• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment. Tesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment. Tesis"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LINTAS BUDAYA

KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pascasarjana pada program Magister Manajemen Pascasarjana

Universitas Diponegoro

Disusun oleh : NDARU RISDANTI, ST

NIM. 12010111400165

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2013

(2)

iii

PENGESAHAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis berjudul :

STUDI LINTAS BUDAYA

KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment

yang disusun oleh Ndaru Risdanti, NIM 1201 0111 400 165

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 20 Desember 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima.

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Suharnomo, Msi Dr. Edy Rahardja, Msi

Semarang, 20 Desember 2013 Universitas Diponegoro

Program Pascasarjana

Program Studi Magister Manajemen Ketua Program

Dr. Sugeng Wahyudi, MM

(3)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

The seat of knowledge is in the head, the seat of wisdom is in the heart

-William Hazlitt-

“Seberapa keras kita berusaha, kita tidak akan pernah bisa „membeli‟ waktu. Yang bisa kita lakukan

hanyalah menggunakan waktu secara bijaksana”

-Napoleon Hiell-

Persembahan

 Bapak dan almarhumah Ibu tercinta yang selalu menginspirasi, senantiasa memberi dorongan, doa dan kasih sayangnya

 Kakak dan adik tersayang

 Teman dan sahabat tersayang

(4)

v

ABSTRACT

The aim of this research is to investigate the Korean style of leadership in Indonesia at one of the multi national companies in Indonesia. This kind of cross cultural study need to be barried by the dimensions of national culture. In order to get depht information about Korean Style of Leadership, there are six dimensions of Kluchkhon & Strodtbeck’s concept and five dimensions of Parson’s theory about national culture used in this research.

The objects of this study are the employees at a multinatonal company in Semarang which consist of the expatriates manager from Korea and local employees from Indonesia.

The result of this research shows the Korean managers’s style of leadership in one of multi national companies from Korea located in Semarang, Indonesia. Korean style of leadership in Indonesia include some dimensions of how they see about nature of human, focus responsibility, relation to broad environment, activity, time, space, afective or afective neutrality, universalim or particularism, ascription or achievment, specify or not, and self oriented or collective oriented.

Keywords: cross cultural study, leadership, Korean style leadership.

(5)

vi

ABSTRAKSI

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis mengenai kepemimpinan gaya Korea di Indonesia pada salah satu perusahan multi nasional di Indonesia.

Penelitian lintas budaya ini sebaiknya dibatasi oleh beberapa dimensi terkait budaya nasional. Untuk memperoleh kedalaman informasi mengenai kepemimpinan gaya Korea, terdapat enam dimensi dari konsep Kluchkhon dan Strodtbeck serta lima dimensi dari pola-pola Parson yang digunakan dalam penelitian ini.

Objek pada penelitian ini adalah karyawan pada sebuah perusahaan multi nasional di Semarang yang terdiri dari manajer ekspatriat dari Korea dan karyawan lokal dari Indonesia.

Hasi peneletian ini menunjukkan kepemimpinan sesuai dengan gaya manajer Korea pada perusahaan multi nasional yang berlokasi di Semarang dimana mencakup dimensi mengenai bagaimana mereka melihat karakter dasar manusia, fokus tanggung jawab, hubungannya dengan lingkungan, aktivitas, waktu, ruang, afektif atau netralitas afektif, universalisme atau partikularisme, askripsi atau prestasi, spesifitas atau kekaburan dan orientasi diri atau orientasi kolektif.

Kata kunci : studi lintas budaya, kepemimpinan, kepemimpinan gaya korea.

(6)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis mengenai “Studi Lintas Budaya, Kepemimpinan Gaya Korea di Indonesia”.

Adapun maksud dari penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Tesis ini dapat terselesaikan dengan bantuan serta dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr.Sugeng Wahyudi, MM, selaku Direktur Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro.

2. Bapak Dr. Suharnomo, MSi, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan memberikan pengarahan, saran serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Dr. Edy Rahardja, MSi, selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan memberikan pengarahan, saran serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

5. Bapak dan Almarhumah Ibu yang selalu memberikan doa, dukungan, fasilitas, serta kasih sayang yang luar biasa hingga terselesaikannya tesis ini.

(7)

viii

6. Kakak dan adik yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini.

7. Tri Jatmniningsih, ST, teman baik yang memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Renni, Ares, Wirda, Bila, Latifah, Dea dan Nisa yang selalu mendukung dalam semangat dan doa sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

9. Teman-teman Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro angkatan 40 pagi yang telah berbagi cerita dan kebersamaan.

10. Seluruh staf karyawan Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang yang telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan serta penyusunan tesis.

Penulis menyadari akan kekurangsempurnaan penulisan tesis ini. Oleh sebab itu segala kritik maupun saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan agar kelak dikemudian hari dapat menghasilkan karya yang lebih baik.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Semarang, Desember 2013 Penulis,

Ndaru Risdanti, ST

(8)

ix DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Surat Pernyataan Keaslian Tesis ... ii

Halaman Persetujuan/Pengesahan ... iii

Halaman Motto/Persembahan ... iv

Abstract ... v

Abstraksi ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian... 11

BAB II Tinjauan Pustaka ... 12

2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Kepemimpinan ... 12

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan ... 15

2.1.3 Gaya Kepemimpinan ... 21

2.1.4 Pemahaman Budaya ... 22

2.1.4.1 Budaya ... 22

2.1.4.2 Budaya Nasional ... 26

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural ... 28

2.1.5 Kebudayaan Indonesia ... 40

(9)

x

2.1.6 Kebudayaan Korea ... 42

2.2 Penelitian Terdahulu ... 47

2.3 Kerangka Pikir ... 49

BAB III Metode Penelitian ... 51

3.1 Pendekatan Penelitian ... 51

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 52

3.2.1 Variabel Penelitian ... 52

3.2.2 Definisi Operasional ... 52

3.3 Penentuan Populasi dan Sample ... 59

3.3.1 Ukuran Populasi ... 59

3.3.2 Sampel ... 57

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 58

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 58

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 59

3.6 Metode Analisis Data ... 62

3.7 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... 69

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 71

4.1 Hasil Penelitian ... 71

4.1.1 Gambaran Umum PT. Semarang Garment ... 71

4.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan ... 72

4.1.3 Lokasi Perusahaan ... 76

4.1.4 Aktivitas dalam PT. Semarang Garment ... 76

4.2 Pembahasan ... 86

4.2.1.Profil Responden ... 87

4.2.2 Analisis dan Keabsahan Data ... 87

4.2.3 Persepsi Manajer dari Korea dan Karyawan Lokal... 88

4.2.4 Karakteristik Kepemimpinan Lintas Budaya Berdasarkan Kluchkhon dan Strodtbeck serta Pola-pola Parson ... 92

BAB V Kesimpulan ... 105

5.1 Kesimpulan ... 105

(10)

xi

5.2 Implikasi Kebijakan ... 107 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 111 5.4 Agenda Penelitian Mendatang ... 112

Daftar Pustaka

Lampiran

(11)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Cultural Orientation and Dimensions ... 36 Tabel 4.1 Daftar Responden / Nara sumber ... 87 Tabel 4.2 Hasil Analisis ... 106

(12)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Pikir ... 49

Gambar 4.1 Struktur Organisasi PT. Semarang Garment ... 73

Gambar 4.2 Proses Produksi PT. Semarang Garment ... 77

Gambar 4.3 Beberapa Kegiatan Produksi PT. Semarang Garment ... 78

Gambar 4.4 Beberapa Kegiatan Pelatihan PT. Semarang Garment ... 80

Gambar 4.5 Kegiatan Lain PT. Semarang Garment ... 81

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 2000 istilah Hallyu atau Korean Wave menjadi populer di kawasan Asia Timur yang disebabkan oleh meledaknya musik pop dan serial drama Korea. Istilah Korean Wave pertama kali muncul di Cina pada tahun 1997 melalui serial drama Korea yang ditayangkan di televisi nasional China. Korean wave atau Hallyu adalah proses penyebaran nilai dan budaya popular Korea Selatan ke seluruh dunia. Produk-produk Korean Wave yang populer adalah serial drama TV, musik K-Pop, film, game dan fashion. Korea Selatan melalui film dan musik, berusaha untuk menyebarkan citra baru yang positif mengenai negaranya dan memperkenalkan budayanya ke seluruh dunia. Strategi tersebut dapat dikatakan berhasil. Beberapa film dan serial drama Korea Selatan sukses di pasar internasional. Dampak dari kesuksesan ini terlihat pada pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di Korea Selatan. Industri budaya memberi konstribusi terhadap GDP Korea Selatan yang terus meningkat. Pada tahun 2000, industri budaya memberikan konstribusi sebesar 3,6 % terhadap GDP Korea Selatan dan pada tahun 2010 terjadi peningkatan yaitu 6,5 % dari total GDP.

Korean Wave merupakan salah satu contoh kesuksesan sebuah negara dalam mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan secara maksimal untuk mendukung pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran negara. Korea Selatan melalui Korean Wave secara bertahap mampu membangun citra positif Korea

(14)

2

Selatan di mata dunia internasional serta memberikan konstribusi terhadap pendapatan nasional.

Kemajuan Korea Selatan tidak hanya ditunjukkan dengan citra budaya positif yang mampu menembus seluruh penjuru dunia. Pembangunan yang cepat terjadi di dalam negeri Korea begitu juga dalam dunia perekonomian dan bisnis.

Salah satu kekuatan ekonomi Korea Selatan digerakkan oleh sistem jaringan. Bila bangsa China menggunakan akar jaringan rantau yang berbasis pada klan/marga, dialek, lokalitas, perhimpunan dan terpenting kepercayaan. Bangsa Korea juga menerapkan akar jaringan yang sama yakni kepercayaan yang lebih dikenal dengan Chaebol. Jaringan Chaebol Korea merupakan konglomerasi korporasi raksasa yang menguasai ekonomi Korea. Chaebol didukung oleh keluarga, namun berbeda dengan Keiretsu di Jepang atau Grupo di Amerika Latin, para pemimpin Chaebol hampir tidak pernah memegang posisi resmi/legal chaebol yang dipegangnya. Diantara konglomerasi Chaebol adalah korporasi raksasa Samsung, LG, Hyundai-Kia dan SK.

Selama empat dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang menakjubkan telah menjadi bagian dari apa yang dijuluki sebagai ”Keajaiban di Kawasan Asia Timur.” Korea Selatan akan mengambil posisi yang lebih positif dengan visi yang lebih luas serta melaksanakan diplomasi global melalui kerjasama secara aktif dengan masyarakat internasional.

Era globalisasi yang terjadi pada dunia internasional saat ini tidak hanya membawa keterbukaan sebuah negara terhadap budaya negara lain, tetapi juga memunculkan berbagai konsekuensi dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang bisnis dengan seluruh komponen yang mendukung bidang

(15)

3

tersebut. Saat ini para pimpinan bisnis dalam rangka mengelola organisasi perusahaannya memerlukan visi dan perspektif internasional jika mereka berkeinginan mencapai sukses dan memajukan perusahaannya. Tidak terkecuali bagi para pelaku bisnis di Korea Selatan. Kesuksesan organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan pimpinan perusahaan untuk beradaptasi dalam lingkungan internasional yang lebih luas, sangat dinamis, serta penuh dengan peluang dan tantangan. Beberapa perusahaan besar di dalam negeri Korea Selatan telah memperluas usahanya dengan membuka perusahaan-perusahaan yang ditempatkan di luar negerinya (Multi National Corporation / MNC).

Sehubungan dengan arus globalisasi, berbagai strategi akan dilakukan oleh perusahaan yang memiliki jangkauan operasi di berbagai negara atau lebih dikenal dengan Multi Nasional Corporation (MNC). Strategi yang dilakukan oleh perusahaan multi-nasionional, khususnya di Korea Selatan yakni dengan meningkatkan daya saing produk yang mereka hasilkan, memberikan pengetahuan tentang lingkungan internasional, mengamati strategi bersaing yang dilakukan oleh para pesaing mereka, hingga perubahan kebijakan yang dilakukan terhadap penilaian prestasi atau kinerja bagi seorang calon manajer yang akan dipromosikan untuk menjalani penugasan luar negeri terlebih dahulu (expatriates) agar mereka mampu dan memiliki pengalaman yang lebih luas dengan kondisi lingkungan domestik pekerjaan yang mereka tekuni. Keberhasilan mereka mengemban penugasan tersebut menjadi penilaian prestasi mereka untuk jabatan yang lebih tinggi (promosi). Penugasan internasional menjadi semakin penting saat ini dan telah menjadi bagian dari karir para manajer (managerial career).

(16)

4

Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut maka kompetensi kepemimpinan lintas budaya sangat diperlukan dalam perusahaan yang beroperasi secara internasional.

Secara lebih nyata kondisi ini akan sangat mempengaruhi interaksi antara manajer yang ditugaskan ke luar negeri (expatriates manager) dengan para karyawan lokal mereka, yang kenyataannya sangat memerlukan berbagai tingkat adaptasi dari pihak manajer maupun karyawan lokal mereka. Bagi para manajer, hal tersebut sangat erat berhubungan dengan gaya kepemimpinan yang harus diterapkan akibat dari perbedaan budaya yang mereka miliki. Demikian juga bagi karyawan lokal mereka yang harus menerima dan menyesuaikan perilaku dengan manajer dari luar negaranya. Keberhasilan dalam penyesuaian dari kedua belah pihak merupakan kunci sukses bagi kinerja organisasi secara keseluruhan. Bagi para manajer yang ditugaskan di luar negeri (expatriates manajer) tantangan tersebut terasa lebih berat dan memiliki konsekuensi besar jika dibandingkan dengan kondisi yang harus dialami para karyawan. Hal ini disebabkan oleh posisi mereka sebagai pimpinan yang harus mampu mempengaruhi para karyawan agar mereka bersedia untuk bekerjasama dalam melaksanakan operasional perusahaan, dimana keberhasilan para manajer akan dievaluasi dan ditentukan bagi jenjang karir mereka selanjutnya. Berbagai tantangan akan muncul bagi para manajer yang ditugaskan di luar negeri (expatriates manajer), terutama yang berasal dari kekuatan sosial budaya yang diwakili oleh perbedaan budaya baik budaya nasional (negara) yang bersangkutan maupun perbedaan budaya organisasi yang berlaku dalam menjalankan bisnis mereka.

Menurut Korea Chamber of Commerce and Indutry, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 1400 perusahaan Korea yang aktif beroperasi. Mulai dari

(17)

5

perusahaan global kelas dunia seperti Samsung, LG, Hyundai, sampai perusahaan menengah dan kecil. Perusahaan Korea di Indonesia memperkerjakan sekitar 500,000 tenaga kerja di Indonesia, mulai dari level direktur, manager hingga ke level karyawan biasa. Jumlah warga Korea yang menetap di Indonesia pun cukup banyak yakni kurang lebih 30,000 orang. Perusahaan Korea berhasil membuktikan dirinya sejajar dengan perusahaan kelas dunia lainnya. Produk buatan Korea, khususnya elektronik dapat ditemukan di setiap rumah tangga di seluruh dunia. Bahkan beberapa brand Korea telah mengalahkan brand Jepang yang lebih dulu hadir dan menguasai pasar dunia, contohnya Samsung yang telah menggeser dominasi Sony ataupun LG yang cukup dominan di Indonesia.

Perusahaan Korea dipengaruhi oleh kultur confusian yang kental.

Perusahaan Korea umumnya memiliki sistem hirarkhi yang tinggi dan terdesentralisasi dalam beberapa orang key people termasuk para manager yang bisa membuat keputusan. Deskripsi kerja, kewenanangan, dan hubungan kerja antara atasan dan bawahan didasari oleh senioritas. Walaupun cukup banyak orang Korea yang mengikuti pendidikan di luar negerinya, norma-norma sosial Confusian masih dominan. Karekter perusahaan multinasional Korea tidak jauh berbeda dengan perusahaan Jepang. Mereka mengutamakan kerja tim, memperhatikan sikap atau prilaku dan sangat disiplin. Pada umumnya di perusahaan multinasional Korea yang lebih muda atau junior amat menghormati senior atau orang yang berumur lebih tua sehingga akan menjadi suatu hal yang tabu jika melawan kata-kata dari orang yang lebih tua.

Budaya suatu masyarakat tercermin dalam cara hidup kelompok suatu masyarakat, yang dapat diamati melalui manifestasinya, seperti pandangan

(18)

6

terhadap waktu, keluarga, kebiasaan berdagang (berbisnis) dan sebagainya. Haris dan Morgan (1987, dalam Czinkota) menginventarisir elemen-elemen budaya antara lain bahasa, kepercayaan, nilai dan sikap, perilaku dan kebiasaan, keindahan, pendidikan dan sosial institusi. Budaya bertindak sebagai sumber eksternal yang mempengaruhi perilaku karyawan pada kepribadian sehari-harinya yang akibatnya mempengaruhi perilaku setiap orang dalam organisasi, karena setiap orang membawa sepotong dunia luar ke tempat kerja. Secara keseluruhan, dampak budaya masing-masing individu menciptakan perubahan dalam budaya dari organisasi itu sendiri. (Trace and Bayer dalam Keyong, 2010). Memahami nilai-nilai budaya penting untuk dimiliki anggota organisasi agar mampu mengidentifikasi, memahami dan merespon perbedaan dalam berpikir, merasa dan bertindak anggota organisasi lain dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Bagi perusahaan multi nasional, pengetahuan budaya dan sensitivitas nilai-nilai budaya adalah sebuah kebutuhan yang harus ditangani pada praktek manajemen dan pelatihan. Perbedaan budaya nasional para manajer dalam suatu perusahaan dengan karyawannya menciptakan keberagaman budaya dalam perusahaan.

Keberagaman ini akan membawa ikatan budaya yang melekat pada suatu masyarakat berbeda dengan budaya yang melekat pada masyarakat lain. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa telah terjadi akulturasi budaya. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1980).

(19)

7

Keberhasilan sistem manajemen sangat tergantung pada kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan dan manajer dalam perusahaan yang bersangkutan (leadership competence). Lebih jauh, keberhasilan kepemimpinan tersebut akan sangat teruji dalam lingkungan asing atau internasional, hal ini disebabkan karena dalam lingkungan tersebut akan terjadi perubahan terhadap kekuatan eksternal yang akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pada kekuatan internal perusahaan. Sangat diperlukan kepemimpinan yang efektif untuk perusahaan-persuahaan yang memiliki karyawan dari berbagai latar belakang budaya nasional yang berbeda. Kepemimpinan itu sendiri akan memiliki berbagai macam dampak antara lain kepuasan pengikut atau bawahan.

Untuk melihat lebih jauh mengenai kepemimpinan manajer dengan latar belakang budaya Korea Selatan terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal Indonesia akan dibatasi dengan dimensi-dimensi dari kerangka budaya Kluckhohn dan Strodtbeck. Keenam dimensi tersebut nantinya akan digunakan untuk menganalisis kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan jajaran manajer dengan latar belakang budaya nasional korea dan bagaimana penerimaan masyarakat lokal (berkebudayaan Indonesia) terhadap kepemimpinan budaya korea tersebut di Indonesia. Dengan adanya keragaman budaya dalam perusahaan tersebut maka dibutuhkan analisis terhadap jajaran manajer ekspatriat berkebangsaan Korea dan para karyawan lokal pada PT. Semarang Garment.

Perusahaan Multi Nasional PT. Semarang Garment adalah salah satu perusahaan yang merupakan perluasan perusahaan Kukdong Corporation yang berpusat di Seoul, Korea Selatan. Perusahaan tersebut dipimpin langsung oleh seorang pimpinan berkewarganegaraan Korea yang bernama Byun Hyo Su

(20)

8

dengan jajaran manajer yang berkebangsaan Korea dan sejumlah karyawan lokal dari Indonesia. Di dalam perusahaan tersebut pasti terjadi interaksi kepemimpinan lintas budaya yang nyata antara manajer asing (expatriates manager) dan bawahan lokal mereka.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hofstede, ciri budaya nasional Korea Selatan antara lain 1) Korea Selatan yang menganggap beberapa orang lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya 2) Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan 3) Orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko 4) Orang Korea Selatan selalu mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea Selatan 5) di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang terdekat 6) Masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik, bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas, misalnya posisi hierarki. Kriteria budaya nasional Korea Selatan yang demikian akan berbeda dengan budaya nasional Indonesia meskipun beberapa dimensi budaya antar dua negara tersebut memiliki persamaan karena berada pada payung besar budaya yang sama, yaitu budaya Asia.

Atas dasar itulah peneliti tertarik untuk mengambil tema penelitian mengenai cross cultural leadership, khususnya kepemimpinan gaya Korea di Indonesia yang mengambil obyek penelitian pada PT. Semarang Garment.

(21)

9 1.2 Rumusan Masalah

Kepemimpinan lintas budaya terjadi pada perusahaan multinasional yang memperluas usahanya ke luar negeri. Pada PT. Semarang Garment terjadi interaksi yang nyata antara jajaran manajer dengan latar belakang budaya Korea Selatan dan karyawan yang berbudaya lokal Indonesia. Perbedaan budaya Korea Selatan dan budaya Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek dalam perilaku individu khususnya dalam suatu organisasi perusahaan. Perbedaan budaya nasional dalam suatu perusahaan menimbulkan beberapa dampak dalam organisasi perusahaan dikarenakan karakter individu yang terbentuk dari budaya nasional masing-masing negara juga berbeda. Perbedaan manajemen Korea dan Indonesia menjadi suatu masalah yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dengan adanya perbedaan budaya nasional antara pimpinan atau manajer yang berkebudayaan Korea dengan karyawan yang berkebudayaan Indonesia perlu adanya suatu proses adaptasi dari kedua belah pihak dan proses kepemimpinan lintas budaya yang efektif.

Dalam hal ini, keenam dimensi Kluckhohn & Strodtbeck dan pola-pola Parson yang digunakan untuk menganalisis kepemimpinan jajaran manajer dengan latar belakang budaya nasional Korea Selatan pada perusahaan dengan karyawan berpenduduk lokal dengan budaya nasional Indonesia di PT. Semarang Garment. Selain itu dapat dilihat bagaimana karyawan lokal berbudaya Indonesia menerima kepemimpinan dengan gaya Korea di lingkungan kerjanya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai fokus dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

(22)

10

1. Bagaimana kepemimpinan gaya Korea ditinjau dari dimensi hubungannya terhadap alam, orientasi waktu, sifat dasar manusia, orientasi aktivitas, fokus aktivitas, dan konsepsi ruang sesuai dengan kerangka budaya Kluckhohn dan Strodtbeck, serta dimensi afektivitas-netralitas afektif, universalisme- partikularisme, ketersebaran-keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi instrumental-ekspresif sesuai dengan pola-pola Parson yang diterapkan oleh jajaran manajer ekspatriat berkebudayaan Korea Selatan di Indonesia pada PT. Semarang Garment?

2. Bagaimana penerimaan karyawan lokal berbudaya Indonesia terhadap gaya kempemimpinan gaya Korea yang diterapkan pada PT. Semarang Garment?

Mengacu kepada identifikasi di atas, maka fokus penelitian dapat dibatasi pada kepemimpinan gaya Korea jajaran manajer di PT. Semarang Garment yang merupakan manajer ekspatriat dari Korea Selatan terhadap karyawan lokal berkebudayaan Indonesia di dalam perusahaan tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah guna menganalisis kepemimpinan gaya Korea terhadap karyawan lokal berkebangsaan Indonesia di PT. Semarang Garment Indonesia yang dibatasi dengan enam dimensi budaya dari Kluchkohn dan Strodtbeck serta lima dimensi dari pola-pola Parson.

(23)

11 1.4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi sosok pemimpin

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan acuan dan arahan bagi seorang pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinan lintas budaya yang efektif dalam perusahaan multi nasional.

2. Bagi pihak perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan langkah dan kebijakan perusahaan multi nasional.

3. Bagi peneliti lain

Diharapkan bisa dijadikan acuan dan pengetahuan untuk penelitian-penelitian di bidang sumber daya manusia terutama yang berkenaan dengan kepemimpinan lintas budaya.

4. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan membuka wawasan masyarakat perihal pentingnya kepemimpinan lintas budaya yang efektif dalam memajukan sebuah organisasi serta menambah pengetahuan masyarakat perihal kepemimpinan gaya Korea di Indonesia.

5. Bagi peneliti

Dalam penelitian ini diharapkan peneliti dapat mengetahui lebih mendalam gaya kepemimpinan lintas budaya seorang tokoh dan pemimpin sebuah perusahaan multi nasional, khususnya perusahaan Korea di Indonesia.

(24)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.

Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal.

Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian

(25)

13

(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) kepemimpinan didefinisikan sebagai proses pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 (dalam Marcian, 2008) dapat disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi.

Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut Munandar (2001) kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang berisi:

a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk memimpin.

b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan bawahannya.

(26)

14

Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka akan mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya, dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar terus-menerus (Tampubolon, 2007). Selain itu, pemimpin yang efektif adalah yang (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi, (3) memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasan umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6) memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani

(27)

15

keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit- belit serta (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan seminimal mungkin.

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan

Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (1996) membagi teori mengenai kepemimpinan ke dalam empat kategori, yaitu :

1. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership Characteristic theory)

Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang mencari ciri kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini memberikan bukti kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya rendah.

(28)

16

2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership)

Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah:

a. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State

Menurut Yukl (1994) kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari kepemimpinan dari Ohio State University. Sebuah sasaran utama untuk mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang efektif. Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori arti dari perilaku, yang kemudian disebut sebagai “consideration” dan “initiating structure”.

Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik.

Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.

Initiating structure (struktur memprakarasai) adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran

(29)

17

dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok.

Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek, menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk mengikuti prosedur-prosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap masalah, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.

b. Telaah Universitas Michigan

Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota- anggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.

c. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia

Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka

(30)

18

mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang”

dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan.

Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire).

Studi skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta membuat dan mengimplementasikan perubahan.

3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :

a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)

Mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi

(31)

19

memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan.

Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin- anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.

b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad

Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya.

Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan, seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu.

c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota

Menurut teori ini para pemimpin menciptakan kelompok-dalam dan kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompok-dalam akan

(32)

20

mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka.

Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong keputusan kategorisasi dari pemimpin.

d. Teori Jalur-Tujuan Robert House (House’s Path Goal Theory)

Merupakan teori bahwa perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari atau kepuasan segera atau kepuasan masa depan. Hakikat teori ini adalah bahwa merupakan tugas si pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan / atau dukungan guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan dari kelompok atau organisasi.

e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton

Merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan.

4. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories)

Merupakan teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme, daya tarik emosional, dan komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang termasuk ke dalam teori ini adalah

a. Teori Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)

Teori Kepemimpinan Karismatik mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa

(33)

21

bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan ketidakpastian yang tinggi.

b. Teori Kepemimpinan Transformasional

Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.

c. Teori Kepemimpinan Transaksional

Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

d. Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh dan menjadi semakin baik di masa sekarang.

2.1.3 Gaya Kepemimpinan

Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner, et al. (1995) memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul

(34)

22

Hersey dan K. H Blanchard, 1982 (dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar (2004) gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha (1994), disebut gaya kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin, dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama (Abdilah, 2011).

2.1.4 Pemahaman Budaya 2.1.4.1 Budaya

Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya.

Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada

(35)

23

anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di lain sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”.

Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui suatu proses belajar (Keyong, 2010)

Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.

Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar

(36)

24

dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.

Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).

Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan

(37)

25

sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan, menurut (Soemardjan, 2010) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata, pakaian dan sebagainya.

Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan nilai apa saja yang diterapkan (Frits, 2002). Menurut (Hofstede, 2005) budaya dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu:

a. Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Kata- kata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.

b. Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.

c. Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain.

d. Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah kecenderungan yang luas untuk memilih negara tertentu melebihi

(38)

26

kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak belajar tanpa disadari.

Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll, sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial, dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. (Robert, 2005)

2.1.4.2 Budaya Nasional

Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas, tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budayanya. (Mas’ud, 2002).

(39)

27

Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa, dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi, dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya, ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan yang mencerminkan karakteristik budaya.

Budaya nasional memiliki komposisi tingkat nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah.

Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep

(40)

28

kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan emosional.

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya

Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis.

Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11).

Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,

(41)

29

bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.

Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah untuk tujuan subsistensi.

Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth (Marzali, 1998:85), sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi.

Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.

(42)

30

Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga (household based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix).

Menurut Scott (1981:7), usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan keamanan (safety first). Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis (Weizt (1971:19).

Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat

(43)

31

berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian (Weitz, 1971:9).

Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.

Soekartawi (2003:173) mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet (2003:16) mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).

(44)

32

Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern.

Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi, sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab.

Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi, perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.

(45)

33 A. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck

Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan.

Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat, orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme.

Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan atas beberapa dimensi sebagai berikut :

(46)

34 1. Nature of People (Karakter dasar manusia)

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat, umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi dengan orang lain.

2. Relationship to The Environment (Hubungan dengan alam lingkungan) Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate) lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir).

Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda, kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.

3. Activity Orientation (Orientasi Aktivitas)

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi

“melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi, dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa gaya atau style kepemimpinan dalam mempengaruhi perilaku bawahan. Jika seseorang dalam posisi sebagai pimpinan di dalam sebuah organisasi/perusahaan dan menginginkan

Data yang dikumpulkan, yaitu jawaban responden tentang gaya kepemimpinan, budaya organisasi, sistem pengendalian internal, dan fraud yang dituju adalah seluruh

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi pemimpin ekspatriat terletak pada hambatan budaya, yaitu perbedaan bahasa, kesalahpahaman nonverbal,

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Untuk mengkategorisasikan pola komunikasi lintas budaya yang dilakukan oleh para pedagang lokal dengan wisatawan asing di

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengkategorisasikan pola komunikasi lintas budaya yang dilakukan oleh para pedagang lokal dengan wisatawan asing di

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Untuk mengkategorisasikan pola komunikasi lintas budaya yang dilakukan oleh para pedagang lokal dengan wisatawan asing di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepemimpinan lintas budaya antar negara di asia dan di negara-negara barat, hal ini disebabkan karena pemimpin mempunyai

Dengan gaya kepemimpinan berorientasi pada orang dan pada tugas, yang menerapkan komunikasi dua arah yang baik dengan bawahan, diharapkan dapat meningkatkan budaya organisasi yang baik