STRATEGI PEMBINAAN KARAKTER PATRIOTIK
MELALUI PASKIBRAKA
(
Studi Kasus Paskibraka Kota Bandung)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memenuhi Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan UMUM/NILAI
Oleh
TENDI KUSMAWAN
NIM. 1005043
SEKOLAH PASCASARJANA (SPs)
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH
PEMBIMBING:
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah., M.Si. NIP. 19620316 1988031003
Pembimbing II,
Prof. Dr. H. Sudardja Adiwikarta., MA NIP. 130056594
Diketahui oleh
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Umum,
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi Pembinaan
Karakter Patriotik Melalui Paskibraka (Studi Kasus Paskibraka Kota
Bandung)” beserta seluruh isinya adalah benar-benar asli karya saya sendiri, dan
bukan atau bebas dari plagiarisme yang bertentangan dengan etika keilmuan yang
berlaku dalam masyarakat ilmiah. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung
resiko/sangsi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya
pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam tesis ini, atau ada klaim dari pihak
lain terhadap keaslian tesis ini.
Bandung, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Tesis ini berjudul: Strategi Pembinaan Karakter Patriotik melalui Paskibraka (Studi Kasus Paskibraka Kota Bandung)
Penelitian ini berlatar belakang dari adanya kecemasan sebagian masyarakat tentang perilaku pada anak muda saat ini, seperti prilaku keseharian yang berimplikasi negatif, dari mulai cara berpakain, bangga dengan produk luar negeri, kurangnya daya juang, mudah putus asa, bergaya kebarat-baratan, tawuran, terlibat narkoba, geng motor, seks bebas. Pembinaan Paskibraka Kota Bandung menjadi bagian untuk turut andil dalam menanamkan (inculcation) karakter patriotik pada generasi muda saat ini.
Tujuan penelitian untuk mendapat gambaran tentang karakter patriotik pada anggota Paskibraka melalui program pembinaan dengan peran, usaha, dan pemahaman para instruktur dan pelatih, materi kurikulum serta metode pelatihan yang digunakan dalam menanamkan karakter patriotik pada Paskibraka.
Pada penelitian ini metode yang akan digunakan adalah deskriptik analitik dengan pendekatan kualitatif yang menfokuskan pada proses pembinaan Paskibraka Kota Bandung dalam menanamkan karakter patriotik pada seluruh anggota.
Metode pengumpulan data pada penilitian ini adalah pengamatan langsung, wawancara, dan study dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang meliputi mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, koding dan mengkatagorikan. Sedangkan Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini bertumpu pada 4 hal, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferrability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proses pembinaan karakter patriotik melalui Paskibraka berdasarkan rumusan masalah dan tujuan peneltian adalah 1) Pembinaan Paskibraka syarat dengan nilai-nilai yang bersumber dari pendidikan agama dan budaya bangsa; 2) penanaman karakter patriotik dilakukan dengan penekanan pada materi peraturan baris berbaris (PBB), lipat bentang bendera, dinamika kelompok, kepemimpinan, dan komunikasi; 3) Implementasi dari karakter patriotik melalui proses pengibaran dan penurunan duplikat bedera pusaka serta perlakuan terhadap simbol-simbol negara; 4) kendala-kendala yang dihadapi dalam pembinaan berupa miskoordinasi dan aggaran biaya; 5) Prestasi yang diperoleh selain kemampuan teknis pengibaran bendera juga soft skills berupa kemampuan berbicara di depan umum sangat meningkat dirasakan oleh seluruh anggota
ABSTRACT
The title of this thesis is Strategy of Founding The Patriotic Character Through
Paskibraka (A Case Study at Paskibaraka Bandung).
Background of this research is from the presence of thoughtfulness from some people about youth behavior recently, such as their daily behavior which has negative implication, start from the way they dressed, prefer to use overseas products, less of struggle, westernized style, dealing with drugs, motorcycle gangs, free sex. Founding of Paskibraka Bandung become a part which has contribution to inculcation Patriotic Character to youth generation nowadays.
The aim of this research is to get the description about patriotic character at members of Paskibraka through Founding Program with role, effort, and understanding of the coach and instructor, curriculum material, and exercise method which is used by the coach in founding patriotic character in Paskibraka.
This research use Analytic Descriptive Method with Qualitative Approach, which focused to the process of founding the Paskibraka Bandung in inculcation patriotic character to all members.
Collecting data method in this research is by direct observation, interview, and documentary study. Data analysis in this research has done in several activities including managing, sorting, grouping, coding, and categorizing. Meanwhile, the data validity based on 4 elements, those are credibility, transferability, dependability, and confirmability.
The result of this research showed that the process of patriotic character founding to Paskibraka based on problem formulation and the aim of this research are 1) Paskibraka founding contain values which is sourced from religious and nation culture education; 2) patriotic character founding has done with emphasizing to the marching rules, fold and unfold the flag, group dynamics, leadership, and communication; 3) Implementation of patriotic character through the process of raising and lowering the heritage flag and their treatment of state symbols; 4) Obstacles that faced during the process of founding such as incoordination and budget; 5) the achievement that all members get from the founding program are not only the technical skill in raising the flag but also the soft skills such as a great improvement of the capability in public speaking.
At the end of this research, researcher recommended the stakeholder and government to help the committee of founding program not only morally, but also materially to develop patriotic character, and for the next researcher should be able to reveal the problem above in more comprehensive and broad.
DAFTAR ISI
BAB II STRATEGI PEMBINAAN KARAKTER PATRIOTIK MELAUI PASKIBRAKA ... 18
A. DEFINISI KONSEPTUAL ……… 18
B. KONSEP DASAR PENDIDIKAN KARAKTER ……… 19
1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Karakter ……… 19
2. Komponen-Komponen Pendidikan Karakter ……… 22
3. Tujuh Karakter Utama ……… 25
C.
D.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN...
ANALISA TEMUAN MAKNA DAN MASALAH ...
137
177
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……… 180
A. KESIMPULAN ………... 180
B. REKOMENDASI ……… 182
DAFTAR PUSTAKA ……… 185
RIWAYAT HIDUP ……… 190
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kekuatan dan kelemahan Teori Belajar ...61
Tabel 2.2 Teori Belajar...64
Tabel 2.3 Model Pembelajaran...66
Tabel. 4.1 Jadwal Pemusatan dan Latihan Paskibraka ...120
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Grand Disain Pembangunan Karakter Banggsa 2010 2025...32
Gambar 2.2: Kontek Mikro Pendidikan Karakter...35
Gambar 2.3 Paradigma Penelitian. ………..92
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran1. Foto-foto Kegiatan Penelitian...192
Lampiran 2. SK Pengangkatan Pembimbing Tesis...196
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian kepada PPI Kota Bandung...198
Lampiran 4. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian di Paskibraka Kota Bandung...199
Lampiran 5. Pedoman Wawancara ...200
Lampiran 6. Data Hasil wawancara...206
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Para pendiri bangsa (founding fathers) memiliki keyakinan bahwa potensi
yang dimiliki oleh para pemuda, di masa depan akan mengantarkan bangsa ini
berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa ini memiliki segala
pra-syarat untuk menjadi besar dalam menata kehidupan dan peradaban manusia.
Saat ini publik sering memperdebatkan perilaku sebagian remaja kita
yang dipandang kurang memiliki karakter patriotik. Hal ini dapat kita lihat dari
prilaku kesehariannya, seperti cara berpakaian, bangga dengan produk luar
negeri, kurangnya daya juang, mudah putus asa, bergaya kebarat-baratan,
tawuran, terlibat narkoba, geng motor, dan seks bebas. Ini menjadi keprihatinan
berbagai kalangan, mengingat di tangan merekalah masa depan bangsa dan
negara ini akan dipimpin.
Remaja adalah sosok yang penuh energi, ketika energi ini tidak disalurkan
dalam kegiatan-kegiatan yang positif, maka energi itu akan merusak dirinya.
Soedarsono (2010: 6) mengatakan bahwa “krisis yang semula merupakan krisis
identitas akan menjadi lebih dalam karena menyangkut masalah hati nurani yang
mencerminkan adanya krisis karakter”. Senada dengan itu Latif (2011: 117)
mengatakan bahwa” krisis karakter dan moralitas yang melanda suatu bangsa
dapat mengarah pada kebangkrutan bangsa yang bersangkutan”. Munculnya
kesalahan dalam penanganan remaja. Sadar atau tidak, adanya penyimpangan
perilaku remaja sebagai akibat dari berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Kusmayadi (2010: 4) mengatakan, ”kecerdasan interpersonal adalah
kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran dan pengetahuan dirinya
sendiri, dapat memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dan mampu
memotivasi dirinya sendiri serta melakukan disiplin diri”. Orang-orang yang
memiliki kecerdasan interpersonal cenderung sangat menghargai nilai
(aturan-aturan), etika (sopan santun) dan moral. Gerakan dalam membina para pemuda
dengan memperhatikan potensi kecerdasan yang dimilikinya untuk melahirkan
generasi yang tangguh penting untuk dilakukan.
Para pakar dan praktisi pendidikan sepakat bahwa untuk mengubah suatu
bangsa adalah salah satunya dengan pendidikan.
Secara etimologis, pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1 UU no. 20 tahun 2003).
Dengan pendidikan, diharapkan generasi muda dapat mewujudkan
cita-citanya agar kelak dapat menampilkan watak dan karakter bangsa yang
diharapkan mampu menjadi pemimpin yang mumpuni. Secara yuridis formal
pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggariskan
tujuan dan fungsi dari pendidikan nasional sebagai berikut:
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional di atas harus menjadi rujukan dalam membina
atau menyelenggarakan pendidikan di berbagai jenjang dan tingkatan pendidikan.
Dengan demikian semua pihak memilki tanggung jawab dan harus berupaya
sebaik mungkin dalam merealisasikan fungsi dan tujuan tersebut.
Pada hakikatnya pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk sebuah
kepribadian yang “kaaffah”, yaitu adanya kesesuaian antara kata dan perbuatan,
bermoral, jujur, tangguh, ulet, disiplin, patriotik, kerja keras, cinta damai dan
menghargai kearifan lokal. Pendidikan adalah kata kunci untuk membentuk
sebuah kepribadian. Internalisasi nilai-nilai dalam setiap kegiatan pembelajaran
adalah satu bentuk kegiatan agar nilai-nilai tersebut meresap dan menjadi bagian
dalam dirinya. Guru sebagai tenaga profesional harus menjadi garda terdepan
dalam membangun gerakan ini, sebab di tangan guru cita-cita mulia ini akan
terwujud. Oleh karena itu guru harus memahami betul hakikat pendidikan
karakter bangsa ini.
Apabila kita perhatikan penyimpangan perilaku yang terjadi, harus
menjadi perhatian semua pihak dalam menjaga moralitas bangsa. Dari kajian
awal, dapat diidentifikasi adanya berbagai faktor penyebab perilaku kurangnya
jiwa patriotik pada sebagian remaja kita, yaitu: (1) strategi pembinaan karakter
patriotik belum dilaksanakan secara optimal dan masih bersifat transfer ilmu
pengetahuan dan keterampilan; (2) banyaknya tanyangan di televisi yang
kurang optimalnya waktu di sekolah dalam internalisasi nilai pada siswa
(termasuk jiwa patriotik).
Umar (2011: 105) mengatakan, “keteladanan dalam pendidikan
merupakan bagian yang sangat penting karena pada dasarnya adalah
mempengaruhi anak didik melalui kata-kata maupun sikap-sikap”. Saat ini remaja
kita butuh sosok idola, figur dari seseorang yang memiliki sikap yang sama antara
kata dan perbuatan. Pentingnya keteladanan dalam pembinaan remaja guna
pembentukan karakter adalah menjadi mutlak diperlukan. Dengan suguhan
tayangan media elektronik setiap hari, boleh jadi banyak tokoh yang sering
muncul dan menjadi idola mereka, banyaknya tayangan yang tidak mendidik dan
jauh dari pembinaan karakter patriotik, bisa jadi faktor ini akan membetuk watak
dan perilaku sebagian remaja kita semakin jauh dari moralitas.
Dalam masalah ini, Kesuma, dkk (2011: 9) secara tegas menyebutkan
tujuan pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut:
1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;
2. Mengoreksi prilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;
3. Menbangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter secara bersama.
Melihat dari tujuan pendidikan karakter yang digambarkan di atas, maka
perlu adanya suatu kajian ke arah strategi pembinaan agar nilai-nilai yang sudah
akan berdampak cukup kuat apabila proses internalisasi ini diberikan pada setiap
jenjang pendidikan. Tanggung jawab terhadap perkembangan perilaku remaja
tidak bisa mengandalkan hanya dari satu pihak saja melainkan harus melibatkan
semua komponen dari mulai keluarga, masyarakat dan sekolah. Strategi
pembinaan ini sangat penting karena mengingat sekitar dua puluh tahun ke depan
mereka akan memegang tanggung jawab dan peranan penting dalam menentukan
kelangsungan bangsa dan negara ini. Pada tataran implementasi, transformasi dan
internalisasi nilai-nilai pada siswa tidak hanya cukup melalui proses interaksi di
kelas saja, akan tetapi harus banyak dikembangkan di luar kelas melalui wadah
ekstrakurikuler dan kegiatan kepemudaan. Kegiatan ini akan banyak memberikan
pengaruh positif terhadap pembentukan karakter pada siswa.
Sejarah membuktikan bahwa setiap perubahan banyak dimotori oleh
gerakan pemuda, pemuda memiliki peranan yang penting dalam keberlangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Dengan potensi dan energi yang dimiliki
oleh pemuda, maka harapan dan cita-cita bangsa ke depan akan terwujud dengan
baik. Untuk itu upaya-upaya pembinaan terhadap remaja harus dilakukan secara
berkesinambungan..
Nilai-nilai yang harus diajarkan di sekolah juga tersirat dalam pandangan
Lickona yang dikemukakan oleh Kesuma, dkk. (2011: 63), tentang pendidikan
karakter di sekolah mencakup dua prinsip sebagai berikut ini:
2. Sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga membantu mereka memahami, menginternaliasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut. Yang dimaksud dengan nilai di sini adalah nilai moral dan nonmoral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggungjawab, ketidakmemihakan mengandung kewajiban. Kita merasa wajib memenuhi janji, membayar hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara. Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa betapa pentingnya internalisasi
nilai-nilai dalam proses belajar mengajar di sekola, karena sekolah adalah tempat
di mana terjadi sebuah perubahan dalam diri setiap siswa dan proses pembentukan
karakter juga terjadi di sini. Keluarga, sekolah, dan masyarakat memiliki andil
yang besar dalam proses pembentukan karakter pada setiap anak. Apabila tiga
lingkungan tertata dengan baik, maka proses internalisasi nilai-nilai dapat berjalan
dengan optimal.
Character Quality Standards dalam Majid dan Andayani (2011: 109) merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehenshif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukan perilaku yang baik
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi dari diri para siswa.
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang sama.
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.
Dengan merujuk pada 11 prinsip kualitas pengembangan karakter di atas,
maka harus ada penanganan yang komprehensif dalam menangani pembinaan
remaja atau generasi muda bangsa ini. Tidak cukup hanya dengan lingkungan
sekolah saja, melainkan berbagai lini, seperti organisasi kepemudaan dan karang
taruna.
Sekolah dipandang sebagai basis dari sebuah perubahan, maka tidaklah
keliru apabila banyak pihak yang berharap bahwa pembangunan dan
pengembangan karakter remaja akan terwujud. Pembinaan remaja atau pemuda
memiliki peranan yang sangat strategis, karena di tangan merekalah ke depannya
bangsa ini dipimpin. Sejarah membuktikan bahwa pemudalah yang banyak
“menggetarkan dunia”, pemudalah yang banyak membawa perubahan. Maka
sangatlah penting dari sejak dini perlunya menginternalisasikan nilai-nilai. Untuk
itu sangatlah penting nilai patriotik dimiliki dalam setiap Jiwa bangsa Indonesia.
Dengan demikian Bangsa Indonesia dapat berdiri tanpa rasa malu, berani
meyuarakan kebenaran, juga dapat berdiri sejajar dengan Bangsa-Bangsa lain di
dunia tanpa rasa takut dan memiliki martabat. Sauri (2010: 38) mejelaskan
peranan sekolah sebagai berikut:
pengembangan dan reproduksi budaya dan kebiasaan baru yang lebih unggul seyogyanya dilakukan.
Dari pemikiran di atas jelas bahwa peranan sekolah yang memilki fasilitas,
kurikulum dan lingkungan yang tertata dengan baik sangat memungkinkan
proses pewarisan nilai-nilai berjalan lebih optimal. Dengan demikian proses
pembentukan karakter melalui integrasi dengan mata pelajaran akan lebih tepat
sasaran dibandingkan dengan lingkungan keluarga dan masyarakat yang
membutuhkan Qudwah Al-hasanah (teladan yang baik) dari setiap orang yang
berada di lingkungan tersebut. Proses pembiasaan melalui berbagai kegiatan yang
positif di sekolah merupakan bagian dari sarana dalam membentuk kepribadian
siswa melalui internalisasi dan pananaman (inculcation) nilai-nilai.
Penanaman nilai-nilai bukan dengan doktrin atau dengan informasi yang
disampaikan melalui ceramah, karena dengan metode ini upaya yang hendak
dicapai tidak dapat tercapai dengan optimal. Pewarisan nilai-nilai ini begitu
strategis dalam membangun bangsa ke depan, sebab sebuah peradaban harus terus
berkembang dengan membawa perubahan kearah yang lebih baik. Bangsa yang
memiliki peradaban maju akan dihormati dan dicatat dalam sejarah peradaban
manusia. Bangsa ini membutuhkan sosok patriot-patriot yang mampu berjuang
dengan ikhlas, yang bukan hanya berjuang demi kelompok atau golongannya saja
sehingga memicu adanya pertengkaran antar anak bangsa. Gambaran perilaku
anak bangsa saat ini memang sangat memprihatinkan, perilaku sebagian orang
yang “ pragmatis dan hedonis” sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari.
Dengan demikian perlu sebuah upaya dan strategi pembinaan untuk mengatasi
oleh Giroux (1983: 9) tentang fungsi dari kurikulum tersembunyi sebagai
berikut:
The function of this hidden curriculum have been variously identified as the inculcation of values, political socialization, training in obediance and docility, the perpetuation of traditional class structure functions that may be characterized generally as social control
Fungsi kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) memiliki aneka
ragam untuk diidentifikasi sebagai penanaman nilai-nilai, sosialisasi politik,
pelatihan dalam ketaatan dan kepatuhan, kelangsungan fungsi struktur kelas
tradisional yang umumnya dapat dicirikan sebagai kontrol sosial. Jelas bahwa
pendidikan karakter bukan hanya bertumpu pada satu mata pelajaran tetapi
bagaimana dapat berintegrasi dengan mata pelajaran lain, yang mana nilai-nilai
tersebut ditanamkan, diinternalisasikan dalam setiap kesempatan bukan hanya
pada kegiatan kurikuler melainkan juga pada kegiatan kokulikuler dan
ekstrakulikuler.
Kegiatan Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) merupakan
bagian dari kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan perwakilan siswa-siswi
SMA yang menjadi duta sekolahnya. Kegiatan ini merupakan sarana pembiasaan
dalam proses pembentukan karakter patriotik, dan ini termasuk ke dalam hidden
curriculum. Pengalaman-pengalaman dalam mencari jati diri setiap individu
dapat diperoleh melalui interaksi remaja satu sama lain dalam kegiatan paskibraka
yang tidak didapatkan di kelas. Kegiatan ini sangat berharga apabila berjalan
sesuai dengan misi yang hendak dicapai, dan strategi yang dibuat berjalan sesuai
Berdasarkan hal tersebut Budimansyah (2010) dalam Majid dan Andayani
(2011: 109-110) berpendapat bahwa pendidikan karakter perlu dikembangkan
dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP. Pendidikan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan masyarakat bahwa proses pengembangan nila-nilai karakter bangsa dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran, kulikuler mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan Agama harus melahirkan dampak intruksional (intructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect), sedangkan bagi mata pelajaran lain cukup melahirkan dampak pengiring.
3. Nilai tidak diajarkan, tetapi dikembangkan
Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip “tut wuri handayani” dalam setiap prilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Dari pandangan di atas, proses penanaman nilai-nilai harus berjenjang dari
mulai sekolah dasar sampai tingkat atas dan nilai-nilai harus diintegrasikan dalam
semua mata pelajaran. Mata pelajaran agama dan kewarganegaraan memiliki
peranan yang strategis dalam proses pengembangan karakter ini. Begitu pun mata
pelajaran lain harus memiliki dampak pengiring sehingga proses pengembangan
dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Semua orang
sangat tepat nilai-nilai dapat diintegrasikan dalam semua mata pelajaran, dan guru
harus mampu mengejawantahkan dalam tataran pelaksanaan di lapangan. Guru
bukan lagi sebagai sumber ilmu satu-satunya melainkan bagaimana guru dapat
memfasilitasi siswa dalam mengeksplorasi kemampuannya sehingga dapat
menemukan jati dirinya sebagai individu yang memiliki karakter luhur. Strategi
pembinaan karakter patriotik (pendidikan afektif) termasuk kategori pembelajaran
emosional siswa. Pendidikan ini berupaya untuk menanamkan nilai-nilai patriotik
ke dalam diri siswa atau remaja.
Paskibraka Kota Bandung merupakan wadah pembinaan generasi muda
untuk berkomunikasi, konsultasi dan koordinasi dalam menampung aspirasi
anggota Paskibraka satuan (sekolah), di mana Paskibraka memiliki potensi dalam
menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dari telaah studi dokumentasi
dan studi pendahuluan, terungkap dalam anggaran dasar Paskibraka kota Bandung
adanya tujuan pembinaan, antara lain sebagai berikut:
1. Menghimpun dan membina para anggota agar menjadi warga negara Indonesia yang ber pancasila, setia dan patuh pada negara kesatuan republik Indonesia dan menjadi pandu ibu pertiwi.
2. Mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945
3. Membina watak, memelihara dan meningkatkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, persatuan dan kesatuan, mewujudkan kerjasama yang bulat dan jiwa pengabdian kepada bangsa dan negara, memupuk rasa tanggungjawab dan daya cipta yang dinamis serta kesadaran nasional di kalangan para anggota, keluarga sekolah dan masyarakat.
4. Membentuk manusia Indonesia yang mempunyai tiga kualitas pokok yaitu:
a. Memiliki ketahanan jiwa/mental (Tangguh)
b. Memiliki cukup pengetahuan dan kemahiran teknis untuk dapat melaksanakan pekerjaannya (Tanggap)
Memahami tujuan dari pola pembinaan Paskibraka Kota Bandung
tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa program pembinaan Paskibraka
memiliki nilai fungsional dalam proses pembinaan karakter patriotik. Dari
identifikasi awal terhadap program pembinaan Paskibraka dapat terlihat bahwa
nilai patriotik ditanamkan jelas dalam kegiatan ini. Seperti terlihat dari silabi yang
dikembangkan ada kegiatan awal bela negara, kegiatan baris-berbaris, latihan
kepemimpinan, pengetahuan tentang bendera dan lambang negara serta
perlakuannya.
Melalui struktur program pembinaan Paskibraka sebagaimana dijelaskan
di atas, maka secara konseptual dapat dikatakan bahwa proses pembinaan karakter
patriotik melalaui Paskibraka Kota Bandung memiliki peluang yang besar untuk
mewujudkannya. Berdasarkan asumsi tersebut, penelitian ini memfokuskan pada
upaya bagaimana menganalisis fenomena yang terjadi dalam konteks strategi
pembinaan karakter patriotik melalui Paskibraka kota Bandung.
B. PERMASALAHAN
Dari adanya permasalahan yang dipaparkan pada latar belakang di atas,
bagaimana implementasi pembinaan Paskibraka, dan sejumlah hambatan serta
permasalahan kerap dihadapi oleh pembina dan pelatih dalam menunjang kegiatan
pembinaan. Diantaranya sejumlah permasalahan yang ada dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Pendidikan atau pembinaan generasi muda menuntut pencapaian kompetensi
psikomotor. Dalam rangka mencapai ketiga taxonomi tersebut jangan hanya
menitikberatkan pada kegiatan kurikuler saja yang terbatas dalam lingkup
kurikulum dengan waktu relatif terbatas tetapi juga harus dilengkapi dengan
kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian sekolah ataupun wadah pembinaan
dituntut untuk mampu menyediakan fasilitas seperti tempat dan waktu dalam
menunjang pendidikan yang akan melahirkan generasi berkarakter baik.
2. Strategi pembinaan yang tepat, penting dilakukan sehingga tujuan yang ingin
dicapai dalam pembentukan karakter patriotik paskibraka dapat terwujud
3. Implementasi penanaman karakter patriotik dalam proses pembinaan menjadi
bagian penting dari proses pembinaan, sehingga instruktur dan pelatih dituntut
dapat menjalankan program kegiatan dan merencanakan latihan dengan baik.
4. Upaya-upaya dalam meningkatkan pembinaan karakter patriotik dan
kendala-kendala yang muncul harus menjadi perhatian dalam rangka terus
meningkatkan strategi pembinaan.
5. Pada pembinaan paskibraka, dampak dari proses penanamkan karakter patriotik
harus terlihat jelas perbedaan antara yang memperoleh pembinaan dengan
yang tidak, sehingga menjadi acuan dalam proses pembinaan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, pola pembinaan
paskibraka Kota Bandung yang memiliki fungsi sangat strategis hendaknya
benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai wadah pembinaan karakter secara holistik.
dapat dicapai secara seimbang dalam rangka membangun karakter bangsa yang
unggul.
C. FOKUS PENELITIAN
Berangkat dari latar belakang dan permasalahan penelitian sebagaimana
dijelaskan di atas, maka peneltian ini akan mengkaji tentang bagaimana proses
pembinaan paskibraka Kota Bandung dapat memiliki karakter patriotik. Setting
penelitian memfokuskan pada fenomena yang terjadi dalam proses kegiatan
pembinaan dan pelatihan sebagai wahana untuk membangun karakter dan nilai
patriotik paskibraka kota Bandung. Atas dasar itulah, maka penelitian ini bersifat
satudi kasus, Maxfield (1930) dalam Nazir (1999: 66), menjelaskan bahwa “studi
kasus” (case study) adalah penelitian tentang status subjek penelitian berkenaan
dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas”. Subjek
penelitian dalam studi kasus, bisa saja individu, kelompok, lembaga, maupun
masyarakat. Tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara
mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari
kasus, ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas
akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
D. PERTANYAAN PENELITIAN
Untuk menjabarkan fokus pada penelitian ini sebagaimana dijelaskan di
atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Karakter seperti apa yang ingin dibangun oleh pembina, instruktur dan pelatih
2. Bagaimana penanaman karakter patriotik dilakukan dalam pembinaan
paskibraka Kota Bandung?
3. Bagaimana implementasi strategi pembinaan karakter patriotik melalui
paskibaraka?
4. Apa yang menjadi kendala-kendala dan upaya apa yang dilakukan oleh
pembina, instruktur dan pelatih dalam menerapkan strategi pembinaan
karakter patriotik melalui paskibraka?
5. Bagimana perbedaan sikap atau perilaku anggota paskibraka dengan siswa
lainnya di sekolah maupun di masyarakat setelah mengikuti pembinaan?
E. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna-makna
tentang fenomena yang terjadi berkaitan dengan proses strategi pembinaan
karakter patriotik melalui Paskibraka Kota Bandung, sehingga pada akhirnya
dapat dijadikan pedoman pembinaan kegiatan paskibraka dalam membangun
karakter bangsa.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan
menganalisis data-data empiris mengenai:
a. Karakter dan nilai rujukan yang digunakan pembina, instruktur dan pelatih
dalam merumuskan program pembinaan dan pelatihan paskibraka.
b. Karakter dan nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan pembinaan paskibraka
melalui internalisasi karakter patriotik.
c. Implementasi program strategi pembinaan karakter patriotik melalui
paskibraka.
d. Kendala yang dihadapi oleh pembina, intruktur dan pelatih dalam strategi
pembinaan karakter patriotik melalui paskibraka.
e. Setelah selesai mengikuti pembinaan anggota Paskibraka memiliki karakter
patriotik yang kuat.
F. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Dalam kerangka kajian teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan kajian ke arah pengembangan pendidikan nilai dalam strategi
pembinaan karakter patriotik melalui paskibraka pada setting pembinaan
paskibraka kota Bandung. Temuan-temuan empirik dari penelitian ini juga, dapat
dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan konsep-konsep mengenai strategi
merumuskan konsep-konsep yang berhubungan dengan model pendidikan nilai
dalam setting paskibraka.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
sebagai berikut:
a. Bagi pembina paskibraka, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
merumuskan program pembinaan, khususnya yang berkaitan dengan program
pembinaan paskibraka yang memberikan kontribusi positif bagi pembentukan
karakter patriotik anggota paskibraka.
b. Bagi pelatih, dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melakukan refleksi ke
arah perumusan strategi internalisasi nilai dalam pembentukan karakter
patriotik pada kegiatan paskibraka.
c. Bagi sekolah, dapat dijadikan sebagai pedomam praktis dan kajian komparasi
dalam upaya strategi pembinaan siswa dalam setting sekolah.
d. Bagi pengembangan Body Of Knowlegde (kerangka ilmu) Pendidikan Umum,
khususnya berkaitan dengan pengembangan prinsip-prinsip dasar pembinaan
paskibraka sebagai wahana pembentukan karakter dan jiwa patriotik di
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN PENELITIAN
a. Metode Penelitian
Pada penelitian ini metode yang akan digunakan adalah deskriptik analitik
dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Creswell
(1998: 15) bahwa: ―Qualitative research in an inquiry process of understanding
based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or
human problem. The researcher builds of informants, and conducts the study in a natural setting”. Dikuatkan oleh David William (Moleong, 2007: 5) menyebutkan
bahwa istilah kualitatif adalah pengumpulan data pada satu latar ilmiah, dengan
menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang
tertarik secara ilmiah. Pendekatan kualitatif didasarkan atas fenomenologis yang
pada dasarnya bertujuan memperoleh pemahaman dan pengertian tentang perilaku
manusia ditinjau dari aktor perilaku manusia itu sendiri. Fenomenologis
mempelajari pengalaman manusia dalam kehidupan yang mempercayai bahwa
kebenaran itu akan terungkap melalui proses interaksi dan menyelami perilaku
pada setiap manusia atau kelompok manusia, sehingga pada akhirnya akan
memperoleh kesimpulan tentang apa yang penting, dinamis dan berkembang.
Selanjutnya Bogdan dan Biklen (1982: 5) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
Pendekatan ini diarahkan pada latar individu secara holistic (utuh), sejalan dengan
pendapat Nasution (1982: 5) bahwa ―penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka,
berusaha memahami bahasa lisan dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya‖.
Dalam implementasinya, metode-metode deskriftif tidak hanya terbatas
hanya sampai kepada interpretasi dan penyusunan data, akan tetapi meliputi
analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Sebab itulah, maka dapat dilakukan
sebuah penelitian kualitatif.
Ciri-ciri pendekatan kualitatif, dikuatkan oleh Bogdan dan Biklen (1982:
27-29), Yaitu: (1) sumber data dalam penelitian kualitatif ialah situasi wajar atau
natural dan peneliti merupakan instrumen kunci; (2) riset kualitatif bersifat
deskriptif; (3) riset kualitatif lebih memperhatikan proses ketimbang hasil atau
produk semata; (4) peneliti kualitatif cenderung menganalisa data secara induktif;
(5) makna merupakan soal esensial bagi pendekatan kualitatif.
Selain ciri-ciri di atas, dapat ditambahkan pula sesuai dengan pendapat
Nasution (1988: 9-12) sebagai berikut: (1) Mengutamakan data langsung atau first
hand; (2) Triangulasi; (3) Menonjolkan rincian konstektual; (4) subjek yang
diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti; (5) Mengutamakan
perspektif emic; (6) Verifikasi, termasuk kasus negatif; (7) Sampling purposif; (8)
Menggunakan audit trail; (9) Partisipasi tanpa mengganggu; (10) Mengadakan
analisis awal sejak penelitian; (11) desain penelitian tampil dalam proses
Berdasarkan ciri-ciri diatas, peneliti dapat berkomunikasi secara langsung
dengan subjek yang diteliti serta dapat mengamati mereka sejak awal sampai
akhir proses penelitian. Fakta atau data itulah yang kemudian akan diberi makna
sesuai dengan teori-teori yang terkait dengan fokus masalah yang diteliti. Ini
sejalan dengan pandangan Bogdan dan Biklen (1982: 31) yang antara lain
mengemukakan bahwa ― pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami dan
menafsirkan makna tentang suatu peristiwa dan interkasi perilaku manusia dalam
situasi tertentu‖. Dengan demikkian, dalam rangka menemukan fakta dan data
secara alamiah itulah, yang melandasi peneliti menetapkan untuk menggunakan
pendekatan kualitatif terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Pendekatan Penelitian
Pemilihan pendekatan kualitatif karena dianggap sangat sesuai dengan
masalah yang menjadi fokus penelitian. Selain daripada itu, pendekatan ini
memiliki karakteristik yang menjadi kelebihannya. Dan penelitian kualitatif
memiliki karakter atau cirri-ciri tersediri dibandingkan dengan jenis penelitian
yang lain. Guba dan Lincoln dalam Al Wasilah (2009: 104-107) mengemukakan
bahwa, dalam pendekatan kualitatif terdapat 14 karakteristik yakni:
1. Latar alamiah; Secara ontologis suatu objek harus dilihat dalam konteksnya yang alamiah, dan pemisahan anasir-anasirnya akan mengurangi derajat keutuhan dan makna kesatuan objek itu, sebab makna objek itu tidak identik dengan jumlah keseluruhan bagian-bagian tadi.
2. Manusia sebagai alat (instrument); Peneliti menggunakan dirinya sebagai pengumpul data utama. Benda-benda lain selain manusia tidak dapat menjadi instrument karena tidak mampu memahami dan menyesuaikan diri dengan realitas yang sesungguhnya.
proporsional (proportional knowledge) karena pengetahuan jenis pertama itu banyak dipergunakan dalam peruses interaksi antara peniliti dan responden.
4. Metode-metode kualitatif; peniliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi. 5. Sampel purposif; pemilihan sampel secara purposif atau teoritis
disebabkan peneliti ingin meningkatkan cakupan dan jarak data yang dicari demi mendapatkan realitas yang berbagi-bagai, sehingga segala temuan akan terlandaskan secara lebih mantap karena prosesnya melibatkan kondisi dan nilai lokal yang semuanya saling mempengaruhi.
6. Analisis data secara induktif;
7. Teori dilandaskan pada data di lapangan;
8. Desain penelitian mencuat secara alamiah; Para peneliti memilih desain penelitian muncul, mencuat, mengalir secara bertahap, bukan dibangun di awal penelitian.
9. Hasil penelitian berdasarkan negosiasi; Para peneliti naturalistik ingin melakukan negosiasi dengan responden untuk memahami makna dan interpretasi mereka ikhwal data yang memang diperoleh dari mereka. 10. Cara pelaporan kasus; Gaya pelaporan ini lebih cocok ketimbang cara
pelaporan saintifik yang lazim pada penelitian kuantitatif, sebab pelaporan kasus lebih mudah diadaptasikan terhadap deskripsi realitas di lapangan yang dihadapi para peneliti.
11. Interpretasi idiografik; Data terkumpul termasuk kesimpulannya akan diberi tafsir secara idiografik, yaitu secara kasus, khusus dan konstektual, tidak nomotetis, yakni berdasarkan hukum-hukum generalisasi.
12. Aplikasi tentatif; Peneliti kualitatif kurang berminat (ragu-ragu) untuk membuat klaim-klaim aplikasi besar dari temuannya karena realitas yang dihadapinya bermacam-macam.
13. Batas penelitian ditentukan fokus; Ranah teritorial penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh fokus penelitian yang memang mencuat ke permukaan.
14. Kepercayaan dengan kriteria khusus; Istilah-istilah seperti internalvalidity, external validity, reliability dan objectivity kedengaran asing bagi para peneliti naturalistik, karena memang bertentangan dengan aksioma-aksioma naturalistik. Keempat istilah tersebut dalam penelitian naturalistik diganti dengan credibility, transferability, dependability, dan confirmability.
Dalam pelaksanaannya di lapangan pada umumnya persamaan sifat dari
segala bentuk penelitian deskriptif digunakan karena masalah yang sedang diteliti
Dalam berbagai pengalaman dan penelitiannya, Guba dan Lincoln
(Moleong, 2007: 8) mengkaji kembali dan memadukan cirri-ciri penelitian
kualitatif yang dilakukannya dengan hasil penelaahan yang ditemukan Bogdan
dan Biklen (1982). Dan dalam kajian ini mereka mengupas 11 macam
karakteristik kualitatif yaitu sebagai berikut:
1. Latar Alamiah; Konsteksnya alamiah dari suatu keutuhan (entity). Ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami dan dipisahkan.
2. Manusia sebagai alat (instrument); Penelitian sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3. Metode kualitatif; Peneliti menggunakan metode kualitatif yakni pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen.
4. Analisis data secara induktif;
5. Teori dari dasar (grounded theory); lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data.
6. Deskriptif; Data-data yang dikumpulkan adalah berupa data-data, kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.
7. Lebih mementingkan proses dari pada hasil;
8. Adanya batas yang ditentukan oleh fokus; Alasan pertama, batas menentukan kenyataan jamak yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan dengan interaksi antara peneliti dan fokus.
9. Adanya criteria khusus untuk keabsahan data; Penelitian ini meredifikasi validitas, reliabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam penelitian klasik. 10. Desain yang bersifat sementara;
11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Dari kedua pendekatan di atas, dalam hal penelitian ini penulis lebih
cenderung untuk mengikuti karekteristik yang baru yakni, yang sebelas macam
karakteristik.
B. INSTRUMEN PENELITIAN
Dalam penelitian deskriptif-kualitatif peneliti menjadi instrumen utama
informasi melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara, maupun
penelaahan dokumen.
Instrumen penelitian yang menjadi perhatian adalah bahwa peneliti terjun
langsung ke lapangan menjadi pengamat, pembaca dan penilai situasi serta
kondisi proses pelatihan dan pembinaan yang berlangsung pada Paskibraka Kota
Bandung, serta bagaimana strategi pembinaan karakter patriotik itu, terprogram
dan terencana dalam seluruh aspek pada kegiatan yang dilakukan dalam pelatihan
tersebut. Selanjutnya yang dimaksud dengan peneliti sebagai pengamat adalah
peneliti tidak sekedar melihat peristiwa dalam situasi pelatihan dan pembinaan
yang ada, melainkan memberikan interpretasi dan menganalisa terhadap situasi
tersebut. Sedangkan peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan
analisa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, dan
selanjutnya menyimpulkan hasil penelitian untuk dimaknai.
Maleong (2007: 196-172) menjelaskan ciri-ciri manusia sebagai instrumen
yaitu sebagai berikut:
1. Responsif. Manusia sebagai instrument responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya.
2. Dapat menyesuaikan diri.Manusia sebagi instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi mengumpulkan data.
3. Menekankan kebutuhan. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kretivitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konsteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai suatu yang riel, benar dan mempunyai arti..
5. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi.
C. SAMPLING DAN SATUAN KAJIAN
Dalam teknik sampling penelitian kualitatif tentu akan berbeda dengan
penelitian kauantitatif. Dalam penelitian kuantitaif, sampel yang dipilih dari suatu
populasi dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. maka, sampel
benar-benar akan mewakili ciri-ciri suatu populasi.
Dalam paradigma alamiah, menurut Guba dan Lincoln dalam Moloeng
(2007: 7) peneliti memulai dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga
masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri.
Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan faktor-faktor kontekstual.
Sedangkan yang dimaksud sampling dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan sebanyak mungkin data dan informasi dari berbagai macam sumber
yang ada. Oleh karena itu, tujuannya bukanlah menitikberatkan pada adanya
perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan untuk dilakukan generalisasi.
Tujuannya antara lain untuk melihat dan merinci kekhususan yang ada dalam
ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling adalah menggali data
dan informasi yang akan menjadi dasar dalam rancangan dan teori-teori yang
muncul. Maka dari itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi
sampel bertujuan (purposive sample).
Menurut Moleong (2007: 224-225) sampel bertujuan dapat dilihat dan
1. Rancangan sample yang muncul, yaitu sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu.
2. Pemilihan sampel secara berurutan.
3. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya, setiap sampel dapat sama kegunaannya. Namun, sesudah makin banyak informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja maka sampel akan dipilih atas dasar fokus penelitian.
4. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan.
Maka dari itu, satuan kajian biasanya akan ditetapkan dan juga rancangan
penelitiannya. Sedangkan keputusan tentang penentuan sampel, besarnya, dan
strategi sampling pada dasarnya bergantung pada penetapan satuan kajian.
Biasannya satuan kajian itu bersifat perseorangan, seperti siswa, anggota, atau
pasien yang akan dijadikan kajian.
Apabila perseorangan itu sudah ditentukan dan akan dijadikan kajian,
maka proses pengumpulan data dan informasi dipusatkan disekitarnya. Sesuatu
yang akan dikumpulkan adalah apa yang telah terjadi dalam kegiatannya, apa
yang mempengaruhinya, bagaimana perilakunya, dan seterusnya. Dalam konteks
penelitian ini, satuan kajiannya adalah instruktur, pelatih dan anggota Paskibraka
Kota Bandung, sedangkan sampelnya instruktur, pelatih dan anggota Paskibraka
yang menjadi sasaran proses observasi.
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan empat teknik pada saat
proses pengumpulan data yakni observasi, wawancara, dokumentasi dan kajian
a. Tehnik Observasi
Dalam tehnik ini, peneliti akan ikut berperaan serta dalam kegiatan
pelatihan di lapangan maupun dalam kelas yang dilakukan atau diikuti oleh
semua responden. Peneliti akan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
responden tetapi tentunya tidak akan sepenuhnya diikuti. Hal ini tidak lain adalah
untuk menjaga suasana kondusif karena kedudukan peneliti sebagai orang diluar
sistem (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan
responden. Walaupun ikut berpartisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka,
maknanya diketahui oleh responden karena sebelumnya telah mengadakan survey
pendahuluan terhadap responden yang ada.
Setiap kegiatan yang dilakukan peneliti di atas, cocok dan sesuai dengan
apa yang diungkapkan Moleong (2007: 163) bahwa ―ciri has penelitian kualitatif
tidak bisa dipisahkan dari pengamatan berperan serta, namun peran penelitilah
yang menentukan keseluruh sekenarionya‖. Selanjunya Bogdan dalam Moleong
(2007: 164) menjelaskan bahwa:
Pengamatan berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaaksi sosial, yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematik dan berlaku tanpa gangguan.
Dengan demikian, agar hasil observasi ini dapat membantu menjawab dari
tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dalam penelitian ini, peneliti
menyesuaikan dengan apa yang diungkapkan oleh Merriam dalam Alwasilah
(2006: 215-216) yakni dalam observasi harus ada lima unsur penting sebagai
(activity and interaction); 4). Frekuensi dan durasi (frequency and duration); dan
5). Faktor substil (subtle factors).
Selajutnya Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 174-175)
memberikan beberapa alasan, mengapa dalam penelitian ini pengamatan harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya. Hal ini dikarenakan dapat memberikan bantuan
sebagai berikut:
Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung.
Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.
Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
Keempat, sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang keliru atau bias.
Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit.
Keenam, dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat‖.
Pada saat melakukan observasi, peneliti mencatat setiap fenomena yang
terjadi. Dan pada saat sesampainya di rumah catatan yang telah dibuat pada saat
di lapangan, langsung ditranskrif ke dalam catatan lapangan.
Untuk mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan-temuan dilapangan
pada saat pengamatan langsung yang sudah dituangkan ke dalam catatan
lapangan, selanjutnya peneliti melakukan proses wawancara terhadap instruktur,
b. Tehnik Wawancara
Tehnik wawancara dilakukan dengan mengacu pada instrumen yang telah
dibuat (pedoman wawancara), berupa rangkaian pertanyaan yang tidak
berstruktur yang dapat dikembangkan terus, baik terhadap instruktur, pelatih
maupun anggota Paskibraka. Maka diperoleh data atau informasi yang valid dan
akurat. Selain dibuat pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara,
peneliti juga menggunakan tape recorder serta kamera sebagai alat bantu
penelitian.
Sedangkan maksud dan tujuan melakukan wawancara, seperti yang
dikatakan oleh Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007: 186) antara lain sebagai
berikut:
Mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekontruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas kontruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.
Selanjutnya Guba dan Lincoln dalam Alwasilah (2006: 195)
mengungkapkan ada lima langkah penting dalam melakukan intervieu, yakni: 1)
Menentukan siapa yang diinterviu; 2) Menyiapkan bahan-bahan intervieu; 3)
Langkah-langkah pendahuluan; 4) Mengatur kecepatan mengintervieu dan
mengupayakan agar tetap produktif; dan 5) Mengakhiri intervieu.
Sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh Guba dan
Lincoln di atas, maka langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah
Setelah ditetapkan orang yang akan diintervieu, maka selanjutnya peneliti
menyusun pedoman wawancara sebagai acuan dalam peraktek wawancara agar
terarah kepada fokus penelitian, dan pada pelaksanaannya pertanyaan akan
terlontar secara sistematis sesuai dengan pedoman, tetapi tidak jarang
ditambahkan beberapa pertanyaan atas fenomena baru yang mencuat.
Dalam pedoman wawancara isinya akan mengacu kepada rumusan
masalah, ruang lingkup dan pedoman wawancara berbeda setiap sasaran
responden yang diwawancarai.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah: wawancara,
observasi partisipatif secara langsung di sekretariat Purna Paskibraka Indonesia,
jalan Matraman No 17 Bandung. Sedangkan wawancara akan dilakukan dengan
anggota paskibraka, pembina, pelatih dan instruktur (akan dipilih) yang
benar-benar mewakili populasi. Selanjutnya wawancara dengan orang-orang tertentu
yaitu Dinas Pendidikan Kota Bandung yang mewadahinya. Wawancara akan
dilakukan berulang kali sebagai Cross Chek (triangulasi) dan akan direkam
menggunakan alat perekam, agar diperoleh data yang valid dan ajeg. Sebelum
dilakukan wawancara akan dipersiapkan terlebih dahulu Guiding Quetions yang
relavan dengan tema penelitian ini. Data-data lainnya yang juga akan diusahakan
yaitu mendapatkan dokumen-dokumen paskibraka, booklet, dan agenda-agenda
lainnya di sekretariat Purna Paskibraka Indonesia. Semua data tersebut akan
dikumpulkan, dipilih, dan dianalisa. Data yang lain yang sudah penulis
kumpulkan adalah: buah buku tentang pendidikan karakter dan artikel, jurnal,
yang dipilih, karena paskibraka adalah adalah siswa-siswi pilihan yang dikirim
melalui proses seleksi dan dibina untuk mengenban tugas mengibarkan dupilikat
bendera pusaka.
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam hal ini tidak lain adalah mengkaji dan
mempelajari dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan masalah penelitian.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln dalam Alwasilah
(2006: 156) menyatakan bahwa:
Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari, sekali pun dokumen tidak lagi berlaku.
Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan dan kekeliruan interpretasi. Dokumen itu merupakan sumber data yang relatif mudah dan murah
dan terkadang dapat diperoleh dengan cuma-cuma.
Dokumen merupakan sumber data yang non reaktif dan alami.
Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi informasi yang diperoleh lewat intervieu atau observasi‖.
Pada penelitian ini, tehnik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui
dokumen tentang bagaimana kurikulum dan proses strategi pembinaan karakter
patriotik Paskibraka Kota Bandung sebelum penelitian. Dan dokumen tersebut
diperoleh dari instruktur dan pelatih Paskibraka Kota Bandung berbentuk silabus,
rencana pelatihan (Renlat). Selain itu dokumen yang berhubungan dengan
organisasi Paskibraka, diperoleh oleh peneliti dari sekretariat Paskibraka. Dan
dokumen lain berasal dari Purna Paskibraka Indonesia kota Bandung yang
dianggap mendukung pada pengembangan disiplin dan pembelajaran pendidikan
agama Islam, serta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan strategi pembinaan
d. Tehnik Studi Pustaka
kajian pustaka dilakukan dalam rangka mengumpulkan data ilmiah dari
berbagai literatur yang berhubungan dengan konsep strategi pembinaan karakter
patriotik melalui Paskibraka Kota Bandung, kegiatan pembelajaran serta metode
penelitian pendidikan.
Untuk mendapatkan data-data ilmiah ini, penulis mengkaji berbagai
referensi diantaranya; 1) Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung; 2) Perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPs UPI; 3)
perpustakaan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung; 4)
Sekretariat Purna Paskibraka Indonesia Kota Bandung; 5) Perpustakaan penulis
sendiri; 6) Internet dan sumber lain yang mendukung terhadap penulisan
penelitian tesis ini.
E. TAHAPAN-TAHAPAN PENELITIAN
Dalam rangka mendapatkan data secara maksimal, penulis melakukan
penelitian dengan beberapa tahapan yaitu melalui: orientasi lapangan , eksplorasi,
pencatatan data, dan analisis data.
a. Tahapan Orientasi
Pada tahapan orientasi, awalnya peneliti mengadakan survey ke sekretariat
Purna Paskibraka Kota Bandung (PPI), yang diawali dialog dengan instrukrur
dan pelatih. Setelah mendapatkan informasi dan izin dari ketua PPI, penulis
karakter patriotik melalui Paskibraka sebagai wujud internalisasi nilai-nilai dalam
pendidikan umum/ nilai.
Dari hasil pendekatan tersebut peneliti mengambil dua unsur responden
yaitu Instruktur, pelatih anggota Paskibraka dan Purna Paskibraka Indonesia kota
Bandung.
b. Tahapan Eksplorasi
Pada tahapan ini peneliti mulai melakukan kunjungan pada sekretariat dan
responden, serta mulai mengenal dekat dengan responden. Selanjutnya meningkat
dengan mengamati sekaligus berpartisipasi bersama responden. Sehingga penulis
dapat melaksanakan wawancara dengan instruktur, pelatih, anggota Paskibraka
dan Purna Paskibraka Indonesia kota Bandung.
Untuk mendukug kelengkapan data, peneliti pun mencari informasi dari
responden yang berasal dari anggota Paskibraka yang mewakilinya.
Proses pengamatan dilakukan dengan membuat janji terlebih dahulu
dengan instruktur, pelatih anggota Paskibraka dan PPI.
Pengamatan selanjutnya dilakukan di lapangan maupun dalam kelas pada
saat kegiatan pemusatan pendidikan dan latihan dasar anggota Paskibraka
c. Tahapan Pencatatan Data
Hasil catatan merupakan rekaman hasil observasi dan wawancara, yang
dilakukan ketika di lapangan berupa catatan-catatan singkat atau catatan kunci.
Setiap kali menemukan infoemasi baru dan mencuat segera dicatat, agar tidak
Selanjutnya langkah-langkah penulisan catatan lapangan yang dilakukan
oleh peneliti, sebagaimana yang dikatakan oleh Moleong (2006: 216-217)
sebagai berikut:
1. Pencatatan awal. Pencatatan ini dilakukan sewaktu berada di latar penelitian dengan jalan hanya menuliskan kata-kata kunci pada buku nota.
2. Pembuatan catatan lapangan lengkap setelah kembali ke tempat tinggal. Pembuatan catatan ini dilakukan dalam suasana yang tenang dan tidak ada gangguan. Hasilnya sudah berupa catatan lapangan lengkap.
3. Apabila sewaktu ke lapangan penelitian kemudian teringat bahwa masih ada yang belum dicatat dan dimasukan dalam catatan lapangan, dan hal itu dimasukan.
d. Tahapan Analisis Data
Analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan cara
bekerja sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh, mengorganisasikan dan
mengolah data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
diamggap penting, serta menentukan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.
Dari hasil wawancara dan observasi yang telah dituangkan ke dalam
catatan lapangan, maka selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisa. Pengolahan
dan penganalisaan data merupakan bagian dari upaya untuk menata data secara
sistematis. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan pemahaman peneliti pada
berbagai masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami maknanya.
Seiddel dalam Moleong (2007: 248) mengatakan bahwa dalam proses
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mengsintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeknya.
3. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, serta membuat temuan-temuan umum.
Tahapan selanjutnya adalah analisis data yang menurut Janice Mc Drury
dalam Moleong (2007: 248) harus dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni: ―a)
Membaca/ mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada
dalam data; b) Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema
yang berasal dari data;c) Menuliskan model yang ditemukan; dan d) Koding yang
telah dilakukan‖.
Melihat paparan di atas, maka proses analisis data dalam penelitian ini
akan dikembangkan berdasarkan hasil observasi dan wawancara. Selanjutnya
dituangkan dalam catatan lapangan untuk dikategorikan berdasarkan pengkodean
yang telah dibuat. Lalu peneliti memilih kategori yang terdapat hubungan dengan
fokus penelitian untuk dianalisis dan diberi makna sehingga menghasilkan sebuah
teori.
Untuk melihat alur analisis data dalam penelitian ini, dapat dilihat dalam
e. Tahapan Pelaporan
Data yaang telah dilakukan analisa maka kemudian dipadukan dengan
teori-teori yang sesuai dengan konsepsi penulis tentang permasalahan yang
menjadi fokus penelitian. Proses pemaduan konsepsi penelitian dituangkan pada
laporan penelitian yang sistematikanya mengacu pada pedoman penulisan karya
tulis ilmiah dari Universitas Pendidikan Indonesia edisi 2011.
Selain itu, dalam rangka menyempurnakan laporan penelitian dilakukan
proses bimbingan secara berkelanjutan dengan dosen pembimbing, baik
pembimbing I maupun pembimbing II.
F. VALIDISASI DAN REALIBILITAS DATA
Untuk menguji kebenaran secara ilmiahnya serta memiliki nilai keajegan,
maka dalam penelitian ini harus dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data
yang ditemukan di lapangan.
a. Validasi Data
Sesuai dengan yang dinyatakan Alwasilah (2009: 169) bahwa ―validitas
adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran
dan segala jenis laporan‖. Dan apabila ada ancaman terhadap validitas, hanya
dapat ditangkis dengan bukti, bukan dengan metode. Karena metode hanyalah alat
untuk mendapatkan bukti.
Untuk menguji validitas ini, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pada
Alwasilah (2006: 175-184) yang mengemukakan 14 teknik dalam menguji
validitas penelitian sebagai berikut:
1) Pendekatan Modus Operandi (MO); 2) Mencari bukti yang menyimpang dan kasus negatif; 3) Triangulasi; 4) Masukan, asupan atau feedback; 5) Mengecek ulang atau member checks; 6) ―Richdata‖ atau data yang melimpah; 7) Quasi-statistics; 8) Perbandingan; 9) Audit; 10) Observasi jangka panjang (long-term observation); 11) Metode partisipatori (participatory mode of research); 12) Bias penelitian; 13) Jurnal reflektif (reflective Journal); dan 14) Catatan pengambilan keputusan.
Dari keempat belas teknik tersebut, dalam penelitian ini hanya terdapat 5
(lima) teknik yang dianggap dapat mewakili teknik-teknik tersebut yakni:
triangulasi, member checks, metode partisipatori, jurnal reflektif dan catatan
pengambilan keputusan.
1. Triangulasi
Alwasilah (2006: 175) menyebutkan bahwa ―Triangulasi merupakan
teknik yang merujuk pada informasi atau data dari individu dan latar dengan
menggunakan berbagai metode‖. Sejalan dengan pendapat itu Moleong (2007:
330) mengungkapkan bahwa ―Triangulasi adalah sebagai teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain‖. Selanjutnya Patton dalam
Moleong (2007: 330) menyatakan bahwa triangulasi dapat dicapai dengan jalan
sebagai berikut: