana tetapi pemilik kos bersikap cuek.

NP menikmati hubungan seksualnya, merasa senang dan tidak ada

rasa bersalah. Sadar akan aktivitas seksualnya, NP pernah mencari

informasi untuk mencegah kehamilannya agar tidak ada pihak yang

dirugikan. NP mulai curiga ketika dirinya terlambat datang bulan. NP

mendatangi dokter dan melakukan pemeriksaan dengan testpack lalu

terbukti hasilnya positif hamil. NP bercerita bahwa ia kaget, menyesal,

sedih, dan merasa dirinya bodoh pada saat itu. NP juga mengatakan bahwa

ia berusaha menggugurkan kandungannya namun tetap gagal.

NP dan suaminya merasa takut akibat kehamilan NP sehingga

mereka memberitahu orangtua NP melalui sepucuk surat. Menurut

(55)

lingkungan gereja maupun lingkungan rumah. Orangtua NP merasa

kecewa, kaget, dan frustasi setelah mengetahui kehamilannya. Namun,

orangtua NP akhirnya menelpon ayah mertua NP untuk bertemu dan

mengurus pernikahan mereka.

NP mengungkapkan bahwa pernikahannya di awal tahun 2014

merupakan pernikahan yang tidak direncanakan. NP dan suaminya

menikah secara Katolik atas keputusan khusus dari Romo Paroki karena

kasus hamil di luar nikah. NP juga menilai bahwa dalam budayanya, kasus

pernikahan NP masih dinilai negatif. Setelah menikah, NP bersama anak

dan suaminya masih tinggal di rumah orangtua NP. Kebutuhan untuk

makan sehari-hari masih ditanggung oleh orangtua NP. Begitu pula biaya

susu dan asuransi kesehatan (sebelum suami bekerja) yang dibantu oleh

ayah mertua NP.

Membangun sebuah pernikahan membuat NP mengalami beberapa

pengalaman yang kurang menyenangkan. NP mengalami perselisihan

dengan ibu mertuanya dan dipaksa oleh orangtua untuk bertanggung

jawab atas segala pekerjaan rumah. Ketakutan akan urusan akademik dan

rumah tangga yang terbengkalai serta konflik dengan suami juga terjadi

(56)

4.2.2

Informan Kedua

Informan kedua adalah AN yang berusia 20 tahun. Menurut AN,

ia adalah sosok yang mandiri, tertata, dan tegas. AN juga menilai dirinya

sebagai perempuan yang tomboi namun bisa merangkul teman-temannya.

AN kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. AN merupakan

anak pertama dari dua bersaudara dan sejak usia 1,5 tahun tinggal bersama

eyangnya di Malang karena orangtua AN tidak bisa fokus merawat AN

pasca melahirkan sang adik. AN menganut agama Katolik dan memiliki

latar belakang suku Jawa. Keluarga AN masih termasuk keturunan ningrat

dan memiliki pola asuh yang keras secara turun-temurun. Mereka juga

berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke atas.

AN menjalin hubungan dengan sang suami saat ia masih

berpacaran dengan mantan kekasihnya (DN). Setelah putus, AN

berpacaran dengan sang suami lalu akhirnya menikah. DN beberapa kali

mencoba untuk menghubungi AN sehingga menimbulkan konflik diantara

mereka. Satu bulan menikah, AN sulit untuk bangun dari tempat tidur

sehingga harus diperiksakan ke dokter. AN merasa kaget saat mengetahui

hasil USG bahwa usia kehamilannya mencapai lima bulan dan tidak

sejalan dengan usia pernikahannya.

AN menyadari bahwa di masa lalunya ia kerap kali melakukan

(57)

setelah mereka berpacaran lebih dari empat tahun. AN mengatakan bahwa

ia mempercayai DN dan merasa lebih nyaman dengan DN dibanding

orangtuanya sendiri. AN juga mengatakan bahwa DN membutuhkan

sosok seperti dirinya yang dapat berperan sebagai pacar, teman, sekaligus

ibu. AN mengungkapkan pula bahwa sikap DN sama seperti ayah AN.

AN dan DN selalu melakukan hubungan seksual di rumah DN

karena situasinya yang mendukung. Meski begitu, AN bercerita bahwa ia

dan DN tidak langsung melakukan hubungan seksual dengan leluasa.

Awalnya mereka hanya melakukan hubungan seksual sekali dalam satu

atau dua bulan. Kemudian meningkat menjadi sekali dalam satu atau dua

minggu hingga hampir tiap hari melakukan hubungan seksual. AN

mengatakan bahwa ia hanya meneteskan air mata dan merasa takut saat

pertama kali berhubungan intim.

AN mengakui perbuatannya pada sang suami dan menyatakan

bahwa DN adalah ayah biologis dari anak yang dikandungnya. AN

menilai suaminya sangat baik dan berjiwa besar karena sang suami mau

menerima keadaan AN. Mereka juga sepakat untuk merahasiakan status

anaknya dari siapapun.

AN mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat bahagia

sekaligus kehilangan selama menjalani pernikahannya. Penuturan AN

(58)

pekerjaan rumah tangga. AN lebih dimanjakan oleh suaminya karena AN

sedang hamil. Kehamilan AN menyebabkannya harus mengambil cuti di

awal masa kuliah dan menghambat beberapa kegiatan akademik. AN juga

merasa sedih ketika ia tinggal di rumah mertua yang artinya ia harus

berpisah dengan eyangnya. AN mengalami perubahan yang mendadak

saat harus berpisah dengan sang suami yang melanjutkan pendidikan

pasca sarjana di luar negeri. AN juga merasa sedih dan kehilangan saat

menghadapi kenyataan ketika mengetahui suaminya meninggal akibat

kecelakaan mobil saat pulang ke Indonesia.

4.3

Hasil Penelitian

4.3.1

Informan Pertama

Secara umum, ada dua jenis permasalahan yang muncul, yaitu

permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal pada NP

menghasilkan tiga tema, yaitu konflik internal atau konflik dengan diri

sendiri, tuntutan ibu rumah tangga, dan hambatan atau tekanan fisik.

Permasalahan eksternal yang dialami oleh NP memunculkan enam tema

besar diantaranya permasalahan sosial, permasalahan dengan figur otorita,

hambatan lingkungan medis, tuntutan akademik, permasalahan dalam

(59)

permasalahan ekonomi. Berikut ini adalah gambaran permasalahan NP

yang disertai dengan upaya dalam menyelesaikan permasalahannya.

a. Permasalahan Internal dan Upaya untuk Menyelesaikannya

1) Konflik Internal atau Konflik dengan Diri Sendiri

Konflik internal berikutnya yang dialami NP, yaitu krisis

kepercayaan diri dan krisis kepercayaan akan Tuhan. NP merasa

memiliki cobaan yang sangat berat. NP marah dan menyalahkan

Tuhan. NP merasa takut jika teman-temannya tidak menerimanya.

NP juga memikirkan pendidikannya sekaligus rumah tangganya

kelak.

(60)

kayak gitu (NP, W2, 28-07-2016, 184-191, 196-198, 202-205, 225-233)”.

NP bertanya dan mencurahkan isi hatinya pada orang lain untuk

mengatasi permasalahannya. NP juga diberi motivasi untuk tetap

melakukan aktivitasnya.

“Em usaha, saya sering curhat sama orangtua, terus juga sama Romo, kebetulan kan juga dekat sama Romo kan. Terus ditanya-ditanya kayak gini ni gimana ya Romo, terus dinasehatin, kayak gitu sih. Terus ada beberapa orang yang dekat, yang lebih tua dari aku jadi dinasehatin, ini harus kayak gini, kamu harus tetap semangat, kamu harus bisa survive di perkuliahanmu, dan kamu juga harus bisa jadi ibu, kayak gitu… makanya orangtuaku menggalak lagi, memaksakan lagi ayo ikut kegiatan lingkungan lagi, ikut koor-koor lagi, gak usah kamu mikir kamu udah punya anak, gak apa-apa, mereka mau kok, kan anakmu nanti jadi Romo (NP, W2, 28-07-2016, 208-214, 237-240)”.

2) Tuntutan Ibu Rumah Tangga

NP mengungkapkan kesulitannya ketika dirinya usai menyelesaikan

tugas hingga larut malam dan harus bangun untuk menyiapkan susu

anaknya. Suaminya yang lelah sepulang kerja tidak membantu NP.

(61)

Pada saat menghadapi situasi seperti kutipan wawancara di atas, NP

tetap menjalani tanggung jawabnya dan belajar untuk mandiri.

“ya harus dijalani sih. Namanya juga udah punya keluarga kan. Jadi ee belajar mandiri lebih dini. Ya kayak gitu (NP, W1, 20-07-2016, 1047-1049)”.

3) Hambatan atau Tekanan Fisik

Tekanan fisik yang dialami NP, yaitu ketika NP hamil dan

menyadari dirinya seperti sedang menstruasi. NP mengungkapkan

bahwa ia merasa takut. Berikut ini kutipan wawancara dari NP.

“Waktu itu kan udah berapa bulan ya habis itu aku kan di kos ini kan, kan lagi kerja tugas kan. Tiba-tiba tuh kan sa ada tidur (saya sedang tidur). Sa kan baru kerjakan tugas kerja paper itu tiba-tiba kok sa kayak menstruasi gitu kan sa takut…(NP, W1, 20-07-2016, 319-321)”.

Pada saat NP merasa takut akibat kejadian seperti kutipan di atas,

NP langsung menelpon orangtuanya dan dijemput bersama sang

suami untuk pulang ke Klaten.

“Sa takut sa telpon sa pu orangtua (saya takut lalu menelpon orangtua saya) DM kan lagi kerja tugas akhir to. Sa telpon orangtua, orangtuaku panik langsung dijemput, DM juga dijemput trus akhirnya kita bermalam di rumah sana di Klaten. (NP, W1, 20-07-2016, 321-325)”.

NP juga mengalami kram perut terus menerus ketika mengerjakan

tugas. Pada saat yang sama NP mengatakan bahwa dirinya melihat

tiga laki-laki bertubuh hitam. Tiga laki-laki tersebut berdiri

(62)

“Latihan koor di rumah, sa tuh di dalam kamar. Sa tuh kayak sa lagi kerja tugas sa tuh kayak rasa kram-kram gitu lho kram perut biasa (saya di dalam kamar, merasa kram perut seperti biasa). Tapi tuh sa lihat misalnya sini tuh ee lemari lemari baju, sini tuh tempat tidur (NP membayangkan posisi kamarnya sambil menunjuk arah). Sa rasa tuh sa pas kram-kram itu orang ada, 3 cowo (ketika merasa kram-kram perut, saya seperti merasa ada 3 orang cowo). Cowo gitu hitam-hitam gitu tapi ga kelihatan mukanya itu berdiri, berdiri kayak nungguin saya gitu kan. Sa sudah mulai takut… tapi pas malam itu sa sakit perut terus kan kram trus kayak pengen buang air besar. Tapi kan ga bisa buang air besar (NP, W1, 20-07-2016, 330-341, 347-348)”.

NP yang mengalami kram perut dan ketakutan dengan peristiwa

tersebut akhirnya meminta bantuan pada orangtuanya.

“…ruang tamu cuma di depan situ saja langsung telpon mamaku di luar (saya mulai takut, meski ruang tamu dekat saya menelpon mama saya). ‘halo mama kenapa ada orang tiga di sini di dalam kamar ? kakak sakit perut’ trus mamaku datang (NP, W1, 20-07-2016, 341-342)”.

b. Permasalahan Eksternal dan Upaya untuk Menyelesaikannya

1) Permasalahan Sosial

Masalah pertama NP adalah permasalahan komunikasi dengan

perusahaan karena tidak ada peraturan yang jelas mengenai jadwal

mengajar antara kedua belah pihak. NP merasa marah dengan hal

tersebut. NP juga merasa dikecewakan karena gajinya tidak

sebanding dengan pengorbanan waktu dan biaya.

(63)

kegiatan, ada les, tapi mereka bisa seenaknya tiba-tiba hari ini juga bilang tidak ada les. Begitu, itu yang tidak enaknya. E.. itu rasanya kayak di-PHP-in pacar ya (NP dan peneliti tertawa bersama) dan sudah berkali-kali sampe emosi sendiri.(NP, W1, 20-07-2016, 55-62, 65-66)… kalau gajinya kecil itu kayak tidak sebanding dengan pengorbanan waktu, kayak pengorbanan bensin kita… Jadi yah sedikit mengecewakan (NP, W2, 28-07-2016, 37-38, 44-45)”.

Ketika NP mengalami situasi bermasalah seperti yang dipaparkan

di atas, ia dapat mengambil pengalaman positif dan

menganggapnya sebagai bentuk latihan untuk kerja di perusahaan.

“Jadi yah kita jadi latihan kerja. Kita bisa berterima kasih kita bisa dapatkan pengalaman gimana rasanya kalau bekerja di perusahaan… Iya lebih ke pengalaman positif (NP, W2, 28-07-2016, 55-57, 58”

NP sering ijin dan susah ditemui oleh teman-temannya untuk

mengerjakan tugas kelompok sehingga mereka kesal padanya. NP

mengungkapkan bahwa ia merasa kecewa karena teman-temannya

belum bisa memaklumi keadaan NP.

“Mungkin dampaknya itu teman-teman pada kesel sama aku karena susah ketemu kan, terus kayak kerja kelompok, kayak gitu karena aku ijin gitu lah. Kecewa karena mereka belum bisa memaklumi (NP, W2, 28-07-2016, 278-280)”.

Pada saat NP berkonflik dengan teman-temannya, NP mencoba

memberi pengertian dan mengerjakan tugasnya dengan baik.

Gambar

Gambar 1. Skema Informan Pertama  ........................................................................
Tabel 1. Panduan Wawancara
Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Referensi

Dokumen terkait

Kelurahan Dangdeur, beulah wétanna tapal wates jeung Désa Wanareja, beulah. kidulna tapal wates jeung Désa Tanjung

Data dan informasi yang dikumpullkan selama audit lingkungan akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi yang diberikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan dan hasil

Di dukung dengan nilai fraktal dimensi dan deteksi maksimal lokal pada citra biner yang dihasilkan, maka semakin dapat dibedakan pola trabekula mandibula pada masing-masing

Penelitian ini berasal dari hasil kegiatan diskusi dengan menerapkan adanya pertanyaan lanjutan pada tuton Program Magister Ilmu Kelautan bidang minat Manajemen Perikanan

Dengan adanya keempat produk konversi tersebut, perusahaan dapat mengimplementasikan tacit knowledge yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat di kelola menjadi

Mahasiswa / calon mahasiswa yang mengundurkan diri / melakukan pembatalan pembayaran sebelum dari batas tanggal yang ditentukan, biaya kuliah yang telah dibayarkan dipotong

Mahasiswa yang saat itu hanya ingin menyuarakan aspirasi mereka akan apa yang terjadi di negara mereka dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka dan bangsa Indonesia

Balanced Scorecard adalah model pengukuran kinerja organisasi yang bersifat multidimensional, yang meliputi empat dimensi pokok yaitu keuangan, pelanggan, proses