RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA
• Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana;
• Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
• Menentukan dengan cara bagaimana sanksi pidana itu dapat dikenakan.
• SKEMA HUKUM PIDANA HUKUM PIDANA HP FORMAL HP MATERIAL - Perbuatan yang dilarang - Sanksi pidana HP UMUM HP KHUSUS
SISTEMATIKA KUHP
KUHP TERDIRI DARI TIGA BUKU, YAITU:
BUKU I : MENGATUR TENTANG KETENTUAN UMUM TERDIRI DARI 9 BAB, TIAP BAB TERDIRI DARI
BERBAGAI PASAL YANG JUMLAHNYA 103 PASAL (PASAL 1 S.D. 103)
BUKU II: MENGATUR TENTANG KEJAHATAN TERDIRI DARI 31 BAB DAN 385 PASAL (PASAL 104 S.D. 448)
BUKU III: MENGATUR TENTANG PELANGGARAN TERDIRI DARI 10 BAB YANG MEMUAT 82 PASAL (PASAL 449 S.D. 569).
Sistematika KUHP 4 Buku I Aturan Umum Pasal 1-103, Bab I - IX Buku II Kejahatan Pasal 104 - 488 Bab X - XXXXI Buku III Pelanggaran Pasal 489 - 569 Bab XXXXI - XXXXXX Hukum Pidana Khusus (Aturan Pidana dalam UU di luar KUHP) UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme, UU HAM, UU KDRT, dll
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA
DI INDONESIA
• KUHP (beserta UU yang
merubah & menambahnya)
• UU Pidana di luar KUHP • Ketentuan Pidana dalam
Peraturan perundang-undangan non-pidana
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
HUKUM PIDANA HK. PIDANA UMUM HK. PIDANA SUBYEKTIF (IUS PUNIENDI) H.P. MILITER H.P. PAJAK HK. PIDANA MATRIIL HK. PIDANA OBYEKTIF (IUS PUNALE) HK. PIDANA FORMIL HK. PIDANA KHUSUS Fungsi Hukum Pidana
1. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
2. Secara khusus sebagai bagian dari hukum publik, a. Melindungi kepentingan hukum,
b. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka
negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
c. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Hukum Pidana Materiel di Indonesia
8
• Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) • Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI)
dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
• Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di
Indonesia sejak 1 Januari 1918.
• Sumber lain: UU khusus di luar KUHP: Korupsi,, Narkotika,
9
HUKUM PIDANA MATERIIL
Tindak Pidana SANKSI PIDANA PERBUATAN PIDANA PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP
10
Wetboek van Strafrecht (WvS)
dapat dibaca “KUHP”
Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33,
15 Oktober 1915
berlaku : 1 Januari 1918
Wetboek van Strafrecht Nederlansch Indie (WvSNI)
UU No. 1/ 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia
Wetboek van Strafrecht Nederlansch dibuat : 1881 berlaku : 1886
Asas Konkordansi
Code Penal (Perancis, Napoleon
Bonaparte) berlaku 1811-1886
Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland
dibuat : 1795
berlaku : 1809-1811
UU No. 73/1958 yang memberlakukan UU No. 1/ 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
11
Tahun Peristiwa Selisih Waktu
1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen
berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun
1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander
diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun
1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di
Belanda 29 tahun
1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun
1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun
1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disebut sebagai KUHP Indonesia
Total : 136 tahun
SEJARAH HUKUM PIDANA
• Zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme hukum, yaitu: - Untuk orang Belanda/Eropah, berlaku mulai 1 January 1867
- Untuk orang Indonesia/Timur asing, berlaku mulai 1 January 1873. • Tahun 1886 di negeri Belanda diberlakukan KUHP baru yang sebagian
besar mencontoh KUHP Jerman.
• Tanggal 1 Januari 1918, dengan asas konkordansi, KUHP Belanda itu
diberlakukan untuk semua penduduk Indonesia, dengan namaWetboek van Straftrech voor Netherlandsch Indie untuk Indonesia
SEJARAH HUKUM PIDANA
Saat penjajahan Jepang, pemerintah Jepang tetap memberlakukan Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie untuk Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie tsb dinyatakan pula tetap
berlaku.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 diadakan penegasan tentang hukum
pidana itu berlaku di Indonesia. Namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrech (WvS) atau biasa disebut KUHP. Beberapa pasal dihapuskan dan diciptakan beberapa delik baru yang dimuat dalam Pasal IX s/d Pasal XVI.
SEJARAH HUKUM PIDANA
Akan tetapi sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1946 tidak semua daerah
dikuasai secara de facto oleh pemerintah RI, sehingga UU No.1 Tahun 1946 itu tidak berlaku untuk daerah yg masih dikuasai/diduduki oleh Belanda yg tetap mempertahankan Wetboek van Strafrech voor
Netherlandsch Indie.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 tetan peraturan hukum pidana berlaku
ASAS LEGALITAS
Asas legalitas diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas legalitas menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan
Bahasa latin: Nullum delictum nulla poena praevia lege (tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).
Pasal 1 (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konsekuensi:
a. Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat dipidana. b. Larangan analogi
2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif)
Konsekuensi :
Asas legalitas formil
TIGA PENGERTIAN YANG TERKANDUNG DALAM ASAS LEGALITAS
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan UU
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
Anselm von Feuerbach
Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali”
SEJARAH ASAS LEGALITAS
Zaman Romawi sampai zaman Louis XVI di Perancis, kesalahan seseorang ditentukan oleh raja
reaksi •Montesqueau : L’esprit des Lois (1748)
• J.J. Rousseau : Du Contract Social (1762)
Revolusi Perancis (1789)
Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789)
hasil
Napoleon Bonaparte (Code Penal, 1810)
Anselm von Feuerbach
Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali”
THE HISTORY OF LEGALITY PRINCIPLE
The existence of legality principle is due to the Rome period, there has
been a crime which they called criminal extra ordinaria, yaitu kejahatan yang tidak disebut dalam UU. Dengan adanya kejahatan extra ordinaria, maka dimungkinkan untuk menggunakan hukum pidana secara
ASAS LEGALITAS DALAM KONSEP KUHP BARU
Pasal 5
(1) Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yg hidup yg menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tsb tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
PERBUATAN YANG DIANGGAP ‘JAHAT’ MENURUT HUKUM ADAT/AGAMA
Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Asas legalitas materiel
RUU KUHP :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.)tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”
PERBUATAN PIDANA
FIGURE 1–1 Crime,Deviance, and Norm Violation. Although there are many
ASAS LEX TEMPORIS DELIKTI
tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu
Jika terjadi perubahan perundang-undangan
pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka dipakai ketentuan yang paling meringankan terdakwa.
• RUU KUHP :
• 1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.
• 2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap perbuatan yang dilakukan tidak lagi merupakan
tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga
pemasyarakatan.
• 3. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperolej kekuatan
hukum tetap, perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan
dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru
ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LOCUS DELIKTI)
Asas Teritorial Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP)
Pasal 3 Perluasan
Tindak Pidana
Istilah
• Strafbaar feit • Perbuatan pidana • Peristiwa pidana • Tindak pidana • Delict / Delik • Criminal act • JinayahTindak Pidana:
Definisi
• Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”
• Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam
UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg kesalahan”
• Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana”
OBJEKTIF SUATU TINDAKAN (PERBUATAN) YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUM DAN MENGINDAHKAN AKIBAT YANG OLEH HUKUM DILARANG DENGAN ANCAMAN HUKUM. ADAPUN
YANG DIJADIKAN TITIK UTAMA DARI PENGERTIAN
OBJEKTIF ADALAH TINDAKANNYA.
sUBJEKTIF
PERBUATAN SESEORANG YANG BERAKIBAT TIDAK
DIKEHENDAKI OLEH UNDANG-UNDANG. SIFAT UNSUR INI MENGUTAMAKAN
ADANYA PELAKU (SEORANG/BEBERAPA
ORANG)
UNSUR-UNSUR PERBUATAN PIDANA
KONSEP PERBUATAN PIDANA
PERBUATAN JAHAT (KEJAHATAN)- Dalam arti kriminologis, sebagai gejala masyarakat yang menyalahi norma dasar.
- Dalam arti yuridis, melanggar ketentuan UU Istilah lain yang menunjuk pada kejahatan:
- Perbuatan pidana
- Peristiwa pidana
- Tindak pidana
- Delik
PERBUATAN PIDANA
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tsb.
- Larangan ditujukan pada perbuatan
- Ancaman ditujukan pada orang yg melakukan
Pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan
konkrit:
1. Adanya kejadian tertentu
2. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
PERBUATAN PIDANA
AJARAN MONISME
Menggabungkan antara perbuatan dengan
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) orang yang melakukan
AJARAN DUALISME
Memisahkan antara perbuatan dengan
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) orang yang melakukan.
PERBUATAN PIDANA
Menurut Prof. Moeljatno yang menganut
ajaran dualisme, untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain melakukan perbuatan pidana orang itu juga harus mempunyai kesalahan.
Actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Geen straft zonder schuld
An act does not make a person guilty, unless
UNSUR-UNSUR PERBUATAN PIDANA
Kelakuan dan akibat (=perbuatan)
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Unsur melawan hukum yang objektif
MACAM-MACAM PERBUATAN PIDANA
PERBUATAN PIDANA (DELIK) FORMAL (Pencurian menurut
Pasal 362 KUHP)
DELIK MATERIAL ( suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu
akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh: pembunuhan)
DELIK DOLUS (perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja. Contoh: pembunuhan berencana)
DELIK CULPA (perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang).
DELIK ADUAN (sebelum ada pengaduan belum mrpkan delik.
Contoh: penghinaan).
DELIK POLITIK (perbuatan pidana yg ditujuukan kepada
TEKNIK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
(1) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dilarang
(2) Memberikan kualifikasi perbuatannya saja (3) Merumuskan unsur-unsur perbuatan yang
dilarang dan memberikan kualifikasi perbuatannya
HUBUNGAN KAUSAL
PENTINGNYA MEMPELAJARI TEORI
HUBUNGAN KAUSAL DALAM HUKUM PIDANA:
1. UNTUK MENETAPKAN APA YANG
MENJADI SEBAB DARI SUATU AKIBAT
2. UNTUK MENETAPKAN SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB ATAS AKIBAT TERSEBUT
HUBUNGAN KAUSAL
1. TEORI QUNDITIO SINE QUA NON
Musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat
Disebut juga teori equivalen
Tiap syarat adalah sama nilainya karena tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab
Contoh: ada pelita yang menyala. Siapa yang menjadi penyebab menyalanya pelita tersebut?
HUBUNGAN KAUSAL
2. TEORI YANG MENGENERALISASI
- Musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat atau kejadian tersebut
Yang dimaksud normal menurutVos adalah sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau
seharusnya mengetahui keadaan-keadaan di sekitar akibat.
HUBUNGAN KAUSAL
Menurut Simons, musabab adalah tiap-tiap kelakuan
yang menurut garis-garis umum mengenai
pengalaman manusia patut diadakan kemungkinan bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat
ditimbulkan akibat
Menurut Pompe, musabab adalah hal yang
mencenderung atau yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan akibat di dalam keadaan itu
HUBUNGAN KAUSAL
3. TEORI YANG MENGINDIVIDUALISASI
Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya akibat.
Contoh:
- A menganiaya B; sewaktu hendak pergi ke dokter, B mengalami kecelakaan sehingga menemui
HUBUNGAN KAUSAL
- Seorang bapak meninggalkan senapan dalam mobil dengan anaknya. Anaknya main senapan dan terkena orang yang lewat hingga orang itu mati
- A dan B menjaga S yang gila. A pergi dan B tertidur. S keluar rumah dan membakar rumah tetangga
- Seorang bapak membolehkan anaknya belajar naik sepeda motor di jalan raya. Si anak menabrak
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
ASAS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
- TIDAK DIPIDANA JIKA TIDAK ADA KESALAHAN
- GEEN STRAFT ZONDER SCHULD
- ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA
- ORANG TIDAK MUNGKIN DIPERTANGGUNG-JAWABKAN
(DIJATUHI PIDANA) KALAU DIA TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA. TETAPI MESKIPUN MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA, TIDAK SELALU DIA DAPAT
KESALAHAN
KESENGAJAAN (DOLUS, OPZET)
KENAPA MELAKUKAN PERBUATAN PADAHAL DIA MENGERTI (MENGETAHUI) SIFAT JELEKNYA
PERBUATAN TERSEBUT
KEALPAAN (CULPA, SCHULD)
KENAPA TIDAK MENJALANKAN
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG SEHARUSNYA (SEPATUTNYA) DILAKUKAN OLEHNYA, SEHINGGA KARENANYA MASYARAKAT DIRUGIKAN.
KESALAHAN
SYARAT ADANYA KESALAHAN (MENURUT PROF. MOELJATNO)
PERTAMA: ADANYA KEADAAN PSIKIS (BATIN)
YANG TERTENTU;
KEDUA: ADANYA HUBUNGAN YANG
TERTENTU ANTARA KEADAAN BATIN TERSEBUT DENGAN PERBUATAN YANG DILAKUKAN, HINGGA MENIMBULKAN CELAAN TADI.
KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
KEMAMPUAN UNTUK MEMBEDAKAN ANTARA
PERBUATAN YANG BAIK DAN YANG BURUK; YANG SESUAI HUKUM DAN YANG MELAWAN HUKUM ---- FAKTOR AKAL
KEMAMPUAN UNTUK MENENTUKAN
KEHENDAKNYA MENURUT KEINSAFAN
TENTANG BAIK BURUKNYA PERBUATAN TADI ---- FAKTOR PERASAAN ATAU KEHENDAK
KESENGAJAAN
SESEORANG YANG MELAKUKAN PERBUATAN DENGAN MENGETAHUI DAN MENGHENDAKI
- TEORI KEHENDAK: KESENGAJAAN ADALAH
KEHENDAK YANG DIARAHKAN PADA TERWUJUDNYA PERBUATAN SEPERTI DIRUMUSKAN DALAM WET
- TEORI PENGETAHUAN: TERDAKWA
MENGETAHUI, MENGINSAFI, DAN MENGERTI PERBUATANNYA.
CORAK KESENGAJAAN
KESENGAJAAN SEBAGAI KEPASTIAN
KESENGAJAAN SEBAGAI KEMUNGKINAN
(DOLUS EVENTUALIS):
(1) TERDAKWA MENGETAHUI KEMUNGKINAN ADANYA AKIBAT KEADAAN YG MERUPAKAN DELIK; (2) SIKAPNYA TERHADAP
KEMUNGKINAN ITU ANDAIKAN SUNGGUH TIMBUL, IALAH APA BOLEH BUAT.
GEEN STRAF ZONDER SCHULD
(TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN)
PASAL 6 AYAT (2) UU NO 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN:
TIDAK SEORANG PUN DAPAT DIJATUHI PIDANA, KECUALI
APABILA PENGADILAN, KARENA ALAT PEMBUKTIANYANG SAH MENURUT
UNDANG-UNDANG, MENDAPAT KEYAKINAN BAHWA
SESEORANGYANG DIANGGAP DAPAT BERTANGGUNG JAWAB, TELAH BERSALAH ATAS PERBUATAN YANG DIDAKWAKAN ATAS DIRINYA.
Alasan Penghapus Pidana
Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal
44)
Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48
(setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat
(noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2)
Melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1))
49
Alasan Pemaaf (sisi sobyektif) pelakunya
Alasan Pembenar
(sisi obyektif) perbuatannya
Menjalankan peraturan
undang-undang (Pasal 50)
Pembelaan terpaksa dari serangan
atau ancaman yang melawan
hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1)
• Alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgronden)
:
menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga menjadi perbuatan
yg benar
• Alasan pemaaf
(schulduitsluitingsgronden)
: menghapus
sifat kesalahan terdakwa meski
perbuatannya bersifat melawan hukum
tapi tidak pidana
• Alasan penghapus Penuntutan
(onvervolgbaarheid):
pernyataan tidak
menuntut karena tidak dapat diterima oleh
badan penuntut umum, karena konflik
kepentingan dengan lebih mengutamakan
kemanfaatannya untuk tidak menuntut
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan
Aturan umum delik aduan Pasal 72-75 Aturan khusus delik aduan
• Pasal 284 (perzinahan)
• Pasal 332 (melarikan wanita)
2. Dituntut untuk kedua kalinya Ne bis in idem
Pasal 76:
a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap b. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu
3. Matinya terdakwa (Pasal 77)
4. Daluwarsa (Pasal 78)
a. pelanggaran dan kejahatan percetakan 1 tahun
b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun 6 tahun
c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun 12 tahun d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur
hidup 18 tahun
5. Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).
6. Abolisi atau amnesti
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
1. Matinya terpidana (Pasal 83) 2. Daluwarsa (Pasal 84-85)
a. pelanggaran 2 tahun
b. kejahatan percetakan 5 tahun
c. kejahatan lainnya = daluwarsa penuntutan ditambah 1/3 d. pidana mati tidak ada daluwarsa
3. Grasi
RUU KUHP
1. terpidana meninggal dunia.
2. Presiden memberikan amnesti atau grasi yang berupa pembebasan terpidana dari kewajiban menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.
Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Pembaharuan Struktur Hukum Pidana Pembaharuan Kultur Hukum Pidana Pembaharuan Materi Hukum Pidana Pembaharuan Hukum Pidana Formil Pembaharuan Hukum Pidana Materiel Pembaharuan Hukum Pelaksanaan Pidana
Secara Parsial Secara Global/Universal
Di Dalam KUHP Di Luar KUHP RUU KUHP
UU 1/1946, UU 20/1946, UU 8/1951, UU 73/1958, UU 1/1960, UU 16/Prp/1960, UU 18/Prp/1960, UU 1/1965, UU 7/1974, UU 4/1976, UU 27/1999 UU 7/1951, UU 20/2001, UU 22/1997, UU 5/1997, UU 23/1997, UU 25/2003, UU 15/2003 55
JIWA SESEORANG
DELIK-DELIK KHUSUS (BIJONDERE DELICTEN)
ANCAMAN HUKUMAN PIDANA ITU DITUNJUKAN TERHADAP:
TUBUH KEMERDEKAAN PRIBADI KEHORMATAN BENDA TINGKAH LAKU TERHADAP SUSUNAN KETURUNAN DAN PERKAWINAN TINGKAH LAKU TERHADAP KESUSILAAN
MACAM-MACAM PIDANA PASAL 10 KUHP P. Mati P. Penjara P. Kurungan P. Denda PIDANA TAMBAHAN: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan/ penyitaan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim PIDANA POKOK
Pidana Mati
• Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11)
• Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer)
Pidana Penjara seumur hidup
sementara/waktu tertentu • 1 hari - 15 tahun
• 20 th jika ada alternatif mati/seumur hidup/waktu tertentu tu ada
pembarengan/pengulangan
Pidana Percobaan • dipidana penjara/kurungan maksimal 1 tahun, bukan kurungan pengganti
• tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum masa percobaan habis
• mengganti segala kerugian
Pelepasan Bersyarat • telah menjalani 2/3 lama pidana, minimal 9 bulan
• syarat umum: tidak mengulangi tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik • jika terpidana melanggar syarat, pelepasan
bersyarat dapat dicabut
Pidana Kurungan • minimal 1 hari, maksimal 1 tahun
• jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan
Pidana Penjara Pidana Kurungan
• maksimal 15/20 tahun • maksimal 1 tahun • Diberlakukan bagi pelaku tindak
pidana berat/kejahatan
• Diberlakukan bagi pelaku tindak pidana ringan/pelanggaran
• Tidak dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda
• Dapat diberlakukan sebagai pengganti pidana denda
• Tidak memiliki hak pistole • Memiliki hak pistole (memperbaiki nasib selama di dalam kurungan)
Pidana Denda • minimal Rp. 3,75 • jika tidak dibayar dapat diganti kurungan
pengganti
• kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan • persamaan denda dan kurungan, Rp 7,50/kurang
= 1 hari, jika lebih dari Rp 7,50 maka dilipatkan. Sisanya dihitung 1 hari
Penjatuhan Pidana (Sentencing)
• Upaya yang sah
• Yang dilandasi oleh hukum
• Untuk mengenakan nestapa/penderitaan
• Pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana
• Terbukti secara sah dan meyakinkan
Pidana (Punishment)
• Nestapa/derita
• Yang dengan sengaja
• Dikenakan pada seseoarng
• Oleh negara
Proses Peradilan Pidana
(the Criminal Justice Process)
• Struktur, fungsi dan proses pengambilan
keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
• Yang berkenaan dengan penanganan dan
pengendalian
Tindak Pidana (delict) Pengaduan (klacht) Laporan (aangifte) Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Praperadilan Peradilan (Sidang Pengadilan) Eksekusi V oor onde rz oek Ei nd onde rz oek Prapenuntutan Tertangkap Tangan (ambtshalve) Ps. 1 Butir 25 KUHAP Ps. 1 Butir 24 KUHAP Ps. 1 Butir 4 – 5 jo Ps. 4 – 5 jo Ps. 102 – 105 KUHAP Ps. 1 Butir 1 – 3 jo Ps. 6 – 12 jo Ps. 106 – 136 KUHAP Ps. 1 Butir 6 – 7 jo Ps. 13 – 15 jo Ps. 137 – 144 KUHAP Ps. 1 Butir 8 – 9 jo Ps. 145 – 232 KUHAP Ps. 1 Butir 10 jo Ps. 77 – 83 KUHAP Ps. 14 b jo Ps. 110 Ay (3) – (4) jo. Ps. 138 KUHAP
Jaksa Penuntut Umum Hakim/ Majelis Hakim Terdakwa / Penasihat Hukum Si da ng P erta m a Si da ng P em buk ti a n Si da ng T untuta n & P em bel a a n Si da ng P utus a n T a ha p I T a ha p II T a ha p II I T a ha p IV Sidang Dibuka Dakwaan Eksepsi
Tanggapan (Replik) Tanggapan (Duplik)
Putusan Sela Pemeriksaan Bukti • Saksi A Charge • Ahli • Surat • Barang Bukti Pemeriksaan Bukti • Saksi A Decharge • Ahli • Surat • Barang Bukti Pemeriksaan Terdakwa Requisitor (Tuntutan Pidana) Pleidooi (Pembelaan) Replik Duplik
(Musyawarah hakim, penilaian fakta, penerapan hukum, dan penerapan sanksi)
Putusan Sidang Ditutup Pernyataan Sikap: - Menerima - Pikir-pikir - Upaya Hukum Pernyataan Sikap: - Menerima - Pikir-pikir - Upaya Hukum
Mengapa pidana perlu dijatuhkan?
• KELOMPOK KONSEKUENSIALIS
Pidana dijatuhkan bila benar-benar ada
konsekuensi positif yang mengikutinya:
Membawa kebaikan
Mencegah kejadian yang lebih buruk
KELOMPOK NON-KONSEKUENSIALIS
Pidana merupakan respons yang patut
(appropriate response) terhadap tindak
pidana
Karena pelaku sudah melanggar norma yang
berlaku
DOKTRIN PEMIDANAAN
• TEORI RETRIBUTIVE
Penjahat layak dihukum
Sesuai dengan cerminan perasaan kolektif
masyarakat
Menyatukan masyarakat melawan penjahat
Harus dilihat dalam konteks sosial budaya
• TEORI DITERRENCE
Konsep aliran klasik
Reaksi terhadap pemidanaan yang
semena-mena
Utilitarian, forward looking
Manusia itu rasional
TEORI REHABILITASI
Individualisasi pemidanaan
Tekanan pada
treatment/pembinaan/memperbaiki pelaku
Anti-punishment
Model medis
TEORI INTEGRATIF
Multi fungsi pemidanaan:
Membuat pelaku menderita
Mencegah terjadinya tindak pidana
Memperbaiki pelaku
Perkembangan Teori Pemidanaan
1. Retributif
Pidana adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai
suatu pembalasan pada pelaku tindak pidana
Sanksi pidana adalah pemberian derita dan petugas
dinyatakan gagal bila penderitaan tidak dirasakan
oleh terpidana
dapat dibedakan menjadi:
retributif yang negatif
…..lanjutan
2. Deterrence
Pidana dijatuhkan dengan tujuan untuk
pencegahan
dapat dibedakan menjadi:
general deterrence
special deterrence
3. Rehabilitasi
Pidana dijatuhkan untuk mereformasi atau
memperbaiki pelaku
sering dimasukkan ke dalam sub kelompok
deterrence, padahal dalam kajian kriminologi
latar belakang ke dua teori pemidanaan ini
berbeda; sehingga dalam pandangan deterrence
pelaku adalah orang bersalah yang harus
dijerakan supaya tidak mengulangi tindak pidana,
sedangkan
rehabilitasi
memandang
seorang
pelaku tindak pidana sebagai orang yang perlu
ditolong
4. Incapacitation
membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya
Ditujukan untuk pelaku TP yang sangat berbahaya bagi masyarakat
Andrew Ashworth, pendekatan incapacitation :
hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang membahayakan masyarakat
bentuk sanksinya adalah mengisolasi atau memisahkan pelaku dari masyarakat untuk jangka waktu tertentu (biasanya untuk waktu yang lama)
…..lanjutan
5. Resosialisasi
Melihat bahwa pemidanaan dengan cara desosialisasi
(memisahkan pelaku dari kehidupan sosial masyarakat
dan membatasinya untuk dapat berkomunikasi dengan
masyarakat) dapat menghancurkan pelaku
Resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi dan
memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan
kebutuhan sosialnya, yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat
6. Reparasi, Restitusi dan Kompensasi
Fokus perhatian bukan hanya pada pelaku atau masyarakat;
tetapi mulai perhatikan korban sebagai bagian yang penting untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana
reparasi:
- the act of making amends for a wrong
- compensation for benefits derived from a wrong done to another
- compensation or reparation for the loss caused to another
restitusi: return or restoration of some specific thing to its
rightful owner or status
kompensasi: payment of damages, or another act that a court
orders to be done by a person who has caused injury to another process
• Hybrid Theory (Teori Integratif)
Berangkat dari kenyataan bahwa masing-masing teori sangat sulit untuk dipilah-pilah secara tersendiri dalam
prakteknya. Dengan penerapan satu pidana terdapat lebih dari satu teori yang tercakup di dalammya
Packer: pidana merupakan suatu kebutuhan yang juga
merupakan bentuk kontrol sosial yang disesalkan, karena ia mengenakan derita atas nama tujuan-tujuan yang
pencapaiannya merupakan kemungkinan
Oleh karena itu, dalam praktek bisa jadi perumusan tujuan pemidanaan merupakan kombinasi antara satu teori