• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

Sumberdaya alam bagi masyarakat sudah menjadi bagian dari kehidupannya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Sumberdaya alam mencakup segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah dan air, di bawah permukaan tanah dan air, serta angkasa, yaitu tanah, air, hutan, mineral dan gas. Pentingnya keberadaan sumberdaya alam bagi kehidupan manusia, menjadikan kompleksitas hubungan antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaannya (Budimanta, 2007).

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, berupaya agar keberadaan sumberdaya alam tetap terjaga kelestariannya demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia khususnya.

Mengingat sifat sumberdaya alam yang tidak dapat digantikan kedudukannya serta memiliki peranan yang penting bagi kehidupan manusia, pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang, dan bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Pembentukan kawasan konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam. Masih menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, kawasan konservasi terdiri dari Kawasan

(2)

2 Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam. Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Suaka Margasatwa dan Cagar Alam, memiliki fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penetapan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Taman Nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam.

Pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan melalui sistem zonasi, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Pasal 31 UU No.5 Tahun 1990 menegaskan bahwa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di dalam taman nasional, yaitu kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pembentukan taman nasional didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, kemudian diperkuat oleh keputusan Menteri Pertanian dan/atau Menteri Kehutanan. Contohnya dalam penetapan kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang berpijak pada Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967, dan Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya No.5/1990, serta diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 dengan areal 40.000 hektar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang baru No. 175/kpts-II/2003, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diperluas menjadi 113.357 hektar (Hanafi et al., 2004).

Negara berpBapak/Ibungan bahwa sistem zonasi yang diterapkan pada taman nasional diharapkan dapat membantu masyarakat dalam pemanfaatan kawasan taman nasional. Realitanya, konsep taman nasional dengan sistem zonasi yang mengaturnya telah merampas hutan adat sekaligus menyingkirkan masyarakat yang telah tinggal di dalam kawasan hutan jauh sebelum adanya

(3)

3 taman nasional. Sistem zonasi ini adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asal usul yang melekat pada masyarakat adat.

Pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terletak di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi dan Lebak) dan dua Provinsi (Jawa Barat dan Banten). Ada 24 kecamatan dan 108 desa di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi, dan Lebak) yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak1, yang sebagian besar dari mereka adalah masyarakat adat Kasepuhan, yang mempunyai relasi kuat terhadap hutan secara budaya, ekonomi dan sosial.

Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain;

pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat, hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan

1 Bewara. Kebijakan Konservasi Versus Realitas di TNGHS. Edisi April Tahun 2010.

(4)

4 yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun.

Keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah meresahkan dan mengancam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan dalam bentuk pemanfaatan hutan. Hukum konservasi telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan yang menggantungkan hidup pada hutan, baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. Pemerintah telah berinisiatif untuk menyelesaikan permasalahan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dengan menyusun dan menata kembali sistem zonasi dengan memanfaatkan celah hukum produk kebijakan tentang konservasi. Namun pemerintah belum mengakomodasi dan merealisasikan tuntutan masyarakat adat Kasepuhan, khususnya yang berada di Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya dan Cipta Gelar) mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bentuk pengakuan dan perlindungan hukum ini pada akhirnya harus berbentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi

1.2 Perumusan Masalah

Penetapan kawasan konservasi melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat top-down, tanpa melalui proses kompromi dengan masyarakat yang telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Penetapan kawasan konservasi terkadang menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dampak yang biasanya timbul adalah dampak negatif, yaitu tumpang tindihnya klaim yang dikuti oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang diklaim pemerintah sebagai area terlarang sehingga menimbulkan konflik dengan masyarakat.

Adanya perbedaan aturan dalam mengelola sumberdaya hutan diduga juga menjadi salah satu penyebab konflik kehutanan. Pihak taman nasional mengelola kawasan hutan mengacu pada UU No.5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Masyarakat adat mengelola hutan dengan aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Berbedanya pengelolaan

(5)

5 hutan antara pemerintah dan masyarakat adat yang kemudian menjadi salah satu sumber konflik.

Taman nasional mengelola kawasan hutan melalui sistem zonasi yang ditetapkan dalan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sistem zonasi membagi kawasan hutan taman nasional menjadi kawasan zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona- zona khusus sesuai kebutuhan. Zonasi-zonasi taman nasional, khususnya zona inti, zona rimba dan zona khusus rehabilitasi tidak boleh sembarangan dimasuki manusia kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Selain itu, ketiga kawasan zona ini tidak diperbolehkan ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia, seperti memungut ranting untuk kayu bakar, mengambil hasil hutan non-kayu, dan menebang kayu. Kegiatan-kegiatan pendayagunaan oleh manusia tersebut jika dilakukan di dalam ketiga kawasan zona tadi, akan dianggap sebagai perambah hutan dan penebang liar.

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi hidup berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi dengan kawasan Gunung Halimun. Gunung Halimun merupakan tempat di mana mereka dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapi hidup, selain dari sawah dan ladang, serta memenuhi kebutuhan spiritual.

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mereka percaya, leluhur mereka telah tinggal sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka juga percaya para leluhur memerintahkan masyarakat untuk tetap menjaga dan memelihara kawasan Gunung Halimun, agar anak-cucu mereka dapat hidup dari hutan di masa mendatang. Para leluhur pun telah mewariskan sistem pengelolaan Gunung Halimun dengan membagi hutan menjadi tiga jenis, yaitu leuweung tutupan, leuweung titipan, dan leuweung bukaan.

Sejak berlakunya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 yang menetapkan perluasan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, banyak lahan garapan masyarakat

(6)

6 yang masuk ke dalam kawasan taman nasional. Akibatnya lahan garapan menjadi sempit, namun mengingat kebutuhan hidup masyarakat harus tetap berlanjut, masyarakat adat tetap mengelola lahan garapan mereka yang telah menjadi zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Konflik tidak terhindari mengingat pemukiman dan lahan garapan masyarakat tumpang tindih dengan kawasan hutan taman nasional.

Berdasarkan fakta inilah dirumuskan tiga pertanyaan dalam penelitian ini, antara lain:

1. bagaimana sejarah konflik dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?

2. apa basis dan berada pada tingkat kekerasan mana konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan?; dan

3. sampai sejauh mana upaya penyelesaian konflik dilakukan dan perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

2. untuk mengetahui basis dan tingkat kekerasan konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan

3. untuk memahami bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan serta perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Akademis: terwujudnya suasana akademik di perguruan tinggi melalui penelitian empirikal, peningkatan kreativitas, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah, dan terwujudnya sikap ilmiah, profesional, dan kepedulian

(7)

7 terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat serta memiliki alternatif dalam penanganan konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan pustaka dalam penelitian selanjutnya

2. Pemerintah: diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan konservasi yang memegang prinsip eco-justice.

3. Masyarakat umum: dapat memperoleh pengetahuan mengenai konflik sumberdaya hutan dan mendapatkan informasi mengenai solusi yang baik dalam mengatasi konflik.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, instansi pe- merintah dan dinas terkait melakukan tugas se- suai tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) mas- ing-masing. Kompleksitas pada permasalahan anak

Kearifan lokal yang terdapat dalambu- daya kalosara juga dapat menciptakan harmonisasi antara alam dengan masyara- kat karena nilai yang terkandung dalam budaya

Bambang sugiarto (2002) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa untuk menaikan angka oktan pada mesin adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas bensin.Untuk

Pembentukan self efficacy melalui sumber pengalaman tentang keberhasilan pribadi, diwujudkan dalam bentuk, pemberian kesempatan bagi setiap individu untuk berprestasi sesuai

Sebagai studi awal/studi kelayakan teknik dan lingkungan proses  pertukaran ion untuk menyisihkan Pb dalam air limbah pabrik aki mempunyai tujuan untuk

Setelah semua data terpenuhi admin bisa langsung melakukan penyeleksian pada menu “Seleksi Beasiswa” dengan cara mengisi form seleksi, contoh: pada form seleksi

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

Penerapan teknologi yang bersifat intern merupakan penerapan teknologi untuk menunjang kinerja pegawai kejaksaan RI baik itu Jaksa maupun pegawai tata usaha dalam