6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bandar Udara
Bandar Udara merupakan kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya (Dephub,2017). Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization) : Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Pada masa awal, bandar udara hanya berupa lapangan rumput saja, yang dapat didarati oleh pesawat dari mana saja tergantung dari arah angin. Pada masa Perang Dunia I (PD I), Bandar Udara sudah mulai dibangun permanen seiring dengan semakin bertambahnya penggunaan pesawat seperti yang terlihat pada masa sekarang. Setelah perang berakhir, bandar udara kemudian mulai ditambahkan dengan berbagai fasilitas komersial untuk melayani penumpang.
2.2. Fungsi Bandar Udara
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melalui SKEP/77/VI/2005, fungsi bandar udara adalah untuk mendukung lalu lintas udara, kargo dan / atau pos, keselamatan penerbangan, lokasi internal dan / atau bergerak, serta mendorong perekonomian regional dan nasional. Sistem tersebut mengatur pengoperasian bandar udara sesuai dengan fungsi, tujuan, klasifikasi, status, dan aktivitas bandar udara tersebut. Sesuai dengan fungsinya, bandara dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Bandara adalah simpul dalam jaringan transportasi udara menurut tingkat fungsionalnya (yaitu, pusat distribusi daripada pusat penyebaran).
2. Bandara tersebut merupakan pintu gerbang kegiatan ekonomi nasional dan internasional.
3. Bandara merupakan tempat aktivitas pergantian moda transportasi.
2.3. Fasilitas Bandar Udara
Fasilitas pada bandar udara memiliki dua jenis, yaitu fasilitas sisi udara bandar udara dan fasilitas sisi darat bandar udara. Fasilitas-fasilitas ini berfungsi untuk menunjang terlaksananya kegiatan pada sebuah bandar udara. Berikut merupakan fasilitas yang terdapat pada bandara:
Fasilitas sisi udara
Bersumber pada Peraturan Menteri Perhubungan No. KM No. 47 Tahun 2002, sisi udara bandara merupakan bagian dari bandar udara, dan semua fasilitas penunjang adalah non-public area. Di kawasan ini setiap orang, kargo dan kendaraan yang masuk harus melakukan pemeriksaan keamanan dan mendapatkan izin khusus.
Dari segi pengoperasian, fasilitas sisi udara sangat erat kaitannya dengan karakteristik pesawat dan dapat menunjang keselamatan, keamanan dan stabilitas penerbangan yang dilayani. Acuan ini merupakan hasil kesepakatan dengan regulasi internasional sesuai dengan kondisi dan regulasi yang ada di Indonesia.
Saat menyiapkan standar pengoperasian fasilitas sisi udara, akan dikelompokkan menurut jenis pesawat Indonesia dan level bandara.
2.3.1. Landasan Pacu (Runway)
Landasan pacu merupakan salah satu fasilitas sisi udara yang ada pada bandar udara yang berupa perkerasan yang disiapkan untuk pesawat melakukan aktivitas pendaratan dan lepas landas. Elemen dasar dari landasan pacu meliputi perkerasan yang dapat menahan beban pesawat yang dilayaninya. Fasilitas landasan pacu sendiri memiliki beberapa bagian yang masing-masing mempunyai persyaratan sendiri.
1) Bahu landasan (Shoulder) adalah area pembatas pada akhir tepi perkerasan landasan pacu yang dipersiapkan untuk menahan hembusan jet dan
menampung peralatan untuk pemeliharaan dan keadaan darurat serta penyediaan daerah peralihan antara bagian perkerasan dan runway strip.
2) Bantal Hembusan (Blast pad) merupakan daerah yang dirancang untuk mencegah erosi permukaan yang berdekatan dengan dengan ujung runway yang menerima hembusan jet yang berulang. ICAO menetapkan panjang bantal hembusan sebesar 100 feet (30 m).
3) Wilayah aman landasan pacu merupakan wilayah yang bebas dari benda-benda yang mengusik, terdapat saluran, rat dan termasuk perkerasan landasan, bahu runway, bantal hembusan serta wilaya untuk perhentian. Wilayah ini wajib mendukung perlengkapan pemeliharaan dan dalam keadaan darurat sanggup menunjang pesawat apabila pesawat keluar dari landasan.
Menurut penelitian Sandhavitri dan Taufik (2005), terdapat beberapa jenis landasan pacu. Sebagian besar merupakan gabungan dari beberapa jenis landasan pacu. Adapun susunan dasar dari landasan pacu adalah sebagai berikut:
Gambar 2. 1 Tampak Atas Unsur-Unsur Runway
1) Runway tunggal
Jenis landasan pacu ini merupakan jenis landasan pacu yang sangat sederhana. Kapasitas runway tipe ini dalam keadaan VFR berkisar antara 50 hingga 100 pelayanan per jam, sementara pada keadaan IFR kapasitasnya dapat menurun dari 50 hingga 70 pelayanan per jam.
Gambar 2. 2 Runway Tunggal
2) Runway Sejajar
Kapasitas pada konfigurasi ini sangat erat kaitannya dengan banyaknya landasan pacu dan jarak setiap runway. Pada landasan pacu sejajar dengan jarak yang kecil, sedang dan jauh, kapasitas setiap jamnya bisa bermacam-macam dari 100 hingga 200 pada keadaan VFR, tergantung dari kondisi kombinasi pesawat. Di bawah keadaan IFR, daya tampung jarak dekat setiap jamnya adalah 50 hingga 60 pelayanan, tergantung dari kombinasi pesawat. Pada landasan pacu sejajar dengan jarak sedang, kapasitasnya 60 hingga 75 operasi per jam, sedangkan kecepatan landasan pacu interval adalah 100 hingga 125 pelayanan setiap jamnya.
Gambar 2. 3 Runway Sejajar 3) Runway Dua Jalur
Dalam kondisi VFR, daya dukung landasan pacu dua jalur setidaknya 70%
lebih tinggi dari landasan pacu tunggal, sedangkan dalam kondisi IFR, daya dukung landasan pacu setidaknya 60% lebih tinggi daripada daya dukung landasan pacu tunggal.
Gambar 2. 4 Runway Dua Jalur
4) Runway Bersilangan
Kemampuan landasan pacu bersilang sebagian besar bergantung pada persimpangan landasan pacu dan pengoperasian landasan pacu, yang disebut taktik (take off atau landing). Semakin jauh persimpangan dari bagian akhir runway dan ambang (threshold) untuk landing, semakin rendah pula daya tampungnya.
Gambar 2. 5 Runway Bersilangan 5) Runway V Terbuka
Landasan pacu dengan konfigurasi terbuka berbentuk V merupakan landasan pacu dengan arah berbeda (divergen) namun tidak saling memotong. Strategi ini akan mengakibatkan daya tampung yang maksimal saat melakukan penerbangan di luar V. Pada keadaan IFR, tergantung pada campuran pesawat, kapasitas strategi ini berkisar dari 50 hingga 80 operasi per jam, sedangkan dalam kasus VFR adalah 60 hingga 180 pelayanan.
Gambar 2. 6 Runway V Terbuka
2.3.1.1.Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Panjang Runway
Baik faktor internal maupun eksternal akan mempengaruhi banyak faktor panjang landasan bandara Silakan mengacu pada rekomendasi ICAO (International Civil Aviation Organization) perhitungan panjang landasan harus disesuaikan dengan kondisi bandara setempat. Metode ini disebut metode ARFL (Aeroplane Reference Field Length). Menurut ICAO, ARFL merupakan panjang landasan pacu minimum yang diperlukan untuk lepas landas pada maximum certificated take off weight, ketinggian dari muka laut, keadaan standar atmosfer, kondisi tanpa angin runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Menurut Basuki (1986), ada beberapa variabel yang berpengaruh pada panjang landasan pacu (runway).
a. Koreksi Ketinggian (Elevasi)
Berdasarkan ICAO panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan ketinggian sebesar 300 m (1000 ft) dari atas permukaan laut.
Maka didapatkan persamaan sebagai berikut : 𝐹𝑒 = 1 + 0,07 ℎ
300………..…(2.1)
Keterangan : Fe = Faktor Koreksi Elevasi
h = Elevasi diatas permukaan laut (m) b. Koreksi Temperatur
Di bawah kondisi suhu yang lebih tinggi, landasan pacu yang lebih panjang diperlukan, karena suhu yang lebih tinggi dapat menghasilkan kepadatan udara yang lebih rendah sehingga daya dorong yang lebih sedikit. Suhu standarnya sebesar 15 ° C atau 95 ° F. Berdasarkan International Civil Aviation Organization, untuk setiap kenaikan 1 ° C, temperatur panjang landasan pacu harus dikoreksi sebesar 1%. Pada saat yang sama, suhu akan turun 6,5 ° C pada setiap kenaikan 1000 m dari permukaan laut.
Dengan dasar di atas maka didapatkan persamaan sebagai berikut :
Ft = 1 + 0,01 {T-(15-0,0065 x h)}……….……..(2.2) Keterangan : Ft = Faktor Koreksi temperatur
T = Temperatur di bandara (°C)
c. Koreksi Kemiringan Runway
Kemiringan (slope) memerlukan runway yang lebih panjang untuk setiap kemiringan 1%, maka panjang runway harus ditambah dengan 10%. Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + (0,1 S)……….(2.3) Keterangan: Fs = Faktor koreksi kemiringan
S = Kemiringan runway (%) d. Koreksi Angin Permukaan
Jika angin haluan (head wind) berhembus maka panjang runway yang dibutuhkan semakin pendek, begitu pula sebaliknya jika angin buritan (tail wind) bertiup maka panjang landasan pacu yang perlukan pun sebaliknya maka landasan pacu yang diperlukan akan semakin panjang. Angin buritan (tail wind) maksimum yang dibolehkan bertiup dengan kecepatan 10 knot. Pada tabel 2.1 menunjukkan pengaruh angin permukaan terhadap panjang runway.
Tabel 2. 1 Pengaruh angin permukaan terhadap panjang landasan pacu
Kekuatan Angin Persentase Pertembahan / Pengurangan Runway
+5 -3
+10 -5
-5 +7
(Sumber: Basuki, 1986) e. Kondisi Permukaan Runway
Dalam kasus permukaan landasan pacu, sangat penting untuk menghindari genangan air (standing water) yang dapat membahayakan pengoperasian pesawat.
Genangan air tersebut dapat menyebabkan permukaan landasan pacu tergelincir pada roda pendaratan pesawat, yang dapat menyebabkan gaya pengereman pesawat memburuk, dan sangat membahayakan kecepatan pesawat saat take off. Bersumber pada riset NASA dan FAA, ketinggian genangan maksimal adalah 1,27 cm. Oleh sebab itu, drainase pada lapangan terbang harus baik agar dapat menghilangkan genangan secepatnya. Setelah dilakukan pencarian koreksi elevasi, koreksi
temperatur, koreksi slope serta koreksi angin permukaan, didapatkan persamaan untuk panjang landasan pacu yang direncanakan sebagai berikut:
Lr = ARFL x Ft x Fe x Fs + Fa……….…(2.4) Dimana : Lr = Panjang rencana runway
ARFL = Runway minimum yang dibutuhkan Ft = Faktor koreksi temperatur
Fe = Faktor koreksi elevasi Fs = Faktor koreksi kemiringan Fa = Faktor koreksi angin 2.3.2. Penghubung Landasan Pacu (Taxiway)
Taxiway merupakan jalan tertentu di dalam sebuah lapangan terbang yang memiliki fungsi untuk menyambungkan landasan pacu (runway) dengan parkir pesawat (apron) pada gedung terminal dan sebaliknya, yang tersusun dari exit taxiway, parallel taxiway, dan high speed taxiway.
Taxiway yang berperan sebagai fasilitas penyambung, oleh karena itu taxiway pada perencanaannya wajib memenuhi beberapa ketetapan sebagai berikut:
a. Jarak taxiway dan runway
Terdapat jarak minimum yang harus di perhatikan dalam perencanaan lokasi taxiway dengan runway
Tabel 2. 2 Jarak Pemisah Minimum untuk Taxiway
Jarak Antara Garis Tengah Taxiway dan Garis Tengah Runway (m)
Code Letter / Penggo
longan Pesawa
t
Landasan Instrumen
Landasan Non Instrumen
Garis tengah taxiwa y pada
Garis Tenga
h Taxiw-
ay (m)
Garis Tenga
h Taxiw
ay pada suatu Obyek
Tetap (m)
Pesawat Udara yang
berada di garis tengah Taxiway
dengan obyek tetap
(m)
1 2 3 4 1 2 3 4
A / I 82 ,5
82
,5 - - 37, 5
47,
5 - - 23,75 16,25 12
B / II 87 87 - - 42 52 - - 33,5 21,5 16,5
Tabel 2. 2 Jarak Pemisah Minimum untuk Taxiway
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) b. Dimensi Taxiway
Perencanaan ukuran taxiway harus memperhatikan faktor keamanan, hal ini disebabkan oleh pesawat terbang yang sangat kencang, pada saat cockpit mengarah ke taxiway yang dilihat ialah garis tengah dan jarak yang harus terbebas dari hambatan khususnya roda luar pada pesawat dan ujung dari taxiway.
Tabel 2. 3 Dimensi Taxiway
Code letter Penggolongan Pesawat
Lebar Taxiway (m)
Jarak bebas minimum dari sisi terluar roda utama dengan tepi taxiway (m)
A I 7,5 1,5
B II 10,5 2,25
C III 15A 3A
18B 4,5B
D IV
18C 23D 4,5 25 30
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) Keterangan :
A. Bila taxiway digunakan pesawat dengan seperempat roda dasar kurang dari 18 m.
B. Bila taxiway digunakan pesawat dengan seperempat roda dasar lebih dari 9 m.
C. Bila taxiway digunakan pesawat dengan roda putaran kurang dari 9 m.
D. Bila taxiway untuk pesawat dengan seperempat roda putaran lebih dari 9 m.
c.
d.
C / III - - 16
8 - - - 93 - 44 26 24,5
D / IV - - 17 6
17
6 - - 10
1 10
1 66,5 40,5 36
E / V - - - 18
2,5 - - - 10
7,5 80 47,5 42,5
F / VI - - - 19
0 - - - 11
5 97,5 57,5 50,5
e. Taxiway Shoulders
Sama seperti dengan landasan pacu, sisi lurus dari taxiway harus dilengkapi dengan bahu pada setiap sisinya. Adapun untuk lebar minimum bahu pada taxiway akan disajikan pada tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Taxiway Shoulder Minimum
Code Letter Penggolongan Pesawat Lebar minimum bahu taxiway bagian lurus (m)
A I 25
B II 25
C III 25
D IV 38
E V 44
F VI 60
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) f. Taxiway Longitudinal Slopes
Kemiringan memanjang maksimum taxiway disajikan pada tabel 2.5 berikut.
Tabel 2. 5 Kemiringan Memanjang Maksimum Taxiway
Code letter
Penggolo ngan pesawat
Kemiringan memanjang
(%)
Perubahan maksimum kemiringan (%) / (m)
Jari-jari peralihan minimum (m)
A I 3 1 per 25 2500
B II 3 1 per 25 2500
C III 1,5 1 per 30 3000
D IV 1,5 1 per 30 3000
E V 1,5 1 per 30 3000
F VI 1,5 1 per 30 3000
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) g. Taxiway transversal slope
Kemiringan melintang taxiway harus mampu mencegah terjadinya penumpukan air dan tidak kurang dari 1%. Gradien lateral maksimum ditunjukkan pada tabel 2.6
Tabel 2. 6 Kemiringan Melintang Maksimum Taxiway Code
letter Penggolongan Pesawat Kemiringan Melintang (%)
A I 2
Tabel 2. 6 (lanjutan)
B II 2
C III 1,5
D IV 1,5
E V 1,5
F VI 1,5
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) h. Taxiway strips
Terdapat jarak minimum antara bagian tengah strips dan garis tengah taxiway, sesuai dengan yang disajikan pada tabel 2.7 berikut:
Tabel 2. 7 Taxiway Strips
Code Letter / Penggolongan
pesawat
Jarak minimum bagian tengah strip garis tengah taxiway
(harus graded area) (m)
Maksimum kemiringan keatas yang diratakan (%)
Maksimum kemiringan kebawah yang
diratakan (%)
A/I 11 3 5
B/II 12,5 3 5
C/III 12,5 2,5 5
D/IV 19 2,5 5
E/V 22 2,5 5
F/VI 30 2,5 5
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara)
Terdapat juga jarak minimum setelah belokan taxiway, seperti yang disajikan pada tabel 2.8 berikut:
Tabel 2. 8 Jarak Lurus Minimum Setelah Belokan Taxiway
Code letter Penggolongan pesawat Jarak lurus setelah belokan (m)
A I 35
B II 35
C III 75
D IV 75
E V 75
F VI 75
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara)
i. Rapid exit taxiway
Terdapat jari-jari minimum untuk taxiway, seperti yang disajikan pada tabel 2.9 berikut:
Tabel 2. 9 Jari-Jari Minimum Taxiway
Code letter / penggolongan
pesawat
Kecepatan pesawat dalam keadaan basah (km/jam)
Jari-jari minimum belokan jalan
pesawat (m)
Sudut potong antara rapid exit taxiway dengan runway (°)
A/I 65 275 30
B/II 65 275 30
C/III 93 550 30
D/IV 93 550 30
E/V 93 550 30
F/VI 93 550 30
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) j. Fillet taxiway
Fillet taxiway merupakan tambahan dari perkerasan yang disiapkan di persimpangan taxiway untuk memudahkan beloknya pesawat supaya tidak keluar dari jalur perkerasan. Adapun untuk dimensi fillet taxiway akan disajikan pada tabel 2.10.
Tabel 2. 10 Tabel Dimensi Fillet Taxiway
Code Letter / Penggolongan pesawat
Putaran taxiway (R) (m)
Panjang dari
peralihan ke fillet (L) (m)
Jari-jari untuk jugmental oversteering symmetrical widening (F) (m)
Jari-jari fillet untuk jugmental oversteering one side widening (F) (m)
Jari-jari untuk tracking centerline (F) (m)
A/I 22,5 15 18,75 18,75 18
B/II 22,5 15 17,75 17,75 16,5
C/III 30 45 20,4 18 16,5
D/IV 45 75 31,5 - 33 29 - 30 25
E/V 45 75 31,5 - 33 29 - 30 25
F/VI 45 75 31,5 - 33 29 - 30 25
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara)
Jari-jari fillet adalah lebar taxiway untuk pesawat masuk dan keluar dari landasan., Adapun untuk jari-jari fillet akan disajikan pada tabel 2.11
Tabel 2. 11 Jari-Jari Fillet
Kode huruf Labar paralel taxiway (WT2) (m)
Lebar dari dan keluar taxiway (WT1) (m)
A 15 40
B 18 26,5
C 23 26,5
D 30 26,5
E 30 23
F 45 18
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara)
Terdapat juga jari-jari untuk fillet taxiway yang disajikan pada tabel 2.12 Tabel 2. 12 Jari-Jari Fillet Taxiway
Code letter / penggolongan
pesawat
Lebar runway (WR) (m)
Lebar paralel taxiway (WT2) (m)
Lebar dari dan keluar taxiway (WT1) (m)
R1 R2 r0 r1 r2
A/I 18 15 40 30 30 39 25 25
B/II 23 18 26,5 41,5 30 41,5 25 30
C/III 30 23 26,5 41,5 31,5 53 25 35
D/IV 45 30 26,5 30 60 71,5 35 55
E/V 45 30 23 60 60 71,5 35 55
F/VI 60 45 18 60 60 75 45 50
(Sumber : SKEP-77-VI-2005 Dirjen Perhubungan Udara) k. Exit taxiway
Pada bandar udara yang relatif sibuk, jalur keluar (exit) taxiway harus terletak di posisi penting pada sepanjang runway. Dengan cara ini, pesawat yang telah melakukan pendaratan dapat meninggalkan landasan secepatnya sehingga pesawat lain dapat menggunakan runway. Kemungkinan pesawat melewati landasan pacu untuk akselerasi bergantung pada jalur exit taxiway. Ada 3 jenis sudut geser exit taxiway sebesar 30°, 45° dan 90°. Exit taxiway dengan sudut 30° disebut rapid exit
taxiway atau high speed exit taxiway. Beberapa variabel yang menentukan lokasi exit taxiway adalah sebagai berikut:
1) Jarak three sold saat touchdown 2) Kecepatan touchdown
3) Kecepatan mula-mula saat meninggalkan taxiway 4) Deselerasi rata-rata
Pada jenis pendaratan dengan rata-rata berat pendaratan kotor 85% dari berat maximum. Kemudian pesawat dibagi dalam grup-grup berdasarkan kecepatan touchdown.
Tabel 2. 13 Klasifikasi Pesawat untuk Perencanaan Exit Taxiway
Design
Group Kecepatan Tounchdown Pesawat
I Kurang dari 167 km/jam (90 knot)
Bristol Freighter 170 DC-3 DC-4 F-27
II Antara 169 km/jam - 222 km/jam (91 knot – 120 knot)
Bristol Britania DC-6 F-28 MK 100 Viscount 800
III Lebih dari 224 km/jam (121 knots)
B-707 B-727 B-737 B-747 Airbus
DC-8 DC-9 DC-10 L-1011 Trident (Sumber: Basuki, 1986)
Jarak dari touchdown ke exit taxiway idealnya dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
D = (𝑉𝑢𝑙)2−(𝑉𝑒)2
2𝐴 ………...(2.5)
Dimana :
D = Jarak exit taxiway dari titik touchdown Vul = Kecepatan touchdown di runway (m/dt) Ve = Kecepatan awal keluar runway (m/dt) A = Perlambatan (m/dt)
Jarak dari ujung landasan pacu sampai pesawat mencapai kecepatan untuk meninggalkan exit taxiway (S) adalah sebagai berikut (Asford dan Wright, 1984) S = D1 – D2………(2.6) S = (𝑉𝑡𝑑)2−(𝑉𝑢𝑙)2
2𝑎1 −(𝑉𝑢𝑙2)−(𝑉𝑒2)
2𝑎2 ……….……...(2.7)
Dimana :
S = Jarak dari ujung runway ke exit taxiway (m) D1 = Jarak dari ujung runway ke titik touchdown (m) D2 = jarak ecit taxiway dari titik touchdown (m) Vul = Kecepatan pendaratan pesawat (m/dt) Vtd = Kecepatan touchdown runway (m/dt) Ve = Kecepatan awal keluar runway (m/dt) a1 = Perlambatan di udara (m/dt)
a2 = Perlambatan di darat (m/dt) 2.3.3. Daerah Parkir Pesawat (Apron)
Menurut Horronjef (1993), Daerah parkir pesawat merupakan elemen dalam suatu lapangan terbang yang menyambungkan antara gedung terminal dengan sisi udara lapangan terbang, meliputi area parkir pesawat (ramp) dan wilayah ke ramp.
Selain sebagai area parkir pesawat, apron juga digunakan untuk bongkar muat penumpang dan kargo, penambahan bahan bakar dan untuk mempersiapkan pesawat sebelum lepas landas. Pada ramp, pesawat diparkir pada parking stand atau gate.
Pembagian wilayah pada apron ditinjau dari kegunaannya sebagai berikut : a. Traffic Area, wilayah yang disiapkan untuk tempat naik dan turun
penumpang, proses pemuatan, penambahan bahan bakar, pelayanan pesawat, dan persiapan sebelum lepas landas
b. Parking Area, wilayah yang disiapkan sebagai tempat parkir pesawat
c. Maintenance Area, wilayah yang disiapkan untuk perawatan (maintenance) pesawat.
Apron terdiri dari parkiran pesawat dan jalur khusus bagi pesawat yang masuk dan keluar dari tempat parkir. Dimensi dan posisi tempat parkir harus dirancang
dengan melihat karakteristik pesawat yang akan menempati parkiran, seperti lebar sayap, panjang pesawat dan jarak belok, serta arah yang dibutuhkan kendaraan untuk menyiapkan perawatan untuk pesawat saat di parking stand. ICAO menentukan syarat jarak terkecil antar pesawat saat berada di apron, jarak dengan gedung terminal, dan hal-hal lain yang terdapat di apron. berdasarkan jarak sayap (wing tip clearance) yang tercantum pada tabel 2.14 berikut:
Tabel 2. 14 Wing Tip Clearance
Code Letter Aircraft Wing Span Clearance
A Up to but Imcluding 15 m (49 ft) 3,0 m (10 ft)
B 15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft) 3,0 m (10 ft) C 24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft) 3,0 m (10 ft) D 36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft) 3,0 m (10 ft) E 52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft) 3,0 m (10 ft) (Sumber: Basuki, 1986)
Menurut Basuki (1986), terdapat empat jenis area parkir untuk pesawat pada landasan. Saat berada di landasan, jenis parkir pesawat pada apron diartikan sebagai lokasi di mana pesawat berhenti di terminal dan jenis pesawat masuk dan keluar dari parkir pesawat. Pesawat keluar dan masuk ke apron dengan kemampuannya sendiri (taxi-out) ataupun ditolong oleh perangkat lain(push-out). Pemilihan tipe parkir pesawat harus memperhitungkan kebisingan, jet blast, dan imbas dari cuaca buruk terhadap kenyamanan penumpang, termasuk biaya pengoperasian dan perawatan peralatan servis pesawat pada apron. Berikut ini adalah beberapa pesawat yang diparkir di apron:
a. Tipe Parkir Hidung ke Dalam (Nose-in Parking)
Tipe Parkir Nose-in parking, pesawat diparkir tegak lurus dengan terminal, dengan posisi hidung pesawat berjarak sedekat mungkin dengan bangunan terminal. Pada posisi parkir ini, pesawat memasuki area parkir sendiri tanda membutuhkan bantuan dari alat dorong. Sedangkan untuk keluar dari area parkir, pesawat membutuhkan bantuan dari alat dorong pada jarak yang memadai sampai pesawat bisa berpindah dengan kemampuannya sendiri.
Keuntungan menggunakan tipe parkir Nose-in :
1) Dimensi wilayah tempat parkir yang diperlukan sedikit.
2) Tingkat kebisingan lebih rendah.
Kekurangan menggunakan tipe parkir nose-in :
1) Membutuhkan alat pendorong yang cukup banyak.
2) Jarak pintu belakang pesawat yang cukup jauh.
b. Tipe Parkir Hidung ke Dalam Bersudut (Angled-Nose in Parking)
Jenis parkir Angled-Nose in Parking hampir mirip dengan tipe parkir Nose- in, namun yang membedakan ialah badan pesawat menghadap miring ke bangunan terminal.
Keuntungan dari penggunaan tipe parkir Angled-Nose in :
1) Pesawat dapat melakukan pergerakan dengan sendiri saat memasuki/meninggalkan bangunan terminal tanpa bantuan dari alat pendorong.
Kekurangan dari penggunaan tipe parkir Angled-Nose in : 1) Membutuhkan area parkir yang lebih besar
2) Menimbulkan kebisingan yang tinggi.
c. Jenis Parkir Hidung ke Luar Bersudut (Angled-Nose out Parking)
Model parkir ini, pesawat akan diparkir dengan hidung menghadap ke luar gedung terminal.
Keuntungan penggunaan Angled-Nose out :
1) Pesawat mampu melakukan manuver sendiri saat memasuki/meninggalkan bangunan terminal
2) Membutuhkan area parkir lebih kecil dari konfigurasi Angled-Nose in Kekurangan dari penggunaan Angled-Nose out :
1) Imbas dari Jet Blast yang langsung mengarah pada bangunan terminal.
2) Tingkat kebisingan tinggi.
d. Tipe Parkir Sejajar (Parallel Parking)
Konfigurasi parkir sejajar merupakan tipe parkir yang paling mudah untuk pesawat melakukan manuver. Pada model parkir ini membutuhkan luas daerah parkir yang lebih luas, namun tingkat kebisingan dan jet blast dapat dikurangi.
Selain itu, penanganan penumpang juga mudah karena posisi pintu pesawat dekat dengan bangunan terminal.
Berikut ini merupakan ilustrasi dari jenis-jenis konfigurasi parkir pesawat sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya akan disajikan pada gambar 2.7.
Gambar 2. 7 Tipe parkir pesawat 2.4. Karakteristik Pesawat Terbang
Saat merencanakan bandara atau lapangan terbang, sering kali perlu untuk memahami karakteristik pesawat. Ini untuk merencanakan infrastruktur. Ciri-ciri pesawat tersebut sebagai berikut:
a. Berat (Weight)
Menurut Basuki (1986), bobot pesawat dibutuhkan untuk perencanaan ketebalan landasan pacu dan kekuatan landasan pacu, landasan penghubung, dan parkir pesawat. Terdapat beberapa jenis berat pesawat yang memiliki hubungan dengan penerbangan:
1) Operating Weight Empty (OWE) merupakan bobot dasar dari pesawat, crew pesawat dan perangkat yang ada pada pesawat, tetapi tidak termasuk bahan bakar dan penumpang/barang. Operating Weight Empty tidak menentu untuk pesawat komersil, besarannya tergantung dari konfigurasi yang ada pada pesawat.
2) Pay Load merupakan produksi muatan (penumpang atau barang) yang membayar, diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
Maximum Structural Pay Load merupakan muatan maksimum yang diizinkan untuk pesawat oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Banyak faktor yang Memengaruhi jarak tempuh sebuah pesawat, yang paling penting adalah pay load. Pada dasarnya pay load bertambah, maka jarak tempuh akan
berkurang, begitu juga sebaliknya, pay load berkurang, jarak tempuh bertambah.
3) Zero Fuel Weight merupakan batasan berat spesifik pada setiap pesawat, di atas batasan bobot tersebut tambahan bobot harus berupa bahan bakar.
Sehingga saat pesawat sedang terbang tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada sambungan.
4) Maximum Ramp Weight merupakan bobot maksimum pesawat yang diizinkan untuk taxi. Pada saat pesawat berpindah dari apron menuju ujung runway dengan memanfaatkan kekuatan sendiri akan menghabiskan bahan bakar hingga pesawat akan kehilangan bobot. Selisih dari bobot ramp maksimum sangatlah kecil, kurang lebih seratus kilogram.
5) Maximum Take Off weight (MOTW) merupakan berat pesawat yang diperbolehkan selama lepas landas, termasuk crew, bobot kosong pesawat, bahan bakar, dan beban yang dibolehkan oleh pabrik.
6) Maximum Landing Weight (MLW) merupakan berat pesawat yang diperbolehkan selama pendaratan. Roda pendaratan utama yang direncanakan untuk menyerap struktur yang lebih kuat harus menggunakan gear atau roda pendaratan yang lebih kuat. Selama penerbangan, pesawat akan mengalami penurunan berat akibat pembakaran bahan bakar.
b. Ukuran atau Dimensi (Size)
Menurut Basuki (1986), dimensi pesawat berpengaruh pada ukuran wilayah parkir, desain letak terminal, ukuran landasan pacu, taxiway dan jarak antar keduanya. Banyak hal tergantung pada dimensi pesawat. Ukuran pesawat meliputi:
1) Wingspan merupakan ukuran sayap pesawat, diukur dari ujung kanan hingga ujung kiri.
2) Length merupakan panjang dari pesawat, diukur dari hidung hingga ke ujung ekor.
3) Height merupakan tinggi pesawat dari struktur perkerasan hingga ujung ekor pesawat.
4) Wheel Base merupakan jarak dari as roda pendaratan depan hingga as roda pendaratan utama.
5) Wheel Tread merupakan jarak antara as roda pendaratan utama sebelah kiri dan as roda pendaratan utama sebelah kanan
6) Turning Radius merupakan radius terkecil yang dapat dicapai oleh pesawat waktu berbelok pada permukaan perkerasan.
c. Kapasitas Penumpang
Menurut Basuki(1986) daya tampung penumpang mempunyai pengaruh pada perancangan bangunan terminal dan fasilitas lainnya.
d. Panjang Landasan Pacu
Menurut Basuki(1986) panjang runway mempunyai pengaruh pada luas wilayah yang diperlukan oleh sebuah lapangan terbang.
Berikut merupakan ciri-ciri dari jenis pesawat terbang yang disajikan pada tabel 2.15
Tabel 2. 15 Ciri-Ciri Dari Pesawat Terbang
AERPOPLANE TYPE
REF CODE
AEROPLANE CHARACTERISTICS ARFL
(m)
Wingspan (m)
OMGWS (m)
Length (m)
MTOW (kg)
TP (kPa)
DHC2 Beaver 1A 381 14.6 3.3 10.3 2490 240
Beechcraft:
58 (Baron) 1A 401 11.5 3.1 9.1 2449 39
100 1A 628 14 4 12.2 5352 -
Britten Norman
Islander 1A 353 14.9 4 10.9 2850 228
Cessna:
172 1A 272 10.9 2.7 8.2 1066 -
206 1A 274 10.9 2.6 8.6 1639 -
310 1A 518 11.3 3.7 9.7 2359 414
404 1A 721 14.1 4.3 12.1 3810 490
Partenavia P68 1A 230 12 2.6 9.4 1960 -
Piper
PA 31 (Navajo) 1A 639 12.4 4.3 9.9 2950 414
PA34 1A 378 11.8 3.4 8.7 1814 -
Beechcraft 200 1B 592 16.6 5.6 13.3 5670 735
Tabel 2. 15 (lanjutan)
Cessna
208 (caravan) 1B 296 15.9 3.7 11.5 3310 -
402C 1B 669 13.45 5.6 11.1 3107 490
441 1B 544 15.1 4.6 11.9 4468 665
DHC 6 Twin
Otter 1B 695 19.8 4.1 15.8 5670 220
Dornier 228-
200 1B 525 17 3.6 16.6 5700 -
DHC-7 1C 689 28.4 7.8 24.6 19505 620
DHC -5E 1D 290 29.3 10.2 24.1 22361 -
Leat Jet 28/29 2A 912 13.4 2.5 14.5 6804 793
Beechcraft 2B 1098 16.6 5.8 17.6 7530 -
CASA C-212 2B 866 20.3 3.5 16.2 7700 392
Embraer EMB
110 2B 1199 15.3 4.9 15.1 5670 586
Metro II 2B 800 14.1 5.4 18.1 5670 740
Metro III 2B 991 17.37 5.4 18.1 6577 740
ATR 42-200 2C 1010 24.6 4.9 22.7 16150 728
Cessna 550 2C 912 15.8 6 14.4 6033 700
DHC-8
100 2C 948 25.9 8.5 22.3 15650 805
300 2C 1122 27.4 8.5 25.7 18642 805
Lear Jet 55 3A 1292 13.4 2.5 16.8 9298 -
IAI Westwind 2 3A 1495 13.7 3.7 15.9 10660 1000
Bae 123-400 3B 1713 15.7 3.3 15.5 12480 100
Canadaair
Cl600 3B 1737 18.9 4 20.9 18642 1140
CRJ-200 3B 1527 21.21 4 26.77 21523 1117
Cessna 650 3B 1581 16.3 3.6 16.9 9979 1036
Dassault-
Breguet
Falcon 900 3B 1515 19.3 5.3 20.2 20640 1300
Embraer EMB
145 3B 1500 20 4.8 29.9 19200 -
Fokker F28-
2000 3B 1646 23.6 5.8 29.6 29480 689
Metro 23 3B 1341 17.4 5.4 18.1 7484 742
Shorts 3D3060 3B 1320 22.8 4.6 21.6 11793 758
Bae
Tabel 2. 15 (lanjutan)
Jetstream 31 3C 1440 15.9 6.2 14.4 6050 448
Jetstream 41 3C 1500 18.3 - 19.3 10433 -
146-200 3C 1615 26.3 5.5 26.2 42185 1138
146-300 3C 1615 26.3 5.5 31 44225 945
Bombardier
Global Express 3C 1774 28.7 4.9 30.3 42410 - Embraer EMB
120 3C 1420 19.8 7.3 20 11500 828
McDonnell
Douglass
DC-3 3C 1204 28.8 5.8 19.6 14100 358
DC9-20 3C 1551 28.5 6 31.8 45360 972
Fokker
F27-500 3C 1670 29 7.9 25.1 20412 540
F-28-4000 3C 1640 25.1 5.8 29.6 32205 779
F50 3C 1760 29 8 25.2 20820 552
F100 3C 1695 28.1 5 35.5 44450 920
SAAB SF-340 3C 1220 21.4 7.5 19.7 12371 655
Airbus A300
B2 3D 1676 44.8 10.9 53.6 142000 1241
Airbus A320-
200 4C 2058 33.9 8.7 37.6 72000 136
Boeing
B717-200 4C 2130 28.4 6 37.8 51710 -
B737-200 4C 2295 28.4 6.4 30.6 52390 1145
B737-300 4C 2749 28.9 6.4 30.5 61230 1344
B737-400 4C 2499 28.9 6.4 36.5 63083 1400
B737-800 4C 2256 35.8 6.4 39.5 70535 1470
B737-900 4C 2240 34,3 7 42,1 66000 1470
McDonnell
Douglass
DC9-30 4C 2134 28.5 6 37.8 48988 -
Airbus
A300-600 4D 2332 44.8 10.9 54.1 165000 1260
A310-200 4D 1845 43.9 10.9 46.7 132000 1080
Boeing
B707-300 4D 3088 44.4 7.9 46.6 151315 1240
B757-200 4D 2057 38 8.7 47.3 108860 1172
B767-200ER 4D 2499 47.6 10.8 48.5 156500 1310 B767-300ER 4D 2743 47.6 10.8 54.9 172365 1310
Tabel 2. 15 (lanjutan) McDonnell
Douglass
DC8-63 4D 3179 45.2 7.6 57.1 158757 1365
DC10-30 4D 3170 50.4 12.6 55.4 251744 1276
Lockhead
L1011-100/200 4D 2469 47.3 12.8 54.2 211378 1207 McDonnell
Douglass
MD11 4D 2207 51.7 12 61.2 273289 1400
Tupolev TU154 4D 2160 37.6 12.4 48 90300 -
Airbus
A330-200 4E 2713 60.3 12 59 230000 1400
A330-300 4E 2560 60.3 12 63.6 230000 1400
A340-300 4E 2200 60.3 12 63.7 253500 1400
Boeing
B747-SP 4E 2710 59.6 12.4 56.3 318420 1413
B747-300 4E 3292 59.6 12.4 70.4 377800 1323
B747-400 4E 3383 64.9 12.4 70.4 394625 1410
B777-200 4E 2500 60.9 12.8 63.73 287800 1400
(Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara Nomor: KP 29 Tahun 2004)
2.5. Perhitungan Peak Hour (Jam Puncak)
2.5.1. Perhitungan peak hour untuk pesawat rencana
Perhitungan peramalan perkembangan informasi historis volume lalu lintas udara dalam wujud tahunan, menghasilkan olahan data berbentuk volume lalu lintas tahunan pula. Dimana data tersebut didapat dari pengumpulan volume masing- masing jam dengan nilai yang berbeda- beda. Dalam 24 jam per harinya, terdiri dari jumlah pergerakan pesawat serta penumpang paling banyak yang dihasilkan dari volume per jam ataupun disebut dengan volume pada jam puncak. Pengkonversian data volume tahunan jadi volume pada jam puncak bisa dicoba dengan sebagian sesi tertentu sesuai dengan tipe data yang dipunyai. Ashford (1995) memberikan rumusan untuk mendapatkan volume rencana keberangkatan pesawat pada jam sibuk:
a. Volume bulanan rata-rata (Average monthly)
Pergerakan bulan rata-rata merupakan pergerakan pesawat rata-rata dalam waktu 1 bulan. Untuk mendapatkan volume bulanan rata-rata maka dapat digunakan perseaman sebagai berikut:
Volume bulanan rata-rata =0.08417 x Keberangkatan Penumpang…………(2.8) b. Volume harian rata-rata (Average day)
Pergerakan harian pesawat rata-rata dalam 1 hari. Adapun untuk mendapatkan volume harian rata-rata dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
Volume harian rata-rata = 0.03226 x volume bulanan rata-rata………..(2.9) c. Volume harian maksimum (Peak day movement)
Pergerakan harian maksimum persawat adalah pergerakan terbanyk pesawat dalam waktu 1 hari. Volume harian maksimum dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Pergerakan puncak harian = 1,26 x rata-rata harian……….(2.10) d. Volume jam puncak (peak hour)
Pergerakan pesawat terbanyak dalam waktu 1 jam dimana nilainya berkisar anatar 12%-15% dari total pergerakan pesawat harian, maka volume jam puncak didapatkan dengan persamaan sebagai berikut:
Peak hour : 0,0917 x Volume harian maksimum………..(2.11)
2.5.2. Perhitungan peak hour untuk penumpang
Perhitungan peramalan jam puncak (peak hour) untuk penumpang dapat dihitung menggunakan dapat analisa regresi. Sementara itu untuk mendapatkan jumlah pergerakan pesawat dan penumpang rencana pada jam puncak dapat dihitung sesuai dengan peraturan dari FAA dengan menggunakan metode Typical Peak Hour Passenger (TPHP). Adapun untuk faktor TPHP dapat dilihat pada tabel 2.16 berikut:
Tabel 2. 16 Typical Peak Hour Passanger (TPHP)
Total Annual Passanger TPHP % Annual Passanger
≥ 20.000.000 0,02
10.000.000 – 19.999.999 0,025
1.000.000 – 9.999.999 0,03
500.000 – 999.999 0,035
Tabel 2. 16 (lanjutan)
100.000 – 499.999 0,04
≤ 100.000 0,05
(sumber: Federal Aviation Administration) 2.6. Metode Perencanaan Perkerasan
Menurut Basuki (1986) perkerasan jalan adalah suatu struktur yang tersusun dari lapisan-lapisan dengan kekuatan yang berbeda-beda. Saat merancang ketebalan suatu perkerasan landasan pacu sebuah lapangan terbang, kandungan utama yang harus diperhatikan adalah karakteristik pesawat yang akan dilayani. Saat merencanakan ketebalan permukaan jalan, digunakan metode yang dikembangkan oleh FAA (Federal Aviation Administration), yang didasarkan pada bobot pesawat dan harga CBR tanah. Perancangan perkerasan yang dibuat oleh FAA merupakan perancangan untuk umur rencana, yaitu selama itu pelayanan tetap dilakukan secara teratur. Dalam perencanaan ketebalan perkerasan, terdapat dua jenis perkerasan, yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement).
Berikut penjelasan dari kedua jalan tersebut:
2.6.1. Struktur Pekerasan Lentur (Flexible Pavement)
Menurut Basuki (1986) perkerasan lentur merupakan sebuah struktur perkerasan yang terdiri dari campuran aspal dan agregat, dihamparkan di atas bahan dengan mutu tinggi. Perkerasan lentur memiliki sifat yang elastis, hal ini membuat perkerasan dapat melekuk ke bawah ketika menerima beban. Adapun susunan dari struktur perkerasan flexible sebagai berikut:
1) Tanah Dasar (Subgrade)
Tanah dasar (subgrade) dalam merencanakan ketebalan jalan sangat menentukan mutu dari struktur, sehingga karakteristik tanah dasar akan menentukan kekuatan dan ketahanan struktur runway.
2) Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Susunav pondasi bawah (subbase course) merupakan bagian dari struktur perkerasan antara tanah dasar (sub grade) dengan pondasi atas (base course).
Berdasarkan Horonjeff (1993), fungsi dari susunan pondasi bawah (subbase
course), sama dengan kegunaan susunan pondasi atas (base course) namun tidak menanggung beban secara langsung, melainkan memiliki intensitas tegangan yang lebih kecil.
3) Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Menurut Horonjeff (1993), susunan pondasi atas (base course) merupakan unsur struktur perkerasan yang berada di antara pondasi bawah dengan lapis permukaan proyek perkerasan.
4) Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan (surface course) merupakan perkerasan yang berada di atas struktur perkerasan. Berdasarkan Horonjeff (1993), kegunaan dari lapisan permukaan untuk menjaga lapisan dasar dari kebocoran genangan pada permukaan, membuat permukaan rata dan terikat dengan baik dan terlelpas dari partikel yang mudah lepas, dan memberikan permukaan yang tidak menyebabkan keausan yang berlebihan pada roda. Saat melakukan perawatan pesawat, lapisan permukaan harus mampu menahan tumpahan bahan bakar pesawat dan pelarut lainnya.
2.6.2. Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan kaku menurut Basuki (1986) adalah perkerasan jalan yang terbuat dari pelat beton. Perkerasan kaku memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pada saat dilakukan pembebanan, perkerasan jalan tidak mengalami perubahan bentuk, yang artinya perkerasan jalan tersebut mempertahankan keadaan semula sebelum pembebanan. Perkerasan kaku terdiri dari tiga lapisan:
1) Tanah Dasar (Subgrade)
Lapisan dasar merupakan lapisan pada bagian bawah struktur perkerasan, lapisan ini merupakan faktor yang sangat penting karena harus mampu menahan beban di atasnya. Untuk mendapatkan daya dukung yang memadai, subgrade harus dipadatkan. Hasil pengujian daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan harga California Bearing Ratio (CBR) dan modulus respon dari tanah dasar.
2) Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Susunan pondasi bawah terdiri dari susunan batu pecah dengan gradasi yang baik. Susunan subbase course memiliki fungsi menahan bila terjadi pumping serta menambah daya dukung tanah dasar, sehingga harga modulus respon yang naik dapat mengecilkan tebal perkerasan yang dibutuhkan.
3) Pelat Beton
Pelat beton merupakan komponen utama pada perkerasan kaku untuk memikul beban dari pesawat. Beton yang dihasilkan oleh campuran material yang terdiri dari agregat halus, agregat kasar, air dan semen. Untuk mencapai tingkat mutu beton tertentu, maka harus diperhatikan perbandingan bahan penyusunnya Di mana perbandingan air terhadap semen merupakan faktor dalam penentuan kekuatan dari beton itu sendiri.
Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk: Ujung landasan, pertemuan antara landasan pacu dan taxiway¸apron, dan daerah-daerah lain yang digunakan sebagai tempat parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh dari panas blast jet dan tumpahan minyak.
2.7. Material Perkerasan Runway
Perkerasan lentur tersusun dari lapisan tanah dasar (subgrade), lapisan pondasi bawah (subbase course), lapisan pondasi atas (base course) dan lapisan permukaan (surface course). Seluruh struktur perkerasan ditahan oleh tanah dasar (subgrade). Menurut Federal Aviation Administration, dari AC 150 / 5320-6D, Airport Pavement Design and Evaluation terdapat bermacam-macam bahan yang dapat digunakan untuk perencanaan perkerasan lentur:
a. Lapisan Permukaan (Surface Course)
Susunan permukaan menggunakan P-401 HMA (Hot Mixed Asphalt).
Bahan untuk lapisan ini dibuat dengan mencampurkan agregat serta aspal di pusat pencampuran aspal. Perencanaan wajib memenuhi spesifikasi material yang dipersyaratkan. Bahan lain yang dapat digunakan ialah agregat, filler serta aspal itu sendiri.
b. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Susunan pondasi atas merupakan lapisan pondasi yang berada antara lapisan permukaan dan lapisan pondasi bawah. Lapisan ini terdiri dari bahan granular
dengan bahan pengikat, seperti semen atau bahan pengikat lainnya dengan portland ataupun aspal. Spesifikasi yang terkait dengan komponen, tanjakan, kontrol penanganan, dan serta bermacam bahan dasar yang dapat dipakai oleh lapangan terbang untuk muatan seberat 30.000 lbs (13.608 kg) ataupun lebih yaitu:
1) P209 – (Crushed Aggregate Base Course) 2) P-211 – (Lime Rock Base Course)
3) P-304 – (Cement Treated Base Course) 4) P-306 – (Econocrete Subbase Course)
Pemakaian item P-209, menjadi bahan untuk pondasi hanya pada perkerasan yang direncanakan untuk bobot kotor kurang dari 45.359 kg.
c. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Susunan pondasi bawah merupakan lapisan yang tersusun dari kerikil atau batuan alam. Spesifikasi massa komponen, kemiringan, kontrol penanganan, dan berbagai jenis subgrades yang dipakai di lapangan terbang untuk menahan bobot desain melebihi 13.608 kg antara lain:
1) P-154 – (Lapisan Subbase) 2) P-208 – (Agregat Lapisan Base) 3) P-210 – (Caliche Base Course) 4) P-212 – (Shell Base Course) 5) P-213 – (Sand Clay Base Course) 6) P-301 – (Soil Cement Base Course)