• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku

2.1.1. Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan perwujudan dari adanya kebutuhan dasar seperti makan, minum, perlindungan diri, dan kebutuan tambahan selain kebutuhan yang disebutkan. Perilaku bersifat dinamis yang berarti satu perbuatan dulu dan akan datang saling mempengaruhi. Perbuatan ini dilakukan atas dasar pilihan yang dibuat manusia dengan memiliki tujuan tertentu. Perilaku dikatakan wajar jika selaras dengan peran manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan berketuhanan.

Perilaku wajar menghasilkan kebahagiaan. Dalam menyelaraskan diri dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan tanpa ditambah atau kurangi, tidak menggangu orang lain, dan memepertanggungjawabkan perbuatan sebaik- baiknya. (Purwanto, 2012)

Skinner (1972 dalam Pieter tahun 2011) membagi perilaku menjadi dua yaitu

perilaku alami dan perilaku operant. Dimana perilaku alami artinya perilaku yang

muncul sejak lahir, tanpa perintah otak, terjadi tanpa sadar, dan merupakan bentuk

perwujudan insting. Namun begitu menurut teori insting oleh McDougall

menyatakan insting itu berhubungan dengan kebutuhan dan dorongan yang

terbentuk oleh pengalaman. Jenis kedua menurut Skinner adalah perilaku operant

yang terjadi karena proses belaja, pengalaman, dan dibentuk oleh pusat kesadaran

(2)

yang akan teraktivasi saat reseptor menerima stimulus. (Pieter, Janiwarti, &

Saragih, 2011)

2.1.2 Macam-macam Perilaku

Perilaku memiliki beberapa macam tergantung dari sifat perilaku itu sendiri seperti:

a. Perilaku refleks adalah perilaku yang terjadi tanpa dipikir, dikendalikan, dan biasanya terjadi tanpa disadari. Contohnya seperti memicingkan mata, mengendikkan bahu, dll.

b. Perilaku refleks bersyarat yang terjadi karena adanya perangsang lalu terbentuk perbuatan dimana jika perangsang terjadi berulang-ulang perilaku refleks bersyarat bisa menjadi perilaku refleks.

c. Perilaku naluri adalah perilaku yang timbul mempertimbangkan pengenalan, perasaan atau emosi, dorongan keinginan atau motif.

Timbulnya perilaku ini biasanya tanpa disadari namun dapat dikendalikan.

Seperti naluri menyukai orang lain atau makan. (Purwanto, 2012)

2.1.3 Proses Pembentukan Perilaku

Perilaku dapat terbentuk karena stress. Beberapa peneliti melihat stress sebagai stimulus, yang sering disebut dengan stressor dan mengidentifikasinya dengan suatu daftar Panjang berbagai kondisi yang tidak dapat dikendalikan.

Seperti berbagai bencana kehidupan, masalah sehari-hari, dan kurang tidur.

Stressor dapat dikategorikan besar (kematian orang yang dicintai), kecil (masalah

sehari-hari), akut (gagal dalam ujian), atau kronis (lingkungan kerja terus menerus

tidak menyenangkan). Menyebutkan secara tepat hal-hal yang menciptakan

(3)

stressor merupakan hal yang sulit. Suatu peristiwa tertentu tidak menimbulkan stress dalan tingkat yang sama pada setiap orang.

Bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau mengurangi stress disebut dengan kosep coping. Setiap individu berbeda dalam merespon stress. Saat mereka yang menilai suatu situasi sebagai penuh stress, efek stress dapat bervariasi tergantung pada bagaimana individu menghadapi situasi tersebut. Berikut beberapa dimensi coping:

1. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping)

Coping ini mencakup bertindak secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi. Contoh: Menyusun jadwal belajar untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam satu semester sehingga mengurangi beban pada akhir semester.

2. Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping)

Pada coping ini merujuk pada berbagai upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stress. Contohnya adalah dengan mengalihkan perhatian dari masalah, melakukan relaksasi atau mencari rasa nyaman dari orang lain.

3. Coping yang berupa penghindaran (avoidance coping)

Tipe coping ini adalah berusaha menghindari untuk mengakui bahwa mmemang ada masalah yang harus diatasi dengan mengalihkan dan mengingkari atau menolak melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut.

Coping cukup bervariasi merujuk terhadap setiap situasi berbeda. Setiap dimensi dilakukan dengan sadar maupun secara reflex. Adapun coping dengan pelarian atau penghindaran merupakan metode coping yang paling tidak efektif.

(Davidson, Neale, & Kring, 2010)

(4)

Stressor merupakan salah satu stimulus yang dapat membentuk perilaku baru.

Respon karena suatu stimulus yang pembentukan perilaku dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (Pieter, Janiwarti, & Saragih, 2011):

a. Pembentukan perilaku karena kebiasaan (Operant Conditioning)

Teori ini di kembangkan oleh Skinner dimana perilaku terbentuk oleh pengkondisian seseorang dalam pemenuhan kebutuhan yang sama dan terus menerus. (McLeod, 2018) Pengkondisian dimulai dengan diwaktu seseorang mengidentifikasi adanya keuntungan saat perilaku terbentuk lalu seseorang itu akan mengatur komponen untuk memenuhi perubahan perilaku. (Kholid, 2015) Seperti saat seseorang menentukan akan berangkat kerja untuk mendapat uang saat jam 07.00 maka hal itu dilakukan terus menerus dan terbentuk perilaku berangkat jam 07.00.

b. Pembentukan perilaku karena pengertian (Insight)

Menurut Kohler perilaku terbentuk secara spontan karena terdapat masalah, situasi, dan objek baru yang memengaruhi seseorang. Manusia secara naluriah akan melakukan suatu respon saat ada stimulus baru dan setelah melakukan suatu tindakan makan akan ada konsekuensi, positif atau negatif. Dari pemahaman bahwa sesuatu yang diperbuat itu akan mendapat respon yang positif atau negatif, manusia akan membentuk perilaku tertentu. (Zav, 2014)

c. Pembentukan prilaku melalui penggunaan model (Modelling)

Manusia membentuk perilaku dari mencontoh orang lain awalnya merupakan

teori yang dibuat Bandura tahun 1977 dengan judul observation learning theory atau

lebih dikenal dengan teori modelling. Saat anak lahir dia akan mencontoh perilaku

orang tua, saudara atau orang terdekat yang dapat ia amati. Saat ia melihat suatu

(5)

perilaku orang sekitar yang mendapat konsekuensi negatif akan mengakibatkan ia tidak melakukan perilaku tersebut dan sebaliknya saat ia melihat orang sekitar melakukan sesuatu dan mendapat apresiasi akan dicontoh perilakunya. (Pieter, Janiwarti, & Saragih, 2011)

2.1.4 Perilaku Menyimpang

Perilaku yang terbentuk karena proses pemenuhan kebutuhan dengan cara yang berbeda akan membentuk suatu perilaku menyimpang. Namun, penyimpangan memiliki dua sifat, positif dan negatif. Perilaku positif memiliki karakteristik yang inovatif, kreatif, dan memiliki dampak positif seperti emansipasi wanita. Sedangkan yang negatif mengarah ke tindakan yang berakibat celaan dan menggangu sistem sosial seperti korupsi, pembunuhan, dll. Perilaku menyimpang negatif di Indonesia sendiri kebanyakan terjadi karena pemimpin (patron) yang menjadi model anggotanya (client) melakukan tindakan menyimpang. Karena perilaku menyimpang dilakukan oleh orang yang berkuasa maka hal ini dianggap sebagai “nilai atau norma” dan diikuti oleh anggota. (Maryati & Suryawati, 2011) Perilaku menyimpang dibagi menjadi:

1. Tindakan kriminal atau kejahatan

Tindak kriminal atau kejahatan merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan norma hukum, norma sosial, norma agama yang berlaku di masyarakat.

Dimana akibatnya terdapat pihak lain merasa kehilangan, dirugikan, dan tersakiti.

Sebagaian contohnya pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, terorisme, korupsi, penipuan, dll.

2. Penyimpangan seksual

(6)

Penyimpangan seksual adalah aktifitas seksual yang tidak lazim dilakukan.

Penyimpangan seksual dibagi menjadi tiga golongan tergantung pada pemuasan dorongan seksual:

a. Ada dorongan-dorongan seksual abnormal: pelacuran, promiskuitas, perjinahan, seduksi, frigiditas, impotensi, ejakulasi dini, copulatory impotency, psychogenic aspermia, nymfomania, satyriasis, vaginimus,

dispareuni, anorgasme, dan kesukaran coitus pertama.

b. Ada partner seks yang abnormal: homoseksual, lesbianisme, bestiality, zoofilia, nekrofilia, pornografi, obscenity, pedofilia, fetishisme, frottage, geronto-seksualitas, incest, saliromania, wifeswapping, mysofilia, koprofilia, dan urofilia.

c. Ada cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seksualnya: onani atau masturbasi, sadisme, masokisme, sadomasokisme, voyeurisme, ekshibionisme seksual, skoptofilia, transverstitisme, transseksualisme, dan troilisme. (Kartono, 2011)

3. Gangguan terkait substansi

Gangguan terkait substansi merupakan berbagai masalah yang berkaitan

dengan penggunaan dan penyalahgunaan obat seperti alkohol, kokain, heroin, dan

subtansi lain yang digunakan untuk mengubah cara berpikir, perasaan, dan

perilaku seseorang. Gangguan ini membutuhkan banyak pengorbanan finansial

dan kemanusiaan. Gangguan ini dapat menimbulkan intoksikasi substansi atau

teler. Selain teler dapat pula terjadi sindroma spesifik substansi yang dapat

dipulihkan segera setelah mengkonsumsi substansi tertentu. Efek samping dari

penggunaan substansi tertentu masuk kategori gangguan saat akibat konsumsi

(7)

substansi akan mengganggu pendidikan, pekerjaan, atau hubungan sosial, mengalami peristiwa berbahaya secara fisiologis, dan beruusan dengan hukum.

Jenis substansi yang umum disalahgunakan:

a. Depresan: menimbulkan efek tenang, menginduksi relaksasi. Contoh:

alkohol, obat penenang hipnotik, anxioytic, keluarga barbiturat, dan benzodiazepam.

b. Stimulan: menimbulkan efek aktif, siaga, dan mengngkat suasana perasaan.

Contoh: amfetamin, kokain, nikotin, dan kafein.

c. Opioid/opioat: mengurangi rasa sakit dan menghasilkan eforia. Contoh:

heroin, opium, kodein, dan morfin.

d. Halusinogen: mengubah presepsi sensorik dan dapat menghasilkan delusi, paranoia, dan halusinasi. Contoh: ganja dan LSD

e. Tidak terkategori: inhalants (contoh: lem pesawat), anabolic steroid, dan obat yang harus dibeli dengan resep dokter (contoh: nitrous oxyde). Substansi- substansi ini menghasilkan efek khas yang tidak termasuk ke golongan-golongan lain.

2.2. Konsep Kekerasan Seksual

2.2.1 Definisi Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah segala tindakan berupa merendahkan, menghina,

menyerang, dan tindakan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan

fungsis reproduksi secara paksa dan bertentangan dengan keinginan seseorang

sehingga menyebabkan seseorang itu tidaak mampu memberikan persetujuan

dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi gender yang berakibat pendertaan

(8)

atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik. (Purwanti & Zalianti, 2018)

2.2.2 Tindak Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Alhaq, Raharjo, dan Wibowo (2018) selain hubungan seks terdapat beberapa tindakan kekerasan seksual pada anak seperti. Pertama, cara menyentuh tubuh anak secara seksual baik saat menggunakan pakaian atau tidak. Lalu segala bentuk penekanan seks termasuk penekanan ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh. Membuat atau memaksa anak terlibat dalam aktivitas seksual.

Secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak. Tidak melindungi dan mencegah anak menyaksikan aktivitas seksual yang dilakukan orang lain.

Membuat, menyebarkankan dan menampilkan gambar atau film yang menampilkan aktivitas seksual. (Alhaq, Raharjo, & Wibowo, 2018)

2.2.3 Jenis Kekerasan Seksual Berdasarkan Pelaku

Menurut Probosiwi dan Bahransyaf (2015) jenis kekerasan seksual terbagi menjadi dua berdasarkan identitak pelaku. Pertama, Familial abuse yaitu pelaku merupakan seseorang yang masih memiliki hubungan darah dengan korban atau seseorang yang masuk dalam keluarga inti seperti ayah tiri. Kedua, Extrafamilial abuse yaitu pelaku merupakan seseorang yang berasal dari luar keluarga korban.

(Probowisi & Bahransyaf, 2015)

2.2.4 Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Alhaq, Raharjo dan Wibowo (2018) terdapat beberapa dampak

kekerasan seksual pada anak seperti anak menjadi depresi, gangguan stress

pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada

(9)

masa dewasa dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Kemudian Finkelhor dan Browne (1985 dalam Probosiwi dan Bahransyaf, 2015) menambahkan terdapat empat jenis dari dampak trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:

1. Pengkhianatan (Betrayal)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Seorang anak akan percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.

Namun kepercayaan anak dan otoritas orangtua dapat menjadi hal yang mengancam untuk anak.

2. Trauma secara Seksual (Traumatic Sexualization)

Russel menjelaskan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual dan akibatnya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Kemudia Finkelhor menambahkan jika korban kekerasan seksual akan memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki- laki tidak dapat dipercaya.

3. Tidak Berdaya (Powerlessness)

Korban kekerasan seksual akan mengalami perubahan dalam kehidupannya berupa rasa takut, mimpi buruk, fobia, kecemasan dan rasa sakit. Selain itu perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban akan merasa jika dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban akan merasa sakit pada tubuhnya. Namun sebaliknya pada korban lain memiliki dorongan yang berlebihan dalam dirinya.

4. Stigma (Stigmatization)

(10)

Korban kekerasan seksual akan merasa bersalah, malu, dan memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk dari ketidakberdayaan dan merasa berbeda dengan orang lain. Pada beberapa korban akan marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Namun korban lainnya akan melampiaskan kemarahan dengan penggunaan obat terlarang dan minum-minuman beralkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya dan berusaha menghindari memori kejadian tersebut. (Alhaq, Raharjo,

& Wibowo, 2018)

2.3. Faktor-faktor Mempengaruhi Perilaku Kekerasan Seksual

Pada dasarnya semua orang memiliki potensi untuk melakukan tindak kekerasan seksual. (Muhith, 2015) Namun begitu tidak semua orang melakukan hal tersebut. Berikut beberapa faktor sebab seseorang melakukan kekerasan seksual. Faktor-faktor yang teridentifikasi menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yaitu pornografi, kejiwaan atau psikologis terganggu, hukuman, riwayat menjadi korban kekerasan, pecandu narkotika atau peminum alkohol dan tidak dimilikinya pengetahuan religi yang memadai (Suyanto, 2016)

2.3.1 Faktor Pornografi

Pornografi terutama pornografi dengan anak sebagai subjek (lebih lanjut akan

disebut pornografi anak) menjadi salah satu indikasi seseorang dapat melakukan

kekerasan seksual. Seseorang yang mempunyai jenis produk pornografi anak rata-

rata mempunyai potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak. (Seto

M. C., 2004) Kepemilikan pornografi anak pada pelaku kekerasan seksual dan

pada seorang pedofilia biasanya berbeda, dimana seorang pelaku kekerasan

seksual pada anak memiliki koleksi dimana anak terlihat seperti orang dewasa.

(11)

Seorang pedofilia belum tentu melakukan tindakan seksual pada anak-anak namun memiliki lebih banyak koleksi pornografi anak. (Lanning, 1992)

2.3.2 Faktor Kejiwaan atau Psikologis Terganggu

Penyimpangan seksual dapat terjadi karena trauma masa kanak-kanak, deprivasi parental, dan hubungan patogenik antara anak dan orang tua. Trauma masa kanak-kanak terjadi karena suatu kejadian yang menghilangkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri. Tidak adanya rangsangan emosi dari orang tua atau deprivasi parental seperti kontak fisik ,kehangatan, rangsangan emosional dan sosial menimbulkan gangguan perilaku. Hal ini juga sama dengan hubugan orang tua dan anak yang patogenik seperti penelantaran, penolakan, overproteksi, terlalu lunak, dsb yang menyebabkan anak akan mengalami tekanan sehingga perilakunya berubah. (Candra, Harini, & Sumirta, 2017)

2.3.3 Faktor Hukuman

Hukuman di Indonesia terbilang masih ringan dengan masa hukuman

narapidana kasus kekerasan seksual terhadap anak berkisar 5-15 tahun penjara di

Indonesia saja (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014,

2014). Sedangkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan beberapa negara lain

masa penjara pada narapidana kasus kekerasan seksual dapat mencapai seumur

hidup tergantung bagaimana perkembangan psikologi narapidana. Negara-negara

tersebut memiliki sistem dimana pelaku kekerasan pada anak terdaftar dibatasi

ruang kerja dan keleluasaan tempat tinggal. Bahkan Washington DC menciptakan

pulau sendiri untuk menempatkan pelaku kekerasan seksual terhadap anak

berulang agar tidak dapat berinteraksi dengan anak-anak. (VICE News, 2018)

(12)

2.3.4 Faktor Riwayat Menjadi Korban Kekerasan

Menurut social learning theory suatu perilaku agresi atau kekerasan itu terjadi karena seseorang belajar dari contoh melalui observasi dan imitasi. Misalkan anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada saat kanak-kanak atau mengalami jenis kekerasan lain akan cenderung memiliki contoh perilaku yang dapat dicontoh. (Muhith, 2015) Hal ini dibuktikan oleh penelitian pada tahun 2014 tentang yang menyebutkan kekerasan, terutama yang mengguncang emosional anak seperti kekerasan seksual, secara signifikan menjadikan seorang itu menjadi pelaku kekerasan saat dewasa. (Miron & Orcutt , 2015)

2.3.5 Faktor Pecandu Narkotika atau Alkohol

Kekerasan seksual dapat diakibatkan karena menurunnya kesadaran karena zat tertentu. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Corta Rica menyatakan 259 kasus pemerkosaan terjadi berhubungan dengan obat-obatan terlarang atau alkohol. Beberapa contoh kasusnya karena tersangka memberi korban obat yang menyebabkan hilang kesadaran, korban mengalami mabuk berat dan kehilangan kesadaran, atau pelaku mengkonsumsu narkotika atau alkohol sebelum melakukan pemerkosaan. (Cerdas, et al., 2014)

2.3.6 Faktor Pengetahuan Religi

Pengaruh dari agama dan aktifitas seksual sendiri masih sangat jarang ditemui

keterkaitannya. Pada penelitian yang dilakukan Murray awal tahun 2018

menemukan bahwa pengetahuan religi tidak memengaruhi aktifitas seksual secara

langsung. Bahkan responden kristian yang aktif ke gereja ada yang memiliki dua

atau lebih pasangan. (Murray , 2018 )

(13)

2.4. Pelaku Kekerasan Seksual

2.4.1 Definisi Pelaku Kekerasan seksual

Pelaku kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan baik yang turut serta, menyuruh, membujuk, dan membantu untuk melakukan kejahatan. (Badan Pusat Statistik, 2017)

2.4.2 Elemen yang Menentukan Seorang Pelaku

Menurut Nuqul (2013) terdapat empat elemen yang digunakan untuk menentukan seorang tersebut harus bertanggung jawab atas tindakannya secara hukum, yaitu:

1. Adanya terdakwa yang terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum.

Terdakwa disini merupakan seorang yang telah melakukan pelanggaran hukum. Baik sudah melalui proses pengadilan atau belum.

2. Terdakwa melakukan tindakan dengan sebuah niatan atau tujuan. Hal ini biasa dikenal dengan sebutan mind state atau mens area dari terdakwa, hingga akhirnya mereka berniat untuk melakukan tindakannya.

3. Tindakan yang dilakukan terdakwa harus telah menyebabkan akibat atau hasil tertentu yang dilarang. Akibat yang terjadi akan mempengaruhi seluruh proses hukuman pada pelaku.

4. Terdakwa tidak dalam kondisi yang secara hukum dibenarkan untuk melakukan tindak pelanggaran karena alasan tertentu seperti gangguan jiwa.

Kondisi ini harus disertai dengan validasi dari instasi terkait. Bahkan perlu

dilakukan berulang-ulang di beberapa waktu berbeda untuk membenarkan

kondisi pelaku. (Nuqul, 2013)

(14)

2.4.3 Sasaran Pelaku Kekerasan Seksual

Sasaran pelaku kekerasan seksual biasanya perempuan dan anak. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak dianggap sebagai korban yang lemah. Selain itu kedudukan anak yang masih memiliki ketergantungan tinggi dengan orang yang lebih dewasa sehingga anak menjadi korban yang rentan terhadap kekerasan seksual. (Purwanti & Zalianti, 2018)

2.4.4 Penatalaksanaan pada Perilaku Pelaku Kekerasan Seksual

Menurut Nuqul (2013) usia pelaku mempunyai pengaruh besar dalam penilaian pertanggungjawaban. Pada penerapan penindakan pidana di Indonesia membedakan antara pelaku dewasa dan remaja atau anak-anak dibawah usia 18 tahun, yaitu:

1. Pelaku dewasa, tindak pidana untuk pelaku kejahatan orang dewasa menggunakan filosofi retribusi (balas dendam) sehingga pelaku diberikan hukuman seberat-beratnya.

2. Remaja atau anak-anak dibawah usia 18 tahun, tindak pidana untuk pelaku kejahatan anak-anak biasanya menggunakan restorasi yang kemudian berkembang menjadi konsep rehabilitasi pelaku. Meskipun begitu dalam praktiknya masih banyak ketidakadilan dalam perlakuan anak yang berhadapan dengan hukum. (Nuqul, 2013)

2.5 Literature Review (Studi Literatur atau Tinjauan Pustaka)

Literature review atau tinjauan pustaka adalah penjabaran sistematis tentang

artikel ilmiah dalam topik tertentu. Tinjauan pustaka sendiri dapat menjadi karya

tulis tersendiri sendiri (dalam penelitian ini kami sebut studi literatur) atau menjadi

bagian suatu artikel ilmiah. Literature review secara kritis menganalisa,

(15)

mengevaluasi, dan mensitesis hasil suatu penelitian, sebuah dasar teori, dan hasil

skripsi. Dalam meninjau titeratur peneliti harus menunjukkan secara

komperhensif, kritis, dan pemahaman yang akurat dengan kondisi kelimuan

terbaru sesuai topik penelitian. Hal ini menjadikan studi literatur sebagai dasar

untuk penelitian selanjutnya. Dalam studi literatur tidak melakukan tindakan

penelitian. (Efron & Ravid, 2019)

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa aplikasi sudah sesuai dan memenuhi kebutuhan dengan total persentase mencapai 90%. Dari hasil persentase pada pertanyaan nomor 1,

Langkah analisis yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut. 1) Mengkaji karakteristik penjualan sepeda motor. Melakukan analisis data dengan menggunakan statistik

Hal tersebut dapat dilihat dari parameter pertumbuhan pada perlakuan yang sama memiliki tinggi tanaman lebih rendah dari perlakuan yang lain, kemudian dapat

Khazanah Al-Qur’an.. Evaluasi proses bimbingan agama Islam penyandang masalah kesejahteraan sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang menggunakan

ini akan lebih dilakukan secara higienis serta akan dijual dengan harga yang dapat. dijangkau semua kalangan, tentunya hal ini akan bisa menarik

Pulau Ambon merupakan salah satu pulau di kepulauan Maluku yang sejak dahulu terkenal dengan berbagai hasil bumi, panorama alam yang indah dan kebudayaan

development of teachers of technology and vocational generally have qualified education (S1) or D IV in accordance with the Act of teachers and professors, even quite a lot that