• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Pustaka

Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak

Nurhandayani, Hendri Wijaya, Inke Nadia Diniyanti Lubis, Ayodhia Pitaloka Pasaribu, Syahril Pasaribu, Chairuddin P. Lubis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/

Rumah Sakit Uumum Pusat H. Adam Malik Medan

Abstrak

Abstrak: Saat ini masalah pemberian imunisasi difteria, pertusis, tetanus (DPT) adalah apakah ada perbedaaan imunitas dan efektifitas pemberian satu kali, dua kali, tiga kali untuk membentuk kekebalan tubuh. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa titer antibodi terhadap suatu antigen yang rendah tidak menunjukkan kerentanan terhadap penyakit atau sebaliknya jumlah titer yang tinggi tidak ada hubungannya dengan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Kata kunci:

imunisasi; difteria; pertusis; tetanus; titer antibodi

Abstract

Abstract: Current issue diphtheria immunization, pertussis, tetanus (DPT) is whether there is a difference of immunity and effectiveness of administration once, twice, three times to establish immunity. There is some suggestion that antibodies against an antigen titer of low does not indicate susceptibility to the disease or reverse the amount of high titer nothing to do with immunity to a particular disease.

Keywords: immunization; diphtheria; pertussis; tetanus; antibody titers

PENDAHULUAN

Imunisasi merupakan proses induksi kekebalan tubuh melalui mekanisme buatan baik secara vaksinasi (imunisasi aktif) maupun mekanisme pemberian antibodi (imunisasi pasif).

Vaksinasi secara sengaja memberikan zat patogen atau zat asing sehingga terbentuk mekanisme sistem imun sedangkan secara pasif biasanya melibatkan pemberian immunoglobulin yang berasal dari plasma darah.

Imunisasi aktif memberikan stimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler. Salah satu imunisasi terpenting adalah difteria, pertusis, dan tetanus atau (DPT).

Yang menjadi permasalahan saat ini adalah difteria, pertusis dan tetanus (DPT) satu kali, dua kali dan tiga kali untuk membentuk kekebalan tubuh. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa titer antibodi terhadap suatu antigen yang rendah tidak menunjukkan kerentanan terhadap penyakit atau sebaliknya jumlah titer yang tinggi tidak ada hubungannya dengan kekebalan terhadap penyakit tertentu.1-3

Antitoksin difteria dalam sirkulasi darah penting dalam perlawanan individu terhadap difteria. Pendapat saat ini bahwa

antitoksin titer 1/100 dan 1/30 IU per ml (kadar imunitas tinggi), ternyata tidak terbukti memiliki kekebalan lengkap untuk difteria.

Ada pendapat lain bahwa orang yang tidak bereaksi terhadap uji toksin difteria intrakutan (uji Schick) maka sebagian besar akan kebal terhadap difteria. Dan telah dilaporkan juga kasus difteria berat dengan jumlah antitoksin yang tinggi.4

Sebelum adanya vaksinasi, kekebalan difteria diperoleh dari infeksi alami. Namun pada perjalanannya, ternyata terjadi fenomena penurunan atau memudarnya kekebalan setelah infeksi alami. Sedangkan saat ini, kadar kekebalan terhadap difteria sering dihubungkan dengan vaksinasi namun untuk penilaian titer antibodi oleh karena pemberian tiap-tiap imunisasi DPT masih belum banyak dibicarakan sehingga perlu membandingkan adanya penilaian titer antibodi dari tiap-tiap pemberian imunisasi DPT.5

Penyakit difteria

Difteria merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dan sering mengancam jiwa terutama daerah tenggorokan, tonsil dan kulit. Penyebab difteria dibagi atas toxigenic Corynebacterium diphtheria dan Non-

152 |

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013

(2)

toxigenic Corynebacterium diphtheria.6,7

Penularan difteria dari orang ke orang terjadi melalui kontak fisik dan melalui pernafasan (airborne droplet) yang akan menyebabkan infeksi di nasofaring dan membuat kesulitan bernafas bahkan kematian.8

Source :Routine STP (2002-2006), Integrated VPD Surveillance (2007-2008) and Immunization coverage data

Gambar 1. Angka insiden kasus difteri per 10,000 populasi kelompok umur dan persentase cakupan imunisasi DPT3 Indonesia 2003-20089

Jumlah kasus difteri menurut kelompok umur berdasarkan Provinsi tahun 2010 ditemukan terbanyak di daerah Jawa Timur. Untuk Sumatera Utara sendiri kasus difteri tidak dijumpai pada tahun 2010. Pada tahun 2011 dilaporkan terdapat dua kejadian yaitu di daerah Medan dan Pakpak Barat. Tahun 2012 (hingga akhir bulan september) kasus difteri belum ada dilaporkan.

Untuk jumlah kasus difteria di negara Association of South East Asia Nations (ASEAN) dan South – East Asia Region of WHO ( SEARO), Indonesia masih menjadi salah satu dari ne- gara terbanyak yang menemukan kasus difteri selain India.9,10

Penularan melalui saluran pernafasan dapat berupa asimtomatis atau simtomatis seperti gejala awal pada masa inkubasi 1-5 hari antara lain sakit tenggorokan, nafsu makan berkurang, sedikit demam, batuk dan suara serak serta bisa dijumpai gambaran klinis seperti epistaksis, ekskoriasi lubang hidung (seperti impetigo), sekret hidung bercampur darah (serosanguinus), mukopurulen, limfadenitis servikalis, edema jaringan lunak (bulneck), warna membran putih, kuning, atau abu-abu. Bersifat mudah rapuh, berdarah bila membran diangkat pada kerongkongan dan tonsil, stridor oleh karena obstruksi jalan nafas atas seperti stridor inspiratoar, retraksi, anoksia, sianosis, kongesti dan oedem, serta dapat juga mengalami penurunan kesadaran dan gangguan sirkulasi.

Gambaran klinis lain bila difteria terjadi pada konjunktiva, kulit, liang telinga dan vulvavagina antara lain kelopak mata merah, oedem dan adanya membran, ulkus disertai membran pada dasar kulit, keluarnya cairan sekret terus menerus dan di vulvavagina dapat dijumpai kumpulan ulkus yang berkelompok.

Kematian akibat difteria umumnya terjadi pada hari keenam

sampai sepuluh. Pada fase awal dapat terjadi detak jantung abnormal, peradangan pada otot jantung dan katup jantung kemudian akan menjadi penyakit jantung kronik dan gagal jantung.

Komplikasi berat yang sering terjadi meliputi obstruksi pernafasan, toksisitas sistemik akut, miokarditis, dan komplikasi neurologikal seperti neuritis, paralisis palatum molle, paralisis okular, paralisis difragma dan bisa gagal ginjal.6,8,11

Kadar/nilai protektif titer antibodi difteria

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan satu unit anti toksin difteria.

Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DPT saat ini berkisar antara 6.7 – 25 Lf dalam dosis 0.5 ml. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4 , dan 6 bulan, 15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah.

Dosis keempat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ketiga. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis.12

Nilai atau jumlah kadar antitoksin difteria dalam darah penderita difteria ditemukan sebesar 0.01 IU/ml berdasarkan uji netralisasi pada hewan, kultur sel dan uji Shick.

Pada uji Shick, interpretasi hasil harus menunjukkan hasil negatif bila ditemukan jumlah kadar antitoksin dalam darah.13

Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak

Sampai saat ini belum ada yang mampu memastikan seberapa besar jumlah kadar antitoksin yang mampu mem- berikan perlindungan lengkap terhadap difteria.3

Berbagai variasi bisa saja terjadi, kadar antitoksin yang sama juga dapat memberikan perlindungan yang tidak sama pada orang yang berbeda. Faktor lain dapat mempengaruhi kerentanan terhadap difteria termasuk dosis vaksinasi, virulensi dari basil difteria, dan status imunitas orang yang terinfeksi.14

Dengan demikian, konsentrasi antibodi antara 0.01 dan 0.09 IU/ml dapat dianggap sebagai pemberian kekebalan dasar, sedangkan titer yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk perlindungan penuh.

Dalam beberapa penelitian yang digunakan pada teknik in vitro, kadar 0.1 IU/ml dianggap protektif. 15

Sejauh ini hampir 70%-80% studi yang ada belum mampu memberikan definisi yang tepat terhadap jumlah kadar antitoksin yang mampu memberikan perlindungan lengkap, sehingga perlu memori imunologi setelah vaksinasi ulang. 16

Pertimbangan pemberian imunisasi difteria

Keefektifan tiap pemberian dosis DPT akan berbeda pada usia yang berbeda. Keefektifan vaksinasi juga dipengaruhi oleh berapa dosis pemberian DPT seperti dosis satu kali, dua kali, tiga kali, dan dosis ulangan (tabel 1).17

The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara

| 153

Nurhandayani, dkk Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak

TIDAK TERBACA ...

D P T 3

<1 t ahu n

5-14 tahun 1-4 tahun

0 . 1 8 0 . 1 6 0 . 1 4 0 . 1 2 0 . 1 0 0 . 0 8 0 . 0 6 0 . 0 4 0 . 0 2 0

2 0 0 3 9 0 . 8 0 . 0 7 0 . 0 5 0 . 0 2

2 0 0 4 9 1 . 9 0 . 0 1 0 . 0 2 0 . 0 1

2 0 0 5 7 6 . 4 0 . 1 6 0 . 1 5 0 . 1

2 0 0 6

0 . 0 5

0 . 0 4 0 . 1

8 5 0 . 0 0 4 2 0 0 7

0 . 0 4 0 . 0 2 9 1

0 . 0 0 8 2 0 0 8 9 0 . 8

0 . 0 3 0 . 0 2

4 0

2 0

0 8 0

6 0 1 0 0

TIDAK TERBACA ...

153

(3)

Nurhandayani, dkk

Tabel 1. Efektivitas vaksin difteria toksoid berdasarkan umur dan pemberian dosis DPI17

Keefektifan vaksinasi (%) Pemberian

dosis

0-2 tahun

3-5 tahun

6-14

tahun Lebih 14 tahun

1 93.3 85.5 79.7 89.0

2 100 91.3 95.6 95.9

3 97.2 96.1 89.5 94.9

4 100 99.1 94.7 97.8

5-6 - - 97.9 99.0

Di dalam penilaian keefektifan vaksinasi sering dikaitkan dengan pengukuran kadar antibodi difteria yang diukur dengan berbagai metode pengukuran sepertiuji netralisasi pada hewan, uji netralisasi pada kultur mikrosel, uji pasif hemaglutinasi dan uji ELISA.18

Tabel 2. Kadar respons antibodi difteria berdasarkan usia dan pemberian dosis18

Kadar rata-rata geometrik titer antibodi difteria (IU/ml) Usia Sebelum

(bulan) pemberian dosis pertama

3-8 <0.01 0.8 1.6 0.3 6.7

9-23 <0.01 0.5 1.5 0.3 10.2

24-30 <0.01 0.7 1.7 0.3 8.3

Keterangan :

* pemberian tiga dosis dengan interval 6-10 minggu

** booster keempat diberikan pada usia 12-18

bulan

setelah dosis ketiga

2m 4m 6m 7m 18m

U

sia (bulan)

DPT DPT DPT DPT

Gambar 2. Kadar titer antibodi pada anak yang diimunisasi

vaksin DPI primer pada usia 2,4 dan 6 bulan diikuti dengan satu booster17

2m 4m 6m 7m 18m

Edwards et al. 1989 1 0

1

Kadar rata-rata

0 . 1

154 |

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013 Sebelum

pemberian dosis ketiga*

Sesudah pemberian dosis ketiga

Sebelum booster**

Setelah booster

Kadar rata-rata antibodi difteri (IU/ml)

1 0

1

0 . 1

0.01

Parkin et al. 1984

(4)

Usia (bulan)

DPT DPT DPT DPT

Gambar 3. Kadar titer antibodi pada anak yang diimunisasi vaksin DPI primer pada usia 2,4 dan 6 bulan diikuti dengan dua dosis booster17

Ierdapat hubungan antara usia anak dengan respon imunisasi toksoid difteria. Faktor yang paling penting pada bayi usia muda adalah adanya antibodi yang berasal dari ibu atau antibodi pasif. Sebuah studi menunjukkan bahwa bayi tanpa antibodi ibu dibandingkan dengan anak yang lebih tua yang sama-sama mendapatkan toksoid difteria akan memiliki titer antibodi yang sama.19,20

Studi lain menunjukkan bahwa antibodi difteria pasif yang didapat dari ibu dapat mempengaruhi respons awal terhadap vaksin DPI. Anak dengan kadar tinggi antibodi serum difteria pada tali pusat (0.24 IU/ml), akan mengalami penurunan kadar antibodi pada usia 2 bulan sebesar 0.05 IU/ml. Dosis pertama vaksin DPI yang diberikan pada usia 2 bulan tidak akan merubah kecenderungan untuk penurunan kadar antibodi tersebut.21

Adanya kombinasi atau sifat komponen pertusis pada vaksin DPI tidak mempengaruhi respon kekebalan terhadap difteria. Beberapa studi menunjukkan bahwa respon antibodi difteria baik pada DPI yang mengandung whole cell atau acelular pertusis adalah sama.19

Anak dengan kadar antibodi difteria di atas 0.01 IU/ml setelah pemberian vaksin DPI kedua yang diberikan dengan jarak dua bulan dari pemberian pertama memiliki kadar antibodi yang sama bila diberikan tiga kali vaksin DPI dengan jarak satu bulan tiap dosisnya. Namun, kadar antibodi rata- rata secara signifikan lebih rendah jadwal dua dosis dibandingkan dengan pada pemberian tiga dosis dengan jarak satu bulan dan begitu juga dengan durasi imunitas pemberian dua dosis akan lebih pendek daripada tiga dosis. Konsentrasi antitoksin dalam serum menunjukkan penurunan tajam segera setelah vaksinasi.22

Lamanya durasi imunitas paska-vaksinasi juga berbeda.

Pada tahun 1960, ada sekitar 10% anak yang mengalami kehilangan kekebalan difteria sekitar 7 sampai 13 tahun setelah imunisasi primer dengan toksoid difteria. Namun dalam studi terbaru, menunjukkan kekebalan difteria yang menurun lebih

(5)

Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak cepat, sekitar 10% anak mengalami kehilangan kekebalan

setelah satu tahun pemberian imunisasi primer atau pertama, 67% anak tidak memiliki kekebalan setelah 3 sampai 13 tahun, dan 83% setelah 14-23 tahun.23

Hasil dari vaksinasi ulang pada orang dewasa bergantung pada beberapa faktor, antara lain jadwal dan potensi toksoid yang digunakan untuk imunisasi primer, waktu sejak terakhir pemberian toksoid difteria, dan usia ketika mendapatkan vaksinasi.

Di Denmark, imunisasi primer menggunakan antigen toksoid dosis besar. Vaksinasi ulang pada remaja Denmark, perekrutan militer, atau orang dewasa dengan vaksin Td akan merangsang produksi yang cepat dan kuat dari antitoksin difteria dengan kadar rata-rata melebihi 1 IU/ml.22-24

Respon vaksinasi ulang akan menurun sejalan dengan waktu pemberian vaksinasi primer pertama, tetapi jika ingin memberikan kekebalan lebih dari 20 tahun maka diperlukan dosis penguat tunggal.22

Namun, studi lain menunjukkan sekitar 35% sampai 88%

orang dewasa mengalami serokonversi setelah pemberian dosis tunggal vaksin dan memerlukan pengurangan jumlah toksoid difteria.25,26

Sejumlah kecil toksoid difteria efektif dalam menstimulasi respons sekunder anak sekolah atau orang dewasa yang sudah pernah mendapatkan imunisasi primer sebelumnya, namun tidak cukup untuk menstimulasi respons imun yang efektif pada mereka yang belum pernah mendapatkan imunisasi aktif atau yang tidak pernah memperoleh kekebalan dasar secara alami.27,28

Keefektifan imunisasi dasar harus mencakup tiga dosis toksoid dimana potensi akan mengalami penurunan dengan selang waktu 4 - 6 minggu antara dosis pertama dan kedua, dan 6 - 12 bulan antara dosis kedua dan ketiga.29

Keefektifan beberapa kombinasi vaksin DPT

Kombinasi vaksin merupakan suatu harapan dan tantangan tersendiri. Namun dalam penilaian vaksin kombinasi, bagian terpenting dalam penilaian termasuk keamanan, efikasi dan imunogenisitas serta reaktogenisitas.

Ada beberapa hal yang perlu diamati seperti evaluasi vaksin kombinasi melalui penelitian randomisasi dan samar acak ganda, prioritas studi harus berhati-hati tanpa mengikutkan kepentingan politik, adanya standarisasi serologi dan penilaian reaksi yang tidak diinginkan serta korelasi perlindungan melalui studi imunogenisitas.29,30

Pemberian kombinasi vaksin heksavalen DaPT - Hepatitis B (HepB/HBV) – Inactivated Polio (IPV) - HiB dan tambahan vaksin konjugasi Pneumococcal (7VPn/PCV7) pada tempat pemberian suntikan yang terpisah dan dalam waktu yang sama, sejauh ini aman dan efektif dan mencapai kadar proteksi terhadap seluruh antigen termasuk kadar titer antibodi difteri berada • 0.1 IU/mL baik pada pemberian pertama maupun ulangan.31,32

Peningkatan reaktogenisitas dengan pemberian kombinasi tersebut dengan PCV7 telah diduga lebih tinggi, tetapi tidak berbeda bermakna dengan pemberian vaksin heksavalen

tunggal.32,33

Kombinasi DaPT-HepB-IPV/Hib pada usia 2, 4 dan 6 bulan dapat diberikan sesudah dosis HepB diberikan pertama pada saat lahir dan tidak meningkatkan reaktogenisitas. Meskipun telah dilaporkan seringnya didapati respon imun terhadap PRP-T yang rendah ketika DaPT dikombinasikan dengan HiB, tetapi hasil ini tidak relevan dengan klinis yang ditemukan.34

Kombinasi vaksin heksavalen (DaPT-IPV-HepB-PRP-T) secara umum memberikan toleransi yang baik dan memiliki respon imun adekuat dalam mencegah 6 penyakit dalam satu suntikan . Kombinasi ini diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan dimana titer kadar antitoksin difteri sekitar 99% di atas 0.01 IU/mL.

Ketika dibandingkan dengan pemberian vaksin yang tidak dikombinasikan dengan HepB, vaksin heksavalen meskipun mencapai seroproteksi terhadap HepB tetapi memiliki respon imun yang lebih rendah dibandingkan vaksin terpisah.

Penggunaan kombinasi DaPT-IPV/PRP-T untuk vaksin ulangan pada usia 18 bulan memiliki imunogenik yang sama dan toleransi yang baik.35

Kombinasi DPT-HepB-IPV/HiB dengan Meningococcal Ctoksoid tetanus (MenC-TT) sejauh ini aman dan memiliki toleransi yang baik dan tidak ditemukan peningkatan reaktogenisitas baik lokal maupun reaksi umum bila diberikan dalam satu suntikan.36

Kombinasi DPT dengan oral vaksin polio (OPV) atau suntikan polio (IPV) tidak menunjukkan interaksi yang bermakna dan tidak mempengaruhi kadar titer antibodi dari difteri. Kadar titer anti difteri baik pada OPV maupun IPV yang dilakukan pemeriksaan darah dengan metode pemeriksaan ELISA-IgG

'3d 0.1 IU/mL.37

Perubahan status imun dari berbagai usia dan jadwal pemberian imunisasi

Waktu atau jadwal program imunisasi mampu menghasilkan pengurangan signifikan dari angka kejadian difteria. Jadwal imunisasi juga mampu memberikan perubahan yang mendalam dan memberikan perbedaan status imun dari berbagai kelompok dan berbagai usia. Namun, sejauh ini masih ada perbedaan kadar antibodi yang mampu diukur dari berbagai kelompok dan berbagai negara oleh karena adanya kesulitan dalam metode yang digunakan untuk menentukan kekebalan difteria dan mengukur kadar antibodi.38

Tidak ada jadwal yang tepat, sederhana, dan universal untuk imunisasi difteria. Pilihan jadwal yang tepat tergantung pada pola epidemiologi dari difteria dan pada tingkatan pengembangan pelayananan imunisasi.

Di negara berkembang di mana reservoir C. diphtheriae masih ditemukan maka kekebalan alami sangat berperan penting dalam perlindungan terhadap bahaya difteria, difteria faring, dan prioritas utama adalah memastikan bayi memiliki cakupan tinggi terhadap tiga dosis DPT vaksin. Prioritas harus diberikan untuk mencapai setidaknya 90% dari seluruh cakupan.

Di negara berkembang yang telah mencapai cakupan yang tinggi dengan tiga dosis vaksin DPT pada anak di bawah usia satu tahun, kebijakan menggunakan dosis booster vaksin DPT

The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara

| 155

(6)

Nurhandayani, dkk

pada usia akhir tahun kedua, dosis DT saat masuk sekolah harus bergantung pada pola difteria dan ketersediaan vaksin. Jika difteria menimbulkan masalah kesehatan yang signifikan pada anak prasekolah atau usia sekolah, maka tambahan dosis toksoid difteria dapat dilakukan.

Data dari studi serologi menunjukkan bahwa kadar antibodi menurun dapat menjadi panduan dalam memutuskan kapan penguat dosis harus diberikan.

Masalah utama terletak pada keinginan anak mengunjungi pusat kesehatan untuk kegiatan kesehatan preventif.22

Di negara maju, imunisasi primer biasanya terdiri dari tiga dosis vaksin DPT, diberikan pada interval 4 minggu atau lebih, dimulai pada usia 2 atau 3 bulan, dan diperkuat oleh dosis keempat yang diberikan pada tahun kedua kehidupan.

Kebijakan menggunakan vaksin dosis booster yang mengandung toksoid difteria (dan tetanus) bervariasi. Di beberapa negara, dosis booster vaksin DPT diberikan di atas usia 3 tahun (Cekoslovakia, Hungaria, dan Amerika Serikat).

Di banyak negara lain, dosis booster vaksin DT diberikan saat masuk sekolah dasar dan selesai sekolah dasar. Tetapi banyak negara juga yang memberikan hanya toksoid tetanus monovalen untuk anak sekolah.22

RINGKASAN

Pemberian tiga dosis vaksin DPT yang diberikan pada masa bayi memberikan kekebalan imunitas terhadap difteria selama beberapa tahun. Lamanya kekebalan setelah imuni- sasi difteria primer mungkin berbeda jauh, dan tergantung pada situasi epidemiologi, frekuensi stimulasi alami, dan penguatan kekebalan terhadap difteria.

Rekomendasi global untuk imunisasi difteria adalah untuk menerapkan imunisasi dasar yang efektif pada masa bayi dan untuk mempertahankan kekebalan sampai seluruh hidup. Jadwal imunisasi harus disesuaikan dengan kondisi spesifik di suatu negara, dengan mempertimbangkan pola epidemiologi sebenarnya difteria dan tingkatan keadaan pengembangan pelayanan imunisasi.

Di semua negara, prioritas utama adalah mencapai setidaknya 90% cakupan imunitas dengan vaksin tiga dosis DPT yang diberikan pada anak usia di bawah satu tahun. Di negara berkembang di mana difteria adalah endemik, maka pemberian tiga dosis primer akan cukup untuk mencegah difteria muncul sebagai penyakit epidemi.

Di negara berkembang dimana kadar imunisasi yang tinggi cakupannya pada anak di bawah usia satu tahun, kebijakan menggunakan vaksin dosis lanjutan yang mengandung toksoid difteria harus tergantung pada epidemiologi difteria. Jika difteria menimbulkan masalah kesehatan yang signifikan pada anak prasekolah atau usia sekolah, maka tambahan

dosis toksoid difteria harus dipertimbangkan.

Dosis keempat vaksin DPT pada akhir tahun kedua kehidupan, dosis vaksin DT pada awal sekolah adalah pili- han yang paling sering dipilih.

Konsentrasi antibodi antara 0.01 dan 0.09 IU/ml dianggap

sebagai pemberian kekebalan dasar, sedangkan titer yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk perlindungan penuh (kadar 0.1 IU/ml dianggap protektif).

Setelah mendapatkan tiga dosis toksoid difteria semua anak rata-rata akan memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU/ml. Kadar titer antibodi terhadap pemberian pertama, kedua dan ketiga bervariasi berdasarkan umur, namun pada pemberian pertama rata-rata kadar antibodi akan berkisar 0.01 IU/ml, pemberian kedua berkisar 0.5-0.8 IU/ml dan pemberian ketiga berkisar 1.5-1.7 IU/ml.

Daftar Pustaka

1. Febrina S. Kelengkapan imunisasi. Jakarta: Penerbit FK UI; 2009. p. 5-18.

2. Damayanti N A. Pengembangan sistem imunisasi.

Jakarta: Penerbit FK UI; 2009. p.7-39.

3. Idaho. Antibody titers and immunity: are they related?.

[Online]. 2012 [Cited 2012 Oct]; Available from: URL:

4. Iphsen J. Circulating antitoxin at the onset of diphteriae in 425 patients. J Immunol. 1946;54:325-47.

5. Melker de HE, Berbers GAM, Nagelkerke NJ, Spaendonck CM. Diphteriae antitoxin levels in nether-lands: a population based study. Emerging Infectious Diseases. 1999;5:694-701.

6. CDC. Diphtheria. 2006; 55:1–34.

7. Corynebacterium diphtheriae-diphteriae. [Online].

2012 [Cited 2012 Oct]; Available from: URL:

8. Johnston L. Tetanus, diphtheria and pertussis: ancient diseases in modern times. SA Pharm J. 2010;28-33.

9. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. Surveilans difteri tahun 2011-2012. 2012.

10. Profil kesehatan Indonesia 2010. [Online]. 2011 [Cited 2012 Oct]; Available from: URL:

11. WHO. Immunization practices. GAVI. 2002;4:1-36.

12. Tim IDAI. Imunisasi difteria, pertusis dan tetanus. In:

Pedoman imunisasi di Indonesia. 4th ed. Jakarta:

Sagung Seto; 2011. p. 12-9.

13. Danilova E, Jenum PA, Skogen V, Pilnikov VF, Sjursen H.

Antidiphtheria antibody responses in patients and carriers of corynebacterium diphtheriae in the Arkhangelsk Region of Russia. Clin Vacc Imm. 2006;13:627–32.

14. Christenson B, Bottiger M. Serological immunity to diphtheria in Sweden in 1978 and 1984. Scand J Infect Dis. 1986;18:227-33.

15. Plotkin S A. Correlates of vaccine-induced immunity.

Vacc J. 2008;47:401-9.

16. Lu C, Michaud CM, Gakidou, Khan K, Murray C. Effect of the global alliance for vaccines and immunization on diphtheria, tetanus, and pertussis vaccine coverage: an independent assessment. Lancet. 2006;368:1088–95.

17. Stites D, Stobe J, Wells J. Basic and clinical immunology.

6th ed. Norwalk, CT: Appleton & Lange; 1987. p. 343-56.

18. Giovine PD, Pinto A, Lander RM. External quality assessment for the determination of diphtheriaantitoxin in human serum. Clin Vacc Imm. 2010;1282–90.

19. Galazka AM. Proceedings of the immunological basis

156 |

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013

(7)

Perbandingan efektifitas pemberian imunisasi difteria satu kali, dua kali, dan tiga kali dengan penilaian titer antibodi pada anak for immunization diphtheria. Geneva; 1993.

20. Vahlquist B. Response of infants to diphtheria immuni- sation. Lancet. 1949;1:16-8.

21. Anderson RM, May RM. Infectious diseases of humans: dynamics and control. 2nd ed. New York:

Oxford University Press; 1991. p.1-11.

22. Simonsen O. Vaccination against tetanus and diphtheria. Evaluation of immunity in the Danish population, guidelines for revaccination, and the methods for control of vaccination programs. Dan Med Bull. 1989;36:24-47.

23. Galazka A, Kardymowicz B. Immunity against diphtheria in adults in Poland. Epidemiol Infect.

1989;103:587-93.

24. Knight PA, Tilleray J, Queminet J. Studies on the correlation of a range of immunoassays for diphtheria antitoxin with the guinea-pig intradermal test. Dev Biol Stand. 1986;64:25-32.

25. Melville SM, Balfour A. Estimation of Corynebacterium diphtheriae anti-toxin in human sera: a comparison of an enzyme-linked immunosorbent assay with the toxin neutralization test. J Med Microbiol. 1988;25:279-83.

26. Hendriksen CFM, Van DG, Kreeftenberg JG.

Combined estimation of tetanus and diphtheria antitoxin in human sera by the in vitro toxin-binding inhibition (ToBI) test. J Biol Stand. 1989;17:191-200.

27. Kurugola Z, Midyata L, Turkoglua E, Egul A. Immunity against diphtheria among children and adults in Izmir, Turkey. Vaccine. 2011;4341–4.

28. McDonnell W, Askari F. Immunization. JAMA. 1997;

278:2000-7.

29. 29. Offit PA, Quarles J, Gerber MA. Addressing parents’

concerns: do multiple vaccines overwhelm or weaken the infant’s immune system. Pediatrics. 2002;109:124-9.

30. Edwards K, Decker M. Combination vaccines: hopes and challenges. Pediatr Infect Dis J. 1994;13:345-7.

31. Kalies H, Vestraeten T, Grote V, et al. Four and one-half-year follow-up of the effectiveness of diphteria-tetanus toxoids- acellular pertussis/Haemophilus influenza type B and diphteria-tetanus toxoids-acellular pertussis-inactivated

poliovirus/H. Influenza type B combination vaccines in

(8)

Germany. Pediatr Infect Dis J. 2004;23:944-50.

32. Tichmann-Schumann I, Soemantri P, Behre U, et al. Immu- nogenicity and reactogenicity at four doses of diphtheria- tetanus-three-component acellular pertussis-hepatitis B- inactivated polio virus-Haemophilus influenza type B vaccine coadministered with 7-valent pneumoco-ccal conjugate vaccine. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:70-7.

33. Tapiero B, Halperin SA, Dionne M, et al. Safety and immunogenicity of a hexavalent vaccine administered at 2, 4 and 6 months of age with or without a hepatavalen pneumococcal conjugate vaccine: a randomized, open- label study. Pediatr Infect Dis J. 2013;32:54-61.

34. Pichichero ME, Blatter MM, Reisinger KS, et al. Impact of a birth dose of hepatitis B vaccine on the reactogenicity and immunogenicity of diphtheria-tetanus-acellular pertussis-hepatitis B-inactivated poliovirus-haemophilus influenzae type B combination vaccination. Pediatr Infect Dis J. 2002;21:854-9.

35. Mallet E, Febre P, Pines E, et al. Immunogenicity and safety of a liquid hexavalent combined vaccine compared with separate administration of reference licensed vac- cines in infants. Pediatr Infect Dis J. 2000;19:1119-27.

36. Tejedor JC, Moro M, Contreras JR, et al.

Immunogenicity and reactogenicity of primary immunization with a hexavalent diphtheria-tetanus- acellur pertussis-hepatitis B-inactivated polio- haemophilus influenzae type B vaccine coadministered with two doses of a meningococcal c-tetanus toxoid conjugate vaccine. Pediatr Infect Dis J. 2006;25:713-20.

37. Daud RS, Zenko CE, Given GZ, et al. Absence of a significant interaction between a haemophilus influenzae conjugate vaccine combined with a diphtheria toxoid, tetanus toxoid and acellular pertussis vaccine in the same syringe and inactivated polio vaccine. Pediatr Infect Dis J. 2000;19:710-7.

38. Papadatos C, Papavangelou G, Koukou D. Diphtheria antitoxin levels and the schick reaction in mothers and their newborns. Acta Paediatr Scand. 1967;172:181-5.**

The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara

| 157

Gambar

Gambar  1.  Angka  insiden  kasus  difteri  per  10,000  populasi  kelompok  umur  dan  persentase  cakupan  imunisasi DPT3 Indonesia 2003-2008 9
Tabel 1. Efektivitas vaksin difteria toksoid berdasarkan umur  dan pemberian dosis DPI 17

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman mengenai hukum pelaksanaan perayaan maulid Nabi Muhamad SAW dalam Islam menurut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sangat penting untuk dikaji karena mengingat posisi

10 EPCI Untuk Fasilitas Produksi Tank Receiving di Lapangan Tonga Project Management Team, Engineering, Procurement, Construction ,Fabrication, Installation Tonga-South

Nilai resistan yang dijumpai dalam perkawatan/cabling kendaraan condong mempunyai batas yang ditentukan banyak piranti mempunyai batas resistansi dibawah 10 ohm, ada beberapa

Pelaksanaan perlindungan hukum atas ganti rugi kecelakaan kerja terhadap Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi pekerja konstruksi di Malaysia dengan cara membayarkan

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang yang tercatat pada tahun 2013 jumlah produsen loenpia yang ada di Kota Semarang berjumlah 8 produsen.

Ini didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) PP 38 Tahun 2007, maka proyek PLTU di Kabupaten Batang ini masuk menjadi urusan pemerintah pusat karena peruntukan dan

The tradition begins with the theoretical and literary confrontation with urban poverty and industrial capitalism in Marx, Baudelaire, and Mal- larmé; it continues in Rainer

Bishop's letters to May Swenson [Washington], Robert Lowell [Har- vard], Marianne Moore [Rosenbach], Jane Dewey [Carbondale], and Kit and lisa Barker [Princeton] form