• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI

8.1 Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunng Rinjani Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekonomi di daerah pedesaan, aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar TNGR terkonsentrasi pada sektor pertanian. Lebih dari 80% penduduk yang berdomisili di 37 desa sekitar TNGR memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pertanian, yaitu sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, dan peternak. Sementara sumber penghasilan yang berasal dari luar pertanian antara lain perdagangan, industri, dan buruh kasar (Gambar 15). Kecilnya proporsi penduduk yang sumber utama penghasilannya dari luar pertanian mencerminkan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat kurang bervariasi (terkonsentrasi pada sektor pertanian) sehingga dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat sekitar Hutan Rinjani adalah budaya pertanian.

Gambar 15. Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).

Dari struktur perekonomian masyarakat sekitar TNGR sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai buruh tani masih cukup besar (24%). Karena berprofesi sebagai buruh tani, maka penghasilan ekonomi rumahtangga sangat tergantung pada ketersediaan aktivitas usahatani di kawasan sekitar TNGR. Kelompok inilah yang sangat rentan dan potensial terhadap kegiatan penebangan liar (illegal

(2)

 

logging), baik di kawasan TNGR maupun di kawasan hutan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa aktivitas (interaksi) masyarakat untuk mengambil (mengekstraksi) hasil hutan kayu (HHK) mengalami peningkatan pada musim kemarau sebagai akibat tidak tersedianya lapangan kerja di bidang pertanian (aktivitas usahatani).

Berdasarkan kenyataan ini maka untuk menjamin agar kelompok masyarakat ini tidak melakukan penebangan liar di wilayah TNGR dan/atau kawasan hutan lainnya, perlu diciptakan dan dikembangkan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat secara terus menerus sehingga dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan kayu. Dengan perkataan lain, perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani.

Pemberdayaan ekonomi perlu juga dilakukan terhadap kelompok peternak, petani pemilik dan penggarap, maupun kelompok masyarakat lainnya.

Hal ini disebabkan karena rata-rata penghasilan yang diperoleh setiap bulannya secara umum belum dapat mencukupi semua keperluan anggota rumahtangga.

Petani pemilik misalnya, dari 40 orang (26,67%) responden yang memiliki lahan sawah, rata-rata luas kepemilikannya 0,38 ha. Dengan luasan ini maka kebutuhan rumahtangga belum dapat dipenuhi (asumsi penghasilan rumahtagga hanya dari hasil sawah). Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan produktivitas padi pada lahan sawah di kawasan TNGR sebesar 5,04 ton/ha (2006), maka minimal setiap keluarga harus memiliki/mengusahakan 0,97 ha sawah (asumsi 1 kali panen) atau 0,48 ha (asumsi 2 kali panen dalam setahun).

Sementara untuk padi ladang, minimal setiap keluarga memiliki/mengusahakan 2,43 ha ladang (asumsi 1 kali panen) dengan rata-rata produksi 2,79 ton/ha.

Kegiatan lainnya yang banyak digeluti masyarakat di sekitar TNGR adalah pengembangan ternak terutama sapi. Berdasarkan data populasi ternak di kawasan TNGR (BPS NTB, 2006) nampak bahwa ternak yang banyak dikembangkan masyarakat adalah sapi (Gambar 16). Jenis ternak lainnya yang dikembangkan masyarakat sekitar TNGR terutama di Kecamatan Bayan dan Kayangan, Kabupaten Lombok Barat Bagian Utara adalah kambing/domba.

Sementara ternak kerbau hampir tidak ada yang mengembangkan (keculi di Kecamatan Bayan). Begitu juga halnya dengan kuda, hanya beberapa orang saja yang memeliharanya, yaitu terbatas pada mereka yang memiliki usaha transportasi berupa gerobak/pedati; bukan untuk pemeliharaan komersial.

(3)

 

Kurangnya minat masyarakat mengembangkan kuda secara komersial karena permintaannya relatif kecil, bahkan permintaan konsumsi daging kuda (terutama permintaan lokal) hampir tidak ada.

Gambar 16 memperlihatkan bahwa secara spacial dilihat dari jumlah populasinya, pemeliharaan ternak (khususnya sapi) banyak dikembangkan masyarakat di bagian utara TNGR, yaitu di Kecamatan Bayan dan Kayangan Kebupaten Lombok Barat serta Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur.

Meskipun demikian, pengembangan ternak sapi menyebar di seluruh wilayah sekitar TNGR. Pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat sekitar TNGR tidak hanya bermotif ekonomi untuk memperoleh nilai tambah (kentungan ekonomi) jangka pendek, melainkan dimanfaatkan tenaganya sebagai pekerja untuk mengolah lahan pertanian, bahkan dijadikan tabungan (saving) yang sewaktu- waktu dapat digunakan untuk keperluan mendesak.

Dominannya populasi sapi dibandingkan ternak lainnya di semua kawasan sekitar TNGR mengindikasikan bahwa masyarakat sekitar TNGR telah familier dengan usaha peternakan/pemeliharaan sapi, meskipun dilakukan secara tradisional dalam skala kecil. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga (48,67%) diantaranya memiliki/memelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana jenis sapi yang dikembangkan adalah sapi bali untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan usahatani sehingga proses produksi untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan dilakukan dengan cara “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran (feces) dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang (kompos) untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami dan/atau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak (sapi).

Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNGR adalah diikat dan dikandangkan (semi intensif). Kecuali itu, khusus di wilayah Kecamatan Sembalun, sebagian besar peternak tidak mengikat dan mengkandangkan ternaknya serta tidak memberi makan secara khusus; melainkan dilepas berkeliaran secara bebas mencari makan sendiri tanpa pengawasan (termasuk di kawasan TNGR). Umumnya masyarakat tidak mau mengkandangkan dan mencarikan makan ternaknya dengan alasan tidak mau dijajah ternak.

(4)

 

Gambar 16. Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).

(5)

 

Tata nilai dan kebiasaan inilah yang perlu dirubah melalui berbagai bentuk penyadaran agar mereka mau mengandangkan ternaknya. Alasannya selain untuk pengamanan kawasan TNGR; dengan dikandangkan maka kotorannya dapat ditampung di satu tempat sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dan dilanjutkan dengan pembuatan kompos untuk berbagai keperluan tanaman, terutama untuk pengembangan tanaman hias dan tanaman lainnya. Terlebih lagi daerah Sembalun merupakan kawasan pengembangan berbagai jenis sayuran dataran tinggi yang membutuhkan pupuk kandang dalam jumlah besar. Begitu pula dengan pengembangan rumput (pakan) ternak membutuhkan pupuk kandang sebesar 30 – 40 ton/ha.

Di wilayah lainnya, meskipun pemeliharaan sapi dilakukan dengan sistem dikandangkan dan diberi makan, namun tidak ada peternak yang secara spesifik menanam rumput pakan karena pemeliharaan dilakukan dalam skala kecil dan tidak semata-mata berorientasi komersial. Selama ini pakan ternak (sapi) diambil dari wilayah sekitar (termasuk wilayah TNGR). Jenis pakan yang diberikan kepada ternaknya selain berupa rumput, dedaunan (termasuk daun kaliandra), juga diberikan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, kacang tanah, batang pisang, pelepah daun kelapa, dan berbagai limbah pertanian lainnya.

Akhirnya dengan melihat potensi lahan (lahan kering) di kawasan TNGR dan daya dukung lainnya serta kebiasaan dan antusiasme masyarakat untuk mengembangkan ternak sapi, maka salah satu alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat di kawasan TNGR dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan sapi.

Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah mencari lebah madu alam seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sajang dan Bilok Petung (Resort Sembalun). Pencarian madu alam biasanya dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember (waktu panen madu alam). Perolehan madu terbanyak biasanya dihasilkan bulan Oktober (bertepatan dengan masa berbunga berbagai jenis tanaman sebagai pakan lebah). Pencarian madu alam ini dilakukan secara berkelompok 2 – 4 orang dengan lokasi pencarian di kawasan hutan lindung dan TNGR. Selama musim panen biasanya setiap kelompok bisa melakukan pengambilan/panen rata-rata 4 – 5 kali dengan hasil rata-rata setiap kali pengambilan sebesar 12 liter.

(6)

 

Sementara itu warga Desa Perian (Dusun Srijata dan Dasan Paok) melakukan kegiatan mencari/memetik pakis (sayur) yang tumbuh alami di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional untuk dijual. Frekwensi pengambilan 3 – 4 kali dalam seminggu, dimana para pengambil pakis ini seluruhnya wanita yang berjumlah sekitar 150 orang. Selain sayur, potensi hasil hutan bukan kayu dari wilayah Srijata (zona pemanfaatan tradisional) yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah buah nangka. Pengambilan buah nangka biasanya dilakukan selama 2 bulan dalam setahun (Agustus-September). Hasil analisis Kurniawati (2006), menunjukkan rata-rata setiap orang dapat mengambil buah nagka sebanyak 30 butir per hari dengan jumlah orang yang mengambil sebanyak 200 orang. Jadi dapat diperkirakan jumlah buah nangka yang diambil masyarakat dari wilayah ini setiap tahunnya berjumlah ± 360 000 butir (jumlah yang cukup besar). Sayangnya buah nangka yang diambil ini adalah nangka muda (untuk sayur) sehingga nilai jualnya relatif rendah, yaitu sekitar Rp 700,- per butir.

Dengan melihat potensi produksi yang cukup besar ini maka sangat memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan agroindustri berbahan baku nangka seperti dodol nangka, keripik nangka, dan berbagai produk olahan lainnya. Pengembangan agroindusti ini selain dapat meningkatkan nilai tambah produk, juga akan dapat membuka peluang kerja dan peluang usaha baru bagi masyarakat sekitar.

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya yang diambil masyarakat dari kawasan TNGR adalah rumput untuk dijadikan pakan ternak (sapi). Kegiatan ini terutama sekali dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di wilayah bagian selatan dan berbatasan atau berdekatan dengan kawasan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, dan Aikmel. Rata-rata frekwensi pengambilan rumput dilakukan 1 – 2 kali per hari dengan volume penganbilan ± 40 kg untuk setiap kali pengambilan. Dilihat dari tujuan pengambilan, ada yang digunakan sendiri sebagai pakan ternak piaraannya dan ada juga yang bermotif ekonomi untuk dijual sebagai salah satu sumber penghasilan.

Di sisi lain, sebagai dampak pengganda (multiplier effect) dari pengembangan ekowisata TNGR baik untuk pendakian maupun pengembangan obyek-obyek wisata lainnya seperti “Otak Kokok” (Resort Joben) dan “Air Terjun Jeruk Manis” (Resort Kembang Kuning), berbagai peluang usaha dapat dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak masyarakat sekitar yang

(7)

 

melakukan usaha berkenaan dengan kegiatan ekowisata antara lain menjadi guide, porter, menjual makanan dan menyewakan tempat penginapan bagi wisatawan berupa bungalow dan lain sebagainya.

Pekerjaan menjadi guide belum dominan dilakukan oleh masyarakat sekitar tetapi sangat penting untuk diupayakan bagi masyarakat setempat.

Jumlah masyarakat yang menjadi guide hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu sekitar 10 orang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp 75 000,- per hari. Sedikitnya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini karena membutuhkan keterampilan tertentu (terutama bahasa asing). Selama ini, guide yang digunakan sebagian besar berasal dari hotel atau biro perjalanan yang digunakan oleh wisatawan (terutama wisatawan mancanegara). Beberapa petugas taman nasional juga merangkap sebagai guide. Akan lebih baik lagi jika masyarakat setempat yang diberdayakan untuk menekuni pekerjaan ini. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan mengefektifkan kegiatan kursus bahasa asing dan pelatihan interpreter bagi masyarakat setempat sehingga dimasa yang akan datang diharapkan masyarakat lokal akan menjadi pelaku utama pekerjaan ini.

Jenis kegiatan dominan yang dilakukan masyarakat berkenaan dengan kegiatan pendakian (trekking) ke TNGR adalah menjadi porter. Jasa porter diperlukan untuk membawa dan mengangkut barang-barang atau perlengkapan wisatawan seperti makanan, peralatan pendakian, pakaian, alat memasak dan lain sebagainya. Selain mengangkut barang, jasa porter juga diperlukan untuk memasak dan menyiapkan makanan bagi wisatawan. Pengguna jasa porter memilih memanfaatkannya agar perjalanan wisatanya lebih santai dan tidak terbebani oleh barang bawaan. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini telah mencapai 312 orang dimana 180 orang diantaranya telah dilatih oleh Rinjani Trek Management Board (RTMB), yaitu lembaga yang membina treking Rinjani. Rata-rata penghasilan/bayaran yang didapatkan seorang porter atas jasa yang dilakukan adalah sebesar Rp 60 000,- per hari.

Kegiatan porter di kedua pintu masuk pendakian (Senaru dan Sembalun) diatur dan dikoordinir oleh koperasi yang berada pada masing-masing pintu masuk pendakian. Di Jalur pendakian Sembalun diatur oleh Koperasi “Sinar Rinjani” sedangkan di jalur pendakian Senaru dikoordinir oleh Koperasi “Citra Wisata” Senaru.

(8)

 

Usaha lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat sekitar, bahkan sebagian diantaranya sebagai pekerjaan pokok adalah penginapan (homestay).

Kondisi desa persinggahan yang alami menjadikan potensi usaha homestay baik untuk dilakukan. Tarif homestay di desa sekitar TNGR bervariasi antara Rp 60 000,- sampai Rp 150 000,- per malam tergantung pada kelas homestay.

Kegiatan lain yang juga diusahakan adalah suvenir khas lokal atau khas Pulau Lombok. Jenis suvenir yang di jual bermacam-macam seperti anyaman, gantungan kunci, baju kaos dan ukiran kayu dengan motif lokal. Kegiatan ini terutama sekali banyak dilakukan di Desa Senaru (pintu masuk TNGR di Kabupaten Lombok Barat).

8.2 Potensi Biofisik Kawasan 8.2.1 Kawasan TNGR

Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP No 3 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfatan Hutan” menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan: (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (4) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Selanjutnya Pasal 18 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional)

Berdasarkan ketentuan ini maka pemanfaatan TNGR hanya dapat dilakukan pada zona pemanfaatan dan zona lainnya, sedangkan zona inti dan zona rimba yang merupakan luasan terbesar (92,41%) tidak boleh dimanfaatkan.

Zona Pemanfaatan TNGR terdiri atas zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan khusus; sedangkan zona lainnya terdiri atas zona pemanfaatan tradisional dan zona rehabilitasi. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (3) sampai (6) Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional” ditegaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-masing zona ini sebagai berikut:

(1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi:

(9)

 

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;

d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;

e. Pembinaan habitat dan populasi;

f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan;

g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan.

(2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;

c. Pembinaan habitat dan populasi;

d. Penelitian dan pengembangan;

e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.

(3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi;

c. Penyelenggaraan upacara adat;

d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara- upacara ritual keagamaan/adat yang ada.

(4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat;

c. Rehabilitasi;

d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.

Berdasarkan ketentuan maka kawasan TNGR yang potensial dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat hanya dapat dilakukan di beberapa lokasi saja. Pada Tabel 26 disajikan hasil analisis potensi dan peluang kawasan TNGR sebagai media untuk pemberdayaan masyarakat.

Kajian ini didasarkan pada jenis kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-

(10)

 

masing (seperti yang dijelaskan di atas) dikaitkan dengan potensi dan peluang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat.

Tabel 26. Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat

No Zona Pengelolaan Luas (ha) Lokasi Keterangan

1 Zona Pemanfaatan 799,00

a. Zona Pemanfaatan Intensif 398,00 (1) Otak Kokok (171 ha) (2) Sebau (20 ha )

(3) Kembang Kuning (150 ha) (4) Senaru (57 ha)

Potensial Tidak

b. Zona Pemanfaatan Khusus 401,00

- ZPK Kultural/ budaya 75,00 (1) Sekitar Goa Susu, Goa Payung & Goa Manik (25 ha)

(2) Sekitar Danau Segara Anak (50 ha)

Tidak

- ZPK Wisata terbatas 326,00 (1) Jalan trail wisata: Sembalun, Kembang Kuning, Senaru, Torean dan Santong

(2) Shelter jalur Senaru, Sembalun dan Kembang Kuning

Potensial Tidak Tidak

2 Zona Lainnya 2.338,00

a. Zona Pemanfaatan Trad. 583,00 (1) Srijata (418 ha)

(2) Timbanuh (175 ha) Potensial Potensial b. Zona Rehabilitasi 1.755,00 (1) Gawah Akar (350 ha)

(2) Memerong (75 ha) (3) Lelongken (300 ha)

(4) Lingkung-Kembang Sri (350 ha) &

(5) Stiling-Lantan (300 ha) (6) Kekuang (380 ha)

Tidak

Berdasarkan ketentuan dan peraturan zona taman nasional dikaitkan dengan ketersediaan potensi dan perkembangan yang terjadi maka dari sejumlah lokasi (Tabel 26) dapat diidentifikasi beberapa lokasi TNGR yang potensial untuk dikembangkan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Dari hasil kajian dan analisis diperoleh ada 3 (tiga) lokasi TNGR yang potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu (1) Zona Pemanfaatan Intensif: Otak Kokok (171 ha), (2) ZPK Wisata Terbatas:

Jalan Trail Pendakian Sembalun, dan (3) Zona Pemanfaatan Tradisional: Srijata (418 ha) dan Timbanuh (175 ha).

Permandian Otak Kokok Gading merupakan objek wisata berupa air terjun yang diyakini masyarakat sekitar bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Di sekitar air terjun juga dibangun kolam renang dan gazebo/tempat- tempat peristirahatan. Tempat ini sudah cukup berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan lokal terutama pada hari-hari libur sehingga sangat potensial untuk dijadikan media pembelajaran dan penyadaran lingkungan, sekaligus menjadi media pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.

(11)

 

Jalur pendakian Sembalun merupakan jalur resmi yang ramai dilalui oleh penggemar wisata pendakian. Rute yang dilalui adalah Gerbang Sembalun Lawang-Pelawangan Sembalun - Puncak Rinjani membutuhkan waktu 11 - 14 jam. Jalur ini merupakan padang savana dan punggung gunung yang berliku-liku dengan jurang di sebelah kiri dan kanan jalur. Dibanding jalur Senaru, jalur pendakian ini tidak terlalu terjal, akan tetapi melintasi padang savana sehingga menjadikan perjalanan di jalur ini kurang nyaman akibat teriknya sinar matahari.

Karena sepanjang jalur ini masih merupakan padang savana, maka sangat berpeluang untuk ditanami berbagai jenis pohon kayu (endemik lokasi).

Di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional (Srijata dan Timbanuh), masyarakat selama ini hanya memungut/mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari wilayah ini, yaitu berupa nangka (Arthocarpus heterophyllus), pakis sayur (Displazium esculentum), dan rumput pakan atau alang-alang (Imperata cylindrica). Di masa yang akan datang kawasan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai jenis pohon kayu endemik lokasi sehingga dapat dijadikan wadah untuk pembedayaan ekonomi masyarakat sekitar.

Pengembangan wilayah ini selain dapat meningkatkan/memperbaiki kondisi biofisik TNGR (peningkatan vegetasi dan tutupan lahan), juga akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar melalui partisipasinya dalam pengembangan bibit, penanaman dan pemeliharaan.

Lokasi-lokasi lainnya untuk saat ini kurang potensial untuk pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai akibat dari berbagai kendala. Sebau misalnya, lokasi ini merupakan tempat permandian air panas yang dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat mengobati berbagai penyakit kulit (seperti panu, kadas, dan kurap). Namun demikian tempat ini hanya dikunjungi orang-orang tertentu saja sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Disamping itu, lokasinya berbatasan dengan hutan lindung sehingga jika lokasi ini dikembangkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan dan kerawanan terhadap kawasan hutan lindung di sekitarnya. Begitu pula halnya dengan tempat permandian air panas lainnya, yaitu Aik Kalaq di hulu Kali Putih (± 100 m dari Segara Anak), Goa Susu, Goa Taman, dan Goa Payung.

Objek wisata lainnya adalah Air terjun Jeruk Manis yang mempunyai ketinggian ± 30 m terletak di Desa Kembang Kuning di bagian Selatan kawasan Taman Nasional belum banyak berkembang sehingga pengunjungnya masih

(12)

 

relatif terbatas dibandingkan Otak Kokok Gading, Joben. Daerah sekitar air terjun selain mempunyai panorama alam yang indah juga dapat melihat atraksi alam berupa tingkah laku lutung (Tracyphitecus auratus cristatus) dan burung elang.

Daerah ini diperkirakan merupakan habitat kedua satwa tersebut yang memiliki populasi terbesar di kawasan TNGR.

Di lokasi pintu masuk pendakian Senaru, berpeluang untuk pengembangan usaha kerajinan (souvenir), akan tetapi karena kegiatan pendakian hanya dilakukan pada musim kemarau, maka keberlanjutan dan kesimabungan usaha sulit dipertahankan. Begitu pula dengan jalur pendakian Senaru, zona pemanfaatan di sepanjang jalur pendakian ini berupa kawasan hutan dengan vegetasi tumbuhan yang cukup rapat (bukan savana seperti jalur pendakian Sembalun). Sementara itu untuk zona rehabilitasi, pada saat penelitian ini dilakukan telah dilakukan kegiatan reboisasi dan bahkan kawasan tersebut telah menjadi hutan kembali dengan berbagai jenis pohon.

8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR

Selain potensi biofisik TNGR, lahan pertanian/kebun milik masyarakat yang berada di sekitar TNGR merupakan potensi yang berpeluang untuk dioptimalkan pemanfaatnnya berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat.

Begitu pula halnya dengan berbagai potensi obyek wisata alam yang berada di kawasan TNGR merupakan peluang yang sangat potensial untuk diberdayakan secara optimal

Dari segi tataguna lahan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 17, nampaknya yang berpeluang untuk pengembangan ekonomi masyarakat adalah lahan kering karena ketersediaannya relatif luas dibandingkan lahan sawah.

Lahan-lahan milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR atau yang berada di sekitarnya umumnya berupa lahan kering/tegal. Selama ini berbagai kegiatan dilakukan masyarakat di lahan tegal/kebun, mulai dari usahatani padi ladang hingga pengembangan berbagai komoditi perkebunan seperti kopi dan kakao serta buah-buahan seperti mangga, pisang, dan alpokat.

(13)

 

Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).

Dari Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa potensi/ketersediaan lahan kering di sekitar TNGR cukup luas. Lahan kering ini umumnya berupa tegal/kebun yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu selain digunakan untuk berbagai kegiatan usahatani dan perkebunan, lahan ini sangat potensial untuk pengembangan rumput pakan ternak. Sementara jenis penggunaan lainnya berupa ladang/huma, hutan, dan kolam/lebak/empang.

8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Rinjani

Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) diaplikasikan pada beberapa lokasi dengan melibatkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan secara langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman Bawah Tegakan, dan lain-lain.

Akses pemanfaatan hutan yang dibuka luas ternyata belum sejalan dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan sehingga masih diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan.

Pengembangan PHBM yang telah diimplementasi sudah menunjukkan tingkat keberhasilan secara ekonomi dan sosial tetapi secara fisik masih belum menunjukkan hasil yang nyata karena pada umumnya pengelola hutan masih

(14)

 

mengutamakan tanaman pangan. Berbeda dengan usaha yang dilakukan dengan komoditas tanaman perkebunan yang memerlukan naungan maka pengelola akan berusaha mempertahankan keberadaan, kondisi, dan potensi hutan. Jenis tanaman jangka panjang masih dipandang kurang menarik karena tidak disertai dengan property right yang akan memberi jaminan bagi penguasaan hasil nantinya. Pengalaman di wilayah Pesugulan Lombok Timur, (tahun 1980-an); ada kontrak pengelolaan hutan oleh masyarakat. Di lokasi kontrak masyarakat diwajibkan menanam kayu manis dan setelah masa kontrak berakhir masyarakat dikeluarkan dari hutan. Bersamaan dengan itu, karena merasa tidak memiliki hak atas kayu manis yang telah ditanam dan dipelihara bertahun-tahun, masyarakat kecewa dan membabat semua kayu manis yang ada di areal tersebut.

Rancang bangun (enginering) PHBM masih perlu diperbaiki dengan menetapkan kawasan-kawasan hutan yang dapat dikembangkan menjadi lokasi PHBM, menyusun komposisi jenis-jenis yang tepat untuk memberi ekspektasi ekonomi yang tinggi, menyusun mekanisme perizinan, perjanjian pengelolaan PHBM serta mengembangkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dan masyarakat dengan sumberdaya hutan. Hubungan yang kuat antara masyarakat dengan sumberdaya hutan serta kemitraan masyarakat dengan pemerintah akan mendorong terjaganya hutan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih permanen, berkelanjutan serta mampu meningkatkan ekspektasi ekonomi masyarakat.

Menurut laporan hasil Studi Lapang Praktik-Praktik Sosial Forestry di Pulau Lombok ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Kondisi vegetasi hutan di areal HKm Desa Santong dan Desa Sesaot berupa campuran tanaman pohon-pohonan jenis MPTS dan kayu-kayuan dengan kerapatan cukup tinggi dan cukup beragam walaupun jenis kayu-kayuan relatif sedikit dibandingkan dengan MPTS. Kondisi tersebut menimbulkan kesan vegetasi di areal HKm tersebut bukan merupakan struktur hutan sebagaimana yang dibayangkan dimana jenis kayu-kayuan masih dipandang sebagai komoditi utama, walaupun dari kerapatan dan stratifikasinya sudah dapat dikatakan sebagai hutan. Dalam proses pembelajaran di lapangan terjadi perdebatan tentang komposisi jenis dan tingkat kerapatan bagaimana

(15)

 

yang dapat mengakomodir kepentingan kehutanan sekaligus kepentingan kebutuhan masyarakat.

2. Di lokasi HKm ada keengganan masyarakat menanam kayu, baik di Desa Sesaot, Desa Santong maupun Desa Sambelia, disebabkan antara lain oleh:

(a) Sempitnya lahan garapan (kurang dari 0,25 ha/KK).

(b) Sampai saat ini belum ada kepastian hak masyarakat terhadap tanaman kayu-kayuan di hutan. Hal ini menyebabkan kontraproduktif terhadap kegiatan-kegiatan positif yang sudah dilakukan. Misalnya upaya rehabilitasi di Sambelia dan reboisasi di Santong sudah menunjukkan harapan keberhasilan dimana tanaman sengon sudah berdiameter di atas 20 cm dan tinggi di atas 15 meter. Namun dengan tidak adanya kepastian hak, masyarakat cenderung secara diam-diam menebang untuk mendapatkan lahan garapannya kembali.

(c) Kebijakan yang tidak mendorong bahkan menghambat masyarakat untuk mau menanam jenis kayu, antara lain pengaturan sharing benefit yang tercantum dalam Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003, yaitu untuk jenis kayu-kayuan dengan komposisi 80% bagian pemerintah dan 20% untuk masyarakat; sedangkan untuk jenis non kayu sebaliknya.

8.4 Peraturan Perundangan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

Dari hasil identifikasi dan kajian terhadap peraturan perundangan, ditemukan sejumlah peraturan (regulasi) yang berkenaan dengan pengelolaan hutan (termasuk TNGR) yang mengedepankan partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Regulasi tersebut berupa Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Surat Keputusan (SK) Gubernur dan Perda Kabupaten. Adapun untuk regulasi non formal yang diidentifikasi adalah berupa kearifan lokal masyarakat (pengetahuan lisan) yang diturunkan antar generasi berupa kesepakatan dan ketentuan lokal (awig-awig) yang harus dipatuhi semua warga (saat ini sedang dirancang Perda Pengukuhan Keberadaan Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan Adat).

Hasil identifikasi regulasi tertulis berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutanan adalah sebagai berikut:

(16)

 

(1) UU No 5/1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya”

Dalam Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 37 dinyatakan bahwa masyarakat harus berperanserta dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

(2) UU No 23/1997 tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup”

Bab III tentang hak, kewajiban dan peranserta masyarakat; pasal 5 dan pasal 6 mengatur tentang aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) UU No 9/1990 tentang “Kepariwisataan”

Bab IV tentang peranserta masyarakat; pada pasal 30 dinyatakan bahwa masyarakat memiliki kesempatan berperanserta dalam penyelenggaraan kepariwisataan

(4) UU No 41/1999 tentang “Kehutanan”

Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 70 dinyatakan bahwa masyarakat harus turut berperanserta dalam pembangunan kehutanan.

(5) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan”

Bagian IX Pasal 51 mengatur tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan

(6) PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat.

Pasl 19 ayat (2): perlindungan hutan yang diserahkan kepada hukum adat dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam penda propinsi dan/atau pemda kabupaten/kota

(7) PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan”; (Diganti dengan PP No 3 Tahun 2008)

Bagian kesebelas: Pemberdayaan Masyarakat Setempat; pasal 83, 84, dan 87 mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat

(8) Peraturan Menteri Kehutanan No P.01/Menhut-II/2004 tentang

“Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry”

(17)

 

Pasal 2 sampai dengan pasal 11 menjelaskan secara terperinci tentang pemberdayaan masyarakat berkenaan dengan soscial forestry.

(9) Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 tentang ”Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam”

Bab III tentang pelaksanaan kolaborasi pengelolaan telah mengatur secara detail dan terperinci mengenai mekanisme kolaborasi pengelolaan kawasan hutan. Pada Bab IV juga membahas tentang mekanisme pembinaan dan pengendalian kolaborasi pengelolaan yang dilakukan tersebut.

(10) Peraturan Menteri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 tentang ”Pedoman Zonasi Taman Nasional”

Bab IV Pasal 19 mengatur tentang peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional

(11) SK Gubernur NTB No. 15/2003 tentang ”Pembentukan Badan Pembina Trekking Rinjani (RTMB)”

Bab VIII tentang tatacara pengambilan keputusan; pada pasal 14 dinyatakan bahwa keputusan yang menyangkut kebijakan Rinjani Trek Management Board (RTMB) dilakukan melalui rapat yang berdasarkan musyawarah dan mufakat.

(12) SK Gubernur NTB No. 339/2001 tentang ”Pembentukan Tim Kaji Tindak Partisipatif dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani”.

Dalam Surat Keputusan ini dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah TNGR dan sumberdaya alamnya dilakukan secara partisipatif dengan mengedepankan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

(13) Perda Lombok Barat No 4 Tahun 2007 tentang ”Pengelolaan Jasa Lingkungan”

Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk membantu institusi multi pihak dalam pengelolaan jasa lingkungan harus ada wakil dari masyarakat setempat.

(18)

8.5 Model Pemberdayaan

8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan” mengamanatkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Adapun kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi.

Sejalan dengan adanya paradigma baru secara global bahwa pengelolaan hutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Hal ini tercermin dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Dengan adanya konsep tersebut, maka sejak tahun 1984/1985 di Indonesia dikembangkan program

‘perhutanan sosial’ (Social Forestry). Tujuannya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih serasi dan seimbang antara petugas kehutan dan masyarakat sekitar hutan serta dikembangkan pula berbagai program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang bersifat aspiratif, partisipatif, kolaboratif, dengan melibatkan para pihak (multistakeholders), seperti pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pakar dan LSM.

Berkenaan dengan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berkelanjutan, perlu diciptakan keharmonisan masyarakat dengan biofisik TNGR.

Dalam hal ini pemanfaatan TNGR harus dilakukan secara lestari dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena itu harus dibangun model pemberdayaan masyarakat yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR) atau disingkat “MAHAR- RINJANI” (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Penyusunan model ini dilatarbelakangi adanya disharmonisasi antara masyarakat dengan TNGR, yaitu eksploitasi hasil hutan kayu (HHK) oleh masyarakat di kawasan TNGR.

Gambar 18 mengilustrasikan rumusan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, dan kelembagaan secara komprehensif. Aspek ekonomi dan ekologi serta peraturan-perundangan lebih ditekankan sebagai dasar penyusunan bentuk kegiatan pemberdayaan, sedangkan aspek sosial budaya dan kelembagaan dijadikan dasar penyusunan strategi pemberdayaan.

(19)

Gambar 18. Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR

Daya Dukung Sumberdaya Seksi Pemberdayaan

Kws Penyangga (SPKP)

SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI Prioritas Peternakan

Sapi

Biofisik - Lokasi - WTP Ekonomi

- Pengelr makan - Pendap L. Htn - Terlibat HKm - Pelihara Sapi Sosbud

- Kebiasaan Lokal

Permenhut: P.56/2006 PP 6/2007; PP 3/2008

MODEL PEMBERDAYAAN MASY:

“MAHAR-RINJANI”

Masy. Sekitar TNGR Aspek Ekonomi

Ekstraksi HHK

Alternatif Kegt Ek. Produktif Peghasilan RT kecil

Lap Kerja Luar Hutan terbatas

Ketergantungan thd Hutan tinggi Kebt. RT tdk tercukupi

Ancaman Kerusakan TNGR Tinggi

Akt. Ek. Masy.

- Petani = 51%

- Buruhtani = 24%

- Peternak = 12%

- Lainnya = 13%

Aspek Kelembagaan - Klp Masy Adat - Awig-awig - Tata Nialai Masy

Potensi Biofisik

TNGR

- Jalur Pendakian Sembalun - Obyek Wisata “Otak Kokok” Joben - Zona Pemanfaatan TNGR

Kws Penyangga TNGR - Lahan milik

(sawah, kebun) - Pekarangan

Arboretum Terpadu TNGR

Hutan Keluarga Hutan Kompensasi Pendakian Bewawasan Lingk

Pengembangan HHBK Peternakan Sapi Posko Pengaduan TNGR Kesra (+) &

Kelest TNGR (+)

Kesra (+) &

Kelest TNGR (0)

Kesra (0) &

Kelest TNGR (0)

Pendekatan:

Prtisipatif Kolaboratif Komprehensif

Orientasi:

Masy Harmonis dengan Hutan Berkerlanjutan Pelaksanaan: 3 tahap

1. Penyadaran 2. Pengkapasitasan

3. Pendayaan STRATEGI PEMBERDAYAAN

Masy TNGR

Aspek Pemberdayaan

Ekonomi Sosbud Kelembagaan Aspek Sosbud

Kesadaran LH tinggi Kepedulian LH rendah

Benturan Nilai Kearifan lokal dg kebt ekonomi Persepsi sedang

Penilaian Ek. tinggi Partisipasi rendah

Kriteria:

PP 34/2002; Psl 15 (3) - Ekonomi

- Ekologi - Sosbud

(20)

Model dan strategi serta bentuk kegiatan pemberdayaan yang dirumuskan merupakan hasil sintesis dari kajian dan analisis terhadap berbagai fakta dan fenomena berkenaan dengan keberadaan dan interaksi masyarakat dengan TNGR. Telaahan dan analisis tidak hanya dilakukan pada data dan informasi faktual saat ini (data primer), melainkan juga dilakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta laporan dan hasil-hasil kajian sebelumnya termasuk program dan kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Balai TNGR dan/atau lembaga lainnya.

Pada Gambar 18 di atas dapat dilihat bahwa setiap aspek pemberdayaan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi dengan aspek lainnya. Gangguan terhadap salah satu aspek akan dapat mempengaruhi aspek lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan belum diwujudkan dalam bentuk tindakan riil sebagai akibat adanya tuntutan kebutuhan ekonomi rumahtangga.

Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal mengalami benturan dan cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa aspek ekologi/biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya secara bersama-sama mempengaruhi interaksi HHK sehingga dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan, ketiga aspek ini harus dibenahi secara komprehensif. Meski demikian, kunci utama pemberdayaan adalah aspek ekonomi karena aspek ini memiliki hubungan (korelasi) positif yang nyata (significant) dengan partisipasi dalam pengelolaan TNGR. Tanpa ada upaya peningkatan pendapatan, maka interaksi HHK seperti yang terjadi saat ini akan terus berlangsung, bahkan akan semakin berkembang.

Selanjutnya untuk menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan eksistensi TNGR, maka ditetapkan 2 (dua) sasaran utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu kelestarian TNGR dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini parameter yang dijadikan penentu kesejahteraan adalah pendapatan/

penghasilan rumahtangga serta ukuran kelestarian adalah kondisi biofisik TNGR.

Berkenaan dengan kedua kriteria di atas, maka berdasarkan hasil kajian dan analisis dapat dirumuskan model-model pemberdayaan masyarakat di Kawasan TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Adapun alternatif kegiatan yang diajukan pada masing-masing model pemberdayaan didasarkan pada pertimbangan potensi (baik potensi TNGR maupun potensi kawasan penyangga TNGR) dan peluang pengembangan yang tersedia.

(21)

Tabel 27 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR No Sasaran Pemberdayaan Model Bentuk Kegiatan

Kesmas Kelestarian Pemberdayaan Pemberdayaan

1 Meningkat Meningkat Model I 1. ArboretumTerpadu TNGR 2. Pendakian Berwawasan L

3. Hutan Kompensasi 2 Menigkat Tetap Model II 1. Hutan Keluarga

2. Peternakan Sapi 3. Usaha Kecil HHBK 3 Tetap Tetap Model III Posko Pengaduan TNGR

Dari tiga model pemberdayaan yang disajikan pada Tabel 27 di atas, Model I (pertama) merupakan model yang paling ideal untuk dikembangkan di Kawasan TNGR. Selain meningkatkan daya dukung TNGR, model ini juga sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, model I (pertama) merupakan model yang berorientasi ekologi dan sekaligus ekonomi masyarakat. Model II (kedua) lebih mengutamakan kesejahteraan ekonomi (peningkatan pendapatan) dibandingkan ekologi atau model yang berorientasi ekonomi. Model ini memungkinkan untuk mempertahan- kan kelestarian TNGR karena terjadi peningkatan pendapatan masyarakat sehingga partisipasi dalam pelestarian TNGR juga meningkat. Dalam hal ini diasumsikan masyarakat akan ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan atau minimal tidak melakukan penebangan liar manakala memiliki mata pencaharian tetap yang dapat menopang kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya bahwa peningkatan pendapatan dari luar kehutanan akan dapat meredam atau menurukan interaksi HHK masyarakat. Model III (ketiga) diperuntukkan khusus bagi masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap kelestarian TNGR tanpa mengharapkan imbalan atau isentif ekonomi.

Model lainnya yang lebih menekankan pada aspek ekologi (Pendapatan masyarakat tetap sedangkan kelestarian TNGR meningkat), nampaknya sulit untuk dilaksanakan. Meningkatkan kondisi biofisik TNGR tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan masyarakat sekitar sulit untuk dilaksanakan. Kenyataan ini didasarkan pada hasil kajian dan analisis sebelumnya bahwa masyarakat di sekitar kawasan TNGR akan berpartisipasi dalam pemeliharaan TNGR atau sumberdaya hutan lainnya manakala ada insentif atau manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Disamping itu tata nilai dan kearifan

(22)

lingkungan mengalami benturan dengan kebutuhan ekonomi keluarga; dan biasanya pemenuhan kebutuhan ini menjadi prioritas yang lebih diutamakan.

Bentuk kegiatan pada setiap model pemberdayaan sebagaimana disajikan pada Tabel 27 di atas memiliki spesifikasi tersendiri serta memilki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Deskripsi dari setiap bentuk kegiatan yang diajukan dijabarkan sebagai berikut:

1) Arboretum Terpadu TNGR

Di wilayah Resort Joben (wilayah TNGR Bagian Selatan), terdapat zona pemanfaatan intensif seluas 171 ha. Di lokasi ini terdapat objek wisata berupa air terjun dan kolam permandian yang setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal dan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Selain sebagai lokasi wisata, masih tersedia areal yang cukup luas berupa padang savana. Di areal ini sejak tahun 2004 telah mulai dilakukan penanaman pohon- pohon endemik lokasi hingga saat penelitian ini dilakukan (Februari 2008) telah mencapai 20 ha. Dengan demikian areal lahan yang tersedia masih cukup luas dimana saat ini masyarakat diberikan akses untuk mengambil rumput pakan ternak dengan catatan tidak boleh mengganggu pohon yang berada di lokasi yang bersangkutan.

Di lokasi ini, Petugas Ekosistem Hutan (PEH) TNGR sejak tahun 2003 melakukan pembinaan populasi tumbuhan yang ada di Pulau Lombok, yaitu melakukan koleksi dan perbanyakan tumbuhan (terutama yang ada di kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Ikatan Keluarga Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas (IKA SKMA). Di tempat ini juga telah mulai dirintis penangkaran dan pembinaan populasi kupu-kupu, tanaman hias (anggrek), ikan hias, dan lebah madu.

Berdasarkan potensi yang tersedia serta perkembangan yang terjadi, maka kawasan ini potensial untuk pengembangan Arboretum Terpadu TNGR.

Daerah ini cukup strategis mengingat lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan objek wisata di kawasan ini setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal.

Pengadaan Arboretum terpadu TNGR dimaksudkan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat sekitar berkenaan dengan pengembangan flora dan fauna. Untuk mewujudkan lokasi ini sebagai media pembelajaran (termasuk hutan pendidikan), maka areal yang tersedia ini dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat baik secara

(23)

perorangan maupun berkelompok. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah: budidaya kayu hutan (endemik), green house dan penangkaran untuk uji coba berbagai jenis flora dan fauna khas Rinjani, dan demplot percontohan ekosistem hutan. Disamping itu masyarakat dapat diberikan pelatihan keterampilan dan praktek lapangan tentang teknik budidaya dan pembiakan tanaman (vegetatif dan generatif), pembuatan kompos, serta keterampilan budidaya lainnya. Diharapkan dengan media pembelajaran ini, selain meningkatkan kesadaran lingkungan, masyarakat termotivasi untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman secara komersial guna meningkatkan pendapatan keluarga, misalnya pengembangan anggrek.

Selain menjadi media pembelajaran, kawasan ini juga sekaligus dapat dijadikan showroom yang memamerkan dan menjual berbagai jenis bunga dan bibit tanaman (khususnya khas Rinjani). Dalam hal ini bunga dan bibit tanaman yang ditawarkan adalah hasil dari masyarakat sekitar. Disamping itu untuk lebih meningkatkan kesadaran, penghayatan, dan daya tarik masyarakat terhadap pelestarian hutan, maka secara berkala dilakukan pemutaran film dokumenter tentang kehutanan, meliputi dampak kerusakan hutan, pelaku pembalakan, dan kejadian-kejadian di berbagai daerah sebagai akibat kerusakan hutan. Sasaran utama pemutaran film dokumenter ini tidak hanya masyarakat sekitar, melainkan juga para pengunjung yang datang berwisata ke tempat ini, terutama anak-anak sekolah. Untuk keperluan tersebut perlu dibangun gedung/ruang bioskop lingkungan.

Areal yang tersedia untuk pengembangan berbagai kegiatan di atas masih cukup luas, yaitu 171 ha sehingga cukup potensial sebagai media pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan Arboretum Terpadu TNGR ini memang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar, namun dalam jangka panjang dapat memberikan keuntungan dan dampak positif yang cukup besar, baik bagi keberlanjutan eksistensi TNGR maupun pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Dampak positif dimaksud antara lain: (1) peningkatan keterampilan pembiakan tanaman, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan kesadaran lingkungan hidup, (4) penciptaan lapangan kerja/usaha baru, dan (5) peningkatan daya dukung TNGR.

2) Pendakian Berwawasan Lingkungan

Di sepanjang jalur pendakian Sembalun, mulai dari pintu masuk hingga Pos 3 (± 7 km) umumnya berupa padang alang-alang dan hampir tidak ada

(24)

pohon kayu di sekitarnya, padahal pendakian melalui jalur ini cukup ramai dibandingkan dengan jalur lainnya. Karena itu untuk memberikan kesejukan bagi para pendaki dapat dilakukan penanaman pohon pelindung di sepanjang jalur pendakian. Penanaman pohon ini dapat dilakukan mengingat sepanjang jalur pendakian merupakan Zona Pemanfaatan Khusus Wisata Terbatas. Kegiatan ini juga sesuai dengan rencana Balai TNGR untuk menanam berbagai jenis pohon di sepanjang jalur pendakian ini, yaitu masing-masing 2 baris di sebelah kanan dan kiri jalan dengan jarak tanam 5 x 5 m. Dengan demikian jumlah pohon yang dapat dikembangkan di sepanjang jalur pendakian (7 km) adalah sebanyak 1 400 pohon untuk setiap baris sehingga jumlah keseluruhan adalah 5 600 pohon.

Metode pelaksanaannya adalah: setiap pendaki secara perorangan atau berkelompok diharapkan membeli satu atau lebih paket tanaman, meliputi bibit, infus, air, label, kompos, dan keranjang secara lengkap atau sebagian paket sesuai dengan keinginan pendaki. Pelaksanaan penanaman dan pemasangan sarana penunjang lainnya dilakukan sendiri oleh pendaki dibantu oleh porter yang menyertainya. Kepada setiap pendaki diharapkan untuk menanam 1 atau lebih pohon di sepanjang jalur pendakian disertai pemberian label nama pendaki yang melakukan penanaman. Namun yang perlu diantisipasi adalah pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau sehingga peluang tumbuh dan berkembangnya tanaman ini relatif kecil. Untuk itu pada setiap batang pohon yang ditanam perlu disiapkan botol berisi air (sejenis infus) agar tanah di sekitar pangkal batang tetap lembab. Selain itu untuk menjaga keamanan tanaman dari gangguan ternak, maka setiap pohon yang baru ditanam harus diberikan keranjang/gorong-gorong (anyaman bambu).

Berkenaan dengan program di atas, pengadaan dan perbanyakan bibit, keranjang pengaman, kompos, dan infus air disiapkan oleh masyarakat sekitar (masyarakat lokal) dan disalurkan melalui koperasi yang berada di pintu masuk pendakian. Selain itu koperasi juga menyiapkan label nama yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan pesanan para pendaki.

Untuk mempersiapkan semua perlengkapan ini tentunya masyarakat sekitar harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, baik untuk kegiatan pembibitan maupun untuk membuat perlengkapan lainnya. Jenis bibit yang dibuat disesuaikan dengan jenis endemik yang ada di wilayah TNGR khususnya di wilayah Resort Sembalun. Sementara untuk keperluan lainnya dilakukan pembinaan keterampilan kerajinan (anyaman) kepada masyarakat

(25)

sekitar (prioritas masyarakat tuna lahan dan/atau ibu rumahtangga). Jenis kerajinan yang dibuat diarahkan untuk pembuatan barang-barang keperluan pendakian; berbahan baku lokal seperti bambu.

Beberapa jenis produk yang dibutuhkan untuk pendakian adalah:

keranjang untuk mengangkut barang-barang keperluan pendaki, keranjang/

gorong-gorong untuk tanaman, topi dari bambu/lontar/daun kelapa untuk para pendaki. Selain untuk keperluan pendakian, produk yang dihasilkan juga untuk keperluan masyarakat seperti bakul, keranjang sayur dan berbagai bentuk hasil kerajinan suvenir.

Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini dan langsung dapat dirasakan adalah peningkatan kesejukan sepanjang jalur pendakian serta peningkatan daya dukung TNGR. Akan tetapi karena kegiatan pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau, maka dapat diduga bahwa tingkat keberhasilan tumbuh relatif kecil. Terlebih lagi dengan kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi akan mengakibatkan tanaman di sekitarnya ikut terbakar.

3) Hutan Kompensasi

Hutan Kompensasi yang dimaksudkan adalah pengembangan/

penanaman pohon kayu (endemik kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar. Namun berdasarkan hasil kajian dan analisis, setiap keterlibatannya dalam pengelolaan hutan, masyarakat selalu mengharapkan imbalan/insentif ekonomi. Mereka tidak akan mau berpatisipasi secara murni (termasuk menanam kayu di kawasan TNGR) tanpa ada imbalan yang diharapkan di kemudian hari. Sikap inilah yang antara lain menyebabkan kegagalan tumbuh dan berkembangnya kayu di beberapa lokasi HKm di Pulau Lombok, bahkan ada kesan enggan bagi sebagian masyarakat peserta HKm membiarkan kayu tumbuh besar karena akan dapat mengganggu tanaman MPTS-nya. Fenomena yang sama terjadi di kawasan pengembangan jalur hijau TNGR, ada kecenderungan bahwa yang dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat adalah tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi seperti nangka dan durian. Berdasarkan fenomena ini maka untuk menjamin agar kayu yang dikembangkan dapat tumbuh dengan baik, maka kepada masyarakat harus diberikan insentif atau kompensasi sesuai dengan perjanjian.

(26)

Pengembangan hutan kompensasi ini berpeluang untuk dilaksanakan di wilayah bagian selatan TNGR yang merupakan Zona Pemanfaatan Tradisional seluas 583 ha yang berlokasi di Srijata (Resort Joben) seluas 418 ha dan Timbanuh (Resort Kembang Kuning) seluas 175 ha. Kawasan Srijata selama ini memang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Perian untuk memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa nangka, pakis sayur, dan rumput. Di kawasan ini banyak terdapat pohon bajur, mahoni, Sonokeling, Dadap, Durian, Nangka, dan kopi. Meski demikian, di beberapa tempat terutama di bagian pinggir masih terdapat lahan-lahan terbuka. Agar lebih bermanfaat baik dari aspek konservasi maupun peningkatan pendapatan masyarakat, maka lokasi ini dapat dikembangkan menjadi hutan kompensasi. Di kawasan Timbanuh juga banyak ditemukan pohon bajur, sonokeling, mahoni, dan nangka serta di beberapa tempat masih berpeluang untuk dikembangkan. Lokasi lainnya yang memungkinkan untuk dijadikan hutan kompensasi adalah di zona pemanfaatan intensif Joben (di sekitar tempat pengembangan Arboretum).

Mekanisme pelaksanaannya adalah melibatkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pembibitan, penanaman (kayu endemik kawasan) berikut pemeliharaannya; selanjutnya kepada para pelaku diberikan kompensasi sesuai kesepakatan. Jadi secara sederhana masyarakat boleh menjual pohon kayu yang ditanam di wilayah TNGR, akan tetapi harus dijual ke pihak TNGR dan tidak boleh ditebang. Peserta yang dilibatkan diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki lahan usahatani (tuna lahan). Mengenai besarnya nilai kompensasi, batas waktu minimal baru boleh kompensasi, dan aturan-aturan main lainnya ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat dengan pihak pengelola.

4) Hutan Keluarga

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian masyarakat sekitar kawasan TNGR hidupnya sangat tergantung pada sumber daya hutan.

Menyadari semua ini maka diperlukan upaya menggalakkan program pengembangan hutan keluarga dengan tujuan mengurangi ketergantungan serta meminimalisasi potensi kerusakan TNGR. Selain itu dengan pengembangan hutan keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber perekonomian keluarga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan/kebun milik masyarakat yang berada di kawasan penyangga TNGR.

Hutan Keluarga ini dapat dikembangkan di kebun-kebun milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR. Karena itu sasaran pembinaan

(27)

pengembangan hutan keluarga ini adalah masyarakat lokal yang memiliki lahan di sekitar TNGR. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka secara spasial wilayah yang potensial untuk pengembangan hutan keluarga ini adalah di bagian selatan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, serta sebagian Resort Aikmel, dan Sembalun.

Dalam hutan keluarga, berbagai jenis kayu dapat dikembangkan baik untuk kayu bahan bangunan/industri maupun untuk kayu bakar. Prospek pengembangan kayu (terutama kayu bakar) cukup besar ditinjau dari sisi permintaan. Sebagai gambaran, data dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB menunjukkan bahwa defisit hasil hutan untuk kayu bangunan di NTB cukup tinggi, yaitu 80 000 m3 per tahun sementara kebutuhan kayu bakar sekitar 480 000 m3 per tahun. Dengan jumlah kebutuhan ini, hutan NTB belum mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar.

Saat ini di 37 desa yang berada di kawasan TNGR terdapat 50 913 rumahtangga menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak (Lampiran 15).

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata setiap rumahtangga (dengan jumlah anggota keluarga 4 orang) membutuhkan 10 ikat atau 0,14 m3 kayu bakar per bulan. Jadi dengan demikian maka total kebutuhan kayu bakar untuk masyarakat di sekitar TNGR sebanyak 7 128 m3 setiap bulannya atau sebesar 85 534 m3 per tahun. jika 1 (satu) pohon mahoni umur 10 tahun memiliki volume kayu rata-rata 0,5 m3, maka untuk mencukupi keperluan kayu bakar masyarakat di sekitar TNGR saja harus menebang 171 067 pohon (jumlah yang cukup besar). Diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah tidak hanya untuk masyarakat di pinggir kawasan, melainkan juga masyarakat yang berada jauh di luar kawasan.

Lebih lanjut jika subsidi BBM dicabut maka para petani Tembakau Virginia di Pulau Lombok yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk melakukan pengomprongan, akan beralih menggunakan kayu bakar. Diperkirakan kebutuhan kayu bakar untuk pengomprongan tembakau mencapai 60 000 truk atau setara dengan 480 000 m3 per tahun dengan asumsi jumlah oven pengomprong 14 000 unit. Implikasinya akan terjadi peningkatan kerawanan hutan secara keseluruhan (termasuk TNGR) sehingga harus segera diantisipasi. Salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah pengembangan hutan keluarga dengan menanam jenis-jenis pohon yang cepat menghasilkan kayu bakar .

Salah satu jenis kayu yang potensial dikembangkan adalah mahoni.

Alasannya, selain pertumbuhannya relatif cepat, pasar lokal (permintaan setempat) untuk jenis kayu ini cukup besar, terutama sebagai bahan baku industri kerajinan

(28)

kayu (ukiran) yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Lombok. Kayu mahoni ini cukup diminati oleh pengrajin karena seratnya halus dan kayunya keras sehingga memudahkan proses pengolahan dengan kualitas hasil kerajinan lebih bagus.

Sebagai gambaran, hasil penelitian Sukardi, et al. (2001) menunjukkan bahwa rata- rata kebutuhan kayu mahoni untuk 1 unit usaha kerajinan ukir di Kecamatan Labuapi Lombok Barat sebesar 36,5 m3 per bulan. Sementara itu jumlah pengrajin di seluruh Pulau Lombok mencapai lebih dari 100 unit.

Selain mahoni, jenis kayu lainnya yang dapat dikembangkan adalah albasia (sengon). Kayu albasia memiliki prospek pasar yang cukup tinggi, dimana permintaannya bukan hanya di dalam negeri, namun juga datang dari mancanegara. Kayu ini dipergunakan antara lain untuk bahan bangunan, peralatan rumah tangga, sampai pada bahan baku kertas dan kayu lapis. Kayu albasia setelah mengalami proses pengeringan dan perlakuan lainnya dapat dibuat peralatan rumah tangga yang memiliki keawetan cukup lama. Dengan penggunaan yang multidimensi tersebut permintaan akan terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk.

Khusus di wilayah Resort Sembalun, pengembangan tomat dilakukan dengan menggunakan ajir (bahasa setempat “pemanju”) sebagai penyangga batang tomat, dimana setiap ajir panjangnya 1 – 1,5 m. Pada umumnya ajir ini dibuat dari kayu/ranting kayu yang diperoleh dari wilayah setempat (kebun dan/atau hutan). Kebutuhan ajir untuk setiap hektar tanaman tomat adalah sebanyak 60 ribu batang. Sebagai gambaran, areal pengembangan tomat di wilayah Sembalun pada tahun 2007 adalah seluas 500 ha. Jadi secara keseluruhan membutuhkan ajir sebanyak 30 juta batang. Permintaan ajir ini setiap tahunnya secara rutin terus terjadi karena selama ini ajir hanya dipakai untuk satu kali musim tanam (satu tahun). Melihat potensi permintaan yang cukup besar ini, maka pengembangan kayu ajir memiliki prospek yang cukup besar. Menurut informasi dari tokoh masyarakat setempat, jenis pohon yang pertumbuhannya cepat untuk dijadikan ajir adalah “Kaliandra”.

Selain sebagai ajir, Kaliandra telah digunakan secara luas untuk pakan ternak karena daun, bunga, dan tangkai mempunyai kandungan protein 20-25%

(Roshetko 2002). Wina dan Tangendjaja (2000) menegaskan bahwa pemanfaatan Kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya performans produksi tetapi performans reproduksi ternak juga meningkat. Baik ternak ruminansia kecil

(29)

maupun yang besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput. Lebih lanjut Tangendjaja et al. (1992) dan Bulo et al. (1992) menyimpulkan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi.

Keunggulan lain dari tanaman ini adalah cepat tumbuh dan memiliki kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Dengan karakteristik ini maka kaliandra sangat perpotensi untuk ajir dan kayu bakar. Meskipun kaliandra tumbuh dengan cepat, kayunya cukup padat dan kering dengan cepat dan mudah terbakar. Setelah pemangkasan, tunas dapat tumbuh dengan cepat dan lebat membentuk batang yang baru. Ciri ini membuat kaliandra menjadi kayu bakar dan kayu arang yang ideal. Keberhasilan awal kaliandra di Jawa terutama disebabkan oleh tingginya produksi kayu bakar berkualitas. Kayunya mempunyai berat jenis 0.5 – 0.8 dan menghasilkan 4200 kkalori per kg kayu kering dan 7 200 kkalori per kg arang. Untuk produksi kayu bakar, kaliandra umumnya ditanam dengan jarak tanam 1 x 1 m atau 1 x 2 m. Batang dipangkas pada ketinggian 30 – 50 cm pada akhir musim kering (Ty et al. 1997). Hasil tahunan sangat bervariasi sesuai dengan tapak dan kondisi pengelolaan. Tanaman berumur 1 tahun dapat menghasilkan 5 – 20 m3/ha/th; dan yang berumur 20 tahun dapat menghasilkan 30 - 65 m3/ha/th (NRC 1983). Kaliandra juga merupakan sumber pakan yang penting untuk lebah madu. Diperkirakan usaha ternak madu tingkat petani dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun dari 1 ha tegakan kaliandra (Sila 1996). Jadi selain pertumbuhannya cepat, pengembangan Kaliandra dapat dipadukan dengan pemeliharaan ternak (terutama sapi), pemeliharaan/budidaya lebah madu, dan kegiatan usahatani sayuran (ajir). Keterpaduan ini akan beimplikasi pada lebih banyaknya masyarakat yang dapat diberdayakan sehingga menciptakan multiplier effect (tenaga kerja dan pendapatan) yang lebih besar terhadap perekonomian wilayah.

Kegiatan yang dilakukan pada hutan keluarga antara lain: (1) budidaya berbagai jenis kayu baik untuk keperluan kayu bakar, kayu bangunan atau untuk keperluan lain seperti kerajinan, sumber kayu ajir, pakan ternak, maupun sebagai

(30)

areal pakan lebah; (2) budidaya tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di bawah tegakan seperti empon-empon, rumput pakan ternak, dan tanaman semusim lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga jangka pendek. Dengan kegiatan ini maka output yang dihasilkan antara lain: kayu ajir, kayu bakar, kayu bangunan/kerajinan, pakan ternak, pakan lebah, dan rumput pakan ternak.

Contoh penerapan Hutan Keluarga yang telah menunjukkan keberhasilan adalah yang dikembangkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) di lingkar Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW), Sumba Timur – NTT yang dimulai sejak tahun 1993 (Trasform dan ICCON 2007).

Pengembangan hutan keluarga ini identik dengan hutan rakyat yang selama ini telah banyak dikembangkan di Indonesia. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Namun demikian permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat (Sukadaryati 2006), yaitu: (1) pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan, begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, dan (2) sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat; terlebih lagi bila masyarakat pemilik lahan dihadapkan pada persoalan ekonomi,

Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya (Wikipedia Indonesia):

1) Getah dan resin:

- Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan Kalimantan

- Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan

- Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan

- Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat

- Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan

- Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara 2) Buah-buahan:

- Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Maluku.

(31)

- Jambu mete (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa - Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa.

- Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan - Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.

- Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan - Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku

- Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa - Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan

3) Rempah-rempah lain:

- Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama Sumatera Barat dan Kerinci

- Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.

- Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.

4) Kayu-kayuan:

- Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah

- Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara

- Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah

5) Lain-lain:

- Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan

- Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor - Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.

5) Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi

Pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan dan bantuan daerah penyangga berupa bantuan sapi dan bantuan lainnya telah dilaksanakan Balai TNGR sejak Tahun 1999/2000 hingga 2006. Dari segi kuantitas, jumlah bantuan ini relatif kecil, yaitu sapi 5 – 6 ekor per desa, kambing 40 ekor untuk Desa Sukadana dan 60 ekor untuk Desa Loloan. Bantuan lainnya adalah itik 225 ekor per desa masing-masing untuk Desa Sikur, Terara, dan Pringgasela.

(32)

Selengkapnya mengenai jenis dan jumlah bantuan pada kawasan penyangga TNGR dapat dilihat pada Lampiran 16.

Dari berbagai jenis dan program bantuan, pengembangan ternak sapi adalah salah satu alternatif yang bisa dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat (khususnya masyarakat tuna lahan). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa bantuan ini kurang efektif untuk meredam penebangan hutan karena jumlah bantuan relatif kecil sehingga penghasilan yang diperoleh tidak mampu menutupi keperluan sehari-hari, disamping itu karena jumlah kelompok sasaran cukup besar maka masa tunggu untuk memperoleh giliran cukup lama.

Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR juga sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart Fund- Second Kennedy Round (CF-SKR) Tahun 2008. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu (1) Kecamatan Batukliang Utara 4 kelompok (Desa Aik Berik 3 kelompok dan Desa Lantan 1 kelompok); (2) Kecamatan Montong Gading 4 kelompok (Desa Montong Betok 2 kelompok dan Desa Pringgajurang 2 kelompok); dan (3) Kecamatan Pringgasela 2 kelompok (Desa Pengadangan 1 kelompok dan Desa Jurit 1 kelompok).

Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (Feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan Mini Ranc sebesar 1,10. Lebih lanjut menurut Maskur (2006), usaha penggemukan lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemeliharaan sapi bibit. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp 300 000,- sampai Rp 400 000,- per bulan dengan rentang waktu 4 – 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp 3,5 – 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 – 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp 5 – 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan sapi bibit, rata-rata lama waktu pemeliharaan sampai menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1

Gambar

Gambar 15. Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR                      (Sumber: BPS NTB 2006)
Gambar 16. Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR                      (Sumber: BPS NTB 2006)
Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR                      (Sumber: BPS NTB 2006)
Gambar 18. Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR  Daya Dukung Sumberdaya  Seksi Pemberdayaan  Kws Penyangga (SPKP) SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI Prioritas Peternakan  Sapi Biofisik  - Lokasi - WTP Ekonomi - Pengelr m
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dimaksudkan untuk melihat jenis buah apel mana yang paling digemari konsumen buah apel sesuai dengan selera konsumen buah apel di kota Manado berdasarkan penelitian

Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenal oleh sistem imun (Kayne

Rerata semua butir variabel status penggunaan informasi sebesar 2,80; menunjukkan rendahnya keterpakaian statistik Sipus V3 untuk pengambilan keputusan yaitu penyusunan

Kedelai merupakan komoditas pertanian yang memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein nabati masyarakat Indonesia.Produksi kedelai Nasional sampai

Stroke atau serebrovaskuler ( CVA ) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke otak. Sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler

iii.) cadangan kajian ini adalah untuk menunjukkan gaya pembelajaran sebagai satu elemen yang boleh dipadankan mengikut konteks pembelajaran dan boleh dibina

Proses awalnya yaitu bagian tata usaha memilih menu pembayaran SPP dan mencari data pembayaran siswa, setelah orang tua siswa / siswa membayar maka bagian tata usaha

Tidak adanya hubungan antara sikap dalam pemeliharaan anjing dengan ke- jadian rabies pada anjing, secara teoritis dise- babkan sikap responden yang baik tidak selalu