8 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Atribusi
Menurut Robbins dan Judge (2008) “Teori atribusi menyatakan bahwa ketika individu mengamati perilaku individu lainnya, individu tersebut berupaya untuk menjelaskan apakah perilaku tersebut disebabkan pihak internal ataupun eksternal.” Perilaku yang disebabkan secara internal merupakan perilaku yang berada pada tingkah laku pribadi seorang individu sendiri. Perilaku yang disebabkan secara eksternal merupakan perilaku yang dianggap sebagai akibat dari pihak luar, yaitu individu secara tidak langsung atau dipaksa berperilaku demikian oleh suatu kondisi.
Teori atribusi menjelaskan tentang pemahaman akan reaksi seseorang terhadap peristiwa di sekitar mereka, dengan mengetahui alasan-alasan mereka atas kejadian yang dialami. Teori atribusi dijelaskan bahwa terdapat perilaku yang berhubungan dengan sikap dan karakteristik individu, maka dapat dikatakan bahwa hanya melihat perilakunya akan dapat diketahui sikap atau karakteristik orang tersebut serta dapat juga memprediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.
Penelitian ini menggunakan teori atribusi karena peneliti melakukan studi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi auditor dalam menilai kualitas audit yang dilakukannya, khususnya pada karakteristik personal auditor itu sendiri. Pada dasarnya karakteristik personal seorang auditor merupakan salah satu penentu terhadap kualitas hasil audit yang akan dilakukan karena merupakan suatu faktor internal yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas.
2.1.2 Audit
2.1.2.1 Pengertian Audit
Audit merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap pengendalian intern dimana bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan pengamanan supaya dapat mendeteksi terjadinya penyelewengan dan ketidakwajaran yang dilakukan oleh perusahaan.
Menurut Mulyadi (2014:9):
Audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.
Sumber lain yakni Agoes (2012:4) menyatakan bahwa:
Audit merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Sedangkan menurut Arens, dkk (2015:2) “Audit merupakan pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan.”
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa audit merupakan suatu proses sistematis dan kritis yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai asersi (pernyataan) dengan kriteria yang telah ditetapkan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai laporan keuangan auditan yang berkepentingan.
2.1.2.2 Tujuan Audit
Berdasarkan beberapa definisi audit yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan audit pada umumnya untuk menentukan keandalan dan integritas informasi keuangan; ketaatan dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum, dan regulasi; serta pengamanan aktiva. Dengan demikian tujuan audit menghendaki akuntan memberi pendapat mengenai kelayakan dari pelaporan keuangan yang sesuai standar auditing.
Menurut Mulyadi (2002:67) “Tujuan audit umum atas laporan keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha serta arus kas
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku.” Sedangkan menurut Arens, dkk (2015:168) “Tujuan audit adalah untuk menyediakan pemakai laporan keuangan suatu pendapat yang diberikan oleh auditor tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka kerja akuntansi keuangan yang berlaku. Pendapat auditor ini menambah tingkat keyakinan pengguna yang bersangkutan terhadap laporan keuangan.”
2.1.2.3 Standar Audit
Menurut Arens, dkk (2012:42) menyatakan bahwa: “Standar auditing merupakan pedoman umum untuk membantu auditor memenuhi tanggungjawab profesionalnya dalam audit atas laporan keuangan historis. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional seperti kompetensi dan independensi, persyaratan pelaporan dan bukti.”
Standar audit yang telah ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut (SPAP, 2013) :
1. Standar umum
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan
seksama.
2. Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman memadai atau pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit
3. Standar Pelaporan
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukan atau menyatakan, jika ada, ketidak konsistenan penerapan standar akuntansi dalam penyusunan
laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan standar akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggungjawab yang dipikul oleh auditor.
2.1.3 Auditor
2.1.3.1 Pengertian Auditor
Menurut Arens, dkk (2013:5) “Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia.” Sedangkan menurut Mulyadi (2014:71), “Auditor adalah akuntan publik yang memberikan jasa audit kepada auditan untuk memeriksa laporan keuangan agar bebas dari salah saji.
Menurut Bayangkara (2015:2) “Auditor merupakan pihak pertama yang melakukan audit terhadap pertanggungjawaban pihak kedua kepada pihak ketiga dan memberikan pengesahan hasil auditnya untuk kepentingan pihak ketiga.”
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa auditor adalah seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi, dan untuk menemukan ketidakwajaran terkait dengan informasi yang di sajikan.
2.1.3.2 Jenis-Jenis Auditor
Menurut Mulyadi (2014:28), jenis auditor dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Auditor Independen (Independent Auditors)
Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat kliennya. Audit tersebut terutama ditujukan untuk para pemakai informasi keuangan, seperti kreditur, investor, calon kreditur, calon investor dan instansi pemerintah.
2) Auditor Internal (Internal Auditor)
Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, yaitu menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan kendalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Umumnya pemakai jasa auditor intern adalah Dewan Komisaris atau Direktur Utama Perusahaan.
3) Auditor Pemerintah (Government Auditor)
Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pusat pertanggung jawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah.
Meskipun terdapat banyak auditor yang bekerja di instansi pemerintah, namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawasan Keuangan (BPK), serta instansi pajak.
2.1.4 Kualitas Audit
2.1.4.1 Pengertian Kualitas Audit
Arens, dkk (2015:103) mengemukakan bahwa:
Kualitas audit adalah bagaimana cara memberitahu seorang audit mendeteksi salah saji material laporan dalam laporan keuangan, aspek deteksi adalah cerminan dari kompetensi auditor, sedangkan pelaporan adalah cerminan dari integritas auditor, khususnya independesi auditor.
Sumber lain yakni Mulyadi (2014:43) mengemukakan bahwa:
Kualitas audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomis, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasil-hasil kepada pemakai yang berkepentingan.
Berdasarkan (IAI) Ikatan Akuntansi Indonesia (2016) menyatakan bahwa
“Audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu.”
Standar yang telah diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Profesional Akuntan Publik, terdiri dari:
1) Standar Umum
a) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakna kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
2) Standar Pekerjaan Lapangan
a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b) Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c) Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3) Standar Pelaporan
a) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d) Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi.
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas audit merupakan segala kemungkinan pada saat seorang auditor melakukan auditing laporan keuangan klien menemukan pelanggaran, penyelewengan, kesalahan, dan kekeliruan dalam sistem akuntansi klien dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan.
2.1.4.2 Standar Pengendalian Kualitas Audit
Menurut Arens diterjemahkan oleh Wibowo (2015:45) terdapat enam unsur pengendalian mutu audit yaitu sebagai berikut:
1. Tanggung jawab kepemimpinan demi kualitas perusahaan
Perusahaan harus mempromosikan budaya bahwa kualitas adalah hal yang esensial dalam melaksanakan penugasan dan harus menetapkan kebijakan serta prosedur yang mendukung budaya tersebut.
2. Persyaratan etis yang relevan
Seluruh personel yang bertuga harus mempertahankan independennya dalam fakta dan penampilan, melaksanakan semua tanggung jawab profesionalnya dengan penuh integritas, serta mempertahankan objektivitas dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya.
3. Penerimaan dan kelanjutan klien serta penugasan
Kebijakan dan prosedur harus ditetapkan untuk memutuskan apakah akan menerima atau melanjutkan hubungan dengan klien.
4. Sumber daya manusia
Kebijakan dan prosedur harus ditetapkan untuk memberi Kantor Akuntan Publik kepastian yang wajar bahwa:
a. Semua personal baru memiliki kualifikasi untuk melakukan pekerjaan secara kompeten.
b. Semua personel ikut serta dalam pendidikan profesi berkelanjutan serta kegiatan pengembangan profesi yang memungkinkan mereka memenuhi tanggung jawab yang diberikan.
c. Personel yang terpilih untuk promosi kanaikan jabatan memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk memenuhi tanggung jawab yang diberikan.
5. Kinerja penugasan
Kebijakan dan prosedur harus memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan oleh personel penugasan memenuhi standar profesi yang berlaku, persyaratan peratuaran dan standar mutu KAP itu sendiri.
6. Pemantauan
Harus ada kebijakan dan prosedur yang memastikan bahwa unsur pendendalian mutu laiannya ditetapkan secara efektif.
2.1.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit
Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah:
1. Lama hubungan dengan klien (tenure audit)
Lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan semakin rendah.
2. Jumlah klien
Semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik, karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya.
3. Kesehatan keuangan klien
Semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar.
4. Telaah dari rekan auditor (peer review)
Kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan di review oleh pihak ketiga atau rekan auditor.
2.1.5 Independensi
2.1.5.1 Pengertian Independensi
Seorang auditor harus independen dalam melakukan audit, karena tanpa adanya independensi masyarakat tidak dapat mempercayai hasil audit.
Menurut SPKN (2017), mendefinisikan bahwa:
Independensi adalah suatu sikap dan tindakan dalam melaksanakan pemeriksaan untuk tidak memihak kepada siapapun dan tidak dipengaruhi oleh siapapun. Pemeriksa harus objektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Pemeriksa juga harus bertanggung jawab untuk terus- menerus mempertahankan independensi dalam pemikiran (independence of mind) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance).
Independensi menurut Mulyadi (2014:26-27) dapat diartikan “Sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.” Sedangkan menurut Fitrawansyah (2014:47) menyatakan bahwa
“Independensi artinya bebas dari pengaruh baik terhadap manajemen yang bertanggung jawab atas penyusunan laporan maupun terhadap para pengguna laporan tersebut.”
Independensi dalam melakukan audit digunakan untuk menghasilkan pendapat atau kesimpulan audit yang objektif, yang bebas dari pengaruh pihak- pihak berkepentingan. Seorang auditor harus memiliki independensi dalam melakukan audit agar dapat memberikan pendapat atau kesimpulan yang apa adanya tanpa ada pengaruh dari pihak yang berkepentingan (BPKP, 1998).
Pernyataan standar umum kedua SPKN adalah: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”. Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian
rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun.
Kepercayaan masyarakat umumnya atas independensi sikap auditor independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa independensi sikap auditor ternyata berkurang, bahkan kepercayaan masyarakat dapat menurun juga disebabkan oleh keadaan mereka. Pikir sehat dianggap dapat mempengaruhi sikap independensi tersebut, untuk menjadi independen auditor harus secara intelektual jujur, untuk diakui pihak lain sebagai orang yang independen, audit harus bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai suatu kepentingan dengan kliennya, apakah manajemen perusahaan atau pemilik perusahaan (Agoes, 2012:13).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa independensi merupakan sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang auditor agar tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun yang dapat mempengaruhi hasil auditnya.
2.1.5.2 Jenis-Jenis Independensi
Menurut Agoes (2014:34), mengemukakan bahwa jenis independensi bagi internal auditor ada 3 jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Independensi dalam Fakta (Independence in Fact)
Akuntan publik seharusnya independen, sepanjang dalam menjalankan tugasnya memberikan jasa profesional, bisa menjaga integritas dan selalu menaati kode etik, profesi akuntan publik dan standar profesional akuntan publik. Artinya auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan objektivitas.
2. Independensi dalam Penampilan (Independence in Appearance)
Akuntan publik adalah independen karena merupakan pihak diluar perusahaan, sedangkan auditor internal tidak independen karena merupakan pegawai perusahaan. Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
3. Independensi dalam Pikiran (Independence in Mind)
Misalnya seorang auditor mendapatkan temuan audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi yang memerlukan koreksi audit yang material. Kemudian dia berpikir untuk menggunakan temuan audit tersebut untuk memeras auditee. Walaupun baru dipikirkan, belum dilaksanakan, dalam pikiran auditor sudah kehilangan independensinya.
2.1.6 Skeptisisme Profesional
2.1.6.1 Pengertian Skeptisisme Profesional
Berdasarkan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007 dalam pelaksanaan pemeriksaan dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan saksama dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelayanan atas kepentingan publik serta memelihara integritas, obyektivitas, dan independensi dalam menerapkan kemahiran profesionalnya terhadap setiap aspek pekerjaannya. Kemahiran profesional menuntut pemeriksa untuk melaksanakan skeptisisme profesional, yaitu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti pemeriksaan (Lovita dan Rustiana, 2016).
Pemeriksa harus merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan pemeriksaan dengan sikap skeptisisme profesional. Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional dalam menilai risiko terjadinya kecurangan yang secara signifikan untuk menentukan faktor-faktor atau risiko-risiko yang secara signifikan dapat mempengaruhi pekerjaan pemeriksa apabila kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi.
Menurut SPKN (2017) menyatakan bahwa:
Skeptisisme profesional berarti pemeriksa tidak menganggap bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah tidak jujur, tetapi juga tidak menganggap bahwa kejujuran pihak yang bertanggung jawab tidak dipertanyakan lagi.
Skeptisisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti pemeriksaan atau hal-hal lain selama pemeriksaan.
Menurut Sudrajat, dkk (2015) menyatakan bahwa:
Skeptisisme profesional auditor adalah suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Kualitas hasil pemeriksaan akan meningkat dengan adanya peningkatan skeptisisme profesional auditor.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional merupakan suatu sikap yang selalu mempertanyakan dan mengevaluasi bukti
secara kritis sehingga secara signifikan dapat mengurangi kegagalan/kurang optimalnya pendapat yang dihasilkan pada akhir audit.
2.1.6.2 Pentingnya Skeptisisme Profesional
Auditor yang skeptis tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang menjadi masalah. Tanpa menerapkan skeptisisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan.
Dalam International Standards on Auditing 200 (IAASB, 2009) juga ditekankan pentingnya skeptisisme profesional. Disebutkan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan proses audit berlandaskan skeptisisme profesional dengan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan material dalam laporan keuangan. Pekerjaan auditor selalu berhubungan dengan pembuktian dan pencarian kebenaran bukti-bukti dari dokumen dan kertas kerja, dan dari prosedur standar yang mereka anut, namun hal ini bukan berarti auditor hanya bekerja untuk memenuhi prosedur standar yang ada, terutama saat ditemukannya bukti- bukti yang penting, karena tanpa keberanian untuk beradu argumentasi mengenai asersi manajemen, auditor tidak akan dapat menjalankan fungsinya sebagai pencegah dan pendeteksi fraud.
Skeptisisme profesional sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas audit, karena dengan bersikap skeptis, auditor akan lebih berinisiatif untuk mencari informasi lebih lanjut dari manajemen mengenai keputusan-keputusan akuntansi yang diambil, dan menilai kinerjanya sendiri dalam menggali bukti- bukti audit yang mendukung keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen tersebut. Auditor perlu menerapkan skeptisisme profesional dalam mengevaluasi bukti audit. Dengan begitu, auditor tidak menerima bukti-bukti audit tersebut apa adanya, tetapi memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, seperti bukti yang diperoleh dapat menyesatkan, tidak lengkap, atau pihak yang menyediakan bukti tidak kompeten bahkan sengaja menyediakan bukti yang menyesatkan atau tidak lengkap. Semakin tinggi risiko audit atau semakin besar
risiko salah saji material, maka auditor perlu menerapkan skeptisisme profesional yang tinggi juga (Financial Reporting Council, 2010).
Menurut Quadackers (2009), skeptisisme profesional dalam auditing adalah penting karena:
1. Skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP).
2. Perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka.
3. Skeptisisme profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor.
4. Literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan pentingnya skeptisisme profesional.
2.1.6.3 Karakteristik Skeptisisme Profesional
Menurut Arens, dkk yang diterjemahkan oleh Wibowo (2015:172) mengatakan bahwa riset akademik terkini tentang topik skeptisisme profesional menunjukkan enam karakteristik skeptisisme:
1. Questioning mindset
Disposisi untuk menyelidiki sejumlah hal yang dirasa meragukan.
2. Penundaan keputusan (suspension of judgement)
Penundaan keputusan sampai bukti yang tepat diperoleh.
3. Pencarian pengetahuan (search of knowledge)
Keinginan untuk menyelidiki lebih lanjut demi mempertegas.
4. Pemahaman interpersonal (interpersonal understanding)
Pengakuan bahwa motivasi dan persepsi orang dapat membuatnya memberikan informasi yang bias atau menyesatkan seseorang berperilaku demikian.
5. Otonomi
Pengarahan mandiri (self–direction), independensi moral dan keyakinan memutuskan untuk diri sendiri ketimbang menerima klaim pihak lain kemampuan diri.
6. Self-esteem
Rasa percaya diri persuasi dan untuk menantang asumsi atau kesimpulan. Karakter skeptisisme ini dibentuk dari beberapa indikator, yaitu:
a) Tidak akan secara langsung menerima ataupun membenarkan pernyataan orang lain.
b) Tidak mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain terhadap suatu hal.
c) Memecahkan informasi yang tidak konsisten.
2.1.7 Kecerdasan Emosional
2.1.7.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2004:45) “Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.”
Menurut Rahmadani dan Ngumar (2018) “Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan dan mengatur suasana hati. Kecerdasan emosional dalam hal ini yaitu kemampuan untuk menyadari emosi dirinya (kesadaran diri), mampu mengelola perasaannya dalam hal mengendalikan dorongan, mampu memotivasi diri dalam keadaan frustasi, kesanggupan untuk tegar, mengatur suasana hati yang reaktif serta mampu berempati dan mempunyai keterampilan sosial dengan orang lain.”
Tanpa adanya pengendalian atau kematangan emosi (EQ) sangat sulit bagi seorang auditor untuk dapat bertahan dalam menghadapi tekanan frustasi, stress, menyelesaikan konflik yang sudah menjadi bagian atau resiko profesi, dan memikul tanggung jawab seperti apa yang disebutkan dalam Pedoman Kode Etik Akuntan Indonesia, serta untuk tidak menyalahgunakan kemampuan dan keahlian yang merupakan amanah yang dimilikinya kepada jalan yang tidak dibenarkan.
Sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas audit atau terjadinya penyimpangan- penyimpangan, kecurangan dan manipulasi terhadap tugas yang diberikan. Karena seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu untuk mengetahui serta menangani perasaan mereka dengan baik, mampu untuk menghadapi perasaan orang lain dengan efektif. Selain itu juga seseorang akuntan yang memiliki pemahaman atau kecerdasan emosi dan tingkat religiusitas yang tinggi akan mampu bertindak atau berperilaku dengan etis dalam profesi dan organisasi (Yulianti, 2017 dalam Ludigdo dan Maryani, 2001).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah cara seseorang untuk mengontrol emosinya untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
2.1.7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Goleman (2009:276) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:
1. Lingkungan Keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh- contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari.
2. Lingkungan non keluarga
Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang lainnya.
2.1.7.3 Faktor-Faktor Penghambat Kecerdasan Emosional
Berikut adalah faktor yang dapat menghambat tumbuhnya kecerdasan emosional pada seseorang menurut beberapa ahli:
a. Tenggelam dalam permasalahan, mereka adalah orang-orang yang sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah- olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Sehingga larut dalam perasaa-perasaan itu dan bukannya mencari perspektif baru. Akibatnya mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional, mereka sering kali mereka merasa kalah dan secara emosional lepas kendali (Mayer dalam Goleman, 1996:65).
b. Emosi negatif, emosi negatif yang kuat membelokkan setiap perhatian agar selalu terujuk pada emosi itu sendiri, menghalang-halangi usaha yang berusaha memutuskan perhatian ke hal-hal lain. Sesungguhnya, salah satu pertanda bahwa perasaan telah keluar jalur dan mengarah menjadi penyakit adalah bila perasaan itu begitu kuatnya sehingga mengalahkan pikiran-pikiran lainnya, terus-menerus menyabotase upaya-upaya untuk memusatkan perhatian pada hal-hal lain yang sedang dihadapi. Gangguan emosional dapat mempengaruhi kehidupan mental. Murid-murid yang cemas, marah, atau depresi mengalami
kesulitan belajar; orang-orang yang terjebak dalam keadaan ini juga menemui kesukaran penyerap informasi dengan efisien atau menanganinya dengan benar (Goleman,1996:110).
c. Hilang atau tidak adanya empati, hilangnya emapati sewaktu seseorang melakukan hal buruk atau kejahatan pada korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosinal yang mempercepat tindakan kejam mereka (Goleman,1996:150).
Menurut pendapat ahli di atas tumbuhnya kecerdasan emosional pada seseorang dapat dihambat oleh beberapa faktor, yaitu tenggelam dalam permasalahan, emosi negatif, dan hilang atau tidak adanya empati. Seorang pegawai perlu mengendalikan diri dari emosi agar tetap bersikap baik dalam lingkungan kerja, serta dapat terus bekerja dengan efektif.
2.2 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan dari penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan dengan menggunakan tabel seperti berikut:
Tabel 2.1
Daftar Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Variabel Hasil
1 Dewa Ayu Wini Triarini, Ni Made Yeni
Latrini (2016)
Pengaruh Kompetensi, Skeptisme Profesional, Motivasi, dan Disiplin Terhadap Kualitas Audit Kantor
Inspektorat Kabupaten/
Kota di Bali
X1: Kompetensi X2: Skeptisme Profesional X3: Motivasi X4: Disiplin Y: Kualitas Audit
Kompetensi
berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Skeptisme Profesional berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Motivasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Disiplin berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
2 Dewi Amalia,
Raja Yulianita Sarazwati (2017)
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kualitas Audit Intern
X1: Independensi X2: Objektivitas X3: Kompetensi X4: Kecermatan Profesional
Y: Kualitas Audit
Independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit intern Inspektorat DIY.
Objektivitas
berpengaruh terhadap kualitas audit intern Inspektorat DIY.
Kompetensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit intern Inspektorat DIY.
Kecermatan profesional
berpengaruh terhadap kualitas audit intern Inspektorat DIY.
3 Fitria Ningsih, Nadirsyah
(2017)
Pengaruh Independensi, Skeptisisme Profesional Auditor, Penerapan Standar Audit, dan Etika Audit
Terhadap Kualitas Hasil Audit (Studi Pada Auditor
BPK RI
Perwakilan Provinsi Aceh)
X1: Independensi X2: Skeptisisme Profesional X3: Penerapan Standar Audit X4: Etika Audit Y: Kualitas Hasil Audit
Independensi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hasil audit.
Skeptisisme Profesional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hasil audit.
Penerapan Standar Audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hasil audit.
Etika Audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hasil audit.
Independensi, Skeptisisme
Profesional Auditor, Penerapan Standar Audit, Etika Audit secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas hasil audit.
4 Vista Yulianti
(2017)
Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Pada Kantor Akuntan Publik Di Jawa Barat dan Jawa Tengah
X1: Kecerdasan Emosional X2: Independensi Y: Kualitas Audit
Kecerdasan
Emosional auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit pada kantor akuntan publik di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Independensi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit.
Kecerdasan
Emosional auditor dan independensi auditor secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit.
5 Rastina, Hasiah, Muhammad
Arsyad (2018)
Pengaruh Skeptitisme, Kecerdasan Emosional dan Locus Of Control
terhadap Kualitas Audit
X1: Skeptitisme X2: Kecerdasan Emosional X3: Locus Of Control
Y: Kualitas Audit
Skeptitisme
berpengaruh terhadap kualitas audit.
Kecerdasan
Emosional tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.
Locus Of Control tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.
6 Rizqi
Rahmadani,
Pengaruh Independensi,
X1: Independensi X2: Skeptisisme
Independensi
berpengaruh positif
Sutjipto Ngumar (2018)
Skeptisisme, dan
Kecerdasan Emosional Terhadap Kualitas Audit
X3: Kecerdasan Emosional Y: Kualitas Audit
terhadap kualitas audit.
Skeptisisme
berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
7 Luh
Komang Merawati, Ni Luh Putu Yuni Ariska
(2018)
Pengaruh Moral Reasoning, Skeptisisme Profesional Auditor, Tekanan Ketaatan dan Self-Efficacy Terhadap Kualitas Audit
X1: Moral Reasoning X2: Skeptisisme Profesional X3: Tekanan Ketaatan
X4: Self-Efficacy Y: Kualitas Audit
Moral Reasoning tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.
Skeptisisme Profesional
berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Tekanan Ketaatan tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.
Self-Efficacy
berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
8 Arin Dea Laksita, Sukirno (2019)
Pengaruh Independensi, Akuntabilitas, dan
Objektivitas Terhadap Kualitas Audit
X1: Independensi X2:
Akuntanbilitas X3: Objektivitas Y: Kualitas Audit
Independensi
berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Inspektorat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akuntabilitas
berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Inspektorat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Objektivitas
berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Inspektorat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Independensi,
akuntabilitas, dan objektivitas secara simultan berpengaruh positif terhadap kualitas audit pada Inspektorat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
9 Deasy
Arisandy Aruan, Hasrat Naeni Gulo,
Ana Karelina Lumban Nahor, Natasya Br
Ginting (2019)
Pengaruh Kompetensi, Kompleksitas Tugas, Skeptisme Profesional Terhadap Kualitas Audit Pada BPKP Provinsi
Sumatera Utara
X1: Kompetensi X2: Kompleksitas Tugas
X3: Skeptisme Profesional Y: Kualitas Audit
Kompetensi
berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Kompleksitas tugas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas audit.
Skeptisme profesional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit.
Kompetensi,
kompleksitas tugas dan skeptisme profesional
berpengaruh dan signifikan terhadap kualitas audit.
10 Syamsuri (2020)
Pengaruh Tekanan dan Kecerdasan Emosional Terhadap
X1: Tekanan X2: Kecerdasan Emosional Y: Kualitas Audit
Tekanan berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.
Kecerdasan Emosional
Kualitas Audit berpengaruh
signifikan terhadap kualitas audit.
11 M. Dimas Saputra, Sri
Hartaty, Darul Amri
(2021)
Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual, dan Etika Profesi Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris Pada 3 Kantor Akuntan Publik Jakarta Selatan dan Depok)
X1: Kecerdasan Emosional X2: Kecerdasan Intelektual X3: Kecerdasan Spiritual
X4: Etika Profesi Y: Kualitas Audit
Kecerdasan Emosional
berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap kualitas audit.
Kecerdasan Intelektual
berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap kualitas audit.
Kecerdasan Spiritual berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap kualitas audit.
Etika Profesi berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap kualitas audit.
Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Spiritual, dan Etika Profesi berpengaruh positif dan signifikan secara simultan terhadap kualitas audit.
Sumber: data yang diolah, 2022
H1
H3
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh independensi, skeptisisme profesional dan kecerdasan emosional sebagai variabel independen terhadap kualitas audit sebagai variabel dependen. Berdasarkan tinjauan pustaka dan penelitian sebelumnya terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit, maka penulis membuat struktur kerangka kerja seperti pada skema di bawah ini:
4.1 Hipotesis Keterangan:
: Pengaruh Parsial : Pengaruh Simultan
2.4 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2019:99) “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitan, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.”
Kualitas Audit (Y) Independensi
(X1)
Kecerdasan Emosional (X3)
Skeptisisme Profesional (X2)
H2
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.4.1 Pengaruh Independensi terhadap Kualitas Audit
Pentingnya independensi dalam menghasilkan kualitas audit mengharuskan auditor memiliki dan mempertahankan sikap independensi dalam menjalankan tugasnya. Jika auditor tidak independen maka kualitas audit yang dihasilkan tidak baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Laksita (2019) dan Rahmadani (2018), menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah:
H1 : Independensi berpengaruh positif terhadap Kualitas Audit 2.4.2 Pengaruh Skeptisisme Profesional terhadap Kualitas Audit
Auditor yang skeptis tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang menjadi masalah. Tanpa menerapkan skeptisisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aruan, dkk (2019) dan Savira, dkk (2021) menyatakan bahwa skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah:
H2 : Skeptisisme Profesional berpengaruh positif terhadap Kualitas Audit 2.4.3 Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kualitas Audit
Kecerdasan emosional berpengaruh terhadap kualitas hasil audit, karena tanpa kecerdasan emosional, seorang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan pontensi yang maksimum.
Kecerdasaan emosional akan mempermudah seorang auditor melakukan pemeriksaan, memiliki motivasi yang kuat, mengontrol diri/emosi, rasa empati serta keterampilan dalam bersosialisasi akan membantu auditor dalam menelusuri bukti-bukti audit serta informasi terkait.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rahmadani (2018) dan Saputra, dkk (2021) menyatakan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif
terhadap kualitas audit. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah:
H3 : Kecerdasan Emosional berpengaruh positif terhadap Kualitas Audit 2.4.4 Pengaruh Independensi, Skeptisisme Profesional dan Kecerdasan
Emosional terhadap Kuaitas Audit
Peneliti juga menguji pengaruh independensi, skeptisisme profesional, dan kecerdasan emosional terhadap kualitas audit secara simultan. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah:
H4 : Independensi, Skeptisisme Profesional, Dan Kecerdasan Emosional berpengaruh positif terhadap Kualitas Audit