• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01561

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01561"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PEREMPUAN, PROSTITUSI, SEKSUALITAS DAN KEKERASAN DALAM

DUNIA PERJANJIAN LAMA

IRA D. MANGILILO, PHD

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji fenomena prostitusi yang terjadi di dunia Israel kuno. Tulisan ini menunjukkan bahwa kehadiran ideologi yang menekankan pada keutuhan tubuh sosial yang dibangun dengan menggunakan keluarga atau rumah tangga sebagai modelnya dengan tujuan untuk mengontrol kehidupan seksualitas masyarakat terutama para perempuan dapat saja disangkal, dikontradiksikan dan bahkan ditentang melalui kehadiran anggota masyarakat seperti seorang pelacur. Tulisan ini juga

menunjukkan bahwa kehadiran seorang pelacur perempuan merupakan akibat dari tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari para laki-laki untuk mengendalikan secara esklusif kehidupan seksualitas para istri mereka namun pada saat yang sama memiliki akses terhadap para perempuan yang lain. Kehadiran seorang pelacur dengan demikian senantiasa bersifat ambivalens. Ia diinginkan sekaligus dihina, dicari namun diacuhkan. Di dalam perbandingan antara fenomena prostitusi di Israel kuno dengan fenomena yang sama di Indonesia pada masa kini, tulisan ini memperlihatkan bagaimana ideologi gender dan agama turut pula berperan dalam pendiskriminasian terhadap para perempuan pekerja seks komersial. Namun di dalam konteks Indonesia, seperti halnya konteks Israel kuno, tulisan ini juga menggambarkan bagaimana kegiatan prostitusi dipahami sebagai upaya para pekerja seks untuk melawan kemiskinan yang mereka hadapi di dalam kehidupan mereka. Hal ini berarti bahwa apa yang mereka sementara lakukan harus dikategorikan sebagai sebuah bentuk pekerjaan yang memberikan dampak bagi peningkatan kehidupan ekonomi berbagai pihak yang terlibat di dalam bisnis tersebut. Untuk itu maka segala upaya untuk menutup sumber usaha mereka di Indonesia harus pula dibarengi dengan upaya untuk membangkitkan lapangan kerja baru guna menjamin kelangsungan kehidupan mereka.

Ketika seorang perempuan belum menikah, ia adalah milik ayahnya. Ketika

ayahnya tidak ada lagi maka ia adalah milik saudara laki-lakinya. Ketika ia menikah

maka ia adalah milik suaminya seutuhnya. Ketika suaminya meninggal, maka seorang

perempuan adalah milik anak laki-lakinya. Demikianlah di dalam masyarakat patriarkal

(2)

dan pengawasan anggota keluarga laki-laki yang dominan.1 Ketika sang perempuan

mampu menjaga kekudusan dirinya dengan cara mengikatkan dirinya secara ekslusif

kepada satu laki-laki di dalam rumah tangganya maka ia akan dianggap sebagai

perempuan yang baik. Sementara itu perempuan yang jahat dan oleh karena itu berbahaya

adalah dia yang tidak mampu menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan bagi

dirinya. Pelanggaran terhadap batasan-batasan ini terjadi ketika seorang perempuan

melibatkan dirinya secara seksual dengan laki-laki di luar rumah tangganya. Salah satu

contoh perempuan yang demikian adalah seorang pelacur yang hidup di luar sistem

patriarkal yang berlaku yang mengatur perempuan untuk menjalankan fungsi-fungsi

domestik di bawah kekuasaan dan pengawasan dari laki-laki tertentu. Di sinilah prostitusi

sering disebut sebagai profesi yang paling tua di dunia. Namun, Vern Bullough dan

Bonnie Bullough mengatakan bahwa mungkin akan lebih realistik jika dikatakan bahwa

di dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki, prostitusi hampir merupakan satu-satunya

cara yang ditempuh oleh banyak perempuan untuk bertahan hidup tanpa adanya seorang

suami, ayah atau saudara laki-laki yang dapat mendukung dan melindungi mereka.2

Berbagai upaya untuk mendefinisikan pelacur atau pekerja seks komersial (PSK)3

telah dilakukan oleh berbagai ahli. Havelock Ellis berpendapat bahwa pelacur adalah

       1

Phillip J. King and Lawrence E. Stager, Life in Biblical Israel (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2001), 50.

2 Vern Bullough and Bonnie Bullough, “Introduction: Female Prostitution: Current Research and Changing Interpretations,” in Prostitution: On Whores, Hustlers, and Johns, ed. by James E. Elias, Vern L. Bullough, Veronica Elias, and Gwen Brewer (Amherst, NY: Prometheus Books, 1998), 24. 

3 Istilah pekerja seks komersial atau PSK adalah frase yang diciptakan sekitar 30 tahun lalu untuk merujuk pada perdagangan seksual di dalam berbagai bentuk. Sementara itu istilah prostitusi atau pelacuran didefinisikan sebagai sebuah pertukaran seksual untuk uang atau barang-barang berharga lainnya. Istilah pekerja seksual lebih merujuk kepada pengertian yang bersifat inklusif dalam arti bahwa aktivitas ini dianggap sebagai pekerjaan yang memperoleh imbalan. Istilah ini dikontraskan dengan kata “perempuan sundal” atau “pelacur” yang lebih mengandung konotasi negatif karena melihat perempuan sebagai yang tidak mempunyai harga seperti yang dipahami oleh masyarakat luas. Lihat Melissa Hope Ditmore (ed),

Encyclopedia of Prostitution and Sex Work, Volumes 1 & 2 (Westport, Connecticut and London:

Greenwood Press, 2006), xxv-xxvi. Lebih lanjut istilah PSK diciptakan oleh para pekerja seks sendiri untuk mendefinisikan ulang aktivitas seks yang bersifat komersial, bukan sebagai karakteristik sosial atau

(3)

seorang laki-laki atau perempuan yang melihat aktivitas seksual yang dilakukannya

dengan pihak lain guna memenuhi kebutuhan seksual dari pihak lain tersebut sebagai

pekerjaan yang harus dibayar.4 Definisi ini melibatkan kedua jenis kelamin yaitu laki-laki

dan perempuan namun belum menjawab pertanyaan tentang kapan prostitusi menjadi

sebuah pekerjaan. Di sinilah terjadi ketidakjelasan tentang kapan seseorang dapat disebut

sebagai seorang pelacur; apakah setelah menjual dirinya untuk pemenuhan nafsu birahi?

Sebuah pendefinisian yang bersifat konfrehensif berasal dari Iwan Bloch yang

mengatakan bahwa prostitusi merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan orang

yang berganti-ganti dengan kompensasi dan merupakan tipe transaksi bisnis yang spesial

di mana seseorang menyediakan jasa hubungan seksual atau jenis-jenis jasa seksual yang

berbeda. Hubungan ini dapat dilakukan baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.

Sementara itu Bullough dan Bullough mengatakan bahwa gambaran yang inklusif ini

dikenakan baik kepada pelacur laki-laki dan perempuan; pengertiannya juga cukup luas

sehingga bisa dikenakan pula pada perempuan simpanan karena ia terlibat di dalam

aktivitas seksual guna mendapatkan imbalan.5 Lena Edlund dan Evelyn Korn, di lain

pihak, berpendapat bahwa prostitusi adalah tindakan pemberian jasa seksual dengan

mengharapkan pembayaran sebagai imbalannya; aktivitas ini tidak bertujuan untuk

menghasilkan keturunan. Di dalam hal ini para perempuan simpanan dari orang-orang

yang kaya dapat pula dikategorikan sebagai pelacur karena hubungan para laki-laki yang

terjalin dengan para perempuan ini tidak bertujuan untuk menghasilkan keturunan.6

Menyingkapi definisi-definisi yang berbeda ini maka Bullough dan Bullough mengatakan

bahwa definisi apapun yang dikemukakan di atas mengandung masalah karena setiap

masyarakat memiliki standar yang berbeda. Di sini evaluasi sosial dan ketetapan legal di

dalam sebuah masyarakatlah yang memberikan prostitusi status khusus.7

Di dalam masyarakat Indonesia sendiri aktivitas prostitusi juga memiliki makna

yang berbeda tergantung pada pihak mana dengan kepentingan apa yang melihatnya. Hal

      

mendatangkan pendapatan guna menopang kehidupan sehari-hari. Di sinilah fokus utama saya adalah pada pekerjaan itu sendiri dan bukannya pada ideologi gender yang mengkonstruksi seorang PSK sebagai yang tidak berharga dan hina.

4 Bullough and Bullough, “Introduction - Female Prostitution,” 24.

5 Bullough and Bullough, “Introduction - Female Prostitution,” 25. 6

Lena Edlund and Evelyn Korn, “A Theory of Prostitution,” in Journal of Political Economy, Vol. 110, No. 1, 183-84. 

(4)

ini dapat dilihat terutama pada fenomena penutupan Gang Dolly di Surabaya oleh

pemerintah kota Surabaya di bawah pimpinan Walikotanya yaitu Tri Rismaharini yang

dilakukan pada tanggal18 Juni 2014. Ada beberapa alasan yang mendorong sang

Walikota untuk melakukan tindakan yang penuh dengan kontraversi ini. Pertama, ia ingin

mengajak warganya terutama para perempuan untuk mencari rezeki secara halal tanpa

menjual tubuh mereka di tempat lokalisasi. Di sini guna melaksanakan rencananya ini

maka sang Walikota telah menyediakan pelatihan-pelatihan untuk memberdayakan kaum

perempuan sesuai dengan skill mereka agar nantinya mereka dapat mencari pekerjaan

sesuai dengan skill tersebut. Upaya ini dipandang Risma sebagai langkah penting untuk

mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Kedua, sang Walikota juga

memperhatikan masalah pendidikan moral anak-anak usia remaja yang berada di sekitar

lokalisasi yang merupakan para pengguna jasa para pelacur. Kenyataan ini membuat sang

Walikota mempertanyakan tentang masa depan para generasi muda ini.8

Namun tindakan dari WaliKota ini menuai reaksi keras dari berbagai pihak baik

itu para PSK maupun unsur-unsur yang terlibat di dalamnya seperti mucikari, pemilik

wisma, pedagang kecil maupun warga setempat yang telah memperoleh efek ekonomi

dari adanya aktivitas prostitusi ini. Meskipun tindakan penutupan yang dilandaskan pada

Perda No. 7 tahun 1999 tentang larangan penggunaan bangunan untuk kegiatan prostitusi

disertai dengan pemberian bentuk kompensasi penutupan berupa modal usaha dan

pelatihan ketrampilan ekonomi yang diberikan oleh pemerintah, namun semua elemen

yang terkait erat di dalam bisnis yang kompleks ini beramai-ramai menyatakan penolakan

mereka terhadap segala upaya tersebut.9 Dari pemaparan di atas maka ada setidaknya dua

sikap yang dapat disimpulkan di sini. Yang pertama adalah sikap kelompok, dalam hal

pemerintah yang didukung oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti Perwakilan

Ormas Islam Jatim, yang memiliki keinginan untuk membersihkan Surabaya dari

aktivitas-aktivitas seperti pelacuran yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan

kebudayaan yang ada di Indonesia. Sikap yang kedua adalah berasal dari mereka yang

      

8 Merdeka.com, “Inilah alasan Risma Mati-matian Tutup Lokalisasi Gang Dolly,” Rabu, 25 Mei 2014, http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-risma-tutup-lokalisasi-gang-dolly-mati-matian.html, [diunduh: 27 September 2014].

9

(5)

telah lama menjalankan bisnis prostitusi ini selama bertahun-tahun dan telah diuntungkan

dari bisnis tersebut. Banyak di antara mereka yang mampu membiayai kehidupan mereka

sendiri dan bahkan tergolong sukses. Banyak PSK yang bisa mengantongi uang sekitar

Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan. Sementara para mucikari bisa memperoleh

penghasilan sebesar Rp 60 juta per bulan. Jumlah penghasilan seperti itu tentu saja lebih

besar dibandingkan mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai

pekerjaan terhormat seperti di kantoran, di lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.10

Adanya berbagai definisi yang berbeda tentang prostitusi dan juga sikap pro dan

kontra tentang keberadaan prostitusi itu sendiri terutama di Indonesia membawa kita pada

pertanyaan tentang bagaimana gambaran dan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat

Israel kuno sendiri tentang fenomena prostitusi dan bagaimana gambaran dan

pemahaman tersebut mempengaruhi konstruksi masyarakat Israel tentang sosok pelacur.

Apakah keberadaan mereka ditolerir sehingga diijinkan untuk ada bersama-sama dengan

masyarakat lainnya ataukah dikutuk karena dianggap bertentangan dengan norma yang

ada di dalam masyarakat?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas maka tulisan ini pertama-tama

akan membahas tentang hubungan di antara rumah tangga Israel dan struktur-struktur

seksualitas. Saya akan melanjutkan dengan pembahasan tentang batasan-batasan

seksualitas di Israel kuno. Kemudian saya akan membahas tentang pelacuran di Israel

kuno dan perbandingannya dengan aktivitas-aktivitas pelacuran di dalam berbagai

masyarakat yang berada di sekitar Timur Dekat kuno. Pada akhirnya tulisan ini akan

ditutup dengan pembahasan tentang implikasi pembahasan tentang fenomena pelacuran

di Israel kuno terhadap permasalahan pelacuran yang terjadi di Indonesia yang sangat

kompleks sifatnya.

Rumah Tangga Israel dan Struktur-struktur Seksualitas

Kehidupan bangsa Israel adalah kehidupan yang berpusat pada keluarga atau bêt

’ãb yang diterjemahkan secara harafiah sebagai rumah bapa. Nesta Anderson

berpendapat bahwa keluarga adalah sekelompok orang yang memiliki hubungan

      

(6)

kekerabatan yang mungkin atau mungkin tidak tinggal bersama-sama dan yang fungsi

utamanya adalah untuk mereproduksi anggota biologisnya (meskipun ini dapat dicapai

melalui adopsi). Sebuah rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang

hidup bersama dalam satu atau lebih struktur, yang melaksanakan kegiatan sehari-hari

yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pereproduksian kelompok sosial dalam ruang

khusus yang terkait dengan tempat tinggal, dan yang berinteraksi dengan rumah tangga

lain.11 Adapun kegiatan-kegiatan sehari-hari yang berfungsi untuk menopang

anggota-anggota keluarga dan ruang bersama mereka adalah mempersiapkan makanan,

membuang sampah, membesarkan anak-anak, menanam dan merawat tanaman-tanaman

di pekarangan rumah yang dapat dikonsumsi, membersihkan rumah, mandi, mencuci

pakaian, dan bersosialisai.12 Dengan kata lain, keluarga adalah sebuah strategi di mana

anggota-anggotanya berpartisipasi di dalamnya dan memanfaatkan materi-materi yang

tersedia untuk memenuhi kebutuhan produktif dan reproduktif manusia.13 Satu keluarga

Israel biasanya terdiri dari ayah, ibu, anak-anaknya laki-laki beserta dengan istri-istri

mereka dan anak-anak mereka, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang belum

menikah maupun anak-anak perempuan yang telah dikembalikan oleh suami mereka atau

yang telah menjadi janda, dan satu atau lebih orang tua mereka.14

Di dalam konteks sosial seperti ini, seksualitas dikonstruksikan sebagai sebuah

realitas di dalam keluarga. Laki-laki yang dominan mempunyai kontrol seksual atas para

perempuan di dalam rumah tangganya dan kelangsungan rumah tangga tersebut sangat

bergantung pada aktivitas-aktivitas seksual yang dapat menuntun kepada prokreasi; hal

ini merupakan unsur yang penting mengingat bahwa suatu rumah tangga hanya dapat

menjamin kelangsungan kehidupan sosial dan perekonomiannya ketika keluarga tersebut

dapat menjaga jumlah anggota keluarganya sehingga tidak berkurang. Di sinilah,

      

11 Nesta Anderson, “Finding the Space Between Spatial Boundaries and Social Dynamics: The Archaeology of Nested Households,” in Household Chores and Household Choices: Theorizing the Domestic Sphere in Historical Archaeology, ed. by Kerri S. Barile and Jamie C. Brandon (Tuscaloosa, AL: University of Alabama Press, 2004), 111.

12 Anderson, “Finding the Space,” 111. 13

Carol Meyers, “Material Remains and Social Relations: Women’s Culture in Agrarian Households of the Iron Age,” in Symbiosis, Symbolism, and the Power of the Past: Canaan, Ancient Israel, and Their Neighbors from the Late Bronze Age through Roman Palestine, ed. by W. G. Dever and S. Gitin (Winona Lake, IN: Eisenbrauns, 2003), 426.

14

(7)

seksualitas dikonstruksi sebagai aktivitas laki-laki di dalam rumah tangga dan dirancang

untuk memaksimalkan tingkat kesuburan suatu rumah tangga.15

Lebih lanjut Berquist berpendapat bahwa di dalam kerangka berpikir yang

berpusat pada keluarga seperti ini maka keluarga menyediakan pola sosial yang mana di

dalamnya seksualitas dimengerti dan ditafsirkan. Di dalam kebudayaan Israel sendiri,

keluarga dipandang sebagai satu kesatuan tubuh yang utuh yang memiliki

batasan-batasan yang harus dijaga dan diperhatikan. Seksualitas sendiri dimaksudkan untuk selalu

berada di dalam rumah tangga sehingga batasan-batasannyapun tidak boleh dilanggar.

Sistem nilai-nilai ini mengorganisir dan mengatur seksualitas, menciptakan serangkaian

hukum, adat istiadat, dan norma-norma serta sarana penegakan hukum yang semuanya

didasarkan pada integritas dan keutuhan pola rumah tangga Israel di dalam

keterhubungannya dengan integritas dan keutuhan tubuh individu.16

Melalui pemaparan ini maka jelaslah bahwa terdapat hubungan yang erat di antara

tubuh individu dan tubuh sosial dari rumah tangga terutama di dalam struktur pengaturan

nilai-nilai seksual di dalam dunia Israel kuno. Hubungan yang erat ini menyebabkan

setiap rumah tangga tidak boleh membuang cairannya seperti sperma dan darah penanda

keperawanan seorang perempuan; sebaliknya setiap cairan yang ada harus disimpan di

dalam keluarga saja. Perempuan ditambahkan di dalam sebuah keluarga dan dipelihara di

dalam rumah tangga tersebut dalam rangka melindungi kesucian mereka dan mengontrol

seksualitas mereka. Di sinilah transaksi pembelian atau penukaran perempuan di dalam

rumah tangga dilakukan pada saat para perempuan tersebut masih berusia muda dan

kemudian masyarakat mengatur hukum-hukum dalam rangka menjamin kesucian para

perempuan tersebut.17 Hal ini dapat dilihat di dalam hukum-hukum Israel seperti yang

tertulis di dalam Ulangan 22:13-21. Di dalam penjelasannya akan makna hukum tersebut,

Berquist mengatakan bahwa seorang perempuan selalu berada di dalam resiko dan

membawa resiko tersebut ke dalam sebuah rumah tangga karena kemungkinan bahwa ia

membawa kejahatan bersama-sama dengannya. Di dalam kebudayaan seperti ini, seorang

perempuan dianggap mengawali kehidupannya di dalam keadaan suci namun dapat

      

15 Jon L. Berquist, Controlling Corporeality: The Body and the Household in Ancient Israel (New Brunswick, New Jersey, and London: Rutgers University Press, 2002), 65.

(8)

menjadi tidak suci melalui kontak secara seksual. Berquist menjelaskan bahwa melalui

kontak seksual para perempuan menerima di dalam diri mereka cairan-cairan laki-laki

yang memang hanya dimaksudkan untuk rumah tangga sang laki-laki tersebut. Seorang

perempuan yang memasuki sebuah rumah tangga dengan membawa serta dengannya

cairan-cairan dari rumah tangga lain dianggap bersalah karena telah tercemar. Di sini,

tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat Israel sangat menghargai para

perempuan yang masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga di dalam keadaan

perawan; ketika mereka tidak memiliki kontak seksual apapun.18 Demikianlah di dalam

kondisi seperti ini, maka seorang perempuan akan berada di dalam posisi yang aman jika

tidak ada seorang laki-lakipun dari rumah tangga yang lain yang telah lebih dahulu

melanggar batasannya dan “masuk” ke dalam tubuh/dirinya. Di sinilah, cairan yang

berasal dari selaput darah menandakan bahwa sang perempuan adalah suci untuk

memasuki rumah tangga tanpa membawa bahaya apapun ke dalam rumah tangga barunya

tersebut.19

Batasan-Batasan Seksualitas di Israel Kuno

Pembahasan tentang hubungan yang erat di antara tubuh dan keluarga di mana

anggota keluarga laki-laki yang dominan memiliki hak penuh untuk menentukan

batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh anggota keluarga lainnya dalam hal ini para

perempuan telah menghantarkan kita pada arti pentingnya aktivitas-aktivitas seksual

sebagai cara untuk memperoleh keturunan yang tentunya sangat penting untuk

pemeliharan kelangsungan sebuah keluarga. Perempuan sebagai pihak utama yang

berperan penting di dalam proses reproduksi diwajibkan untuk memelihara kesucian

tubuhnya sehingga tidak mencemari keberlangsungan kehidupan suatu rumah tangga. Di

sinilah batasan seksualitas seorang perempuan adalah di dalam rumah tangganya. Tidak

ada kehidupan seksualitas di luar ruang tersebut. Tindakan yang berupaya untuk langgar

batasan-batasan yang telah ditetapkan di dalam masyarakat baik itu di dalam bentuk

(9)

aturan, ketetapan, hukum maupun norma-norma akan mendatangkan akibat yang fatal

bagi seorang perempuan yang melanggarnya. Namun meskipun aturan-aturan yang dibuat

untuk mengatur kehidupan seksualitas perempuan agar tetap tinggal di dalam rumah

tangga adalah demikian ketat, banyak sekali cerita di dalam Alkitab Ibrani sendiri yang

mencatat tentang berbagai bentuk pelanggaran terhadap batasan-batasan seksualitas

tersebut yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan. Salah satu bentuk

pelanggaran yang dianggap fatal adalah aktivitas prostitusi yang dilakukan oleh seorang

perempuan. Praktek ini merupakan sesuatu yang melanggar batasan norma yang berlaku

di Israel kuno namun merupakan realitas yang terjadi di Israel. Lalu bagaimana aktivitas

prostitusi dapat berlangsung di wilayah Israel yang mengatur dan mengontrol dengan

begitu ketatnya kehidupan seksualitas seorang perempuan? Mengapa prostitusi dapat

bertumbuh dengan pesat? Bagaimana sikap masyarakat Israel sendiri terhadap fenomena

ini? Bagian berikut ini akan saya fokuskan untuk membahas tentang fenomena prostitusi

di Israel kuno.

Prostitusi di Israel Kuno

Di dalam konteks Israel, Phyllis Bird berpendapat bahwa istilah umum bagi

pelacur adalah bentuk partisipel feminin “dari kata kerjazā.” Kata ini dapat

digunakan sebagai kata benda yang merujuk pada sebuah profesi atau kebiasaan

perzinahan, hubungan seksual yang dilakukan dengan banyak orang atau perempuan

yang tidak suci yang peran dan pekerjaannya adalah ditandai dengan aktivitas

seksualitasnya dengan para laki-laki yang tidak dinikahinya.20 Kata kerja “

digunakan sebagai istilah yang umum bagi hubungan seksual yang terjadi di luar

pernikahan yang biasanya ditujukan pada para perempuan karena hanya bagi para

perempuan sajalah pernikahan dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama yang

menentukan status hukum dan kewajiban seorang perempuan.21 Pendapat ini sejalan

dengan pandangan Erlandsson yang mengatakan bahwa kata kerja “” terutama

merujuk pada sebuah hubungan seksual di luar persatuan yang diakui secara resmi. Di

       20

Phyllis A. Bird, Missing Persons and Mistaken Identities: Women and Gender in Ancient Israel

(10)

sinilah partisipel atau ’iššā zônâ menunjuk pada seorang perempuan yang memiliki

hubungan seksual dengan seseorang yang kepadanya ia tidak memiliki hubungan

perjanjian yang resmi.22

Lebih lanjut Bird mengatakan bahwa di dalam aturan moral yang dimiliki oleh

orang Israel, hanya seorang suamilah yang memiliki hak atas seksualitas istrinya dan

seksualitasnya harus dijaga secara baik sebelum atau selama pernikahan itu. Pelanggaran

seksualitas yang paling fatal di dalam masyarakat Israel adalah pelanggaran terhadap hak

seksualitas seorang suami yang diindikasikan oleh kata kerja “’af,” “melakukan

perzinahan.” Di sinilah “” menjadi penanda suatu hubungan seksual yang dilakukan

di luar pernikahan. Beberapa kasus yang dapat diidentifikasikan sebagai “” adalah

hubungan seksual di luar nikah oleh seorang anak perempuan yang dipahami sebagai

sebuah tindakan kriminal yang dilakukan terhadap ayahnya atau saudara laki-lakinya

yang kehormatannya diukur melalui keperawanan anak perempuan tersebut (Ul 22:13-21;

Im 21:9; Kej 34:31); hubungan seks yang dilakukan oleh seorang janda yang berada di

bawah kewajiban levirat – yang berjanji atau “bertunangan” dengan saudara laki-laki dari

suaminya yang meninggal (Kej 38:6-11, 24-26); aktivitas pelacur, pezinah professional

yang tidak memiliki suami atau kewajiban seksual kepada pria lainnya.23

Pandangan Bird ini didukung oleh Margaret Davies yang berpendapat bahwa

teks-teks kitab suci menyatakan bahwa ketika para laki-laki diijinkan untuk mempunyai

lebih dari satu istri dan juga selir-selir, maka para perempuan diinstruksikan untuk tetap

setia kepada kepada satu suami saja. Demikianlah, perintah melawan perzinahan (Kel

20:14; Ul 5:18; Im 20:10) berfungsi secara berbeda bagi laki-laki dan perempuan.

Seorang perempuan yang telah menikah dianggap telah berzinah jika dia mempunyai

hubungan seksual dengan laki-laki yang bukan merupakan suaminya (Pengkhotbah

23:22-26). Seorang laki-laki yang telah menikah di lain pihak melakukan perzinahan

hanya ketika ia mempunyai hubungan seksual dengan istri laki-laki lain. Lebih lanjut,

kekuasaan seorang suami atas istrinya memberikannya hak untuk mempergunakan

      

22 Seth Erlandsson, “הנז zãnãh,” in Theological Dictionary of the Old Testament,Vol. IV, ed. by G. Johannes Botterweck and Helmer Ringgren (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1980), 100.

23

Phyllis A. Bird, “Prostitution in the Social World and Religious Rhetoric of Ancient Israel,” in

(11)

istrinya tersebut termasuk menginstruksikan istrinya untuk mempunyai hubungan seksual

dengan laki-laki lain jika hal itu sesuai dengan tujuannya.24

Keadaan yang berbeda berlaku bagi seorang pelacur. Menurut Bird, seorang

perempuan yang terlibat di dalam pelacuran tidak melanggar hak atau merusak

kehormatan laki-laki manapun dan karenanya ia bebas dari sanksi-sanksi yang biasanya

dikenakan pada kasus perzinahan. Hal ini mengindikasikan bahwa prostitusi bukanlah

sebuah aktivitas terlarang. Di sini, tidak ada bukti bahwa prostitusi pernah dilarang di

dalam dunia Israel kuno atau bahwa ada pelacur yang pernah dihukum karena

aktivitasnya sebagai seorang pelacur.25 Sebagai mana yang diungkapkan oleh Bird,

seorang pelacur dibutuhkan dan oleh karena itu diijinkan untuk ada meskipun selalu ada

stigma yang dilekatkan kepada diri dan perannya.26 Gambaran ini menandakan bahwa

lembaga prostitusi di dunia Israel kuno selalu berada di dalam sikap yang ambivalens.

Seorang pelacur diinginkan sekaligus dihina, dicari namun diacuhkan. Ia tidak pernah

diterima sebagai pribadi yang utuh di dalam masyarakat manapun karena apa yang

diinginkan oleh seorang laki-laki untuk dirinya bisa saja berbeda dengan apa yang

diinginkannya untuk anak perempuan atau istrinya.27

Gambaran tentang stigma yang melekat pada diri seorang pelacur dapat dilihat di

dalam Kej 38:13-18. Di dalam teks tersebut Yehuda dideskripsikan sebagai seorang

laki-laki yang menggunakan jasa seorang pelacur ketika ia menghadiri acara pemotongan bulu

domba. Perhatian utamanya sehubungan dengan reputasinya di dalam cerita adalah

berkenaan dengan apakah ia akan dicela karena ia tidak dapat membayar hadiah yang

telah dijanjikannya kepada sang pelacur (Kej 38:20-23). Situasi yang berbeda terjadi

ketika menantunya, Tamar, kedapatan hamil. Ia dituduh sebagai seorang pelacur dan

dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup (Kej 38:24). Namun, Tamar

dapat melepaskan dirinya dari hukuman karena ia telah menyimpan beberapa barang

kepemilikan Yehuda ketika ia bertemu dengannya di dalam penyamaran sebagai seorang

       24

Margaret Davies, “On Prostitution,” in The Bible in Human Society: Essays in Honour of John Rogerson, ed. by M. Daniel Carroll R., David J. A. Clines, and Philip R. Davies (Sheffield, UK: Sheffield Academic Press, 1995), 226.

25 Bird, “Prostitution in the Social World,” 42.

26 Bird, Missing Persons and Mistaken Identities, 206. Lihat juga Alice Ogden Bellis, Helpmates, Harlots,

and Heroes: Women’s Stories in the Hebrew Bible (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2007), 99.

(12)

pelacur. Bukti ini membenarkan tindakannya sebagai tanggapan terhadap janji Yehuda

kepadanya yang telah diingkari (Kej 38:11, 14-18, 25-26).28 Di sinilah Davies

mengatakan bahwa stigma buruk hanya diberikan kepada seorang pelacur sementara

laki-laki yang menggunakan jasa sang pelacur tidak dikenakan stigma apapun. Pandangan

Davies ini ditentang oleh Bird yang mengatakan bahwa meskipun seorang pelacur adalah

satu-satunya pihak yang secara resmi dikucilkan namun ia tidak menanggung stigma itu

sendirian. Kliennya yang menggunakannyapun turut menanggung stigma itu. Bird

mengatakan bahwa stigma yang ditanggung oleh seorang laki-laki pengguna jasa pelacur

mungkin tidak sama dengan yang diterima oleh sang perempuan. Namun ia bisa saja

dianggap sebagai yang telah tercemar; ia bisa saja dipermalukan atau diintimidasi. Hal

seperti ini mungkin saja terjadi mengingat bahwa seorang pelacur tidak hanya menuntut

harga. Ia mengendalikan transaksi yang ada sehingga ada kemungkinan bahwa sang

laki-laki dapat saja dijebak, dibohongi atau bahkan “diambil.” Apapun bentuknya, ketika

seorang laki-laki memutuskan untuk berhubungan dengan seorang pelacur maka ia harus

siap untuk mengalami penghinaan yang mewarnai transaksi ini secara keseluruhan.29

Lebih lanjut, di dalam penjelasannya tentang fenomena prostitusi di Israel kuno,

Bird berpendapat bahwa prostitusi adalah kenyataan yang terjadi di masyarakat patriarkal

di dalam konteks perkotaan. Fenomena ini berkembang pesat ketika pembagian

kekuasaan dan kedudukan di antara perempuan dan laki-laki tidak terdistribusi secara

seimbang. Bird juga mengatakan bahwa pelacur perempuan merupakan akibat dari

tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari para laki-laki untuk mengendalikan secara

esklusif kehidupan seksualitas para istri mereka namun pada saat yang sama memiliki

akses terhadap para perempuan yang lain.30 Di samping itu, seorang pelacur dibedakan

dengan perempuan yang telah menikah didasarkan pada kebiasaan-kebiasaannya dan

pakaian yang digunakannya. Ia bertemu dengan para laki-laki yang tidak pernah ia temui

sebelumnya di pinggir jalan dan di alun-alun kota. Seorang pelacur tinggal di

bayang-bayang dinding kota, di pinggiran kota, tempat sampah dibuang.31

       28 Davies, “On Prostitution,” 228. 29

(13)

Gambaran yang sama namun sedikit berbeda tentang fenomena pelacur di Israel

kuno datang dari Berquist yang melalui penekanannya tentang hubungan di antara tubuh

dan keluarga menerima bahwa pelacuran adalah keadaan yang tidak bisa dihindari di

dalam masyarakat kuno. Hanya saja ia melihat bahwa prostitusi itu sendiri merupakan

praktek yang aneh atau tidak wajar di dalam masyarakat patriarkal tersebut. Baginya,

para pelacur kebanyakan beroperasi di luar rumah tangga. Mereka tidak hidup

berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan di dalam masyarakat dan mereka tidak

berinteraksi di dalam masyarakat dengan pola-pola yang diterima di mana para laki-laki

adalah kepala rumah tangga. Sebagai akibatnya, para pelacur yang memegang kekuasaan

pada level tertentu dilihat sebagai yang berbeda dan aneh. Dalam pengertian ini,

prostitusi adalah sesuatu yang tidak wajar dan aneh. Mereka dipandang aneh terutama

karena mereka melanggar batasan-batasan yang dibangun oleh masyarakat Israel kuno di

sekitar rumah mereka.32 Para perempuan yang meninggalkan rumah tangga mereka

dengan inisiatif sendiri dipandang sebagai yang “aneh” di dalam arti bahwa mereka

menyimpang dari norma. Karena mereka tidak berhubungan dengan pria manapun yang

mendukungnya di dalam masyarakat, perempuan seperti itu berfungsi di luar struktur

hirarki sosial yang mendefinisikan kebanyakan orang Israel. Meskipun para perempuan

seperti ini melanggar batasan-batasan sosial namun mereka bukan saja dapat bertahan

hidup tetapi bisa pula menjadi sukses. Para perempuan ini biasanya ditakuti karena sistem

nilai yang mereka anut bersifat kontradiktif dengan asumsi-asumsi yang ada di dalam

masyarakat. Lebih lanjut, mereka tidak membutuhkan laki-laki sama seperti cara para

perempuan kebanyakan memaknai arti laki-laki bagi diri mereka. Di sini, para pelacur

dapat mengambil peran sebagai kepala rumah tangga dan karena itulah mereka telah

melanggar ketentuan yang ada dan demikian sangat membahayakan masyarakat.33 Di

sinilah kehadiran dan keberadaan para pelacur menunjukkan bahwa ideologi tentang

keutuhan tubuh sosial dengan menggunakan keluarga atau rumah tangga sebagai

modelnya yang dibangun di dalam masyarakat Israel dengan tujuan untuk mengontrol

kehidupan masyarakat dapat saja disangkal, dikontradiksikan dan bahkan ditentang

dengan kehadiran anggota masyarakat seperti seorang pelacur.

      

32 Berquist, Controlling Corporeality, 148-49.

33 Berquist, Controlling Corporeality, 149.

(14)

Contoh cerita di dalam Alkitab Ibrani yang menggambarkan status pelacur

sebagai sosok yang independen dan yang tidak bergantung pada anggota keluarga

laki-laki yang dominan di dalam rumah tangganya adalah cerita Rahab, sang pelacur Yerikho

di dalam Yosua 2:1-24. Di dalam cerita tersebut, Rahab digambarkan sebagai seorang

perempuan yang tidak tinggal di rumah ayahnya bersama-sama dengan anggota keluarga

yang lainnya ataupun di rumah suaminya; dengan demikian seorang pelacur seperti

Rahab bebas untuk melakukan apapun yang berhubungan dengan kepentingan

pribadinya. Ia bukanlah barang kepunyaan siapapun sehingga tidak berada di bawah

kekuasaan siapapun. Namun di lain pihak, kondisi Rahab yang dianggap tidak bermoral

dan kudus menyebabkannya dianggap sebagai orang asing di tengah-tengah

masyarakatnya sendiri. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran posisi rumahnya

sendiri yang berada di dalam struktur tembok Yerikho. Lokasi rumah seperti ini

menjadikan tempat tinggal Rahab sebagai tempat pertemuan bagi orang-orang yang

memiliki maksud yang mencurigakan seperti para mata-mata dan pemberontak. Keadaan

ini menyebabkan rentannya posisi Rahab karena ia bisa saja dihukum mati jika tidak

memberikan informasi kepada para penguasa negerinya tentang keberadaan orang-orang

seperti itu.34 Namun hal menarik yang dapat dilihat dari sosok Rahab seperti yang

dipaparkan di dalam cerita tentangnya adalah bahwa di tengah-tengah keadaan dirinya

yang di satu sisi sepertinya merdeka namun di sisi lain begitu rapuh, Rahab digambarkan

sebagai seorang perempuan yang mengambil alih peran laki-laki di dalam keluarganya. Ia

dengan segala kecerdikan, kelugasan dan keberanian berhasil melakukan negosiasi

dengan para pengintai Israel untuk menyelamatkan seluruh anggota keluarganya dari

bencana yang akan segera menimpa bangsanya.

Namun cerita kepahlawan Rahab yang berhasil menyediakan perlindungan bagi

seluruh anggota keluarganya merupakan cerita yang tidak sering kita jumpai di dalam

Alkitab Ibrani sendiri maupun di dalam informasi-informasi yang berasal dari daerah di

sekitar Israel kuno. Bukti bahwa kehadiran para pelacur merupakan masalah yang harus

dihadapi oleh masyarakat kuno di samping Israel dapat kita lihat pada konteks Timur

      

(15)

Dekat kuno. Bullough dan Bullough yang menggunakan pendekatan sejarah, sosiologi

dan antropologi untuk meneliti fenomena ini mengatakan bahwa aturan-aturan yang

berasal dari Hukum Hammurabi (c. 1700 Sebelum Zaman Bersama) menolong kita untuk

mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan prostitusi.35 Menurut mereka,

perempuan dianggap sebagai sebagai barang dan oleh karena itu merupakan benda

kepemilikan laki-laki baik itu ayah, suami, anak laki-laki maupun saudara laki-laki

mereka. Seorang perempuan memiliki kemerdekaan yang terbatas dibandingkan dengan

seorang laki-laki meskipun ia mungkin saja memiliki haknya sendiri untuk mengontrol

mas kawinnya dan hak kepemilikan barang-barang yang lainnya.36 Sebagai barang, nilai

kebaikan seorang istri ditentukan oleh keperawanannya; dengan demikian, berkurangnya

nilai dapat menurunkan harga mas kawin seorang gadis atau di dalam kasus tertentu

mengurangi kesempatannya untuk menikah.37

Di dalam masyarakat yang demikian, perzinahan dilihat sebagai suatu

pelanggaran melawan hak kepemilikan seorang suami dan dengan demikian sang suami

mempunyai hak untuk menghukum istrinya yang melakukan tindakan tersebut. Lebih

lanjut, ketika seorang suami memiliki kemerdekaan untuk berbuat serong, gerak gerik

dari seorang perempuan merdeka entah itu yang telah atau belum menikah selalu berada

di bawah pengawasan yang ketat dan tidak dapat diganggu gugat.38 Bullough dan

Bullough mengatakan bahwa dalam rangka mencegah para pria supaya tidak memiliki

hubungan seksual dengan para perempuan merdeka yang belum menikah maka

diciptakanlah suatu area bebas yang memungkinkan para laki-laki untuk memenuhi

hasrat seksual mereka tanpa dibebani dengan kewajiban-kewajiban. Di sinilah

keberadaan pelacuran harus dipahami sebagai solusi dari kebutuhan tersebut. Bullough

dan Bullough mengatakan bahwa karena perempuan merdeka sangat dilindungi dengan

ketat dan berada di luar jangkauan, para laki-laki memuaskan kebutuhan seksual mereka

dengan beralih ke perempuan yang lain.39

      

35 Vern Bullough and Bonnie Bullough, Women and Prostitution: A Social History (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1987), 16-17.

36 Bullough and Bullough, Women and Prostitution, 17. 37

(16)

Lebih lanjut, alasan mengapa seorang perempuan menjadi pelacur di berbagai

masyarakat di Timur Dekat kuno adalah tidak jelas. Banyak dari mereka yang dipaksa

untuk terlibat di dalam aktivitas seperti itu karena mereka tidak mempunyai pilihan yang

lain; mereka kebanyakan adalah budak atau janda atau bahkan para anak yatim piatu

yang tidak memiliki sumber penghidupan lainnya. Sebagian mereka diterlantarkan oleh

keluarga mereka sendiri atau mereka memiliki keluarga yang tidak dapat mendukung

mereka lagi secara finansial. Di dalam situasi seperti itu, pelacuran merupakan salah satu

pilihan yang dimiliki oleh para perempuan ini untuk bertahan hidup.40 Namun ada juga

beberapa perempuan di dalam konteks Babilonia yang menjadi qadishtu atau qadiltu,

pelacur kuil. Sebagian dari mereka menampilkan ritual-ritual yang diasosiasikan dengan

perayaan tahunan untuk memperingati kelahiran kembali tanaman-tanaman lokal dengan

cara melakukan hubungan seksual dengan para penguasa dari berbagai wilayah daerah

atau dengan seorang imam.41

Bullough dan Bullough juga menggambarkan stigma yang dilekatkan pada para

pelacur di dunia Timur Dekat kuno. Mereka mengatakan bahwa meskipun keberadaan

seorang pelacur diakui dan diterima di Babilonia namun mereka, terutama yang bukan

merupakan pelacur kuil, dipandang sebagai orang-orang terbuang. Seorang pelacur,

menurut hukum-hukum Asiria, Babilonia, Akadia, dan lain-lainnya diharuskan untuk

berjalan di jalan umum dengan berkepala kosong tanpa kerudung sebagai tanda dari

panggilan hidupnya. Di sinilah pembedaan tersebut dibuat mengingat bahwa seorang

perempuan yang terhormat senantiasa menggunakan cadar dan kerudung sementara

seorang budak perempuan menutup kepalanya meskipun ia tidak bercadar. Implikasi dari

hal ini adalah bahwa perempuan pelacur yang dilarang untuk berkerudung kepala

dianggap lebih rendah statusnya dibandingkan dengan seorang budak.42 Namun,

meskipun para perempuan yang terlibat di dalam pelacuran dianggap lebih rendah

posisinya dibandingkan dengan para istri atau ibu, mereka tidak terikat pada

larangan-larangan yang dikenakan kepada para perempuan lainnya.43

      

40 Bullough and Bullough, Women and Prostitution, 33. 41

(17)

Pelacuran di Indonesia di dalam Keterhubungannya dengan Budaya dan Agama

Setelah menguraikan fenomena pelacuran di dalam konteks Israel kuno dan Timur

Dekat kuno maka adalah penting untuk melihat pula fenomena prostitusi yang terjadi di

Indonesia agar dapat dilakukan perbandingan terhadap kedua konteks tersebut.

Tujuannya adalah agar kita bisa memperoleh pengetahuan yang komprehensif tentang

peranan pelacur dan bagaimana masyarakat melihatnya dari dua konteks kehidupan yang

berbeda baik pada masa kuno maupun masa kini. Kitapun ingin memeriksa apakah ada

kesamaan-kesamaan yang bisa dilihat dari fenomena yang terjadi pada dua periode

tersebut dan melihat signifikansi dari persamaan-persamaan tersebut.

Berbicara tentang fenomena prostitusi di Indonesia sendiri membawa kita pada

adanya kenyataan bahwa krisis moneter (krismon) yang terjadi di negara kita sejak tahun

1997 telah mendatangkan akibat yang luar biasa bagi jutaan masyarakat Indonesia. Bagi

kaum perempuan sendiri, krismon telah membuat mereka kehilangan berbagai pekerjaan

mereka baik itu di pabrik, kantor, toko ataupun di sektor-sektor domestik. Banyak

perempuan yang terpaksa melihat aktivitas prostitusi sebagai cara untuk menghasilkan

uang demi mempertahankan kehidupan mereka. Keberadaan para pekerja seks ini sendiri

tidak serta merta diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat luas. Kebanyakan dari

para perempuan tersebut adalah kaum yang termarginalisasikan bukan saja akibat

kemiskinan mereka melainkan juga akibat ideologi dan pandangan tentang moralitas

yang dikonstruksikan di dalam masyarakat Indonesia. Tidak jarang berbagai bentuk

marginalisasi tersebut menyebabkan para perempuan ini mengalami kekerasan yang

terstruktur yaitu kekerasan yang tidak kita lihat secara langsung karena kita tidak bisa

dengan tegas menentukan pelaku dari kekerasan tersebut.44 Jenis kekerasan ini yang

mengambil bentuk di dalam rupa kesakitan, kelaparan dan kematian sering kali diterima

begitu saja dan tidak ada seorangpun yang dapat dituding sebagai pihak yang

bertanggung jawab terhadap bentuk-bentuk kekerasan itu kecuali sang korban sendiri.45

Di sinilah kemalangan, kesulitan hidup dan ekploitasi yang terjadi pada pelacur ini

       44

(18)

dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diterima karena dipandang sebagai sesuatu

yang sudah seharusnya terjadi.46

Selain kekerasan terstruktur yang dialami oleh para pekerja seks dalam bentuk

kekerasan fisik yang pada akhirnya diterima begitu saja tanpa adanya perlawanan yang

berarti karena sulit dicari pelakunya, kebudayaan, sosial struktur dan juga ideologi juga

turut berperan penting untuk membentuk kekerasan yang terjadi pada kaum pekerja seks

baik di dalam wujud ekspresi maupun represi.47 Di dalam masyarakat Indonesia sendiri

ideologi-ideologi yang berhubungan dengan gender yang ideal yang terbentuk baik

melalui kebudayaan dan agama memiliki kekuatan yang sangat besar di dalam

membentuk pengidealisasian peran perempuan di dalam masyarakat kontemporari

Indonesia. Hal ini ditekankan secara intens terutama pada masa pemerintahan Orde Baru.

Masyarakat Indonesia terutama di dalam konteks Jawa sendiri bersifat hirarki. Di sini

kelas dan gender memainkan peran penting di dalam menentukan status dan posisi

seseorang di dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di

masyarakat Jawa, Brenner menganalisa bahwa hirarki yang didasarkan oleh kelas sangat

nyata di dalam struktur sosial masyarakat Jawa di mana para elit penguasa atau kaum

priyayi memiliki status yang tertinggi. Para laki-laki priyayi dianugerahkan status

tertinggi dan para priyayi perempuan diletakkan pada posisi spiritual, moral dan sosial

yang lebih rendah meskipun kelas sosial mereka sendiri tinggi.48 Lebih lanjut, hirarki

gender juga ada di dalam sistem patriarkal yang melihat perempuan sebagai kelompok

yang lebih lemah dan oleh karena itu mereka harus tunduk dan mengorbankan diri

mereka sendiri dalam rangka memenuhi peran mereka di dalam melayani para suami

mereka.49

Selain permasalahan di atas, seperti halnya bangsa Israel kuno yang membentuk

dan mengkonstruksi ideologi bersama tentang gender maka pemerintahan Indonesiapun

      

46 S. Opotow, “Social Injustice,” in Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century, eds. by D. Christie, R. Wagner & Winter Du Nann (New Jersey: Prentice Hall, 2001), 103.

47 N. Scheper-Hughes & Bourgois, P. I. (2004). “Introduction: Making Sense of Violence,” in Violence in War and Peace, eds. by N. Scheper-Hughes & P. I. Bourgois (Oxford: Blackwell Pub, 2004), 3.

48 S. A. Brenner, “Why women rule the roost: Rethinking Javanese ideologies of gender and self-control,” in Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia, eds. by A. Ong, & M.G. Peletz (Berkeley, CA: University of California Press, 1995), 20.

49 J. Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Indonesia,” in Fantasizing the Feminine in

(19)

membentuk ideologi gender nasional. Ideologi ini berkenaan dengan asumsi-asumsi

tentang gender di mana negara bertindak untuk mempengaruhi pengkonstruksian

terhadap ideologi gender.50 Hal ini terjadi terutama pada masa Orde Baru di mana di

tengah-tengah peningkatan perekonomian negara yang pesat, pemerintah Orde Baru

mempromosikan peran-peran gender yang khusus yang bertujuan mendukung proses

pembangunan nasional dan menstabilisasikan bangsa dengan cara menghasilkan

generasi-generasi bangsa yang “normal.” Di sini tingkat kenormalan dapat tercapai

dengan cara mempromosikan arti pentingnya keluarga inti, menekankan pada peran para

perempuan sebagai ibu dan sebagai yang tunduk kepada suami, dan menanamkan

kepercayaan bahwa seksulitas perempuan yang dijaga secara ketat dan dilindungi

merupakan bentuk yang ideal dari norma sosial yang ada.51 Di sinilah peran seorang anak

perempuan yang belum menikah ditentukan melalui harapan-harapan sosial di dalam

masyarakat bahwa seorang anak perempuan harus menjalankan tugas dan tanggung

jawabnya dengan baik melalui tindakan penyokongan kehidupan perekonomian

keluarganya sampai ia menikah nanti.52 Hal ini diimplementasikan ke dalam kesadaran

seluruh masyarakat Indonesia baik melalui pendidikan di sekolah, organisasi-organisasi

pemerintahan, media-media yang dikontrol oleh pemerintah, dan organisasi-organisasi

keagamaan.53 Di dalam Gerakan Kesejahteraan Keluarga dan Program Keluarga

Berencana tercantum lima peranan dan kewajiban para perempuan Indonesia yaitu: 1)

sebagai istri dan pendamping yang setia dari suaminya; 2) maneger rumah tangga; 3)

penghasil generasi masa depan bangsa; 4) ibu dan pendidik anak-anaknya; dan 5) warga

negara.54 Di sinilah Julia Suryakusuma menciptakan istilah “Ibuisme” untuk menyebut

ideologi gender yang terbentuk pada masa Orde Baru. Istilah ini merujuk pada fungsi

seorang perempuan sebagai pendidik anak-anaknya, pemelihara rumah tangga dan

dengan demikian mengabaikan perannya sebagai seorang manusia utuh yang juga

      

50 S. Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia (New York: Cambridge University Press, 2004), 9.

51

E. Blackwood, “Regulation of sexuality in Indonesian discourse: Normative

Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control Culture,” Health & Sexuality 9(3) 2007, 293-307. 52

L. Lim, “Introduction,” in The Sex Sector: The Economic and Social Bases of Prostitution in Southeast Asia, ed. by L. Lim (Genva: International Labour Office, 1998), 1-26.

53 Blackwood, “Regulation of Sexuality in Indonesian Discourse.” 

54 L. R. Bennett, Women, Islam and Modernity: Single Women, Sexuality and Reproductive Health in

(20)

memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.55 Namun penekanan pada peran para

perempuan di ranah domestik ini terkadang tidak berlaku pada kalangan menengah ke

bawah di mana para perempuan harus keluar dari ranah domestik ke ranah publik untuk

mencari pendapatan atau nafkah bagi keluarganya.56

Pengimplementasian ideologi gender seperti ini telah mengakar kuat di dalam diri

masyarakat Indonesia termasuk di dalam diri para perempuan sendiri meskipun sistem

pemerintahan Orde Baru telah runtuh diganti dengan era Reformasi seiring dengan

terjadinya krismon. Kebanyakan anak perempuan terutama di kota-kota kecil telah

diajarkan sejak dini tentang kewajiban mereka untuk menjadi “perempuan baik-baik”

yang ditandai oleh sikap tunduk kepada otoritas ayah, saudara laki-laki atau suami jika

telah menikah nanti. Lebih lanjut seorang perempuan harus dengan sukarela

mengorbankan dirinya untuk kepentingan anggota keluarga yang lain. Ia harus

mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya

dengan cara pandai mengurus rumah tangga, pintar memasak, dan berdandan agar

senantiasa memperoleh kasih sayang dan perhatian suaminya. Hal-hal seperti ini ditekan

dengan ketat sehingga anak-anak perempuan yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan

ideologi gender ini akan diberi label sebagai “bukan perempuan baik-baik.” Di sinilah

keberadaan seorang pekerja seks di Indonesia dianggap sebagai yang melawan kondrat

ideal dari seorang perempuan karena ia sering keluar pada malam hari, melakukan

hubungan seksual dengan laki-laki yang berbeda, tidak mendedikasikan sepenuh

waktunya untuk mengabdi sebagai istri dari satu laki-laki dan tidak mengabdikan diri

untuk mendidik anak-anak secara sistematis di rumah. Seorang pekerja seks dengan

demikian bukanlah seorang perempuan yang ideal dan oleh karena itu dipandang sebelah

mata dengan penuh curiga dan dikucilkan keberadaannya karena dianggap sebagai

ancaman bagi kelangsungan suatu komunitas.

Selain ideologi gender yang kuat tersebut, kita tidak bisa pula mengabaikan peran

dari agama yang turut serta pula menyumbang pada pendiskriminasian terhadap seorang

perempuan pekerja seks. Melalui pemaparan panjang lebar tentang bagaimana Alkitab

Ibrani mencatat hasil pengkonstruksian peranan ideal seorang perempuan Israel maka kita

       55

Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Indonesia,” 101; Bennett, Women, Islam and Modernity.

(21)

dengan jelas dapat melihat adanya kesamaan berpikir di antara masyarakat Israel kuno

dengan masyarakat Indonesia di konteks kekinian. Hal ini bukanlah menjadi hal yang

sangat mengejutkan mengingat bahwa kedua masyarakat ini bersifat patriarkal dan

memiliki sistem kehidupan agrikultur sehingga jelas memegang nilai-nilai sosial dan

norma-norma yang mirip. Seperti yang telah saya ungkapkan pada pembahasan

sebelumnya, Kekristenan yang mendasarkan ajarannya pada Alkitab Ibrani dan juga

Perjanjian Baru sangat mengagungkan keperawanan, sistem pernikahan dengan lawan

jenis dan fungsi perempuan sebagai seorang ibu. Hal-hal itulah yang mendefinisikan

seksualitas seorang perempuan. Pengertian kudus dan tercemar digunakan untuk

menekankan pentingnya menjaga keperawanan seorang perempuan dan dengan demikian

mengutuk tindakan seksualitas yang dilakukan sebelum pernikahan. Hukuman bagi

perempuan yang berani melanggar batasan-batasan sosial yang telah ditetapkan secara

keagamaan ini sangatlah besar. Ia tidak hanya menerima hukuman fisik namun pula

sanksi sosial dan stigma yang akan terus melekat pada dirinya di sepanjang

kehidupannya.

Penutupan Gang Dolly: Sebuah Solusi atau Bencana?

Pembahasan di atas menghantarkan kita kembali pada apa yang telah kita bahas di

awal tulisan ini. Melalui penjelasan tentang ideologi gender baik yang ada di Israel kuno

maupun yang ada di Indonesia maka tidaklah mengherankan jika keberadaan lokalisasi

seperti Gang Dolly di Surabaya beserta dengan para pekerja seksnya yang saya

ungkapkan di awal tulisan ini dipandang sebagai sumber kejahatan yang bukan saja

membawa para laki-laki untuk jatuh ke dalam dosa melainkan juga membahayakan

moralitas generasi muda. Demikian, keberadaan lokalisasi dianggap sebagai yang

mengotori atau mencemari tanah beserta dengan orang-orang yang tinggal di atasnya

yang seyogyanya berada dalam keadaan kudus dan harmonis. Jika sudah demikian, maka

hal penting yang dilupakan adalah tentang alasan para perempuan itu sendiri untuk

terlibat di dalam prostitusi. Memang tidak dipungkiri bahwa ada para perempuan yang

berasal dari kelas ekonomi yang tergolong mampu yang memilih untuk melakukan

(22)

yang melakukan aktivitas ini berasal dari keluarga yang tidak mampu sehingga prostitusi

dilihat sebagai upaya untuk menyediakan dukungan finansial bagi anak-anak dan

keluarga mereka yang tinggal di desa. Dengan kata lain, di tengah keterbatasan para

perempuan ini, prostitusi merupakan alat perlawanan atau resistensi yang digunakan oleh

para perempuan untuk mengatasi tantangan kehidupan mereka. Mereka dengan demikian

adalah agen pembaharu yang memberdayakan diri mereka sendiri untuk hidup sebagai

manusia-manusia yang mandiri meskipun cara yang mereka tempuh untuk sampai pada

tahap tersebut tidaklah ideal bahkan dipandang hina oleh masyarakat umum.

Di sinilah pembahasan tentang fenomena prostitusi di dalam konteks masyarakat

Israel kuno kiranya mampu membawa kita untuk memikirkan secara serius tentang

penutupan Gang Dolly dan dampaknya bagi para pekerja seks yang mengalami

pendiskriminasian dan pemarginalisasian. Dengan kata lain, fokus utama harus diarahkan

pada pemikiran tentang nasib dari para perempuan pekerja seks paska penutupan. Apakah

pemberian kompensasi saja sudah cukup untuk mereka? Berapa lamakah uang-uang

tersebut dapat bertahan untuk memberi makan anak-anak mereka dan mendukung

kebutuhan hidup mereka sehari-hari? Apakah dengan menjanjikan lapangan kerja bagi

masyarakat di sekitar lokalisasi dan bukan pada para pekerja seks itu sendiri merupakan

solusi yang tepat bagi para perempuan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi pekerjaan rumah bersama bagi masyarakat

Indonesia. Namun melalui pembahasan panjang lebar tentang pengkonstruksian ideologi

gender dan pengaruhnya terhadap para perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks di

konteks Israel kuno maka ada beberapa catatan yang dapat kita pelajari dari pembahasan

tersebut yang sekiranya mampu menolong kita memahami persoalan-persoalan yang

timbul berkenaan dengan keberadaan para pekerja seks ini. Pertama, ketika kegiatan

prostitusi dipahami sebagai upaya para pekerja seks untuk melawan kemiskinan yang

mereka hadapi di dalam kehidupan mereka maka hal tersebut berarti bahwa apa yang

mereka sementara lakukan harus dikategorikan sebagai sebuah bentuk pekerjaan yang

memberikan dampak bagi peningkatan kehidupan ekonomi berbagai pihak yang terlibat

di dalam bisnis tersebut. Di sinilah ketika bisnis ini ditutup maka banyak orang terutama

para pekerja seks sendiri yang kehilangan sumber penghasilan hidup. Oleh karena ini

(23)

Dolly maka perlu adanya upaya untuk terus berdialog di antara pemerintah Surabaya

dengan berbagai pihak yang terkait baik itu para pekerja seks sendiri, para mucikari dan

juga masyarakat sekitar guna mencapai solusi yang baik bagi semua pihak. Karena jika

tidak maka apa yang dilakukan oleh pemerintah Surabaya, tidak peduli segencar apapun,

hanya akan mengatasi permasalahan di permukaan saja dan bukan pada akarnya. Di sini

tanpa diberikan bekal ketrampilan yang cukup untuk mencari pekerjaan di tempat lain

maka begitu uang kompensasi telah habis, para perempuan ini akan kembali melakukan

apa yang mereka tahu dengan baik yaitu menjajakan tubuh mereka lagi demi

mendapatkan uang untuk menopang kehidupan mereka. Bukankah ini yang menyebabkan

prostitusi dianggap sebagai profesi tertua di dunia? Ia akan tetap ada dan terus dipilih

sebagai profesi “ideal” ketika kemiskinan masih mencengkeram tubuh bangsa ini

sementara ketrampilan atau skill tidak dimiliki untuk membayangkan atau bahkan

memiliki opsi yang berbeda.

Kedua, perlu disadari tentang akibat pengimplementasian ideologi gender

terhadap para pekerja seks. Di sini anggapan bahwa mereka yang terlibat sebagai pekerja

seks pasti adalah “perempuan tidak baik” harus dievaluasi secara kritis mengingat bahwa

tidak semua perempuan yang memilih untuk menjadi pekerja seks adalah perempuan

yang sebelumnya suka berganti-ganti pasangan dan memiliki hawa nafsu seksual yang

besar. Seperti yang telah saya katakan bahwa kebanyakan mereka adalah “perempuan

baik-baik” yang terpaksa melibatkan diri di dalam bisnis ini karena alasan sosial dan

ekonomi sehingga adalah tidak adil jika kepada mereka diberikan stigma yang

mendiskriminasikan mereka. Di samping itu, ideologi yang dibuat baik di Israel kuno

maupun di Indonesia adalah ideologi yang bertujuan untuk mengembalikan perempuan

untuk tetap tinggal di ranah domestik agar dapat memelihara kelangsungan rumah tangga

dengan cara memastikan tetap adanya keturunan yang akan memelihara kelangsungan

identitas rumah tangga tersebut. Lebih lanjut, pendomestikasian perempuan juga

bertujuan untuk mengontrol ruang gerak dan seksualitas para perempuan. Di sinilah perlu

disadari bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pekerja seks untuk keluar dari ranah

domestik menuju ke ranah publik dan berpartisipasi di dalam tindakan yang biasanya

dilakukan hanya oleh kaum laki-laki yaitu mencari nafkah untuk melanjutkan

(24)

berani; sehingga ketika Gang Dolly ditutup maka itu berarti bahwa mereka dipaksa untuk

melepaskan pekerjaan mereka dan dengan demikian harus kembali lagi kepada ranah

domestik yang memasung kemerdekaan seorang perempuan untuk mengaktualisasikan

dirinya sendiri. Untuk itu maka penting untuk dicari jalan keluar agar para perempuan

pekerja seks ini tetap mempertahankan peran mereka di ranah publik terutama ketika

keterlibatan mereka itu sangat penting demi mempertahankan kelangsungan kehidupan

keluarga mereka.

Demikianlah dalam rangka menunjukkan kepedulian dan solidaritas kepada para

pekerja seks pada masa kini di konteks keindonesiaan kita, maka sudah saatnya kita tidak

menganggap para perempuan tersebut sebagai bagian yang terpisah dari kita, sebagai

orang luar atau warga kelas dua yang keberadaannya mencemari keutuhan tubuh rumah

tangga maupun bangsa secara keseluruhan. Sudah saatnya kita memasukkan mereka

kembali sebagai bagian dari bêt ’ãb atau keluarga kita sendiri yang perlu diperhatikan

kesejahteraannya; karena ketika ada anggota keluarga kita yang terpaksa melakukan

pekerjaan di ranah publik yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan kebudayaan

yang berlaku maka sebagai bagian dari anggota keluarga mereka kita mesti menyadari

bahwa adalah kewajiban kita untuk memahami alasan mereka bertindak seperti itu. Sudah

saatnya kita mengerti pergumulan mereka ini dan melawan stigma yang diberikan kepada

mereka sehingga ketika mereka pada akhirnya berani untuk melakukan pekerjaan yang

berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya maka stigma ini tidak terus

melekat di dalam diri mereka dan menjadi penghalang bagi mereka untuk meraih

kesuksesan di dalam hidup. Sudah saatnya pula kita memberikan kepada mereka

kepercayaan bahwa mereka bisa mencapai potensi diri yang setinggi-tingginya dan

memberikan kesempatan bagi mereka untuk memberdayakan diri sendiri guna

mewujudkan impian mereka. Di sinilah penutupan Gang Dolly dapat menjadi solusi yang

baik bagi para pekerja seks di Surabaya jika ditangani dengan baik dan serius oleh

pemerintah yang bersangkutan; namun hal ini dapat berubah menjadi bencana ketika

hasrat penutupan itu hanya berangkat dari keinginan untuk mempertahankan ideologi

(25)

Daftar Pustaka:

Anderson, Nesta. “Finding the Space Between Spatial Boundaries and Social Dynamics: The Archaeology of Nested Households.” In Household Chores and Household Choices: Theorizing the Domestic Sphere in Historical Archaeology.Edited by Kerri S. Barile and Jamie C. Brandon. Tuscaloosa, AL: University of Alabama Press, 2004.

Bellis, Alice Ogden. Helpmates, Harlots, and Heroes: Women’s Stories in the Hebrew Bible. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2007.

Bennett, L. R. Women, Islam and Modernity: Single Women, Sexuality and Reproductive Health in Contemporary Indonesia. New York: Routledge Curzon, 2005.

Berquist, Jon L. Controlling Corporeality: The Body and the Household in Ancient Israel. New Brunswick, New Jersey, and London: Rutgers University Press, 2002.

Bindman, Jo. “Redefining Prostitution as Sex Work on the International Agenda.”

Network of Sex Work Projects (NSWP), 1997.

Bird, Phyllis A. Missing Persons and Mistaken Identities: Women and Gender in Ancient Israel. Minneapolis, MN: Fortress Press, 1997.

__________. “Prostitution in the Social World and Religious Rhetoric of Ancient Israel.” In Prostitutes and Courtesans in the Ancient World. Edited by Christopher A. Faraone & Laura K. McClure. Wisconsin, WI: The University of Wisconsin Press, 2006.

Blackburn, S. Women and the State in Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press, 2004.

Blackwood, E. “Regulation of sexuality in Indonesian discourse: Normative

Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control Culture.” Health & Sexuality 9(3) 2007, 293-307.

Brenner, S. A. “Why women rule the roost: Rethinking Javanese ideologies of gender and self-control.” In Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. Edited by A. Ong, & M.G. Peletz. Berkeley, CA: University of California Press, 1995.

Bullough. Vern and Bonnie Bullough. Women and Prostitution: A Social History. Buffalo, NY: Prometheus Books, 1987.

(26)

James E. Elias, Vern L. Bullough, Veronica Elias, and Gwen Brewer. Amherst, NY: Prometheus Books, 1998.

Davies, Margaret. “On Prostitution.” In The Bible in Human Society: Essays in Honour of John Rogerson. Edited by M. Daniel Carroll R., David J. A. Clines, and Philip R. Davies. Sheffield, UK: Sheffield Academic Press, 1995.

Ditmore, Melissa Hope (ed). Encyclopedia of Prostitution and Sex Work, Volumes 1 & 2.

Westport, Connecticut and London: Greenwood Press, 2006.

Edlund, Lena and Evelyn Korn. “A Theory of Prostitution.” In Journal of Political Economy,Vol. 110, No. 1.

Erlandsson, Seth. “הנז zãnãh.” In Theological Dictionary of the Old Testament,Vol. IV.

Edited by G. Johannes Botterweck and Helmer Ringgren. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1980.

Farmer, P. Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor.

Los Angeles: University of California Press, 2003.

__________ “An anthropology of structural Violence.” Current Anthropology 45 (2004), 305-325.

King, Phillip J. and Lawrence E. Stager. Life in Biblical Israel. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2001.

Lemche, Neils. P. Early Israel: Anthropological and Historical Studies on the Israelite Society Before the Monarchy. Leiden: E.J. Brill, 1985.

Lim, L. “Introduction.” In The Sex Sector: The Economic and Social Bases of

Prostitution in Southeast Asia. Edited by L. Lim. Genva: International Labour Office, 1998.

Meyers, Carol. “Material Remains and Social Relations: Women’s Culture in Agrarian Households of the Iron Age.” In Symbiosis, Symbolism, and the Power of the Past: Canaan, Ancient Israel, and Their Neighbors from the Late Bronze Age through Roman Palestine. Edited by W. G. Dever and S. Gitin. Winona Lake, IN: Eisenbrauns, 2003.

Opotow, S. “Social Injustice.” In Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Edited by D. Christie, R. Wagner & Winter Du Nann. New Jersey: Prentice Hall, 2001.

(27)

Scheper-Hughes, N. & Bourgois, P. I. “Introduction: Making Sense of Violence.” In Violence in War and Peace. Edited by N. Scheper-Hughes & P. I. Bourgois. Oxford: Blackwell Pub, 2004.

Suryakusuma, J. “The State and Sexuality in New Order Indonesia.” In Fantasizing the Feminine in Indonesia. Edited by L. Sears. London: Duke University Press, 1996.

Weinfeld, Moshe. The Promise of the Land: The Inheritance of the Land of Canaan by the Israelites. Berkeley: University of California, 1993.

Sumber Online:

Merdeka.com. “Inilah alasan Risma Mati-matian Tutup Lokalisasi Gang Dolly.” Rabu, 25 Mei 2014, http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-risma-tutup-lokalisasi-gang-dolly-mati-matian.html. [Diunduh: 27 September 2014].

Simomot.com. “Sejarah Lokalisasi Gang Dolly Terkubur Sampai di Sini?” Rabu, 18 Juni 2014. http://simomot.com/2014/06/18/sejarah-lokalisasi-gang-dolly-terkubur-sampai-di-sini/. [Diunduh: 27 September 2014].

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Daerah proyek yang keadaan lapanganya atau pada tempat – tempat lokasi bangunan yang masih berupa hutan, maka sebelum pelaksanaan pekerjaan dimulai, agar terlebih

Sesungguhnya Allooh akan selalu menerangi hati kita, jasat kita, dalam keadaan Sesungguhnya Allooh akan selalu menerangi hati kita, jasat kita, dalam keadaan   bertaqwa, mendapat

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala tuntutan dan penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

Serangkaian percobaan pelindian dilakukan dengan variasi konsentrasi asam sulfat, distribusi ukuran partikel bijih, suhu dan rasio berat bijih/ volume larutan pelindi dan

Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) Perset………... Surat Angkutan Kayu Olahan

Variabel terdiri atas perlakuan A berupa jenis vaksin, yaitu A1 = Vaksin polivalen, A2 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium potassium sulfat, A3 =

Fasilitas advanced training di manfaatkan untuk proses pembelajaran dengan tahapan adanya:.. Sertifikasi dengan pengakuan

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan