• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh George Edward Pangkey

ABSTRAK

Pebisnis properti dibidang perumahan adalam memasarkan rumah termasuk tanah selalu membuat format perjanjian baku yang substansinya tidak seragam antara pengembang yang satu dengan pengembang yang lain. Pada saat pemesanan properti rumah tersebut barulah dibuatkan suratperjanjian. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala syarat dan ketentuan ditetapkan oleh satu pihak saja yaitu oleh pebisnis tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ada penerapan dari klausula eksonerasi. Untu mencegah terjadinya suatu kecurangan maka pentinglah untuk kita mengkaji klausula eksonerasi ini dikaitkan ke dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen.

LATAR BELAKANG

Cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah digariskan oleh para pendiri negara dicantumkan dalam alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk menjabarkan arti dan makna melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan rakyat tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J. Pasal 28 huruf

H Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pembagunan prerumahan merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia. Secara umum dalam dunia bisnis itu diperlukan adanya etika.

Ketentuan mengenai pernyataan dan

persetujuan untuk menerima segala

(2)

persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan- ketentuan penandatanganan atas dokumen- dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku.

Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan- ketentuan penandatanganan atas dokumen- dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

1

Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat, sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah

Praktiknya pengembang properti dibidang perumahan tidak segan-segan menetapkan klausula eksonerasi tidak hanya yang

1

Celina Tri S.K., Hukum

Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 139.

isinya mengurangi tanggung jawab, akan tetapi seringkali membebaskan diri dari tanggung jawab atau pengalihan tanggung jawab yang tujuannya adalah mengarah kepada perolehan keuntungan sehingga terabaikan hak-hak konsumen.

Sehubungan dengan hal tersebut, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam rangka memayungi pemberian perlindungan kepada konsumen pada umumnya, baik terhadap penggunaan produk barang maupun jasa telah mengaturnya.

Dengan demikian, UUPK ini merupakan payung yang mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang-undang perlindungan konsumen namun di Indonesia perjanjian baku/standar yang substansinya mencantumkan klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontroversial eksistensinya.

2

Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih kebebasan para pihak sesuai dengan asas

2

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2001), hal.

119.

(3)

kebebasan untuk membuat perjanjian, sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat ditawar.

Bermunculannya berbagai model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi polemik tentang eksistensinya apalagi di dalam model baku tersebut di dalamnya selalu mencantumkan syarat-syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat seperti pelaku usaha real estate yang berhadapan dengan kedudukan konsumen dalam posisi yang lemah.

Tertarik dengna hal tersebut, maka tulisan ini akan membahas tetntang penerpan klausula eksonerasi yang dikaitkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen.

PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Sebelum kita membaha jauh kedepan ada baiknya kita mengetahui dahulu tentang perlindungan konsumen.

Ada beberapa pengertian yang dapat dikemukan dalam pembahasan tentang pengertian konsumen, yaitu terdapat dalam rumusan peraturan perundang-undangan, dan menurut para pakar. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK, yang menyatakan:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dalam rumusan ini ditentukan batasan secara jelas limitatif tentang konsumen, yaitu merupakan orang, memakai atau menggunakan suatu barang dan/jasa, untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain atau makhluk lain, dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Dalam ilmu ekonomi pengertian di atas termasuk dalam kategori konsumen akhir.

Pengertian konsumen di atas kurang tepat

dan adanya kerancuan, yaitu pada kata

pemakai yang tidak sesuai atau tidak

berhubungan dengan kalimat untuk

kepentingan pihak lain, serta rumusannya

hanya terpaku pada orang atau makhluk

lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya

orang saja yang disebut konsumen, tetapi

(4)

masih ada yang lain, yakni badan usaha.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli, selanjutnya disebut UULPM, secara tegas dinyatakan bahwa :

“Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.”

Kedua pengertian di atas terdapat perbedaan dimana pengertian konsumen yang terdapat dalam UUPK lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian yang tercantum di dalam UULPM, yaitu konsumen tidak terbatas pada manusia semata melainkan juga kepada makhluk hidup lainnya.

3

Secara umum konsumen dapat diartikan setiap orang yang menggunakan atau memakai suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat. Yang menjadi penekanan dalam pengertian konsumen adalah aktifitas atau kegiatan memakai atau menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa, sedangkan bagaimana cara memperolehnya atau menggunakannya bukan menjadi persoalan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, dinyatakan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

3

Ahmad Miru & Sutarman Yudo.

memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan tersebut merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie

4

UUPK di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu;

a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

KONTRAK BAKU BERKLAUSULA EKSONERASI

Undang-Undang Perlindungan Konsumen implementasinya masih belum dapat dilihat secara signifikan. Berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut dengan mudah diabaikan.

Salah satu contoh yang sampai saat ini masih terlihat jelas banyak terjadi pelanggaran adalah pada penetapan klausula baku berklausula eksonerasi,

4

Yusuf Shofie, Perlindungan

Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 26.

(5)

yaitu syarat-syarat untuk mengecualikan tanggung jawab.

Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam UUPK, oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari para pakar.

Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi, perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan.

5

Sebagaimana diuraikan di atas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut.

6

Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi, yaitu :

5

AZ., Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal.

6

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo

1. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat- akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi;

2. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri;

3. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak, misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbukti mengalami kerugian.

Oleh karena itu, syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain. Dalam UUPK secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantumkan istilah syarat eksonerasi tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 1 UUPK di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.

Selanjutnya Bab V Ketentuan

Pencantuman Klausula Baku dalam Pasal

18 UUPK menentukan sebagai berikut :

(6)

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau menguari harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa itu.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak

tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti Menurut Henri P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah :

7

.

7

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,

(7)

“Perjanjian-perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang akibatnya dapat merugikan konsumen”.

Dari batasan yang diberikan tersebut dapat disimpulkan bahwa klausula eksonerasi itu adalah isinya mengalihkan tanggung jawab, jadi klausula eksonerasi tidak sama dengan perjanjian standar.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajibannya untuk membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum.

Dengan memaknai pandangan dari para pakar di atas, maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen.

Tiadanya pengertian dan pengaturan klausula eksonerasi secara otentik dalam UUPK apakah berarti klausula eksonerasi sama dengan klausula baku? Shidarta yang

memperhatikan dengan cermat serta memaknai secara seksama Pasal 18 ayat (1) huruf a khususnya yang berisi tentang pengalihan tanggung jawab dihadapkan pada Pasal 18 ayat (2) dari UUPK yang berisi tentang larangan pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang sulit dimengerti, letaknya sulit dilihat, tidak dapat dibaca secara jelas ataupun pengungkapannya sulit dimengerti.

Dikatakannya lebih lanjut makna yang

dikandung dalam kedua ketentuan di atas

tersebut mempunyai perbedaan arti yang

sangat mendasar. Oleh karena itulah,

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h,

merupakan syarat-syarat eksonerasi yang

digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil

untuk membebaskan diri dari tanggung

jawabnya melalui syarat-syarat pengalihan

tanggung jawab ataupun mengurangi

tanggung jawabnya terhadap konsumen

Pencantuman syarat eksonerasi oleh

pelaku usaha [vide Pasal 18 ayat (1) huruf

a sampai h] yang merugikan konsumen

menurut Pasal 18 ayat (2) UUPK

dinyatakan batal demi hukum, artinya

syarat-syarat tersebut dari semula dianggap

tidak pernah ada. Ditinjau dari sanksinya

bagi pelaku usaha yang mencantumkan

klausula baku eksonerasi sebagaimana

dicantumkan Pasal 18 ayat (2) UUPK

dapat dikenakan:

(8)

1. Sanksi Perdata : perjanjian standar yang dibuatnya jika digugat di pengadilan oleh konsumen, maka hakim membuat putusan declaratur bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum (vide Pasal 18 ayat (3) UUPK), pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan kalusula baku dalam dokumen atau perjanjiannya wajib merevisi perjanjian standar tersebut agar sesuai dengan UUPK.

2. Sanksi Pidana : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- [vide Pasal 62 ayat (1) UUPK].

Berdasarkan hal-hak tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha, antara lain:

1. Sanksi pidana

Sanksi pidana dapat dijatuhkan oleh pengadilan (umum) setelah melalui proses pidana biasa, yaitu lewat proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan.

Proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah.

Sedangkan yang melakukan proses penuntutan adalah badan penuntut umum (jaksa), dan proses pengadilan dilakukan oleh badan pengadilan umum yang berwenang.

Sanksi pidana berupa pidana pokok, yaitu:

a. Penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda Rp.

2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk perbuatan tertentu;

b. Penjara maksimum 2 (dua) tahun atau denda Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk perbuatan tertentu; atau

c. Pidana penjara umum atau denda umum yang berlaku.

Di samping itu terdapat juga pidana tambahan berupa:

a. Perampasan barang tertentu;

b. Pengumuman putusan hakim;

c. Pembayaran ganti rugi;

d. Penghentian kegiatan tertentu;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran;

f. Pencabutan izin usaha.

2. Sanksi perdata

Sanksi perdata kepada pihak

pelaku usaha yang telah

merugikan konsumen mungkin

diberikan dalam bentuk

kompensasi atau ganti rugi

perdata, yang dijatuhkan oleh

pengadilan yang berwenang;

(9)

3. Sanksi administrasi

Selain itu, tersedia juga sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, berupa:

a. Sanksi administrasi berupa ganti rugi yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau oleh pengadilan umum;

b. Sanksi administrasi lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau pejabat pemerintah yang berwenang.

Dengan demikian, lahirnya UUPK potensi ketidakadilan yang dialami konsumen dapat diminimalisir sebagaimana diatur dalam UUPK bahwa jenis klausula baku apalagi mangandung syarat-syarat eksonerasi dilarang dipergunakan oleh pelaku usaha sebenarnya sudah sangat berpihak kepada konsumen.

Konsekuensinya adalah berbagai klausula baku yang illegal itu tidak berlaku lagi, maka akan banyak hal yang dapat meringankan konsumen, ketika konsumen mendapatkan produk yang tidak diinginkan dan dibutuhkan atau memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pelaku usaha. Berbagai implikasi dengan diberlakukannya peraturan tentang klausula baku dalam UUPK, seperti

misalnya karena pelaku usaha tidak dapat mengalihkan tanggung jawabnya, atau tidak dapat menolak pengembalian barang oleh konsumen, maka konsumen terhindar dari potensi kerugian. Implikasinya adalah konsumen dapat menukarkan barang tersebut dengan barang lain atau mengembalikan barang tersebut dengan menerima uang.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat terlihat bahwa untuk melindungi pihak konsumen dari ketidakadilan, perundang-undangan memberikan larangan-larangan tertentu kepada pelaku usaha dalam hubungan dengan kegiatannya sebagai pelaku usaha.

Larangan-larangan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Larangan yang behubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;

2. Larangan yang

berhubungan dengan

promosi/iklan yang menyesatkan;

3. Larangan alam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang menyesatkan;

4. Larangan yang

berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak diinginkan;

5. Larangan terhadap tawaran

dengan iming-iming hadiah;

(10)

6. Larangan terhadap tawaran dengan paksaan;

7. Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan;

8. Larangan yang

berhubungan dengan pelaku usaha periklanan;

9. Larangan yang

berhubungan dengan klausula baku.

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Perjanjian jual beli perumahan dalam bentuk kontrak baku berklausula eksonerasi jika ditinjau dari hukum perjanjian merupakan klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). Ditinjau dari kebebasan membuat perjanjian (freedom of contract), perjanjian baku berklausula eksonerasi tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

KUHPerdata, dengan demikian perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Ini menunjukkan bahwa perjanjian seperti ini dapat dibatalkan, karena perjanjian yang mengandung syarat eksonerasi sebagai kesepakatan yang tidak sempurna dan menyatakan batal demi hukum, dengan alasan bahwa syarat eksonerasi sebagai salah satu tidak terpenuhinya syarat obyektif, yaitu tidak adanya kausa yang halal dalam membuat perjanjian dan hal ini bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian;

2. Klausula eksonerasi yang terdapat

dalam kontrak baku jual beli

perumahan melanggar ketentuan

klausula baku sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, karena klausula

eksonerasi yang dicantumkan oleh

pengembang dalam perjanjian jual

beli rumah yang berisi ketentuan

pengalihan tanggung jawab,

tindakan berupa pembatalan

sepihak dan pengembang tidak

mengembalikan uang yang

dibayarkan oleh pembeli adalah

melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf

a, c, dan d Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

(11)

Selanjutnya, menurut Pasal 18 ayat (3) UUPK setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) UUPK dinyatakan batal demi

hukum, artinya syarat-syarat

tersebut dari semula dianggap tidak

pernah ada.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Inadonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821

Inoneisa . Undang-undang tentang Perumahan dan Pemukiman. UU Nomor 14 Thun 1992.

B. BUKU

Miru, ahmad &Sutarman yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008

Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Diadit Media, 2001.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : Grasindo, 2001

Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumental-instrumental Hukumnya.

Bandung : Citra Aditiya Bakti, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi masyarakat di Bali, lingkungan mata air merupakan ruang yang disucikan. Selain untuk manfaat pemenuhan kebutuhan domestik, air dari mata air mempunyai peran sebagai

Menurut Suriadi & Yuliani.R patofisiologi dari gastroschizis atau omphalocele yaitu selama perkembangan embrio ada suatu kelemahan yang terjadi didalam dinding

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Dari penelitian Yuniastuti (2013), tentang evaluasi terapi obat antidepresan pada pasien depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta tahun 2012 didapatkan 14 kasus episode

Adapun cara pengelolaan premi yang dibayarkan oleh peserta yang dengan akad tijaroh dengan diinvestasikan dan hasil investasi dibagikan kepada peserta dan

Dokumen ini dibuat oleh fungsi penerimaan untuk menunjukkan bahwa barang yang diterima dari pemasok telah memenuhi jenis, spesifikasi, mutu dan kuantitas seperti

Proteksi suplemen VCO menggunakan formaldehid memberikan hasil yang lebih baik pada ransum yakni pakan sumber lemak dan protein tidak banyak terdegradasi dalam rumen namun

Pada masyarakat Desa Barengkok yang memilih pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) yaitu sebesar 90% sedangkan yang memilih dengan cara tanpa bakar (no