• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dicetak oleh: Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang Pisau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Dicetak oleh: Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang Pisau"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

i

(2)

i

(3)

ii

ANALISIS KEMISKINAN DAN GINI RATIO

KABUPATEN PULANG PISAU 2017

ISBN: 978-602-52882-0-3

No. Publikasi: 040/201/DKISP/IX/2018 Ukuran Buku: 14,8 cm x 21 cm

Jumlah Halaman: x + 66 halaman Naskah:

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau Penyunting:

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau Tata Letak, Gambar Sampul, dan Infografis:

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau Diterbitkan oleh:

© Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang Pisau

Dicetak oleh:

Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang Pisau

Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan,

dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Dinas Komunikasi dan Informatika, Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang Pisau

(4)

iii KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku “ANALISIS KEMISKINAN DAN GINI RATIO KABUPATEN PULANG PISAU TAHUN 2017”. Publikasi ini merupakan upaya dalam mengembangkan perstatistikan daerah dalam menyediakan informasi terpadu yang berkaitan dengan data kemiskinan dan gini ratio. Data yang disajikan dalam publikasi ini adalah hasil perhitungan indikator-indikator kemiskinan dan gini ratio dalam beberapa tahun terakhir di Kabupaten Pulang Pisau. Selain itu publikasi ini juga menjelaskan konsep-konsep dasar tentang kemiskinan dan gini ratio

Publikasi ini memuat data dan indikator terkait kemiskinan dan gini ratio yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana pencapaiannya di Kabupaten Pulang Pisau. Serta sebagai bahan evaluasi dan dasar perencanaan pembangunan Kabupaten Pulang Pisau. Selain itu publikasi ini juga diselingi dengan infografis yang menarik pada setiap awal bab. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca dengan cara yang lebih mudah dimengerti dan diingat.

(5)

iv

Disadari bahwa dalam penyusunan buku Analisis Kemiskinan dan Gini Ratio Kabupaten Pulang Pisau Tahun 2017 ini masih terdapat kekurangan, maka saran dan pendapat dari pengguna sangat kami harapkan agar peningkatan mutu publikasi ini lebih baik lagi di masa yang mendatang.

Pulang Pisau, Agustus 2018 Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika,

Statistik dan Persandian Kabupaten Pulang pisau

Moh. Insyafi, SE., MAP NIP 196811171994031009

(6)

v DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... viii

BAB I Latar Belakang ... 3

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Tujuan ... 4

BAB II Konsep Dan Definisi ... 7

2.1 Kemiskinan ... 7

2.2 Gini Ratio ... 27

BAB III Analisis ... 43

3.1 Kemiskinan ... 43

3.2Gini Ratio ... 53

BAB IV Kesimpulan ... 63

4.1 Kesimpulan Analisis Kemiskinan ... 63

4.2 Kesimpulan Analisis Gini Ratio ... 64

Lampiran... 65

(7)

vi

(8)

vii DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Komponen Pengeluaran konsumsi Penduduk Menurut Daerah di Indonesia Tahun 1976 ... 16 Tabel 2.2. Perkiraan Pengeluaran Perkapita untuk memenuhi Kebutuhan Dasar

Menurut Komponen di Indonesia, 1970-1980 (Rp/Kapita/Bulan) ... 19 Tabel 3.1. Koefisien Gini Menurut Kabupaten Kota di Provinsi Kalimantan

Tengah , 2016-2017 ... 56 Tabel 5.1 Perkembangan Garis Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013-2017 (rupiah/kapita/bulan) 65

Tabel 5.2 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017 ... 65 Tabel 5.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017 ... 65 Tabel 5.4 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia ... 66 Tabel 5.5 Indikator Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota Di Kalimantan Tengah Pada Tahun 2017 ... 66

(9)

viii

(10)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Koefisien Gini menurut Kurva Lorenz ... 35 Gambar 3.1: Perkembangan Garis Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013-2017

(rupiah/kapita/bulan).. ... 43 Gambar 3.2 : Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017 ... 45 Gambar 3.3 : Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017 ... 46 Gambar 3.4 : Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia ... 48 Gambar 3.5: Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten di Provinsi

Kalimantan Tengah, 2017 ... 50 Gambar 3.6: Indeks Kedalaman Kemiskinan Berdasarkan Kabupaten di Provinsi

Kalimantan Tengah, 2017 ... 51 Gambar 3.7: Indeks Keparahan Kemiskinan Berdasarkan Kabupaten di Provinsi

Kalimantan Tengah, 2017 ... 52 Gambar 3.8. Koefisien Gini Kalimantan Tengah dan Kabupaten Pulang Pisau

Tahun 2010-2017 ... 54

(11)
(12)

1

(13)

2

(14)

3 BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.

Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi. Sejak itu, setiap tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan informasi kemiskinan dan sejak tahun 2003 dapat disajikan setiap tahun. Sampai tahun 1987 informasi kemiskinan hanya disajikan untuk tingkat nasional dan sejak tahun 1990 dapat disajikan sampai tingkat provinsi, meskipun beberapa provinsi masih digabung.

Selanjutnya sejak tahun 1993, informasi kemiskinan sudah dapat disajikan

(15)

4

untuk seluruh provinsi. Karena keterbatasan sampel Susenas Modul Konsumsi, selanjutnya BPS menyajikan informasi kemiskinan untuk tingkat kabupaten/kota dengan Susenas KOR dan baru menggunakan data Susenas Modul Konsumsi sejak tahun 2008. Kemiskinan yang disajikan BPS yang bersumber dari data Susenas tersebut merupakan data kemiskinan makro, artinya data kemiskinan yang hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Kemiskinan makro, tidak dapat menunjukkan “siapa” dan “dimana” penduduk miskin.

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan publikasi ini adalah menyajikan berbagai indikator kemiskinan di Kabupaten Pulang Pisau kondisi tahun 2013 - 2017.

Selain itu juga bertujuan untuk mendiseminasikan salah satu hasil kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

(16)

5 Info 2

(17)

6

(18)

7 BAB II

KONSEP DAN DEFINISI 2.1 KEMISKINAN

Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.

Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk

"termiskin", misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti "orang miskin selalu hadir bersama kita".

Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998: 26). Tulisan tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15 persen di Amerika Serikat dan juga mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada

(19)

8

dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median (rata- rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat.

Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan.

Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan.

Penduduk yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut "tetap” (tidak berubah) dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan

(20)

9 catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.

Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut;

b) US $ 2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut.

Terminologi Kemiskinan Lainnya

Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Soetandyo Wignjosoebroto dalam "Kemiskinan Struktural: Masalah dan Kebijakan"

yang dirangkum oleh Suyanto (1995:59) mendefinisikan "Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan".

Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan tetapi juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat.

(21)

10

Dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia.

Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa Timur, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, dan suku Kubu di Jambi. Soetandyo

(22)

11 Wignjosoebroto dalam "Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan Membudayakan Keberdayaan" yang dirangkum oleh Suyanto (1995:59) mendefinisikan "Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan".

Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakatnya itu dalam kenyataan akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan- determinan sosial-budayanya (seperti misalnya posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya).

Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya itu akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu "sudah takdir", dan bahwa setiap orang itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan ditingkatkannya "Gerakan Membudayakan Keberdayaan" pada lapisan masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya adalah suatu keberdayaan yang harus terus dimungkinkan kepada lapisan-lapisan masyarakat bawah agar tidak terjebak ke dalam kemiskinan kultural.

Debraj (1998:250) melihat kemiskinan sebaga kekurangan pendapatan, konsumsi, atau secara umum, kurangnya kepemilikan aksessebilitas terhadap barang dan jasa yang didefinisikan sebagai batas minimal seseorang mampu memenuhi kebutuhan ekonominya pada saat

(23)

12

tertentu. Untuk memahami pengertian tentang kemiskinan ada berbagai pendapat yang dikemukakan.

Bank Dunia atau World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pendapatan penduduk (income approach) dengan batasan US 1 dollar perkapita per hari dan US 2 dollar perkapita per hari setelah disetarakan dengan daya beli penduduk di suatu daerah atau purchasing powe parity (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2009). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemiskinan, yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektif yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standar kehidupan. Pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakanukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada di lingkungannya.

Menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga.

Bappenas (dalam jurnal ekonomi Setneg RI, 2009) menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan hak.

(24)

13 Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, kerohanian, hiburan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangkan pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalammasyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Berbeda dengan pendekatan lainnya, pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki (dalam jurnal ekonomi Setneg RI, 2009).

(25)

14

Strategi kebutuhan dasar (basic needs), sebagaimana dikutip oleh Thee Kian Wie (1981: 29), dipromosikan dan dipopulerkan oleh International Labor Organisation (ILO) pada tahun 1976 dengan judul

"Kesempatan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kebutuhan Dasar: Suatu Masalah bagi Satu Dunia". Strategi kebutuhan dasar memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan bukan cara tidak langsung seperti melalui efek menetes ke bawah (trickle-down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kesulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standar atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial. Di samping itu kesulitan penentuan secara kuantitatif dari masing-masing komponen kebutuhan dasar karena dipengaruhi oleh sifat yang dimiliki oleh komponen itu sendiri, seperti misalnya selera konsumen terhadap suatu jenis makanan atau komoditi lainnya.

Beberapa kelompok atau ahli telah mencoba merumuskan mengenai konsep kebutuhan dasar ini termasuk alat ukurnya. Konsep kebutuhan dasar yang dicakup adalah komponen kebutuhan dasar dan karakteristik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan garis kemiskinan. Rumusan komponen kebutuhan dasar menurut beberapa ahli adalah:

1. Menurut United Nations (1961), sebagaimana dikutip oleh Hendra Esmara (1986: 289), komponen kebutuhan dasar terdiri atas:

kesehatan, bahan makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan, sandang, rekreasi, jaminan sosial,

(26)

15 dan kebebasan manusia.

2. Menurut UNSRID (1966), sebagaimana dikutip oleh Hendra Esmara (1986: 289), komponen kebutuhan dasar terdiri atas: (i) kebutuhan fisik primer yang mencakup kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan; (ii) kebutuhan kultural yang mencakup pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; dan (iii) kebutuhan atas kelebihan pendapatan.

3. Menurut Ganguli dan Gupta (1976), sebagaimana dikutip oleh Hendra Esmara (1986: 289), komponen kebutuhan dasar terdiri atas:

gizi, perumahan, pelayanan kesehatan pengobatan, pendidikan, dan sandang.

4. Menurut Green (1978), sebagaimana dikutip oleh Thee Kian Wie (1981: 31), komponen kebutuhan dasar terdiriatas: (i) personal consumption items yang mencakup pangan, sandang, dan pemukiman; (ii) basic public services yang mencakup fasilitas kesehatan, pendidikan, saluran air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.

5. Menurut Hendra Esmara (1986: 320-321), komponen kebutuhan dasar primer untuk bangsa Indonesia mencakup pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

6. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) seperti yang terlihat pada Tabel 2.1.

(27)

16

Tabel 2.1. Komponen Pengeluaran konsumsi Penduduk Menurut Daerah di Indonesia Tahun 1976

Jenis Pengeluaran Perkotaan Pedesaan

(1) (2) (3)

A.PANGAN

1. Padi-padian dan hasil-hasilnya

2. Umbi-umbian dan hasil-hasilnya -

3. Ikan dan hasil-hasil ikan lainnya

4. Daging

5. Telur, susu, dan hasil-hasil susu - -

6. Sayur-sayuran

7. Kacang-kacangan

8. Buah-buahan

9. Konsumsi Lainnya () ()

10. Makanan yang sudah jadi - -

11. Minuman yg mengandung alkohol - -

12. Tembakau, sirih - -

B. BUKAN PANGAN

1. Perumahan, bahan bakar, penerangan, dan air.

2. Barang-barang dan jasa-jasa () ()

3. Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala

4. Barang tahan lama

5. Keperluan pesta dan upacara

Catatan : tanda  memperlihatkan dipergunakan sepenuhnya dan tanda () dipergunakan sebagian dari pengeluaran rata-rata jenis pengeluaran dalam kategori kebutuhan dasar atau bukan kebutuhan dasar.

(28)

17 Keterangan :

a. Dari seluruh pengeluaran untuk konsumsi lainnya diperkirakan 50 persen dan 75 persen digunakan untuk kebutuhan dasar bagi penduduk yang berdiam di daerah perkotaan dan pedesaan.

Kebutuhan dasarterdiri dari garam, lada, gula pasir, minyak goreng dan lain-lain.

b. Dalam kategori pengeluaran untuk barang-barang dan jasa-jasa adalah termasuk pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk di atas dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut seperti disajikan pada tabel 2.2. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:

a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.

b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air.

d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).

e. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata

(29)

18

untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.

Pendekatan rata-rata per kapita yang diterapkan dalam penghitungan kemiskinan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Biasanya pendekatan rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur dan jenis kelamin serta skala ekonomi dalam konsumsi. Bahkan ada juga pengukuran secara internasional dengan menggunakan nilai uang dalam bentuk dolar. Bank dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar 1 dolar dalam bentuk satuan PPP per kapita per hari. Sedangkan negara maju seperti Eropa Barat menetapkan 1/3 dari nilai PDB per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan. Untuk kasus Indonesia, garis kemiskinan didekati dengan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari ditambah pengeluaran minimum bukan makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transpor dan barang-barang lainnya).

(30)

19 Tabel 2.2. Perkiraan Pengeluaran Perkapita untuk memenuhi Kebutuhan Dasar Menurut Komponen di Indonesia, 1970-1980 (Rp/Kapita/Bulan)

Jenis Pengeluaran 1970 1980

Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan

(1) (2) (3) (4) (5)

A. PANGAN 864 823 4 47 4 300

1. Padi-padian dan hasil hasilnya

456 425 1 922 2 014

2. Umbi-umbian dan hasil- hasilnya

- 38 - 155

3. Ikan dan hasil-hasil ikan lainnya

116 90 632 503

4. Daging 78 43 505 216

5. Sayur-sayuran 74 57 558 413

6. Kacang-kacangan - 28 - 195

7. Buah-buahan 38 22 377 223

8. Konsumsi Lainnya 102 120 483 581

B. BUKAN PANGAN 378 176 3 293 1 182

1. Perumahan 205 98 2 124 691

2. Sandang 111 66 652 363

3. Pendidikan 40 8 337 78

4. Kesehatan 20 4 180 50

Jumlah Rata-rata

Kebutuhan Dasar 1 240 999 7 770 5 482

Pengeluaran Rata-rata 1 819 1 272 12 208 7 212

Metode Pengukuran Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan

(31)

20

pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), sebagai berikut: GK= GKM + GKNM Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi- umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non- makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perdesaan.

Teknik Penghitungan Garis Kemiskinan

Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada diatas Garis Kemiskinan Sementara. Garis

(32)

21 Kemiskinan Sementara yaitu Garis Kemiskinan periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Garis kemiskinan makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita perhari.

Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut.

Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:

GKMJK = ∑

GKM JK = ∑PLK..QJLK = ∑ VJLK

Keterangan:

GKM JK = Garis Kemiskinan Makanan daerah J (sebelum

disetarakan menjadi 2100 kilokalori) kabupaten/ kota K.

PJLK = Harga Komoditi L di daerah J dan kabupaten/kota K QJLK = Rata-rata Kuantitas Komoditi L yang di konsumsi di daerah

J dan kabupaten/kota K

VJLK = Nilai pengeluaran untuk konsumsi Komoditi L yang di konsumsi di daerah J dan kabupaten/kota K

(33)

22

Selanjutnya GKMJ tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengam mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah J dari penduduk referensi sehingga :

52

1 52

1

j j j

j

lk K

lk V HK

Keterangan :

KJLK = Kalori dari komoditi L di daerah J kabupaten/kota K HKIK = Harga rata-rata kalori di daerah J kabupaten/kota K GKMjk = HK JK x 2100

Keterangan :

GKM JK = Kebutuhan minimum makanan di daerah J, yaitu yang menghasilkan energy setara dengan 2100

kilokalori/kapita/hari.

J = Daerah (perkotaan/pedesaan) K = kabupaten/Kota K

GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub kelompok non makanan dihitung dengan menggunakan suatu

(34)

23 rasio pengeluaran komoditi/sub kelompok terhadap total pengeluaran komoditi/sub kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.

Rasio tersebut dihitung dari hasil SPKKD 2004, yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi non makanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi.

Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:

n

i

rljVljk GKNMjk

1

GKNMJK = Pengeluaran minimum non makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah J (kota/desa) dan kabupaten/kota K.

VKJP = Nilai Pengeluaran per komoditi / sub kelompok non makanan daerah J dan kabupaten/kota K (dari Susenas modul konsumsi).

rKJ = Rasio Pengeluaran komoditi / sub kelompok non

makanan menurut daerah hasil SPKKD 2004) dan daerah kota/desa.

L = Jenis komoditi non makanan terpilih J = Daerah (perkotaan/perdesaan) K = Kabupaten/Kota K

(35)

24

Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM.

Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebaga penduduk miskin (PM). Persentase penduduk miskin di suatu provinsi dihitung dengan:

%𝑃𝑀𝑘 =𝑃𝑀𝑘𝑥 𝑃𝑘 Keterangan :

%PMK = % penduduk miskin di kabupaten/kota K.

PMK = Jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota K.

PK = Jumlah penduduk di kabupaten/kota K.

Sementara itu, penduduk miskin untuk level provinsi merupakan jumlah penduduk miskin kabupaten/kota atau:

n

i

PMk PMp

1

PMP = Penduduk miskin Provinsi.

PMK = Penduduk miskin di kabupaten/kota K.

N = Jumlah Kabupaten/Kota.

(36)

25 Persentase penduduk miskin provinsi adalah:

%𝑃𝑀𝑝 =𝑃𝑀𝑝 𝑃𝑝 Keterangan:

% PMP = % penduduk miskin di provinsi.

PMP = Jumlah penduduk miskin di provinsi.

PP = Jumlah penduduk di provinsi.

Indikator Kemiskinan

Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinan yang digunakan, yaitu:

 Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk atau rumaht angga miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK).

 Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.

 Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran

(37)

26

diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu:

 

 

 

q

 

i

yi

yi z P N

1

1

Keterangan:

Dimana:

 = 0,1,2

Z = Garis kemiskinan

yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi< z

Q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan

N = Jumlah penduduk

Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk miskin, sedanglan jika =1 diperoleh Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index), dan =2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Indeks).

(38)

27 2.2 GINI RATIO

Menurut Atkinson (1976) yang dikutip dalam Rusli, et.al. (1996), ketidakmerataan pendapatan didefinisikan sebagai perbedaan, persebaran, atau pemusatan pendapatan, yang keseluruhannya berpangkal pada ketidaksamaan dilihat secara kumulatif. Pemerataan hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah ketimpangan, kesenjangan, dan kemiskinan. Secara logika, jurang pemisah (gap) yang semakin besar antara kelompok penduduk kaya dan miskin berarti kemiskinan semakin meluas.

Dengan demikian, orientasi pemerataan merupakan upaya untuk memerangi kemiskinan.

Pengukuran ketidakmerataan pendapatan telah dimulai jauh sebelum Simon Kuznets menyampaikan hipotesanya. Pareto (1897), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya untuk setiap negara tidaklah mengikuti distribusi normal, namun mengikuti perumusan sebagai berikut:

𝑨 =𝑿𝑵𝒃 ...(1) dimana :

A = jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X,

N = jumlah penduduk total,

B = parameter yang nilainya antara 1 dan 2.

(39)

28

Berdasarkan hasil tersebut, Pareto menyatakan bahwa ketimpangan akan selalu ditemui dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk terkaya mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuan ini selanjutnya dikenal dengan Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen kelompok penduduk terkaya menikmati 80 persen dari pendapatan nasional negaranya.

Pengukuran masalah pemerataan telah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Namun, pendekatan pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan dari distribusi pendapatan adalah Gini Coefficient yang dibantu dengan menggunakan Lorentz curve. Distribusi pendapatan dapat berwujud pemerataan maupun ketimpangan, yang menggambarkan tingkat pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi (Ismoro, 1995 dalam Rahayu, et.al., 2000).

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini di dekati dengan menggunakan data pengeluaran.

Dalam hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proxy pendapatan yang bersumber dari Susenas. Sebelum membahas mengenai ukuran-ukuran tingkat ketimpangan/kesenjangan, berikut adalah konsep distribusi pendapatan dan kesenjangan.

(40)

29 Konsep Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan adalah konsep yang lebih luas dibandingkan analisis kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisa populasi yang berada dibawah garis kemiskinan saja, melainkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat dalam suatu daerah, ketidakmerataan inilah yang kerap didefinisikan sebagai kesenjangan (inequality) dalam distribusi pendapatan (Wibowo, 2012). Berbicara mengenai kesenjangan, maka kita berbicara bukan hanya mengenai tingkat pendapatan secara absolut, secara intuitif kesenjangan berbicara mengenai perbedaan standar hidup secara relatif dari suatu kelompok masyarakat atau antar kelompok masyarakat (between dan within).

Kesenjangan sendiri merupakan topik bahasan yang seakan tidak pernah lekang dari perhatian, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kesenjangan seringkali dijadikan patokan ukuran pembangunan selain dari tingkat pendapatan agregat (seperti Pendapatan Domestik Bruto), karena dapat memberikan alternatif pengukuran tingkat pendapatan secara relatif antar kelas pendapatan, dengan kata lain kita tertarik untuk mengetahui seberapa kayakah orang kaya di suatu masyarakat dan seberapa miskinkah orang miskin di suatu masyarakat dan mengukur perbandingan relatif antar dua kelompok masyarakat tersebut.

Distribusi pendapatan suatu daerah dapat menentukan bagaimana pendapatan daerah yang tinggi mampu menciptakan perubahanperubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.

(41)

30

Distribusi pendapatan yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum tetapi hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu. Antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai dengan memburuknya distribusi pendapatan atau terjadi kenaikan kesenjangan relatif.

Konsep Kesenjangan

Debraj Ray mengungkapkan konsep kesenjangan dengan “how benefit of economy is distributed among people or region” (Ray, 1998).

Sementara Ravallion (2003) menyatakan bahwa “inequality is about the disparities in levels of living”. Dia kemudian membedakan kesenjangan menjadi ‘kesenjangan relatif’ dan ‘kesenjangan absolut’. Kesenjangan relatif tergantung dari rasio pendapatan individu terhadap rata-rata pendapatan secara keseluruhan. Sehingga, jika semua pendapatan naik dengan tingkat yang sama, maka kesenjangan relatif menjadi tidak berubah. Kesenjangan absolut merupakan pengukuran kesenjangan dengan menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak.

Dalam melakukan analisa kesenjangan, kita memerlukan suatu ukuran yang dapat menangkap pola distribusi pendapatan, kemudian menghasilkan angka yang dapat diinterpretasikan dan diperbandingkan,

(42)

31 baik antar waktu maupun antar sub-sample dan sample, selain juga mampu menunjukkan derajat kesenjangan (Hindriks & Myles, 2006).

Masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :

1. Distribusi Pendapatan Antar Golongan Pendapatan (Size Disfribution of lncome)atau kesenjangan relatif.

2. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan (Urban-Rural lncome Disparities). Banyak ahli yang menyatakan bahwa pola pembangunan lndonesia memperlihatkan suatu fenomena yang disebut urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab terjadinya kesenjangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari. Fenomena urban bias ini seringkali terjadi di negaranegara berkembang seperti lndonesia dimana alokasi sumber-sumber daya lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan atau efisiensi.

3. Distribusi Pendapatan Antar Daerah (Regional Income Disparity). Kesenjangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di lndonesia serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di lndonesia khususnya.

(43)

32

Koefisien Gini (Gini Ratio)

Koefisien Gini merupakan alat ukur atau indikator yang menerangkan distribusi pendapatan aktual, pengeluaran-pengeluaran konsumsi atau variabel-variabel lain yang terkait dengan distribusi dimana setiap orang menerima bagian secara sama atau identik (Bappenas, 2002).

Cobwell (1977) dalam Mitchell (1991) menyatakan bahwa pengukuran ketidakmerataan dapat menggunakan gini coefficient. Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut:

𝑮𝑹 = 𝟏 − ∑𝒏𝒊=𝟏𝒇𝒑𝒊 𝒙 (𝑭𝒄𝒊+ 𝑭𝒄𝒊−𝟏)...(2) dimana:

GR = koefisien gini (Gini Ratio)

fpi = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i

Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i

Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1)

Nilai Koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Semakin tinggi nilai Koefisien Gini menunjukkan semakin tinggi ketidakmerataan pendapatan. Jika nilai Koefisien Gini mendekati 1 maka terjadi ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan. Sedangkan semakin kecil

(44)

33 atau mendekati 0 maka semakin meratanya distribusi pendapatan aktual dan pengeluaran konsumsi.

Dalam publikasi resmi BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Koefisien Gini, penghitungannya menggunakan data pengeluaran. Menurut Todaro (1981) nilai koefisien gini untuk negara-negara sedang berkembang dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat timpang jika nilainya terletak antara 0,5 sampai 0,7 dan relatif sama ketimpangannya jika nilainya antara 0,2 sampai 0,3.

Selain itu, tingkat ketimpangan dapat diukur dengan personal income menggunakan Kurva Lorenz, yaitu kurva yang menggambarkan hubungan kuantitatif antara persentase populasi penerima pendapatan dengan persentase total pendapatan yang benar-benar diperoleh selama jangka waktu tertentu, seperti terlihat pada Gambar 2.1. (Santosa dan Prayitno, 1996 dalam Rahayu, et.al., 2000). Pada gambar tersebut, sumbu horisontal mewakili jumlah populasi penerima pendapatan dan sumbu vertikal menggambarkan pendapatan yang diterima oleh tiap-tiap presentase penduduk (Todaro, 1981). Garis Kurva Lorenz akan berada di atas garis horisontal, apabila kurva tersebut menjauh dari kurva diagonal maka tingkat ketimpangan akan semakin tinggi.

Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk Koefisien

(45)

34

Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambarkan pada sumbu horisontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambarkan pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 Koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 Koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Namun pengukuran dengan menggunakan Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan.

(46)

35 Gambar 2.1 Koefisien Gini menurut Kurva Lorenz

Daimon dan Thorbecke (1999:5) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.

Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau tinggi Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut:

Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,3

Ketimpangan taraf sedang, bila G antara 0,3 - 0,5 Ketimpangan taraf tinggi, bila G > 0,5

(47)

36

Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut:

Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12% dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi;

Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40%

terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17%

dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang/menengah.

Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40%

terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17%

dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.

Indeks Theil dan Indeks-L

Terdapat sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik (di atas). Di antaranya yang paling banyak digunakan adalah Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut masuk dalam famili ukuran

(48)

37 ketimpangan “generalized enthropy”. Rumus “generalized enthropy” secara umum dapat ditulis sebagai berikut:

𝑮𝑬(𝜶) = 𝟏

𝜶(𝜶−𝟏)[𝟏𝒏∑ (𝒚𝒊

𝒚

̅)𝜶− 𝟏

𝒏𝒊=𝟏 ]...(3) dimana 𝑦̅ adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran).

Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dimana 0 mewakili distribusi yang merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya).

Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.

GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut :

𝑮𝑬(𝟏) =𝟏

𝒏∑ (𝒚𝒊

𝒚

̅) 𝒍𝒏 (𝒚𝒊

𝒚

̅)

𝒏𝒊=𝟏 ...(4) GE (0), juga dikenal dengan indeks-L, disebut ukuran deviasi log rata- rata (mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari log (y).

𝑮𝑬(𝟎) =𝟏

𝒏∑ 𝒍𝒏 (𝒚𝒊

𝒚̅)

𝒏𝒊=𝟏 ...(5) Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik diantaranya adalah sebagai berikut:

(49)

38

a) Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence).

Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.

b) Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence).

Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.

c) Simetris.

Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan.

Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.

d) Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton.

Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi kriteria ini.

Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat : a) Dapat didekomposisi

Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan ataudalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub- kelompok masyarakat (sub-group).

(50)

39 b) Dapat diuji secara statistik

Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.

SUMBER DATA

Sumber data yang digunakan adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

(51)

40

(52)

41 Infografis 3

(53)

42

(54)

43 BAB III

ANALISIS 3.1 KEMISKINAN

Garis Kemiskinan

Gambar 3.1: Perkembangan Garis Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013- 2017 (rupiah/kapita/bulan)

Sumber : Susenas Maret 2013 – 2017, BPS

Pada di atas terlihat perkembangan garis kemiskinan di Kabupaten Pulang Pisau terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun yang perlu

(55)

44

diperhatikan untuk kondisi Tahun 2017 adalah garis kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau masih berada di bawah level Provinsi dan Nasional. Untuk menjaga Garis Kemiskinan agar tidak naik terlalu tinggi adalah menjaga harga berbagai macam kebutuhan yang dikonsumsi masyarakat. Dengan harga yang stabil maka masyarakat bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan Garis Kemiskinan yang tidak terlalu tinggi masyarakat tidak terlalu sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan.

(56)

45 Persentase Penduduk Miskin (P0)

Gambar 3.2 : Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017

Sumber : Susenas Maret 2013 – 2017, BPS

Pada grafik di atas terlihat bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Pulang Pisau berada di bawah persentase penduduk miskin Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu itu persentase penduduk miskin Kabupaten Pulang Pisau juga jauh di bawah persentase penduduk miskin nasional. Secara umum persentase penduduk miskin di Kabupaten Pulang Pisau sudah menurun, namun terjadi sedikit kenaikan pada Tahun 2015. Hal ini diduga berhubungan dengan penurunan harga karet yang

(57)

46

mengakibatkan penghasilan masyarakat menurun. Pada tahun 2015 harga karet anjlok sampai level Rp5.000,- per kilogram. Hal ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat Kabuapaten Pulang Pisau karena perkebunan karet di Kabupaten Pulang Pisau merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang banyak dikerjakan oleh masyarakat Pulang Pisau.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Gambar 3.3 : Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017

Sumber : Susenas Maret 2013 – 2017, BPS

Pada grafik di atas terlihat bahwa indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Pulang Pisau secara umum lebih rendah dibandingkan dengan

(58)

47 angka Kalimantan Tengah dan Nasional. Hal ini berarti rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan jaraknya lebih dekat dibanding angka Kalimantan Tengah dan Nasional.

Untuk menjaga Indeks Kedalaman Kemiskinan dapat dilakukan dengan menjaga harga-harga kebutuhan masyarakat agar tetap stabil sehingga garis kemiskinan tidak melebar/menjauh dari rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin. Selaun itu bantuan-bantuan yang tepat sasaran dapat membantu memperkecil indeks kedalaman kemiskinan.

(59)

48

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Gambar 3.4 : Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia

Sumber : Susenas Maret 2013 – 2017, BPS

Pada grafik di atas terlihat bahwa Indeks Keparahan Kemiskinan di Kabupaten Pulang Pisau sangat fluktuatif. Walaupun fluktuiatif, secara umum angkanya masih di bawah angka Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional. Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

(60)

49 Untuk menjaga kestabilan Indeks Keparahan Kemiskinan tidak hanya dengan menjaga stabilitas harga dan memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat miskin. Semua hal yang kita lakukan tersebut harus merata pada semua lapisan masyarakat agar masyarakat miskin tersebut pengeluarannya tidak terlalu timpang.

(61)

50

Perbandingan dengan Kabupaten Lain

Gambar 3.5: Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah, 2017

Sumber : Susenas Maret 2017, BPS

Pada grafik di atas terlihat bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Pulang Pisau cukup baik jika dibandingkan dengan semua kabupaten di Provnsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Pulang Pisau menempati urutan ke-6 terendah jika dibandingkan semua kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini sudah cukup bagus dan perlu ditingkatkan lagi program-program pengentasan kemiskinan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.

(62)

51 Gambar 3.6: Indeks Kedalaman Kemiskinan Berdasarkan Kabupaten di

Provinsi Kalimantan Tengah, 2017

Sumber : Susenas Maret 2017, BPS

Pada gambar di atas terlihat bahwa indeks kedalaman kemiskinan Kabupaten Pulang Pisau berada di urutan 8 terkecil se-Kalimantan Tengah.

Hal ini menjadi perlu menjadi perhatian karena rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan cukup tinggi. Perlu langkah yang tepat seperti pengendalian harga kebutuhan pokok, serta bantuan-bantuan yang tepat sasaran kepada masyarakat miskin.

(63)

52

Gambar 3.7: Indeks Keparahan Kemiskinan Berdasarkan Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah, 2017

Sumber : Susenas Maret 2017, BPS

Pada grafik di atas terlihat bahwa Indeks Keparahan Kemiskinan Kabupaten Pisau termasuk 5 besar paling besar dari seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin cukup besar. Langkah yang harus dilakukan adalah program-program kemiskinan yang dilaksanakan harus merata ke seluruh lapisan masyarakat sehingga hal ini dapat menurunkan indeks keparahan kemiskinan.

(64)

53 3.2 GINI RATIO

Mengurangi kesenjangan antar daerah telah menjadi salah satu isu kebijakan utama di Indonesia. Pemerintah telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan melalui program-programnya. Misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri), percepatan daerah tertinggal, daerah perbatasan, daerah konflik, daerah pasca bencana dan puncaknya pada tahun 2011, Indonesia meluncurkan MP3IE (Masterplan Percepatan dan Perluasaan Ekonomi Indonesia) yang mengandung butir- butir yang ditargetkan akan dicapai Indonesia hingga tahun 2025.

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.

Tingginya ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Koefisien Gini (Gini Ratio) merupakan salah satu indikator yang memberikan gambaran tingkat ketimpangan pendapatan suatu wilayah.

Koefisien gini Kabupaten Pulang Pisau pada tahun 2017 adalah sebesar 0,2948, yang berarti bahwa Pulang Pisau termasuk dalam kategori wilayah yang memiliki tingakt “ketimpangan rendah” (G < 0,3), dimana terdapat ketimpangan pendapatan antar penduduk namun dengan tingkat kesenjangan yang rendah. Angka gini ratio tersebut tercatat lebih rendah 0,0455 dibanding koefisien gini pada tahun 2016 yakni sebesar 0,3403. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemerataan pendapatan, meskipun relatif kecil. Selain itu, pada tahun 2017 koefisien gini kabupaten Pulang

(65)

54

Pisau juga berada di rangking ke-3 terendah se-Kalimantan Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerataan pendapatan di kabupaten Pulang Pisau dapat dikatakan sudah cukup baik jika dibandingkan Kabupaten Kota lainnya, bahkan lebih baik dari Kalimantan Tengah yang koefisien gininya sebesar 0,3426.

Gambar 3.8. Koefisien Gini Kalimantan Tengah dan Kabupaten Pulang Pisau Tahun 2010-2017

Sumber: BPS Prov. Kalimantan Tengah

Dengan nilai gini ratio yang relatif mendekati ambang skala ketimpangan sedang (G = 0,3) maka diharapkan pemerintah tetap mengarahkan pembangunannya dengan berpihak pada masyarakat kelas bawah. Kebijakan pembangunan yang berpihak pada masyarakat kelas bawah diharapkan akan mampu memberdayakan mereka hingga mampu

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Kalimantan Tengah Pulang Pisau

(66)

55 meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa menghiraukan pemerataan maka akan menimbulkan resiko sosial yang cukup rawan di masa mendatang.

Berdasarkan tabel 3.1, secara umum koefisien gini pada tahun 2017 yang tersebar di kabupaten/kota yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kategori ketimpangan sedang/moderat, hal ini digambarkan oleh rata-rata kabupaten/kota yang memiliki koefisien gini >

0,3, begitu juga dengan kondisi tahun 2016. Hanya terdapat tiga kabupaten yang masih termasuk kategori sebagai ketimpangan rendah, yaitu kabupaten Seruyan, Katingan, dan Pulang Pisau.

(67)

56

Tabel 3.1. Koefisien Gini Menurut Kabupaten Kota di Provinsi Kalimantan Tengah , 2016-2017

Kabupaten/Kota

Koefisien Gini 2016

Ranking 2016

Koefisien Gini 2017

Ranking 2017 Kotawaringin

Barat 0,3090 5 0,3088 7

Kotawaringin

Timur 0,3227 6 0,3493 13

Kapuas 0,3273 10 0,3096 8

Barito Selatan 0,3049 4 0,3258 11

Barito Utara 0,3141 7 0,3167 10

Sukamara 0,2764 3 0,3370 12

Lamandau 0,3466 14 0,3144 9

Seruyan 0,3142 8 0,2881 2

Katingan 0,2528 1 0,2655 1

Pulang Pisau 0,3403 13 0,2948 3

Gunung Mas 0,2697 2 0,2957 4

Barito Timur 0,3269 9 0,3074 6

Murung Raya 0,3281 11 0,3032 5

Palangka Raya 0,3303 12 0,3787 14

Kalimantan

Tengah 0,3300 xxx 0,3426 xxx

Sumber: BPS Prov. Kalimantan Tengah

Pada Tabel 3.1 terlihat bahwa koefisien gini kabupaten/kota pada tahun 2016-2017 terletak antara 0,2528-0,3787 tetapi angkanya

Gambar

Tabel 2.1.  Komponen Pengeluaran konsumsi Penduduk Menurut Daerah  di Indonesia Tahun 1976
Gambar 3.1:   Perkembangan  Garis  Kemiskinan  Kabupaten  Pulang  Pisau,  Provinsi  Kalimantan  Tengah  dan Indonesia,   2013-2017 (rupiah/kapita/bulan)
Gambar 3.2 :   Persentase  Penduduk  Miskin  Kabupaten  Pulang  Pisau,  Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017
Gambar 3.3 :   Indeks  Kedalaman  Kemiskinan  Kabupaten  Pulang  Pisau,  Provinsi Kalimantan Tengah dan Indonesia, 2013 – 2017
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang paling berpengaruh pada biaya pembangkit iistrik PLTN adaiah mahainya biaya investasi. Apaiagi biaya investasi ini akan naik seiring dengan naiknya niiai

Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga terhadap jumlah kredit konsumtif yang disalurkan pada KSP Bakti Huria, maka dilakukan analisis regresi linier sederhana dengan

Sebagian besar siswa beranggapan bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit dan rumit, fakta yang ada bahwa sedikit sekali siswa yang menyukai

Dapat dilihat dari karakter butch yang ternyata sudah merasakan perbedaan orientasi seksual sejak dari mereka masih kecil, mereka mulai menyukai dan lebih tertarik

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh campuran tanah lapisan bawah (subsoil) dan kompos (kompos TKS, kompos UNPAD) sebagai media tanam yang pengaruhnya

Saba’: 6 Pada halaman-halaman berikutnya, insya Allah, kami akan mempelajari ayatayat Allah untuk mendapatkan penjelasan tentang fakta yang mengatakan bahwa orang-orang yang

105 KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MUARO JAMBI.. P : Perempuan

Setelah suatu aset irigasi selasai dibangun terjadilah proses kerusakan yang semakin lama semakin banyak sehingga dapat disebut kondisi merupakan fungsi