• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Ajar Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahan Ajar Hukum Pidana"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR I. PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Secara Umum

Hukum yang mengatur perbuatan yang dilarang oleh UU dan berakibat sanksi pidana bagi yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana.

Abdullah Mabruk

Kumpulan kaidah” yang menentukan perbuatan” pidana yang dilarang oleh UU, hukuman” , prosedur yang dilalui dan pengadilannya serta hukuman yang diterapkan.

(2)

Lebih lanjut

Inti dari hukum pidana adalah :

1.

Menentukan perbuatan yang dilarang &

sanksinya;

2.

Menentukan kapan, dalam hal apa kepada

mereka larangan itu dapat dijatuhi hukuman;

3.

Menentukan cara menerapkan pidana.

(3)

Soedarto

Hukum pidana dapat diartikan dari kata Pidana.

Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh

negara kepada seorang yang melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan undang”

dengan sengaja agar dirasakan sebagai

nestapa.

Hukum

pidana

adalah

hukum

tentang

pemberian nestapa terhadap pelanggar hukum.

(4)

Lemaire

Norma yang berisi keharusan dan larangan

(oleh pembentuk UU) dikaitkan dengan sanksi.

Moeljatno

Hukum yang mengadakan dasar” & aturan

untuk :

1.

Menentukan perbuatan yang dilarang dengan

disertai ancaman/sanksi terhadap

pelanggarnya.

2.

Menentukan kapan dan dalam hal apa pidana

itu dapat dilaksanakan.

3.

Menentukan dengan cara bagaimana pidana

itu dapat dilaksanakan.

(5)

Pompe

Semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidana yang bersesuaian.

Satochid Kartanegara

Sejumlah peraturan” yang merupakan bagian dari

hukum positif yang mengandung larangan” dan

keharusan” yang ditentukan oleh negara atau

kekuasaan lain yang berwenang disertai dengan

ancaman

pidana,

dan

apabila

terdapat

pelanggaran maka timbul hak negara untuk

menuntut, menjalankan pidana dan melaksanakan

pidana.

(6)

II. Tujuan Hukum Pidana

Tujuan preventif

Menakuti orang agar tidak melakukan

perbuatan yang tidak baik.

Tujuan solutif

Untuk mendidik orang yang pernah melakukan

perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat

diterima kembali dalam lingkungan masyarakat.

(7)

III. Klasifikasi Hukum Pidana

Obyektif

Sejumlah peraturan yang mengandung larangan” atau keharusan” dimana pelanggarnya diancam dengan hukuman.

Dalam kategori ini dibedakan dalam dua bagian :

1. HP materil

Cabang HP yang menentukan perbuatan” kriminal yang dilarang oleh UU & hukuman” yang ditetapkan bagi pelakunya. Hal ini memiliki keterkaitan dengan Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi.

(8)

2. Hukum Formil

Berkaitan dengan cara menegakkan hukum

materil.

Hukum formil merupakan ketentuan yang

mengatur bagaiamana cara agar hukum materil

itu terwujud atau dapat dilaksanakan kepada

subyek yang memenuhi unsur perbuatan

pidana.

(9)

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM

PIDANA

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Asas Legalitas

Belanda (

nullum delictum nula poena sine praevia lege

poenali)

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

(10)

Pasal 28 ayat (1)

Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Pasal 28 J ayat (2)

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. (asas konstitusional).

(11)

Dalam perkembangannya asas ini dipopulerkan oleh

Anselm von Feuerbach dalam teori :

“vom

psychologishen zwang (paksaan psikologis)”

dimana

adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :

1.

Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa

undang-undang)

2.

Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa

perbuatan pidana)

3.

Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan

pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih

dulu ada)

(12)

Adagium ini menganjurkan supaya :

Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di

dalam peraturan bukan saja tentang jenis perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;

Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan

perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;

Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat

tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

(13)

Prof. Moeljatno :

Tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan

undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Untuk menentukan adanya perbuatan pidana

tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi

diperbolehkan

penggunaan

penafsiran

ekstensif.

Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku

surut.

(14)

Schaffmeister dan Heijder

Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana

berdasar peraturan perundang-undangan (formil).

Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu

undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).

Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan

(Hukum tidak tertulis).

Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex

Certa).

Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)

Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan

(15)

RUANG

BERLAKUNYA

HUKUM

PIDANA

MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)

Perbuatan (Yurisdiksi Hukum Pidana Nasional),

ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat :

1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).

2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut Asas Personal atau Prinsip Nasional Aktif.

(16)

Dalam hal ini Asas - Asas Hukum Pidana Menurut Tempat :

Asas Teritorial.

Pasal 2 KUHP

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam Pasal 3 KUHP

Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

(17)

Asas Personal (Nasional Aktif)

Pasal 5 KUHP menyatakan :

1. Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I & II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.

2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.

(18)

Perluasan atas Ketentuan Pasal 5 tersebut dipertegas dengan Ketentuan Pasal 6 KUHP yang berbunyi :

Berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati” (Prinsip Double Criminal Sistem).

Dipertegas juga dalam Pasal 6 Ayat (1) butir 2 KUHP dengan maksud adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance).

(19)

Asas Perlindungan

Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976) “Ketentuan pidana dalam perUndang-undang- perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :

Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan

oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;

Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu

daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;

Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai

dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

(20)

Asas Universal

Pasal 2-5 dan 8 KUHP mengenai asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).

Penegasan juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 KUHP :

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”.

(21)

Pasal 8 KUHP

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan

Indonesia

berlaku

bagi

nahkoda

dan

penumpang perahu Indonesia, yang di luar

Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan

salah

satu

tindak

pidana

sebagaimana

dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan

Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut

dalam peraturan mengenai surat laut dan pas

kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi

perkapalan”.

(22)

BAB III

TINDAK PIDANA

 

Moeljatno

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.

Terdapat 3 (tiga) hal :

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

HUKUM PIDANA

(23)

Moeljatno

 

Membedakan antara :

1. dapat dipidananya perbuatan

(die strafbaarheid

van het feit)

dan

2. dapat dipidananya orang

(strafbaarheid van den

person)

.

Sejalan dengan itu memisahkan :

3. perbuatan pidana

(criminal act)

dan

4. pertanggungjawaban pidana

(criminal

responsibility)

.

Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

(24)

Unsur – Unsur Tindak Pidana

 

Unsur - unsur tindak pidana

(strafbaar feit)

adalah

:

Perbuatan manusia

(positif atau negative,

berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

Diancam dengan pidana

(statbaar gesteld)

Melawan hukum

(onrechtmatig)

Dilakukan dengan kesalahan

(met schuld in

verband staand)

Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatoaar person).

HUKUM PIDANA

Simon

(25)

Unsur Obyektif : Perbuatan orang

Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “

openbaar”

atau

“dimuka umum”.

Unsur Subyektif :

Orang yang mampu bertanggung jawab

Adanya kesalahan

(dollus atau culpa)

. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. HUKUM PIDANA

Simon

 

Unsur Obyektif dan Subyektif

(26)

Unsur - Unsur Perbuatan Pidana :

Perbuatan (manusia)

Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

(syarat formil)

Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno

terdiri dari :

Kelakuan dan akibat

Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan.

HUKUM PIDANA

Moeljatno

(27)

Unsur subyektif atau pribadi :

Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut

Unsur obyektif atau non pribadi :

Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini

HUKUM PIDANA

Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan :

(28)

Unsur - Unsur Perbuatan Pidana :

Perbuatan (manusia)

Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

(syarat formil)

Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno

terdiri dari :

Kelakuan dan akibat

Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan.

HUKUM PIDANA

Moeljatno

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada sifat diatas bahwa file hasil enkripsi didalamnya ada daftar hak akses dan tanggal modifikasi file, maka file gambar atau file teks yang buka hasil enkripsi oleh

CPNS KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2019 RABU, 02 SEPTEMBER 2020.. YUNUS AHLI

Serangkaian manifestasi sikap politik yang disampaikan oleh kalangan pemikir Islam liberal tersebut, mengundang kontroversi tidak saja dari kalangan yang disebut Islam

Hal ini ditunjukkan oleh pangsa produksi dalam negeri terhadap ketersediaan pangan nasional rata-rata mencapai lebih dari 96 persen Fakta tersebut menunjukkan

Subjek keempat memiliki pekerjaan yang sama dengan orang tua.. Selama proses penelitian berlangsung peneliti menggunakan

Hasil dari penelitian dapat berguna bagi pengurus maupun anggota untuk dapat digunakan sebagai masukan informasi mengenai penggunaan modal kerja fungsional dalam

Maka dari itu, perlu adanya penelitian yang menjangkau karya-karya yang dipelajari di pesantren, yang kemudian dikonstruksi jalan berpikirnya terkait pemahaman

Selanjutnya dalam memaksimalkan loyalitas pelanggan, yang harus dilakukan selanjutnya ialah memaksimalkan customer relationship management (CRM) karena Amstrong dan