COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH
PASCA SEKS PRANIKAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Maria Rosaria Angela Moa
NIM : 129114092
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
-
smile, spirit, happiness -
Dari perempuan, oleh perempuan
dan untuk perempuan
v
Untuk jiwa yang memberi kehidupan,
Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas
Kecemasan sekaligus kebanggaan,
(Alm) Lusia Pratidarmanastiti
Perempuan,
teruntuk mereka yang bertahan
vii
COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH
Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma
Maria Rosaria Angela Moa ABSTRAK
Pasca seks pranikah, ada berbagai permasalahan yang berdampak pada stabilitas kehidupan wanita dewasa awal yang disebut stresor. Oleh karena itu, untuk mengatasi stresor dibutuhkan coping stres. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur pada dua informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga stresor, yaitu permasalahan internal dan eksternal.
Coping stres yang paling banyak digunakan oleh semua informan untuk mengatasi
stresor adalah problem focused coping. Faktor yang mempengaruhi coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah adalah social support, material
resources, dan positive beliefs.
viii
COPING STRESS ON COLLEGE STUDENTS WHO GOT MARRIED
IN THE POST OF PREMARITAL SEXUAL INTERCOURSE
Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University
Maria Rosaria Angela Moa
ABSTRACT
In the post of premarital sexual intercourse, there were some issues that gave impact to life stability of students which named stressor. Therefore, coping stress was needed to overcome the stressor. This research aimed to describe coping stress of the college students who got married in the post of premarital sexual intercourse. This study used a qualitative method through a case study approach. The data was collected from semi structured interview to the two informants. The result of the research showed that there were two stressors, which were internal issues and external issues. Problem Focused Coping was mostly used by all of the informants to fix the stressor. Social supports, material resources, and positive beliefs were all the factors which affected to the college students who got married post premarital sexual intercourse.
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria untuk
kasih yang menuntun peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “COPING
STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH”.
Penyelesaian skripsi ini tak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah
mendukung dan membantu. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Alm. Ibu terkasih, Dra. Lusia Pratidarmanastiti. Terima kasih sudah menuntun
peneliti di awal proses pengerjaan skripsi. Terima kasih karena telah membimbing
peneliti beserta teman-teman lainnya dalam ketegasan yang khas tanpa
mengurangi sisi keibuan.
2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari M.Si yang meluangkan waktu untuk
membimbing peneliti di sela kesibukan ibu. Terima kasih banyak untuk perhatian
dan bantuan ibu dalam proses pengerjaan skripsi.
3. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko M.Psi selaku dosen pembimbing yang
selalu menjawab kebingungan dan membantu peneliti hingga akhir pengerjaan
skripsi ini. Terima kasih untuk canda tawa ringan di ruangan Bapak dan
kekerabatan bersama teman lain saat bimbingan di kantin. Joooosss
4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si (sekaligus Dosen Pembimbing Akademik) dan Ibu
Diana Permata Sari, M.Sc selaku dosen penguji yang memberi banyak masukan
xi
5. Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas, terima kasih bapa dan mama yang
telah melahirkan, membesarkan, dan mengasihi peneliti. Terima kasih karena
tidak pernah menuntut apapun selama menjalani pendidikan sedari dulu hingga
boleh selesai saat ini. Dukungan dan doa tulus bapa dan mama kiranya dibalas
oleh Tuhan Yesus Kristus.
6. Ketiga kakak laki-laki peneliti, Billy Rivaldo Moa beserta istri, Alfridus Moa, dan
Neville Novensius Moa. Terima kasih karena telah melindungi dan menyayangi
adik perempuan kalian. Terima kasih juga untuk dukungan, doa, dan bantuannya
mencari jurnal hahaha
7. Keponakan tercinta peneliti. Fanuel Allessandro Christelgo Moa, Margarethieysa
Cassandra Olivia Moa, Ezperiensa Della Vita Moa, Alzevanya di Jayapura. Para
‘tuyul’ yang membuat peneliti selalu rindu untuk pulang dan tersenyum kala lelah
mengerjakan skripsi.
8. Abang terkasih, Piet Pihara. Terima kasih untuk ketegasan, motivasi, dan doanya.
Terima kasih sudah meluangkan waktu mendengarkan keluh kesah peneliti,
bersedia diganggu saat sibuk, dan selalu berbagi canda tawa yang diselingi
perselisahan.Ah…ngai an oi nyi, eiiiooo eiiioooo
9. Rock n Roll Kost, ex bapak Har***o. Terima kasih kakak Christiani Natalia
Banik untuk ketulusannya membantu peneliti mengerjakan koding yang
melelahkan itu hahaha. Terima kasih pada Dian Anggraeni Willianto (selamat
sudah berhasil duluan, kecup), kakak Maria Pula Toby (S.Psi soon, ingat skripsi
xii
dihalalin Yudha), Bernadeta Savitri (selamat sudah berhasil duluan, kecup), dan
kak Lydia Haba. Mereka yang memberi motivasi dan ‘kebaperan’ selama
berdinamika. Banyak canda tawa dan tangis bersama.
10.Kontrakan Cemara Ceria, Grevia Nanda Charisma Anie, Febby Galih Shintiyani,
Franciska Vitriyanti, dan Karmelita Galuh Widya Sesfaot ‘si mendes’ (ini
berdasarkan urutan kelahiran, biar tidak ada kecemburuan sosial hahaha).
Makasih Ge, makan, tidur, dan kerja skripsi (beberapa kali) sama-sama, Ma Ani
sayang ooo. Febby yang menemani peneliti sambil mengerjakan laporannya di
ruang tengah, terima kasih sudah memotivasi ya nak, ‘unda sayang deh buat
‘peliharaan KCC’ Ipo, jangan mendahului kakak-kakak. Ndes, terima kasih sudah
banyak membantu, mendengarkan, sharing, dan menjadi editor ‘luar biasa’
hahaha. Tambahan penghuni, Lydia Abineno (Le pu muka macam ade-ade dong,
hahaha) terima kasih untuk canda tawa dan dukungannya, Le harus semangat
skripsi juga.
11.Maria Karina Wijayanti (Ndutski), Chlara Rekaasta Indah Graha, Regina Giovani,
Bernadeta Intan Setya Rosari, Mbak Devi Putri Sari, Rosalia Stefani Making.
Terima kasih kalian ‘gossipers’ cantik cucok semester satu sampe saat ini jadi
pejuang skripsi sama-sama (kecuali BM yang udah duluan, hihihi). Tetap
semangat ya, sukses buat kita semua pokoknya.
12.Lydia Andronixoes Christiani, kawan senasib sepenanggungan. Pertemuan kita
yang tidak pernah terduga, kocak, terima kasih untuk segala cerita yang diukir
xiii
pernah patah semangat, hidup skripsi! Semoga rumah tangganya dengan suami
selalu langgeng dan jauh dari masalah berat.
13.Asvita Kharisma, teman seperjuangan dari jaman Alm. Bu Lusi sampai sekarang.
Makasih untuk sharing dan energi positifnya ya. Teruntuk Delvianty Parinding,
terima kasih sudah saling membantu selama ini, rempong bersama hehehe. Maria
Grasia Deivi yang bersama melewati masa akhir menuju sidang hingga ACC
wkwkwk
14.Radytia Paramitha Takwa sang malaikat, untuk 27 Mei 2017 bersama Louis Itho
Oematan, Amel, dan Febby. Entah harus ngomong apa, intinya pengalaman kita
‘’luar biasa’’. Hahahhaha… salam OT.P.
15.Malika English Course, thanks for positive dynamic together and “laughing never
end”. Hahahahaha… Thanks for helping and the process to learned with Amel,
Itho, Edwind, Aresi, Dus, Ipo. Special thanks to Miss Lea who was humble to
share her studies. I’ll always remember this moment.
16.NP dan AN yang bersedia untuk berbagi pengalaman dalam penelitian ini. Seribu
terima kasih karena telah banyak membantu. Tetap semangat, Tuhan berkenan
membalas kebaikan kalian.
17.Para perempuan yang dengan rendah hati dan mau untuk bertanggung jawab atas
peran gandanya, kalian hebat kalian luar biasa.
18.Dan untuk pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih
xiv
Kesadaran bahwa skripsi adalah karya pertama, tidaklah menjadi lengkap
tanpa kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga karya sederhana
ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan dan perempuan pengenyam peran
ganda.
Yogyakarta, 16 Februari 2017
Peneliti
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 7
1.3Tujuan Penelitian ... 7
1.4Manfaat penelitian ... 7
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 7
xvi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1Stres ... 9
2.1.1 Definisi Stres ... 9
2.1.2 Penyebab Stres ... 10
2.1.3 Gejala Stres ... 11
2.2Coping Stres ... 12
2.2.1 Definisi Coping Stres ... 12
2.2.2 Jenis Coping Stres ... 12
2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres ... 15
2.3Mahasiswa ... 16
2.4Seks Pranikah ... 20
2.5Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26
3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Fokus Penelitian ... 27
3.3 Informan Penelitian ... 27
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 28
3.5 Metode Analisis Data ... 30
3.6 Kredibilitas Penelitian ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 32
xvii
4.2.1 Informan Pertama ... 34
4.2.2 Informan Kedua ... 37
4.3 Hasil Penelitian ... 39
4.3.1 Informan Pertama ... 39
4.3.2 Informan Kedua ... 56
4.4 Kesimpulan Analisis Dua Informan ... 72
4.5 Pembahasan ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
5.1 Kesimpulan ... 87
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 87
5.3 Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 89
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Informan Pertama ... 55
Gambar 2. Skema Informan Kedua ... 71
Gambar 3. Skema Kedua Informan ... 76
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed Consent ... 93
Lampiran 2. Tabel Verbatim ... 95
Lampiran 3. Tabel Kategori Tema dan Sub-Kategori Tema ... 264
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seks pranikah merupakan bentuk penyaluran dorongan seksual yang
menyimpang (Setiono, 2011). Penyaluran dorongan seksual pada pasangan akan
mengakibatkan kehamilan yang mungkin berujung pada pelaksanaan pernikahan
secara mendadak. Hal ini justru bertolak belakang dengan idealnya suatu
pernikahan terkait persiapan yang matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan
perencanaan masa depan. Seks pranikah dinilai sebagai tindakan yang melanggar
nilai dan norma yang dipegang masyarakat bahwa aktivitas seksual (senggama)
harus dilakukan secara sah, baik dalam hukum agama maupun negara
(Endraswara, dalam Handayani, 2010).
Survei menunjukan bahwa seks pranikah banyak dilakukan oleh kaum
muda. Survei oleh Lefkowitz & Gillen (dalam Santrock, 2011) pada tahun 2006
di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 60% kaum muda berusia 18
tahun ke atas pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan data dari Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Indonesia pada
tahun 2014 menyebutkan bahwa 48-51% kelompok siswi berusia 15-19 tahun dan
kelompok mahasiswa berusia 20-24 tahun sebanyak 56,2% pernah melakukan
Mereka yang disebut kaum muda oleh Santrock (2002) berada pada
rentang usia 18-25 tahun dan sedang menjalani masa transisinya ke perguruan
tinggi sebagai seorang mahasiswa. Siswanto (2007) menambahkan bahwa
mahasiswa harus melakukan penyesuaian terhadap berbagai situasi dan tuntutan.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Papalia (2011) karena selama periode
perkuliahan mahasiswa memiliki pengalaman intelektual dan pertumbuhan
pribadi, terutama dalam keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, dan
penalaran moral yang berpengaruh di masa depan.
Menurut Sumanto (2014), idealnya bahwa mahasiswa menyelesaikan
pendidikannya di perguruan tinggi terlebih dahulu sebelum membina rumah
tangga. Pada kenyataannya, seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan pada
mahasiswa menyebabkan dirinya harus menikah pada saat yang sama. Ia harus
menyesuaikan diri dengan beban sebagai ibu muda dan mempertahankan relasi
yang memuaskan dengan suami dalam menjalankan perannya sebagai seorang
istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).
Ada berbagai dampak negatif yang mempengaruhi stabilitas kehidupan
mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah. Penelitian oleh Sonata (2014)
menyebutkan bahwa di masa kehamilan terjadi ketegangan emosional, muncul
perasaan bersalah, malu, dan marah pada diri sendiri akibat seks pranikah. Hasil
penelitian juga menunjukan munculnya perasaan sedih dan takut menjalani
bahkan muncul dalam benak salah satu informan. Ketegangan emosional akan
mempengaruhi kesehatan janin yang mengakibatkan kelahiran prematur,
penurunan sistem kekebalan tubuh, atau keterhambatan perkembangan seperti
gangguan emosi (Priyoto, 2014).
Penelitian menunjukan bahwa mahasiswa mendapat dukungan dari suami
sekaligus mengalami penurunan prestasi akademik karena terganggu dengan
urusan rumah tangga (Mukkaromah & Nuqul, 2012). Penelitian Sonata (2014)
memperkuat bahwa mahasiswa yang menikah akibat seks pranikah mengalami
kesulitan dalam membagi perannya sebagai mahasiswa, istri sekaligus sebagai
seorang ibu.
Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah juga rentan terhadap respon
negatif dari keluarga dan lingkungan sekitar. Amarah keluarga, kekecewaan, dan
penolakan terjadi pada mereka (Sonata, 2014). Mahmudin (2015) menambahkan
bahwa hukuman sosial berupa ejekan, cemoohan, atau tindakan lain yang
menunjukan orang lain tidak respek bisa muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Survei awal yang dilakukan oleh peneliti secara acak pada 22 mahasiswa laki-laki
dan perempuan turut memperkuat respon negatif lingkungan. 17 orang memiliki
penilaian negatif karena mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dianggap
memiliki kontrol diri yang kurang, seharusnya mereka bisa menjaga nama baik
sendiri dan keluarga sehingga tidak terjebak dalam pergaulan bebas yang
Setelah menikah, ada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan papan,
sandang, dan pangan dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Pemenuhan
kebutuhan ini didukung dengan kesiapan ekonomi yang memadai. Jika kesiapan
ekonomi belum cukup memadai maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam
menjalani pernikahan dan membentuk rumah tangga akan bergantung pada
orangtua (Duvall, dalam Setiono, 2011). Survei awal melalui wawancara pada
mahasiswa dengan kasus yang sama menunjukkan bahwa ia harus merelakan
anaknya dirawat oleh sang mertua karena pasangannya belum mampu untuk
bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Fakta ini membuktikan bahwa
kesiapan secara ekonomi menyangkut masa depan pernikahan sangat penting
untuk diperhitungan.
Perubahan aspek hidup meliputi perubahan emosional, peran, dan
perubahan sosial-ekonomi pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah
menyebabkan mereka cenderung mengalami stres. Perubahan ini didukung
dengan pendapat Atkinson (2010) bahwa perubahan atas berbagai peristiwa yang
terjadi dapat memicu stres, termasuk perubahan akibat pernikahan.
Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah
lainnya dalam kehidupan (Ardani, 2007). Pemicu atau sumber stres itu disebut
stresor. Menurut Priyoto (2014), stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap
setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas
sakit kepala, jantung berdebar, kelelahan, dan sulit tidur. Sementara itu, dampak
psikologis yang terjadi pada mereka, yaitu ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
dan menyelesaikan tugas serta keadaan emosi yang tidak terkendali.
Usaha untuk beradaptasi pada stresor disebut coping. Lazarus dan
Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000) mendefinisikan coping
stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan
untuk mengelola tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai melebihi
kemampuan individu. Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi
tiga jenis, yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking
social support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba
untuk menghadapi dan menangani tuntutan akan situasi atau usaha untuk
mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional
focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola respon
emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres. Sedangkan Seeking
social support yaitu strategi individu dengan cara beralih ke orang lain untuk
mencari bantuan dan dukungan emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan
dari orang lain bisa dapat berupa materi atau non materi.
Bart Smet (1994) menjelaskan bahwa coping stres yang efektif adalah
coping yang disesuaikan dengan jenis stres dan situasi. Apabila coping stres tidak
efektif maka stresor tidak berubah atau kemungkinan mengalami peningkatan
bahwa apabila mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah tidak
menanggulangi permasalahannya (stresor) maka timbul dampak negatif yang
mempengaruhi stabilitas kehidupan mereka. Oleh karena itu, penelitian mengenai
coping stres sangatlah penting untuk dilakukan. Siswanto (2007) menambahkan
bahwa coping stres penting dilakukan karena coping tersebut membantu
seseorang beradaptasi dan bertahan atau keluar dari permasalahan yang
mempengaruhi kehidupannya.
Di samping dampak yang mempengaruhi kestabilan hidup setelah
menikah, penelitian ini penting dilakukan karena secara statistik seks pranikah
pada mahasiswa mengalami peningkatan sesuai dengan pemaparan peneliti di
awal. Penelitian ini juga menyajikan kekhususan pada informan yang menjalani
peran gandanya sebagai mahasiswa, istri, sekaligus sebagai seorang ibu yang
belum pernah diteliti. Kebanyakan penelitian sebelumnya memilih informan yang
tidak menikah secara sah lalu melanjutkan pendidikan atau sebaliknya
memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dan
menikah untuk membina rumah tangga seperti penelitian oleh Hutama (2014).
Padahal Papalia (2008) mengungkapkan bahwa pendidikan dan pernikahan itu
sendiri berpengaruh positif pada kehidupan di masa yang akan datang terkait skill,
pekerjaan dan karier, serta kehidupan dalam menjalani rumah tangga dengan
Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai coping stres pada
mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif. Sejalan
dengan pendapat Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) bahwa penelitian kualitatif
dengan model studi kasus menekankan eksplorasi yang saling terkait satu sama
lain, yaitu eksplorasi atas stresor pada mahasiswa yang menikah pasca seks
pranikah yang disertai penggalian informasi secara mendalam untuk
mendeskripsikan coping stres yang digunakan oleh mereka. Penelitian ini sesuai
dengan model studi kasus karena informan penelitian memiliki pengalaman yang
unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan pendidikannya di perguruan
tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks
pranikah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan coping stres yang
digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan dalam kajian
ilmu psikologi perkembangan dan ilmu psikologi pada umumnya mengenai
coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai
coping stres pada mahasiswa lainnya yang memiliki permasalahan serupa
sehingga mereka bisa mengurangi dampak negatif yang mempengaruhi
stabilitas kehidupannya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diharapkan
agar memberi gambaran bagi keluarga atau kerabat dekat dari mahasiswa
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stres
2.1.1 Definisi Stres
Looker dan Gregson (2004) mendefinisikan stres sebagai suatu
keadaan yang dialami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan yang
diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya. Stres adalah tekanan
internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah yang berasal dari
berbagai bidang kehidupan (Ardani, 2007).
Priyoto (2014) menyatakan bahwa stres berkaitan dengan kenyataan
yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan. Stres adalah
suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan
ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres
adalah suatu situasi ketika individu mengalami tekanan internal maupun
eksternal serta situasi bermasalah lainnya yang tidak sesuai kemampuan
individu sehingga menimbulkan reaksi fisik, psikologis, dan reaksi sosial
2.1.2 Penyebab Stres
Menurut Priyoto (2014), sumber stres atau suatu hal yang
menyebabkan stres disebut sebagai stresor. Atkinson (2010)
mengungkapkan bahwa banyak peristiwa yang dapat menyebabkan stres.
Sebagian darinya adalah perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang
sekaligus atau peristiwa traumatik, misalnya perang, kecelakaan nuklir,
gempa bumi, dan kecelakaan yang mengerikan (tabrakan mobil atau
pesawat). Peristiwa lainnya adalah perubahan dalam kehidupan seseorang,
seperti pindah ke tempat yang baru, pindah kerja, menikah, kehilangan
teman, menderita penyakit serius. Percekcokan sehari-hari juga dirasakan
sebagai stresor, misalnya perbedaan pendapat dengan orang lain. Stresor
juga berasal dari individu yang merupakan proses internal, yaitu konflik
antara tujuan atau tindakan yang tidak sejalan atau bertentangan. Konflik
juga dapat timbul jika dua kebutuhan internal atau motif berlawanan di
dalam masyarakat.
Sarafino (dalam Smet, 1994) membedakan penyebab atau sumber
stres itu dapat berasal dari dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan
masyarakat. Stres dari individu akan muncul melalui penilaian dari kekuatan
motivasional yang melawan, saat individu mengalami konflik. Penyebab
stres dari keluarga biasanya muncul karena interaksi antara anggota
muncul juga akibat interaksi individu dengan lingkungannya, misalnya
dalam dunia pekerjaan, pendidikan, komunitas tertentu, atau keadaan
lingkungan fisik seperti suhu, cuaca, kecelakaan, dan bencana alam.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
stresor dapat berasal dari berbagai konflik dalam kehidupan individu baik
secara internal maupun eksternal.
2.1.3 Gejala Stres
Secara umum, ada dua gejala stres yang sering muncul, yaitu gejala
fisik dan psikologis (Priyoto, 2014). Gejala fisik yang muncul ketika stres
adalah sakit kepala, mual, jantung berdebar-debar, keringat dingin, lelah,
sukar tidur, merasa gerah, alergi, tekanan darah tinggi. Gejala psikologis
yang muncul secara kognitif, yaitu cenderung memiliki ingatan yang lemah
atau pelupa, sulit berkonsentrasi, merasa tidak berguna, dan tidak mampu
mengatasi permasalahan. Individu juga cenderung mengalami
ketidakstabilan emosional seperti mudah marah atau sedih, merasa cemas,
dan frustasi. Perilaku yang cenderung muncul saat stres adalah peningkatan
2.2 Coping Stres
2.2.1 Definisi Coping Stres
Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000)
mendefinisikan coping stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang
berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan atau tekanan eksternal
maupun internal yang dinilai melebihi kemampuan individu.
Siswanto (2007) menambahkan bahwa coping mengarah pada
individu yang bereaksi atau menyesuaikan diri ketika menghadapi stres
sebagai upaya untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan kedua penjelasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan
bahwa coping stres adalah berbagai usaha untuk menyesuaikan diri atau
mengurangi tekanan internal maupun eksternal yang mempengaruhi
kehidupan individu dengan melakukan penilaian secara kognitif, bereaksi
terhadap sumber tuntutan atau tekanan, dan bertindak untuk memecahkan
masalah.
2.2.2 Jenis Coping Stres
Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi tiga jenis,
yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking social
support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba
mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional
focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola
respon emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres.
Sedangkan Seeking social support yaitu strategi atau usaha yang individu
dengan cara beralih ke orang lain untuk mencari bantuan dan dukungan
emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan dari orang lain bisa dapat
berupa materi atau non materi.
Ada lima bentuk problem focused coping. Pertama, Planning yang
merupakan usaha individu untuk menghadapi stresor atau menyelesaikan
masalah dengan membuat perencanaan atau beberapa alternatif pemecahan
masalah terlebih dahulu. Kedua, Active coping and problem solving yang
merupakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah. Kemudian
suppressing competing activities, yaitu usaha individu untuk melakukan
pemusatan perhatian hanya pada suatu masalah yang dihadapi sehingga
lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Keempat, exercising restraint
yang adalah pengelolaan stres dengan cara menunggu kesempatan sampai
pada waktu yang tepat untuk bertindak dalam menyelesaikan masalah
sehingga tidak tergesa-gesa. Bentuk terakhir problem focused coping adalah
assertive confrontation, yaitu usaha tegas dari individu dalam menghadapi
Pada emotional focused coping, ada tujuh bentuk pengelolaan stres.
Pertama adalah positive reinterpretation, yaitu individu menilai kembali
permasalahannya secara lebih positif sebagai bagian dari pengembangan
pengalaman hidupnya. Selanjutnya adalah acceptance, yaitu penerimaan
dari individu karena menyadari bahwa dirinya tidak dapat mengubah situasi.
Bentuk ketiga adalah denial yang merupakan penolakan atau penyangkalan
pada permasalahan yang dihadapinya. Bentuk keempat adalah repression,
upaya individu menghalangi atau menekan impuls yang muncul untuk
menghindari konflik atau permasalahannya sehingga tidak diekspresikan
dalam bentuk tingkah laku. Adapula escape avoidance yang merupakan
coping individu dengan menghindar atau melarikan diri dari masalah.
Berikutnya adalah wishful thingking, yaitu individu yang menganggap
bahwa masih ada harapan untuk menghadapi kembali permasalahannya.
Bentuk emotional focused coping yang ketujuh adalah controlling feelings.
Controlling feelings adalah coping individu untuk mengatur atau
mengontrol perasaan dengan memahami perasaannya sendiri dan mencoba
memahami permasalahan yang ada. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989)
menambahkan dua bentuk emotional focused coping, yaitu turning to
religion dan mental disengagement. Turning to religion adalah coping
keagamaan. Mental disengagement adalah coping alternatif untuk
mengalihkan permasalahan dengan melakukan aktivitas lain.
Coping stres yang terakhir adalah seeking social support dalam
empat bentuk berbeda. Help and guidance adalah individu yang mencari
bantuan dan petunjuk dari orang lain yang menghadapi masalah serupa atau
mungkin lebih berpengalaman. Berikutnya adalah emotional support, yaitu
upaya individu mencari dukungan sosial sebagai kekuatan untuk bertahan
dalam situasi yang bermasalah. Bentuk ketiga adalah affirmation of worth,
yaitu upaya individu mencari penegasan dari orang lain tentang manfaat
positif yang bisa diambil dari permasalahannya. Bentuk keempat dari
seeking social support, yaitu tangiable aid yang merupakan usaha individu
dengan mencari dukungan dari orang lain berupa materi seperti uang atau
penghasilan.
2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres
Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, et all., 2000) menyatakan
bahwa ada enam faktor pendukung atau sumber coping. Pertama, health and
energy dimana kesehatan individu secara signifikan berpengaruh terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah. Semakin kuat dan sehat maka
semakin lama mereka bertahan tanpa memasuki tahap kelelahan. Faktor
individu merancang coping untuk lebih percaya diri atau percaya pada orang
lain serta yakin akan pertolongan Tuhan. Selanjutnya adalah individu yang
merasa memiliki internal locus of control lebih berhasil melakukan coping
dibanding mereka yang tidak memiliki kontrol dalam hidupnya.
Social skills yang efektif membantu individu tidak hanya
berinteraksi tetapi juga mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang
dimiliki, meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi
permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang. Social support sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi coping bisa mencegah efek stres
akibat perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis,
kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Saat
berhadapan dengan stresor, teman dan keluarga memberi dukungan
sehingga bisa mengimbangi perubahan hidup seseorang. Faktor pendukung
lainnya adalah material resources dimana saat individu mengatasi stres
maka uang dan barang lain yang bisa dibeli dengan uang dapat menjadi
sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia
untuk menghilangkan stresor atau mengurangi efek stres.
2.3 Mahasiswa
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), mahasiswa didefinisikan
Mahasiswa erat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan
mahasiswa, termasuk di dalamnya kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di
luar perguruan tinggi.
Havighurst (dalam Sumanto, 2014) menyatakan bahwa mahasiswa
menginternalisasi nilai-nilai hidup masa remaja akhir hingga membawanya pada
masa dewasa awal dan menjadikannya pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa
dikatakan sebagai individu yang sedang dalam tahap perkembangan dewasa awal
pada usia 18-25 tahun. Masa ini ditandai dengan kegiatan yang bersifat
eksperimen dan eksplorasi sehingga terjadi perubahan yang berkesinambungan.
Transisi dari sekolah hingga ke perguruan tinggi sering kali melibatkan
karakteristik positif maupun negatif pada mahasiswa (Santrock, 2011). Di
perguruan tinggi, para mahasiswa cenderung merasa dirinya telah dewasa,
mampu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sebaya, memiliki lebih
banyak peluang untuk mengeskplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai
berbeda, lebih terbebas dari pengawasan orangtua, serta tertantang secara
intelektual oleh tugas-tugas akademis. Meski demikian, studi yang dilakukan
Asosiasi Kesehatan Universitas Amerika pada tahun 2008 menunjukan bahwa
lebih dari 90.000 mahasiswa di 177 perguruan tinggi mengungkapkan bahwa
mereka tidak memiliki harapan, merasa kewalahan dengan aktivitas akademik dan
Brouwer (dalam Siswanto, 2007) mencatat beberapa masalah yang
berkaitan dengan status sebagai mahasiswa. Permasalahan-permasalahan ini
menimbulkan tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, yaitu perbedaan cara
belajar, perpindahan tempat, mencari teman baru atau hal lain yang berkaitan
dengan pergaulan, perubahan relasi, pengaturan waktu, dan nilai-nilai hidup.
Perbedaan cara belajar di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk lebih
aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Memasuki perguruan tinggi,
perpindahan tempat membutuhkan energi yang besar untuk melakukan
penyesuaian karena sebagian besar mahasiswa dituntut untuk mandiri akibat
perpisahannya dengan orangtua. Mahasiswa memiliki kualititas hubungan yang
cenderung menurun dengan teman lamanya sehingga mencari teman baru yang
cocok dari berbagai latar belakang budaya di perguruan tinggi akan dilakukan
pada masa ini. Kegagalan mendapatkan teman bisa menimbulkan perasaan
kesepian. Permasalahan lain yang muncul dalam pertemanan dan pergaulan
adalah masalah seksualitas. Secara biologis, mahasiswa telah mencapai
kematangan seksual namun norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku
seksual secara penuh. Ketika mahasiswa menjalin relasi dengan lawan jenis, ia
dituntut untuk membuat keputusan atau pilihan sendiri dan dalam hal ini
seksualitas muncul menjadi masalah yang serius.
Mahasiswa mengalami perubahan relasi dari yang sifatnya personal
Begitu pula relasi teman sepermainan diganti dengan relasi antar-mahasiswa.
Perubahan relasi ini dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa.
Mahasiswa juga memiliki kebebasan dalam mengatur waktu karena tidak ada
orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan mengatur waktu antara kegiatan
kuliah, belajar, bermain, atau mengurus rumah tangga (bagi mahasiswa yang
sudah menikah), dan aktivitas lainnya dapat mengakibatkan masalah lain yang
berkaitan dengan tugas belajar. Di samping itu, informasi yang diterima di
perguruan tinggi biasanya lebih terbuka dan kemungkinan mahasiswa mengalami
krisis nilai hidup. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi dihadapkan dengan
nilai baru yang ditemui yang dirasakan mahasiswa justru lebih sesuai. Tidak
jarang selama masa krisis ini, mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak
menentu dan membawa setidaknya dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya.
Menurut Siswanto (2007), apabila mahasiswa yang bersangkutan berhasil
menangani tekanan atau masalah dengan sukses, maka dia akan dapat menjalani
kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan lancar. Sebaliknya, bila
mahasiswa tersebut gagal dalam melakukan penanganan atas permasalahan yang
dihadapinya, maka peranannya sebagai mahasiswa akan mengalami gangguan
2.4 Seks Pranikah
Schulz, Bohrnstedt, Borgatta, & Evans (1977) menyebutkan bahwa seks
pranikah atau premarital sexual intercourse adalah salah satu bentuk aktivitas
seksual (senggama atau coitus) pada laki-laki dan perempuan yang telah matang
secara biologis dan berlangsung tanpa ikatan perkawinan.
Pandangan mengenai aktivitas seksual terbagi dalam tiga kategori utama
(Papalia, 2011). Pertama, sikap tradisional atau sikap reproduktif tentang seks
bahwa seks hanya diperbolehkan untuk tujuan reproduksi dalam perkawinan.
Kedua, pandangan rekreasional tentang seks bahwa selama menyenangkan dan
tidak menyakiti orang lain maka sah-sah saja. Ketiga, hampir sebagian menganut
pandangan relasional bahwa seks harus disertai dengan cinta dan kasih sayang,
tapi tidak harus dengan pernikahan.
Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Christopher dan Cate (dalam
Sprecher & McKinney, 1993) yang mendasari seseorang berhubungan seksual
untuk pertama kalinya. Alasan pertama adalah positive affection atau
communication, yaitu hubungan seks (sexual intercourse) sebagai ungkapan cinta
pada pasangan meski ada kemungkinan terjadinya perkawinan. Alasan kedua
yang mendasari hubungan seks, yaitu arousal atau receptivity (gairah atau
keterbukaan) karena adanya rangsangan atau gairah fisik yang diterima segera
sebelum terjadinya hubungan seksual. Sedangkan alasan ketiga adalah obligation
untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan atau sebaliknya bahwa ada
tekanan yang muncul dari pasangan untuk melakukan hubungan seksual. Selain
itu, tekanan akan pengalaman teman yang terlibat dalam sexual intercourse juga
turut mendukung alasan seseorang melakukan hubungan seksual. Alasan keempat
adalah circumstantial yang merupakan faktor situasional dimana ada peningkatan
situasi yang mendukung terjadinya hubungan seksual.
Berkaitan dengan penelitian ini, dorongan yang muncul untuk penyaluran
kebutuhan seksual sering kali menyimpang dan mempengaruhi peningkatan seks
pranikah terutama di masa perkuliahan (Papalia, 2011). Di Indonesia sendiri, seks
pranikah dianggap menyimpang karena hubungan seksual (senggama) menjadi
hal yang sakral (seiring dengan masuknya agama Kristen) yang bukan hanya
hubungan biologis semata tetapi menjadi fungsi untuk menjaga keharmonisan
berumah tangga (Endraswara, dalam Handayani, 2010). Apabila seseorang
terlibat seks pranikah maka ia telah melanggar nilai dan norma yang dihidupi
dalam budaya Timur bahwa aktivitas seksual (senggama) harus dilakukan secara
sah, baik dalam hukum agama maupun negara. Herbert Miles (dalam
Djiwandono, 2008) menambahkan bahwa seks pranikah ditolak oleh orangtua,
agama, dan masyarakat karena beresiko mengalami infeksi menular seksual,
tekanan dari hati nurani dan perasaan bersalah, serta kehamilan diluar pernikahan.
Santrock (2011) menyatakan bahwa mahasiswa yang mengalami transisi
perubahan, diantaranya relasi dengan pasangan, rencana hidup, hak dan tanggung
jawab masing-masing pasangan terkait peran sebagai suami maupun istri.
Setelah menikah, pasangan suami istri akan menyesuaikan sistem
pernikahan untuk memberi ruang bagi anak dan merawat anaknya (Santrock,
2002). Mereka bertanggung jawab pada keuangan dan tugas rumah tangga
meskipun pengalaman dan implikasi dari pernikahan mungkin berbeda bagi
suami dan istri. Status sebagai istri disetujui untuk bertanggung jawab atas
pekerjaan rumah tangga dan suami seharusnya membantu. Istri merasakan
pekerjaan rumah tangga baik secara positif maupun negatif. Pekerjaan rumah
tangga yang dilakukan sebagian besar oleh istri adalah yang tidak pernah
berakhir, berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan, memasak,
mengawasi anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan beres-beres. Hal ini
menjelaskan bahwa beberapa pekerjaan sekaligus kurang membuat mereka santai,
merasa tertekan dan tidak menyenangkan, meskipun istri juga menikmati merawat
kebutuhan orang yang dikasihinya. Namun pekerjaan rumah tangga sering
membuat istri khawatir, melelahkan, hina, berulang dan tidak pernah selesai,
terisolasi, tidak dapat dihindari, serta tidak dihargai sehingga mereka memiliki
perasaan yang campur aduk. Santrock juga menambahkan bahwa kesulitan
2.5 Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah
Setiono (2011) menjelaskan bahwa seks pranikah adalah bentuk
penyaluran dorongan seksual yang menyimpang karena dapat mengakibatkan
kehamilan yang memungkinkan seseorang melaksanakan pernikahan secara
mendadak. Hal ini bertolak belakang dengan pernikahan ideal yang melalui
persiapan matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan perencanaan masa
depan bersama. Endraswara (dalam Handayani, 2010) juga menegaskan bahwa
sejarah masuknya agama Kristen di Indonesia berpengaruh terhadap nilai dan
norma yang berkembang mengenai aktivitas seksual yang hanya diperbolehkan
jika seseorang telah menikah secara sah dalam hukum negara dan agama.
Mereka yang terlibat seks pranikah disebut Santrock (2002) sebagai kaum
muda yang menjalani masa transisinya ke perguruan tinggi. Seks pranikah yang
mengakibatkan kehamilan pada mahasiswa menyebabkan ia harus menikah dan
menyesuaikan diri dengan peran sebagai ibu muda sekaligus mempertahankan
relasi dengan suami sebagai seorang istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).
Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah rentan terhadap berbagai
masalah. Sonata (2014) menyebutkan bahwa mereka mengalami ketegangan
emosional di masa kehamilannya, seperti perasaan bersalah, malu, dan marah
pada diri sendiri akibat seks pranikah, serta ketakutan akan masa depan
pernikahan. Percobaan bunuh diri dan membunuh pasangan juga muncul dalam
lingkungan sosial seperti rasa kecewa, marah, dan penolakan juga kerap kali
terjadi. Duvall (dalam Setiono, 2011) menambahkan bahwa tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi juga semakin meningkat seiring berjalannya
kehidupan berumah tangga sehingga apabila tidak mampu terpenuhi maka
menimbulkan ketergantungan pada orangtua.
Secara akademik, tuntutan sebagai kaum intelektual membuat mahasiswa
harus terlibat secara aktif dalam studi dan lingkungan akademisnya (Papalia,
2008). Hal ini menyebabkan mereka kesulitan untuk membagi peran gandanya
sebagai mahasiswa, istri, dan ibu sehingga ada penurunan prestasi akademik
karena terganggu dengan urusan rumah tangga (Sonata, 2014).
Keputusan untuk menikah bisa memunculkan berbagai permasalahan,
tekanan, tuntutan, atau situasi lain yang tidak menyenangkan karena kurangnya
persiapan sehingga berpotensi menimbulkan stres. Atkinson (2010) memperjelas
bahwa perubahan yang mendadak termasuk di dalamnya perubahan akibat
menikah dapat memicu stres. Dampak negatif yang muncul adalah sakit kepala,
kelelahan, sulit tidur, ketidakstabilan emosi, dan ketidakampuan untuk
berkonsentrasi serta menyelesaikan tugas (Priyoto, 2014). Oleh karena itu,
mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah perlu melakukan penanggulangan
atau usaha dalam mengolah stresor sehingga mereka dapat bertahan atau
mengurangi dampak negatif yang sekiranya berpengaruh pada kelangsungan
Usaha untuk menanggulangi stres disebut coping stres. Passer dan Smith
(2007) mengemukakan tiga jenis coping stres, yaitu problem focused coping,
emotional focused coping, dan seeking social support. Apabila coping stres tidak
efektif maka kondisi stres tidak berubah atau kemungkinan meningkat sehingga
berdampak pada stabilitas kehidupannya sehari-hari (Smet, 1994).
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti memfokuskan penelitian ini
pada coping stres yang digunakan oleh mahasiswa yang menikah pasca seks
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut
Creswell (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang tujuannya
menggali informasi secara lebih mendalam dengan setting alamiah pada individu
atau kelompok terkait permasalahan dalam konteks sosial yang dialami. Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif agar dapat menggali
informasi yang lebih mendalam pada informan terkait permasalahan sosialnya,
yaitu menggali berbagai informasi mengenai permasalahan yang muncul secara
rinci pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah beserta coping stres
yang digunakan oleh mereka. Melalui penelitian kualitatif, peneliti juga dapat
menyajikan informasi yang murni dari sudut pandang informan dengan prosedur
pengumpulan data yang alamiah (Creswell, dalam Herdiansyah, 2015).
Penelitian kualitatif ini menggunakan model penelitian studi kasus yang
oleh Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) menekankan pada eksplorasi dari suatu
sistem yang saling terkait satu sama lain pada beberapa hal dalam satu kasus
secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang
melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Ciri khas studi
(sebab-akibat) antara aspek atau faktor yang membentuk suatu fenomena merupakan sesuatu
yang penting untuk dijelaskan. Studi kasus juga memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri dari kasus atau masalah yang diangkat.
Penelitian ini sesuai dengan model studi kasus karena informan penelitian
memiliki pengalaman yang unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan
pendidikannya di perguruan tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat
yang sama pasca seks pranikah. Oleh karena itu, studi kasus sejalan untuk
mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.
3.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini hendak memfokuskan pada penggalian informasi mengenai
berbagai masalah yang kemungkinan memicu stres yang disertai dengan coping
pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.
3.3 Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah tiga mahasiswa yang masih aktif kuliah dan
menikah pasca seks pranikah. Rentang usia mereka adalah 18-25 tahun. Mengacu
pada kriteria ini, tentunya mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah memiliki
potensi stres karena belum menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi
sekaligus ibu. Pada pelaksanaannya, hanya dua informan yang bersedia untuk ikut
serta dalam penelitian ini.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara.
Stewart dan Cash (dalam Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa wawancara
adalah suatu informasi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau sharing aturan,
tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi. Wawancara
melibatkan komunikasi dua arah antara informan dan peneliti sehingga dapat
mencapai tujuan melalui komunikasi tersebut.
Ada tiga bentuk wawancara dalam penelitian kualitatif (Herdiansyah,
2015), yaitu wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan wawancara tidak
terstruktur. Peneliti menggunakan bentuk wawancara semi-terstruktur karena
sifatnya yang fleksibel bagi peneliti untuk menyesuaikan informasi yang berasal
dari cerita informan. Terdapat lima tahapan yang dilakukan peneliti dalam
melakukan pengambilan atau pengumpulan data. Pertama, peneliti mencari
informan yang sesuai dengan kriteria informan penelitian. Kedua, meminta
kesediaan informan untuk diwawancarai dan mengatur jadwal pertemuan. Ketiga,
peneliti membuat kesepakatan untuk pengambilan data yang jaminan
kerahasiannya dituangkan secara tertulis dalam informed consent lalu ditanda
informan sekaligus menyampaikan tujuan penelitian. Kelima, peneliti mulai
melakukan pengambilan data dengan alat perekam dalam proses wawancara.
Pada proses pengumpulan data, peneliti memberikan pertanyaan terbuka
namun ada batasan tema dan alur pembicaraan dari panduan wawancara sehingga
dapat dijadikan sebagai patokan wawancara. Penduan wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sub-pertanyaan yang berasal dari pertanyaan
penelitian.
Tabel 1. Panduan Wawancara
Pertanyaan Penelitian Panduan Wawancara
Bagaimana suka duka pengalaman
anda selama berumah tangga ?
• Bisakah anda menceritakan
aktivitas anda setiap hari ?
• Menurut anda, apa saja
pengalaman yang berkesan ?
• Bagaimana dengan duka atau
permasalahan yang pernah terjadi ?
Bagaimana usaha atau cara anda
untuk mengatasi permasalahan ?
• Bagaimana menyelesaikan setiap
permasalahan yang menghampiri
3.5 Metode Analisis Data
Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2015) mengemukakan tahapan
dalam melakukan analisis data kualitatif, antara lain :
1. Tahap pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data berupa hasil wawancara
yang sesuai dengan topik penelitian.
2. Tahap reduksi data yang merupakan proses penggabungan dan penyeragaman
segala bentuk data menjadi satu bentuk tulisan (script). Rekaman hasil
wawancara diubah menjadi bentuk verbatim wawancara kemudian dianalisis
oleh peneliti.
3. Tahap display data, yaitu mengolah data setengah jadi yang seragam ke dalam
bentuk tulisan dan memiliki alur tema yang jelas melalui tabel akumulasi data.
Peneliti lalu membuat matriks kategorisasi sesuai kategori atau
pengelompokan tema-tema. Tema yang ada dipecah dalam bentuk yang lebih
konkret dan sederhana, yaitu subtema. Setelah itu, peneliti memberi kode
(coding) dari subtema yang sesuai dengan verbatim wawancara.
4. Kesimpulan atau verifikasi merupakan tahapan akhir dalam menganalisis
data. Ada tiga cara yang perlu dilakukan dalam tahapan ini. Pertama,
menguraikan subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan pengodean
disertai dengan quote verbatim wawancara. Kedua, memberi penjelasan hasil
penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian sebelumnya. Ketiga,
3.6 Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan pengganti konsep
validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai
maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok
sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Peneliti
menggunakan validitas komunikatif agar dapat mengkonfirmasi data dan hasil
analisis mengenai permasalahan serta coping stres yang digunakan oleh kedua
informan penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan
kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan
melihat kembali data mentah. Pada validitas argumentatif, peneliti melakukan
diskusi bersama dosen pembimbing terkait data dan hasil analisis dengan harapan
bahwa temuan tidak mengandung unsur subjektifitas dari peneliti.
Moleong (2009) menyatakan bahwa kredibilitas suatu penelitian juga bisa
dicapai dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
untuk mengecek atau membandingkan data yang ada dengan sumber lain. Pada
penelitian ini, triangulasi hendak dicapai dengan menggali informasi perihal
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pelaksanaan PenelitianPelaksanaan penelitian berlangsung selama tiga bulan, yaitu pada bulan
Juli sampai dengan Oktober 2016. Penelitian ini menggunakan wawancara semi
terstruktur untuk memperoleh data dari informan. Peneliti membuat panduan
wawancara yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan
coping stres yang digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.
Informan yang diwawancarai adalah mahasiswa yang aktif kuliah dan menikah
setelah seks pranikah.
Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari informan yang sesuai kriteria
karena beberapa orang yang dihubungi menolak untuk berbagi pengalamannya.
Awalnya peneliti memilih tiga orang sebagai informan dalam penelitian ini.
Peneliti sebelumnya sudah kenal dengan dua diantara mereka. Peneliti kemudian
mencari informan ketiga dengan bertanya pada beberapa teman, namun dua orang
yang dihubungi tidak merespon. Pada akhirnya, hanya dua informan yang
berkenan untuk terlibat pada penelitian ini.
Peneliti menghubungi kedua informan lalu meminta kesediaan mereka.
Peneliti kemudian membuat janji untuk bertemu. Pada pertemuan pertama,
informan dan peneliti. Peneliti juga berbagi pengalaman pada informan mengenai
alasan peneliti untuk mengangkat kasus seks pranikah menjadi suatu topik penelitian.
Setelah itu, peneliti menyampaikan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Peneliti
memberi kesempatan pada informan untuk membaca informed consent lalu kembali
menjelaskannya secara lisan dengan singkat dan lebih jelas terutama saat informan
menanyakan beberapa hal yang belum jelas. Peneliti meminta persetujuan untuk
menggunakan alat perekam selama wawancara berlangsung lalu mulai melaksanakan
wawancara.
Peneliti melaksanakan wawancara dengan bertemu secara langsung pada
kedua informan. Akan tetapi, informan pertama sedang ada kesibukan sehingga
wawancara ketiga dilakukan via telepon. Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan
Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara
Waktu Kegiatan Tempat
Rabu, 20 Juli 2016 Wawancara pertama NP
Kos adik NP
Kamis, 28 Juli 2016 Wawancara kedua NP
Kos adik NP
Senin, 19 September 2016
Wawancara ketiga NP
(via telepon)
-
Minggu, 14 Agustus 2016
Wawancara pertama AN
Kos AN
Selasa, 20 September 2016
Wawancara kedua AN
Kos AN
Kamis, 20 Oktober 2016
Wawancara ketiga AN
Kos AN
4.2
Profil Informan4.2.1
Informan PertamaInforman pertama adalah NP yang berusia 22 tahun dan saat ini
sedang menempuh pendidikannya di salah satu universitas swasta di
Yogyakarta. NP memandang dirinya sebagai orang yang moody dan
pencemburu. NP menganut agama Katolik dan memiliki latar belakang
tinggal bersama adik dan kedua orangtuanya di Papua lalu pindah ke
Klaten, Jawa Tengah saat kelas tiga SMP.
NP mengatakan bahwa ia berpacaran dengan suami secara tidak
sengaja. NP merasa dirinya terlalu bebas dan kurang bisa menjaga iman
karena tergoda dengan gaya pacaran jaman sekarang. Jika keduanya sering
bertemu, mereka bisa melakukan hubungan seksual maksimal tiga kali
dalam satu bulan di kos suami. Kos suaminya terlihat bebas dan NP
pernah melihat salah satu diantara penghuni kos tinggal bersama
pasangannya. Pemilik kos tersebut mengetahui kebiasaan mereka yang
tinggal di sana tetapi pemilik kos bersikap cuek.
NP menikmati hubungan seksualnya, merasa senang dan tidak ada
rasa bersalah. Sadar akan aktivitas seksualnya, NP pernah mencari
informasi untuk mencegah kehamilannya agar tidak ada pihak yang
dirugikan. NP mulai curiga ketika dirinya terlambat datang bulan. NP
mendatangi dokter dan melakukan pemeriksaan dengan testpack lalu
terbukti hasilnya positif hamil. NP bercerita bahwa ia kaget, menyesal,
sedih, dan merasa dirinya bodoh pada saat itu. NP juga mengatakan bahwa
ia berusaha menggugurkan kandungannya namun tetap gagal.
NP dan suaminya merasa takut akibat kehamilan NP sehingga
mereka memberitahu orangtua NP melalui sepucuk surat. Menurut
lingkungan gereja maupun lingkungan rumah. Orangtua NP merasa
kecewa, kaget, dan frustasi setelah mengetahui kehamilannya. Namun,
orangtua NP akhirnya menelpon ayah mertua NP untuk bertemu dan
mengurus pernikahan mereka.
NP mengungkapkan bahwa pernikahannya di awal tahun 2014
merupakan pernikahan yang tidak direncanakan. NP dan suaminya
menikah secara Katolik atas keputusan khusus dari Romo Paroki karena
kasus hamil di luar nikah. NP juga menilai bahwa dalam budayanya, kasus
pernikahan NP masih dinilai negatif. Setelah menikah, NP bersama anak
dan suaminya masih tinggal di rumah orangtua NP. Kebutuhan untuk
makan sehari-hari masih ditanggung oleh orangtua NP. Begitu pula biaya
susu dan asuransi kesehatan (sebelum suami bekerja) yang dibantu oleh
ayah mertua NP.
Membangun sebuah pernikahan membuat NP mengalami beberapa
pengalaman yang kurang menyenangkan. NP mengalami perselisihan
dengan ibu mertuanya dan dipaksa oleh orangtua untuk bertanggung
jawab atas segala pekerjaan rumah. Ketakutan akan urusan akademik dan
rumah tangga yang terbengkalai serta konflik dengan suami juga terjadi
4.2.2
Informan KeduaInforman kedua adalah AN yang berusia 20 tahun. Menurut AN,
ia adalah sosok yang mandiri, tertata, dan tegas. AN juga menilai dirinya
sebagai perempuan yang tomboi namun bisa merangkul teman-temannya.
AN kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. AN merupakan
anak pertama dari dua bersaudara dan sejak usia 1,5 tahun tinggal bersama
eyangnya di Malang karena orangtua AN tidak bisa fokus merawat AN
pasca melahirkan sang adik. AN menganut agama Katolik dan memiliki
latar belakang suku Jawa. Keluarga AN masih termasuk keturunan ningrat
dan memiliki pola asuh yang keras secara turun-temurun. Mereka juga
berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke atas.
AN menjalin hubungan dengan sang suami saat ia masih
berpacaran dengan mantan kekasihnya (DN). Setelah putus, AN
berpacaran dengan sang suami lalu akhirnya menikah. DN beberapa kali
mencoba untuk menghubungi AN sehingga menimbulkan konflik diantara
mereka. Satu bulan menikah, AN sulit untuk bangun dari tempat tidur
sehingga harus diperiksakan ke dokter. AN merasa kaget saat mengetahui
hasil USG bahwa usia kehamilannya mencapai lima bulan dan tidak
sejalan dengan usia pernikahannya.
AN menyadari bahwa di masa lalunya ia kerap kali melakukan
setelah mereka berpacaran lebih dari empat tahun. AN mengatakan bahwa
ia mempercayai DN dan merasa lebih nyaman dengan DN dibanding
orangtuanya sendiri. AN juga mengatakan bahwa DN membutuhkan
sosok seperti dirinya yang dapat berperan sebagai pacar, teman, sekaligus
ibu. AN mengungkapkan pula bahwa sikap DN sama seperti ayah AN.
AN dan DN selalu melakukan hubungan seksual di rumah DN
karena situasinya yang mendukung. Meski begitu, AN bercerita bahwa ia
dan DN tidak langsung melakukan hubungan seksual dengan leluasa.
Awalnya mereka hanya melakukan hubungan seksual sekali dalam satu
atau dua bulan. Kemudian meningkat menjadi sekali dalam satu atau dua
minggu hingga hampir tiap hari melakukan hubungan seksual. AN
mengatakan bahwa ia hanya meneteskan air mata dan merasa takut saat
pertama kali berhubungan intim.
AN mengakui perbuatannya pada sang suami dan menyatakan
bahwa DN adalah ayah biologis dari anak yang dikandungnya. AN
menilai suaminya sangat baik dan berjiwa besar karena sang suami mau
menerima keadaan AN. Mereka juga sepakat untuk merahasiakan status
anaknya dari siapapun.
AN mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat bahagia
sekaligus kehilangan selama menjalani pernikahannya. Penuturan AN
pekerjaan rumah tangga. AN lebih dimanjakan oleh suaminya karena AN
sedang hamil. Kehamilan AN menyebabkannya harus mengambil cuti di
awal masa kuliah dan menghambat beberapa kegiatan akademik. AN juga
merasa sedih ketika ia tinggal di rumah mertua yang artinya ia harus
berpisah dengan eyangnya. AN mengalami perubahan yang mendadak
saat harus berpisah dengan sang suami yang melanjutkan pendidikan
pasca sarjana di luar negeri. AN juga merasa sedih dan kehilangan saat
menghadapi kenyataan ketika mengetahui suaminya meninggal akibat
kecelakaan mobil saat pulang ke Indonesia.
4.3
Hasil Penelitian4.3.1
Informan PertamaSecara umum, ada dua jenis permasalahan yang muncul, yaitu
permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal pada NP
menghasilkan tiga tema, yaitu konflik internal atau konflik dengan diri
sendiri, tuntutan ibu rumah tangga, dan hambatan atau tekanan fisik.
Permasalahan eksternal yang dialami oleh NP memunculkan enam tema
besar diantaranya permasalahan sosial, permasalahan dengan figur otorita,
hambatan lingkungan medis, tuntutan akademik, permasalahan dalam
permasalahan ekonomi. Berikut ini adalah gambaran permasalahan NP
yang disertai dengan upaya dalam menyelesaikan permasalahannya.
a. Permasalahan Internal dan Upaya untuk Menyelesaikannya
1) Konflik Internal atau Konflik dengan Diri Sendiri
Konflik internal berikutnya yang dialami NP, yaitu krisis
kepercayaan diri dan krisis kepercayaan akan Tuhan. NP merasa
memiliki cobaan yang sangat berat. NP marah dan menyalahkan
Tuhan. NP merasa takut jika teman-temannya tidak menerimanya.
NP juga memikirkan pendidikannya sekaligus rumah tangganya
kelak.
kayak gitu (NP, W2, 28-07-2016, 184-191, 196-198, 202-205, 225-233)”.
NP bertanya dan mencurahkan isi hatinya pada orang lain untuk
mengatasi permasalahannya. NP juga diberi motivasi untuk tetap
melakukan aktivitasnya.
“Em usaha, saya sering curhat sama orangtua, terus juga sama Romo, kebetulan kan juga dekat sama Romo kan. Terus ditanya-ditanya kayak gini ni gimana ya Romo, terus dinasehatin, kayak gitu sih. Terus ada beberapa orang yang dekat, yang lebih tua dari aku jadi dinasehatin, ini harus kayak gini, kamu harus tetap semangat, kamu harus bisa survive di perkuliahanmu, dan kamu juga harus bisa jadi ibu, kayak gitu… makanya orangtuaku menggalak lagi, memaksakan lagi ayo ikut kegiatan lingkungan lagi, ikut koor-koor lagi, gak usah kamu mikir kamu udah punya anak, gak apa-apa, mereka mau kok, kan anakmu nanti jadi Romo (NP, W2, 28-07-2016, 208-214, 237-240)”.
2) Tuntutan Ibu Rumah Tangga
NP mengungkapkan kesulitannya ketika dirinya usai menyelesaikan
tugas hingga larut malam dan harus bangun untuk menyiapkan susu
anaknya. Suaminya yang lelah sepulang kerja tidak membantu NP.
Pada saat menghadapi situasi seperti kutipan wawancara di atas, NP
tetap menjalani tanggung jawabnya dan belajar untuk mandiri.
“ya harus dijalani sih. Namanya juga udah punya keluarga kan. Jadi ee belajar mandiri lebih dini. Ya kayak gitu (NP, W1, 20-07-2016, 1047-1049)”.
3) Hambatan atau Tekanan Fisik
Tekanan fisik yang dialami NP, yaitu ketika NP hamil dan
menyadari dirinya seperti sedang menstruasi. NP mengungkapkan
bahwa ia merasa takut. Berikut ini kutipan wawancara dari NP.
“Waktu itu kan udah berapa bulan ya habis itu aku kan di kos ini kan, kan lagi kerja tugas kan. Tiba-tiba tuh kan sa ada tidur (saya sedang tidur). Sa kan baru kerjakan tugas kerja paper itu tiba-tiba kok sa kayak menstruasi gitu kan sa takut…(NP, W1, 20-07-2016, 319-321)”.
Pada saat NP merasa takut akibat kejadian seperti kutipan di atas,
NP langsung menelpon orangtuanya dan dijemput bersama sang
suami untuk pulang ke Klaten.
“Sa takut sa telpon sa pu orangtua (saya takut lalu menelpon orangtua saya) DM kan lagi kerja tugas akhir to. Sa telpon orangtua, orangtuaku panik langsung dijemput, DM juga dijemput trus akhirnya kita bermalam di rumah sana di Klaten. (NP, W1, 20-07-2016, 321-325)”.
NP juga mengalami kram perut terus menerus ketika mengerjakan
tugas. Pada saat yang sama NP mengatakan bahwa dirinya melihat
tiga laki-laki bertubuh hitam. Tiga laki-laki tersebut berdiri
“Latihan koor di rumah, sa tuh di dalam kamar. Sa tuh kayak sa lagi kerja tugas sa tuh kayak rasa kram-kram gitu lho kram perut biasa (saya di dalam kamar, merasa kram perut seperti biasa). Tapi tuh sa lihat misalnya sini tuh ee lemari lemari baju, sini tuh tempat tidur (NP membayangkan posisi kamarnya sambil menunjuk arah). Sa rasa tuh sa pas kram-kram itu orang ada, 3 cowo (ketika merasa kram-kram perut, saya seperti merasa ada 3 orang cowo). Cowo gitu hitam-hitam gitu tapi ga kelihatan mukanya itu berdiri, berdiri kayak nungguin saya gitu kan. Sa sudah mulai takut… tapi pas malam itu sa sakit perut terus kan kram trus kayak pengen buang air besar. Tapi kan ga bisa buang air besar (NP, W1, 20-07-2016, 330-341, 347-348)”.
NP yang mengalami kram perut dan ketakutan dengan peristiwa
tersebut akhirnya meminta bantuan pada orangtuanya.
“…ruang tamu cuma di depan situ saja langsung telpon mamaku di luar (saya mulai takut, meski ruang tamu dekat saya menelpon mama saya). ‘halo mama kenapa ada orang tiga di sini di dalam kamar ? kakak sakit perut’ trus mamaku datang (NP, W1, 20-07-2016, 341-342)”.
b. Permasalahan Eksternal dan Upaya untuk Menyelesaikannya
1) Permasalahan Sosial
Masalah pertama NP adalah permasalahan komunikasi dengan
perusahaan karena tidak ada peraturan yang jelas mengenai jadwal
mengajar antara kedua belah pihak. NP merasa marah dengan hal
tersebut. NP juga merasa dikecewakan karena gajinya tidak
sebanding dengan pengorbanan waktu dan biaya.
kegiatan, ada les, tapi mereka bisa seenaknya tiba-tiba hari ini juga bilang tidak ada les. Begitu, itu yang tidak enaknya. E.. itu rasanya kayak di-PHP-in pacar ya (NP dan peneliti tertawa bersama) dan sudah berkali-kali sampe emosi sendiri.(NP, W1, 20-07-2016, 55-62, 65-66)… kalau gajinya kecil itu kayak tidak sebanding dengan pengorbanan waktu, kayak pengorbanan bensin kita… Jadi yah sedikit mengecewakan (NP, W2, 28-07-2016, 37-38, 44-45)”.
Ketika NP mengalami situasi bermasalah seperti yang dipaparkan
di atas, ia dapat mengambil pengalaman positif dan
menganggapnya sebagai bentuk latihan untuk kerja di perusahaan.
“Jadi yah kita jadi latihan kerja. Kita bisa berterima kasih kita bisa dapatkan pengalaman gimana rasanya kalau bekerja di perusahaan… Iya lebih ke pengalaman positif (NP, W2, 28-07-2016, 55-57, 58”
NP sering ijin dan susah ditemui oleh teman-temannya untuk
mengerjakan tugas kelompok sehingga mereka kesal padanya. NP
mengungkapkan bahwa ia merasa kecewa karena teman-temannya
belum bisa memaklumi keadaan NP.
“Mungkin dampaknya itu teman-teman pada kesel sama aku karena susah ketemu kan, terus kayak kerja kelompok, kayak gitu karena aku ijin gitu lah. Kecewa karena mereka belum bisa memaklumi (NP, W2, 28-07-2016, 278-280)”.
Pada saat NP berkonflik dengan teman-temannya, NP mencoba
memberi pengertian dan mengerjakan tugasnya dengan baik.