• Tidak ada hasil yang ditemukan

media kit penahanan prapersidangan dalam rancangan kuhap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "media kit penahanan prapersidangan dalam rancangan kuhap"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2 | P a g e

Dipersiapkan dan disusun oleh: Sufriadi Pinim, SH, MH

Researcher Associate

Institute for Criminal Justice Reform

sufriadi@icjr.or.id

Editor : Anggara Photo oleh: Pista Simamora Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Diterbitkan oleh

Institute for Criminal Justice Reform

Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12530

Phone/Fax: 021 7810265

(3)

3 | P a g e

Latar Belakang

Penahanan prapersidangan atau penahanan dalam waktu tunggu sebelum sidang dimulai, sejak lama telah mendapatkan kritik di tingkat internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang turut disorot karena pelaksanaan mekanisme ini dinilai bermasalah sehingga menimbulkan dampak negatif yang meluas; mulai dari begitu mudahnya seseorang ditahan, lamanya masa penahanan, minimnya kontrol terhadap penahanan, rentannya tahanan terhadap penyiksaan, serta kondisi tempat penahanan dan tahanan yang memprihatinkan, dan lain sebagainya. Penahanan prapersidangan juga ditengarai telah lama menjadi bagian dari praktek komodifikasi sehingga tujuan penggunaan mekanisme ini justru tidak tercapai.

Atas segala hal negatif yang berpotensi dialami seorang tahanan, maka tindakan penahanan secara prinsip sejak lama ditegaskan untuk dijadikan sebagai alternatif terakhir dilakukan penegak hukum. Hanya saja, prinsip ini sering terabaikan sehingga berbagai problem di atas terus terjadi. Terlebih, lembaga kontrol/komplain (praperadilan) yang disediakan juga tidak cukup mampu mengimbangi kelemahan dalam menerapkan mekanisme ini. Ketidakefektifan lembaga komplain sendiri disebabkan antara lain karena pengadilan lebih memperhatikan aspek administrasi dalam pemeriksaannya, tidak pada substansi.

Untuk itu diperlukan upaya perbaikan terhadap penahanan pra persidangan dan juga lembaga atau mekanisme kontrol/pengawasan. Melalui Rancangan KUHAP, diharapkan kelemahan-kelemahan dalam KUHAP dapat diatasi. Hanya saja pengaturan norma yang terdapat di dalam Rancangan KUHAP dianggap belum mampu menghadirkan kondisi yang lebih baik untuk mengatasi buruknya penahanan pra persidangan di Indonesia.

Bagaimana Standar Internasional?

Norma-norma internasional hak asasi manusia yang mengatur mengenai penahanan prapersidangan secara umum mengacu pada DUHAM yang meletakkan landasan bagi perlindungan HAM seseorang yang dikekang kebebasannya karena alasan hukum. Norma tersebut, lebih lanjut diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 International Covenant on Civil and Political Rights, yang secara umum mengatur prinsip-prinsip dasar hak asasi bagi setiap orang yang menjadi tahanan dan yang terkait dengan kebijakan penahanan.

Terkait penahanan, Pasal 9 dan Pasal 10 tersebut, antara lain menegaskan: (1) seseorang tidak dapat ditahan secara sewenang-wenang dan wajib diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabatnya; (2) seseorang yang ditahan wajib segera dihadapkan ke muka pengadilan dan memiliki hak untuk mengajukan proses hukum untuk meninjau keabsahan keputusan aparat hukum yang menjadi dasar penahanannya; (3) jika yang bersangkutan menjadi korban penahanan yang tidak sah, berhak mendapatkan ganti kerugian; (4) seseorang yang menjadi tersangka dan ditahan harus dipisahkan dengan tahanan orang-orang yang telah dipidana; (5) tersangka yang ditahan masih di bawah umur, wajib dipisahkan dengan tahanan dewasa; (6) seseorang yang sedang menunggu untuk diadili tidak mutlak harus ditahan.

Selain ICCPR, terdapat beberapa instrumen internasional yang spesifik mengatur mengenai perlindungan terhadap para tahanan, yakni: Kumpulan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dalam Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan, Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana, Pengaturan Standar Minimum untuk Tindakan Non Penahanan/ Protokol Tokyo, dan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Aturan PBB untuk Perlindungan Anak Anak/ Orang yang Belum Dewasa yang di Batasi Kemerdekaannya.

(4)

4 | P a g e

menahan mencakup antara lain: (a) tahanan pra persidangan wajib dianggap tidak bersalah; (b) tahanan prapersidangan hendaknya ditahan terpisah dari narapidana; (c) atas biaya sendiri berhak memperoleh buku, alat tulis menulis, atau lainnya untuk mengisi waktu yang seiring dengan kepentingan persidangan; (d) diijinkan untuk dikunjungi dokternya sendiri; (e) diberikan fasilitas yang wajar untuk berhubungan dengan keluarga atau kerabat lainnya, dan (f) berhak mendapatkan bantuan hukum dan pembicaraan antara tahanan dengan penasihat hukumnya diperbolehkan dalam pengawasan mata, namun tidak boleh sampai terdengar.

Selanjutnya, PBB melalui Resolusi A/RES/43/173 pada 9 Desember 1988 juga telah menetapkan Prinsip-prinsip bagi Perlindungan Semua Orang yang berada dalam semua Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan. Prinsip ini menjadi instrumen suplemen dari SMR. Secara umum prinisip-prinsip dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi perlindungan keamanan fisik tahanan yang mana dalam prinsip-prinsip mencerminkan nilai-nilai yang harus diacu dimanapun tempat penahanan itu berada agar memperlakukan secara manusiawi dan penuh penghormatan atas martabat manusia.

Protokol Tokyo yang disahkan melalui Resolusi Majelis Umum 45/110 tahun 1990 (Aturan Standar Minimum untuk Tindakan Non Penahanan), memberikan landasan kebijakan untuk mengutamakan penggunaan tindakan-tindakan non penahanan sebagai tindakan alternatif dari pemenjaraan. Protokol Tokyo menekan untuk menghindari tindakan penahanan pra pengadilan, dan sebagliknya menjadikannya sebagai sarana terakhir dalam tata kerja acara pidana.

Instrumen lain yang terkait dengan penahanan prapersidangan adalah pengaturan yang secara spesifik ditujukan bagi orang di bawah umur/anak. PBB melalui Resolusi No 45/113 tahun 1990 menetapkan Aturan Dasar Perlindungan bagi Anak yang Dirampas Kemerdekaannya (UN Rules for Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty). Aturan tersebut didasarkan atas prinsip-prinsip utama untuk penanganan tahanan yang dikategorikan sebagai orang di bawah umur yakni; perampasan kebebasan harus menjadi pilihan terakhir dan untuk jangka waktu minimum dan harus dibatasi pada kasus-kasus luar biasa, perampasan kebebasannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan prosedur hukum internasional khususnya The Beijing Rules (Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Juctice), dan peminimalan efek negatif dari perampasan kebebasan dan efek ambahan lainnya.

Bagaimana Standar Nasional?

Norma-norma yang dikembangkan di tingkat nasional berdasar pada UUD NRI 1945. Di dalam konstitusi terdapat beberapa prinsip umum yang dapat dilekatkan pada perlindungan terhadap hak-hak dasar seorang warga negara, yakni: hak-hak atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1)), hak untuk mendapat kebebasan (Pasal )); hak untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 28G ayat (1)), dan hak untuk tidak disiksa (Pasal 28I ayat (1)).

Sebelumnya, hal-hal ini juga ditegaskan dalam Tap MPR No. XVII tahun 1998, yang antara lain memuat: hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil (Pasal 7), hak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan (Pasal 22); dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat (Pasal 25).

(5)

5 | P a g e

dirampas kemerdekaannya secara hukum, tepatnya pada Pasal 66. Di dalam pasal ini, beberapa hal yang harus diindahkan ketika anak ditahan antara lain: (1) anak tidak boleh dijadikan sasaran penganiayaan dan penyiksaan; (2) perampasan kemerdekaan tidak boleh dilakukan secara melawan hukum; (3) penahanan hanya dilakukan sebagai opsi terakhir; (4) hak anak yang dirampas kebebasannya untuk diperlakukan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai usianya; dan (5) tempat penahanannya dipisahkan dari orang dewasa.

Isu-Isu Penting Penahanan Prapersidangan dalam Rancangan KUHAP 1. Syarat Penahanan Prapersidangan

Syarat penahanan dalam Rancangan KUHAP diatur dalam Pasal 59, tepatnya pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (5). Jika dirinci, terdapat lima hal yang dijadikan dasar penahanan oleh penyidik yakni: (1) Tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman di atas lima tahun; atau (2) Tindak pidana tertentu; (3) Tersangka atau terdakwa tidak mempunyai tempat tinggal tetap; (4) Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan dasar bukti yang cukup; dan (5) Ada kekuatiran akan: melarikan diri, merusak dan menghilangkan alat dan/atau barang bukti, melakukan ulang tindak pidana, mempengaruhi saksi, terancam keselamatannya setelah ada persetujuan atau permintaan dari tersangka atau terdakwa. Dibandingkan dengan KUHAP yang berlaku saat ini, dalam RKUHAP terdapat beberapa perubahan dan penambahan redaksional yang selanjutnya menimbulkan konsekuensi tertentu.

Sebagaimana KUHAP, Rancangan KUHAP juga tidak mengatur mengenai sifat keterpenuhan syarat-syarat tersebut. Namun, penjelasan Pasal 59 ayat 1 yang memuat dua syarat-syarat pertama menyatakan bahwa 2 syarat di atas secara mandiri menyebabkan seseorang menjadi mutlak dapat ditahan. Ketentuan ini pada dasarnya tidak akan menghadirkan kondisi yang lebih baik dari kondisi yang telah terjadi selama ini hingga sekarang, dimana seseorang dapat dilakukan penahan dengan begitu mudah sementara kondisi tempat tahanan (Rutan) terjadi overcrowded.1 Hal ini berbanding lurus dengan tren peningkatan ancaman hukuman pidana menjadi di atas lima tahun dalam berbagai peraturan perundang-undangan,2 termasuk Rancangan KUHP yang sedang dibahas di DPR.

Potensi terjadinya kembali kondisi di atas juga didukung oleh syarat ketiga, dimana penahanan dapat dilakukan terhadap seseorang terduga pelaku tindak pidana namun tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. KUHAP yang masih berlaku, tidak menjadikannya sebagai syarat untuk menahan seseorang. Pada dasarnya, syarat ini tidaklah memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan sebagai bagian dari syarat penahanan. Bahkan, ini menimbulkan kecenderungan diskriminatif dan potensial melanggar HAM. Sebagai bagian dari penegakan hukum, maka penahanan seharusnya disandarkan pada kejahatan yang dilakukan seseorang, bukan karena ketiadaan tempat tinggal. Jika ingin dikaitkan dengan penahanan, maka syarat ini seharusnya cukup dijadikan sebagai bagian dari pengembangan indikator keadaan yang berpotensi mempersulit pemeriksaan, yang selama ini justru tidak dilakukan oleh pengadilan.

Bukti ya g ukup adalah dasar u ul ya dugaa keras pe yidik terhadap seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Untuk dapat menahan seseorang, seperti ditentukan dalam pasal 59 ayat (5) RKUHAP, dugaan keras ini berlaku secara kumulatif dengan adanya bentuk-bentuk kekhawatiran tersebut. Ada dua hal yang menjadi catatan penting dari ketentuan ini. Pertama, sebagaimana KUHAP, RKUHAP juga menentukan bahwa penyidik adalah pihak yang diberi kewenangan penuh

1

Data DirjenPas menunjukkan terdapat lonjakan jumlah tahanan prapersidangan yang signifikan setiap tahunnya pada periode 2001-2007, yakni rata-rata tiga ribu orang. Melihat data yang dirilis oleh Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, dapat disimpulkan kenaikan peningkatan tahanan pra-persidangan dari tahun 2001 ke tahun 2007 melebihi 100%, 20.474 orang di tahun 2001, menjadi 51.949 orang di tahun 2007. Refleksi Kinerja Pemasyarakatan Tahun 2009 dan rencana Strategis tahun 2010, Dirjenpas, hand out.

2

(6)

6 | P a g e

dalam menentukan terpenuhinya bukti yang cukup untuk menahan seseorang. Absolutnya kewenangan yang dimiliki penyidik secara mendasar telah menyebabkan kewenangan penyidik untuk menetapkan telah terpenuhinya bukti yang cukup, tidak dapat dikontrol atas perlu tidaknya dilakukan penahanan, karena telah dilabeli sebagai diskresinya penyidik. Dalam prakteknya, selain problem overgrowded di atas, aparat penegak hukum juga kerap melakukan kesalahan dalam menangkap dan menahan seseorang. Dengan pertimbangan itu, maka kewenangan absolut penyidik ini perlu diimbangi atau diintervensi oleh pengadilan melalui judicial scrunity (pengujian pengadilan). Pengujian pengadilan ini nantinya yang akan menilai terpenuhi atau tidaknya bukti yang cukup sehingga seseorang bisa ditahan. Pengujian pengadilan yang dimaksud mencakup pula layak tidaknya suatu perkara dilanjutkan ke proses pengadilan.

Kedua, pe gu aha frasa ...ada ya keadaa ya g e i ulka kekhawatira .. dala KUHAP menjadi ...da ada kekhawatira .. , sa gat erpote si e uyarka o yek ya g aka diuji. Bahwa

se ara logika, ya g dapat di ilai/di uktika adalah ada ya keadaa ya g e gkhawatirkan bagi penyidik sehingga dilakukan penahanan, karena keadaan inilah yang dapat ditentukan indikatornya. Namun dengan menghilangkan kata ini, maka akan menjadi problem tersendiri dalam membuktikan atau menentukan indikator kekhawatiran, terutama ketika adanya pengujian melalui praperadilan (dalam Rancangan KUHAP: Hakim Pemeriksa Pendahuluan).

2. Jangka Waktu Penahanan Prapersidangan

Jangka waktu penahanan prapersidangan di dalam RKUHAP diatur pada Pasal 60. Selain jangka waktu, pasal ini sekaligus juga memuat tata cara penahanan serta perpanjangannya. Terkait jangka waktu penahanan, KUHAP Indonesia telah lama mendapat kritik karena terlalu lama menyediakan waktu seseorang dapat ditahan. Jika diakumulasi secara keseluruhan, kemungkinan seseorang ditahan berdasarkan ketentuan KUHAP adalah 700 hari, atau 400 hari dalam jangka waktu normal dengan perpanjangan. Untuk penahanan prapersidangan sendiri, KUHAP menentukan jangka waktunya selama 110 hari.

Dalam RKUHAP sendiri, pengurangan jangka waktu penahanan secara akumulatif memang jauh mengalami penurunan, yakni 390 hari. Penahanan pengecualian sebagaimana dianut KUHAP tidak dianut lagi di dalam RKUHAP. Hanya saja, jangka waktu penahanan prapersidangan dalam RKUHAP justru lebih lama dibanding KUHAP, yakni 140 hari. Bahwa meskipun secara teoritis jangka waktu

pe aha a e ggu aka kata sa pai... a u dala praktek ya i sta si ya g e aha selalu

menggunakan waktu maksimal yang diperkenankan dalam UU.

3. Jenis Penahanan dan Pengelola Tempat Penahanan

KUHAP yang saat ini masih berlaku membagi jenis penahanan kepada tiga, yakni penahanan rumah tahanan negara, penahanan kota dan penahanan rumah (Pasal 22). Namun dalam Rancangan KUHAP, dua jenis penahanan sudah tidak lagi dikenal. Rancangan KUHAP hanya mengenal jenis

pe aha a ru ah taha a egara saja. Pasal 64 ayat ‘KUHAP e yataka : Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 berupa penahanan dalam Rumah Tahanan Negara .

Pe ghila ga dua je is pe aha a i i pe ti g diperta yaka , e gi gat ko disi kritis ‘uta ya g

mengalami kelebihan muatan (over kapasitas). Data Kemenkum HAM yang dirilis pada akhir tahun 2012 menyebutkan saat ini jumlah Rutan dan Lapas adalah 439 dengan kapasitas 102.466 orang, namun dihuni oleh oleh 152.071 orang. Ini belum termasuk data yang terdapat di Kepolisian yang faktanya juga mengelola Rutan.

(7)

7 | P a g e

mendapatkan hidup yang layak di tahanan.3 Implikasi lainnya adalah bercampurnya antara tahanan dengan narapidana, tahanan anak-anak dengan orang dewasa.4

Dari pemaparan ini dapat disimpulkan bahwa penghilangan dua jenis penahanan di dalam RKUHAP tidaklah memiliki dasar yang kuat, terutama dari data-data lapangan. Dari data-data lapangan itu, hal yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat posisi dua jenis penahanan yang dihilangkan tersebut untuk dimaksimalkan penggunaannya oleh aparat penegak hukum, dan bukan justru menghilangkannya.

Di samping itu, dualisme pengelolaan Rutan yang terjadi saat ini tidaklah memiliki dasar hukum. KUHAP pada dasarnya memisahkan antara pengelola tempat penahanan dan pejabat yang menahan. Pejabat yang berwenang menahan adalah petugas di setiap tingkatan peradilan, dan yang diberi tugas untuk mengelola tempat penahanan adalah Departemen atau Kementerian terkait. Penegasan ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa pengelolaan Rutan berada di bawah Departemen Kehakiman (dalam konteks sekarang: KemenkumHAM). Namun dalam praktiknya, pengelolaan tempat penahanan di Indonesia juga dilakukan oleh kepolisian bahkan hingga tingkat sektoral (Polsek).

Pemisahan tempat penahanan dengan kantor insitusi yang menahan, pada dasarnya memiliki korelasi untuk menghindari praktek-praktek kekerasan atau penyiksaan terhadap tahanan. Di Indonesia, praktek-praktek kekerasan terhadap tahanan ini terus berulang setiap tahunnya, dengan pelaku didominasi oleh kepolisian. Data Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [Elsam] menyebutkan dalam kurun waktu empat bulan, Januari-April 2012, sedikitnya ada 22 kasus penyiksaan, penganiayaan, perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi, yang terjadi di tempat-tempat penahanan.5 Anggota polisi masih menduduki peringkat pertama pelaku penyiksaan. Dari 22 kasus penyiksaan, 12 kasus diantaranya diduga kuat pelakunya adalah polisi. Petugas Rutan/Lapas menduduki peringkat kedua pelaku dengan 5 kasus, dan 4 kasus dilakukan oleh tahanan lain.6

4. Lembaga/Mekanisme Kontrol

Lembaga kontrol terhadap penahanan prapersidangan, termasuk upaya paksa lainnya, di dalam RKUHAP dinamai dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Selain yang secara langsung terkait dengan penahanan sebagai bagian dari upaya paksa, RKUHAP juga diberi kewenangan untuk memproses penyimpangan oleh petugas yang terjadi ketika penahanan, seperti dalam hal memperoleh keterangan dan alat bukti, serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara.7 Hal ini antara lain yang membedakan pengaturan dalam KUHAP dan RKUHAP.

3

Ditjen Pemasyarakatan menegaskan, biaya makan narapidana dan tahanan yang tersedia, tidak sebanding dengan jumlah peningkatan penghuni. Sebagai contoh, biaya makan narapidana tahun anggaran 2004 terdapat kekurangan biaya makan pada tahun ini sebesar Rp. 8.089.567.000. Hal ini telah berdampak buruk pula terhadap penurunan kondisi kesehatan fisik dan psikis dari para tahanan. Belum lagi tiadanya anggaran kesehatan yang memadai bagi para tahanan, saat ini biaya perawatan kesehatan tahanan dari Rp. 30 (tiga puluh rupiah) hingga Rp. 79 (tujuh puluh sembilan rupiah) perhari, sebagaimana dirilis dalam laporan Dirjenpas Kemenkumham.

4

Lihat misalnya dalam, Manfred Nowak, Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, A/HRC/7/3/Add.7, 10 March 2008.

5 Laporan LBH Jakarta, yang dirilis pada April 2012, menyebutkan hampir semua tahanan anak mengalami kekerasan,

bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan. Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani pemeriksaan, 97 persen mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan.

6

Elsam, [Me]lanjutkan untuk Melanggar: Laporan situasi hak asasi manusia di Indonesia caturwulan I 2012, Mei 2012.

7

(8)

8 | P a g e

Dari sisi acara pemeriksaannya, Pasal 112 berbunyi antara lain menentukan bahwa: (1) waktu untuk memutus permohonan olehHPP adalah 2 hari terhitung sejak menerima permohonan; (2) keputusan atas permohonan itu berdasar pada hasil penelitian terhadap salinan dari surat perintah-surat perintah atau catatan lainnya yang relevan; (3) hakim dapat mendengar keterangan pihak tersangka, penyidik atau penuntut umum, dan jika diperlukan hakim juga dapat meminta keterangan di bawah sumpah dari saksi dan alat ukti yang relevan.

Ketentuan dalam Pasal 112 RKUHAP telah mengalami kemajuan dibanding KUHAP, namun di sisi lain juga masih terdapat kelemahan. Pertama, kemajuan telah terlihat dalam hal penentuan sejak kapan mulai dihitungnya batas waktu untuk pemeriksaan hingga keputusan hakim dijatuhkan, seperti dinyatakan dalam ayat (1) Pasal 112 di atas. Namun begitu, penentuan waktu (hanya) 2 hari yang diberikan bagi Hakim untuk memberi keputusan terhadap permohonan, sangat berpotensi menjadikan pemeriksaan tidak maksimal. Faktanya, waktu 7 hari yang disediakan KUHAP bagi hakim Praperadilan, ternyata tidak juga efektif (maksimal). Padahal, hakim cenderung menafsirkan 7 hari tersebut dimulai sejak awal pemeriksaan persidangan dimulai, dan bahkan ada yang menafsirkannya dimulai sejak sidang pertama yang dihadiri pemohon dan termohon.

Kedua, ketentuan pada ayat (2) Pasal 112 di atas sangat berpotensi menjadikan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan terjebak pada pemeriksaan dokumen formal. Dikaitkan dengan ayat (1) di atas, ayat (2)

dapat dikataka se agai i dikator e duku g keterje aka itu aka ke ali terjadi. Harapa

utama dalam pemeriksaan permohonan terhadap sah tidaknya penahanan prapersidangan sesungguhnya diarahkan pada hal substansi dari pelaksanaan upaya tersebut, terutama terkait dengan kepentingan seseorang ditahan atau tidak. Dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitsi dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/ 6, di yataka ahwa, Frasa ini dapat dijadikan dasar apakah memang ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik atau penuntut untuk melakukan penahanan, dan apabila keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut ternyata sangat lemah maka hakim praperadilan dapat menyatakan bahwa penahanan tidak mempunyai rasionalitas dan oleh karenanya dapat dinyatakan tidak sah;

Ketiga, ayat (3) dan ayat (4) Pasal 112 di atas menjadikan perbedaan antara rumusan KUHAP dengan RKUHAP dalam hal pe uktia . Ber eda de ga KUHAP ta pa kata dapat , ketera ga ya g terdapat di dalamnya ditafsirkan sebagai kewajiban bagi hakim, di dalam RKUHAP (menambahi kata

dapat di satu sisi erupaka tawara solusi atas kewaji a haki ya g sela a i i harus

menunggu kehadiran kedua belah pihak dalam persidangan, yang akhirnya menjadi bagian dari tidak terpenuhinya waktu 7 hari dalam memutus permohonan praperadilan. Ketentuan RKUHAP di atas, dengan begitu, mengandung arti bahwa hakim dapat saja tidak mendengar keterangan dari salah satu pihak, terutama penyidik sebagai termohon, dalam memutuskan sah tidaknya penahanan. Namun di sisi lain, jika ketentuan ini terkait dengan penguatan ketentuan ayat (2) yakni karena hakim hanya memeriksa berkas-berkas formil saja, maka ketentuan ini juga hanya akan mendukung ketentuan agar hakim tidak memeriksa hal-hal yang substansi dari penahanan seseorang.

Rekomendasi

1. Ketentuan mengenai syarat-syarat penahanan dalam RKUHAP memiliki semangat yang sama dengan KUHAP, yang membuka peluang begitu mudahnya seseorang ditahan. Tren yang seharusnya dikembangkan adalah agar penahanan dijadikan sebagai alternatif terakhir, sesuai dengan instrumen-intrumen internasional yang juga telah diakui secara nasional. Hal itu dapat ditempuh terhadap ketentuan dalam RKUHAP, yakni penghilangan ketentuan seseorang dapat ditahan, penentuan adanya peninjauan yudisial terhadap terpenuhinya syarat-syarat penahanan, serta penunjauan terhadap kekhawatiran agar dapat dijadikan sebagai substansi materi yang diuji oleh lembaga kontrol.

untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama

(9)

9 | P a g e

2. Seiring dengan pengurangan jangka waktu yang kemungkinan dapat dikenakan kepada tersangka/terdakwa yang telah dianut dalam RKUHAP, pengurangan jangka waktu penahanan prapersidangan juga perlu dikurangi. Pengurangan ini pada dasarnya, selain akan bermanfaat bagi seseorang yang dikenakan tindakan tersebut, juga untuk memotivasi penegak hukum (penyidik dan penuntut umum) dalam efektivitas kerjanya.

3. Peniadaan jenis penahanan rumah dan penahanan kota, tidaklah memiliki dasar kuat, terutama dikaitkan dengan data lapangan. Melihat faktanya di lapangan, kedua jenis penahanan ini adalah penguatan terhadanya, bukan justru menghilangkannya.

4. Dualisme pengelolaan tempat penahanan selain bertentangan dengan instrumen internasional, juga berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi negatif lainnya. Melalui perubahan KUHAP, kondisi ini yang sebenarnya merupakan keadaan transisi yang masih berlangsung hingga kini, perlu dipertegas hanya di bawah satu pengelola saja, yakni Kemenkumham.

Referensi

Dokumen terkait

PG Tasikmadu adalah satu dari sejumlah pabrik gula yang didirikan pada masa kolonial Hin dia Belanda dan masih bertahan hingga hari ini.. Seka rang, PG Tasikmadu berada dalam pe

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kegiatan Ramadhan di pondok pesantrean Al-Ikhsan Beji Banyumas dan langkah-langkah membangun kecerdasan spiritual

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka untuk analisa sikap dan perilaku konsumen Handphone Blackberry dapat

Misalnya responden menyatakan bahawa “… bahasa Mandarin merupakan bahasa asing yang amat berguna untuk bekerja di masa hadapan”, “saya ingin belajar bahasa Mandarin

Pengukuran induksi magnetik dari HP dengan menggunakan sensor magnetik PS 2112 dengan jarak yang sama tetapi menggunakan bahan penyerap yang berbeda menghasilkan

Kalau yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama

engukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, sasaran yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia