ANALISIS TERHADAP PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh George Edward Pangkey
ABSTRAK
Pebisnis properti dibidang perumahan adalam memasarkan rumah termasuk tanah selalu membuat format perjanjian baku yang substansinya tidak seragam antara pengembang yang satu dengan pengembang yang lain. Pada saat pemesanan properti rumah tersebut barulah dibuatkan suratperjanjian. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala syarat dan ketentuan ditetapkan oleh satu pihak saja yaitu oleh pebisnis tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ada penerapan dari klausula eksonerasi. Untu mencegah terjadinya suatu kecurangan maka pentinglah untuk kita mengkaji klausula eksonerasi ini dikaitkan ke dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen.
LATAR BELAKANG
Cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah digariskan oleh para pendiri negara dicantumkan dalam alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk menjabarkan arti dan makna melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan rakyat tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J. Pasal 28 huruf
H Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pembagunan prerumahan merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia. Secara umum dalam dunia bisnis itu diperlukan adanya etika.
Ketentuan mengenai pernyataan dan
persetujuan untuk menerima segala
persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan- ketentuan penandatanganan atas dokumen- dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku.
Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuan- ketentuan penandatanganan atas dokumen- dokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
1Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat, sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah
Praktiknya pengembang properti dibidang perumahan tidak segan-segan menetapkan klausula eksonerasi tidak hanya yang
1
Celina Tri S.K., Hukum
Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 139.
isinya mengurangi tanggung jawab, akan tetapi seringkali membebaskan diri dari tanggung jawab atau pengalihan tanggung jawab yang tujuannya adalah mengarah kepada perolehan keuntungan sehingga terabaikan hak-hak konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam rangka memayungi pemberian perlindungan kepada konsumen pada umumnya, baik terhadap penggunaan produk barang maupun jasa telah mengaturnya.
Dengan demikian, UUPK ini merupakan payung yang mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang-undang perlindungan konsumen namun di Indonesia perjanjian baku/standar yang substansinya mencantumkan klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontroversial eksistensinya.
2Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih kebebasan para pihak sesuai dengan asas
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2001), hal.
119.
kebebasan untuk membuat perjanjian, sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat ditawar.
Bermunculannya berbagai model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi polemik tentang eksistensinya apalagi di dalam model baku tersebut di dalamnya selalu mencantumkan syarat-syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat seperti pelaku usaha real estate yang berhadapan dengan kedudukan konsumen dalam posisi yang lemah.
Tertarik dengna hal tersebut, maka tulisan ini akan membahas tetntang penerpan klausula eksonerasi yang dikaitkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen.
PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sebelum kita membaha jauh kedepan ada baiknya kita mengetahui dahulu tentang perlindungan konsumen.
Ada beberapa pengertian yang dapat dikemukan dalam pembahasan tentang pengertian konsumen, yaitu terdapat dalam rumusan peraturan perundang-undangan, dan menurut para pakar. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK, yang menyatakan:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dalam rumusan ini ditentukan batasan secara jelas limitatif tentang konsumen, yaitu merupakan orang, memakai atau menggunakan suatu barang dan/jasa, untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain atau makhluk lain, dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Dalam ilmu ekonomi pengertian di atas termasuk dalam kategori konsumen akhir.
Pengertian konsumen di atas kurang tepat
dan adanya kerancuan, yaitu pada kata
pemakai yang tidak sesuai atau tidak
berhubungan dengan kalimat untuk
kepentingan pihak lain, serta rumusannya
hanya terpaku pada orang atau makhluk
lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya
orang saja yang disebut konsumen, tetapi
masih ada yang lain, yakni badan usaha.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli, selanjutnya disebut UULPM, secara tegas dinyatakan bahwa :
“Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.”
Kedua pengertian di atas terdapat perbedaan dimana pengertian konsumen yang terdapat dalam UUPK lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian yang tercantum di dalam UULPM, yaitu konsumen tidak terbatas pada manusia semata melainkan juga kepada makhluk hidup lainnya.
3Secara umum konsumen dapat diartikan setiap orang yang menggunakan atau memakai suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat. Yang menjadi penekanan dalam pengertian konsumen adalah aktifitas atau kegiatan memakai atau menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa, sedangkan bagaimana cara memperolehnya atau menggunakannya bukan menjadi persoalan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, dinyatakan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
3
Ahmad Miru & Sutarman Yudo.
memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan tersebut merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie
4UUPK di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu;
a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.
Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
KONTRAK BAKU BERKLAUSULA EKSONERASI
Undang-Undang Perlindungan Konsumen implementasinya masih belum dapat dilihat secara signifikan. Berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut dengan mudah diabaikan.
Salah satu contoh yang sampai saat ini masih terlihat jelas banyak terjadi pelanggaran adalah pada penetapan klausula baku berklausula eksonerasi,
4
Yusuf Shofie, Perlindungan
Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 26.
yaitu syarat-syarat untuk mengecualikan tanggung jawab.
Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam UUPK, oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari para pakar.
Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi, perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan.
5Sebagaimana diuraikan di atas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut.
6Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi, yaitu :
5
AZ., Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal.
6
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo
1. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat- akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi;
2. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri;
3. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak, misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
Oleh karena itu, syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain. Dalam UUPK secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantumkan istilah syarat eksonerasi tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUPK di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.
Selanjutnya Bab V Ketentuan
Pencantuman Klausula Baku dalam Pasal
18 UUPK menentukan sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau menguari harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa itu.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak
tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti Menurut Henri P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah :
7.
7