• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI KONSUMSI MEDIA MASSA TERHADAP PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN TINGKAT MODERNITAS GENERASI MUDA KOTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONTRIBUSI KONSUMSI MEDIA MASSA TERHADAP PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN TINGKAT MODERNITAS GENERASI MUDA KOTA."

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Desain Penelitian ... 16

1. Asumsi Filosofis ... 16

2. Batasan Istilah ... 18

3. Strategi Inkuiri ... 20

4. Metode Penelitian ... 21

E. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 22

F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 23

G. Manfaat Penelitian ... 24

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Modern dalamPerspektif Filosofis-Sosiologis ... 25

1. Perspektif Filosofis ... 25

(2)

vii

B. Postmodern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis ... 41

1. Perspektif Filosofis ... 41

2. Perspektif Sosiologis ... 46

C. Stratifikasi Sosial ... 57

D. Media Massa ... 58

E. Teknologi Informasi ... 64

F. Penelitian yang Relevan ... 71

G. Kerangka Pemikiran ... 74

H. Hipotesis ... 76

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode ... 78

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 78

1. Lokasi Penelitian ... 78

2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 79

C. Definisi Operasional ... 82

D. Teknik Pengumpulan Data ... 84

E. Instrumentasi ... 86

F. Teknik Analisis Data ... 90

1. Teknik Deskriptif ... 90

2. Uji Chi Square dan Kruskall-Wallis ... 98

3. Korelasi Pearson Product Moment ... 98

(3)

viii

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Yogyakarta Sekilas Pandang ... 102

B. Analisis Data ... 112

1. Deskripsi Responden ... 112

2. Uji Korelasi ... 134

3. Uji Hipotesis ... 137

C. Rangkuman Hasil Analisis Data ... 155

D. Pembahasan ... 159

1. Pemanfaatan TI ... 160

2. Tingkat Modernitas ... 172

3. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 184

4. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia dan Daerah Asal ... 191

5. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Pemanfaatan TI ... 192

6. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Tingkat Modernitas ... 203

E. Implikasi ... 220

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 225

B. Rekomendasi ... 226

(4)

ix

DAFTAR TABEL

3.1. Sampel Penelitian ... 80

3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes ... 85

3.3. Rangkuman Statistik Deskriptif masing-masing Variabel ... 96

4.1. Jumlah Mahasiswa Perguruan Tinggi Yogyakarta ... 106

4.2. Persebaran Jumlah Mahasiswa menurut Jenis Perguruan Tinggi ... 108

4.3. Status Sosial ekonomi Orang Tua Responden ... 114

4.4. Kepemilikan Ponsel Responden ... 115

4.5. Kepemilikan Alamat E-mail ... 116

4.6. Pengetahuan Responden tentang TI ... 116

4.7. Konsumsi Media Massa ... 117

4.8. Pemanfaatan TI ... 119

4.9. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Gender ... 120

4.10. Uji Chi-square ... 121

4.11. Perbedaan Frekuensi Penggunaan Internet berdasarkan Gender ... 122

4.12. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Usia Responden ... 124

4.13. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 124

4.14. Pemanfaatan TI Berdasarkan Daerah Asal Responden ... 126

4.15. Uji Chi-square ... 127

4.16. Tingkat modernitas Individual Responden ... 128

4.17. Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 129

(5)

x

4.19. Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia ... 131

4.20. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 132

4.21. Tingkat Modernitas Berdasarkan Daerah Asal ... 133

4.22. Uji Chi-Square ... 134

4.23. Korelasi antar Variabel X dan Y1 ... 135

4.24. Korelasi antar Variabel X dan Y2 ... 136

4.25. Statistik Kolinieritas ... 138

4.26. Diagnosis Kolinieritas ... 138

4.27. Uji Durbin-Watson Y1 ... 139

4.28. Uji Durbin-Watson Y2 ... 140

4.29. Model Summary ... 142

4.30. Anova ... 142

4.31. Coefficient ... 142

4.32. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y1 ... 144

4.33. Model Summary ... 147

4.34. Anova ... 149

4.35. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y2 ... 150

4.36. Model Summary ... 153

(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

3.1. Instrumen : Try out ... 235

3.2. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas ... 259

3.3. Instrumen : Kuesioner ... 269

4.1. Tabel Deskripsi responden ... 289

4.2. Frekuensi Konsumsi Media Massa ... 291

4.3. Student Distribution ... 293

4.4. Distribution ... 295

4.5. Frekuensi Pemanfaatan Internet ... 298

4.6. Respon terhadap Beberapa Butir Pernyataan tentang Sikap Kritis dan Kultikulturalisme ... 300

(7)

BAB I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia bersama negara-negara lain yang sedang berkembang,

bergerak dengan sebuah dorongan – meminjam istilah Edward Shils- kehendak

untuk menjadi modern. Modernisasi menjadi proyek normatif di negara sedang

berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan termasuk di

Indonesia. Melalui proyek-proyek pembangunan (nasional) yang pernah menjadi

obsesi pemerintah Orde Baru, proses modernisasi di Indonesia dilaksanakan

dengan gaya Rostowian, perencanaannya disusun menurut tahap-tahap

pertumbuhan ekonomi secara nonmarxian lewat GBHN dan Pelita demi Pelita.

Prosesnya dijalankan dengan utang luar negeri lewat mesin politik berupa militer

dan birokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi. Setelah kurang lebih 12 tahun

era reformasi berjalan, semangat dan jejak langkah praksis pembangunan atau

modernisasi masa Orde Baru masih nampak dan terasakan dengan berbagai

patologinya.

Dalam perspektif filosofis, menjadi modern adalah menjadi rasional. Hegel,

Marx, dan Teori Kritis bahkan mengemukakan penegasan yang radikal dan total :

setiap masyarakat manusia terdiri atas mahkluk-mahkluk rasional dan sejarah

umat manusia adalah sejarah menuju masyarakat yang semakin rasional

(Hardiman, 2004).

Habermas (1987 ) menyatakan tiga premis nilai orang modern yakni : pertama,

orang modern itu mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek rasional, dalam

(8)

otonomi pribadi, dan demokrasi. Kedua, orang modern itu kritis, dalam arti orang

modern cenderung mengeliminasi prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki

gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi otoritas yang

taken for granted. Ketiga, orang modern itu progresif, dalam arti mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Ketiga premis ini tidak bisa

dipisah-pisahkan karena ketiganya berkorelasi secara inheren. Oleh sebab itu

secara konseptual individu modern dapat dirumuskan sebagai individu yang

memiliki daya kritis, karena daya kritis mengandaikan adanya kesadaran sebagai

subjek rasional sekaligus progresif.

Akan tetapi modernitas individual tidak hanya sekadar mengandaikan daya

kritis seperti yang dirumuskan di atas. Dalam masyarakat dewasa ini terdapat

perubahan struktur yang lebih mengedepankan gaya hidup yang dikuasai oleh

image atau citra. Benjamin R. Barber (2003: 115-116;123) dalam bukunya Jihad vs McWorld, mengambil Indonesia, sebagai contoh sebuah negeri yang ditaklukkan secara damai oleh budaya global (global culture), yang secara

olok-olok disebut Barber sebagai McWorld. Istilah ini dipakai Barber sebagai plesetan

gabungan retoris dari MTV, McDonald’s, dan Macintosh. Artinya kurang lebih

adalah dunia yang sudah dikuasai oleh image atau citra.

Jalan pikiran Barber secara ringkas dan sederhana kurang lebih adalah sebagai

berikut. Kalau anak muda semula minum dari air sumur kemudian minum Coca

Cola, hal itu merupakan persoalan ekonomi karena air sumur gratis, sementara

Coca Cola harus membeli. Tetapi kalau orang Indonesia sudah menggantikan

(9)

dari makan nasi timbel ke makan Big Mac’s, dari berkebaya kemudian memakai

Zara, dari naik sado ke Volvo, dari kejawen ke konsumerisme, itu berarti orang

sudah di ambang McWorld.

Siklusnya secara sederhana dapat dirumuskan demikian, kehidupan diubah

menjadi konsumsi, konsumsi diubah menjadi makna, makna menjadi fantasi,

fantasi menjadi realitas, realitas menjadi realitas semu (virtual reality), dan

akhirnya realitas semu menjadi kehidupan. Dalam terminologi posmodernisme hal

ini disebut sebagai hiperrealitas, yakni hilangnya batas-batas perbedaan antara

dunia nyata (real) dan yang semu (virtual). Realitas semu dianggap nyata dan

yang nyata dianggap semu. Artinya, Nike tidak menjual sepatu seperti

McDonalds juga tidak menjual hamburger. Nike dan McDonalds menjual gaya

hidup.

Pemikiran Habermas dan Barber di atas dapat dimaknai bahwa daya atau sikap

kritis dan gaya hidup merupakan representasi modernitas individual. Sampai di

titik ini dapat dikatakan bahwa elemen modernitas berupa kritik mengalir ke

dalam konseptualisasi postmodernisme. Kritik, sebagai manifestasi sikap kritis

telah menjadi pemantik yang menyalakan konseptualisasi pemikiran

postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik tajam atas modernisme

(pemikiran), realitas sosial budaya ekonomi (modernitas), maupun proses menjadi

modern atau modernisasi (Roseneu, 1992; Hardiman, 1994; Sugiharto, 1996;

Anderson, 2004; Hutcheon, 2006).

Namun demikian dalam konteks ini postmodernitas tidak dipahami sebagai

(10)

modernitas, “Postmodernisme adalah bagian dari modern” (Lyotard, 1993:12),

yang menekankan partikularitas, pluralitas, dan keragaman (Lyotard, 1984). Oleh

karena itu bersama dengan gaya hidup dan sikap kritis, multikulturalisme atau

semangat multikulturalitas dijadikan elemen strategis dalam membentuk konsep

modernitas individual.

Sisi lain dari modernitas adalah kemajuan teknologi informasi (TI) dan

pemanfaatannya seperti yang nampak dalam kenyataan sekarang ini. Wujud TI

yang paling populer dewasa ini adalah komputer, internet, dan telepon seluler.

Penggunaan istilah TI lebih populer di Amerika Serikat, sedangkan negara-negara

di Eropa menggunakan phrasa “information and communication technologies”

yang sering disingkat dengan ICT atau TIK (Brynin dan Kraut, 2006: 3)

TI, langsung atau tidak langsung, telah melahirkan optimisme di masa depan

dan semakin memanjakan masyarakat serta mengubah berbagai aspek kehidupan

bermasyarakat dengan memberikan berbagai kemudahan di bidang sosial,

ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Kalau sebelumnya orang bersosialisasi

dengan berkumpul bersama-sama teman di suatu tempat atau berkenalan dengan

orang baru di sebuah acara, maka dengan TI khususnya internet, sekarang orang

dapat bersosialisasi tanpa terikat dengan dimensi waktu dan tempat.

Begitu pula dengan pengertian bekerja dan belajar. Saat ini bekerja atau belajar

tidak harus dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan di dalam gedung

perkantoran atau sekolah/kampus. Bekerja atau belajar dapat dilakukan di kafe, di

(11)

Semuanya menjadi mungkin dengan teknologi digital dengan pilihan konektivitas

tanpa kabel (wireless).

Modernitas dan penetrasi TI di kalangan generasi muda secara masif berpotensi

memunculkan kesadaran baru yang mengarah pada relativisasi identitas dari acuan

individual dan nasional pada acuan umum dan supranasional/global. Dalam

konteks ini pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi relevan untuk

mengantar generasi muda menuju kesadaran akan identitas diri atau nasional

tanpa memutlakkannya atau “menguras habis” identitas supranasional/global dan

sebaliknya. Ilmu Pengetahuan Sosial berpotensi menjadi penghubung antara,

meminjam istilah Talcott Parson, nilai-nilai “partikularisme” dan “universalisme”.

Elizabeth Heilman mengetengahkan sebuah artikel yang mendalam tentang

pendidikan global (global education) dan tantangan-tantangannya. Heilman

menyatakan bahwa saat ini kita tidak bisa hidup hanya secara lokal saja. Kita

dihubungkan dengan sesama di seluruh dunia dengan banyak cara. Akan tetapi

apa yang harus kita lakukan menghadapi keterhubungan tersebut ? Menurutnya,

“all models of global education are concerned with knowing (the other) and

across cultures”. Ringkasnya, Heilman telah memperjelas bahwa seluk beluk atau keruwetan pendidikan global kemungkinan besar akan meyibukkan para pendidik

IPS dalam dasawarsa terakhir ini (2006 : 189-208)

Menurut Fenton (1967) Social Studies atau IPS bukanlah studi yang tunggal

seperti pelajaran Bahasa Indonesia atau Matematika, tetapi merupakan

sekelompok bidang studi yang saling berhubungan yang meliputi Ilmu Politik,

(12)

generasi muda dan pemanfaatan TI terutama berada di wilayah bidang studi

sosiologi, karena inti sosiologi adalah kajian tentang perubahan sosial (Sztompka,

2004: v).

Saat ini generasi muda berada dalam masa transisi dari modernitas yang secara

cepat dan bertahap menjangkau ke seluruh dunia menuju ke bentuk kehidupan

sosial baru, walaupun diragukan oleh sementara pihak untuk disebut postmodern.

Pengaruh perubahan sosial ini menyentuh hampir semua aspek kehidupan seperti

seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi, kehidupan keluarga, dan

sebagainya.

Para pemikir social studies/IPS pun menanggapinya ketika beberapa pemikir

mengkaitkan pendidikan IPS dengan terminologi “post” atau “pasca” dalam ranah

ilmu-ilmu sosial dan budaya seperti postmodernism, poststructuralism, dan

perspektif cultural studies. Cherryholmes, misalnya, mengetengahkan beberapa

argumen pentingnya memahami dan mendekati pendidikan IPS dengan kacamata

teori postmodern. Cherryholmes menyatakan bahwa pada saat ini kebenaran

dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan sudah tidak dapat diterima lagi karena yang

disebut kebenaran itu bersifat problematik. Maka salah satu konsekuensi yang

sangat penting untuk pendidikan IPS adalah bahwa, “there is no one or set of

undisputed, authoritative stories or theories or concepts or facts for social studies educators to adhere to teach” (2006: 6).

Social Studies mengemban misi menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang baik seperti yang dirumuskan NCSS, sejauh yang dikutip Suyanto

(13)

develop the ability to make informed and reasoned decisions of the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in interdependence world.

Dalam bahasa lain, pendidikan IPS atau lebih spesifik pembelajaran IPS

bertujuan mengembangkan karakter yang berdimensi spiritual, personal, sosial,

dan intelektual agar generasi muda (peserta didik) mampu memahami,

menganalisis, dan ikut memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan

(Wiryohandoyo, 1994) atau dengan ringkas dapat dikatakan agar peserta didik

memiliki sikap kritis.

Upaya pendidikan IPS untuk merealisasikan hakikat, misi, dan dinamikanya di

atas mendapat tantangan besar yakni pertumbuhan pesat teknologi informasi dan

media massa. Gambaran modernitas dan pemanfaatan TI seperti di atas merasuk

ke tengah-tengah masyarakat tidak terkecuali generasi muda kota, bukan lewat

indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran, lokakarya, dan

sebagainya, melainkan lewat gemerlap iklan, program-program televisi seperti

berbagai macam kuis berhadiah jutaan rupiah, berbagai macam acara kontes, dan

tawaran gaya hidup konsumtif lewat media massa.

Erat kaitannya dengan hal ini, Trenia Walker (2006) menulis tentang

kebudayaan populer (pop culture) dalam IPS. Menurutnya, kita hidup di

lingkungan yang sarat media. Walker berpendapat bahwa konstruk siswa atas

pemahaman mereka tentang dunia sebagian besar berasal dari teks yang terdapat

dalam kebudayaan popular termasuk media massa. Karena itu sangat mungkin

(14)

sebab itu, menurutnya, students can be encouraged to use popular culture as an

object of study, critically examining and deconstructing it (171-187).

Menurut Solvay Gerke (2000: 148) media massa, khususnya para jurnalis,

telah berperan “.... as stylists and missionaries of modernity as well as

trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of modernity”. Media massa mempengaruhi bahkan mengarahkan sikap, perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat termasuk generasi muda di tengah kehidupan

modern dewasa ini.

Indonesia, menurut Bank Dunia (Kompas, 8 Desember 2006), memiliki

penduduk yang rentan miskin dan miskin hampir separuh jumlah penduduk.

Ketimpangan sosial ekonomi masyarakat ini merupakan cerminan dari struktur

sosial masyarakat Indonesia yang majemuk atau plural yang bersifat

multidimensional, dalam arti struktur sosial yang terpecah-pecah secara vertikal

(stratifikasi sosial) maupun horisontal (deferensiasi sosial). Posisi generasi muda

dalam konteks modernitas masyarakat semacam ini sangat boleh jadi ditentukan

oleh status sosial ekonomi orang tua atau keluarganya. Demikian juga

kemampuan generasi muda untuk menangkap gambaran atau pesan-pesan

modernitas dan pemanfaatan TI berbeda-beda, sesuai dengan derajad atau status

sosial ekonomi orangtuanya.

Namun seiring dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi,

perangkat TI bukanlah benda asing bagi generasi muda. Kepemilikan perangkat

TI hampir sudah menjadi keniscayaan bagi kaum muda, karena harga yang

(15)

Pemahaman atau pengetahuan generasi muda tentang TI menjadi variabel yang

cukup penting ketika sebagian besar kaum muda memiliki perangkat tersebut.

Sebuah penelitian tentang profil dan cara berpikir generasi muda masa kini

pernah dilakukan oleh Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta, pada bulan

Maret sampai Juli 2006 (Tempo, 22 Oktober 2006). Walaupun mungkin tidak

menganut rancangan studi yang canggih dengan metodologi yang ketat secara

akademik, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran nyata tentang

kecenderungan perilaku kaum muda masa kini.

Penelitian ini menggunakan sampel 385 pasang anak muda usia 15 - 24 tahun

yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan, dan

Makasar. Penelitian ini bermaksud menunjukkan bagaimana kaum muda sekarang

merepresentasikan kehidupan modern. Hasil penelitian menyebutkan 83,3%

responden memiliki telpon genggam, sementara 68,8% memiliki dan

menggunakan komputer. Erat kaitannya dengan kepemilikan komputer, sebesar

25,4% memanfaatkannya untuk untuk kepentingan hiburan lewat internet (online)

dan 40,7% responden memanfaatkan internet untuk berkomunikasi seperti akses

e-mail dan chatting.

Sebesar 51,5% dari responen memiliki motor sebagai alat transportasi

sehari-hari, sedangkan yang mengendarai mobil sebesar 31,3%. Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa 61% di antara responden mengatakan - dalam istilah gaul

kaum muda- kumaha aing, gue banget. Ungkapan ini dimaksudkan untuk

menunjukkan betapa mereka bisa membikin apa saja (kebutuhan mereka) seperti

(16)

yang menyatakan mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka kehendaki

atau mereka sukai. 82% kaum muda itu bisa menerima prestasi dalam

bidang-bidang yang tidak lazim. Erat kaitannya dengan hal itu 85% menyatakan tidak

takut tampil beda dan tampil beda itu bagus.

Apa yang dipaparkan di atas adalah salah satu bentuk modernitas kaum muda

dalam perspektif sosiokultural. Sedangkan modernitas kaum muda dalam

perspektif sosioekonomi dapat ditilik dari pengalaman seorang mahasiswa sebuah

universitas negeri di Bandung bernama Wangga Dharma Saputra, 22 tahun berikut

ini. Mahasiswa ini mengelola sebuah tambang pasir di Pasir Kaler Sumedang dan

mengelola usaha penyewaan truk yang berkantor di daerah Sindanglaya Bandung.

Mahasiswa ini mengawali usahanya itu sejak kelas 2 SMA sebagai order taker di

perusahaan bus milik ayahnya.

Selepas SMA, yang bersangkutan belajar kewirausahaan di Entrepreneurship

University Primagama selama enam bulan. Selesai studi, ayahnya memberi modal

kepadanya untuk usaha isi ulang air mineral. (Media Indonesia, 6 Maret 2007).

Pada rubrik yang sama juga diungkapkan kisah sukses beberapa mahasiswa yang

berwiraswasta dengan pola yang tidak jauh berbeda.

Para mahasiwa di atas masuk dalam arus utama bisnis dengan nilai-nilai dan

sikap mental yang dalam perspektif modernitas disebut entrepreneurship atau

kewiraswastaan. Sebuah konsep dan sikap mental modern kapitalistik yang kini

dimasukkan dalam kurikulum di berbagai universitas di Indonesia hanya karena

(17)

Tentang pengangguran di kalangan kaum muda terdidik ini, Agus Suwignya

(2003) menengarai bahwa tingginya sarjana penganggur merupakan salah satu

indikator rendahnya mutu intelektualitas mahasiswa perguruan tinggi yang

mencakup logika, daya kritis, kedalaman kemampuan analisis, dan disposisi

sikap.

Indikator di atas dapat dipotret dari kenyataan-kenyataan yang menunjukkan

inkonsistensi antara tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan.

Misalnya, sebuah seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa sebuah

perguruan tinggi di Yogyakarta. Seminar bertajuk ’Kedirian’ (Selfness) ini intinya

membicarakan perlunya seseorang memiliki prinsip teguh, mampu memilih,

otentik, dan tidak terombang-ambing oleh imaji-imaji iklan kaum kapitalis.

Padahal kegiatan seminar ini disponsori oleh sebuah perusahaan soft drink yang

dikritik mahasiswa sebagai salah satu simbol kapitalisme global. Namun patut

disayangkan karena iklan soft drink tersebut dicantumkan sebagai judul seminar.

Contoh lain, dalam harian Kompas 27 Agustus 2002, Prasetyantoko menulis, di

tengah demonstrasi anti Amerika seorang mahasiswa berteriak ”Kita lawan

kapitalisme Amerika!” sambil memegang secangkir café latte yang sering

dianggap salah satu simbol kapitalisme.

Inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda juga

dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya perilaku berlalu lintas. Tidak

sedikit kaum muda yang naik atau turun dari kendaraan umum di tempat-tempat

yang tidak semestinya, membuang sampah atau menggunakan ponsel ketika

(18)

menyalakan lampu sign dan sebagainya. Demikian juga perilaku tidak mau antri

saat membeli tiket, asyik menggunakan ponsel dalam peristiwa dan suasana yang

tidak tepat, misalnya dalam rapat atau di tempat ibadat.

Semua yang dipaparkan di atas memperlihatkan sebuah paradoks modernitas di

kalangan generasi muda. Di satu pihak nampak adanya kreativitas, cara pikir

progresif, rasa percaya diri yang besar, seperti nampak dalam hasil penelitian

Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta dan kisah sukses mahasiswa

wirausahawan, namun di lain pihak terdapat bentuk-bentuk kelatahan sosial,

kekonyolan, gagap teknologi, atau satu bentuk ketidaksiapan mental-sosial

generasi muda dalam menghadapi modernitas seperti yang tercermin dalam

inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda.

Berangkat dari paparan konseptual teoretik maupun kenyataan empirik di atas

muncul permasalahan, sejauh mana tingkat modernitas generasi muda kota dan

pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda. Benarkah media

massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang teknologi

informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas generasi

muda dan pemanfaatan teknologi informasi?

Dalam masyarakat yang sarat media (media-saturated society) seperti saat ini,

kajian tentang keberadaan dan posisi generasi muda dalam perspektif modernitas

menjadi penting untuk diketahui. Mengetahui tingkat modernitas generasi muda

dalam realitas kekinian dan bagaimana mereka memanfaatkan TI merupakan

(19)

dipermainkan oleh logika kapitalisme, yang berujung pada gaya hidup konsumtif

dan budaya instan di kalangan generasi muda pada umumnya

Hal yang kurang lebih sama berlaku pula dalam hal bagaimana generasi muda

memanfaatkan TI terutama internet dan telpon seluler. Dalam pandangan

tradisionalis-intrumentalis yang dominan di tengah masyarakat, teknologi

diperlakukan sebagai alat atau sarana yang netral, dalam arti dapat digunakan

untuk tujuan baik atau buruk. Namun demikian teknologi juga berpotensi

mendominasi kehidupan, dalam arti mengarahkan kegiatan seseorang. Maka,

pemahaman akan pemanfaatan TI oleh kaum muda dapat menjadi bahan refleksi

mengenai bagaimana seharusnya generasi muda memanfaatkan TI secara

bertanggung jawab demi kemaslahatan masyarakat.

Kajian tentang posisi generasi muda masa kini juga menjadi penting bagi dunia

pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pendidikan IPS khususnya, karena

aktivitas pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses yang tidak pernah

selesai. Realitas kekinian menunjukkan bahwa proses pendidikan berlangsung di

tengah arus deras perubahan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi,

khususnya teknologi informasi. Dengan memahami sikap dan perilaku generasi

muda di tengah masyarakat informasional seperti saat ini, diharapkan dapat

menjadi bahan refleksi bagi dunia pedidikan untuk menentukan ke mana proses

pendidikan mesti di arahkan, agar tidak tergelincir ke arah pragmatisme yang

berorientasi pada investasi dan dunia kerja semata-mata.

Yogyakarta dipilih sebagai “locus” penelitian ini dengan pertimbangan

(20)

yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “kota pendidikan”,

“kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of tolerance”. Meskipun “praktek

hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan ekspresinya nampak

nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni masih mampu hidup

berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa kini. Masyarakat kota

Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan kemajuan peradaban

justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata” maupun “tidak kasat

mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.

B.Rumusan Masalah

Permasalahan umum penelitian ini adalah sejauh mana tingkat modernitas

generasi muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi

muda. Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan

tentang teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat

modernitas generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi. Atas dasar

permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyan penelitian sebagai berikut :

1. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang

tua terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda ?

2. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TIK

terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda?

3. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap

pemanfaatan TI yang dimilikinya?

4. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang

(21)

5. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang

tua terhadap modernitas individual kaum muda?

6. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TI

terhadap modernitas individual kaum muda?

7. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap

modernitas individual kaum muda?

8. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi,

pemanfaatan TI, dan media massa terhadap modernitas individual kaum muda?

C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum

penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat modernitas generasi

muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda.

Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang

teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas

generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi Sesuai dengan permasalahan

yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

seberapa besar dan signifikan :

1. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap pemanfaatan TI yang

dimiliki kaum muda.

2. Kontibusi pengetahuan tentang TI pada kaum muda terhadap pemanfaatan TI

yang dimilikinya.

3. Kontribusi konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki

(22)

4. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media

massa secara bersama-sama terhadap pemanfaatan TI.

5. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap modernitas individual

kaum muda.

6. Kontribusi pengetahuan tentang TI terhadap modernitas individual kaum muda.

7. Kontribusi sases ke media massa terhadap modernitas individual kaum muda.

8. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media

massa secara bersama-sama terhadap modernitas individual kaum muda.

D.Desain Penelitian

Creswell (2003: 3-16)) menyarankan tiga elemen kerangka kerja untuk

mendesain sebuah penelitian, baik kuantitatif, kualitatif, maupun campuran dari

keduanya (mix methods). Ketiga elemen tersebut adalah asumsi filosofis

pengetahuan, strategi inkuiri, dan metode. Mengikuti Creswell, berikut ini

dipaparkan ketiga elemen tersebut sejauh berkaitan dengan penelitian ini.

1. Asumsi Filosofis

Penelitian ini berada di atas ranah sosiologi dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Asumsi epistemologis postpositivisme diletakkan sebagai dasar

pijakan. Postpositivisme bersifat deterministik, reduksionistik, dan berpijak pada

pengukuran dan pengamatan empirik (Creswel, 2003: 6).

Asumsi dasar yang dijadikan titik pangkal mengacu pada pemikiran Anthony

Giddens (1984) bahwa antara pelaku dan struktur dipandang sebagai relasi

dualitas, bukan dualisme, dalam arti bahwa relasi keduanya saling mengandaikan.

(23)

lebih menekankan hubungan antar manusia, baik secara individual maupun

kelompok. Pelaku atau aktor dalam penelitian ini adalah generasi muda dalam

konteks gejala modernitas yang secara diskursif tidak bisa dilepaskan dari

pemikiran postmodernitas.

Kendati modernitas dan postmodernitas secara historis sering dipandang

sebagai dua zaman atau epos, namun dalam penelitian ini keduanya tidak

diperlakukan sebagai dua entitas atau periode (epos) yang berbeda melainkan satu

kontinum modernitas karena postmodernitas sendiri pada dasarnya adalah

modernitas. Kalau pun keduanya dipandang berbeda, maka perbedaannya lebih

bersifat gradual dan bukan dikotomis-kontradiktoris, melainkan saling melengapi

dan saling memberikan kritik.

Pendekatan postpositivisme bersifat deterministik. Sifat deterministik dari

penelitian ini nampak pada permasalahan penelitian, yang mempertanyakan

pengaruh atau kontribusi beberapa variabel bebas terhadap dua variabel terikat.

Tiga variabel bebas yakni status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan

konsumsi media massa ditetapkan secara subjektif sebagai hasil pembacaan

terhadap teori dan hasil-hasil penelitian empiris serta kenyataan sehari-hari.

Demikian juga dalam menetapkan variabel terikatnya yakni pemanfaatan TI dan

tingkat modernitas generasi muda.

Tiga variabel bebas dikonstruksi memberi kontribusi atau mempengaruhi dua

variabel terikat. Hal ini sekaligus menampakkan sifat reduksionistik dari

penelitian ini. Konsep-konsep filosofis dan sosiologis dari modernitas (variabel

(24)

sejumlah indikator yang dapat diukur dan dianalisis secara kuantitatif. Secara

visual, keterkaitan antar variabel di atas dapat digambarkan dalam model sebagai

berikut

X1

X2

X3

Y1

Y2

Keterangan :

X1 = Status sosial ekonomi keluarga

X2 = Pengetahuan tentang TI

X3 = Konsumsi media massa

Y1 = Pemanfaatan TI

Y2 = Tingkat modernitas

2. Batasan Istilah

Adapun batasan istilah dari variabel-variabel bebas (independent variables)

maupun variabel terikat (dependent variabel) pada model di atas, adalah sebagai

berikut :

a. Variabel bebas

(25)

Status sosial ekonomi orang tua responden adalah posisi sosial ekonomi relatif

sebuah keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat

pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi

indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai

salah satu paramater kesejahteraan keluarga.

2) Pengetahuan tentang TI

Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai

fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer,

dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk

beluk piranti TI yang digunakan.

3) Konsumsi media massa.

Media massa dalam penelitian ini dibatasi pada surat kabar, tabloid, majalah,

radio, dan internet. Maka konsumsi media massa merupakan kegiatan responden

membaca, mendengarkan, atau menonton jenis-jenis media massa yang sudah

disebutkan di atas. Indikatornya adalah frekuensi konsumsi surat kabar, majalah,

tabloid, radio, dan televisi, serta isi informasi media massa yang dikonsumsi.

b. Variabel Tergantung

Ada dua variabel tergantung di dalam penelitian ini yakni pemanfaatan TI dan

tingkat modernitas kaum muda.

1) Pemanfaatan TI.

Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada

piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk

(26)

pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya adalah jenis

kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu penggunaan

tiap-tiap jenis TI.

2) Modernitas individual

Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan,

sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern sejauh

tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip

multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.

Gaya hidup adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau tidak

mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi, berpakaian,

makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan. Sedangkan yang

dimaksud dengan sikap kritis adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan

struktur sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada

fenomena dimensi historis, rasional, dan normatif. Sementara yang dimaksud

eksplisitasi prinsip-prinsip multukulturalitas adalah sikap dan perilaku nyata

interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang

menjunjung tinggi keragaman etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur.

3. Strategi Inkuiri

Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif maka strategi

inkuiri yang digunakan adalah survey yang menggunakan seperangkat kuesioner

sebagai teknik pengumpulan data, dengan maksud untuk membuat generalisasi

berdasarkan sampel yang diteliti tentang karakteristik dan kecenderungan perilaku

(27)

kecepatannya dalam hal proses pengumpulan data di samping lebih ekonomis

dibandingkan dengan strategi lain dalam lingkup pendekatan kuantitatif seperti

eksperimen atau eksperimental semu (quasi experimental).

4. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif. Menurut Creswell, secara lebih

spesifik metode penelitian pada dasarnya berisikan teknik pengumpulan data dan

teknik analisis data. Secara ringkas keduanya dapat dipaparkan sebagai berikut :

a. Teknik pengumpulan data

Seperti sudah disebutkan di atas, data dikumpulkan dengan menggunakan

seperangkat kuesioner. Sebagian besar pertanyaan dan pernyataan disusun secara

tertutup (close-ended questioning).

Data tentang status sosial ekonomi orang tua responden, konsumsi media massa,

dipetik dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner atau angket yang

dikembangkan oleh Pusat Litbang Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo”,

dengan modifikasi seperlunya. Sedangkan data mengenai pengetahuan tentang TI

menggunakan seperangkat tes yang dikembangkan oleh peneliti. Demikian juga

data pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berupa sikap atau daya kritis, dan

eksplisitasi nilai-nilai multikulturalitas. Kuesioner yang dikembangkan oleh

peneliti sendiri disusun dengan menggunakan teknik Summated Rating Scale

model Likert yang terdiri atas lima skala nilai.

b. Teknik Analisis Data

Pertama, analisis statistika deskriptif. Analisis ini digunakan untuk

(28)

Kedua, analisis statistika korelasi Pearson Product Moment dan regresi berganda.

Korelasi Product Moment digunakan untuk melihat kesaling-hubungan antar

variabel independen yakni SSE orang tua responden, pengetahuan tentang TI,

konsumsi media massa, dan dua variabel dependen yakni pemanfaatan TI serta

tingkat modernitas responden. Sedangkan analisis regresi berganda digunakan

untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan estimator

garis regresi yang memiliki sifat BLUE (best linier unbiased estimation) diuji

pula asumsi-asumsi klasik analisis regresi yakni, non multi-collinierity, non

autocorrelation, dan non heteroscedasticity (Gujarati 2004 : 341–348; Algifari, 2000 : 83). Semua analisis di atas dilakukan dengan bantuan program aplikasi

SPPS versi 17.

E. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Yogyakarta dijadikan locus penelitian dengan pertimbangan cukup mewakili

sebuah kota besar yang kurang lebih memiliki ciri-ciri yang sama dengan

kota-kota lain di Indonesia. Namun demikian, Yogyakarta memiliki keunikan yakni

berbagai predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota

budaya”, “kota pendidikan”, “kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of

tolerance”.

Yogyakarta juga merupakan sebuah kota yang paradoksal. Meskipun “praktek

hidup berkota” yang modern dengan berbagai symbol dan ekspresinya nampak

nyata ada di setiap sudut kota, namun tradisi dan budaya Jawa yang

(29)

Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan

kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata”

maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.

2. Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian atau populasi yang terjangkau adalah kaum muda

berusia 17 - 25 tahun khususnya mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di

Yogyakarta. Populasi ini dipilih dengan pertimbangan utama kelompok ini

merupakan kelompok yang cukup sensitif dan adaptif terhadap perubahan sosial

sekaligus relatif otonom dalam arti mampu bertindak dan membuat keputusan

sesuai dengan pilihan-pilihan hidup.

F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Jumlah sampel ditetapkan kurang lebih 400 responden mahasiswa dengan

pertimbangan bahwa model estimasi yang menggunakan Maximum Likelihood

Estimation (MLE) paling sedikit diperlukan 100 sampel. Semakin besar jumlah sampel akan semakin meningkatkan sensitivitas metode MLE.

Sampel diambil dengan teknik cluster sampling dengan cara bertingkat (multi

stage sampling). Masing-masing tingkat ditentukan secara acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame untuk semua unit target

populasi sulit didapatkan atau diadakan. Pertimbangan lain yang lebih subjektif

adalah bahwa teknik ini relatif lebih mudah dan sederhana prosedurnya jika

dibandingkan dengan teknik acak sederhana (simple random sampling) dan acak

(30)

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, sejauh dipercaya, diharapkan dapat memberikan manfaat

berupa :

1. Pemahaman yang lebih lengkap bagi masyarakat pada umumnya tentang cara

berpikir, cara bertindak, dan cara merasa kaum muda kota dalam konteks

modernitas saat ini.

2. Pemahaman teoretik yang berkaitan dengan pengaruh status sosial ekonomi,

pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI

dan tingkat modernitas generasi muda kota

3. Masukan bagi kaum muda sendiri agar mampu mempersiapkan diri secara

tepat untuk memainkan peran yang konstruktif di tengah-tengah masyarakat

yang sarat dengan media.

4. Masukan bagi dunia pendidikan untuk menentukan pendekatan dan

merumuskan strategi pendidikan yang cocok dengan perkembangan

karakteristik anak muda zaman sekarang, baik di dalam maupun di luar

sekolah.

5. Masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun

program dan strategi kebudayaan bagi pembinaan kaum muda di era globalisasi

(31)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang dimaksudkan untuk

menjelaskan fenomena modernitas individual di kalangan generasi muda dengan

menggunakan pendekatan atau metode survei. Objek yang ditelaah adalah

hubungan antar variabel yang dirumuskan dalam hipotesis yakni variabel status

sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, konsumsi media massa,

pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas individual generasi muda.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi

Lokasi penelitian ditetapkan di kota Yogyakarta dengan pertimbangan,

pertimbangan pertama-tama dan utama karena keunikannya, yakni berbagai

predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “the

city of tolerance”, “kota pendidikan”, dan “kota wisata”. Di Yogyakarta, segala sesuatu yang bertentangan dapat hidup berdampingan secara damai.

Meskipun “praktek hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan

ekspresinya nampak nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni

masih mampu hidup berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa

kini. Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan

kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata”

maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya. Unsur

(32)

rupanya bersumber pada iklim masyarakat Yogyakarta yang terkesan kuat ”penuh

kompromi” demi memelihara harmoni.

Sebagai kota yang menyandang predikat “kota pelajar” atau “kota pendidikan”,

Yogyakarta sibuk dengan ilmu pengetahuan dan wacana. Kampus-kampus dengan

berbagai predikat dan kualitas bertebaran di setiap sudut kota. Lusinan diskusi

diadakan setiap bulan. Di kota ini juga terdapat banyak ilmuwan, cendekiawan,

berbagai lembaga kajian, komunitas budaya, seniman, penerbitan, percetakan,

toko buku, dan perpustakaan.

Namun demikian sebagaimana layaknya sebuah kota di mana pun, kota ini juga

menyimpan tempat untuk bersenang-senang seperti mall, kafe, dan resto dari

yang berkelas mahasiswa, merakyat, sampai dengan yang berkelas mahal, dari

yang tradisional-etnik, sampai dengan yang modern-kosmopolitan. Secara singkat

dapat dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan paradoks.

2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

a. Populasi

Subjek penelitian ini adalah kaum muda berusia 17 - 25 tahun khususnya

mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Populasi ini dipilih

dengan pertimbangan :

1)Mahasiswa sudah dapat menentukan dan mengarahkan pilihan-pilihan

hidupnya dan mampu bertindak relatif otonom.

2)Mereka merupakan kelompok yang relatif cepat mengadopsi dan

(33)

3)Mereka merupakan generasi yang akan melanjutkan jalannya modernitas

yang lebih kompleks dan penuh resiko.

4)Secara ekonomis mereka adalah konsumen potensial atas produk-produk

simbol modernitas.

5)Secara praktis mereka mudah dijangkau oleh peneliti

b. Sampel

Jumlah sampel sebesar 400 responden dengan pertimbangan bahwa model

estimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood (ML). Semakin besar

jumlah sampel semakin meningkatkan sensitivitas metode ML.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Di Yogyakarta terdapat 19 universitas, 5 institut, 34 sekolah tinggi, 61

akademi, dan 8 politeknik. Dari jumlah itu ada 4 perguruan tinggi negeri yakni

tiga universitas (UGM, UNY, dan UIN), dan satu institut, yakni Institut Seni

Indonesia (ISI). Hampir semua jenis perguruan tinggi, terutama swasta,

mempunyai variasi yang cukup lengkap. Mulai dari yang berkualitas baik

sekaligus favorit sampai dengan yang berkualitas pas-pasan.

Sampel diambil dengan teknik random sampling dengan cara bertingkat (multi

stage sampling). Tingkat pertama adalah menentukan perguruan tinggi, dalam hal ini akan dibatasi pada universitas sebagai unit penyampelan primer (primary

sampling unit), baik negeri maupun swasta karena universitas dipandang cukup memadai untuk mewakili jenis perguruan tinggi yang lain. Tingkat kedua memilih

fakultas, tingkat ketiga menentukan jurusan atau program studi, dan terakhir

(34)

acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame

untuk semua unit target populasi sulit didapatkan atau diadakan di samping teknik

ini relatif lebih sederhana prosedurnya jika dibandingkan dengan teknik acak

sederhana (simple random sampling) dan acak atas dasar strata (stratified random

sampling).

Pada tingkat pertama, universitas negeri yang menjadi sampel adalah

Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan

universitas swasta diwakili oleh Universitas Islam Indonesia, (UII), Universitas

Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY),

dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Universitas-universitas swasta ini

diambil sebagai sampel karena termasuk sebagai universitas besar dan atau

terkemuka di Yogyakarta, dibandingkan dengan universitas-universitas lainnya.

Pada tingkat kedua yakni memilih fakultas, untuk universitas negeri, UGM (18

fakultas) diambil dua fakultas, sementara UNY (6 fakultas) dan UIN (7 fakultas)

masing-masing 1 fakultas. Demikian pula untuk universitas swasta, Universitas

Sanata Dharma (8 fakultas) diambil dua fakultas sementara Universitas Isalam

Indonesia (8 fakultas) , UAJY (6 fakultas), dan UKDW (4 fakultas)

masing-masing 1 fakultas.

Hasil undian menunjukkan dua fakultas di UGM yakni fakultas MIPA dan

Fakultas Hukum, sementara dari UIN Fakultas Tarbiyah, sedangkan dari UNY

Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE). Dari USD muncul dua fakultas yakni

(35)

diwakili oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL), UKDW diwakili oleh

Fakultas Teknik. Hasil undian selengkapnya diringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 3.1. Sampel penelitian

Dari jumlah tersebut terdapat 19 mahasiswa responden yang tidak

mengembalikan kuesioner tepat waktu dan 5 kuesioner yang tidak diisi secara

lengkap oleh responden sehingga tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan

sebagai responden. Penyebaran kuesioner sebagian dilakukan oleh field worker

baik mahasiswa maupun bantuan dosen, dan dilakukan sendiri oleh peneliti

terutama di USD dan UAJY

C. Definisi Operasional

Berikut ini adalah istilah-istilah yang berkenaan dengan variabel dan

indikatornya. Terdapat dua variabel bebas dalam penelitian ini yakni pemanfaatan

TI dan tingkat modernitas individual generasi muda. Adapun batasan tiap-tiap

variabel adalah sebagai berikut :

1. Modernitas individual :

Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan,

(36)

tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip

multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.

a. Gaya hidup

Yang dimaksud adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau

tidak mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi,

berpakaian, makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan.

b. Sikap atau Daya Kritis

Yang dimaksud adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan struktur

sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada fenomena

dimensi historis, rasional, dan normatif dalam konteks interaksi antara individu

dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

c. Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.

Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas merupakan sikap dan perilaku

nyata interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang

beragam secara etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur.

2. Pemanfaatan TI

Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada

piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk

menunjang kegiatan sehari-hari. Adapun yang akan diukur adalah seberapa

optimal pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya

adalah jenis kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu

(37)

3. Status sosial ekonomi orang tua

Status sosial ekonomi orang tua adalah posisi sosial ekonomi relatif sebuah

keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat

pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi

indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai

salah satu paramater kesejahteraan keluarga.

4. Pengetahuan tentang TI

Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai

fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer,

dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk

beluk piranti TI yang dimiliki termasuk di dalamnya adalah tentang internet.

5. Konsumsi media massa

Konsumsi media massa adalah jenis media massa yang diakses yang dalam hal

ini adalah surat kabar (harian), tabloid, majalah, radio, dan televisi. Indikatornya

adalah frekuensi akses masing-masing jenis media.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Kuesioner :

Teknik ini untuk mengungkap data tentang status sosial ekonomi keluarga

responden, konsumsi media massa, pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas.

Status sosial ekonomi keluarga responden terdiri atas empat indikator yakni

tingkat pendidikan orang tua responden, pekerjaannya, tingkat pengeluaran

perbulan, dan status kepemilikan tempat tinggal atau rumah. Konsumsi media

(38)

Jenis media terdiri atas surat kabar, tabloid, majalah, radio, dan televisi.

Sedangkan tingkat modernitas terdiri atas tiga indikator yakni gaya hidup, sikap

atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.

Data tentang ketiga variabel di atas beserta indikatornya dipetik dengan

menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan (Litbang) Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo” dengan

modifikasi seperlunya. Sedangkan variabel lain instrumen yang dikembangkan

oleh peneliti.

2. Tes

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data pengetahuan responden

tentang TI. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang software,

hardware, manfaat, dan perkembangan telpon seluler, komputer, dan internet yang berjumlah 30 dengan sebaran yang tidak sama untuk masing-masing piranti.

Bentuk pertanyaan adalah memilih salah satu jawaban yang benar dan pilihan

benar salah. Cara penskoran mengikuti pola umum, jawaban yang benar diberi

skor satu dan yang salah nol.

3. Observasi

Teknik ini dilakukan untuk memperoleh gambaran perilaku dan kebiasaan

kaum muda yang lebih konkrit dan lebih realistik. Di samping di kampus-kampus,

pengamatan dilakukan pula di tempat-tempat yang biasa digunakan kaum muda

untuk hang-out seperti di mall, kafe, angkringan, toko-toko buku, dan pusat-pusat

jual beli telpon seluler, baik yang berpusat di satu gedung maupun yang berada di

(39)

perilaku kaum muda yang datang di tempat-tempat tersebut. Waktu pengamatan

bervariasi antara hari-hari yang bisa dipastikan ramai dan hari-hari biasa pada

jam-jam tertentu.

Teknik ini juga dilakukan untuk mencermati berbagai situs blog di internet

yang nyata-nyata dikembangkan dan dikunjungi oleh kaum muda,

komentar-komentar terhadap berbagai berita dan tulisan atau artikel-artikel tentang hobby

sampai dengan bahan kuliah, serta kegiatan unduh (download) dan unggah

(upload) bahan-bahan atau isi (misalnya software, games, dan sebagainya).

4. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap anak muda yang hadir di tempat observasi.

Pertanyaan yang diajukan seputar kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang dan

perilaku membeli perangkat digital yang dimiliki.

E.Instrumentasi

Bagian ini berisi tentang langkah-langkah penyusunan kuesioner dan tes

sampai dengan uji validitas dan realibilitasnya. Adapun langkah-langkahnya

adalah sebagai berikut :

1. Menyusun kisi-kisi kuesioner dan tes yang secara ringkas hal ini dapat dilihat

(40)

Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes

1. Rata-rata Pengeluaran rutin keluarga per bulan 1

2. Pendidikan terakhir orang tua (KK) 1

3. Pekerjaan orang tua (KK) 1

4 Status rumah yang ditempati 1

5. Jumlah tanggungan orang tua 1

C PENGETAHUAN TENTANG TI 30 (II. 1-30)

2. Lamanya waktu tiap penggunaan 1

3. Jenis fitur/aplikasi yang digunakan 1

E KONSUMSI MEDIA MASSA 5 (II. 34-38)

1. Jenis dan frekuensi media yang dikonsumsi 5

F MODERNITAS 77

1. Gaya hidup 25 (III. 1-25)

2. Sikap kritis 26 (III. 1-26)

3. Ekspresi nilai-nilai multikulturalitas 26 (III. 1-26) TOTAL 132

2. Merumuskan butir-butir pertanyaan maupun pernyataan yang diturunkan dari

tiap-tiap variabel dan indikatornya. Khusus untuk variabel tingkat modernitas

yakni gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip

multikulturalitas, dirumuskan dengan menggunakan teknik Summated Rating

Scale model Likert yang terdiri atas lima skala nilai yakni sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS),

masing-masing diberi skor 5, 4, 3, 2, dan 1 untuk indikator-indikator positif dan

(41)

berjumlah 17 butir dan yang negatif delapan butir. Untuk indikator sikap atau

daya kritis, butir positif berjumlah 12 butir dan yang negatif 14 butir. Sedangkan

indikator eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas, butir positif berjumlah 16

dan yang negatif 10 butir. Dengan demikian variabel tingkat modernitas memiliki

45 butir pernyataan positif dan 32 butir pernyataan negatif.

3. Draft butir-butir pernyataan didiskusikan dengan ahli sosiologi dan ahli bahasa

dengan maksud untuk menjamin validasi konsep maupun untuk memastikan

kejelasan rumusan pernyataan. Hasil akhirnya adalah seperangkat instrumen untuk

kepentingan try-out (lihat Lampiran 3.1. Kuesioner Individual Modernity: A Try

Out, halaman 228 ).

4. Dalam rangka validasi empirik, instrumen yang sudah disusun, khususnya

instrumen yang mengungkap variabel tingkat modernitas yang disusun dengan

teknik Summated Rating Scale model Likert diujicobakan kepada 50 responden.

Responden yang dijadikan uji coba intrumen adalah mahasiswa Universitas

Sanata Dharma Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (FKIP). Tingkat validitas diuji dengan teknik Total Butir Correlation.

Butir-butir yang dipakai adalah butir yang memiliki korelasi positif dengan

koefisien korelasi minimal 0,300. Sedangkan reliabilitasnya akan dihitung dengan

perbandingan angka koefisien hasil perhitungan koefisien reliabilitas Guttman

Split Half dengan koefisien korelasi yang tertera dalam tabel. Jika hasil perhitungan koefisien realibilitas Guttman lebih besar daripada r tabel dengan

(42)

Baik validitas maupun reliabilitas akan dihitung dengan menggunakan program

aplikasi SPSS v.17.

Dengan kriteria di atas, dari 25 butir pernyataan tentang tingkat modernitas

pada indikator gaya hidup terdapat 7 butir yang digugurkan karena tidak valid

kendati reliabel, yakni butir nomor 1, 3, 4, 5, 6, 20, dan 24. Setelah butir-butir

tersebut digugurkan maka koefisien reliabilitas untuk indikator ini meningkat

menjadi 0,80. Sedangkan indikator sikap kritis yang semula terdiri atas 26 butir

menjadi 18 butir pernyataan karena 8 butir tidak valid yakni butir pernyataan

nomor 7, 9, 12, 13, 15, 17, 19, dan 24. Dengan cara yang sama nampak bahwa

koefisien reliabilitasnya menjadi 0,69. Sementara itu untuk indikator eksplisitasi

nilai multikulturalitas yang terdiri atas 26 butir pernyataan, dengan alasan yang

sama harus digugurkan 9 butir yakni butir nomor 1, 2, 3, 8, 10, 15, 16, 24, dan 25,

dan koefisien reliabilitasnya menjadi 0,58 (hasil perhitungan selengkapnya, lihat

Lampiran 3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas, halaman 251). Dengan demikian

semua butir dalam ketiga indikator terbukti reliabel karena koefisien realibilitas

hasil perhitungan lebih besar daripada r tabel sebesar 0,354. Jadi indikator untuk

variabel tingkat modernitas berjumlah 52 butir pernyataan, yang terdiri atas

indikator gaya hidup 17 butir, sikap atau daya kritis 18 butir, dan eksplisitasi

prinsip-prinsip multikulturalitas sebesar 17 butir. Kuesioner yang digunakan

sebagai instrumen penelitian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran (Lampiran

(43)

F. Teknik Analisis Data

1. Analisis deskriptif.

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik demografik dan

beberapa data yang menggambarkan status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan

tentang TI, penggunaan TI, konsumsi media massa, dan seberapa jauh tingkat

modernitas responden sejauh tercermin dari gaya hidup, cara berpikir, dan

eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas. Berikut adalah kriteria penetapan

deskripsi masing-masing variabel.

a. Status sosial ekonomi orang tua responden diukur dengan 4 indikator yakni

pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pengeluaran atau belanja keluarga per

bulan, dan status kepemilikan tempat tinggal. Untuk mendeskripsikan status sosial

ekonomi responden, masing-masing indikator diberi skor 1 sampai dengan 5.

Pengkategorian jenis pekerjaan adalah sebagai berikut :

1)Golongan A (skor 1)

- Buruh serabutan

- Tukang parkir

- Buruh nelayan

- Buruh tani

- Petani kecil

- Penebang kayu

- Penarik becak

- Tukang cuci

(44)

- Penjual keliling

- Pembantu rumah tangga

- Petani penyewa

- Pensiunan PNS

- Buruh tetap

- Tukang kayu

- Tukang listrik

- Sopir angkot

- Satpam

3)Golongan C (skor 3)

- Montir/mekanik

- Sopir bus/taksi

- Penjahit

- Mandor

- Karyawan swasta

- TNI/POLRI (tamtama – bintara atau golongan I-II)

- PNS (golongan I dan II)

- Guru SD

4)Golongan D (Skor 4)

- Guru SMP/SMA/SMK

- PNS golongan III - IV

- Petani pemilik tanah

(45)

- Pemilik toko

5)Golongan E (skor 5)

- Ahli hukum/lawyer

- Manajer perusahaan

- Ahli ilmu tanah

- Apoteker

- Arsitek

- Dokter

- Dosen/guru besar

- Insinyur bangunan

- Kontraktor

- TNI/POLRI (perwira)

Sedangkan tingkat pendidikan orang tua responden digolongkan menjadi 5

yakni lulus pendidikan dasar (skor 1), lulus SMA/SMK (skor 2), lulus diploma

atau sarjana muda (skor 3), lulus sarjana S1 (skor 4), dan lulus pascasarjana (skor

5).

Tingkat pengeluaran rumah tangga responden per bulan digolongkan menjadi 5

kategori. Dasar penggolongannya adalah Upah Minimum Propinsi (UMP) Daerah

Istimewa Yogyakarta tahun 2007-2008 sebesar Rp 586.000,- yang dibulatkan

menjadi Rp 600.000,- Skor untuk masing-masing golongan adalah sebagai

berikut : Pengeluaran Rp 600.000 atau kurang diberi skor 1; Rp 600.001,- sampai

(46)

; Rp 2.400.001 sampai Rp 3.600.000,- diberi skor 4 ; Lebih besar daripada Rp

3.600.000,- diberi skor 5.

Indikator status kepemilikan tempat tinggal orang tua dibedakan seperti berikut

:

Rumah dinas diberi skor 1, rumah saudara/kerabat diberi skor 2, rumah kontrak

atau kos diberi skor 3, rumah orang tua skor 4, dan rumah milik sendiri diberi skor

5.

Adapun status sosial ekonomi orang tua responden dibedakan menjadi 3

kelompok atau golongan dengan kriteria sebagai berikut : Kelompok atas adalah skor di atas Mean + 2 Standard Deviation skor antara M + 1 SD dan M + 2SD ;

Kelompok menengah adalah skor antara M – 1SD dan M + 1SD – 1 ; Kelompok

bawah adalah skor antara M – 2SD dan M – 1SD – 1

skor di bawah M – 2SD

b. Pengetahuan tentang teknologi informasi (TI). Indikator untuk variabel ini

adalah pemahaman atau pengetahuan responden tentang telepon seluler,

komputer, dan intermet. Untuk setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar

diberi skor 1. Jika responden menjawab tidak tahu atau salah, diberi skor 0.

Pengetahuan tentang TI responden pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni tinggi,

cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria

penetapan kategori status sosial ekonomi responden.

c. Konsumsi media massa diukur dengan indikator frekuensi atau seberapa

sering responden membaca, menonton, atau mendengar setiap jenis media massa

(47)

dinyatakan dengan skor 1 – 5, dengan rincian : Skor 1 = responden tidak pernah

mengkonsumsi ; Skor 2 = responden mengkonsumsi 1 – 2 kali dalam sebulan ;

Skor 3 = responden mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden

mengkonsumsi 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden mengkonsumsi

setiap hari.

Frekuensi konsumsi media massa pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni

tinggi, cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan

kriteria penetapan kategori status sosial ekonomi responden seperti yang sudah

dipaparkan di atas. Konsumsi media massa dikatakan tinggi kalau responden

mengkonsumsi setiap jenis media massa minimal 2-3 kali seminggu atau bahkan

setiap hari. Sedangkan dikatakan sedang kalau hanya satu kali seminggu, dan

dikatakan rendah kalau sebatas hanya satu atau dua kali dalam sebulan, bahkan

tidak pernah mengkonsumsi media massa sama sekali.

d. Pemanfaatan TI oleh responden diukur dengan indikator frekuensi dan lamanya

pemanfaatan atau penggunaan berbagai fasilitas atau fitur pada ponsel, komputer,

dan internet. Frekuensi pemanfaatan dinyatakan dengan skor 1 – 5 dengan rincian

sebagai berikut : Skor 1 = responden tidak pernah menggunakan atau

memanfaatkan ; Skor 2 = responden menggunakan 1 – 2 kali dalam sebulan ; Skor

3 = responden menggunakan 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden

menggunakan 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden menggunakannya

setiap hari. Sedangkan lamanya menggunakan dinyatakan dalam skor 1, 3, 5, dan

Gambar

Tabel 3.1. Sampel penelitian Jrsn/Prodi
Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes
Tabel 3.3. Rangkuman Statistika Deskriptif masing-masing Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Bila dilihat dari kenaikan bobot basah bibit tanaman kamandrah yang diberi perlakuan pemberian kompos, pada perlakuan K2 (4 ton/ha) menunjukkan perlakuan terbaik dengan

Perancangan Galeri Karya Sampah Anorganik merupakan suatu lembaga mandiri di bawah naungan pemerintah yang dimana dalam prosesnya, membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah yang

BIO 724 Biologi Makrofungi dan Produktivitasnya 3(2-3) 2 Mata kuliah ini menjelaskan pengetahuan dasar tentang makrofungi dan peranannya bagi manusia dan lingkungan

Untuk mengetahui apakah saos tomat yang dipilih sebagai sampel mengandung bahan pengawet benzoat atau tidak, dapat dilakukan dengan menguji ekstraknya dengan

Dari penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan : (1) kebijakan pemulihan jasa ( service recovery ) dalam menangani keluhan pelanggan adalah a) Penanganan keluhan

5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan (“Permendagri 5/2007”) , karang taruna adalah Lembaga Kemasyarakatan yang merupakan wadah pengembangan generasi muda

Pasien tampak lemas dan kurang bergairah .Ia masih mampu melakukan aktifitas sehari-hari (ADL) secara mandiri dan ia berpikir untuk tidak meyusahkan orang- orang

Dalam komik diceritakan keseharian Dika saat di Adelaide, yang memiliki cerita sama pula dengan novel Kambing Jantan, tidak membuat komik menjadi membosankan karena