BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disahkan pada tanggal 15 Januari 2014 dan secara resmi mulai di implementasikan di tahun 2015. Undang-undang ini menghadirkan harapan baru bagi pengelolaan desa yang lebih efektif dan berdaya guna menuju kemandirian desa. Optimisme ini muncul sebagai jawaban atas beberapa pemasalahan dasar dalam pengelolaan desa yang selama ini membuat desa terpinggirkan dan seperti berada dibawah bayang- bayang otonomi di tingkat kabupaten sejak era reformasi. Desentralisasi politik dan fiskal yang diatur dalam undang-undang ini menjadi jawaban untuk pengelolaan desa secara bertanggung jawab yang berdasarkan karakteristik setempat. Pada sisi lain, hal ini menjadi tantangan berat bagi desa untuk mewujudkankannya. Hal ini dilihat wajar mengingat sebagian besar desa masih bergantung pada pemerintahan supra desa yaitu pemerintah kabupaten, dalam pengelolaan pemerintahan di desa.
Ketergantungan desa kepada pemerintah kabupaten setidaknya disebabkan oleh dua hal yaitu : pertama, sumber pembiayaan di desa yang masih minim sehingga membutuhkan transfer dana dari pemerintah kabupaten, yang lebih banyak bermuatan politis; kedua, rendahnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa. Pada kasus kedua pemerintah kabupaten juga ikut bertanggung jawab mengingat tugas dan fungsinya yang didalamnya termasuk
melaksanakan pembinaan bagi aparat desa dan pemberdayaan masyarakat di desa.
Hal-hal ini yang menjadi alasan, desa seperti berada dalam bayang-bayang pemerintah kabupaten. Kabar gembiranya adalah bahwa pemerintah pusat kemudian mengalokasikan dana desa yang ditransfer langsung dari pusat berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga permasalahan sumber pembiayaan dan keterikatan dengan pemerintah kabupaten dapat dikurangi. Lantas yang menjadi pekerjaan rumah saat sekarang adalah membangun kesiapan desa dengan memperbaiki kapasitas yang ada.
Kapasitas desa yang ada sekarang merupakan warisan pengelolaan desa sebelumnya yang menghasilkan ketergantungan desa terhadap struktur pemerintahan diatasnya. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya inisiatif dan kreativitas desa dalam menemukan program yang tepat dan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Masyarakat cenderung pasif dan menunggu arahan, sehingga yang terjadi adalah pemerintahan desa lebih banyak menjalankan fungsi administratif daripada berpikir strategis untuk jangka waktu yang panjang ke depan. Hasil Survey Potensi Desa oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, aktivitas gotong royong pada masyarakat desa mulai menurun, dari 94% desa yang masih melakukan pada tahun 2003, menjadi 89% pada 2011. Kegiatan lembaga swadaya masyarakat juga turun drastis di pedesaan, dari 19% desa yang masih melakukannya pada tahun 2005, menjadi hanya 8% pada 2011. Melihat hasil ini, maka pemberdayaan masyarakat dan upaya menjaga ikatan sosial desa harus dilakukan, agar modal sosial desa yang semakin lemah sekarang ini bisa
bangkit kembali, tidak tergerus atau lari. Permasalahan kapasitas di desa 1 dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya bersumber dari kualitas SDM aparatur desa, pola pikir masyarakat desa yang apatis (hal ini berhubungan dengan fungsi pemberdayaan dari pemerintah), minimnya sumber pendanaan, dan yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah daerah kabupaten yang tidak melaksanakan fungsinya secara optimal.
Pemerintah daerah kabupaten adalah tingkatan pemerintah yang paling dekat dengan desa. Peran pemerintah kabupaten dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa , pasal 112 yang menjelaskan tugas dan fungsi pemerintah daerah kabupaten yaitu membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Pembinaan dan pengawasan kepada desa diantaranya dilakukan dengan memberikan pedoman dan standar penyelenggaraan pemerintahan desa, memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparatur desa, hingga pada menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi Badan Usaha Milik Desa dan lembaga kerja sama desa. Selain pembinaan dan pengawasan, pada pasal 112 ayat (4) pemerintah daerah kabupaten juga melaksanakan pemberdayaan melalui pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
Tugas dan fungsi pemerintah daerah kabupaten ini, didelegasikan kepada organisasi perangkat daerah yang bertugas membantu Bupati dalam merumuskan
Kompas, Jumat 28 November 2014, dalam Ni’ matul Huda, “Hukum Pemerintahan Desa”,
1
Setara Press, Malang, 2015, Hlm. 229.
kebijakan kepada desa. Pasal 112 ayat (3), menyebutkan pemerintah daerah kabupaten dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah. Pada beberapa kabupaten Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ini dapat berbentuk dinas daerah, dan didaerah lain berbentuk badan, yang keduanya sama- sama dikepalai oleh seorang pejabat eselon IIb. Mengingat pentingnya tugas dan fungsi yang dijalankan organisasi ini sebagai representasi dari peran pemerintah daerah kabupaten, maka kinerjanya akan dipengaruhi oleh kapasitas yang dimilikinya. Apabila dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah kabupaten yaitu membina, mengawasi, dan melakukan pemberdayaan, maka dapat dikatakan kapasitas OPD ini dapat diukur dari kinerjanya terhadap pengelolaan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat di desa.
Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) adalah salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang berkomitmen membangun desa dengan memberikan bantuan keuangan tambahan ke desa. Hal ini menarik karena selain mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD), sejak tahun 2012 setiap desa di Kabupaten TTU mendapatkan bantuan keuangan berupa dana bergulir lewat program Desa Mandiri Cinta Petani (SARI TANI). Keseriusan dan komitmen pemerintah kabupaten TTU untuk memberikan tambahan anggaran ke desa-desa di Kabupaten TTU lantas tidak langsung membuat terjadinya perbaikan ekonomi di desa. Selain permasalahan kapasitas desa seperti yang disebutkan sebelumnya, permasalahan yang ikut mempengaruhi adalah kapasitas organisasi yang menjadi leading sector terhadap pengelolaan desa. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa perwujudan kesiapan atau kapasitas desa adalah gambaran dari kapasitas organisasi yang menjadi leading sector dalam pengelolaan desa, yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Daerah (BPMPD) Kabupaten TTU.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten TTU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bappeda, Inspektorat, dan Lembaga Teknis Daerah Lainnya, terbentuklah BPMPD Kabupaten TTU yang menjadi leading sector dari perwujudan tugas dan fungsi pemerintah kabupaten TTU dalam
pengelolaan desa. Sebagai perwujudan peran pemerintah kabupaten dalam pengelolaan desa, maka dituntut kapasitas BPMPD yang optimal dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Selanjutnya untuk mengidentifikasi kapasitas BPMPD Kabupaten TTU maka ukuran yang digunakan adalah desa sebagai penerima layanan, dan efektivitas program yang dijalankan. Berikut akan dipaparkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas BPMPD Kabupaten TTU dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam membina, mengawasi dan pemberdayaan kepada desa.
Pertama, permasalahan serapan Alokasi Dana Desa setiap tahunnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan serapan anggaran juga berasal dari kapasitas pengelola keuangan desa, yang secara tidak langsung mengarah kepada pemerintah kabupaten yang ikut bertanggung jawab didalamnya, karena fungsi pembinaan aparatur desa termasuk pengelola keuangan adalah tugas dan fungsi pemerintah kabupaten melalui BPMPD. Artinya pemerintah daerah melalui
BPMPD perlu mencari strategi dalam mengatasi permasalahan serapan anggaran sehingga setiap program yang direncanakan oleh desa tidak terhambat dengan realisasi penyerapan anggaran. Alokasi Dana Desa (ADD) adalah komponen utama sumber pembiayaan dana di desa. Sebagai struktur keuangan di desa, ADD digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Data yang diperoleh dari BPMPD Kabupaten TTU diketahui dari jumlah ADD tahun 2015 sebesar Rp. 24.282.843.173,- realisasi pencairan sebesar 96%.
Permasalahannya terletak pada realisasi penggunaan anggaran di tingkat desa, berdasarkan laporan Inspektorat Daerah, keadaan Agustus 2016 anggaran ini baru pertanggungjawabkan sebesar di 62% dari total dana. Artinya dana yang dipertanggungjawabkan berasal dari pencairan tahap I (Januari-Juni), sedangkan tahap II (Juli-Desember) tahun 2015 belum dipertanggung jawabkan.
Kedua, permasalahan serapan dana desa yang bersumber dari APBN.
Pada tahun 2015, yaitu tahun pertama implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, regulasi ini memberikan solusi bagi ketergantungan fiskal desa pada pemerintah daerah kabupaten dengan memberikan alokasi Dana Desa. BPMPD Kabupaten TTU sebagai organisasi lini dalam implementasi regulasi ini dipaksa bekerja keras untuk menjawab segala kewajibannya yang diamanatkan dalam undang-undang. Pemerintah Daerah Kabupaten TTU mendapat alokasi Dana Desa untuk tahun 2015 sebesar Rp.
43.016.882.000,- yang dibagi ke 160 desa. Perhitungan pagu setiap desa sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014, Pasal 12, ayat (2), didasarkan atas 4 (empat) indikator yaitu, jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis. Dengan alokasi dasar setiap desa sebesar Rp. 241.969,961,- maka besaran pagu dana desa paling tinggi di Kabupaten TTU adalah Rp. 307.011,731,- dan yang paling rendah Rp.
254,033,042,-.
Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan, dijelaskan bahwa total anggaran dana desa yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat bagi desa di tahun 2015, telah 100% ditransfer ke 160 desa yang ada di Kabupaten TTU. Namun demikian realisasi penyerapan desa terhadap anggaran dana desa ini keadaan Agustus 2016 hanya sebesar 32,4 % atau sebesar Rp. 13.937.469.768,-.
dari total dana sebesar Rp. 43.016.882.000,-. Permasalahan utama yang paling menghambat proses pencairan dana desa adalah penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) oleh desa, sebagai persyaratan utama pencairan anggaran. Data dari Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten TTU, menyebutkan bahwa realisasi pencairan baru terjadi pada bulan Oktober sampai Desember, terhalang karena sebagian besar desa yang terlambat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Tercatat dari total Dana Desa Rp. 43.016.882.000,-, yang dicairkan ke desa pada bulan Oktober sebesar 32,9%, pada bulan November sebesar 6,3%, dan Desember sebesar 60,8%.
Ketiga, permasalahan pelaksanaan program Desa Mandiri Cinta Petani (SARI TANI). Program SARI TANI adalah program yang bertujuan mewujudkan
pensiun petani bagi masyarakat desa, sehingga petani yang memasuki usia senja tidak lagi menjadi beban pemerintah daerah karena telah memiliki tabungan di hari tua. BPMPD Kabupaten TTU adalah leading sector program ini, sehingga segala hal berkaitan dengan pencairan anggaran, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan menjadi fungsi organisasi ini. Mekanisme pelaksanaan program ini secara sederhana dilakukan melalui bantuan dana bergulir kepada kelompok- kelompok ternak sapi, tenun, simpan pinjam perempuan, dan aktivitas ekonomi lain. Bantuan keuangan dari pemerintah daerah ini sebesar Rp.250.000.000,- per desa, dan digulirkan dalam desa selama 36 bulan, dan diharapkan setelah itu dapat diwujudkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mandiri. Dari hasil pengumpulan data ditemukan besarnya tunggakan pinjaman yang ada di kelompok kerja di desa, berikut adalah laporan realisasi program SARI TANI Kabupaten TTU :
Tabel 1.1 Laporan Realisasi Program Desa Mandiri Cinta Petani Kabupaten Timor Tengah Utara
Tahun Anggaran
Jumlah Desa
Jumlah Kelompok
Pokok Pinjaman
Total Pengembalian
Total Tunggakan 2012 24 195 6.128.519.615 4.204.033.268 1.924.486.347
2013 36 209 7.781.913.500 2.497.452.510 5.642.010.015
2014 101 464 20.479.965.000 2.628.616.300 16.642.525.100
Jumlah 161 868 34.390.398.115 9.330.102.078 24.209.021.462
Sumber : Bidang Usaha Ekonomi Masyarakat-BPMPD Kabupaten TTU.
Secara teknis program ini dibantu oleh seorang tenaga pendamping di desa, yang perekrutannya dilaksanakan secara tertutup oleh pemerintah kabupaten. Karena program ini berbentuk dana bergulir maka hasil yang dilihat adalah persentase pengembalian pinjaman, yang mengindikasikan kelompok sudah mendapatkan pengembalian modal atas usaha ekonomi yang dilakukan.
Dari tabel terlihat jelas bahwa tahun 2012 sejak program ini digulirkan tunggakan pengembalian semakin membesar sampai tahun 2014. Walaupun jumlah desa penerima lebih besar dari tahun sebelumnya, tetapi ini diikuti juga dengan besaran tunggakan dari kelompok. Persentase total pengembalian hanya sebesar 27,12%
dari pokok pinjaman, hal ini mengakibatkan dana bergulir menjadi macet sehingga dampak yang ditimbulkan bagi perbaikan ekonomi di desa menjadi tidak efektif atau lambat.
Keempat, adalah permasalahan pergeseran paradigma pengelolaan desa
pasca disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Artinya BPMPD sebagai organisasi perangkat daerah yang merepresentatifkan peran dan fungsi Kabupaten TTU, harus menemukan strategi pengelolaan desa yang sesuai dengan paradigma pengelolaan desa yang diamanatkan UU 6/2014. Semula peran dan fungsi BPMPD masih dominan di desa, sehingga peran dalam perencanaan, fasilitasi, pembiayaan, bahkan menjadi pelaku pembangunan di desa sangat dominan terlihat jelas. Dalam perencanaan misalnya walaupun prinsip yang digunakan bottom-up yaitu mulai dari musyawarah perencanaan di dusun atau rukun warga (RW), namun pelaksanaannya perencanaan desa masih harus
mengikuti perencanaan daerah kabupaten. Sehingga perencanaan di desa sarat dengan intervensi elit kabupaten, karna usulan perencanaannya diputuskan pada tingkat kabupaten. Permasalahan perencanaan ini berasal dari kewenangan dan anggaran yang terbatas di desa, pada era pengelolaan desa sebelumnya. Dapat diambil kesimpulan bahwa paradigma regulasi sebelumnya memungkinkan peran yang dominan dari pemerintah kabupaten dalam melaksanakan pembinaan desa.
Namun hal itu tidak berlaku sekarang dengan disahkan UU 6/2014, pengakuan kewenangan desa yang semakin luas dan alokasi anggaran yang semakin besar, mengharuskan desa dan masyarakatnya menjadi pelaku pembangunan didesanya sendiri. Hal ini berimplikasi pada peran BPMPD yang mulai terbatas namun strategis, untuk memfasilitasi dan memperbaiki kapasitas yang ada di desa.
Strategis tidak berarti peran BPMPD menjadi luas seperti paradigma tata kelola desa sebelumnya, tetapi menjadi tantangan bagi BPMPD untuk menciptakan desain program yang memicu inisiatif masyarakat desa. Program dan mekanisme kerja yang tidak memunculkan peran dominan dari BPMPD, namun secara berkelanjutan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap aktivitas pembangunan di desa.
Melihat empat poin permasalahan di tingkat desa dan tantangan pergeseran paradigma tata kelola desa, maka dapat diibaratkan desa sebagai orang sakit yang hendak disembuhkan dari segala penyakitnya. Hal ini dikarenakan desa sebagai obyek kebijakan masih memiliki sumber daya yang terbatas untuk memperbaiki dirinya sendiri. Pemerintah Kabupaten TTU adalah tingkatan
pemerintah terdekat yang memiliki sumber daya lebih baik untuk mampu membenahi desa dan mempersiapkan desa di wilayahnya dalam membangun kemandiriannya. Perwujudan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah Kabupaten TTU dapat dilihat dari kinerja organisasi yang menjadi leading sector pengelolaan desa yaitu BPMPD Kabupaten TTU.
Sekarang dengan bergulirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, beban kerja pada BPMPD Kabupaten TTU akan semakin besar, pada kondisi ini perlu dilakukan penguatan kapasitas agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 54, ayat (1-3) disebutkan bahwa :
1. Pemerintah berdasarkan hasil EPPD melakukan pembinaan dan fasilitasi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintahan daerah melalui program pengembangan kapasitas daerah.
2. Pengembangan kapasitas dapat berupa fasilitasi di bidang kerangka kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya manusia.
3. Penyusunan program pengembangan kapasitas daerah berpedoman pada kerangka nasional pengembangan kapasitas yang diatur dengan Peraturan Presiden
Berdasarkan pasal tersebut pada poin 2 secara jelas dikatakan bahwa pengembangan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi 3 aspek yaitu kerangka kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya manusia.
Pengembangan kapasitas ini dapat dilakukan pada tataran pengambil kebijakan maupun pada tataran pelaksana kebijakan. BPMPD sebagai organisasi perangkat daerah yang melaksanakan tugas di bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa, perlu terus melakukan pengembangan kapasitas untuk dapat meningkatkan kinerja. Penguatan kapasitas pada setiap organisasi perangkat daerah berdampak pada peningkatan kinerja pemerintah daerah secara lebih makro.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang timbul di desa, dan pergeseran paradigma pengelolaan desa seperti yang telah disebutkan pada latar belakang, mengharuskan BPMPD Kabupaten TTU untuk menciptakan desain kelembagaan baru sesuai tantangan pengelolaan desa pasca disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka rumusan masalah yang akan digunakan untuk menjawab judul dalam penelitian ini adalah bagaimana kapasitas kelembagaan pada BPMPD Kabupaten TTU ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengidentifikasi kapasitas kelembagaan pada BPMPD Kabupaten TTU, ditinjau dari aspek penyusunan program kerja dan prosedur kerja.
1.4 Manfaat Penelitian
Harapan penulis bahwa dengan menganalisis kapasitas organisasi BPMPD Kabupaten TTU dari aspek penyusunan program kerja dan prosedur kerja, maka diharapkan implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat secara efektif dilaksanakan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tujuan utama dari kebijakan ini yaitu terciptanya kemandirian desa, khususnya desa-desa di Kabupaten Timor Tengah Utara.