Hukum Pidana
Apa ?
Siapa ?
Bagaimana ?
Perbuatan Apa yang dikatakan Tindak pidana
Siapa Yang dapat dikatakan sebagai Pelaku
Bagaimana Cara Memproses pelaku jika terjadi tindak pidana
Hukum Pidana Materiil
RESTORATIF JUSTICE MODEL RETRIBUTIF JUSTICE MODEL
1.Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang
terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap Negara, hakekat konflik dari kejahatan dikaburkan dan ditekan.
1.Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan. Perhatian diarahkan pada penentuan kesalahan pada masa lalu (sesuatu yang sudah terjadi)
1.sifat normative dibangun atas dasar dialog negosiasi. Hubungan Para pihak bersifat perlawanan, melalui proses yang teratur dan bersifat normative.
1.Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak,
rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utam. Penerapan penderitaan untuk penjeraan dan pencegahan
1.keadilan dirumuskan sebagai hibungan hak, dinilai atas
dasar hasil. Keadilan dirumuskan dengan kesengajaan dan dengan proses.
1.Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian social Kerugian social yang satu digantikan oleh yang lain
1.masyarakat merupakan fasilitator didalam proses
restorative. Masyarakat berada pada garis samping dan ditampilkan secara abstrak oleh Negara
1.Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan
kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.
Aksi diarahkan dari Negara pada pelaku tindak pidana, korban harus pasif
1.Pertanggungjawaban sipelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.
Pertanggungjawaban sipelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka pemidanaan.
1.Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh,
moral, social dan ekonomis Tindak pidana dirumuskan dalam terminology hukum yang bersifat teoritis dan murni tanpa dimensi moral, social dan ekonomi.
George B Volt
menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada
suatu gejala yang tidak dimengerti.
Artinya teori bukan saja sesuatu yang penting tetapi lebih dari itu karena di sangat dibutuhkan dalam rangka
Teori Tujuan
pemidanaan dalam
leteratur disebutkan
berbeda-beda namun
secara subtansi sama.
Teori-teori tujuan pemidanaan tersebut pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering di
gunakan dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu:
Teori Retributif (absolute)
Teori Relatif (Teori Tujuan)
Prof.
MULADI
dalam bukunya “Lembaga
Pidana bersyarat”
terbitan Alumni Bandung
memberikan nama yang
berbeda yaitu:
Teori Retributif,
Teori Teleologis,
dan
Retributif-teleologis.
Teori Retributif (Absolut)
• Teori ini dianggap teori tertua dalam teori
tujuan pemidanaan.
• Teori Retributif memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi teori ini berorientasi pada perbuatan dan terjadinya perbuatan itu sendiri
• Teori retributive mencari dasar pemidanaan
dengan memandang masa lampau ( melihat apa yang telah dilakukan oleh pelaku)
• Menurut teori ini pemidanaan diberikan karena
dianggap sipelaku pantas menerimanya demi kesalahanya sehingga pemidanaan menjadi retribusi yang adil dari kerugian yang telah diakibatkan.
• Oleh karena itu teori ini dibenarkan secara
Karl O Cristiansen Mengidentifikasi lima cirri pokok dari teori retributif, yaitu (diambil dari Buku “Some Consideration on the possibility of a rational
criminal policy)
Tujuan pemidanaan hanyalah sebagai
pembalasan (The purpose of punishment is just retribution)
Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti
kesejahteraan masyarakat (Just retribution is the ultimate aim, and not in itself to any other aim, as for instance social welfare
– Kesalahan moral sebagai satu-satunya sayart untuk pemidanaan (Moral guilt is the only qualification for punishment)
– Pidana harus sesuai dengan kesalahan dengan
pelaku (The Penalty shall proportional to the moral quilt of the offenders)
– Pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk
memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku
Nigel Walker. Menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retributive yaitu:
Teori retributif Murni: yang memandang bahwa pidana harus sepadan dengan
kesalahan.
Nigel Walker.
Menjelaskan bahwa ada dua
golongan penganut teori
retributive yaitu:
Teori retributif Murni: yang memandang bahwa pidana harus sepadan dengan
kesalahan.
Teori retributif Tidak Murni: yang mana teori ini masih dipecah menjadi dua lagi yaitu:
• Penganut Teori Retributif terbatas (The Limiting
Retribution). Yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan yang tidak
menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan
kesalahan pelanggaran.
• Penganut teori retributive distribusi (retribution in
distribution). Penganut teori ini tidak hanya
melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada batas yang tepat dalam retribusi pada
Terhadap pertanyaan tentang sejauh
manakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori ini menjelaskan sebagai berikut:
Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan
perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi dirinya sendiri, temannya dan keluarganya.
pidana dimaksudkan untuk memberikan
peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat, bahwa setiap ancaman yang
merugikan akan diberi imbalan yang setimpal.
Pidana dimaksudkan untuk emnunjukkan adanya
Teori Relatif (Tujuan)
Teori ini berporos pada
tiga tujuan utama
pemidanaan yaitu:
Preventif,
Deterre
nce,
Tujuan Preventif:
pemidanaan adalah untuk
melindungi masyarakat
dengan menempatkan
Tujuan Deterrence (menakuti): adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibagi dalam tiga
yaitu:
Tujuan yang bersifat individual yaitu
dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk melakukan kejahatan kembali.
Tujuan Yang bersifat Publik yaitu agar
masyarakat lain takut melakukan kejahatan.
Tujuan jangka panjang yaitu agar dapat
Tujuan Reformatif
(Perubahan): adalah untuk
merubah pola pikir masyarakat
yang awalnya tidak takut
Teori Relatif
konsepnya adalah:• Teori Relatif memandang bahwa pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.
• Dalam teori ini munculah tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada
masyarakat.
• Menurut teori ini bahwa pidana bukan sekedar
untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu memiliki tujuan yang lebih bermanfaat
• Pidana ditetapkan bukan karena ada orang yang
Menurut Karl O
Cristiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif yaitu:
Tujuan pemidanaan adalah
pencegahan
(The purpose of
Punishment is prevention)
Pencegahan bukan sebagai tujuan
akhir tapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat
.
(Prevention is not a
Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja, misalnya kesengajaan atau
kelalaian yang memenuhi sayarat untuk adanya pidana.(Only Breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or negligence qualify for
punishment)
Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai alat pencegahan
kejahatan.(the penalty shall be
determined by its utility as an instrument for the prevention of crime)
Pidana melihat kedepan, atau bersifat prospektif. (The Punishment is
Teori Integratif (Gabungan)
an dilihat sebagaireltif terletak pada tujuan kritik moral tersebut
Sehingga dengan konsep gabungan
ini maka teori integrative
menganggap pemidanaan sebagai
unsure penjeraan dibenarkan tetapi
tidak mutlak dan harus memiliki
tujuan untuk membuat si pelaku
JENIS SANKSI
Sanksi pada
dasarnya dapat
dibedakan
menjadi 2 yaitu:
Sanksi Pidana Sanksi Tindakanmasing-masing memiliki prinsip dan
tujuan masing-masing sesuai dengan
teori serta filosofis yang dipahaminya.
sehingga ditingkat ide dasar keduanya
memiliki perbedaan yang fundamental.
Keduanya bersumber pada ide dasar
yang berbeda.
Sanksi pidana bersumber
pada ide dasar “ mengapa diadakan
pemidanaan?”
sedangkan sanksi
Perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
SANKSI PIDANA SANKSI TINDAKAN Filsafat yang mendasarinya adalah
Filsafat indeterminisme yaitu sejatinya manusia itu memiliki kehendak bebas.
Filsafat yang mendasarinya adalah Filsafat Determinisme yaitu mengatakan bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat ditentukan oleh factor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada.
Teori yang mendasari adalah teori
absolute. Teori yang mendasari adalah teori Teleleologis atau Relatif Bersifat reaktif terhadap suatu
kejahatan Bersifat antisipatif terhadap pelaku kajahatan Fokus sanksi pidana tertuju pada
perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera)
Focus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar dia berubah
Lebih dititik beratkan pada upaya
pembalasan Menitikberatkan memulihkan kehidupan sosialpada upaya Tujuannya memberi penderitaan atau
pencelaan Tujuannya pendidikan/mendidikuntuk memberi Bentuknya adalah hukuman badan
(penjara, mati dll) Bentuknya Pengawasan, pencabutan hak tertentu dll.adalah Rehabilitasi,
Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana berorientasi pada pengenaan penderitaan pada pelaku sedangkan sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan
Kedudukan Sanksi Pidana dan
Sanksi Tindakan dalam Sistem
Pemidanaan Menurut
Undang-Undang
Pada bagian ini secara khusus akan mengkaji dua hal yaitu:
kecenderungan sanksi pidana dijadikan sebagai “Sanksi Primadona”
Sanksi pidana sebagai sanksi Primadona.
Sanksi Tindakan sebagai kebijakan penal yang terabaikan.
Kebijakan legislasi yang tercermin kedalam produk
perundang-undangan selama ini banyak memberikan kesan lebih
mengutamakan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan.
Solehudin,SH.M.H.
20
perundang-undangan yang pernah saya teliti tak terdapat
satupun perundang-undangan tersebut
yang tidak
Bentuk-bentuk sanksi pidana yang banyak
diterapkan adalah
pidana penjara, kurungan
dan denda,
sedangkan
pidana mati
hanya
terdapat pada beberapa
Pencantuman jenis pidana dapat diidentifikasikan
dalam setiap perundang-undangan pidana, baik
yang berkualifikasi tindak pidana umum maupun
tindak pidana khusus. Demikian juga bentuk
Dari kenyataan tersebut diatas ternyata bahwa
sanksi pidana selama ini dalam produk kebijakan
legislasi masih dijadikan “sanksi utama”.
Karena banyaknya produk perundang-undangan
pidana yang memuat sanksi pidana menunjukkan
bahwa tingkat pemahaman para legislator
Pemahman legislator mengenai jenis sanksi
pidana masih banyak dipengaruhi oleh
pandangan lama yang menegaskan bahwa
setiap orang yang telah melakukan
Perkembangan
Ada kecenderungan bahwa sanksi tindakan tidak hanya dikenakan pada orang (person)
tetapi juga kepada koorporasi (rechtperson)
sebagai subyek hukum pidana.
Bukti
Minimnya perundang-undangan yang memakai sanksi tindakan sebagai sistem pemidanaan maka hal ini
DOUBLE TRACK SYSTEM
Dalam perkembangan pidana dan pemidanaan pada aliran moderen, sistem pemidanaan mulai berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-dader straafrecht) jenis sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi
pidana tetapi juga meliputi sanksi tindakan.
Double track system
adalah Konsep yang
menganut kedua-duanya, yakni sanksi
Penekanan pada kesetaraan antara sanksi
pidana dan sanksi tindakan dalam
kerangka
double track system
,
sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa
unsure pencelaan/ penderitaan (lewat
sanksi pidana) dan unsure pembinaan
(lewat sanksi tindakan) sama-sama
Paham filsafat yang mengakui kesetaraan
antara sanksi pidana dan tindakan adalah
filsafat
Eksistensialisme
dari
Albert
Camus.
Camu smengakui justifikasi
punishment (pidana) bagi seorang
pelanggar, karena punishment merupakan
konsekuensi logis dari kebebasan yang
Dari sudut pandang ide dasar
double track
system
, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan
sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk
memaksimalkan penggunaan kedua sanksi
tersebut secara tepat dan proporsional. Sebab
kebijakan sanksi yang integral dan seimbang,
selain menghindari penerapan sanksi yang
Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukuman dalam hukum pidana islam ini terlebih dahulu perlu disampaikan pengertian hukuman menurut hukum pidana islam. Hukuman dalam bahasa arab disebut dengan “Uqubah” lafadz Uqubah memiliki arti
mengiringinya dan datang dibelakangnya. Dalam
Dari pengertian diatas maka dapat dirangkaikan bahwa
sesuatu disebut sebagai hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu
dilakukan.
Tujuan Hukuman dalam
Hukum Pidana Islam
Tujuan utama dari penetapan dan
penerapan hukuman dalam syariat islam
adalah sebagai berikut:
Pencegahan
Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang
yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya. Atau agar ia tidak terus
menerus melakukan jarimah tersebut.
Disamping mencegah pelaku , pencegahan juga
mengandung arti mencegah orang lain selain
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu
mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan
hukuman.
Namun demikian, tujuan yang pertama
ini juga memiliki efek terhadap pelaku,
sebab tidak dilakukannya jarimah itu
kembali maka pelaku akan selamat dari
hukuman yang telah ditentukan.
contoh
Pelaksanaan
Hukuman yang
Perbaikan dan pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman
ini adalah mendidik pelaku jarimah agar ia
menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya.
Disini terlihat bagaimana perhatian islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya
hukuman ia menjadi menyadari akan
kesalahannya dan dengan harapan
Disamping kebaikan pribadi pelaku, syariat islam
dalam menjatuhi hukuman juga bertujuan
membentuk masyarakat yang baik yang diliputi
oleh rasa saling menghormati dan mencintai
antara sesama anggota masyarakat yang lain.
Serta membuat pelaku menjadi manusia yang
penyabar, pengampun. Karena dalam syariat
islam terdapat pengampunan korban yang dapat
merubah hukuman bagi sipelaku, contohnya
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus
1. Hukuman harus ada dasarnya dari syara’
Asas
Legalitas
Hukum dianggap punya dasar (Syari’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara seperti
Dengan adanya persyaratan
tersebut maka seorang hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman atas
dasar pemikiranya sendiri walaupun
ia berkeyakinan bahwa hukuman
tersebut lebih baik dan lebih utama
dari pada hukuman yang telah
Syariat islam mebagi hukuman
menjadi tiga bagian yaitu:
Hudud (Zina, (qadzaf / penuduhan
zina),minum-minuman keras, pencurian,
harobah atau perampokan,riddah atau murtad dan pemberontakan.
Qishash (hukuman yang seimbang) contohnya
pembunuhan sengaja dan penganiayaan.
Untuk hukuman Hudud dan Qishash merupakan hukuman-hukuman yang telah ditentukan oleh syara, hakim tidak boleh mengganti keluar dari ketentuan syara,
misalnya orang mencuri, hukumannya potong tangan maka hakim tidak boleh dengan hukuman lain selain potong tangan.
Sedangkan ta’jir hukuman yang ditentukan oleh ulil amri (pemimpin). Jadi kewenangan hakim sangat luas untuk menentukan piliha hukuman ta’jir mulai yang paling
2.Hukuman harus Bersifat Pribadi.
Asas
Personalitas
Dalam hal ini berarti hukuman harus bersifat
perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman
harus dijatuhkan kepada orang yang telah
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai
orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini
merupakan
salah satu dasar prinsip
yang
ditegakkan oleh syariat islam dan ini telah
dibicarakan berkaitan dengan masalah
3. Hukuman harus Berlaku Umum.
Asas
(Aquality Before The Law)
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk
semua orang tanpa adanya diskriminasi,
apapun pangkat dan jabatannya dan
Hukuman/Pidana Menurut
Hukum Positif
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)/(Wvs) telah menetapkan
jenis-jenis pidana sebagaimana yang
disebutkan dalampasal 10 KUHP yang
mana didalam pasal tersebut diatur dua
jenis pidana yaitu: Pidana Pokok dan
Pidana pokok terdiri dari empat jenis
pidana sedangkan pidana tambahan
terdiri dari tiga jenis pidana.
Pidana Pokok meliputi:
Pidana Mati Pidana Penjara Pidana Kurungan; Pidana Denda.
Pidana Tambahan meliputi:
Pencabutan beberapa
hak-hak tertentu
perampasan barang-barang
tertentu
pengumuman putusan
Namun KUHP yang sekarang masih
berlaku sebenarnya sudah sering sekali
akan dilakukan revisi, namun sampai
sekarang ternyata hasil revisi tersebut
masih terjadi kontroversi sehingga
Sebagai perbandingan jenis
hukuman antara KUHP sekarang
Jenisjenis Pidana menurut pasal
304 Rancangan KUHP tim
pengkajian tahun 1982/1983
yaitu sebagai berikut:
Ayat (1). Pidana Pokok adalah:
Ke-1. Pidana Pemasyarakatan; Ke-2. Pidana Tutupan;
Ke-3. Pidana Pengawasan; Ke-4. Pidana Denda.
Ayat (2) Urutan pidana pokok diatas menentukan berat ringannya pidana. Ayat (3) Pidana tambahan adalah:
Ke-1.Pencabutan hak-hak tertentu;
Ke-2. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan; Ke-3. Pengumuman Putusan hakim;
Ke-4. Pembayaran Ganti kerugian; K-5. Pemenuhan kewajiban Adat.
Dalam RUU KUHP baru hasil
penyempurnaan tim intern departemen
Kehakiman disebutkan sebagai berikut:
Pasal 68
Pidana pokok terdiri dari: Pidana Penjara;
Pidana tertutup; Pidana Pengawasan; Pidana Denda;
Pidana kerja social.
Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.
Pasal 69
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus. Pasal 70
Pidana tambahan Pemenuhan kewajiban adaptterdiri atas: Pencabutan hak tertentu;
Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan; Pengumuman putusan hakim
Ad. Pidana Mati
Yang menarik untuk dipahami
adalah pidana mati bahwa yang
dalam RUU disebut sebagai
pidana pokok yang bersifat
khusus. Penerapan pidana mati
dalam praktek sering
menimbulkan kontroversi
Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan
yuridis formal pidana mati memang ada dan dibenarkan. Setidaknya kurang lebih 15
orang telah dijatuhi pidana mati kerena melakukan tindak pidana.
Untuk lebih lanjut membahas mengenai hukuman mati ini, maka akan lebih baik kalau melihat RUU KUHP sebagai Ius
Constituendum. Hal-hal yang perlu di ketahui antara lain sebagai berikut:
Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan
menembak terpidana sampai mati;
Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan di muka umum;
Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak dibawah
umur delapan belas tahun;
Pelaksanaan pidana mati pada wanita hamil atau orang
sakit jiwa, ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut.
Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada
persetujuan dari presiden;
Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika:
Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
memperbaiki,
Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting;
Ada alasan yang meringankan.
Jika terpidana selama percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah
Jika terpidana selama percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk
memperbaiki maka, pidana mati dapat dilakukan atas perintah jaksa agung;
Jika setelah permohonan grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak
dilaksanakan selama sepuluh tahun
bukan karena terpidana melarikan diri
maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan
Dari ketentuan tersebut dapat
dilihat bahwa dalam RUU KUHP
terjadi pengenduran, memang
hal ini seharusnya terjadi
karena
Ius Constituendum
Ad. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis
pidana yang dalam
undang-undang ditentukan maksimal
umum dan minimal umum,
maksimal umum seperti yang
diatur dalam KUHP adalah 15
tahun dan minimal umum
Pidana penjara sebagaimana
diatur dalam RUU KUHP yaitu
sebagai berikut:
Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk
waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15
tahun dan paling singkat 1 hari , kecuali ditentukan minimum khusus;
Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara
seumur hidup; atau jika ada pemberatan pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun berturut-turut,maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun
berturut-turu;
Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana kurang
sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, menteri kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara lpaling lama lima belas tahun.
Ada lima
sistem pelaksanaan
hukuman penjara yang dikenal
dalam hukum pidana yaitu:
Sistem Pensylvania
Sistem Anborn/silent system
Sistem Irlandia
Sistem Pensylvania
.
Dalam sistem ini orang yang dijatuhi
hukuman penjara, menjalani
hukuman secara terasing dalam sel.
Terhukum tidak boleh berkontak
Sistem Anborn
Dalam sistem ini terhukum hanya
Dalam sistem ini terhukum hanya
waktu malam saja ditutup sendirian
waktu malam saja ditutup sendirian
dalam sel, sedangkan pada siang
dalam sel, sedangkan pada siang
hari boleh bekerja dengan
hari boleh bekerja dengan
bersama-sama tetapi dilarang bicara, oleh
sama tetapi dilarang bicara, oleh
karena itu dikenal juga dengan
karena itu dikenal juga dengan
Sistem Irlandia
Sistem ini termasuk sistem yang
progresif, mula-mula dijalankan
secara keras setelah terhukum
berlaku baik hukumannya
Tingkatan pelaksanaan
hukuman tersebut yaitu:
Tingkat Probation.
Ditingkat ini terhukum diasingkan dalam sel siang dan malam hari selama waktu tergantung pada kelakuan terhukum.
Tingkat Publik work preson.
Ditingkat ini terhukum dipindahkan ketempat lain dan diwajibkan bekerja bersama-sama dengan yang lain.
Dibagi dalam 4 kelas mulai kelas terendah berangsur-angsur naik setelah mendapatkan sertifikat.
Tingkat Ticket of live (tiket meninggalkan penjara)
Sistem Elmira.
Didirikan bagi terhukum yang berumur dibawah 30 tahun diberi nama
Reformatuwri, maksudnya sebagai
tempat memperbaiki terhukum menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Dalam sistem ini hukuman dilalui beberapa tingkatan. Titik beratnya pada usaha
perbaikan terhukum. Kepada terhukum diberikan pendidikan dan pekerjaan
yang bermanfaat sedangkan lamanya hukuman tidak ditetapkan hakim, jadi ditentukan tergantung kelakuan
Sistem Orborne
Disebut
Osborne
karena
ditemukan
oleh Thomas Moot asborne.
Ad. Pidana Kurungan
Ini merupakan hukuman yang lebih ringan dari hukuman penjara, hal ini diatur dalam pasal 18 sampai 29 KUHP. Minimal umum untuk hukuman kurungan adalah 1 hari (pasal 18 ayat(1)) dan maksimal umum adalah 1 tahun tetapi kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan jika:
terjadi perbarengan perbuatan pidana;
pengulangan perbuatan pidana;
sebagaimana diatur dalam pasal 52 (pekerjaan istimewa bagi pegawai
Apa bedanya
Pidana Kurungan
dengan Pidana
Hukuman kurungan memiliki
perbedaan dengan hukuman
penjara yaitu:
Hukuman penjara dapat dijalankan dalam
penjara dimana saja, sedangkan hukuman
kurungan hanya boleh dilaksanakan di dalam penjara dimana dia diputuskan oleh hakim;
orang yang dihukum penjara bekerja lebih
berat disbanding dengan orang yang menjalani hukuman kurungan;
orang yang dihukum kurungan memiliki hak
pestol yaitu hak untuk memperbaiki
Ad.Pidana Tutupan
Pidana tutupan ada beberapa bentuk
dalam undang-undang diluar KUHP,
misalnya penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan milik terpidana,
pidana tata tertib yang bisa meliputi
penempatan perusahaan siterhukum,
kewajiban pembayaran uang jaminan.
Dan lain –lain hal ini seperti diatur
Ad. Pidana Pengawasan.
Pidana pengawasan merupakan
jenis pidana baru yang belum diatur
dalam KUHP sekarang, namun
Adapaun hal-hal yang perlu
mendapat perhatian adalah sebagai
berikut:
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa
yang melakukan tindak pidana yang dinacam dengan pidana penjara tujuh tahun;
dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan
pribadi dan perbuatannya, dengan syarat-syarat:
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan
terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa
pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagaian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan, serta
terpidana harus melakukan perbuatanatau tidak melakukan
Pengawasan dapat dilakukan oleh pejabat
Pembina dari departemen kehakiman yang
dapat dimintakan bantuan kepada pemerintah daerah, lembaga social atau orang lain;
pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memperpanjang pengawasanapabila terpidana melanggar
hukum. Namun jika terpidana berkelakuan baik maka dapat diperpendek masa
Ad. Pidana Tambahan
Pidana tambahan yang diatur dalam KUHP
sekarang masih sangat sempit sehingga
Namun yang menarik untuk disimak diantaranya adalah:
Pidana Perampasan
barang-barang tertentu dan atau
tagihan
Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan
tanpa dijatuhkannya pidana pokok ,
artinya dapat berdiri sendiri, dalam hal
ancaman pidana penjara tidak lebih dari
tujuh tahun atau karena terpidana
Pidana Pengumuman
putusan hakim
Jenis pidana tambahan ini juga
termasuk jenis pidana baru yang mana
diperintahkan supaya putusan hakim
dapat diumumkan maka ditetapkan
cara-cara melaksanakan perintah
tersebut dalam jumlah biaya
Pemenuhan Kewajiban
adat
Beberapa hal dapat dikemukakan
berkaitan dengan pidana tambahan
ini, dalam putusan dapat ditetapkan
pemenuhan adapt setempat,
utamanya jika tindak pidana yang
dilakukan menurut adapt setempat
seseorang patut dipidana walaupun
GABUNGAN HUKUMAN
MENURUT HUKUM
Menurut teori
hukum pidana
Terdapat tiga teori
mengenai gabungan
hukuman yaitu:
Teori berganda.
Menurut ini pelaku mendapat semua
hukuman yang ditetapkan untuk
tiap-tiap tindak pidana yang dilakukan.
Kelemahan teori ini terletak pada
banyaknya hukuman yang dijatuhkan.
Hukuman penjara misalnya adalah
hukuman sementara, tetapi apabila
digabung-gabungkan maka akan
Teori Penyerapan
Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan)
hukuman yang lebih ringan.
Contohnya: Hukuman penjara 10 tahun dan Hukuman penjara 3 tahun maka yang dipakai adalah hukuman yang berat sehingga hukuman tiga tahun diserat dengan hukuman yang lebih berat.
Kelemahan teori ini adalah kurangnya
keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga hukuman
Teori campuran
Teori ini merupakan campuran dari teori berganda dengan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk
menghilangkan
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kedua teori tersebut.
Dalam Hukum Pidana
Indonesia
Dalam hukum pidana
Indonesia ada
beberapa teori yang
dianut berkaitan
dengan gabungan
hukuman ini.
Teori Penyerapan
Biasa
Menurut teori ini, yang terdapat
dalam pasal 63 KUHP hanya satu aturan pidana yang diterapkan yaitu hukuman yang peling berat hukuman pokoknya, apabila
suatu perbuatan diancam dengan beberapa aturan pidana.
Contohnya: orang membunuh
dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya adalah membunuh (pasal 339)dan
Teori Penyerapan
Keras
Menurut teori ini,
dalam hal
gabungan perbuatan nyata
yang diancam dengan
hukuman pokok yang
sejenis, hanya satu hukuman
saja yang dijatuhkan, dan
hukuman bisa diberatkan
dengan tambahan sepertiga
dari maksimum hukuman
Teori Berganda yang
dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori
penyerapan keras yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini yang tercantum dalam pasal 65 ayat(2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak boleh melebihi batas maksimum umum ditambah
Teori Berganda Biasa
Menurut teori ini, semua hukuman
dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini dianut dalam pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: Jika ada gabungan secara yang
termaksud dalam pasal 65 dan 66
antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan
pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.
Untuk pelanggaran maka hukuman
kurungan tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan kurungan
Dalam Hukum Pidana
Islam
Dalam Hukum pidana Islam, teori
tentang bergandanya hukuman
sudah dikenal oleh para
Fuqaha, tetapi teori tersebut
dibatasi dengan dua teori yang
lain yaitu: Teori saling
Teori Saling melengkapi
(At- Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi
gabungan perbuatan maka
hukuman-hukumannya saling
melengkapi (memasuki),
sehingga karenanya semua
perbuatan tersebut hanya
dijatuhi satu hukuman, seperti
kalau seseorang melakukan
Teori ini didasarkan atas dua
pertimbangan:
Meskipun jarimah yang dilakukan berganda, tetapi semuanya
itu jenisnya sama. Maka sudah sepantasnya kalau pelaku hanya dikenakan satu macam hukuman saja. Contohnya pencurian yang berulang-ulang.
Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan
berbeda-beda macamnya, namun hukumannya bias saling melengkapi, dan cukup satu hukuman saja untuk melindungi kepentingan yang sama. Misalnya seseorang yang makan
bangkai, darah, dan daging babi, cukup dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk
Teori Penyerapan
(Al-Jabb)
Pengertian penyerapan menurut syariat islam adalah
cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja,
sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam kontek ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman yang lain.
Namun dalam kalangan Fuqaha masih terjadi
LEMBAGA
Sistem Peradilan Pidana
Indonesia
Secara sederhana sistem peradilan
pidana atau yang sering disebut
dengan
(Criminal justice system)
dapat dipahami suatu usaha untuk
memehami serta menjawab
pertanyaan apa tugas hukum
pidana didalam masyarakat dan
bukan sekedar bagaimana hukum
pidana didalam undang-undang
dan bagaimana hakim
Di Indonesia sistem peradilan pidana setelah berlakunya undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana mempunyai empat
komponen atau sub sistem yaitu:
Sub sistem kepolisian
Sub sistem kejaksaan
Sub sistem pengadilan
Tujuan sistem peradilan pidana
menurut Prof Muladi dapat
dikategorikan sebagai:
Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak
dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;
dikategorikan sebagai tujuan jangka
menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan
kejahatan dalam konteks politik criminal
(Criminal policy)
Tujuan jangka panjang , apabila yang hendak
dicapai adalah kesejahteraan masyarakat
Mekanisme Sistem
Peradilan Pidana
Sistem ini mulai bekerja sejak adanya
laporan/atau aduan dari masyarakat
tentang terjadinya tindak pidana dari
masyarakat. Setelah itu polisi
melakukan proses selanjutnya
SISTEM PERADILAN PIDANA
Kasus Polisi JPU PN LP
MASYARAKAT
SUB SISTEM SPP
Ou t Put
CCM dan DPM
Dalam bukunya yang berjudul
The
limits of the Criminal Sanction,
Herbert L. Packer.
Menyebutkan ada
dua model dalam proses peradilan
Proses peradilan pidana menandaskan
dirinya pada hukum pidana. Kedua
proses ini berlainan cara kerjanya,
akan tetapi mengakui pentingnya
seperangkat hukum tertulis, tetapi
fokusnya pada peraturan yang
berbeda.
Kedua model tersebut diatas memiliki
perbedaan dalam melakukan proses
penyelesaian kasus/perkara pidana
Karateristik CCM dan
DPM
Karateristik dari CCM
adalah
efisiensi
yang mana proses criminal
itu bekerja
yaitu cepat tangkap dan
cepat adili
(Asas Presumtion of Quilt)
sedangkan DPM memiliki karateristik
adalah perlindungan hak-hak
tersangka, untuk menentukan
kesalahan harus melalui suatu
Dalam kenyataannya dua
model ini sangat
mempengaruhi hukum acara
pidana Indonesia, yaitu
karateristik DPM menonjol pada
KUHAP Indonesia dengan
dilindunginya hak-hak
tersangka dan terdakwa,
namun dalam bekerjanya
Posisi Lembaga
Pemasayarakatan dalam
SPP
Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga
pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari SPP, yaitu
Rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan
(Supresion of crime). Keberhasilan dan
kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negative.
Penilaian itu positif manakala pembinaan nara
pidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas nara pidana menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum.
Sedangkan penilaian itu negative manakala, bekas nara pidana yang pernah dibina itu menjadi
Dasar Hukum sistem
Kepenjaraan:
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (KUHP)
Stbl 1915 No. 732 Jo 1917 No.497 Jo UU No. 1 Th. 1946 Jo UU No. 73 Th. 1958 dan berdasarkan pasal II Aturan
peralihan UUD 1945 (sekarang Pasal I Aturan Peralihan) serta Pasal I Peraturan Presiden No.2 Th 1945 tanggal 10 Oktober 1945
Gstichten Reglemen (Reglemen Penjara )Stbl . 1917 No 708; Dwangopvoeding Regeling (DOR) Stbl. 1917 No. 741;
Voorwaardelijke Invrerijheidstelling (V.I) Stbl. 1917 No. 749; Regeling Voorwaardelijke Veroordeling Stbl. 1926 No. 487.
SISTEM KEPENJARAAN
Tujuannya
Memperlakukan
Nara Pidana
Sedemikian rupa
Dengan cara yang tidak
manusiawi(berupa penyiksaan dan
hukuman-hukuman badan lainnya)
Pada tempat tertentu
yang
dinamakan bangunan penjara
Sistem yang dipakai adalah sistem
perlakuan
Harapannya
Tujuan Lebih luas sistem
Kepenjaraan:
tujuannya adalah untuk
“Melindungi masyarakat
dari segala bentuk
Sebagaimana telah diuraikan diawal
bahwa seseorang yang telah dijatuhi
pidana penjara, kemudian dengan
sistem perlakuan yang diharapkan
terhukum dapat tobat dan jera dan jika
ia kembali ke masyarakat maka tidak
akan kembali melakukan kejahatan
lagi.
Inilah yang dimaksud dengan
Oleh sebab itu didalam sistem
kepenjaraan perlakuan terhadap
anak didik dilaksanakan dengan
sangat tidak manusiawi dan tidak
kenal perikemanusiaan,
namun hal
ini dapat dimaklumi, karena di
dalam sistem kepenjaraan
Kembali kepada tujuan semula dari pidana penjara yang maksudnya adalah untuk
melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan. Tetapi pertanyaannya”
apakah memang demikian kenyataannya ? apakah masyarakat sudah terlindungi dari
kejahatan?
dan apakah mantan nara pidana yang
sudah kembali kemasyarakat tidak akan melakukan kejahatan lagi?
Singkatnya apakah mereka dapat dijamin
Dari pertanyaan-pertanyaan
yang ada itu dan apabila kita
hubungkan dengan gambaran
perlakuan terhadap para
narapidana tadi, kemungkinan
besar pertanyaan tadi tidak
terjawab dengan kata
“Ya”
Kegagalan Sistem Kepenjaraan
Penyebabnya ?
Sistem Itu sendiri
Mengapa ?
Karena secara
konseptual sistem kepenjaraan justru
bertentangan dengan tujuan yang dianutnya.
Tujuan dari sistem kepenjaraan (sistem perlakuan) terhadap narapidana atau anak didiknya adalah
menghendaki agar para nara pidana menyadari bahwa
perbuatan yang pernah dilakukan itu adalah salah dan bertentangan dengan hukum yang berlaku serta dilarang agama yang
dianutnya. Dan apabila mereka sudah mau
menyadari maka mereka akan merasa tobat.
Dengan sistem
perlakuan yang tidak
Apa dampak buruknya ?
Balas dendam
Petugas Penjara Masyarakat karena stigma
Kembali
melakukan
Tindak pidana
Diproses dalam SPP menjadi
Nara pidana Kembali
Residivis
Stigma baru
Nara Pidana
Itulah sebabnya mengapa dikatakan
secara konsepsional sistem
kepenjaraan bertentangan dengan
tujuan yang dianutnya, disatu pihak
sistem kepenjaraan bertujuan untuk
membuat jera para nara pidana,
namun dilain pihak tujuan pidana
penjara tidak akan tercapai dengan
cara memperlakukan mereka dengan
cara tidak manusiawi.
Dengan istilah lain dapat dikatakan
bahwa “jera” buka merupakan jalan
untuk membuat para nara pidana
Disamping hal tersebut diatas,
kegagalan dari sistem kepenjaraan yang menganut prinsip-prinsip
“kepenjeraan” masih ada lagi factor
lain yang ikut terlibat didalamnya yaitu:
sistem kepenjaraan diterapkan tanpa disertai dengan
proses-proses kepenjaraan (tidak adanya pentahapan
perlakuan terhadap nara pidana yang sudah benar-benar menunjukkan rasa tobatnya) walaupun pada saat itu sudah dikenal adanya lembaga V.I. (Pelepasan Bersarat) namun cara pemberiannya dilakukan dengan cara tidak konsisten.
sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang mendidik
sikap apriori dan prejudice masyarakat terhadap
nara pidana lebih menambah kegagalan dari sistem kepenjaraan dengan memberikan cap bahwa penjara itu adalah “sekolah tinggi kejahatan”;
dalam penerapan sistem kepenjaraan tidak
memperhitungkan atau tidak mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam sistem perlakuannya (terlalu bersifat individual);
Re educatie dan resosialisasi saebagai jiwa dari
Walaupun demikian, untuk mengatasi
kegagalan sebagaimana telah
disebutkan diatas, jauh sebelum
dikemukakannya konsepsi
pemasyarakatan sebagai pengganti
dari sistem kepenjaraan, pada tahun
1955 masih diusahakan
perbaikan-perbaikan terhadap pelaksanaan
sistem kepenjaraan tersebut. Hal ini
terbukti dengan diselenggarakannya
Sehubungan dengan hal tersebut
diatas,
Bahroedin Soerjobroto
,
sebagai seorang praktisi
kepenjaraan pada konferensi
tersebut ditunjuk untuk memberi
preadviesnya.
Dalam preadvisnya
yang berjudul
“
masalah-masalah
disekitar pelaksanaan hukuman
hilang kemerdekaan dan
“ bahwa orang-orang yang oleh hakim dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan yang harus segera dijalankan, maka yang selalu menjadi perhatian bagi
siterhukum adalah adalah kepentingan keluarganya dan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam
memperlakukan siterhukum ke 2 hal tersebut harus selalu diperhatikan.
Selain daripada yang telah dikemukakan diatas yang harus mendapatkan
Oleh beliau dikemukakan lebih
jauh, bahwa dibeberapa
Negara maju soal mengenai
penghidupan keluarga dari
Sejak tahun 1945 atau tepatnya
setelah perang dunia kedua, perlakuan
terhadap nara pidana mendapat
perhatian khusus dari kalangan dunia
internasioanal, karena dalam perlakuan
tersebut berdasarkan pada
perikemanusiaan, sehingga tercipta
“standart minimum Rules for the
treatment of prisoner,”
dan
Teori-teori lama seperti retributive
punishment dan sebaginya memang
lebih mudah untuk direseptir bahkan
secara langsung dapat meresap
pada rasa dan rasio masyarakat,
karena pada umumnya jika ada
pelanggaran hukum secara spontan
hanya ditanggapi dari segi
negatifnya saja, sedangkan teori
rehabilitasi dan resosialisasi dinegara
manapun tentu lebih sukar untuk
Karena biasa orang baru
berpikir mencari jalan untuk
merehabilitasi sesudah merasa
puas bahwa sipelanggar hukum
itu sudah betul-betul
menunjukkan tobat dan
memang oleh yang berwenang
telah dianggap cukup
Di Indonesia hal yang telah diuraikan
diatas tadi,oleh warga masyarakatnya
memang sangat dirasakan, karena
sebagai Negara yang sudah merdeka,
dan juga sebagai Negara hukum, maka
dalam hal pelanggaran hukum
khususnya sipelanggar huum (nara
pidana) harus juga mendapat
perlindungan hukum dari Negara
Dengan dasar membela dan
mempertahankan “hak asasi manusia” pada suatu Negara hukum (sipelanggar hukum
harus juga mendapat perlindungan hukum), maka oleh SAHARDJO S.H. (Menteri
kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 juli
1963 telah dikemukakan suatu gagasan
“SISTEM PEMASYARAKATAN” sebagai
tujuan dari pidana penjara, yang diucapkan pada pidatonya yang berjudul “Pohon
Beringan Pengayoman” pada
penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu Hukum Universitas
Untuk mengetahui lebih lanjut
ide yang disampaikan oleh
A.
Orang-orang yang tersesat
diayomi juga, dengan
memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga yang baik
dan berguna dalam masyarakat.
Jelas bahwa yang dimaksud disini adalah
masyarakat Indonesia yang menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur,
Bekal hidup bukan hanya berupa financial dan material tetapi yang lebih penting adalah mentaln fisik (kesehatan) keahlian,
keterampilan, hingga orang mempunyai
B.
Menjatuhi pidana bukan
tindakan balas dendam dari
Negara
Maka tidak boleh ada penyiksaan
terhadap nara pidana baik yang
berupa tindakan (treatment),
ucapan, cara perawatan ataupun
penempatan. Satu-satunya derita
yang dialami nara pidana
C.
Tobat tidak dapat dicapai
dengan penyiksaan, melainkan
dengan bimbingan.
Maka kepada nara pidana harus
ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk
merenungkan perbuatannya yang lamapu. Nara pidana dapat diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan
E.
Negara tidak berhak membuat
seseorang lebih buruk/lebih jahat
daripada sebelum ia masuk
lembaga
Untuk itu perlu ada pemisahan antara:
Yang recidivist dan yang bukan
Yang tindak pidana berat dan ringan Macam tindak pidana yang dilakukan Dewasa, dewasa muda dan anak-anak
(LPK dewasa muda di sukamiskin) Laki-laki dan wanita
E.
Selama kehilangan
kemerdekaan
bergerak,narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat
dan tidak boleh diasingkan
daripadanya.
Adapun yang dimaksud sebenarnya adalah tidak diasingkan secara “culture” bahwa mereka secara bertahap akan dibimbing diluar lembaga (ditengah-tengah
masyarakat) itu merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Dan
memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang
“community centered” serta berdasarkan interaktivitas dan inter-disiplinair
F.
Pekerjaan yang diberikan
kepada nara pidana tidak boleh
bersifat mengisi waktu, atau
hanya diperuntukkan
kepentingan jawatan atau
kepentingan Negara sewaktu
saja.
Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan
di masyarakat dan untuk ditujukan
kepada pembangunan nasional.
G.
Bimbingan dan didikan harus
berdasarkan pancasila.
Maka pendidikan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum didalamnya.
Kepada nara pidana harus diberikan pendidikan agama serta diberi kesempatan untuk
melaksanakan ibadahnya. Harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa
kekeluargaan juga kekeluargaan antar bangsa-bangsa.
H.
Tiap orang adalah manusia
dan harus diperlakukan sebagai
manusia meskipun ia telah
tersesat
Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia
harus merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh memakai kata-kata yang dapat
menyinggung narapdana khususnya yang berkaitan dengan perbuatannya yang telah lampau yang telah
I.
Nara pidana hanya dijatuhi
pidana kehilangan kemerdekaan
Maka perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk
kelangsungan hidup keluarganya
menjadi tanggungjawabnya, dengan disediakan pekerjaan ataupun
dimungkinkan bekerja dan diberi upah untuk pekerjaanya.
Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga
pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun yang diberi kesemoatan
Apabila disimpulkan apa yang disampaikan oleh Sahardjo bahwa pemasyarakatan itu sebagai tujuan dari pidana penjara, dalam
tahun 1964 dalam konferensi dinas direktorat Pemasyarakatan hal tersebut telah dirubah
menjadi suatu sistem pemasyarakatan. Untuk lebih jelasnya, dimana semenjak tahun 1955 arah dari perlakuan terhadap orang-orang hukuman hilang
kemerdekaan dan penutupan adalah “Re – educatie” dan “Re-Socialicatie”, dan
dalam tahun 1963 telah dirubah sehingga menjadi pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara, maka dalam tahun
Dari perubahan-perubahan pemikiran
tentang nara pidana diatas, ada hal yang sangat disayangkan, yakni
perubahan-perubahan tadi yang bermaksud mulia tidak sekaligus disertai dengan perubahan
landasan hukumnya. Dengan kata lain
walaupun sistem kepenjaraan telah diganti dengan sistem pemasyarakatan akan tetapi landasan hukumnya masih tetapjaman
hindia Belanda, yaitu berlandaskan
Gestichten Reglement Stbl. 1971 No
708 yang seharusnya menjadi dasar hukum bagi sistem kepenjaraan. Sehingga sistem pemasyarakatan pada saat itu tidak bisa
SISTEM
Ide Pemasyarakatan sebagaimana
dicita-citakan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia pada akhirnya
pada tahun 1995 disahkan satu
instrument yang penting dalam rangka
pemasyarakatan yaitu disahkannya
Undang-undang
Nomor 12 Tahun
1995
Tentang Pemasyarakatan dalam
Pokok-pokok isi dari
undang-undang tersebut
adalah
Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tersebut lahir atas pertimbangan
bahwa:
perlakuan terhadap warga binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem
sistem pemasyarakatan merupakan
rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan
pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana lagi sehingga
dapat diterima kembali di masyarakat, aktif dalam pembangunan dan
sebagainya.
dasar-hukum yang dipakai dalam rangka
proses pemasyarakatan pada sistem
Pemasyarakatan:
Adalah
kegiatan untuk malakukan
pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan
sistem, kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan
Fungsi Sistem Pemasyarakatan
adalah untuk menyiapkan warga
binaan pemasyarakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga
Lembaga:
Lapas:
Lembaga Pemasyaratan
BAPAS
: Balai Pemasyarakatan
Lapas dan Bapas didirikan disetiap Ibukota
Kabupaten atau kotamadya. Dan jika
WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN
Warga binaan pemasyarakatan
yang dimaksud adalah
Narapidana, anak didik
1. Narapidana
Yang dimaksud dengan nara pidana adalah orang yang menjalani pidana hilang kemerdekaan.
Ada kewajiban untuk mendafatar terpidana yang diterima di LAPAS dalam rangka mengubah status terpidana menjadi nara pidana.
Pendaftaran yang dimaksud meliputi:
Pencatatan: Jati diri, Putusan pengadilan dan barang-barang
serta uang yang dibawa.
Pemeriksaan kesehatan; Pembuatan pas foto
Pengambilan sidik jari dan pembuatan berita acara serah
terima terpidana.
Hak-hak Narapidana didalam
LAPAS
Nara pidana dalam menjalani pidananya di LAPAS berhak:
Melakukan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaanya;
Mendapat perawatan,baik perawatan
rohani maupun jasmani;
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; Mendapatkan pelayanan kesehatan dan
makanan yang layak;