BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia, yang harus di junjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan, bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang
Dasar 1945, dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1
Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha
melidungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.2
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Republlik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
2
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, 1989, hlm. 52.
Perlindungan
hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha, dan kegiatan yang menjamin
terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas
pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent,
disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam
Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar
kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.
Anak berhak atas pemeliharaan dan pelindungan baik semasa kandungan maupun
sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan–perlindungan lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambatpertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar.3
3
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2014, hlm. 2.
Masa anak-anak merupakan masa yang menentukan bagi perkembangan
manusia, karena dalam tahap ini pembentukan karakter seseorang sangatlah
ditentukan. Kesejahteraan anak adalah salah satu tonggak tatanan kehidupanyang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial. Didalam perkembangan anak maka sangatlah dibutuhkan
berbagai macam sumber dukungan mental, fisik, dan sosial dari orang tua,
anggota masyarakat dan negara.
Anak didalam segala ketidak mandiriannya sangatlah membutuhkan
perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa yang ada di sekitarnya, terlebih
kasih sayang dari orang tuanya. Peran keluarga sangatlah penting di dalam
perkembangan anak, banyak sekali anak yang mengidolakan sosok orang tuanya
dan mencontoh segala sesuatu apa yang menurut sang anak adalah sesuatu yang
patut untuk ditiru, tidak banyak orang tua yang menyadari bahwa merekalah yang
sesungguhnya menjadi kunci utama agar anak bertumbuh dengan kepribadian
yang baik agar ia menjadi tumbuh berkembang menjadi anak yang mampu
Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau di cegah, penegakan
hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakan dan di berlakukan
kepada siapa saja. Perlindungan terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus
di peroleh oleh anak. Karena setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.4
Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak, menyebutkan5
a. Diskriminasi;
:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
Anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari orang tua, wali, atau
pihak yang bertanggung jawab atas pengasuhan kerap kali di jumpai mendapatkan
berbagai bentuk kekerasan, baik berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, ataupun
kekerasan seksual.Tidak dapat di pungkiri, meskipun masyarakat abad 21 ini
sudah memasuki era globalisasi dan wacana penegakan hak-hak asasi manusia
(HAM) sudah sedemikian berkembang, namun menyangkut stimatisasi terhadap
seksualitas perempuan, tampaknya masih kuat berakar dalam budaya masyarakat.
Pandangan yang dikotomis tersebut membuat perepuan tidak mudah untuk
4
Penjelasan pasal 27 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
5
mengakses hak-haknya, baik ketika masyarakat maupun aparat memposisikannya
sebagai korban kejahatan.6
Dalam bentuk kekerasan, baik yang terjadi di rumah tangga maupun dalam
masyarakat, seperti kasus kekerasan fisik atau seksual misalnya perkosaan,
perempuan sebagai korban (victim participating). Bahkan dalam banyak kasus,
perempuan sebagai korban yang justru dipermasalahkan. Muncul kata-kata “wajar
saja di perkosa atau dilecehkan karena pulangnya malam, atau kerja di tempat
hiburan malam”. Bahkan cara berpakaian pun jadi sasaran pembenaran terhadap
yang menimpa korban.7
Kasuskekerasanseksualterhadapanak yang
terjadisaatinibukanlahpersoalanbaru, hanyasajaperhatianmasyarakat, pemerintah,
sertaberbagaikalangankurangpeduliterhadapmasalahini.Bahkanpenanganannyama Kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
seluruh norma yang ada, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sangat
tercela, apalagi kekerasan seksual itu di lakukan oleh seorang ayah terhadap anak
kandungnya sendiri, dengan memberikan ancaman kepada anak supaya anak
tersebut harus menuruti perkataan sang ayah. Anak yang seharusnya dilindungi
agar mereka tidak menjadi korban kekerasan, baik yang terjadi di rumah tangga
maupun dalam masyarakat, malah menjadi korban dari ayah kandungnya sendiri.
Peran seorang ayah yang seharusnya merupakan seorang pengayom dan
pembimbing anaknya, malah menjadi sosok yang di takuti dan di hindari oleh
sang anak.
6
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 67.
sihdiskriminatif, baikdariperhatian pemrintah, lembaga hukum, danpemberitaan
mediamassa. Orang
tuatidaksadarbahwakekerasanseksualterhadapanakadalahsebuahtindakpidanamela
wanhukum.
Herman alias Sangkut bin Madari (Alm)
adalahpelakutindakpidanakekerasanterhadapanak, yang terjadi di
JalanJenderalSudirman, Gang SanggaBuana,KelurahanParit Padang,
KecamatanSungailiat,Kabupaten Bangka. Herman alias Sangkut bin Madari
(Alm), melakukantindakpidanakekerasanseksualterhadapanakanakkandungnya
sendiri. TerdakwamelakukantindakpidanakekerasanseksualtersebutpadahariJumat,
tanggal 03 April 2015, sekitarpukul 22.00
WIB.Terdakwamelakukantindakpidanakekerasanseksualtersebuttidakhanyasekali,
tetapitindak pidana tersebut rupanya sudah dilakukan terdakwa sejak korban
masih berusia 14 tahun.Setiap kali melakukanperbuatankekerasanseksualtersebut,
terdakwakerapkalimengancamkepadakorban agar
tidakmelaporkanperbuatanterdakwaterhadapsiapapun.Akibatdariperbuatanterdakw
atersebut, sang korbanpunmengalamikehamilan.
Berdasarkanuraiandiatas,
makaperludibahastentang“AnalisisYuridisTerhadapAnakSebagaiKorbanTind
akPidanaKekerasanSeksualDalamLingkupRumahTangga
B. PerumusanMasalah
Berdasarkanlatarbelakang yang telahdiuraikantersebut,
penulismemilihbeberapahal yang
menjadipermasalahandalampenulisanskripsiini.Adapunpermasalahan yang
akandibahas, antaralain :
1. Bagaimanapengaturanhukum
pidanaterhadaptindakpidanakekerasanseksualdalamlingkuprumahtangga?
2. Bagaimanaanalisisyuridis
terhadapanaksebagaikorbantindakpidanakekerasanseksualdalamlingkupru
mahtangga (StudiPutusanNomor: 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl)
C. TujuanPenulisan
Berdasarkanperumusanmasalah di atas, makatujuandaripenulisanskripsiini,
antaralain :
1. Untukmengetahuibagaimanapengaturanhukum
pidanaterhadaptindakpidanakekerasanseksualdalamlingkuprumahtangga.
2. Untukmengetahuibagaimanaanalisishukum
pidanaterhadappertanggungjawabanpidanaterhadaptindakpidanakekerasan
seksualdalamlingkuprumahtangga (StudiPutusanNomor:
416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl.)
D. ManfaatPenulisan
1. Secarateoritis,
kiranyakehadiranskripsiinimampumemberikansumbanganpemikirandanpe
ngembanganilmuhukum
kpidanakekerasanseksualterhadapanak.
Kiranyaskripsiinijugamampumemenuhihasratkeingintahuanparapihak
yang inginataupunsedangmendalamipengetahuanmengenaitindakpidana
kekerasan seksual terhadap anak, baikitu mahasiswa, akademisi,
maupunmasyrakatluas.
2. Secara praktis, manfaatdariskripsiinidapatmemberikaninformasihukum
kepadasemuakalangan, terutamapenegakhukum
dalampraktikpengambilankebijakankhususnyadalammenanganitindakpida
nakekerasanseksualterhadapanakoleh orang tua.
E. KeaslianPenulisan
Skripsiiniberjudul
“AnalisisYuridisTerhadapAnakSebagaiKorbanTindakPidanaKekerasanSeksualDa
lamLingkupRumahTangga (StudiPutusanNomor; 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl.)
Berdasarkanpenelusuran yang penulislakukan di
perpustakandanDepartemenHukumPidanaFakultasHukumUniversitas Sumatera
Utara
itudalamrangkamembuktikanbahwajudulskripsitersebutbelumadaataubelumterdap
at di perpustakaFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara,
makatelahterbuktibahwaskripsiinibenar-benarmerupakanhasilpemikirandaripenulissendiridanbukanberasaldarikaryatulis
orang lain.
Penulisskripsiinijugamenelusuriberbagaijudulkaryailmiahmelalui media
yang pernahmengangkat topik tersebut. Sekalipunada,
halituadalahdiluarsepengetahuandantentusajasubstansinyaberbedadengansubstansi
dalamskripsiini.Permasalahan yang
dibahasdalamskripsiiniadalahmurnihasilpemikiranpenulis yang
didasarkanpadapengertian-pengertian, teori-teori, danaturanhukum yang
diperolehmelaluireferensi media cetakmaupun media elektronik.Olehkarenaitu,
dapatdinyatakanbahwaskripsiiniadalahkaryaaslipenulisdandapatdipertanggungjaw
abkansecarailmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang no. 23 tahun 2004
a. Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum pidana, aspek larangan berbuat yang disertai dengan
ancaman pidana disebut tindak pidana atau perbuatan pidana (berasal dari
kata strafbar feit), yang juga sering disebut delik (berasal dari kata delict).
Tindak pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk
dilakukan dalam peraturan perundang-undanagn yang disertai ancaman
pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan (feit)
adalah pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.8
Perbuatan-perbuatan yang ditentukan yang dilarang pada garis besarnya
ada dua golongan yakni, Pertama, perbuatan-perbuatan aktif/perbuatan positif
yang sering juga disebut dengan perbuatan materil (materiil feit), Kedua,
perbuatan-perbuatan pasif/perbuatan negatif. Perbuatan materiil adakalanya
8
disebut dengan perbuatan jasmani ialah perbuatan yang untuk mewujudkannya
disyaratkan adanya gerakan nyata dari tubuh atau bagain dari tubuh orang,
misalnya memukul dengan gerakan tangan dan menyepak dengan gerakan kaki.
Hukum pidana yang mengatur tentang itu disebut dengan tindak pidana positif
atau tindak pidana aktif. Sementara itu, perbuatan pasif sesungguhnya berarti
tidak melakukan perbuatan secara fisik, dimana hal tersebut justru melanggar
suatu kewajiban hukum karena dituntut bagi yang bersangkutan untuk
melaksanakan perbuatan tertentu. Seseorang dalam keadaan-keadaan dan dengan
syarat-syarat tertentu oleh undang-undang diwajibkan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu, yang apabila kewajiban hukum untuk berbuat itu
diabaikannya, misalnya perbuatan “membiarkan dalam keadaan sengsara” (Pasal
304), maka sebenarnya yang demikian itu telah berbuat pasif. Oleh karena itu, dia
dijatuhi pidana.9
Tindak pidana juga disebut dengan strafbar feit. Tentang hukum pidana ini
sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau tindak pidana, atau
perbuatan pidana. Menurut Vos, pengertian dari istilah strafbar feit adalah
suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan, jadi, suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana.10
9Ibid
, hlm. 5.
10
Bambang Poemomo., Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 90.
Menurut Prof. Moeljatno S.H., tindak pidana (strafbaar feit) adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana.
2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan yang erat pula. “kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Prof. Moeljatno S.H., membedakan dengan tegas dapat dipidanannya
perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidanannya orang
(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian
perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal
responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan
dengan pandangan ministis yang tidak membedakan keduanya.
Menurut Pompe, pengertian strafbar feit dibedakannya ke dalam dua
kelompok yakni:11
1) Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbar feit” adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan
diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum; dan
11Ibid.
2) Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbar feit” adalah
suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai
suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Sejalan dengan pengertian yang di atas, J.E. Jonkers juga mengemukakan
mengenai strafbar feit dengan membagi ke dalam dua kelompok yakni:12
1) Defenisi pendek memberikan pengertian “strafbar feit” adalah suatu kejadian
(feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang; dan
2) Defenisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian “stragbar
feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dilakukan dengan
sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jalan pemikiran dalam pengertian pendek ini pada hakekatnya menyatakan
bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan
undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang-undang-undang dan pendapat umum tidak
dapat menentukan lain dari pada yang telah ditentukan undang-undang.
Sedangkan dalam pengertian yang panjang tersebut di atas menitikberatkan pada
sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang
secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara
diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam
membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali
harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum.
Elemen yang terdapat di dalam strafbar feit oleh Vos, telah ditunjuk
pendapat dari Simons yang menyatakan, “suatu perbuatan feit adalah perbuatan
yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh oarang yang dapat
12Ibid
dipertanggungjawabkan. Dapat dikatakan bahwa suatu strafbar feit mempunyai
elemen “wederrechtelijkheid” (perbuatan melanggar hukum pidana) dan
“schuld” (kesalahan).13
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yaitu : 14
a. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
b. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah :15
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 306 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana adalah :16
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
13Ibid
., hal. 92.
14
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adya Bakti, 1997), hlm. 193
15
Ibid., hal 193-194
16Ibid
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak
pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :17
1. Subjek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
C.S.T Kansil menyatakan,Tindak pidana atau delik ialah tindakan yang
mengandung 5 unsur yakni:18
1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);
2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke
omschrijving);
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
b. Pengertian Kekerasan Seksual
Pada ayat 8 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, berbunyi ;
Kekerasan seksual (sexual abuse), meliputi :
1. pemaksaan hubungan seksual yang di lakukan terhadap orang yang
menetap dalam rumah tangga tersebut;
2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangga nya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.19
Kekerasan seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya
dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan,
17
Waludi, Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.211.
18
C.S.T.Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 276.
19
menibulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa
penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual
yaitu: dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks,
anal seks, diperkosa.20
Kekerasan seksual dikategorikan bentuk pemaksaan hubungan seks yang
disebut sebagai “perkosaan”, perkosaan ini tidak hanya terbatas pada pemaksaan
masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, namun juga
termasuk penggunaan benda-benda asing untuk menimbulkan kesakitan pada alat
kelamin dan bagian lainnya dari tubuh perempuan.21
Perkosaan menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah
seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan
persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan alat
kelamin laki-laki telah masuk ke dalam alat kelamin perempuan kemudian
mengeluarkan air mani. Sedangkan P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir
berpendapat bahwa perkosaan adalah perbuatan seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di
luar ikatan perkawinan dengan dirinya.22
Sue Titus Reid mendifinisikan perkosaan (rape) sebagai “Unlawful sexual
intercourse with a female by force or without legal or factual consent (melakukan
hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum terhadap seorang wanita
dengan paksaan atau tanpa berdasarkan hukum atau tanpa persetujuan)”.
20Ibid
., hlm.17
21
Mahmud Mulyadi, Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Kesusilaan terhadap RUU KUHP, Departemen Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Medan,2007, hlm. 2.
22
Sedangkan di dalam Black’s Law Dictionary memberikan definisi perkosaan
(rape) sebagai “Hubungan seksual (persetubuhan) yang bertentangan dengan
hukum, yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang merupakan bukan
istrinya dengan menggunakan paksaan dan bertentangan dengan kehendak
korban”.23
Anak sebagai korban kekerasan seksual dewasa ini bukanlah sesuatu hal
yang baru, sudah banyak sekali kasus yang terjadi yang menimbulkan keresahan
di dalam masyarakat. Banyak sekali dampak buruk kekerasan seksual terhadap
anak, antara lain ; depresi, gangguan stress pasca trauma, kegelisahan,
kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan cedera
fisik anak lainnya.24
2. Pengertian Anak menurutbeberapa Undang-Undang yang berlaku
Menurut KUHP pengertian anak tidak ada dijelaskan secara tertulis tapi
pengertian anak ada disebutkan secara tersirat yaitu dalam Pasal 293 ayat (1) ada
disebutkan seseorang yang belum dewasa, dan menurut R. Soesilo dalam
KUHP,yaitu dalam pasal 292 KUHP, Dewasa adalah yang telah berumur 21 tahun
atau belum umur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah kawin.
Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak, menyatakan anak adalah amanah sekaligus karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai cirri
23Ibid
., hlm. 20.
24
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan secara eksplisit indikator
umur sehingga dapat dikategorikan sebagai anak, bahwa Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.25
Adapun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan usia yang sama yakni pada Pasal 1 ayat (26) bahwa Anak adalah
setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan menurut
undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 ayat
(2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupaun seseorang
belum genap berusia 21 tahun, namun apabila dia sudah pernah kawin maka dia
tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa.26
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, menurut Pasal 1 ayat (5) bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Nomor 36 Tahun 1990 menurut
pasal 1 bagian 1 menentukan : seorang anak adalah, setiap manusia yang berusia
18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak
kedewasaan dicapai lebih cepat.
25
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak
26
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat ditelaah dari sisi
pandang sentralistis kehidupan.27
Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis
yang dipergunakan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, yang akhirnya
bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi
ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut :
Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa
sepan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan
hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah
kewajiban kita bersama, agar ia bias tumbuh berkembang dengan baik dan dapat
menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini.
Berdasarkan beberapa uraian mengenai perbedaan batas usia anak
tersebut, maka dapat disimpulkan secara umum batas anak-anak adalah seseorang
yang berusia maksimal 18 tahun dan belum pernah menikah. Persoalannya
kematangan jiwa seseorang tidak hanya ditentukan oleh usia tetapi juga
ditentukan oleh kematngan berpikir, karena banyak juga yang usianya sudah
dewasa akan tetapi pola pikirnya masih kekanak-kanakan, dan begitu juga
sebaliknya.
G. Metode Penelitian
27
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif28
2. Jenis Data dan Sumber Data
yaitu
metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka
atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian
kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai
penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya
pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian
hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen
disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang
bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana ( Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta isi dari putusan nomor:
416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl
28
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan
undang-undnag, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
sterusnya.29
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.30
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang
berhubungan dengan judul skripsi.
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya31
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan
dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
. Metode analisis
data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas
agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari
permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif,
yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar
terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini
dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi
ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP
RUMAH TANGGA
Pada bagian pertama akan mengemukakan ketentuan sanksi pidana
terhadap tindak pidana kekerasan seksual dalam lingkup rumah
tangga ditinjau dari berbagai pengaturan perundang-undangan.
Pada bagian kedua akan mengemukakan faktor-faktor yang
lingkup rumah tangga.
BAB III : ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK
PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
KEKERASAN SEKSUAL DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA (STUDI PUTUSAN NOMOR :
416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl.)
Pada bagian pertama akan mengemukakan kasus posisi dari
Putusan Nomor : 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl.
Pada bagian kedua akan mengemukakan analisis kasus dari
Putusan Nomor : 416/Pid.Sus/2015/PN.Sgl.
BAB IV : PENUTUP
Pada Bab ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal
hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari
substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis