• Tidak ada hasil yang ditemukan

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 44 RESENSI BUKU

Judul : Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan

Penulis : M. Arief Amrullah, SH Penerbit : Bayu Media Publishing Oleh : Satrio Pramono, S.H.

Penasehat Hukum Yunior, Direktorat Hukum Bank Indonesia

---Pendahuluan

Buku yang berjudul Politik Hukum Pidana : “Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan”1 ini membahas

mengenai politik (kebijakan) hukum pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan. Dalam buku tersebut terdapat 2 (dua) isu hukum yang penting yaitu:

a. Politik hukum pidana terhadap perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan

dalam hukum pidana positif,

meliputi:

? kedudukan korban dan; ? perlindungan korban

kejahatan.

1 Merupakan disertasi M. Arief Amrullah,

SH, MHum penerbit Bayumedia Publishing, yang disusun dalam rangka memperoleh gelar doktor dalam bidang Program Pascasarjana UNAIR dan telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka pada tanggal 4 Juli 2002.

b. Politik hukum pidana terhadap perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang,

yang meliputi:

? integrasi politik hukum pidana dengan kebijakan

ekonomi di bidang

perbankan dan;

? perlindungan korban

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

Latar Belakang

(2)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 45

kejahatan dan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, serta dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan terhadap perekonomian nasional yang juga dapat mengakibatkan timbulnya korban. Korban akibat kejahatan ekonomi di bidang perbankan meliputi nasabah penyimpan dana, bank yang bersangkutan, bank-bank yang memberi pinjaman (bank-bank kreditor baik swasta maupun pemerintah), rakyat dalam arti abstrak, serta karyawan dan karyawati yang harus meninggalkan pekerjaannya (sebagai akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja) karena bank tempat mereka bekerja telah bangkrut serta ekonomi yang terganggu atau rusak.

Upaya-upaya Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan

Upaya perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan tidak dapat sepenuhnya dibebankan hanya pada hukum pidana, mengingat hukum pidana merupakan sub sistem dari sistem yang lebih luas, dan keterbatasan-keterbatasan dalam hukum pidana, sehingga upaya perlindungan korban tersebut juga harus dibantu dengan sarana lain di luar hukum pidana.

Dalam menentukan kebijakan ekonomi di bidang perbankan, sejak

awal seharusnya dipikirkan dampak dari kebijakan itu, yang berupa timbulnya faktor kriminogen dan viktimogen sehingga diharapkan tercipta jalinan harmonis antara politik hukum pidana dengan kebijakan sosial (kebijakan ekonomi di bidang perbankan).

Penulis berusaha memaparkan pengalaman terkait upaya perlindungan terhadap korban kejahatan perbankan, misalnya di Amerika Serikat yang mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1960-an, perhatian terhadap korban masih hanya sebatas pada korban kejahatan kekerasan (victims of

crime of violence). Pada tahun 1965

pembuat Undang-Undang di California Amerika Serikat yang mengeluarkan sebuah Undang-Undang yang berkaitan dengan bantuan keuangan terhadap korban kejahatan kekerasan. Langkah tersebut disusul oleh negara bagian New York sebagai the second

victim-compensating state of the United Stated (Stephen Schafer,

1968:131-134). Pada saat itu perhatian terhadap korban tersebut telah mencakup pula pada victims of

fraud and economic crime.

Terkait dengan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dalam hukum pidana dikenal 3 (tiga) pilar, yaitu:

(3)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 46

Mengkriminalisasikan beberapa perbuatan yang berpotensi bagi timbulnya korban (potential

victim and actual victim)

merupakan suatu langkah preventif dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Perbuatan-perbuatan yang telah diidentifikasi tersebut antara lain meliputi fraudulent mis-representation, praktek bank

dalam bank, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) belum tegas dinyatakan sebagai kejahatan, serta menyalahgunakan kewenangan baik untuk kepentingan pribadi maupun orang lain yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. b. Masalah pertanggungjawaban

pidana (korporasi)

Pertanggung jawaban pidana (korporasi) bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang hukum perbankan. Namun demikian perlu diperhatikan pula mengenai pertanggungjawaban pidana terkait korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana. Hukum pidana positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam perundang-undangan lain, seperti UU Perbankan belum mengatur mengenai hal tersebut.

Namun, korporasi sebagai subyek hukum sebenarnya telah datur dalam Undang-Undang lain2, meskipun hal tersebut

masih menjadi persoalan terkait doktrin dalam hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”.

c. Masalah pidana dan pemidanaan serta perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan

Perlindungan tidak hanya terhadap potential victim atau calon korban melainkan juga terhadap actual victim, sehingga menciptakan antara pelaku dan korban, serta antara calon korban dan korban langsung. Sehubungan dengan hal tersebut, perumusan ancaman pidana denda yang tinggi tidak akan menjamin pencegahan pihak korporasi atau bank melakukan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, apabila tanpa

(4)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 47

dikombinasikan dengan sanksi alternatif lainnya seperti publicity

sanction serta sanksi berupa penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank dan pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Dalam buku ini penulis juga memaparkan pengalaman di negara penganut Anglo Saxon yang mengenal pengecualian “tidak dicantumkannya unsur kesalahan dalam mempertanggungjawabkan pelaku kejahatan” termasuk korporasi dengan menggunakan doktrin strict liability dan vicarious

liability.

Pertanggungjawaban pidana menurut Peter Gilles (1990: 78-79) dikategorikan menjadi strict apabila perbuatan yang telah dilakukan tidak lagi memperhatikan adanya kesalahan seseorang. Sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan hanya karena adanya unsur kesengajaan (consisting in intention) meskipun yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan.

Release and Discharge

Penulis menjelaskan beberapa hal menyangkut hukum pidana dalam

kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)3 terkait proses

pemberian release and discharge kepada para obligor dengan alasan “demi kepentingan umum”.

Pemberian release and discharge tersebut dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: a. apakah apabila para obligor

dihukum dengan dijatuhi pidana yang seharusnya berlaku

memang akan dapat

menggoyahkan perekonomian nasional; atau

b. apakah apabila para obligor tidak dihukum dengan pidana yang berlaku maka kepentingan menyangkut perekonomian nasional akan cepat pulih.

Hal-hal seperti ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik, karena dalam praktek-praktek penyelesaian kasus BLBI tersebut hanya mengedepankan alasan dan pendekatan dari sisi ekonomi,

sehingga seharusnya

dipertimbangkan kembali untuk dikaji ulang dan diintegrasikan dengan aturan dalam hukum pidana.

Sementara itu di sisi lain, praktek seperti itu telah menciptakan sebuah

(5)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 48

“ketidaktertiban hukum” atau “ketidaktaatan asas” atau bahkan menimbulkan faktor kriminogen dan

viktimogen. Namun apabila

dikaitkan dengan asas equality

before the law (persamaan di depan

hukum), juga akan menjadi sulit

dimana hukum harus

mempersamakan sesuatu yang memang tidak sama. Dalam hal ini adalah adanya perbedaan perlakuan hukum bagi masyarakat golongan ekonomi kuat dengan masyarakat golongan ekonomi lemah.

Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Dalam implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 41 mengenai fungsi pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap Anggaran Pendapatan dan

Upaya peningkatan pendapatan rumah tangga pelaku usaha stroberi dapat dilakukan dengan melakukan pengembangan agroindustri stroberi, dengan cara menambah berbagai olahan

Maka hipotesis ketujuh yang menyatakan bahwa Human Relation berpengaruh secara tidak langsung terhadap Loyalitas dimediasi melalui Motivasi dapat diterima. Agus Tugas

Proses perengkahan residue ini dimungkinkan dengan pemanasan umpan menggunakan visbreaking unit fired heater dan rapid quenching fluida keluar fired heater, yang memudahkan

Berdasarkan hasil analisis akan diketahui apakah pemberian kredit bantuan dari Koperasi Enkas Mulia untuk usaha mikro di Kota Semarang efektif atau tidak ditinjau

Karena dengan media audio visual peserta didik tidak hanya mendengarkan uraian dari penjelasan guru tetapi peserta didik juga mengamati film- film pendek yang ditayangkan

Adanya muatan hidup yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain pada suatu konstruksi disebut beban bergerak. Misalkan ada sebuah kendaraan melalui suatu jembatan, maka akan

[r]