• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENGASUHAN ANAK KELUARGA TKI : STUDI FENOMONOLOGI DI DESA PANDEMAN KECAMATAN ARJASA KABUPATEN SUMENEP JAWA TIMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA PENGASUHAN ANAK KELUARGA TKI : STUDI FENOMONOLOGI DI DESA PANDEMAN KECAMATAN ARJASA KABUPATEN SUMENEP JAWA TIMUR."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola pengasuhan anak keluarga TKI yang berlangsung di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten

Sumenep Jawa Timur.. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu dengan

berusaha memperoleh informasi yang selengkap mungkin mengenai pola pengasuhan pada anak keluarga TKI di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Informasi yang digali melalui wawancara mendalam terhadap informan yang terdiri dari staf Desa Pandeman dan para pengasuh anak

keluarga TKI sebagai pengganti orang tua dan teknik triangulasi sebagai validasi

data.

Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama di lapangan, yaitu tiga orang pengasuh anak keluarga TKI yang berinisial SM, KH dan MN. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa informan pendukung (significant other) serta penggunaan dokumen. Informan pendukung (significant other) yang digunakan dalam proses wawancara, dipilih berdasarkan kedekatan personal dan kepahaman informan pendukung tersebut atas subyek.

Penelitian ini menemukan bahwa pengasuhan anak keluarga TKI yang terdapat di desa Pandeman, kecamatan Arjasa, kabupaten Sumenep Jawa Timur ini berlangsung sangat baik. Hal ini dapat dengan adanya pemenuhan fasilitas belajar dan kebutuhan hidup sehari-hari yang menjadi kebutuhan anak-anak asuh, para orang tua asuh juga sangat memperhatikannya. Hal ini ditunjukkan oleh sikap anak-anak asuh yang hampir tidak pernah mengeluh jika mereka sedang menginginkan sesuatu yang dapat menunjang prestasi belajar mereka. Dengan kata lain, hampir semua kebutuhan anak-anak asuh itu telah dipenuhi para orang tua asuh mereka, sehingga ekspresi anak-anak pun memperlihatkan kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari.

(7)

ABSTRACT

This study aims to determine the pattern of family child care workers who take place in the village Pandeman Arjasa District of Sumenep Regency East Java .. This research is qualitative, ie by trying to obtain information as possible about the child's upbringing in a family of migrant workers Pandeman Village District Subdistrict Arjasa Sumenep, East Java. The information collected through depth interviews with informants consisting of Pandeman Village staff and nannies family TKI as a substitute parent and triangulation techniques as data validation.

The primary data source is data obtained from the first source in the field, namely three nannies family workers who initials SM, KH and MN. While secondary data obtained from several informants supporters (significant other) as well as the use of the document. Informants support (significant other) are used in the interview process, selected based on personal ties and supporting the kepahaman informant on the subject.

This study found that family child care workers who are in the village Pandeman, Arjasa sub-district, East Java Sumenep regency is going very well. This is proven by the fulfillment of learning facilities and the needs of everyday life the needs of foster children, foster parents are also very notice. This is shown by the attitude of foster children who hardly ever complain if they're wanting something that can support their learning achievement. In other words, almost all the needs of foster children had met their foster parents, so the children's expression was demonstrated joy and happiness every day.

(8)

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian... 10

B. Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ... 29

C. Pola Pengasuhan pada Anak Keluarga TKI... 38

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

B. Lokasi Penelitian... 43

C. Sumber Data ... 43

D. Cara Pengumpulan Data ... 44

1. Teknik Observasi ... 44

2. Teknik Wawancara (Interview) ... 45

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data... 45

1. Organisasi Data... 46

2. Koding ... 46

3. Analisis Data... 49

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Deskripsi Subyek ... 52

1. Subyek Penelitian ... 52

2. Kelompok Informan Pendukung... 59

B. Hasil Penelitian ... 61

1. Deskripsi Hasil Temuan... 61

2. Analisis Temuan Penelitian ... 85

C. Pembahasan ... 111

BAB V PENUTUP... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Panduan Observasi ... 124

Lampiran 2 Panduan wawancara orang tua asuh ... 126

Lampiran 3 Panduan Wawancara Kepala Desa ... 128

Lampiran 4 Panduan Wawancara Guru ... 129

Lampiran 5 Panduan Wawancara Keluarga dan Tetangga ... 130

Lampiran 6 Panduan Observasi ... 131

Lampiran 7 Catatan Hasil Observasi ... 132

Lampiran 8 Pedoman Wawancara Informan Subyek ... 133

Lampiran 9 Pedoman Wawancara Informan Pendukung ... 135

Lampiran 10 Hasil Wawancara Subyek Penelitian... 139

Lampiran 11 Hasil Wawancara Informan Pendukung……….... 150

Lampiran 12 Verbatim Wawancara Subyek Penelitian……… 164

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Perkawinan adalah ikatan antara pria dan wanita di bawah satu atap

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat biologis,

khusus, psikologis, sosial, ekonomi, maupun budaya bagi masing-masing,

bagi keduanya secara bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka

hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Perkawinan secara hukum

baru dapat dilaksanakan apabila memenuhi persyaratan tertentu. Hukum itu

sendiri bertujuan untuk membina keluarga yang sehat dan kuat (‘Abduh,1995:

46). Dengan kata lain, perkawinan adalah akad yang disepakati oleh seorang

pria dan seorang wanita untuk sama-sama mengikat diri, untuk hidup bersama

dan saling mengasihi demi kebaikan pasangan dan anak-anak mereka, sesuai

dengan batas-batas yang ditentukan oleh hukum.

Dengan menikah maka akan tercipta komunitas kecil yang terdiri dari

ayah, ibu dan beberapa anak. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban,

sehingga satu sama lain saling membantu dan melengkapi (Thalib, 2002: 17).

Komunitas kecil inilah yang kemudian dinamakan keluarga. Dalam keluarga,

baik suami maupun istri sama-sama memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat tempat

(12)

2

terbentuk karena ikatan perkawinan antara sepasang suami-istri untuk hidup

bersama, seiya sekata, seiring, dan setujuan, dalam membina mahligai rumah

tangga untuk mencapai keluarga sakinah dalam lindungan dan ridho Allah SWT.

Di dalamnya selain ada ayah dan ibu, juga ada anak yang menjadi tanggung

jawab orang tua (Djamarah, 2004: 28).

Pengertian keluarga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga

adalah: 1) ibu bapak dengan anak-anaknya; seisi rumah; 2) orang seisi rumah

yang menjadi tanggungan; 3) sanak saudara; kaum kerabat; 4) satuan kekerabatan

yang sangat mendasar dalam masyarakat. Berdasarkan hubungan darah, keluarga

adalah satu kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang

lainnya. Berdasarkan hubungan sosial, keluarga adalah satu kesatuan yang diikat

oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara

satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan

darah (Shochib, 1998: 7).

Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama, tempat peserta didik

pertama kali menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau

anggota keluarga lain (Zuhairini, 1992: 177). Pendidikan merupakan segala

usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin

perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Sebagai lembaga

pendidikan, maka pendidikan yang berlangsung dalam keluarga bersifat kodrati

karena adanya hubungan darah antara orang tua dan anak (Djamarah, 2004: 2).

Keluargalah yang meletakkan dasar-dasar kepribadian anak, karena pada

masa ini anak lebih peka terhadap pengaruh pendidik (orang tuanya). Orang tua

(13)

3

anaknya dan memberikan sikap serta keterampilan yang memadai. Selain itu,

tugas utama dalam keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar

pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.

Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk

pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan

keluarga. Oleh karena itu peran, sikap dan perilaku orang tua dalam proses

pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan dan

perkembangan kepribadian anak. Perkembangan kepribadian anak dapat dilihat

antara lain dari kemandirian dan perilaku sosial anak di dalam kehidupan

sehari-hari.

Di dalam keluarga, orang tualah yang berperan utama dalam mengasuh,

membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri dan

berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting dalam

proses perkembangan fisik, mental dan psikososial, dan sering dikatakan sebagai

masa labil dan masih mencari identitas, maka peran orang tua sangat krusial.

Pola pengasuhan anak di dalam suatu keluarga yang ideal adalah

dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling

bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka

menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal.

Namun dalam kenyataannya kondisi ideal tersebut tidak selamanya dapat

dipertahankan atau diwujudkan antar satu sama lain. Karena hal ini terkait

(14)

4

Pola asuh dapat mempengaruhi kepribadian anak. Kepribadian anak

terbentuk melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah

maupun di lingkungan luar rumah. Oleh karena itu, orang tua perlu

mempertimbangkan pola asuh atau gaya asuh manakah yang akan diterapkan

pada anak, sehingga tujuan untuk membantu perkembangan anak akan

tercapai. Sebagai orang tua tentunya ayah dan ibu harus memiliki aturan yang

sama dalam mengasuh. Dari beberapa gambaran beberapa tipe atau pola asuh,

memang tidak semua tipe dapat diterapkan untuk semua anak. Secara umum

pola demokratis dianggap menghasilkan anak-anak yang patuh dan taat,

sedangkan pola permisif dikritik sebagai bukan bentuk disiplin (Suryadi,

2007: 81).

Upaya orang tua untuk memantapkan kepribadian anak tampaknya bukan

suatu hal yang mudah. Orang tua perlu menetapkan suatu pola dan perlu adanya

kekompakan antara ayah dan ibu. Selain itu, kepribadian anak dipengaruhi juga

oleh faktor lingkungan, baik teman sebaya, lingkungan masyarakat maupun

media masssa seperti tayangan televisi dan internet. Dilema muncul apabila

orang tua sudah menanamkan pola asuh dan nilai-nilai yang baik pada anak,

tapi karena adanya pengaruh lingkungan, maka tidak mustahil anak menjadi

berkepribadian tidak baik. Oleh karena itu, komunikasi, pengawasan dan

pendampingan harus dilakukan orang tua agar anak mampu memilih dan

memilah sikap serta perbuatan yang harus dicontoh dan tidak patut dicontoh.

Pemeliharaan dan pengasuhan anak adalah masalah yang menyangkut

perlindungan kesejahteraan anak itu sendiri dalam upaya meningkatkan kualitas

(15)

5

tidak adil untuk mewujudkan anak sebagai manusia seutuhnya, tangguh, cerdas

dan berbudi luhur, maka tempat bernaung bagi seorang anak adalah orang tua.

Karena orang tua tempat pendidikan utama dan pertama bagi anak-anak

mereka. Dengan demikian bentuk pertama pendidikan terdapat dalam keluarga

yakni para orang tua (Daradjat, 1996: 35).

Anak pada dasarnya lemah dalam merenungkan dirinya dan segala

kebutuhan baik yang berkenaan dalam jiwa maupun harta, maka tidaklah

heran apabila beban pemeliharaan dan pengasuhan anak berada di punggung

orang tua yang mempunyai belas kasihan dan kepedulian kepada anak. Secara

fitrah, yang mempunyai belas kasihan dan peduli kepada anak adalah orang

tua baik mereka masih terkait dalam suatu keluarga utuh atau bercerai berai.

Anak adalah perwujudan cinta kasih orang dewasa yang siap atau tidak

untuk menjadi orang tua. Memiliki anak siap atau tidak, mengubah banyak hal

dalam kehidupan kita, dan pada akhirnya mau atau tidak kita dituntut untuk

siap menjadi orang tua yang harus dapat mempersiapkan anak-anak kita agar

dapat menjalankan kehidupan pada masa depan mereka dengan baik (Anwar

dan Arsyad, 2009: 17).

Fenomena yang saat ini semakin merambah dan nyaris membudaya

yaitu pekerjaan ibu diserahkan kepada orang lain. Misalnya pengasuhan anak

tidak dilakukan oleh ibu kandungnya. Padahal fungsi dan keutamaan bekerja

di rumah bagi seorang ibu berdampak pada anak dan suaminya. Hubungan

mereka bertambah dekat sebab semua terkonsentrasi pada keluarga. Semua

jadi rindu pulang ke rumah. Kenyataan ini akan menjadi teladan jika anak

(16)

6

Bekerja di luar rumah terutama pergi ke luar negeri tentu saja berpengaruh

terhadap proses kelangsungan kehidupan rumah tangga. Karena dengan kegiatan

yang mereka lakukan di luar rumah, berarti mereka telah meninggalkan waktu di

dalam keluarga untuk bekerja. Relasi sosial dengan suami dan anggota keluarga

lainnya pun berubah. Tidak jarang juga menimbulkan kesalahpahaman dengan

suami dan keluarga. Termasuk dalam masalah pengasuhan anak.

Permasalahan anak bukanlah permasalahan yang mudah, dalam

prakteknya banyak keluarga TKI yang anaknya tinggal bersama nenek saudara

atau tetangga. Hal ini yang mengakibatkan anak kurang perhatian dan kasih

sayang sehingga mereka menjadi nakal dan susah diatur. Berdasarkan survei

yang dilakukan peneliti dengan melakukan wawancara bersama bapak Abdul

Jalil selaku Kepala Desa Pandeman, mengatakan bahwa di Desa Pandeman

merupakan sebuah desa dengan populasi Tenaga Kerja Indonesia yang relatif

besar dibandingkan desa-desa lain yang berada di wilayah Kecamatan Arjasa.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga negara

Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap

warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri

dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah

yang selanjutnya disebut dengan TKI.

Tujuan utama orang pergi ke luar negeri dan bekerja di sana tidak lain

dan tidak bukan adalah demi untuk memperoleh penghasilan yang besar.

(17)

7

segala kebutuhan hidupnya. Begitupun dengan adanya iming-iming untuk

memperoleh penghasilan yang besar, kemudian memicu banyak orang untuk

berbondong-bondong pergi bekerja keluar negeri, demi mengejar impiannya,

merengkuh hidup enak dan berkecukupan.

Faktor kemiskinan menjadi alasan bagi kebanyakan masyarakat Desa

Pandeman untuk menjadi TKI. Terlebih lagi para suami maupun istri sudah

tidak bisa berbuat banyak ketika keluarga mereka terus mendesak agar bekerja

menjadi TKI. Selain faktor penghasilan yang besar, faktor lain yang memicu

orang untuk pergi berbondong-bondong dan bekerja ke luar negeri karena

sulitnya mencari dan memperoleh pekerjaan yang layak di negeri sendiri.

Berbagai lapangan pekerjaan yang ada di negeri ini rasanya seperti telah

dijejali oleh ribuan atau bahkan jutaan orang, sehingga hal tersebut seperti

sudah tidak lagi memberi kesempatan bagi generasi berikutnya.

Ketika ada salah satu atau beberapa lapangan pekerjaan dibuka, maka

dengan segera orang berlomba-lomba memasukan surat lamaran pekerjaan,

bersaing merebutkan pekerjaan tanpa peduli apakah pekerjaan itu sesuai dengan

keahliannya atau tidak. Hal ini karena letak Desa Pandeman terpencil yang

merupakan wilayah kepulauan yang terpisah dari pulau Madura. Kehidupan

sehari-hari warga Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep

sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Aktivitas sehari-harinya

digunakan untuk pergi ke laut. Pekerjaan sebagai nelayan ini dirasa kurang

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat.

Anak-anak yang setiap hari mendapatkan perhatian dari seorang ibu,

(18)

8

sedikit dari anak-anak yang kedua orang tuanya menjadi TKI, pengasuhan

mereka harus beralih kepada nenek, paman dan bibi maupun tetangga dekat.

Kedekatan orang tua bermanfaat besar bagi anak, di antaranya menumbuhkan

rasa percaya diri. Kedekatan orang tua pada anak juga akan memberikan rasa

nyaman pada diri anak sehingga anak merasa menjadi individu yang selalu

diperhatikan orang tuanya. Perhatian dan kasih sayang orang tua yang stabil,

menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain.

Mayoritas anak di kalangan keluarga Tenaga Kerja Indonesia di Desa

Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur dalam

kesehariannya kurang sopan dan juga bisa dikatakan nakal, mabuk-mabukan,

merokok pada usia dini, dan bahkan ada yang hamil di luar nikah. Dengan

rendahnya moral yang mereka miliki, maka semua tindakan yang mereka

lakukan hanya akan dianggap baik dan benar bagi mereka. Kebanyakan dari

apa yang mereka lakukan cerminan dari bagaimana keluarga (kedua orang tua)

menanamkan nilai dan norma kepada anak-anaknya (Monografi Kecamatan

Arjasa dalam Angka 2015).

Dalam masa perubahan sosial masyarakat, di mana sang anak dibesarkan,

tentu memiliki perbedaan dengan situasi di mana orang tua dibesarkan. Orang

tua sering menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai patokan dan

petunjuk. Tetapi banyak di antaranya yang sudah tidak sesuai, dan

standar-standarnya sudah tidak berlaku lagi. Jika pun keadaan tidak berubah, kedua

kelompok orang tua itu, anak-anak dan orang tua berada pada titik berbeda

antar kehidupan mereka, dan akan berbeda pandang mengenai banyak

(19)

9

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pola pengasuhan pada anak

keluarga TKI yang berlangsung di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten

Sumenep Jawa Timur dapat dikatakan beragam. Hal ini disebabkan oleh latar

pendidikan rata-rata masyarakat yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemahaman

terhadap pola asuh seringkali berlangsung secara turun-temurun tanpa adanya

bimbingan yang lebih baik dalam pengarahkan proses pertumbuhan psikologi

dan karakteristik anak.

Berangkat dari permasalahan itu, peneliti ingin mengungkap berbagai

kemungkinan permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi dari orang tua

yang bekerja di luar negeri terutama yang berdampak pada pengasuhan anak.

Ketergantungan manusia pada masa anak-anak pada orang tua terutama ibu

adalah suatu kenyataan yang menunjukkan dirinya membutuhkan orang tua

untuk bisa berkembang menuju kehidupan yang mandiri. Selain itu hubungan

sosial dengan lingkungan sekitar juga turut mempengruhi proses perkembangan

seorang anak.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, wawasan

dan pemahaman serta solusi secara komprehensif tentang bagaimana orang tua

yang bekerja di luar negeri dalam mengatur urusan rumah tangga dan anak,

terutama tentang bagaimana pengasuhan anak yang masih sangat membutuhkan

sosok orang tua yang selalu berada di sampingnya. Tentu saja didasarkan dari

berbagai sudut pandang sehingga akan memberikan wacana dan pemahaman

secara adil, baik bagi para orang tua itu sendiri, keluarga dan anak-anak.

Dari fenomena di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang

(20)

10

Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep, karena di Desa Pandeman Kecamatan

Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur inilah terdapat fenomena pola

pengasuhan pada anak keluarga TKI yang kompleks dan beragam.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan dijadikan fokus penelitian

adalah bagaimana pola pengasuhan anak keluarga TKI ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mempunyai tujuan penelitian yang

nantinya secara sistematis akan menggambarkan isi penelitian ini, yang merujuk

pada fokus penelitian di atas yaitu: Untuk menggambarkan pola pengasuhan

anak keluarga TKI

D. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan kontribusi dalam pengembangan disiplin ilmu psikologi,

serta menambah informasi di bidang psikologi sekaligus telaah bagi penelitian

selanjutnya.

(21)

11

Memberikan kontribusi yang positif bagi pembaca dan menambah

wawasan bagi masyarakat luas pada umumnya, tentang keterkaitan

pengasuhan orang tua, perubahan perilaku sosial dan psikologis anak.

E. Keaslian Penelitian

Yuli Candrasari (2010), berjudul “Pola komunikasi keluarga dan pola asuh

anak TKW”. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian ini

merupakan jenis penelitian yang bersifat pemahaman (understanding/verstehen)

atau pemahaman empatik (empathy) yaitu suatu cara untuk menempatkan atau

mengidentifikasikan diri peneliti pada diri informan penelitian. Teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan teknikpurposive sampling. Hasil analisis

menunjukan pada keluarga TKW, di mana anak sudah ditinggal ibunya pergi

sejak masih kecil (di bawah usia balita) maka pola komunikasi dan pola asuh

tidak berjalan dengan baik dalam keluarga tersebut. Pada keluarga TKW, di

mana sang ibu menjadi TKW ketika sang anak sudah melewati usia tahun,

maka pola komunikasi dan pola asuh lebih baik, pola komunikasi bersifat

menyebar (dua arah/sirkular). Arus informasi tidak saja dari orang tua kepada

anak, tetapi juga sebaliknya dari anak kepada orang tua. Pola asuh berjalan

dengan baik, hal in terlihat dari perkembangan psikologis anak.

Mulia Astuti (2011), berjudul “Anak Berhadapan dengan Hukum Ditinjau

dari Pola Asuhnya dalam Keluarga (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat,

Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nusa Tenggara Barat)”. Penelitian

ini merupakan hasil dari penelitian pola asuh anak dalam keluarga yang salah

(22)

12

bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengasuhan anak yang dilakukan orang

tua atau orang tua pengganti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi kasus terhadap keluarga dengan anak berhadapan dengan hukum. Teknik

pengumpulan data yang digunakan wawancara mendalam dengan orang tua atau

wali, tokoh masyarakat setempat dan studi dokumentasi. Penelitian dilaksanakan

pada 3 provinsi yaitu Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan

Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak

berhadapan dalam asuhan ibu/bapak tiri, nenek, atau paman. Di samping itu

keluarga tersebut kebanyakan berasal dari kelas sosial ekonomi menengah ke

bawah. Anak menjadi nakal atau berhadapan dengan hukum karena pengasuhan

dalam keluarga yang diterima anak tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pola

asuh yang baik. Sehubungan dengan hasil penelitian ini, direkomendasikan agar

lembaga yang terlibat dalam penanganan anak nakal yang berhadapan dengan

hukum menjadikan keluarga sebagai sasaran intervensi melalui bimbingan

pengasuhan anak (parenting skill).

Yayat Nurhayati (2012), berjudul “Pola Asuh Keluarga TKW dan

Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Anak (Studi Kasus: Di Desa

Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu)”. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan konsep pendidikan keluarga dalam Islam,

mengkaji pola asuh keluarga TKW di Desa Dukuhjeruk, menemukan implikasi

pola asuh keluarga TKW di Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel

Kabupaten Indramayu terhadap pendidikan agama anaknya. Dalam proses

(23)

13

pentingnya penyajian informasi yang obyektif dengan mengambil lokasi di

Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi dokumentasi, dan

wawancara yang mendalam. Dari hasil penelitian ditemukan kesimpulan

bahwa: 1) Pola asuh yang diterapkan oleh keluarga TKW lebih cenderung

permisif. Ada yang permisif indulgent (pengasuhan yang menuruti) dan ada

yang permisifindifferent (pengasuhan yang mengabaikan). 2) Pola asuh yang

dilakukan keluarga TKW berimplikasi terhadap pendidikan agama anak-anak

mereka, di antaranya mereka belum bisa memahami dan menjalankan ibadah

dengan baik. Mereka belum bisa membaca Al-Qur’an, belum hafal bacaan

sholat, belum bisa membacakan do’a sehari-hari, dan mereka belum bisa

menghargai dan menghormati orang lain.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan

terletak pada obyeknya, di mana penelitian ini menggunakan obyek anak TKW

sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan obyek anak keluarga

TKI. Begitupun dengan lokasi penelitian yang juga berbeda di mana dalam

penelitian ini mengambil lokasi Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel

Kabupaten Indramayu, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti

mengambil lokasi di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep

Jawa Timur.

Metti Verawati (2013), berjudul “Substitusi Pola Asuh Anak Pada

Keluarga TKI di Ponorogo”. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan

(24)

14

Kabupaten Ponorogo, dimana di Kecamatan Babadan merupakan angka

tertinggi kedua masyarakatnya yang menjadi TKI. Pada penelitian ini

informan adalah orang yang menggantikan pengasuhan anak pada keluarga

TKI yang berjumlah lima informan, yaitu seseorang yang menggantikan

pengasuhan anak pada keluarga TKI. Dalam penelitian ini teknik sampling

yang digunakan adalah Purposive Samping dan Snowball Sampling. Untuk

validitas data yang sudah diperoleh, peneliti melakukan tringulasi sumber

dengan mencari data dari sumber lain yaitu dari perangkat desa yang

mengetahui kondisi keluarga TKI di Desa Gupolo. Pola asuh yang diterapkan

oleh nenek termasuk dalam campuran pola asuh demokratis dan permisif.

Selain faktor dari anak yang diasuh, faktor lingkungan memberikan pengaruh

positif dalam pemberian pola asuh, karena lingkungan tempat penelitian

mendukung dalam pembentukan norma-norma sosial yang baik.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan

terletak pada lokasi penelitian, di mana dalam penelitian ini mengambil lokasi

di Desa Gupolo Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo, sedangkan dalam

penelitian yang akan dilakukan peneliti mengambil lokasi di Desa Pandeman

Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur.

Eko Siswanto (2014), berjudul“Pengasuhan Orang Tua dalam Pembelajaran

Nilai Moral pada Anak Usia Dini Keluarga TKW dalam Peer Grup Bermain di Dusun Ngepeh, Desa Sukorejo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun” Perilaku moral yang kurang baik atau kurang sopan diperlihatkan oleh anak

usia dini salah satunya dikarenakan kurang tepatnya pengasuhan anak yang

(25)

15

Dusun Ngepeh adalah pemukiman penduduk desa Sukorejo yang banyak anak

usia 4-7 tahun yang ditinggalkan ibunya bekerja ke luar negeri. Orang tua

beranggapan moral anak adalah tanggung jawab sekolahan dan tidak perlu

diajari tatakrama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.

Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk penanaman nilai budi pekerti

(sopan-santun) yang paling dasar pada adat jawa yang diterapkan oleh orang

tua keluarga TKW dalam menanamkan perilaku santun purta-putrinya disaat

anak di usia dini pada kelompok teman bermain. Dari penelitian menunjukkan

penanaman nilai moral yang permisif yang paling banyak diterapkan oleh

orang tua, sehingga banyak anak tidak berpengetahuan tentang nilai moral

(sopan santun berbicara dan perilaku) dan tidak berpengetahuan tentang adat

istiadat kebudayaan daerahnya sendiri selain minat anak belajar nilai-nilai

budaya asal yang rendah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan

terletak pada obyeknya, di mana penelitian ini menggunakan obyek anak TKW

sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan obyek anak keluarga

TKI. Begitupun dengan lokasi penelitian yang juga berbeda di mana dalam

penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Ngepeh Desa Sukorejo Kecamatan

Kebonsari Kabupaten Madiun, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan

peneliti mengambil lokasi di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengasuhan Anak

Orang tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua

dengan anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Sikap

bijaksana orang tua ini sangat diperlukan untuk mengerti kemampuan anak,

sebab kekurangtahuan terhadap kemampuan anak terkadang menumbuhkan

sikap kasar terhadap kepribadian anak itu sendiri.

Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi seorang anak dalam

memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan

yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial

dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar

belakang kehidupan, pengalaman, pendidikan dan kepentingan yang terdapat

dalam diri setiap orang tua, maka dengan sendirinya pula akan memunculkan

cara-cara mendidik anak yang juga berbeda antar orang tua satu dengan

lainnya.

Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh

orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab

kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam

sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan

individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka

(27)

17

dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat

dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang

secara optimal (Thoha, 1996: 109).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua

adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan

dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan

memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap

anak-anaknya, tentu saja setiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang

berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri. Dengan

adanya perbedaan pola pengasuhan orang tua tersebut, sehingga nantinya akan

menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda pula antar orang tua.

Pengasuhan (parenting) tidak hanya sebatas bagaimana orang tua

memperlakukan anaknya dengan baik, akan tetapi lebih kepada bagaimana

orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak

dalam menuju proses kedewasaan. Dan berupaya pembentukan norma-norma

yang dikehendaki masyarakat umum (Padil dan Supriyatno, 2010: 118).

Casmini (2007: 1) berpendapat bahwa “pengasuhan yang dimaksud

meliputi beberapa aspek antara lain: pengasuhan anak dalam bidang

pendidikan religi meliputi, sosialisasi awal keagamaan terhadap anak,

pengembangan pendidikan keagamaan; pengasuhan anak dalam bidang etika

dan moral anak meliputi etika makan dan minum, etika berpakaian, sopan

santun terhadap orang tua, dan kebersihan; pengasuhan anak dalam bidang

(28)

18

Pengasuhan merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang

meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan

keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung

mengarah pada pola asuh yang diterapkan (Gunarsa, 1991: 64). Karena itulah

di dalam keluarga inti yaitu orang tua merupakan seorang aktor yang

memelihara, melindungi, dan panduan kehidupan anak untuk menuju

kedewasaan. Semua orang tua memegang berbagai peran dan tanggung jawab

dalam kaitannya dengan anak-anak mereka. Mereka adalah pengasuh,

pemerhati, pendidik, disipliner, dan penasehat. Pengasuhan dianggap sangat

penting dalam memberi pengalaman manusia yang mengubah orang-orang

secara emosional, sosial, dan intelektual. Aristoteles percaya bahwa

kebanyakan anak-anak akan mendapat manfaat dari pribadi dan stabilitas

sosial yang diterapkan oleh keluarga (Martin & Colbert, 1997: 64).

Gunawan (2000: 55) mendefinisikan bahwa “pola pengasuhan adalah

proses memanusiakan atau mendewasakan manusia secara manusiawi, yang

harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan jaman.”

Karena itulah, melalui pengasuhan dan interaksi sosial, dengan demikian

pengasuhan dapat diartikan sebagai sosialisasi seperti bayi yang baru belajar

adaptasi saat meminum ASI. Sedangkan Dantes memberikan pengertian

pengasuhan sebagai pola pendekatan dan interaksi antara orang tua dengan

anak dalam pengelolaan di dalam keluarga (Dantes, 1993: 10).

Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pengasuhan

yang bisa dipilih dan diterapkan oleh orang tua. Hurlock mengemukakan ada

(29)

19

1. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan

aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku

seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri

sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran

dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah

benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang

bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras,

lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala

keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan

meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam

suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah

kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja.

2. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua

terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu

tergantung pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada

anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan

pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut

dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk

mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih

untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi

(30)

20

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara

bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi

kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.

Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan

bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang telah

dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran,

arahan atau bimbingan (Thoha, 1996: 111-112).

Tembong Prasetya (2003: 27-32) membagi bentuk pola asuh orang tua

menjadi empat, antara lain:

1. Pola Pengasuhan Autoritatif

Pada umumnya pola pengasuhan ini hampir sama dengan bentuk

pola asuh demokratis oleh Agoes Dariyo dan Chabib Thoha namun hal

yang membedakan pola asuh ini yaitu adanya tambahan mengenai

pemahaman bahwa masa depan anak harus dilandasi oleh

tindakan-tindakan masa kini. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak

dibanding dengan kepentingan dirinya, tidak ragu-ragu mengendalikan

anak, berani menegur apabila anak berperilaku buruk. Orang tua juga

mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki

sikap, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang akan mendasari

anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.

2. Pola Pengasuhan Otoriter

Pada pola pengasuhan ini, orang tua menuntut anak untuk mematuhi

(31)

21

dari pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup

bertanggung jawab, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara

sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri.

3. Pola Pengasuhan Penyabar atau Pemanja

Pola pengasuhan ini, orang tua tidak mengadalkan perilaku anak

sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak, tidak pernah

menegur atau tidak berani menegur anak. Anak-anak dengan pola

pengasuhan ini cenderung lebih energik dan responsif dibandingkan

anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter, namun mereka tampak kurang

matang secara sosial (manja), impulsive, mementingkan diri sendiri dan

kurang percaya diri (cengeng).

4. Pola Pengasuhan Penelantar

Pada pola pengasuhan ini, orang tua kurang atau bahkan sama sekali

tidak mempedulikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan

berkembang sendiri, sedangkan orang tua juga lebih memprioritaskan

kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anak. Kepentingan

perkembangan kepribadian anak terabaikan, banyak orang tua yang terlalu

sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai macam alasan.

Anak-anak terlantar ini merupakan Anak-anak-Anak-anak yang paling potensial terlibat

penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan tindakan-tindakan

kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan orang tua sering mengabaikan

keadaan anak dimana ia sering tidak peduli atau tidak tahu dimana

anak-anaknya berada, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, sedang apa anak

(32)

22

diperhatikan oleh orang tua, sehingga ia melakukan segala sesuatu atas apa

yang diinginkannya.

Komunikasi ibu dan ayah dalam suatu keluarga sangat menentukan

pembentukan kepribadian anak-anak baik di dalam maupun di luar rumah.

Anak akan memperhatikan sikap, tindakan, perbuatan, maupun ucapan kedua

orang tuanya terhadap dirinya. Sehingga anak berpengaruh pada proses

pembentukan kepribadian anak. Orang tua, keluarga, dan lingkungan mempunyai

peran yang sangat besar dalam perkembangan anak. Namun, karena

perkembangan anak berlangsung secara bertahap dan memiliki alur kecepatan

perkembangan yang berbeda. Maka pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan

tahapan perkembangan anak yang bersangkutan.

Orang tua merupakan pengambil peran utama dalam mengasuh

anak-anaknya. Terutama kedekatan anak terhadap ibu, karena ibulah yang

mengandung, melahirkan, dan menyusui. Jadi secara psikologis mempunyai

ikatan yang lebih dalam. Terjadinya krisis hubungan yang melibatkan antara

orang tua dan anak sebagian besar disebabkan karena ketidakbijaksanaan orang

tua dalam menerapkan pengasuhan kepada anaknya. Sikap atau tindakan anak

itu tercermin dari dalam cara pengasuhan kepada anak yang berbeda-beda

karena orang tua dan keluarga mempunyai cara pengasuhan tertentu. (Galih,

2009: 43)

Dalam hidup berumah tangga tentunya ada perbedaan pendapat antara

suami dan istri, perbedaan dari pola pikirannya, perbedaan dari gaya kebiasaan

sehari-harinya, perbedaan dari sifat dan tabiatnya, perbedaan dari tingkatan

(33)

23

Perbedaan yang seperti inilah yang dapat mempengaruhi gaya hidup

anak-anaknya, sehingga akan memberikan warna tersendiri dalam keluarga. Perpaduan

antara perbedaan dari kedua orang tua ini akan mempengaruhi proses

perkembangan kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut.

Secara umum di dalam suatu keluarga, seorang ibu memiliki tanggung

jawab yang cukup besar bahkan juga dapat dikatakan sebagai arsitek dalam

keluarga. Seorang ibu diharapkan mampu mengatur suasana rumah tangga,

yang artinya dapat menciptakan suasana atau kondisi keluarga yang harmonis,

tenang, dan bisa membawa kedamaian seluruh keluarga. Seorang ibu juga

mempunyai tanggung jawab yang cukup besar yaitu menjadi pembentuk

tingkahlaku dan penanaman moral pada anak.

Pengasuhan yang diterapkan dan dikembangkan oleh orang tua terhadap

perkembangan anak-anaknya merupakan dasar awal pembinaan terhadap mental

dan kepribadian anak. Pengasuhan orang tua terhadap anak menjadi 3 (tiga),

yaitu: 1) Pola asuh otoriter, 2) Pola asuh demokratis, (3) Pola asuh permisif

(Hurlock, 2004: 38).

Pengasuhan untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah

dimana orang tua tetap memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi orang

tua juga mengendalikan anak. Sehingga anak yang hidup dalam masyarakat,

bergaul dengan lingkungan, serta mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar

yang mungkin dapat merusak kepribadian, akan dapat dikendalikan oleh orang

tua dengan menerapkan sikap-sikap yang baik dalam keluarga serta contoh

(34)

24

Pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar sangat berpengaruh

pada perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui

pengasuhan, akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan

bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Cara pengasuhan orang tua yang bekerja dan tidak bekerja juga akan berbeda.

Demikian juga dengan pengasuhan orang tua yang memiliki latar belakang

pendidikan yang tinggi maupun latar belakang pendidikan yang rendah.

Pengasuhan yang diterapkan di dalam suatu keluarga juga berkaitan

dengan jenis pekerjaan kedua orang tua. Dalam hal ini orang tua berkewajiban

untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi anak. Sebagaimana kita ketahui

bahwa anak merupakan potensi serta penerus bangsa, sehingga kesejahteraan

anak harus benar-benar diperhatikan.

Pola pengasuhan anak sebagai khasanah budaya bangsa adalah wujud

kebudayaan ideal dan kelakuan, menyangkut pewarisan sistem norma, perilaku,

dan nilai-nilai luhur yang telah disepakati, ditaati, dan dihormati. Perbedaan

pengasuhan yang dilakukan oleh setiap orang tua berbeda, disebabkan oleh

beberapa faktor, di antaranya:

1. Keadaan alam, misalnya: masyarakat pantai dengan masyarakat pegunungan.

2. Latar belakang pendidikan, misalnya: pendidikan tinggi dan pendidikan

rendah.

3. Mata pencaharian hidup, misalnya: masyarakat yang bertani, masyarakat

nelayan, masyarakat yang menjadi buruh ke luar negeri (TKI), dan

sebagainya.

(35)

25

Selain faktor-faktor di atas, dalam pola pengasuhan ini terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan

pola pengasuhan pada anak-anaknya. Menurut Manurung (1995: 53) beberapa

faktor yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua adalah:

1. Latar belakang pola pengasuhan orang tua.

Maksudnya para orang tua belajar dari metode pola pengasuhan yang

pernah didapat dari orang tua mereka sendiri.

2. Tingkat pendidikan orang tua.

Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola

pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki tingkat pendidikan

yang rendah.

3. Status ekonomi serta pekerjaan orang tua.

Orang tua yang cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang

menjadi kurang memperhatikan keadaan anak-anaknya. Keadaan ini

mengakibatkan fungsi atau peran menjadi “orang tua” diserahkan kepada

pembantu, yang pada akhirnya pola pengasuhan yang diterapkan pun

sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh pembantu.

Sedangkan Santrock (1995: 240) menyebutkan ada beberapa faktor

yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain:

1. Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya. Orang tua

menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola pengasuhan

yang pernah didapat sebelumnya.

2. Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat antara

(36)

26

Soekanto (2004: 43) menjelaskan, bahwa secara garis besar ada dua

faktor yang mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu faktor eksternal

serta faktor internal. Faktor eksternal adalah lingkungan sosial dan lingkungan

fisik serta lingkungan kerja orang tua, sedangkan faktor internal adalah model

pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya. Secara lebih lanjut

pembahasan faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam pola pengasuhan

orang tua adalah:

1. Lingkungan sosial dan fisik tempat dimana keluarga itu tinggal

Pola pengasuhan suatu keluarga turut dipengaruhi oleh tempat di

mana keluarga itu tinggal. Apabila suatu keluarga tinggal di lingkungan

yang otoritas penduduknya berpendidikan rendah serta tingkat sopan

santun yang rendah, maka anak dapat dengan mudah juga menjadi ikut

terpengaruh.

2. Model pola pengasuhan yang didapat oleh orang tua sebelumnya

Kebanyakan dari orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada

anak berdasarkan pola pengasuhan yang mereka dapatkan sebelumnya.

Hal ini diperkuat apabila mereka memandang pola asuh yang pernah

mereka dapatkan dipandang berhasil.

3. Lingkungan kerja orang tua

Orang tua yang terlalu sibuk bekerja cenderung menyerahkan

pengasuhan anak mereka kepada orang-orang terdekat atau bahkan kepada

baby sitter. Oleh karena itu pola pengasuhan yang didapat oleh anak juga

(37)

27

Peter L. Berger juga menyebutkan bahwa terdapat proses sosialisasi

yang salah satunya adalah pola sosialisasi represif (otoriter), di mana pada

sosialisasi ini menekankan pada penggunakan hukuman terhadap kesalahan,

orang tua lebih dominan, dan komunikasi terjadi pada satu arah (Sunarto,

1993: 33). Jadi ketika dalam proses pengasuhan yang bersifat represif ini

(otoriter), orang tua juga akan semakin ketat dalam mengontrol tingkah laku

dan aktivitas yang dilakukan oleh anak. Sehingga anak harus mengikuti semua

apa yang sudah dikatakan oleh orang tua mereka.

Berger dan Luckman (1990: 176), menjelaskan bahwa terdapat dua jenis

sosialisasi, yaitu:

1. Sosialisasi Primer

Sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu pada

saat kecil, saat dikenalkan pada dunia sosial obyektif. Individu berhadapan

dengan orang yang sangat berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua),

dan bertanggung jawab atas sosialisasi anak. Sosialisasi primer berlangsung

saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah. Anak

mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap

dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar

keluarganya. Dengan kata lain sosialisasi primer adalah sosialisasi yang

pertama yang dialami individu pada masa kanak-kanak yang dengan itu

menjadi bagian atau anggota masyarakat.

Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu

abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang

(38)

28

realitas yang berasal dari orang lain yang sangat berpengaruh itu dianggap

oleh si anak sebagai realitas obyektif. Dalam sosialisasi ini lebih pada

kondisi yang bermuatan emosional yang tinggi. Karena tanpa hubungan

emosional yang tinggi inilah, maka proses belajar itu akan menjadi sulit.

Anak akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang

mempengaruhi dengan berbagai cara emosional.

Apapun cara itu, internalisasi hanya berlangsung dengan

berlangsungnya identifikasi, seorang anak akan mengoper peranan dan

sikap orang-orang yang mempengaruhinya. Artinya anak itu menginternalisasi

dan menjadikannya peranan sikapnya sendiri, dan melalui identifikasi dengan

orang-orang yang berpengaruh itu si anak menjadi mampu mengidentifikasi

dirinya sendiri untuk memperoleh suatu identitas yang secara subyektif

koheren dan masuk akal. Ini bukan suatu proses yang mekanistik dan

sepihak. Ia melibatkan suatu dialektika antara identifikasi oleh orang lain

dan identifikasi oleh diri sendiri, antara identitas yang diberikan secara

obyektif dan identitas yang diperoleh secara subyektif.

2. Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi sekunder sebagai proses sosialisasi lanjutan setelah

sosialisasi primer yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu

dalam masyarakat, atau dengan kata lain merupakan suatu proses yang

mengimbas individu yang sudah diasosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor

baru dunia obyektif masyarakatnya. Keterbatasan biologis dalam sosiolisasi

(39)

29

ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak

diperoleh (menurut struktur landasan pengetahuan itu).

Berbeda halnya dengan sosialisasi primer, di mana sosialisasi primer

tidak dapat berlangsung tanpa suatu identifikasi yang bermuatan emosi di

pihak antara anak dan para pengasuhnya, tetapi kebanyakan sosialisasi

sekunder tidak memerlukan identifikasi seperti itu, dan bisa berlangsung

secara efektif dengan hanya identifikasi timbal-balik sebanyak yang masuk

dalam tiap komunikasi antar manusia. Dalam sosialisasi sekunder, konteks

kelembagaannya biasanya dipahami. Tak perlu dikatakan lagi bahwa hal

ini tidak perlu melibatkan suatu pemahaman yang canggih mengenai semua

implikasi dari konteks kelembagaannya.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang

memepengaruhi pola asuh orang tua yaitu adanya hal-hal yang bersifat internal

(berasal dalam diri) dan bersifat eksternal (berasal dari luar). Hal itulah yang

kemudian menentukan pola asuh terhadap anak-anak untuk mencapai tujuan

agar sesuai dengan norma yang berlaku.

B. Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan

manusia, sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat

dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan

hidup bagi diri dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk

(40)

30

berharga baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Oleh karena itu, hak

atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang

wajib dijunjung tinggi dan dihormati.

Kebijakan ekonomi dirancang untuk memacu perekonomian pada

tingkatan sepesat mungkin juga banyak mengalami hambatan, sehingga

program pemacu perekonomian hanya menjadi slogan kosong yang tidak

mempunyai implikasi yang serius dalam perubahan ekonomi di Indonesia,

sehingga semakin bertumpuk pengangguran dan kemiskinan. Seharusnya,

solusi yang paling ambisius bagi pemerintah adalah menjadi majikan terakhir

(the employer of last resort), yang menjamin pekerjaan bagi setiap orang yang

mampu bekerja dan menginginkan pekerjaan (Nickel, 1996: 226).

Alasan utama seseorang mencari pekerjaan tentunya adalah agar

mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena

pada umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya

adalah orang tua yang bekerja (Zuriah, 2007: 162). Selain itu, kerja adalah

data stabil pada masyarakat ini. Tanpa sesuatu untuk dikerjakan tidak ada

alasan untuk hidup. Seseorang yang tidak dapat bekerja hampir sama dengan

meninggalkan dan biasanya memilih kematian dan berusaha mencapainya

(Hubbard, 2009: 122).

Pekerjaan berarti aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam

arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang

menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini

sering dianggap sinonim dengan profesi. Berikut ini dijelaskan ciri-ciri

(41)

31

1. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat

dilakukan oleh kelompok tertentu/pekerja.

2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah

tehnik dan prosedur yang unik.

3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang

mampu melaksanakannya suatu pekerjaan profesional.

4. Dimilikinya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu

melaksanakannya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja

menjaga, akan tidak sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas

layanan kepada masyarakat, terutama tindak-tindak etis profesional kepada

anggota (Arikunto, 1993: 236).

Untuk memulai mencari pekerjaan apa yang sesuai dengan kita, maka

harus dipertimbangkan segala sesuatu yang kita sukai, dan hal itu sangat

penting. namun, melihat kenyataan akan kesempatan kerja yang ada adalah

lebih penting. Tidak peduli mengenai latar belakang pendidikan seseorang,

kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan segala

sesuatu untuk ditawarkan (Sidharta, 1996: 6).

Suatu pekerjaan akan membuat hidup seseorang menjadi lebih baik dari

segi ekonomi dan dapat disimpulkan bahwa karier seseorang sangat ditentukan

oleh tekad dan kemampuan yang besar untuk memanfaatkan kesempatan yang

ada dengan segala kemampuan yang dimilikinya. untuk itu, dibutuhkan

keahlian khusus atau dengan kata lain harus melihat sesuai kemampuan yang

dimilikinya, mengingat banyak sekali ragam dan jenis dalam pekerjaan. Oleh

(42)

32

Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi

bangsa Indonesia di sepanjang perjalanannya menjadi bangsa merdeka adalah

masalah pengangguran. Keberadaan masalah tersebut menunjukkan bahwa di

negeri gemah ripah loh jinawi ini, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak

mampu menampung ledakan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran

menjadi fenomena mengemuka sekaligus menjadi salah satu masalah serius

dalam lingkaran persoalan nasional yang bernama kemiskinan. Oleh karena itu

mengatasi masalah pengangguran menjadi agenda penting dalam kerangka

pembangunan dan penanggulangan kemiskinan.

Di saat pemerintah belum sepenuhnya berhasil mencari jalan keluar atas

persoalan pengangguran, fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengemuka.

Fenomena ini tampil sebagai solusi alternatif yang banyak peminatnya, ditandai

semangat menjadi TKI yang begitu menggelora di kalangan angkatan kerja

(Forum Sadar Hukum Islam, 2009: 11). Fenomena pekerja migran lintas negara

ini menjadi satu hal yang tak terhindarkan, tak terkecuali negara Indonesia.

Kita semua menyadari, mancari penghidupan yang layak, termasuk

menjadi TKI di luar negeri, adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena

itu, tidak ada orang atau pihak yang bisa melarang atau membatasi hak asasi

tersebut. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus menghormati pilihan mereka

yang bersusah-payah mencari nafkah di negeri orang. Bahkan pemerintah

memiliki kewajiban untuk menfasilitasi, menjaga dan melindungi para pekerja

migran lintas negara ini agar bisa hidup aman dan nyaman dan makmur di

(43)

33

Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah warga

negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang melakukan kegiatan di

bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesehatan dan olah raga profesional

serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri baik di darat, laut maupun udara

dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja (Soepomo, 2001: 3).

Namun demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar.

Sedangkan TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Kepergian para TKI, mula-mula didorong oleh keinginan sejumlah

angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di manca negara sebab

di negeri sendiri belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu

memperbaiki kehidupan mereka (Utomo, 2009: 7). Keberhasilan sejumlah

TKI pemula, yang ditandai gaji tinggi dan perolehan kekayaan menakjubkan

untuk ukuran pekerja migran menjadi daya tarik, inilah yang mendorong

mereka untuk kemudian menyusul dan berbondong-bondong menjadi TKI.

Fenomena ini berlangsung mulai tahun 1980-an sampai sekarang, sehingga

akhirnya keputusan menjadi TKI pun kini merupakan pilihan menarik bagi

jutaan angkatan kerja di seluruh pelosok Indonesia. Pada saat yang sama

pemerintah tidak memiliki alasan untuk berkata “tidak“ atas keberangkatan

mereka. Saat ini, tidak kurang dari 8,3 juta orang TKI tersebar di berbagai negara;

dan darinya per tahun mengalir devisa antara 3-4 milyar dollar Amerika Serikat

atau setara dengan 27-36 trilyun rupiah.

Maraknya kehadiran TKI di Malaysia terjadi sejak tahun 1995 saat itu

sekitar 150 perusahaan di negara tersebut menderita krisis tenaga kerja. Mereka

(44)

34

orang. Permintaan tersebut dipenuhi pemerintah, kebijakan bagi masuknya

pekerja asing benar-benar dilonggarkan. Gaji yang diberikan jauh lebih besar

dibanding di negara asal pekerja, sehingga Malaysia benar-benar diserbu

pekerja asing.

Beberapa TKI di Malaysia menyatakan bahwa bekerja di Malaysia itu

lebih mudah disebabkan budaya dan bahasa sedikit sama dengan Indonesia,

gaji yang relatif tinggi jika dikurskan dengan rupiah, sarana transportasi dari

Indonesia-Malaysia dan sebaliknya mudah dijangkau dan relatif murah baik

itu melalui jalan udara maupun laut (Utomo, 2009: 7). Jadi dengan gambaran

besaran gaji spintas di atas, tidaklah heran jika banyak orang-orang yang lebih

memilih bekerja di Malaysia, karena Indonesia belum dapat menyediakan

lapangan pekerjaan yang mampu memperbaiki kehidupan mereka.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap pemerintah

untuk “merestui” keberangkatan TKI ke luar negeri, yang kata lainnya

melegitimasi ekspor “manusia”, relevan dipandang sebagai upaya menelan “pil

pahit” yang diharapkan dapat menjadi “obat mujarab” dalam menyembuhkan

“penyakit” kronis yang disebut pengangguran. Meskipundi manca negara TKI

hanya bisa bekerja sebagai pekerja kasar di sektor-sektor marjinal karena

mereka tidak berbekal keahlian yang menjual (unskilled), pemerintah pun

terpaksa merelakan walau disadari itu bukan keputusan yang membanggakan.

Sikap mengijinkan keberangkatan TKI, disadari merupakan pilihan terbaik (di

antara sekian pilihan yang tidak ideal) yang terpaksa dilakukan karena belum

ada alternatif lebih baik yang dapat menggantikan. Dengan pendidikan rendah

(45)

35

untuk datang ke negeri orang. Modal nekat inilah yang kemudian dimanfaatkan

oleh pihak-pihak tertentu, selain itu mereka juga menjadi korban kebijakan

pemerintah (Utomo, 2009: 9), yang mana pada taraf tertentu, pemerintah juga

ikut memanfaatkan untuk meraup keuntungan.

Dari keberangkatan para TKI atau TKW ke luar negeri, dapat

mendapatkan devisa yang sangat besar. Sedangkan di sisi lain, kondisi dan

kesejahteraan TKI atau TKW tidak diperhatikan sama sekali. Keberadaan TKI

atau TKW sering kali diperlakukan sebagai budak tidak berharga, hingga

diperlakukan layaknya binatang. Nyawa mereka seolah tidak berharga,

karenanya, tidak sedikit nyawa melayang akibat persoalan sepele (apalagi

yang tidak diketahui publik). Mereka diekploitasi untuk mengeruk keuntungan

sebesar-besarnya, belum lagi ‘diisap darahnya’, dengan berkedok jaminan

asuransi, yang harus mereka bayar dengan potongan gaji 5-6 bulan. Maka tak

salah jika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (TKI/TKW) bak menjual

kebodohan dan martabat bangsa (Iqbal, 2009: 15).

Tidak dapat dipungkiri jika kemudian keberadaan TKI mengundang pro

dan kontra sejalan dengan nasib TKI yang tidak pernah bisa diterka. Ada yang

beranggapan TKI merendahkan martabat bangsa, sementara ada yang menyebut

mereka pahlawan devisa. Hal ini dikarenakan setiap tahun jutaan dollar AS yang

masuk ke suatu negara yang dikirim dari luar negeri oleh para pekerja tersebut.

Uang tersebut tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang mendapatkanya, tetapi

ikut meningkatkan devisa negara sekaligus menggerakkan perekonomian

setempat. Ada TKI yang menjadi kaya raya, namun tidak sedikit TKI yang

(46)

36

hidup menderita, mendapat siksa, bahkan ada yang meninggal dunia di tempat

kerja (Wawa, 2005: 12).

Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang semakin besar serta laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi dari tahun ke tahun merupakan persoalan

khusus dan rumit bagi bangsa Indonesia serta dapat menjadi sumber konflik

sosial, politik, maupun ekonomi (Syahrir, 1995: 1). Hal ini sebenarnya tidak

perlu menjadi ma salah bila daya dukung ekonomi yang efektif di negara itu

cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya termasuk penyediaan

kerja (Simanjuntak, 1985: 21).

Beberapa permasalahan TKI dapat dianalisa sebagai berikut: Pertama,

yang jelas lapangan tenaga kerja dalam negeri yang kurang. Inilah yang

menyebabkan begitu banyaknya tenaga kerja Indonesia yang

berbondong-bondong ke luar negeri, meskipun mungkin dengan taruhan nyawa. Meskipun

dengan dokumentasi yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena sektor industri

yang ada belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia,

sehingga banyak sekali terjadi pengangguran di sana sini.

Kedua, upah buruh yang terlalu kecil. Dari berbagai survei tentang

masalah tenaga kerja yang bisa kita lihat dari televisi dan kita baca dari

majalah disebutkan bahwa upah buruh yang ada di Indonesia paling murah,

dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Upah yang sangat kecil ini jelas

sekali sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga, di mana semua harga

barang-barang yang ada selalu naik setiap tahunnya. Jadi upah ini jelas

berbanding terbalik dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk

(47)

37

Ketiga, oknum Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang

sekarang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta

(PPTKIS). Masih banyaknya PJTKI/ PPTKIS yang tidak mendapat izin dari

Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) serta tidak memahami atau sengaja

bermain demi mencari keuntungan, sehingga menyebabkan aliran TKI tidak

terkontrol. Akibatnya bisa ditebak, banyak kasus-kasus pemulangan TKI yang

tidak lengkap surat-suratnya alias illegal.

Keempat, kurangnya perhatian dari pemerintah. Pemerintah sebagai

pelaku dan pelaksana pemerintahan dirasakan sangat kurang sekali perhatiaannya

atas nasib para tenaga kerja ini (http://www.Radiomadufm.Com, diakses 13

Maret 2016).

Dari keempat analisa penyebab terus adanya masalah dengan tenaga

kerja di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya permasalahan itu

semua bersumber pada masalah dari dalam negeri Indonesia, di mana

pelakunya adalah bangsa kita sendiri (80%), sisanya merupakan permasalahan

yang berada di negara tujuan tempat bekerja. Kepedulian sosial masyarakat

sebagai modal sosial untuk melindungi dan memberdayakan para buruh

migran. Dalam hal ini kelembagaan pemberdayaan masyarakat di daerah

dapat dioptimalkan untuk pemberdayaan dan perlindungan bagi buruh

migran (Saptandari, 2009: 10-11). Oleh sebab itu, dengan pengawasan yang

dilakukan secara multisektoral baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun

kelompok masyarakat, kejadian tidak menyenangkan yang dialami TKI

(48)

38

C. Pola Pengasuhan pada Anak Keluarga TKI

Sejak kecil anak sudah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya

melalui keteladanan dan kebiasaan sehari-hari dalam keluarga. Baik tidaknya

keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua

sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keteladanan

dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak

terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan hidup orang

tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan, karena memang pada masa

perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua

lakukan. Dalam hal ini dikenal dengan anak belajar melalui imitasi.

Dorothy Law Nolte sangat mendukung pendapat di atas. Melalui sajaknya

yang berjudulAnak Belajar dari Kehidupan, dia mengatakan:

“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika ia dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan”(Djamarah, 2004: 25).

Pada dasarnya yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan

bagi si anak adalah orang tuanya sendiri. Bukan dilimpahkan pada orang lain.

Ironisnya, hal ini tidak berlaku pada keluarga TKI. Jika melihat uraian di atas

maka dalam hal ini anak tidak menemukan cinta dalam kehidupanya, karena

Referensi

Dokumen terkait

Pola pengasuhan anak merupakan suatu sistem atau cara pendidikan, pembinaan yang diberikan orangtua atau seseorang kepada anaknya atau orang lain, atau suatu cara, kebiasaan

Pola Pengasuhan Orang Tua Kepada Anak yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini di PGK AL Muslimun Desa Sayang,

Dengan metode ini akan dapat mendeskripsikan secara lebih teliti mengenai pola pengasuhan anak pada keluarga pemilik warteg di Kecamatan Margadana Kota Tegal, siapa saja

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan pola pengasuhan anak pada keluarga nelayan di Desa Perlis Kecamatan Berandan Barat

Penelitian pustaka untuk mengembangkan model pola pengasuhan berbasis keluarga dalam meningkatkan kreativitas anak terlantar.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh banyak orang dan beberapa teori yang berbicara tentang perilaku menyimpang maka hal ini sesuai dengan

POLA PENGASUHAN ANAK PADA KELUARGA ETNIK JAWA DI DESA MARGAHAYU SELATAN KECAMATAN MARGAHAYU KABUPATEN BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Suwarno (37 tahun) Pekerjaan Buruh Pabrik Pola pengasuhan pada keluarga yang bekerja menjadi buruh pabrik dalam waktu pengasuhan anaknya juga sangat minim karena