vi DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Desain Penelitian ... 16
1. Asumsi Filosofis ... 16
2. Batasan Istilah ... 18
3. Strategi Inkuiri ... 20
4. Metode Penelitian ... 21
E. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 22
F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 23
G. Manfaat Penelitian ... 24
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Modern dalamPerspektif Filosofis-Sosiologis ... 25
1. Perspektif Filosofis ... 25
vii
B. Postmodern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis ... 41
1. Perspektif Filosofis ... 41
2. Perspektif Sosiologis ... 46
C. Stratifikasi Sosial ... 57
D. Media Massa ... 58
E. Teknologi Informasi ... 64
F. Penelitian yang Relevan ... 71
G. Kerangka Pemikiran ... 74
H. Hipotesis ... 76
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode ... 78
B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 78
1. Lokasi Penelitian ... 78
2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 79
C. Definisi Operasional ... 82
D. Teknik Pengumpulan Data ... 84
E. Instrumentasi ... 86
F. Teknik Analisis Data ... 90
1. Teknik Deskriptif ... 90
2. Uji Chi Square dan Kruskall-Wallis ... 98
3. Korelasi Pearson Product Moment ... 98
viii
BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Yogyakarta Sekilas Pandang ... 102
B. Analisis Data ... 112
1. Deskripsi Responden ... 112
2. Uji Korelasi ... 134
3. Uji Hipotesis ... 137
C. Rangkuman Hasil Analisis Data ... 155
D. Pembahasan ... 159
1. Pemanfaatan TI ... 160
2. Tingkat Modernitas ... 172
3. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 184
4. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia dan Daerah Asal ... 191
5. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Pemanfaatan TI ... 192
6. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Tingkat Modernitas ... 203
E. Implikasi ... 220
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 225
B. Rekomendasi ... 226
ix
DAFTAR TABEL
3.1. Sampel Penelitian ... 80
3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes ... 85
3.3. Rangkuman Statistik Deskriptif masing-masing Variabel ... 96
4.1. Jumlah Mahasiswa Perguruan Tinggi Yogyakarta ... 106
4.2. Persebaran Jumlah Mahasiswa menurut Jenis Perguruan Tinggi ... 108
4.3. Status Sosial ekonomi Orang Tua Responden ... 114
4.4. Kepemilikan Ponsel Responden ... 115
4.5. Kepemilikan Alamat E-mail ... 116
4.6. Pengetahuan Responden tentang TI ... 116
4.7. Konsumsi Media Massa ... 117
4.8. Pemanfaatan TI ... 119
4.9. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Gender ... 120
4.10. Uji Chi-square ... 121
4.11. Perbedaan Frekuensi Penggunaan Internet berdasarkan Gender ... 122
4.12. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Usia Responden ... 124
4.13. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 124
4.14. Pemanfaatan TI Berdasarkan Daerah Asal Responden ... 126
4.15. Uji Chi-square ... 127
4.16. Tingkat modernitas Individual Responden ... 128
4.17. Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 129
x
4.19. Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia ... 131
4.20. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 132
4.21. Tingkat Modernitas Berdasarkan Daerah Asal ... 133
4.22. Uji Chi-Square ... 134
4.23. Korelasi antar Variabel X dan Y1 ... 135
4.24. Korelasi antar Variabel X dan Y2 ... 136
4.25. Statistik Kolinieritas ... 138
4.26. Diagnosis Kolinieritas ... 138
4.27. Uji Durbin-Watson Y1 ... 139
4.28. Uji Durbin-Watson Y2 ... 140
4.29. Model Summary ... 142
4.30. Anova ... 142
4.31. Coefficient ... 142
4.32. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y1 ... 144
4.33. Model Summary ... 147
4.34. Anova ... 149
4.35. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y2 ... 150
4.36. Model Summary ... 153
xi
DAFTAR LAMPIRAN
3.1. Instrumen : Try out ... 235
3.2. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas ... 259
3.3. Instrumen : Kuesioner ... 269
4.1. Tabel Deskripsi responden ... 289
4.2. Frekuensi Konsumsi Media Massa ... 291
4.3. Student Distribution ... 293
4.4. Distribution ... 295
4.5. Frekuensi Pemanfaatan Internet ... 298
4.6. Respon terhadap Beberapa Butir Pernyataan tentang Sikap Kritis dan Kultikulturalisme ... 300
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia bersama negara-negara lain yang sedang berkembang,
bergerak dengan sebuah dorongan – meminjam istilah Edward Shils- kehendak
untuk menjadi modern. Modernisasi menjadi proyek normatif di negara sedang
berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan termasuk di
Indonesia. Melalui proyek-proyek pembangunan (nasional) yang pernah menjadi
obsesi pemerintah Orde Baru, proses modernisasi di Indonesia dilaksanakan
dengan gaya Rostowian, perencanaannya disusun menurut tahap-tahap
pertumbuhan ekonomi secara nonmarxian lewat GBHN dan Pelita demi Pelita.
Prosesnya dijalankan dengan utang luar negeri lewat mesin politik berupa militer
dan birokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi. Setelah kurang lebih 12 tahun
era reformasi berjalan, semangat dan jejak langkah praksis pembangunan atau
modernisasi masa Orde Baru masih nampak dan terasakan dengan berbagai
patologinya.
Dalam perspektif filosofis, menjadi modern adalah menjadi rasional. Hegel,
Marx, dan Teori Kritis bahkan mengemukakan penegasan yang radikal dan total :
setiap masyarakat manusia terdiri atas mahkluk-mahkluk rasional dan sejarah
umat manusia adalah sejarah menuju masyarakat yang semakin rasional
(Hardiman, 2004).
Habermas (1987 ) menyatakan tiga premis nilai orang modern yakni : pertama,
orang modern itu mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek rasional, dalam
otonomi pribadi, dan demokrasi. Kedua, orang modern itu kritis, dalam arti orang
modern cenderung mengeliminasi prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki
gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi otoritas yang
taken for granted. Ketiga, orang modern itu progresif, dalam arti mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Ketiga premis ini tidak bisa
dipisah-pisahkan karena ketiganya berkorelasi secara inheren. Oleh sebab itu
secara konseptual individu modern dapat dirumuskan sebagai individu yang
memiliki daya kritis, karena daya kritis mengandaikan adanya kesadaran sebagai
subjek rasional sekaligus progresif.
Akan tetapi modernitas individual tidak hanya sekadar mengandaikan daya
kritis seperti yang dirumuskan di atas. Dalam masyarakat dewasa ini terdapat
perubahan struktur yang lebih mengedepankan gaya hidup yang dikuasai oleh
image atau citra. Benjamin R. Barber (2003: 115-116;123) dalam bukunya Jihad vs McWorld, mengambil Indonesia, sebagai contoh sebuah negeri yang ditaklukkan secara damai oleh budaya global (global culture), yang secara
olok-olok disebut Barber sebagai McWorld. Istilah ini dipakai Barber sebagai plesetan
gabungan retoris dari MTV, McDonald’s, dan Macintosh. Artinya kurang lebih
adalah dunia yang sudah dikuasai oleh image atau citra.
Jalan pikiran Barber secara ringkas dan sederhana kurang lebih adalah sebagai
berikut. Kalau anak muda semula minum dari air sumur kemudian minum Coca
Cola, hal itu merupakan persoalan ekonomi karena air sumur gratis, sementara
Coca Cola harus membeli. Tetapi kalau orang Indonesia sudah menggantikan
dari makan nasi timbel ke makan Big Mac’s, dari berkebaya kemudian memakai
Zara, dari naik sado ke Volvo, dari kejawen ke konsumerisme, itu berarti orang
sudah di ambang McWorld.
Siklusnya secara sederhana dapat dirumuskan demikian, kehidupan diubah
menjadi konsumsi, konsumsi diubah menjadi makna, makna menjadi fantasi,
fantasi menjadi realitas, realitas menjadi realitas semu (virtual reality), dan
akhirnya realitas semu menjadi kehidupan. Dalam terminologi posmodernisme hal
ini disebut sebagai hiperrealitas, yakni hilangnya batas-batas perbedaan antara
dunia nyata (real) dan yang semu (virtual). Realitas semu dianggap nyata dan
yang nyata dianggap semu. Artinya, Nike tidak menjual sepatu seperti
McDonalds juga tidak menjual hamburger. Nike dan McDonalds menjual gaya
hidup.
Pemikiran Habermas dan Barber di atas dapat dimaknai bahwa daya atau sikap
kritis dan gaya hidup merupakan representasi modernitas individual. Sampai di
titik ini dapat dikatakan bahwa elemen modernitas berupa kritik mengalir ke
dalam konseptualisasi postmodernisme. Kritik, sebagai manifestasi sikap kritis
telah menjadi pemantik yang menyalakan konseptualisasi pemikiran
postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik tajam atas modernisme
(pemikiran), realitas sosial budaya ekonomi (modernitas), maupun proses menjadi
modern atau modernisasi (Roseneu, 1992; Hardiman, 1994; Sugiharto, 1996;
Anderson, 2004; Hutcheon, 2006).
Namun demikian dalam konteks ini postmodernitas tidak dipahami sebagai
modernitas, “Postmodernisme adalah bagian dari modern” (Lyotard, 1993:12),
yang menekankan partikularitas, pluralitas, dan keragaman (Lyotard, 1984). Oleh
karena itu bersama dengan gaya hidup dan sikap kritis, multikulturalisme atau
semangat multikulturalitas dijadikan elemen strategis dalam membentuk konsep
modernitas individual.
Sisi lain dari modernitas adalah kemajuan teknologi informasi (TI) dan
pemanfaatannya seperti yang nampak dalam kenyataan sekarang ini. Wujud TI
yang paling populer dewasa ini adalah komputer, internet, dan telepon seluler.
Penggunaan istilah TI lebih populer di Amerika Serikat, sedangkan negara-negara
di Eropa menggunakan phrasa “information and communication technologies”
yang sering disingkat dengan ICT atau TIK (Brynin dan Kraut, 2006: 3)
TI, langsung atau tidak langsung, telah melahirkan optimisme di masa depan
dan semakin memanjakan masyarakat serta mengubah berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat dengan memberikan berbagai kemudahan di bidang sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Kalau sebelumnya orang bersosialisasi
dengan berkumpul bersama-sama teman di suatu tempat atau berkenalan dengan
orang baru di sebuah acara, maka dengan TI khususnya internet, sekarang orang
dapat bersosialisasi tanpa terikat dengan dimensi waktu dan tempat.
Begitu pula dengan pengertian bekerja dan belajar. Saat ini bekerja atau belajar
tidak harus dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan di dalam gedung
perkantoran atau sekolah/kampus. Bekerja atau belajar dapat dilakukan di kafe, di
Semuanya menjadi mungkin dengan teknologi digital dengan pilihan konektivitas
tanpa kabel (wireless).
Modernitas dan penetrasi TI di kalangan generasi muda secara masif berpotensi
memunculkan kesadaran baru yang mengarah pada relativisasi identitas dari acuan
individual dan nasional pada acuan umum dan supranasional/global. Dalam
konteks ini pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi relevan untuk
mengantar generasi muda menuju kesadaran akan identitas diri atau nasional
tanpa memutlakkannya atau “menguras habis” identitas supranasional/global dan
sebaliknya. Ilmu Pengetahuan Sosial berpotensi menjadi penghubung antara,
meminjam istilah Talcott Parson, nilai-nilai “partikularisme” dan “universalisme”.
Elizabeth Heilman mengetengahkan sebuah artikel yang mendalam tentang
pendidikan global (global education) dan tantangan-tantangannya. Heilman
menyatakan bahwa saat ini kita tidak bisa hidup hanya secara lokal saja. Kita
dihubungkan dengan sesama di seluruh dunia dengan banyak cara. Akan tetapi
apa yang harus kita lakukan menghadapi keterhubungan tersebut ? Menurutnya,
“all models of global education are concerned with knowing (the other) and
across cultures”. Ringkasnya, Heilman telah memperjelas bahwa seluk beluk atau keruwetan pendidikan global kemungkinan besar akan meyibukkan para pendidik
IPS dalam dasawarsa terakhir ini (2006 : 189-208)
Menurut Fenton (1967) Social Studies atau IPS bukanlah studi yang tunggal
seperti pelajaran Bahasa Indonesia atau Matematika, tetapi merupakan
sekelompok bidang studi yang saling berhubungan yang meliputi Ilmu Politik,
generasi muda dan pemanfaatan TI terutama berada di wilayah bidang studi
sosiologi, karena inti sosiologi adalah kajian tentang perubahan sosial (Sztompka,
2004: v).
Saat ini generasi muda berada dalam masa transisi dari modernitas yang secara
cepat dan bertahap menjangkau ke seluruh dunia menuju ke bentuk kehidupan
sosial baru, walaupun diragukan oleh sementara pihak untuk disebut postmodern.
Pengaruh perubahan sosial ini menyentuh hampir semua aspek kehidupan seperti
seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi, kehidupan keluarga, dan
sebagainya.
Para pemikir social studies/IPS pun menanggapinya ketika beberapa pemikir
mengkaitkan pendidikan IPS dengan terminologi “post” atau “pasca” dalam ranah
ilmu-ilmu sosial dan budaya seperti postmodernism, poststructuralism, dan
perspektif cultural studies. Cherryholmes, misalnya, mengetengahkan beberapa
argumen pentingnya memahami dan mendekati pendidikan IPS dengan kacamata
teori postmodern. Cherryholmes menyatakan bahwa pada saat ini kebenaran
dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan sudah tidak dapat diterima lagi karena yang
disebut kebenaran itu bersifat problematik. Maka salah satu konsekuensi yang
sangat penting untuk pendidikan IPS adalah bahwa, “there is no one or set of
undisputed, authoritative stories or theories or concepts or facts for social studies educators to adhere to teach” (2006: 6).
Social Studies mengemban misi menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang baik seperti yang dirumuskan NCSS, sejauh yang dikutip Suyanto
develop the ability to make informed and reasoned decisions of the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in interdependence world.
Dalam bahasa lain, pendidikan IPS atau lebih spesifik pembelajaran IPS
bertujuan mengembangkan karakter yang berdimensi spiritual, personal, sosial,
dan intelektual agar generasi muda (peserta didik) mampu memahami,
menganalisis, dan ikut memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan
(Wiryohandoyo, 1994) atau dengan ringkas dapat dikatakan agar peserta didik
memiliki sikap kritis.
Upaya pendidikan IPS untuk merealisasikan hakikat, misi, dan dinamikanya di
atas mendapat tantangan besar yakni pertumbuhan pesat teknologi informasi dan
media massa. Gambaran modernitas dan pemanfaatan TI seperti di atas merasuk
ke tengah-tengah masyarakat tidak terkecuali generasi muda kota, bukan lewat
indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran, lokakarya, dan
sebagainya, melainkan lewat gemerlap iklan, program-program televisi seperti
berbagai macam kuis berhadiah jutaan rupiah, berbagai macam acara kontes, dan
tawaran gaya hidup konsumtif lewat media massa.
Erat kaitannya dengan hal ini, Trenia Walker (2006) menulis tentang
kebudayaan populer (pop culture) dalam IPS. Menurutnya, kita hidup di
lingkungan yang sarat media. Walker berpendapat bahwa konstruk siswa atas
pemahaman mereka tentang dunia sebagian besar berasal dari teks yang terdapat
dalam kebudayaan popular termasuk media massa. Karena itu sangat mungkin
sebab itu, menurutnya, students can be encouraged to use popular culture as an
object of study, critically examining and deconstructing it (171-187).
Menurut Solvay Gerke (2000: 148) media massa, khususnya para jurnalis,
telah berperan “.... as stylists and missionaries of modernity as well as
trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of modernity”. Media massa mempengaruhi bahkan mengarahkan sikap, perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat termasuk generasi muda di tengah kehidupan
modern dewasa ini.
Indonesia, menurut Bank Dunia (Kompas, 8 Desember 2006), memiliki
penduduk yang rentan miskin dan miskin hampir separuh jumlah penduduk.
Ketimpangan sosial ekonomi masyarakat ini merupakan cerminan dari struktur
sosial masyarakat Indonesia yang majemuk atau plural yang bersifat
multidimensional, dalam arti struktur sosial yang terpecah-pecah secara vertikal
(stratifikasi sosial) maupun horisontal (deferensiasi sosial). Posisi generasi muda
dalam konteks modernitas masyarakat semacam ini sangat boleh jadi ditentukan
oleh status sosial ekonomi orang tua atau keluarganya. Demikian juga
kemampuan generasi muda untuk menangkap gambaran atau pesan-pesan
modernitas dan pemanfaatan TI berbeda-beda, sesuai dengan derajad atau status
sosial ekonomi orangtuanya.
Namun seiring dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi,
perangkat TI bukanlah benda asing bagi generasi muda. Kepemilikan perangkat
TI hampir sudah menjadi keniscayaan bagi kaum muda, karena harga yang
Pemahaman atau pengetahuan generasi muda tentang TI menjadi variabel yang
cukup penting ketika sebagian besar kaum muda memiliki perangkat tersebut.
Sebuah penelitian tentang profil dan cara berpikir generasi muda masa kini
pernah dilakukan oleh Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta, pada bulan
Maret sampai Juli 2006 (Tempo, 22 Oktober 2006). Walaupun mungkin tidak
menganut rancangan studi yang canggih dengan metodologi yang ketat secara
akademik, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran nyata tentang
kecenderungan perilaku kaum muda masa kini.
Penelitian ini menggunakan sampel 385 pasang anak muda usia 15 - 24 tahun
yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan, dan
Makasar. Penelitian ini bermaksud menunjukkan bagaimana kaum muda sekarang
merepresentasikan kehidupan modern. Hasil penelitian menyebutkan 83,3%
responden memiliki telpon genggam, sementara 68,8% memiliki dan
menggunakan komputer. Erat kaitannya dengan kepemilikan komputer, sebesar
25,4% memanfaatkannya untuk untuk kepentingan hiburan lewat internet (online)
dan 40,7% responden memanfaatkan internet untuk berkomunikasi seperti akses
e-mail dan chatting.
Sebesar 51,5% dari responen memiliki motor sebagai alat transportasi
sehari-hari, sedangkan yang mengendarai mobil sebesar 31,3%. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa 61% di antara responden mengatakan - dalam istilah gaul
kaum muda- kumaha aing, gue banget. Ungkapan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan betapa mereka bisa membikin apa saja (kebutuhan mereka) seperti
yang menyatakan mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka kehendaki
atau mereka sukai. 82% kaum muda itu bisa menerima prestasi dalam
bidang-bidang yang tidak lazim. Erat kaitannya dengan hal itu 85% menyatakan tidak
takut tampil beda dan tampil beda itu bagus.
Apa yang dipaparkan di atas adalah salah satu bentuk modernitas kaum muda
dalam perspektif sosiokultural. Sedangkan modernitas kaum muda dalam
perspektif sosioekonomi dapat ditilik dari pengalaman seorang mahasiswa sebuah
universitas negeri di Bandung bernama Wangga Dharma Saputra, 22 tahun berikut
ini. Mahasiswa ini mengelola sebuah tambang pasir di Pasir Kaler Sumedang dan
mengelola usaha penyewaan truk yang berkantor di daerah Sindanglaya Bandung.
Mahasiswa ini mengawali usahanya itu sejak kelas 2 SMA sebagai order taker di
perusahaan bus milik ayahnya.
Selepas SMA, yang bersangkutan belajar kewirausahaan di Entrepreneurship
University Primagama selama enam bulan. Selesai studi, ayahnya memberi modal
kepadanya untuk usaha isi ulang air mineral. (Media Indonesia, 6 Maret 2007).
Pada rubrik yang sama juga diungkapkan kisah sukses beberapa mahasiswa yang
berwiraswasta dengan pola yang tidak jauh berbeda.
Para mahasiwa di atas masuk dalam arus utama bisnis dengan nilai-nilai dan
sikap mental yang dalam perspektif modernitas disebut entrepreneurship atau
kewiraswastaan. Sebuah konsep dan sikap mental modern kapitalistik yang kini
dimasukkan dalam kurikulum di berbagai universitas di Indonesia hanya karena
Tentang pengangguran di kalangan kaum muda terdidik ini, Agus Suwignya
(2003) menengarai bahwa tingginya sarjana penganggur merupakan salah satu
indikator rendahnya mutu intelektualitas mahasiswa perguruan tinggi yang
mencakup logika, daya kritis, kedalaman kemampuan analisis, dan disposisi
sikap.
Indikator di atas dapat dipotret dari kenyataan-kenyataan yang menunjukkan
inkonsistensi antara tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan.
Misalnya, sebuah seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa sebuah
perguruan tinggi di Yogyakarta. Seminar bertajuk ’Kedirian’ (Selfness) ini intinya
membicarakan perlunya seseorang memiliki prinsip teguh, mampu memilih,
otentik, dan tidak terombang-ambing oleh imaji-imaji iklan kaum kapitalis.
Padahal kegiatan seminar ini disponsori oleh sebuah perusahaan soft drink yang
dikritik mahasiswa sebagai salah satu simbol kapitalisme global. Namun patut
disayangkan karena iklan soft drink tersebut dicantumkan sebagai judul seminar.
Contoh lain, dalam harian Kompas 27 Agustus 2002, Prasetyantoko menulis, di
tengah demonstrasi anti Amerika seorang mahasiswa berteriak ”Kita lawan
kapitalisme Amerika!” sambil memegang secangkir café latte yang sering
dianggap salah satu simbol kapitalisme.
Inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda juga
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya perilaku berlalu lintas. Tidak
sedikit kaum muda yang naik atau turun dari kendaraan umum di tempat-tempat
yang tidak semestinya, membuang sampah atau menggunakan ponsel ketika
menyalakan lampu sign dan sebagainya. Demikian juga perilaku tidak mau antri
saat membeli tiket, asyik menggunakan ponsel dalam peristiwa dan suasana yang
tidak tepat, misalnya dalam rapat atau di tempat ibadat.
Semua yang dipaparkan di atas memperlihatkan sebuah paradoks modernitas di
kalangan generasi muda. Di satu pihak nampak adanya kreativitas, cara pikir
progresif, rasa percaya diri yang besar, seperti nampak dalam hasil penelitian
Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta dan kisah sukses mahasiswa
wirausahawan, namun di lain pihak terdapat bentuk-bentuk kelatahan sosial,
kekonyolan, gagap teknologi, atau satu bentuk ketidaksiapan mental-sosial
generasi muda dalam menghadapi modernitas seperti yang tercermin dalam
inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda.
Berangkat dari paparan konseptual teoretik maupun kenyataan empirik di atas
muncul permasalahan, sejauh mana tingkat modernitas generasi muda kota dan
pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda. Benarkah media
massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang teknologi
informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas generasi
muda dan pemanfaatan teknologi informasi?
Dalam masyarakat yang sarat media (media-saturated society) seperti saat ini,
kajian tentang keberadaan dan posisi generasi muda dalam perspektif modernitas
menjadi penting untuk diketahui. Mengetahui tingkat modernitas generasi muda
dalam realitas kekinian dan bagaimana mereka memanfaatkan TI merupakan
dipermainkan oleh logika kapitalisme, yang berujung pada gaya hidup konsumtif
dan budaya instan di kalangan generasi muda pada umumnya
Hal yang kurang lebih sama berlaku pula dalam hal bagaimana generasi muda
memanfaatkan TI terutama internet dan telpon seluler. Dalam pandangan
tradisionalis-intrumentalis yang dominan di tengah masyarakat, teknologi
diperlakukan sebagai alat atau sarana yang netral, dalam arti dapat digunakan
untuk tujuan baik atau buruk. Namun demikian teknologi juga berpotensi
mendominasi kehidupan, dalam arti mengarahkan kegiatan seseorang. Maka,
pemahaman akan pemanfaatan TI oleh kaum muda dapat menjadi bahan refleksi
mengenai bagaimana seharusnya generasi muda memanfaatkan TI secara
bertanggung jawab demi kemaslahatan masyarakat.
Kajian tentang posisi generasi muda masa kini juga menjadi penting bagi dunia
pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pendidikan IPS khususnya, karena
aktivitas pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses yang tidak pernah
selesai. Realitas kekinian menunjukkan bahwa proses pendidikan berlangsung di
tengah arus deras perubahan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi,
khususnya teknologi informasi. Dengan memahami sikap dan perilaku generasi
muda di tengah masyarakat informasional seperti saat ini, diharapkan dapat
menjadi bahan refleksi bagi dunia pedidikan untuk menentukan ke mana proses
pendidikan mesti di arahkan, agar tidak tergelincir ke arah pragmatisme yang
berorientasi pada investasi dan dunia kerja semata-mata.
Yogyakarta dipilih sebagai “locus” penelitian ini dengan pertimbangan
yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “kota pendidikan”,
“kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of tolerance”. Meskipun “praktek
hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan ekspresinya nampak
nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni masih mampu hidup
berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa kini. Masyarakat kota
Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan kemajuan peradaban
justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata” maupun “tidak kasat
mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.
B.Rumusan Masalah
Permasalahan umum penelitian ini adalah sejauh mana tingkat modernitas
generasi muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi
muda. Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan
tentang teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat
modernitas generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi. Atas dasar
permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyan penelitian sebagai berikut :
1. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang
tua terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda ?
2. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TIK
terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda?
3. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap
pemanfaatan TI yang dimilikinya?
4. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang
5. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang
tua terhadap modernitas individual kaum muda?
6. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TI
terhadap modernitas individual kaum muda?
7. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap
modernitas individual kaum muda?
8. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi,
pemanfaatan TI, dan media massa terhadap modernitas individual kaum muda?
C.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum
penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat modernitas generasi
muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda.
Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang
teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas
generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi Sesuai dengan permasalahan
yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
seberapa besar dan signifikan :
1. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap pemanfaatan TI yang
dimiliki kaum muda.
2. Kontibusi pengetahuan tentang TI pada kaum muda terhadap pemanfaatan TI
yang dimilikinya.
3. Kontribusi konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki
4. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media
massa secara bersama-sama terhadap pemanfaatan TI.
5. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap modernitas individual
kaum muda.
6. Kontribusi pengetahuan tentang TI terhadap modernitas individual kaum muda.
7. Kontribusi sases ke media massa terhadap modernitas individual kaum muda.
8. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media
massa secara bersama-sama terhadap modernitas individual kaum muda.
D.Desain Penelitian
Creswell (2003: 3-16)) menyarankan tiga elemen kerangka kerja untuk
mendesain sebuah penelitian, baik kuantitatif, kualitatif, maupun campuran dari
keduanya (mix methods). Ketiga elemen tersebut adalah asumsi filosofis
pengetahuan, strategi inkuiri, dan metode. Mengikuti Creswell, berikut ini
dipaparkan ketiga elemen tersebut sejauh berkaitan dengan penelitian ini.
1. Asumsi Filosofis
Penelitian ini berada di atas ranah sosiologi dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif. Asumsi epistemologis postpositivisme diletakkan sebagai dasar
pijakan. Postpositivisme bersifat deterministik, reduksionistik, dan berpijak pada
pengukuran dan pengamatan empirik (Creswel, 2003: 6).
Asumsi dasar yang dijadikan titik pangkal mengacu pada pemikiran Anthony
Giddens (1984) bahwa antara pelaku dan struktur dipandang sebagai relasi
dualitas, bukan dualisme, dalam arti bahwa relasi keduanya saling mengandaikan.
lebih menekankan hubungan antar manusia, baik secara individual maupun
kelompok. Pelaku atau aktor dalam penelitian ini adalah generasi muda dalam
konteks gejala modernitas yang secara diskursif tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran postmodernitas.
Kendati modernitas dan postmodernitas secara historis sering dipandang
sebagai dua zaman atau epos, namun dalam penelitian ini keduanya tidak
diperlakukan sebagai dua entitas atau periode (epos) yang berbeda melainkan satu
kontinum modernitas karena postmodernitas sendiri pada dasarnya adalah
modernitas. Kalau pun keduanya dipandang berbeda, maka perbedaannya lebih
bersifat gradual dan bukan dikotomis-kontradiktoris, melainkan saling melengapi
dan saling memberikan kritik.
Pendekatan postpositivisme bersifat deterministik. Sifat deterministik dari
penelitian ini nampak pada permasalahan penelitian, yang mempertanyakan
pengaruh atau kontribusi beberapa variabel bebas terhadap dua variabel terikat.
Tiga variabel bebas yakni status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan
konsumsi media massa ditetapkan secara subjektif sebagai hasil pembacaan
terhadap teori dan hasil-hasil penelitian empiris serta kenyataan sehari-hari.
Demikian juga dalam menetapkan variabel terikatnya yakni pemanfaatan TI dan
tingkat modernitas generasi muda.
Tiga variabel bebas dikonstruksi memberi kontribusi atau mempengaruhi dua
variabel terikat. Hal ini sekaligus menampakkan sifat reduksionistik dari
penelitian ini. Konsep-konsep filosofis dan sosiologis dari modernitas (variabel
sejumlah indikator yang dapat diukur dan dianalisis secara kuantitatif. Secara
visual, keterkaitan antar variabel di atas dapat digambarkan dalam model sebagai
berikut
X1
X2
X3
Y1
Y2
Keterangan :
X1 = Status sosial ekonomi keluarga
X2 = Pengetahuan tentang TI
X3 = Konsumsi media massa
Y1 = Pemanfaatan TI
Y2 = Tingkat modernitas
2. Batasan Istilah
Adapun batasan istilah dari variabel-variabel bebas (independent variables)
maupun variabel terikat (dependent variabel) pada model di atas, adalah sebagai
berikut :
a. Variabel bebas
Status sosial ekonomi orang tua responden adalah posisi sosial ekonomi relatif
sebuah keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat
pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi
indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai
salah satu paramater kesejahteraan keluarga.
2) Pengetahuan tentang TI
Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai
fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer,
dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk
beluk piranti TI yang digunakan.
3) Konsumsi media massa.
Media massa dalam penelitian ini dibatasi pada surat kabar, tabloid, majalah,
radio, dan internet. Maka konsumsi media massa merupakan kegiatan responden
membaca, mendengarkan, atau menonton jenis-jenis media massa yang sudah
disebutkan di atas. Indikatornya adalah frekuensi konsumsi surat kabar, majalah,
tabloid, radio, dan televisi, serta isi informasi media massa yang dikonsumsi.
b. Variabel Tergantung
Ada dua variabel tergantung di dalam penelitian ini yakni pemanfaatan TI dan
tingkat modernitas kaum muda.
1) Pemanfaatan TI.
Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada
piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk
pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya adalah jenis
kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu penggunaan
tiap-tiap jenis TI.
2) Modernitas individual
Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan,
sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern sejauh
tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip
multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.
Gaya hidup adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau tidak
mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi, berpakaian,
makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan. Sedangkan yang
dimaksud dengan sikap kritis adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan
struktur sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada
fenomena dimensi historis, rasional, dan normatif. Sementara yang dimaksud
eksplisitasi prinsip-prinsip multukulturalitas adalah sikap dan perilaku nyata
interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang
menjunjung tinggi keragaman etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur.
3. Strategi Inkuiri
Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif maka strategi
inkuiri yang digunakan adalah survey yang menggunakan seperangkat kuesioner
sebagai teknik pengumpulan data, dengan maksud untuk membuat generalisasi
berdasarkan sampel yang diteliti tentang karakteristik dan kecenderungan perilaku
kecepatannya dalam hal proses pengumpulan data di samping lebih ekonomis
dibandingkan dengan strategi lain dalam lingkup pendekatan kuantitatif seperti
eksperimen atau eksperimental semu (quasi experimental).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif. Menurut Creswell, secara lebih
spesifik metode penelitian pada dasarnya berisikan teknik pengumpulan data dan
teknik analisis data. Secara ringkas keduanya dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Teknik pengumpulan data
Seperti sudah disebutkan di atas, data dikumpulkan dengan menggunakan
seperangkat kuesioner. Sebagian besar pertanyaan dan pernyataan disusun secara
tertutup (close-ended questioning).
Data tentang status sosial ekonomi orang tua responden, konsumsi media massa,
dipetik dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner atau angket yang
dikembangkan oleh Pusat Litbang Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo”,
dengan modifikasi seperlunya. Sedangkan data mengenai pengetahuan tentang TI
menggunakan seperangkat tes yang dikembangkan oleh peneliti. Demikian juga
data pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berupa sikap atau daya kritis, dan
eksplisitasi nilai-nilai multikulturalitas. Kuesioner yang dikembangkan oleh
peneliti sendiri disusun dengan menggunakan teknik Summated Rating Scale
model Likert yang terdiri atas lima skala nilai.
b. Teknik Analisis Data
Pertama, analisis statistika deskriptif. Analisis ini digunakan untuk
Kedua, analisis statistika korelasi Pearson Product Moment dan regresi berganda.
Korelasi Product Moment digunakan untuk melihat kesaling-hubungan antar
variabel independen yakni SSE orang tua responden, pengetahuan tentang TI,
konsumsi media massa, dan dua variabel dependen yakni pemanfaatan TI serta
tingkat modernitas responden. Sedangkan analisis regresi berganda digunakan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan estimator
garis regresi yang memiliki sifat BLUE (best linier unbiased estimation) diuji
pula asumsi-asumsi klasik analisis regresi yakni, non multi-collinierity, non
autocorrelation, dan non heteroscedasticity (Gujarati 2004 : 341–348; Algifari, 2000 : 83). Semua analisis di atas dilakukan dengan bantuan program aplikasi
SPPS versi 17.
E. Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Yogyakarta dijadikan locus penelitian dengan pertimbangan cukup mewakili
sebuah kota besar yang kurang lebih memiliki ciri-ciri yang sama dengan
kota-kota lain di Indonesia. Namun demikian, Yogyakarta memiliki keunikan yakni
berbagai predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota
budaya”, “kota pendidikan”, “kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of
tolerance”.
Yogyakarta juga merupakan sebuah kota yang paradoksal. Meskipun “praktek
hidup berkota” yang modern dengan berbagai symbol dan ekspresinya nampak
nyata ada di setiap sudut kota, namun tradisi dan budaya Jawa yang
Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan
kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata”
maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.
2. Subjek Penelitian
Adapun subjek penelitian atau populasi yang terjangkau adalah kaum muda
berusia 17 - 25 tahun khususnya mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di
Yogyakarta. Populasi ini dipilih dengan pertimbangan utama kelompok ini
merupakan kelompok yang cukup sensitif dan adaptif terhadap perubahan sosial
sekaligus relatif otonom dalam arti mampu bertindak dan membuat keputusan
sesuai dengan pilihan-pilihan hidup.
F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Jumlah sampel ditetapkan kurang lebih 400 responden mahasiswa dengan
pertimbangan bahwa model estimasi yang menggunakan Maximum Likelihood
Estimation (MLE) paling sedikit diperlukan 100 sampel. Semakin besar jumlah sampel akan semakin meningkatkan sensitivitas metode MLE.
Sampel diambil dengan teknik cluster sampling dengan cara bertingkat (multi
stage sampling). Masing-masing tingkat ditentukan secara acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame untuk semua unit target
populasi sulit didapatkan atau diadakan. Pertimbangan lain yang lebih subjektif
adalah bahwa teknik ini relatif lebih mudah dan sederhana prosedurnya jika
dibandingkan dengan teknik acak sederhana (simple random sampling) dan acak
G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, sejauh dipercaya, diharapkan dapat memberikan manfaat
berupa :
1. Pemahaman yang lebih lengkap bagi masyarakat pada umumnya tentang cara
berpikir, cara bertindak, dan cara merasa kaum muda kota dalam konteks
modernitas saat ini.
2. Pemahaman teoretik yang berkaitan dengan pengaruh status sosial ekonomi,
pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI
dan tingkat modernitas generasi muda kota
3. Masukan bagi kaum muda sendiri agar mampu mempersiapkan diri secara
tepat untuk memainkan peran yang konstruktif di tengah-tengah masyarakat
yang sarat dengan media.
4. Masukan bagi dunia pendidikan untuk menentukan pendekatan dan
merumuskan strategi pendidikan yang cocok dengan perkembangan
karakteristik anak muda zaman sekarang, baik di dalam maupun di luar
sekolah.
5. Masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun
program dan strategi kebudayaan bagi pembinaan kaum muda di era globalisasi
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena modernitas individual di kalangan generasi muda dengan
menggunakan pendekatan atau metode survei. Objek yang ditelaah adalah
hubungan antar variabel yang dirumuskan dalam hipotesis yakni variabel status
sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, konsumsi media massa,
pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas individual generasi muda.
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi
Lokasi penelitian ditetapkan di kota Yogyakarta dengan pertimbangan,
pertimbangan pertama-tama dan utama karena keunikannya, yakni berbagai
predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “the
city of tolerance”, “kota pendidikan”, dan “kota wisata”. Di Yogyakarta, segala sesuatu yang bertentangan dapat hidup berdampingan secara damai.
Meskipun “praktek hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan
ekspresinya nampak nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni
masih mampu hidup berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa
kini. Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan
kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata”
maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya. Unsur
rupanya bersumber pada iklim masyarakat Yogyakarta yang terkesan kuat ”penuh
kompromi” demi memelihara harmoni.
Sebagai kota yang menyandang predikat “kota pelajar” atau “kota pendidikan”,
Yogyakarta sibuk dengan ilmu pengetahuan dan wacana. Kampus-kampus dengan
berbagai predikat dan kualitas bertebaran di setiap sudut kota. Lusinan diskusi
diadakan setiap bulan. Di kota ini juga terdapat banyak ilmuwan, cendekiawan,
berbagai lembaga kajian, komunitas budaya, seniman, penerbitan, percetakan,
toko buku, dan perpustakaan.
Namun demikian sebagaimana layaknya sebuah kota di mana pun, kota ini juga
menyimpan tempat untuk bersenang-senang seperti mall, kafe, dan resto dari
yang berkelas mahasiswa, merakyat, sampai dengan yang berkelas mahal, dari
yang tradisional-etnik, sampai dengan yang modern-kosmopolitan. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan paradoks.
2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
a. Populasi
Subjek penelitian ini adalah kaum muda berusia 17 - 25 tahun khususnya
mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Populasi ini dipilih
dengan pertimbangan :
1)Mahasiswa sudah dapat menentukan dan mengarahkan pilihan-pilihan
hidupnya dan mampu bertindak relatif otonom.
2)Mereka merupakan kelompok yang relatif cepat mengadopsi dan
3)Mereka merupakan generasi yang akan melanjutkan jalannya modernitas
yang lebih kompleks dan penuh resiko.
4)Secara ekonomis mereka adalah konsumen potensial atas produk-produk
simbol modernitas.
5)Secara praktis mereka mudah dijangkau oleh peneliti
b. Sampel
Jumlah sampel sebesar 400 responden dengan pertimbangan bahwa model
estimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood (ML). Semakin besar
jumlah sampel semakin meningkatkan sensitivitas metode ML.
c. Teknik Pengambilan Sampel
Di Yogyakarta terdapat 19 universitas, 5 institut, 34 sekolah tinggi, 61
akademi, dan 8 politeknik. Dari jumlah itu ada 4 perguruan tinggi negeri yakni
tiga universitas (UGM, UNY, dan UIN), dan satu institut, yakni Institut Seni
Indonesia (ISI). Hampir semua jenis perguruan tinggi, terutama swasta,
mempunyai variasi yang cukup lengkap. Mulai dari yang berkualitas baik
sekaligus favorit sampai dengan yang berkualitas pas-pasan.
Sampel diambil dengan teknik random sampling dengan cara bertingkat (multi
stage sampling). Tingkat pertama adalah menentukan perguruan tinggi, dalam hal ini akan dibatasi pada universitas sebagai unit penyampelan primer (primary
sampling unit), baik negeri maupun swasta karena universitas dipandang cukup memadai untuk mewakili jenis perguruan tinggi yang lain. Tingkat kedua memilih
fakultas, tingkat ketiga menentukan jurusan atau program studi, dan terakhir
acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame
untuk semua unit target populasi sulit didapatkan atau diadakan di samping teknik
ini relatif lebih sederhana prosedurnya jika dibandingkan dengan teknik acak
sederhana (simple random sampling) dan acak atas dasar strata (stratified random
sampling).
Pada tingkat pertama, universitas negeri yang menjadi sampel adalah
Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan
universitas swasta diwakili oleh Universitas Islam Indonesia, (UII), Universitas
Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY),
dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Universitas-universitas swasta ini
diambil sebagai sampel karena termasuk sebagai universitas besar dan atau
terkemuka di Yogyakarta, dibandingkan dengan universitas-universitas lainnya.
Pada tingkat kedua yakni memilih fakultas, untuk universitas negeri, UGM (18
fakultas) diambil dua fakultas, sementara UNY (6 fakultas) dan UIN (7 fakultas)
masing-masing 1 fakultas. Demikian pula untuk universitas swasta, Universitas
Sanata Dharma (8 fakultas) diambil dua fakultas sementara Universitas Isalam
Indonesia (8 fakultas) , UAJY (6 fakultas), dan UKDW (4 fakultas)
masing-masing 1 fakultas.
Hasil undian menunjukkan dua fakultas di UGM yakni fakultas MIPA dan
Fakultas Hukum, sementara dari UIN Fakultas Tarbiyah, sedangkan dari UNY
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE). Dari USD muncul dua fakultas yakni
diwakili oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL), UKDW diwakili oleh
Fakultas Teknik. Hasil undian selengkapnya diringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 3.1. Sampel penelitian
Dari jumlah tersebut terdapat 19 mahasiswa responden yang tidak
mengembalikan kuesioner tepat waktu dan 5 kuesioner yang tidak diisi secara
lengkap oleh responden sehingga tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan
sebagai responden. Penyebaran kuesioner sebagian dilakukan oleh field worker
baik mahasiswa maupun bantuan dosen, dan dilakukan sendiri oleh peneliti
terutama di USD dan UAJY
C. Definisi Operasional
Berikut ini adalah istilah-istilah yang berkenaan dengan variabel dan
indikatornya. Terdapat dua variabel bebas dalam penelitian ini yakni pemanfaatan
TI dan tingkat modernitas individual generasi muda. Adapun batasan tiap-tiap
variabel adalah sebagai berikut :
1. Modernitas individual :
Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan,
tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip
multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.
a. Gaya hidup
Yang dimaksud adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau
tidak mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi,
berpakaian, makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan.
b. Sikap atau Daya Kritis
Yang dimaksud adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan struktur
sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada fenomena
dimensi historis, rasional, dan normatif dalam konteks interaksi antara individu
dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
c. Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.
Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas merupakan sikap dan perilaku
nyata interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang
beragam secara etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur.
2. Pemanfaatan TI
Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada
piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk
menunjang kegiatan sehari-hari. Adapun yang akan diukur adalah seberapa
optimal pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya
adalah jenis kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu
3. Status sosial ekonomi orang tua
Status sosial ekonomi orang tua adalah posisi sosial ekonomi relatif sebuah
keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat
pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi
indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai
salah satu paramater kesejahteraan keluarga.
4. Pengetahuan tentang TI
Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai
fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer,
dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk
beluk piranti TI yang dimiliki termasuk di dalamnya adalah tentang internet.
5. Konsumsi media massa
Konsumsi media massa adalah jenis media massa yang diakses yang dalam hal
ini adalah surat kabar (harian), tabloid, majalah, radio, dan televisi. Indikatornya
adalah frekuensi akses masing-masing jenis media.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Kuesioner :
Teknik ini untuk mengungkap data tentang status sosial ekonomi keluarga
responden, konsumsi media massa, pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas.
Status sosial ekonomi keluarga responden terdiri atas empat indikator yakni
tingkat pendidikan orang tua responden, pekerjaannya, tingkat pengeluaran
perbulan, dan status kepemilikan tempat tinggal atau rumah. Konsumsi media
Jenis media terdiri atas surat kabar, tabloid, majalah, radio, dan televisi.
Sedangkan tingkat modernitas terdiri atas tiga indikator yakni gaya hidup, sikap
atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.
Data tentang ketiga variabel di atas beserta indikatornya dipetik dengan
menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo” dengan
modifikasi seperlunya. Sedangkan variabel lain instrumen yang dikembangkan
oleh peneliti.
2. Tes
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data pengetahuan responden
tentang TI. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang software,
hardware, manfaat, dan perkembangan telpon seluler, komputer, dan internet yang berjumlah 30 dengan sebaran yang tidak sama untuk masing-masing piranti.
Bentuk pertanyaan adalah memilih salah satu jawaban yang benar dan pilihan
benar salah. Cara penskoran mengikuti pola umum, jawaban yang benar diberi
skor satu dan yang salah nol.
3. Observasi
Teknik ini dilakukan untuk memperoleh gambaran perilaku dan kebiasaan
kaum muda yang lebih konkrit dan lebih realistik. Di samping di kampus-kampus,
pengamatan dilakukan pula di tempat-tempat yang biasa digunakan kaum muda
untuk hang-out seperti di mall, kafe, angkringan, toko-toko buku, dan pusat-pusat
jual beli telpon seluler, baik yang berpusat di satu gedung maupun yang berada di
perilaku kaum muda yang datang di tempat-tempat tersebut. Waktu pengamatan
bervariasi antara hari-hari yang bisa dipastikan ramai dan hari-hari biasa pada
jam-jam tertentu.
Teknik ini juga dilakukan untuk mencermati berbagai situs blog di internet
yang nyata-nyata dikembangkan dan dikunjungi oleh kaum muda,
komentar-komentar terhadap berbagai berita dan tulisan atau artikel-artikel tentang hobby
sampai dengan bahan kuliah, serta kegiatan unduh (download) dan unggah
(upload) bahan-bahan atau isi (misalnya software, games, dan sebagainya).
4. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap anak muda yang hadir di tempat observasi.
Pertanyaan yang diajukan seputar kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang dan
perilaku membeli perangkat digital yang dimiliki.
E.Instrumentasi
Bagian ini berisi tentang langkah-langkah penyusunan kuesioner dan tes
sampai dengan uji validitas dan realibilitasnya. Adapun langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut :
1. Menyusun kisi-kisi kuesioner dan tes yang secara ringkas hal ini dapat dilihat
Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes
1. Rata-rata Pengeluaran rutin keluarga per bulan 1
2. Pendidikan terakhir orang tua (KK) 1
3. Pekerjaan orang tua (KK) 1
4 Status rumah yang ditempati 1
5. Jumlah tanggungan orang tua 1
C PENGETAHUAN TENTANG TI 30 (II. 1-30)
2. Lamanya waktu tiap penggunaan 1
3. Jenis fitur/aplikasi yang digunakan 1
E KONSUMSI MEDIA MASSA 5 (II. 34-38)
1. Jenis dan frekuensi media yang dikonsumsi 5
F MODERNITAS 77
1. Gaya hidup 25 (III. 1-25)
2. Sikap kritis 26 (III. 1-26)
3. Ekspresi nilai-nilai multikulturalitas 26 (III. 1-26) TOTAL 132
2. Merumuskan butir-butir pertanyaan maupun pernyataan yang diturunkan dari
tiap-tiap variabel dan indikatornya. Khusus untuk variabel tingkat modernitas
yakni gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip
multikulturalitas, dirumuskan dengan menggunakan teknik Summated Rating
Scale model Likert yang terdiri atas lima skala nilai yakni sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS),
masing-masing diberi skor 5, 4, 3, 2, dan 1 untuk indikator-indikator positif dan
berjumlah 17 butir dan yang negatif delapan butir. Untuk indikator sikap atau
daya kritis, butir positif berjumlah 12 butir dan yang negatif 14 butir. Sedangkan
indikator eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas, butir positif berjumlah 16
dan yang negatif 10 butir. Dengan demikian variabel tingkat modernitas memiliki
45 butir pernyataan positif dan 32 butir pernyataan negatif.
3. Draft butir-butir pernyataan didiskusikan dengan ahli sosiologi dan ahli bahasa
dengan maksud untuk menjamin validasi konsep maupun untuk memastikan
kejelasan rumusan pernyataan. Hasil akhirnya adalah seperangkat instrumen untuk
kepentingan try-out (lihat Lampiran 3.1. Kuesioner Individual Modernity: A Try
Out, halaman 228 ).
4. Dalam rangka validasi empirik, instrumen yang sudah disusun, khususnya
instrumen yang mengungkap variabel tingkat modernitas yang disusun dengan
teknik Summated Rating Scale model Likert diujicobakan kepada 50 responden.
Responden yang dijadikan uji coba intrumen adalah mahasiswa Universitas
Sanata Dharma Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP). Tingkat validitas diuji dengan teknik Total Butir Correlation.
Butir-butir yang dipakai adalah butir yang memiliki korelasi positif dengan
koefisien korelasi minimal 0,300. Sedangkan reliabilitasnya akan dihitung dengan
perbandingan angka koefisien hasil perhitungan koefisien reliabilitas Guttman
Split Half dengan koefisien korelasi yang tertera dalam tabel. Jika hasil perhitungan koefisien realibilitas Guttman lebih besar daripada r tabel dengan
Baik validitas maupun reliabilitas akan dihitung dengan menggunakan program
aplikasi SPSS v.17.
Dengan kriteria di atas, dari 25 butir pernyataan tentang tingkat modernitas
pada indikator gaya hidup terdapat 7 butir yang digugurkan karena tidak valid
kendati reliabel, yakni butir nomor 1, 3, 4, 5, 6, 20, dan 24. Setelah butir-butir
tersebut digugurkan maka koefisien reliabilitas untuk indikator ini meningkat
menjadi 0,80. Sedangkan indikator sikap kritis yang semula terdiri atas 26 butir
menjadi 18 butir pernyataan karena 8 butir tidak valid yakni butir pernyataan
nomor 7, 9, 12, 13, 15, 17, 19, dan 24. Dengan cara yang sama nampak bahwa
koefisien reliabilitasnya menjadi 0,69. Sementara itu untuk indikator eksplisitasi
nilai multikulturalitas yang terdiri atas 26 butir pernyataan, dengan alasan yang
sama harus digugurkan 9 butir yakni butir nomor 1, 2, 3, 8, 10, 15, 16, 24, dan 25,
dan koefisien reliabilitasnya menjadi 0,58 (hasil perhitungan selengkapnya, lihat
Lampiran 3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas, halaman 251). Dengan demikian
semua butir dalam ketiga indikator terbukti reliabel karena koefisien realibilitas
hasil perhitungan lebih besar daripada r tabel sebesar 0,354. Jadi indikator untuk
variabel tingkat modernitas berjumlah 52 butir pernyataan, yang terdiri atas
indikator gaya hidup 17 butir, sikap atau daya kritis 18 butir, dan eksplisitasi
prinsip-prinsip multikulturalitas sebesar 17 butir. Kuesioner yang digunakan
sebagai instrumen penelitian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran (Lampiran
F. Teknik Analisis Data
1. Analisis deskriptif.
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik demografik dan
beberapa data yang menggambarkan status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan
tentang TI, penggunaan TI, konsumsi media massa, dan seberapa jauh tingkat
modernitas responden sejauh tercermin dari gaya hidup, cara berpikir, dan
eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas. Berikut adalah kriteria penetapan
deskripsi masing-masing variabel.
a. Status sosial ekonomi orang tua responden diukur dengan 4 indikator yakni
pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pengeluaran atau belanja keluarga per
bulan, dan status kepemilikan tempat tinggal. Untuk mendeskripsikan status sosial
ekonomi responden, masing-masing indikator diberi skor 1 sampai dengan 5.
Pengkategorian jenis pekerjaan adalah sebagai berikut :
1)Golongan A (skor 1)
- Buruh serabutan
- Tukang parkir
- Buruh nelayan
- Buruh tani
- Petani kecil
- Penebang kayu
- Penarik becak
- Tukang cuci
- Penjual keliling
- Pembantu rumah tangga
- Petani penyewa
- Pensiunan PNS
- Buruh tetap
- Tukang kayu
- Tukang listrik
- Sopir angkot
- Satpam
3)Golongan C (skor 3)
- Montir/mekanik
- Sopir bus/taksi
- Penjahit
- Mandor
- Karyawan swasta
- TNI/POLRI (tamtama – bintara atau golongan I-II)
- PNS (golongan I dan II)
- Guru SD
4)Golongan D (Skor 4)
- Guru SMP/SMA/SMK
- PNS golongan III - IV
- Petani pemilik tanah
- Pemilik toko
5)Golongan E (skor 5)
- Ahli hukum/lawyer
- Manajer perusahaan
- Ahli ilmu tanah
- Apoteker
- Arsitek
- Dokter
- Dosen/guru besar
- Insinyur bangunan
- Kontraktor
- TNI/POLRI (perwira)
Sedangkan tingkat pendidikan orang tua responden digolongkan menjadi 5
yakni lulus pendidikan dasar (skor 1), lulus SMA/SMK (skor 2), lulus diploma
atau sarjana muda (skor 3), lulus sarjana S1 (skor 4), dan lulus pascasarjana (skor
5).
Tingkat pengeluaran rumah tangga responden per bulan digolongkan menjadi 5
kategori. Dasar penggolongannya adalah Upah Minimum Propinsi (UMP) Daerah
Istimewa Yogyakarta tahun 2007-2008 sebesar Rp 586.000,- yang dibulatkan
menjadi Rp 600.000,- Skor untuk masing-masing golongan adalah sebagai
berikut : Pengeluaran Rp 600.000 atau kurang diberi skor 1; Rp 600.001,- sampai
; Rp 2.400.001 sampai Rp 3.600.000,- diberi skor 4 ; Lebih besar daripada Rp
3.600.000,- diberi skor 5.
Indikator status kepemilikan tempat tinggal orang tua dibedakan seperti berikut
:
Rumah dinas diberi skor 1, rumah saudara/kerabat diberi skor 2, rumah kontrak
atau kos diberi skor 3, rumah orang tua skor 4, dan rumah milik sendiri diberi skor
5.
Adapun status sosial ekonomi orang tua responden dibedakan menjadi 3
kelompok atau golongan dengan kriteria sebagai berikut : Kelompok atas adalah skor di atas Mean + 2 Standard Deviation skor antara M + 1 SD dan M + 2SD ;
Kelompok menengah adalah skor antara M – 1SD dan M + 1SD – 1 ; Kelompok
bawah adalah skor antara M – 2SD dan M – 1SD – 1
skor di bawah M – 2SD
b. Pengetahuan tentang teknologi informasi (TI). Indikator untuk variabel ini
adalah pemahaman atau pengetahuan responden tentang telepon seluler,
komputer, dan intermet. Untuk setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar
diberi skor 1. Jika responden menjawab tidak tahu atau salah, diberi skor 0.
Pengetahuan tentang TI responden pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni tinggi,
cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria
penetapan kategori status sosial ekonomi responden.
c. Konsumsi media massa diukur dengan indikator frekuensi atau seberapa
sering responden membaca, menonton, atau mendengar setiap jenis media massa
dinyatakan dengan skor 1 – 5, dengan rincian : Skor 1 = responden tidak pernah
mengkonsumsi ; Skor 2 = responden mengkonsumsi 1 – 2 kali dalam sebulan ;
Skor 3 = responden mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden
mengkonsumsi 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden mengkonsumsi
setiap hari.
Frekuensi konsumsi media massa pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni
tinggi, cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan
kriteria penetapan kategori status sosial ekonomi responden seperti yang sudah
dipaparkan di atas. Konsumsi media massa dikatakan tinggi kalau responden
mengkonsumsi setiap jenis media massa minimal 2-3 kali seminggu atau bahkan
setiap hari. Sedangkan dikatakan sedang kalau hanya satu kali seminggu, dan
dikatakan rendah kalau sebatas hanya satu atau dua kali dalam sebulan, bahkan
tidak pernah mengkonsumsi media massa sama sekali.
d. Pemanfaatan TI oleh responden diukur dengan indikator frekuensi dan lamanya
pemanfaatan atau penggunaan berbagai fasilitas atau fitur pada ponsel, komputer,
dan internet. Frekuensi pemanfaatan dinyatakan dengan skor 1 – 5 dengan rincian
sebagai berikut : Skor 1 = responden tidak pernah menggunakan atau
memanfaatkan ; Skor 2 = responden menggunakan 1 – 2 kali dalam sebulan ; Skor
3 = responden menggunakan 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden
menggunakan 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden menggunakannya
setiap hari. Sedangkan lamanya menggunakan dinyatakan dalam skor 1, 3, 5, dan