RUANG LINGKUP HUKUM
PIDANA
• Menentukan perbuatan yang dilarang disertai
dengan sanksi pidana;
• Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
• Menentukan dengan cara bagaimana sanksi
pidana itu dapat dikenakan.
• SKEMA HUKUM PIDANA -Perbuatan yang dilarang -Sanksi pidana
HP
MATERIAL -Perbuatan yang dilarang -Sanksi pidana
HP UMUM HP UMUM
SISTEMATIKA KUHP
KUHP TERDIRI DARI TIGA BUKU, YAITU:
BUKU I : MENGATUR TENTANG KETENTUAN UMUM TERDIRI DARI 9 BAB, TIAP BAB
TERDIRI DARI BERBAGAI PASAL YANG
JUMLAHNYA 103 PASAL (PASAL 1 S.D. 103)
BUKU II: MENGATUR TENTANG KEJAHATAN TERDIRI DARI 31 BAB DAN 385 PASAL (PASAL 104 S.D. 448)
Sistematika
Hukum Pidana Khusus
(Aturan Pidana dalam UU di luar KUHP) UU Narkotika, UU
SUMBER-SUMBER HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
•KUHP (beserta UU yang merubah & menambahnya)
•UU Pidana di luar
KUHP
•Ketentuan Pidana dalam Peraturan
perundang-undangan non-pidana
•KUHP (beserta UU
yang merubah & menambahnya)
•UU Pidana di luar KUHP
•Ketentuan Pidana dalam Peraturan
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum hukum pidana berfungsi
mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum.
2. Secara khusus sebagai bagian dari hukum publik,
a. Melindungi kepentingan hukum,
b.Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam
rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
c. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi
Hukum Pidana Materiel di
Indonesia
8
• Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
• Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
• Merupakan warisan kolonial Belanda yang
diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918. • Sumber lain: UU khusus di luar KUHP: Korupsi,,
9
HUKUM PIDANA MATERIIL
Tindak Pidana
SANKSI PIDANA
PERBUATAN PIDANA
PERTANGGUNG JAWABAN
SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP
10
Wetboek van Strafrecht (WvS)
dapat dibaca “KUHP”
Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33,
15 Oktober 1915
berlaku : 1 Januari 1918
Wetboek van Strafrecht Nederlansch Indie (WvSNI)
UU No. 1/ 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia
Wetboek van Strafrecht
Nederlansch dibuat : 1881 berlaku : 1886 Asas Konkordansi
Code Penal (Perancis,
Napoleon Bonaparte) berlaku 1811-1886
Crimineel Wetboek voor Het
Koninkrijk Holland dibuat : 1795berlaku : 1809-1811
UU No. 73/1958 yang
11
Tahun Peristiwa Selisih Waktu
1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander
diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di
Belanda 5 tahun
1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di
Belanda 29 tahun
1915 Wetboek van Strafrecht
Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht
Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht
Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia
Total : 136 tahun
SEJARAH HUKUM PIDANA
• Zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme
hukum, yaitu:
- Untuk orang Belanda/Eropah, berlaku mulai 1
January 1867
- Untuk orang Indonesia/Timur asing, berlaku mulai 1
January 1873.
• Tahun 1886 di negeri Belanda diberlakukan KUHP
baru yang sebagian besar mencontoh KUHP Jerman.
• Tanggal 1 Januari 1918, dengan asas konkordansi,
KUHP Belanda itu diberlakukan untuk semua
SEJARAH HUKUM PIDANA
Saat penjajahan Jepang, pemerintah Jepang tetap
memberlakukan Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie untuk Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, dengan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie tsb dinyatakan pula tetap
berlaku.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 diadakan penegasan
tentang hukum pidana itu berlaku di Indonesia. Namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrech (WvS) atau biasa disebut KUHP. Beberapa pasal
SEJARAH HUKUM PIDANA
Akan tetapi sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1946
tidak semua daerah dikuasai secara de facto oleh pemerintah RI, sehingga UU No.1 Tahun 1946 itu tidak berlaku untuk daerah yg masih
dikuasai/diduduki oleh Belanda yg tetap
mempertahankan Wetboek van Strafrech voor
Netherlandsch Indie.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 tetan peraturan
ASAS LEGALITAS
Asas legalitas diatur dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP.
Asas legalitas menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan
Bahasa latin: Nullum delictum nulla poena
praevia lege (tidak ada pidana tanpa
Pasal 1 (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan. Konsekuensi:
a.Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat dipidana.
b.Larangan analogi
2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif)
Konsekuensi :
Asas legalitas
TIGA PENGERTIAN YANG TERKANDUNG DALAM ASAS LEGALITAS
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan UU
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi
Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh
Anselm von Feuerbach
Lehrbuch des peinlichen Recht
(1801)
“nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali”
SEJARAH ASAS LEGALITAS
Zaman Romawi sampai zaman Louis XVI di Perancis, kesalahan seseorang ditentukan oleh raja
reaksi • Montesqueau : L’esprit des Lois (1748)
• J.J. Rousseau : Du Contract Social (1762)
Revolusi Perancis (1789)
Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789)
hasil
Napoleon Bonaparte (Code Penal, 1810) Anselm von Feuerbach
Lehrbuch des peinlichen Recht
(1801)
“nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali”
THE HISTORY OF LEGALITY PRINCIPLE
The existence of legality principle is due to the
Rome period, there has been a crime which they called criminal extra ordinaria, yaitu kejahatan yang tidak disebut dalam UU. Dengan adanya kejahatan extra ordinaria, maka dimungkinkan untuk menggunakan hukum pidana secara
ASAS LEGALITAS DALAM KONSEP KUHP
BARU
Pasal 5
(1)Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana atau
dikenai tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yg hidup yg menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tsb tidak diatur dalam peraturan
PERBUATAN YANG DIANGGAP ‘JAHAT’ MENURUT HUKUM ADAT/AGAMA
Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun
2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Asas legalitas materiel
RUU KUHP :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”
PERBUATAN PIDANA
ASAS LEX TEMPORIS DELIKTI
tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut
ketentuan pidana yang berlaku saat itu Jika terjadi perubahan
perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka dipakai ketentuan
yang paling meringankan terdakwa.
• RUU KUHP :
• 1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka diterapkan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan.
• 2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan
perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.
• 3. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperolej
kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka
putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan
ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LOCUS DELIKTI)
Asas Teritorial Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak
pidana di wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP)
Pasal 3 Perluasan
Tindak Pidana
Istilah
•Strafbaar feit
•Perbuatan pidana •Peristiwa pidana
•Tindak pidana
•Delict / Delik
•Criminal act
Tindak Pidana:
Definisi
•Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan &
dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”
•Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan”
•Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi
OBJEKTIF
SUATU TINDAKAN (PERBUATAN) YANG BERTENTANGAN DENGAN
HUKUM DAN
MENGINDAHKAN AKIBAT YANG OLEH HUKUM DILARANG DENGAN ANCAMAN HUKUM. ADAPUN YANG DIJADIKAN
TITIK UTAMA DARI PENGERTIAN OBJEKTIF ADALAH TINDAKANNYA.
sUBJEKTIF
PERBUATAN SESEORANG YANG BERAKIBAT TIDAK
DIKEHENDAKI OLEH UNDANG-UNDANG. SIFAT
UNSUR INI
MENGUTAMAKAN ADANYA PELAKU
KONSEP PERBUATAN
PIDANA
PERBUATAN JAHAT (KEJAHATAN)
- Dalam arti kriminologis, sebagai
gejala masyarakat yang menyalahi norma dasar.
- Dalam arti yuridis, melanggar
ketentuan UU
Istilah lain yang menunjuk pada kejahatan:
- Perbuatan pidana - Peristiwa pidana - Tindak pidana - Delik
PERBUATAN PIDANA
Perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tsb.
- Larangan ditujukan pada perbuatan - Ancaman ditujukan pada orang yg melakukan
Pengertian abstrak yang menunjuk pada
dua keadaan konkrit:
1. Adanya kejadian tertentu
PERBUATAN PIDANA
AJARAN MONISME
Menggabungkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) orang yang melakukan
AJARAN DUALISME
PERBUATAN PIDANA
Menurut Prof. Moeljatno yang
menganut ajaran dualisme,
untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain melakukan perbuatan pidana orang itu juga harus mempunyai
kesalahan.
Actus non facit reum, nisi mens
sit rea.
Geen straft zonder schuld
An act does not make a person
UNSUR-UNSUR PERBUATAN
PIDANA
Kelakuan dan akibat (=perbuatan)
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Unsur melawan hukum yang objektif
MACAM-MACAM PERBUATAN
PIDANA
PERBUATAN PIDANA (DELIK) FORMAL (Pencurian menurut
Pasal 362 KUHP)
DELIK MATERIAL ( suatu perbuatan pidana yang dilarang,
yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh: pembunuhan)
DELIK DOLUS (perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja. Contoh: pembunuhan berencana)
DELIK CULPA (perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang).
DELIK ADUAN (sebelum ada pengaduan belum mrpkan delik.
Contoh: penghinaan).
DELIK POLITIK (perbuatan pidana yg ditujuukan kepada
keamanan negara. Contoh: pemberontakan).
PERBUATAN PIDANA (DELIK) FORMAL (Pencurian menurut
Pasal 362 KUHP)
DELIK MATERIAL ( suatu perbuatan pidana yang dilarang,
yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh: pembunuhan)
DELIK DOLUS (perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja. Contoh: pembunuhan berencana)
DELIK CULPA (perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang).
DELIK ADUAN (sebelum ada pengaduan belum mrpkan delik.
Contoh: penghinaan).
DELIK POLITIK (perbuatan pidana yg ditujuukan kepada
TEKNIK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
(1) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dilarang
(2) Memberikan kualifikasi perbuatannya saja
(3) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan memberikan kualifikasi
perbuatannya
(1) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dilarang
(2) Memberikan kualifikasi perbuatannya saja
(3) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan memberikan kualifikasi
HUBUNGAN KAUSAL
PENTINGNYA MEMPELAJARI TEORI
HUBUNGAN KAUSAL DALAM HUKUM PIDANA:
1.UNTUK MENETAPKAN APA YANG
MENJADI SEBAB DARI SUATU AKIBAT
HUBUNGAN KAUSAL
1. TEORI QUNDITIO SINE QUA NON
Musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk
timbulnya akibat
Disebut juga teori equivalen
Tiap syarat adalah sama nilainya karena tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab
Contoh: ada pelita yang menyala. Siapa yang menjadi penyebab
HUBUNGAN KAUSAL
2. TEORI YANG MENGENERALISASI
- Musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat atau kejadian
tersebut
Yang dimaksud normal menurut Vos adalah sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau seharusnya
HUBUNGAN KAUSAL
Menurut Simons, musabab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum mengenai
pengalaman manusia patut diadakan kemungkinan bahwa karena
kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat
Menurut Pompe, musabab adalah hal yang mencenderung atau yang
HUBUNGAN KAUSAL
3. TEORI YANG MENGINDIVIDUALISASI Di dalam rangkaian syarat-syarat
yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan
tertentu itu, yang paling banyak
membantu untuk terjadinya akibat. Contoh:
- A menganiaya B; sewaktu hendak pergi ke dokter, B mengalami
HUBUNGAN KAUSAL
- Seorang bapak meninggalkan senapan dalam mobil dengan
anaknya. Anaknya main senapan dan terkena orang yang lewat hingga
orang itu mati
- A dan B menjaga S yang gila. A
pergi dan B tertidur. S keluar rumah dan membakar rumah tetangga
- Seorang bapak membolehkan
anaknya belajar naik sepeda motor di jalan raya. Si anak menabrak
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
ASAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
- TIDAK DIPIDANA JIKA TIDAK ADA KESALAHAN
- GEEN STRAFT ZONDER SCHULD
- ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA
- ORANG TIDAK MUNGKIN
DIPERTANGGUNG-JAWABKAN (DIJATUHI PIDANA) KALAU DIA
TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA. TETAPI MESKIPUN MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA,
KESALAHAN
KESENGAJAAN (DOLUS, OPZET)
KENAPA MELAKUKAN PERBUATAN
PADAHAL DIA MENGERTI (MENGETAHUI) SIFAT JELEKNYA PERBUATAN TERSEBUT
KEALPAAN (CULPA, SCHULD)
KENAPA TIDAK MENJALANKAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG
SEHARUSNYA (SEPATUTNYA) DILAKUKAN OLEHNYA, SEHINGGA KARENANYA
KESALAHAN
SYARAT ADANYA KESALAHAN (MENURUT PROF. MOELJATNO)
PERTAMA: ADANYA KEADAAN PSIKIS (BATIN) YANG TERTENTU;
KEDUA: ADANYA HUBUNGAN YANG TERTENTU ANTARA KEADAAN BATIN
KEMAMPUAN BERTANGGUNG
JAWAB
KEMAMPUAN UNTUK MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN YANG BAIK DAN YANG BURUK; YANG SESUAI HUKUM DAN YANG MELAWAN HUKUM ----
FAKTOR AKAL
KEMAMPUAN UNTUK MENENTUKAN KEHENDAKNYA MENURUT KEINSAFAN TENTANG BAIK BURUKNYA PERBUATAN TADI ---- FAKTOR PERASAAN ATAU
KESENGAJAAN
SESEORANG YANG MELAKUKAN
PERBUATAN DENGAN MENGETAHUI DAN MENGHENDAKI
- TEORI KEHENDAK: KESENGAJAAN
ADALAH KEHENDAK YANG DIARAHKAN PADA TERWUJUDNYA PERBUATAN
SEPERTI DIRUMUSKAN DALAM WET
- TEORI PENGETAHUAN: TERDAKWA
CORAK KESENGAJAAN
KESENGAJAAN SEBAGAI KEPASTIAN KESENGAJAAN SEBAGAI
KEMUNGKINAN (DOLUS EVENTUALIS): (1) TERDAKWA MENGETAHUI
KEMUNGKINAN ADANYA AKIBAT
KEADAAN YG MERUPAKAN DELIK; (2) SIKAPNYA TERHADAP KEMUNGKINAN ITU ANDAIKAN SUNGGUH TIMBUL,
GEEN STRAF ZONDER SCHULD
(TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN)
PASAL 6 AYAT (2) UU NO 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN:
TIDAK SEORANG PUN DAPAT DIJATUHI PIDANA, KECUALI APABILA PENGADILAN, KARENA ALAT PEMBUKTIAN YANG SAH MENURUT UNDANG-UNDANG, MENDAPAT KEYAKINAN BAHWA
SESEORANG YANG DIANGGAP DAPAT
BERTANGGUNG JAWAB, TELAH BERSALAH ATAS PERBUATAN YANG DIDAKWAKAN ATAS DIRINYA.
Alasan Penghapus
Pidana
Tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Pasal 44)
Daya paksa (overmacht)
dalam Pasal 48 (setiap
kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat
ditahan)
Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat
(noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2)
Melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1))
49
Alasan Pemaaf (sisi sobyektif) pelakunya
Alasan Pembenar
(sisi obyektif) perbuatannya
Menjalankan peraturan Menjalankan peraturan
undang-undang (Pasal
undang-undang (Pasal
50)
50)
Pembelaan terpaksa dari Pembelaan terpaksa dari
serangan atau ancaman
serangan atau ancaman
yang melawan hukum,
yang melawan hukum,
yang dilakukan untuk diri
yang dilakukan untuk diri
sendiri atau orang lain,
sendiri atau orang lain,
kehormatan kesusilaan
kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri
atau harta benda sendiri
maupun orang lain
maupun orang lain
(noodweer)
(noodweer) dalam Pasal dalam Pasal 49 ayat (1)
•
Alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgronden)
:
menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga
menjadi perbuatan yg benar
•
Alasan pemaaf
(schulduitsluitingsgronden)
:
menghapus sifat kesalahan
terdakwa meski perbuatannya
•
Alasan penghapus Penuntutan
(onvervolgbaarheid):
pernyataan
tidak menuntut karena tidak dapat
diterima oleh badan penuntut umum,
karena konflik kepentingan dengan
lebih mengutamakan
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan
Aturan umum delik aduan Pasal 72-75
Aturan khusus delik aduan
• Pasal 284 (perzinahan)
• Pasal 332 (melarikan wanita)
2. Dituntut untuk kedua kalinya Ne bis in idem
Pasal 76:
a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap b. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu
3. Matinya terdakwa (Pasal 77)
4. Daluwarsa (Pasal 78)
a. pelanggaran dan kejahatan percetakan 1 tahun
b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun 6 tahun
c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun 12 tahun
d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup 18 tahun
5. Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).
6. Abolisi atau amnesti
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
1. Matinya terpidana (Pasal 83)
2. Daluwarsa (Pasal 84-85) a. pelanggaran 2 tahun
b. kejahatan percetakan 5 tahun
c. kejahatan lainnya = daluwarsa penuntutan ditambah 1/3 d. pidana mati tidak ada daluwarsa
3. Grasi
RUU KUHP 1. terpidana meninggal dunia.2. Presiden memberikan amnesti atau grasi yang
berupa pembebasan terpidana dari kewajiban menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.
Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
Pembaharuan Struktur Hukum Pidana
Pembaharuan Kultur Hukum Pidana
Pembaharuan Materi Hukum Pidana
Pembaharuan Hukum Pidana Formil
Pembaharuan Hukum Pidana Materiel
Pembaharuan Hukum Pelaksanaan Pidana
Secara Parsial Secara Global/Universal
Di Dalam KUHP Di Luar KUHP RUU KUHP
UU 1/1946, UU 20/1946, UU 8/1951,
UU 73/1958, UU 1/1960, UU 16/Prp/1960,
UU 18/Prp/1960, UU 1/1965, UU 7/1974, UU 4/1976, UU 27/1999
UU 7/1951, UU 20/2001, UU 22/1997,
UU 5/1997, UU 23/1997, UU 25/2003,
UU 15/2003
JIWA
SESEORANG
DELIK-DELIK KHUSUS (BIJONDERE DELICTEN) ANCAMAN HUKUMAN PIDANA ITU DITUNJUKAN
TERHADAP:
Pidana Mati
• Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11)
• Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer)
Pidana Penjara seumur hidup
sementara/waktu tertentu • 1 hari - 15 tahun
• 20 th jika ada alternatif mati/seumur hidup/waktu tertentu tu ada
pembarengan/pengulangan
Pidana Percobaan • dipidana penjara/kurungan maksimal 1 tahun, bukan kurungan pengganti
• tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum masa percobaan habis
• mengganti segala kerugian
Pelepasan Bersyarat • telah menjalani 2/3 lama pidana, minimal 9 bulan
• syarat umum: tidak mengulangi tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik • jika terpidana melanggar syarat, pelepasan
bersyarat dapat dicabut
Pidana Kurungan • minimal 1 hari, maksimal 1 tahun
• jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan
Pidana Penjara Pidana Kurungan
• maksimal 15/20 tahun • maksimal 1 tahun • Diberlakukan bagi pelaku tindak
pidana berat/kejahatan
• Diberlakukan bagi pelaku tindak pidana ringan/pelanggaran
• Tidak dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda
• Dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda
• Tidak memiliki hak pistole • Memiliki hak pistole (memperbaiki nasib selama di dalam kurungan)
Pidana Denda • minimal Rp. 3,75 • jika tidak dibayar dapat diganti kurungan
pengganti
• kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan • persamaan denda dan kurungan, Rp 7,50/kurang
= 1 hari, jika lebih dari Rp 7,50 maka dilipatkan. Sisanya dihitung 1 hari
Penjatuhan Pidana
(Sentencing)
•
Upaya yang sah
•
Yang dilandasi oleh hukum
•
Untuk mengenakan
nestapa/penderitaan
•
Pada seseorang yang melalui
proses peradilan pidana
•
Terbukti secara sah dan
meyakinkan
•
Bersalah melakukan suatu tindak
Pidana (Punishment)
•
Nestapa/derita
•
Yang dengan sengaja
•
Dikenakan pada seseoarng
•
Oleh negara
Proses Peradilan Pidana
(the Criminal Justice Process)
•
Struktur, fungsi dan proses
pengambilan keputusan
•
Oleh sejumlah lembaga (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan
•
Yang berkenaan dengan penanganan
dan pengendalian
Tindak
Tertangkap Tangan
Jaksa
Tanggapan (Replik) Tanggapan
(Duplik)
• Barang Bukti
Pemeriksaan Bukti
• Saksi A Decharge • Ahli
• Surat
• Barang Bukti Pemeriksaan
(Musyawarah hakim, penilaian fakta, penerapan hukum, dan penerapan sanksi)
Putusan
Sidang Ditutup
Pernyataan Sikap: - Menerima - Pikir-pikir - Upaya Hukum
Mengapa pidana perlu
dijatuhkan?
•
KELOMPOK KONSEKUENSIALIS
Pidana dijatuhkan bila benar-benar
ada konsekuensi positif yang
mengikutinya:
Membawa kebaikan
Mencegah kejadian yang lebih buruk
Tidak ada alternatif lain yang setara
KELOMPOK NON-KONSEKUENSIALIS
Pidana merupakan respons yang
patut (appropriate response)
terhadap tindak pidana
Karena pelaku sudah melanggar
norma yang berlaku
Karenanya pidana harus
DOKTRIN PEMIDANAAN
•
TEORI RETRIBUTIVE
Penjahat layak dihukum
Sesuai dengan cerminan perasaan
kolektif masyarakat
Menyatukan masyarakat melawan
penjahat
•
TEORI DITERRENCE
Konsep aliran klasik
Reaksi terhadap pemidanaan yang
semena-mena
Utilitarian, forward looking
Manusia itu rasional
TEORI REHABILITASI
Individualisasi pemidanaan
Tekanan pada
treatment/pembinaan/memperbaiki
pelaku
TEORI INTEGRATIF
Multi fungsi pemidanaan:
Membuat pelaku menderita
Perkembangan Teori
Pemidanaan
1. Retributif
Pidana adalah akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu pembalasan
pada pelaku tindak pidana
Sanksi pidana adalah pemberian
derita dan petugas dinyatakan gagal
bila penderitaan tidak dirasakan oleh
terpidana
dapat dibedakan menjadi:
retributif yang negatif
…..lanjutan
2. Deterrence
Pidana dijatuhkan dengan tujuan untuk
pencegahan
dapat dibedakan menjadi:
general deterrence
special deterrence
3. Rehabilitasi
4. Incapacitation
membatasi orang dari masyarakat
selama waktu tertentu dengan tujuan
perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya
Ditujukan untuk pelaku TP yang sangat
berbahaya bagi masyarakat
Andrew Ashworth, pendekatan
incapacitation :
hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang
membahayakan masyarakat
bentuk sanksinya adalah mengisolasi
atau memisahkan pelaku dari
…..lanjutan
5. Resosialisasi
Melihat bahwa pemidanaan dengan
cara desosialisasi (memisahkan pelaku
dari kehidupan sosial masyarakat dan
membatasinya untuk dapat
berkomunikasi dengan masyarakat)
dapat menghancurkan pelaku
Resosialisasi adalah proses yang
mengakomodasi dan memenuhi
6. Reparasi, Restitusi dan Kompensasi
Fokus perhatian bukan hanya pada pelaku
atau masyarakat; tetapi mulai perhatikan korban sebagai bagian yang penting untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana
reparasi:
- the act of making amends for a wrong
- compensation for benefits derived from a wrong done to another
- compensation or reparation for the loss caused to another
restitusi: return or restoration of some
specific thing to its rightful owner or status
kompensasi: payment of damages, or
another act that a court orders to be done by a person who has caused injury to
• Hybrid Theory (Teori Integratif)
Berangkat dari kenyataan bahwa
masing-masing teori sangat sulit untuk
dipilah-pilah secara tersendiri dalam prakteknya. Dengan penerapan satu pidana terdapat lebih dari satu teori yang tercakup di
dalammya
Packer: pidana merupakan suatu
kebutuhan yang juga merupakan bentuk kontrol sosial yang disesalkan, karena ia mengenakan derita atas nama
tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan kemungkinan
Oleh karena itu, dalam praktek bisa jadi
perumusan tujuan pemidanaan