INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola pengasuhan anak keluarga TKI yang berlangsung di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten
Sumenep Jawa Timur.. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu dengan
berusaha memperoleh informasi yang selengkap mungkin mengenai pola pengasuhan pada anak keluarga TKI di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Informasi yang digali melalui wawancara mendalam terhadap informan yang terdiri dari staf Desa Pandeman dan para pengasuh anak
keluarga TKI sebagai pengganti orang tua dan teknik triangulasi sebagai validasi
data.
Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama di lapangan, yaitu tiga orang pengasuh anak keluarga TKI yang berinisial SM, KH dan MN. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa informan pendukung (significant other) serta penggunaan dokumen. Informan pendukung (significant other) yang digunakan dalam proses wawancara, dipilih berdasarkan kedekatan personal dan kepahaman informan pendukung tersebut atas subyek.
Penelitian ini menemukan bahwa pengasuhan anak keluarga TKI yang terdapat di desa Pandeman, kecamatan Arjasa, kabupaten Sumenep Jawa Timur ini berlangsung sangat baik. Hal ini dapat dengan adanya pemenuhan fasilitas belajar dan kebutuhan hidup sehari-hari yang menjadi kebutuhan anak-anak asuh, para orang tua asuh juga sangat memperhatikannya. Hal ini ditunjukkan oleh sikap anak-anak asuh yang hampir tidak pernah mengeluh jika mereka sedang menginginkan sesuatu yang dapat menunjang prestasi belajar mereka. Dengan kata lain, hampir semua kebutuhan anak-anak asuh itu telah dipenuhi para orang tua asuh mereka, sehingga ekspresi anak-anak pun memperlihatkan kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari.
ABSTRACT
This study aims to determine the pattern of family child care workers who take place in the village Pandeman Arjasa District of Sumenep Regency East Java .. This research is qualitative, ie by trying to obtain information as possible about the child's upbringing in a family of migrant workers Pandeman Village District Subdistrict Arjasa Sumenep, East Java. The information collected through depth interviews with informants consisting of Pandeman Village staff and nannies family TKI as a substitute parent and triangulation techniques as data validation.
The primary data source is data obtained from the first source in the field, namely three nannies family workers who initials SM, KH and MN. While secondary data obtained from several informants supporters (significant other) as well as the use of the document. Informants support (significant other) are used in the interview process, selected based on personal ties and supporting the kepahaman informant on the subject.
This study found that family child care workers who are in the village Pandeman, Arjasa sub-district, East Java Sumenep regency is going very well. This is proven by the fulfillment of learning facilities and the needs of everyday life the needs of foster children, foster parents are also very notice. This is shown by the attitude of foster children who hardly ever complain if they're wanting something that can support their learning achievement. In other words, almost all the needs of foster children had met their foster parents, so the children's expression was demonstrated joy and happiness every day.
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Fokus Penelitian... 10
B. Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ... 29
C. Pola Pengasuhan pada Anak Keluarga TKI... 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42
B. Lokasi Penelitian... 43
C. Sumber Data ... 43
D. Cara Pengumpulan Data ... 44
1. Teknik Observasi ... 44
2. Teknik Wawancara (Interview) ... 45
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data... 45
1. Organisasi Data... 46
2. Koding ... 46
3. Analisis Data... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Deskripsi Subyek ... 52
1. Subyek Penelitian ... 52
2. Kelompok Informan Pendukung... 59
B. Hasil Penelitian ... 61
1. Deskripsi Hasil Temuan... 61
2. Analisis Temuan Penelitian ... 85
C. Pembahasan ... 111
BAB V PENUTUP... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Panduan Observasi ... 124
Lampiran 2 Panduan wawancara orang tua asuh ... 126
Lampiran 3 Panduan Wawancara Kepala Desa ... 128
Lampiran 4 Panduan Wawancara Guru ... 129
Lampiran 5 Panduan Wawancara Keluarga dan Tetangga ... 130
Lampiran 6 Panduan Observasi ... 131
Lampiran 7 Catatan Hasil Observasi ... 132
Lampiran 8 Pedoman Wawancara Informan Subyek ... 133
Lampiran 9 Pedoman Wawancara Informan Pendukung ... 135
Lampiran 10 Hasil Wawancara Subyek Penelitian... 139
Lampiran 11 Hasil Wawancara Informan Pendukung……….... 150
Lampiran 12 Verbatim Wawancara Subyek Penelitian……… 164
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkawinan adalah ikatan antara pria dan wanita di bawah satu atap
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat biologis,
khusus, psikologis, sosial, ekonomi, maupun budaya bagi masing-masing,
bagi keduanya secara bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka
hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Perkawinan secara hukum
baru dapat dilaksanakan apabila memenuhi persyaratan tertentu. Hukum itu
sendiri bertujuan untuk membina keluarga yang sehat dan kuat (‘Abduh,1995:
46). Dengan kata lain, perkawinan adalah akad yang disepakati oleh seorang
pria dan seorang wanita untuk sama-sama mengikat diri, untuk hidup bersama
dan saling mengasihi demi kebaikan pasangan dan anak-anak mereka, sesuai
dengan batas-batas yang ditentukan oleh hukum.
Dengan menikah maka akan tercipta komunitas kecil yang terdiri dari
ayah, ibu dan beberapa anak. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban,
sehingga satu sama lain saling membantu dan melengkapi (Thalib, 2002: 17).
Komunitas kecil inilah yang kemudian dinamakan keluarga. Dalam keluarga,
baik suami maupun istri sama-sama memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat tempat
2
terbentuk karena ikatan perkawinan antara sepasang suami-istri untuk hidup
bersama, seiya sekata, seiring, dan setujuan, dalam membina mahligai rumah
tangga untuk mencapai keluarga sakinah dalam lindungan dan ridho Allah SWT.
Di dalamnya selain ada ayah dan ibu, juga ada anak yang menjadi tanggung
jawab orang tua (Djamarah, 2004: 28).
Pengertian keluarga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga
adalah: 1) ibu bapak dengan anak-anaknya; seisi rumah; 2) orang seisi rumah
yang menjadi tanggungan; 3) sanak saudara; kaum kerabat; 4) satuan kekerabatan
yang sangat mendasar dalam masyarakat. Berdasarkan hubungan darah, keluarga
adalah satu kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang
lainnya. Berdasarkan hubungan sosial, keluarga adalah satu kesatuan yang diikat
oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara
satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan
darah (Shochib, 1998: 7).
Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama, tempat peserta didik
pertama kali menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau
anggota keluarga lain (Zuhairini, 1992: 177). Pendidikan merupakan segala
usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Sebagai lembaga
pendidikan, maka pendidikan yang berlangsung dalam keluarga bersifat kodrati
karena adanya hubungan darah antara orang tua dan anak (Djamarah, 2004: 2).
Keluargalah yang meletakkan dasar-dasar kepribadian anak, karena pada
masa ini anak lebih peka terhadap pengaruh pendidik (orang tuanya). Orang tua
3
anaknya dan memberikan sikap serta keterampilan yang memadai. Selain itu,
tugas utama dalam keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar
pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk
pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan
keluarga. Oleh karena itu peran, sikap dan perilaku orang tua dalam proses
pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan dan
perkembangan kepribadian anak. Perkembangan kepribadian anak dapat dilihat
antara lain dari kemandirian dan perilaku sosial anak di dalam kehidupan
sehari-hari.
Di dalam keluarga, orang tualah yang berperan utama dalam mengasuh,
membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri dan
berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting dalam
proses perkembangan fisik, mental dan psikososial, dan sering dikatakan sebagai
masa labil dan masih mencari identitas, maka peran orang tua sangat krusial.
Pola pengasuhan anak di dalam suatu keluarga yang ideal adalah
dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling
bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka
menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal.
Namun dalam kenyataannya kondisi ideal tersebut tidak selamanya dapat
dipertahankan atau diwujudkan antar satu sama lain. Karena hal ini terkait
4
Pola asuh dapat mempengaruhi kepribadian anak. Kepribadian anak
terbentuk melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah
maupun di lingkungan luar rumah. Oleh karena itu, orang tua perlu
mempertimbangkan pola asuh atau gaya asuh manakah yang akan diterapkan
pada anak, sehingga tujuan untuk membantu perkembangan anak akan
tercapai. Sebagai orang tua tentunya ayah dan ibu harus memiliki aturan yang
sama dalam mengasuh. Dari beberapa gambaran beberapa tipe atau pola asuh,
memang tidak semua tipe dapat diterapkan untuk semua anak. Secara umum
pola demokratis dianggap menghasilkan anak-anak yang patuh dan taat,
sedangkan pola permisif dikritik sebagai bukan bentuk disiplin (Suryadi,
2007: 81).
Upaya orang tua untuk memantapkan kepribadian anak tampaknya bukan
suatu hal yang mudah. Orang tua perlu menetapkan suatu pola dan perlu adanya
kekompakan antara ayah dan ibu. Selain itu, kepribadian anak dipengaruhi juga
oleh faktor lingkungan, baik teman sebaya, lingkungan masyarakat maupun
media masssa seperti tayangan televisi dan internet. Dilema muncul apabila
orang tua sudah menanamkan pola asuh dan nilai-nilai yang baik pada anak,
tapi karena adanya pengaruh lingkungan, maka tidak mustahil anak menjadi
berkepribadian tidak baik. Oleh karena itu, komunikasi, pengawasan dan
pendampingan harus dilakukan orang tua agar anak mampu memilih dan
memilah sikap serta perbuatan yang harus dicontoh dan tidak patut dicontoh.
Pemeliharaan dan pengasuhan anak adalah masalah yang menyangkut
perlindungan kesejahteraan anak itu sendiri dalam upaya meningkatkan kualitas
5
tidak adil untuk mewujudkan anak sebagai manusia seutuhnya, tangguh, cerdas
dan berbudi luhur, maka tempat bernaung bagi seorang anak adalah orang tua.
Karena orang tua tempat pendidikan utama dan pertama bagi anak-anak
mereka. Dengan demikian bentuk pertama pendidikan terdapat dalam keluarga
yakni para orang tua (Daradjat, 1996: 35).
Anak pada dasarnya lemah dalam merenungkan dirinya dan segala
kebutuhan baik yang berkenaan dalam jiwa maupun harta, maka tidaklah
heran apabila beban pemeliharaan dan pengasuhan anak berada di punggung
orang tua yang mempunyai belas kasihan dan kepedulian kepada anak. Secara
fitrah, yang mempunyai belas kasihan dan peduli kepada anak adalah orang
tua baik mereka masih terkait dalam suatu keluarga utuh atau bercerai berai.
Anak adalah perwujudan cinta kasih orang dewasa yang siap atau tidak
untuk menjadi orang tua. Memiliki anak siap atau tidak, mengubah banyak hal
dalam kehidupan kita, dan pada akhirnya mau atau tidak kita dituntut untuk
siap menjadi orang tua yang harus dapat mempersiapkan anak-anak kita agar
dapat menjalankan kehidupan pada masa depan mereka dengan baik (Anwar
dan Arsyad, 2009: 17).
Fenomena yang saat ini semakin merambah dan nyaris membudaya
yaitu pekerjaan ibu diserahkan kepada orang lain. Misalnya pengasuhan anak
tidak dilakukan oleh ibu kandungnya. Padahal fungsi dan keutamaan bekerja
di rumah bagi seorang ibu berdampak pada anak dan suaminya. Hubungan
mereka bertambah dekat sebab semua terkonsentrasi pada keluarga. Semua
jadi rindu pulang ke rumah. Kenyataan ini akan menjadi teladan jika anak
6
Bekerja di luar rumah terutama pergi ke luar negeri tentu saja berpengaruh
terhadap proses kelangsungan kehidupan rumah tangga. Karena dengan kegiatan
yang mereka lakukan di luar rumah, berarti mereka telah meninggalkan waktu di
dalam keluarga untuk bekerja. Relasi sosial dengan suami dan anggota keluarga
lainnya pun berubah. Tidak jarang juga menimbulkan kesalahpahaman dengan
suami dan keluarga. Termasuk dalam masalah pengasuhan anak.
Permasalahan anak bukanlah permasalahan yang mudah, dalam
prakteknya banyak keluarga TKI yang anaknya tinggal bersama nenek saudara
atau tetangga. Hal ini yang mengakibatkan anak kurang perhatian dan kasih
sayang sehingga mereka menjadi nakal dan susah diatur. Berdasarkan survei
yang dilakukan peneliti dengan melakukan wawancara bersama bapak Abdul
Jalil selaku Kepala Desa Pandeman, mengatakan bahwa di Desa Pandeman
merupakan sebuah desa dengan populasi Tenaga Kerja Indonesia yang relatif
besar dibandingkan desa-desa lain yang berada di wilayah Kecamatan Arjasa.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah
yang selanjutnya disebut dengan TKI.
Tujuan utama orang pergi ke luar negeri dan bekerja di sana tidak lain
dan tidak bukan adalah demi untuk memperoleh penghasilan yang besar.
7
segala kebutuhan hidupnya. Begitupun dengan adanya iming-iming untuk
memperoleh penghasilan yang besar, kemudian memicu banyak orang untuk
berbondong-bondong pergi bekerja keluar negeri, demi mengejar impiannya,
merengkuh hidup enak dan berkecukupan.
Faktor kemiskinan menjadi alasan bagi kebanyakan masyarakat Desa
Pandeman untuk menjadi TKI. Terlebih lagi para suami maupun istri sudah
tidak bisa berbuat banyak ketika keluarga mereka terus mendesak agar bekerja
menjadi TKI. Selain faktor penghasilan yang besar, faktor lain yang memicu
orang untuk pergi berbondong-bondong dan bekerja ke luar negeri karena
sulitnya mencari dan memperoleh pekerjaan yang layak di negeri sendiri.
Berbagai lapangan pekerjaan yang ada di negeri ini rasanya seperti telah
dijejali oleh ribuan atau bahkan jutaan orang, sehingga hal tersebut seperti
sudah tidak lagi memberi kesempatan bagi generasi berikutnya.
Ketika ada salah satu atau beberapa lapangan pekerjaan dibuka, maka
dengan segera orang berlomba-lomba memasukan surat lamaran pekerjaan,
bersaing merebutkan pekerjaan tanpa peduli apakah pekerjaan itu sesuai dengan
keahliannya atau tidak. Hal ini karena letak Desa Pandeman terpencil yang
merupakan wilayah kepulauan yang terpisah dari pulau Madura. Kehidupan
sehari-hari warga Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep
sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Aktivitas sehari-harinya
digunakan untuk pergi ke laut. Pekerjaan sebagai nelayan ini dirasa kurang
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat.
Anak-anak yang setiap hari mendapatkan perhatian dari seorang ibu,
8
sedikit dari anak-anak yang kedua orang tuanya menjadi TKI, pengasuhan
mereka harus beralih kepada nenek, paman dan bibi maupun tetangga dekat.
Kedekatan orang tua bermanfaat besar bagi anak, di antaranya menumbuhkan
rasa percaya diri. Kedekatan orang tua pada anak juga akan memberikan rasa
nyaman pada diri anak sehingga anak merasa menjadi individu yang selalu
diperhatikan orang tuanya. Perhatian dan kasih sayang orang tua yang stabil,
menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain.
Mayoritas anak di kalangan keluarga Tenaga Kerja Indonesia di Desa
Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur dalam
kesehariannya kurang sopan dan juga bisa dikatakan nakal, mabuk-mabukan,
merokok pada usia dini, dan bahkan ada yang hamil di luar nikah. Dengan
rendahnya moral yang mereka miliki, maka semua tindakan yang mereka
lakukan hanya akan dianggap baik dan benar bagi mereka. Kebanyakan dari
apa yang mereka lakukan cerminan dari bagaimana keluarga (kedua orang tua)
menanamkan nilai dan norma kepada anak-anaknya (Monografi Kecamatan
Arjasa dalam Angka 2015).
Dalam masa perubahan sosial masyarakat, di mana sang anak dibesarkan,
tentu memiliki perbedaan dengan situasi di mana orang tua dibesarkan. Orang
tua sering menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai patokan dan
petunjuk. Tetapi banyak di antaranya yang sudah tidak sesuai, dan
standar-standarnya sudah tidak berlaku lagi. Jika pun keadaan tidak berubah, kedua
kelompok orang tua itu, anak-anak dan orang tua berada pada titik berbeda
antar kehidupan mereka, dan akan berbeda pandang mengenai banyak
9
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pola pengasuhan pada anak
keluarga TKI yang berlangsung di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten
Sumenep Jawa Timur dapat dikatakan beragam. Hal ini disebabkan oleh latar
pendidikan rata-rata masyarakat yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemahaman
terhadap pola asuh seringkali berlangsung secara turun-temurun tanpa adanya
bimbingan yang lebih baik dalam pengarahkan proses pertumbuhan psikologi
dan karakteristik anak.
Berangkat dari permasalahan itu, peneliti ingin mengungkap berbagai
kemungkinan permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi dari orang tua
yang bekerja di luar negeri terutama yang berdampak pada pengasuhan anak.
Ketergantungan manusia pada masa anak-anak pada orang tua terutama ibu
adalah suatu kenyataan yang menunjukkan dirinya membutuhkan orang tua
untuk bisa berkembang menuju kehidupan yang mandiri. Selain itu hubungan
sosial dengan lingkungan sekitar juga turut mempengruhi proses perkembangan
seorang anak.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, wawasan
dan pemahaman serta solusi secara komprehensif tentang bagaimana orang tua
yang bekerja di luar negeri dalam mengatur urusan rumah tangga dan anak,
terutama tentang bagaimana pengasuhan anak yang masih sangat membutuhkan
sosok orang tua yang selalu berada di sampingnya. Tentu saja didasarkan dari
berbagai sudut pandang sehingga akan memberikan wacana dan pemahaman
secara adil, baik bagi para orang tua itu sendiri, keluarga dan anak-anak.
Dari fenomena di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang
10
Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep, karena di Desa Pandeman Kecamatan
Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur inilah terdapat fenomena pola
pengasuhan pada anak keluarga TKI yang kompleks dan beragam.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan dijadikan fokus penelitian
adalah bagaimana pola pengasuhan anak keluarga TKI ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mempunyai tujuan penelitian yang
nantinya secara sistematis akan menggambarkan isi penelitian ini, yang merujuk
pada fokus penelitian di atas yaitu: Untuk menggambarkan pola pengasuhan
anak keluarga TKI
D. Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan kontribusi dalam pengembangan disiplin ilmu psikologi,
serta menambah informasi di bidang psikologi sekaligus telaah bagi penelitian
selanjutnya.
11
Memberikan kontribusi yang positif bagi pembaca dan menambah
wawasan bagi masyarakat luas pada umumnya, tentang keterkaitan
pengasuhan orang tua, perubahan perilaku sosial dan psikologis anak.
E. Keaslian Penelitian
Yuli Candrasari (2010), berjudul “Pola komunikasi keluarga dan pola asuh
anak TKW”. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian yang bersifat pemahaman (understanding/verstehen)
atau pemahaman empatik (empathy) yaitu suatu cara untuk menempatkan atau
mengidentifikasikan diri peneliti pada diri informan penelitian. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan teknikpurposive sampling. Hasil analisis
menunjukan pada keluarga TKW, di mana anak sudah ditinggal ibunya pergi
sejak masih kecil (di bawah usia balita) maka pola komunikasi dan pola asuh
tidak berjalan dengan baik dalam keluarga tersebut. Pada keluarga TKW, di
mana sang ibu menjadi TKW ketika sang anak sudah melewati usia tahun,
maka pola komunikasi dan pola asuh lebih baik, pola komunikasi bersifat
menyebar (dua arah/sirkular). Arus informasi tidak saja dari orang tua kepada
anak, tetapi juga sebaliknya dari anak kepada orang tua. Pola asuh berjalan
dengan baik, hal in terlihat dari perkembangan psikologis anak.
Mulia Astuti (2011), berjudul “Anak Berhadapan dengan Hukum Ditinjau
dari Pola Asuhnya dalam Keluarga (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat,
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Nusa Tenggara Barat)”. Penelitian
ini merupakan hasil dari penelitian pola asuh anak dalam keluarga yang salah
12
bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengasuhan anak yang dilakukan orang
tua atau orang tua pengganti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kasus terhadap keluarga dengan anak berhadapan dengan hukum. Teknik
pengumpulan data yang digunakan wawancara mendalam dengan orang tua atau
wali, tokoh masyarakat setempat dan studi dokumentasi. Penelitian dilaksanakan
pada 3 provinsi yaitu Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak
berhadapan dalam asuhan ibu/bapak tiri, nenek, atau paman. Di samping itu
keluarga tersebut kebanyakan berasal dari kelas sosial ekonomi menengah ke
bawah. Anak menjadi nakal atau berhadapan dengan hukum karena pengasuhan
dalam keluarga yang diterima anak tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pola
asuh yang baik. Sehubungan dengan hasil penelitian ini, direkomendasikan agar
lembaga yang terlibat dalam penanganan anak nakal yang berhadapan dengan
hukum menjadikan keluarga sebagai sasaran intervensi melalui bimbingan
pengasuhan anak (parenting skill).
Yayat Nurhayati (2012), berjudul “Pola Asuh Keluarga TKW dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Anak (Studi Kasus: Di Desa
Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu)”. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan konsep pendidikan keluarga dalam Islam,
mengkaji pola asuh keluarga TKW di Desa Dukuhjeruk, menemukan implikasi
pola asuh keluarga TKW di Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel
Kabupaten Indramayu terhadap pendidikan agama anaknya. Dalam proses
13
pentingnya penyajian informasi yang obyektif dengan mengambil lokasi di
Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi dokumentasi, dan
wawancara yang mendalam. Dari hasil penelitian ditemukan kesimpulan
bahwa: 1) Pola asuh yang diterapkan oleh keluarga TKW lebih cenderung
permisif. Ada yang permisif indulgent (pengasuhan yang menuruti) dan ada
yang permisifindifferent (pengasuhan yang mengabaikan). 2) Pola asuh yang
dilakukan keluarga TKW berimplikasi terhadap pendidikan agama anak-anak
mereka, di antaranya mereka belum bisa memahami dan menjalankan ibadah
dengan baik. Mereka belum bisa membaca Al-Qur’an, belum hafal bacaan
sholat, belum bisa membacakan do’a sehari-hari, dan mereka belum bisa
menghargai dan menghormati orang lain.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
terletak pada obyeknya, di mana penelitian ini menggunakan obyek anak TKW
sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan obyek anak keluarga
TKI. Begitupun dengan lokasi penelitian yang juga berbeda di mana dalam
penelitian ini mengambil lokasi Desa Dukuhjeruk Kecamatan Karangampel
Kabupaten Indramayu, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti
mengambil lokasi di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep
Jawa Timur.
Metti Verawati (2013), berjudul “Substitusi Pola Asuh Anak Pada
Keluarga TKI di Ponorogo”. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan
14
Kabupaten Ponorogo, dimana di Kecamatan Babadan merupakan angka
tertinggi kedua masyarakatnya yang menjadi TKI. Pada penelitian ini
informan adalah orang yang menggantikan pengasuhan anak pada keluarga
TKI yang berjumlah lima informan, yaitu seseorang yang menggantikan
pengasuhan anak pada keluarga TKI. Dalam penelitian ini teknik sampling
yang digunakan adalah Purposive Samping dan Snowball Sampling. Untuk
validitas data yang sudah diperoleh, peneliti melakukan tringulasi sumber
dengan mencari data dari sumber lain yaitu dari perangkat desa yang
mengetahui kondisi keluarga TKI di Desa Gupolo. Pola asuh yang diterapkan
oleh nenek termasuk dalam campuran pola asuh demokratis dan permisif.
Selain faktor dari anak yang diasuh, faktor lingkungan memberikan pengaruh
positif dalam pemberian pola asuh, karena lingkungan tempat penelitian
mendukung dalam pembentukan norma-norma sosial yang baik.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
terletak pada lokasi penelitian, di mana dalam penelitian ini mengambil lokasi
di Desa Gupolo Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo, sedangkan dalam
penelitian yang akan dilakukan peneliti mengambil lokasi di Desa Pandeman
Kecamatan Arjasa Kabupaten Sumenep Jawa Timur.
Eko Siswanto (2014), berjudul“Pengasuhan Orang Tua dalam Pembelajaran
Nilai Moral pada Anak Usia Dini Keluarga TKW dalam Peer Grup Bermain di Dusun Ngepeh, Desa Sukorejo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun” Perilaku moral yang kurang baik atau kurang sopan diperlihatkan oleh anak
usia dini salah satunya dikarenakan kurang tepatnya pengasuhan anak yang
15
Dusun Ngepeh adalah pemukiman penduduk desa Sukorejo yang banyak anak
usia 4-7 tahun yang ditinggalkan ibunya bekerja ke luar negeri. Orang tua
beranggapan moral anak adalah tanggung jawab sekolahan dan tidak perlu
diajari tatakrama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk penanaman nilai budi pekerti
(sopan-santun) yang paling dasar pada adat jawa yang diterapkan oleh orang
tua keluarga TKW dalam menanamkan perilaku santun purta-putrinya disaat
anak di usia dini pada kelompok teman bermain. Dari penelitian menunjukkan
penanaman nilai moral yang permisif yang paling banyak diterapkan oleh
orang tua, sehingga banyak anak tidak berpengetahuan tentang nilai moral
(sopan santun berbicara dan perilaku) dan tidak berpengetahuan tentang adat
istiadat kebudayaan daerahnya sendiri selain minat anak belajar nilai-nilai
budaya asal yang rendah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
terletak pada obyeknya, di mana penelitian ini menggunakan obyek anak TKW
sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan obyek anak keluarga
TKI. Begitupun dengan lokasi penelitian yang juga berbeda di mana dalam
penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Ngepeh Desa Sukorejo Kecamatan
Kebonsari Kabupaten Madiun, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan
peneliti mengambil lokasi di Desa Pandeman Kecamatan Arjasa Kabupaten
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengasuhan Anak
Orang tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua
dengan anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Sikap
bijaksana orang tua ini sangat diperlukan untuk mengerti kemampuan anak,
sebab kekurangtahuan terhadap kemampuan anak terkadang menumbuhkan
sikap kasar terhadap kepribadian anak itu sendiri.
Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi seorang anak dalam
memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan
yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial
dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar
belakang kehidupan, pengalaman, pendidikan dan kepentingan yang terdapat
dalam diri setiap orang tua, maka dengan sendirinya pula akan memunculkan
cara-cara mendidik anak yang juga berbeda antar orang tua satu dengan
lainnya.
Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh
orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab
kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam
sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan
individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka
17
dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat
dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang
secara optimal (Thoha, 1996: 109).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua
adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan
dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan
memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap
anak-anaknya, tentu saja setiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang
berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri. Dengan
adanya perbedaan pola pengasuhan orang tua tersebut, sehingga nantinya akan
menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda pula antar orang tua.
Pengasuhan (parenting) tidak hanya sebatas bagaimana orang tua
memperlakukan anaknya dengan baik, akan tetapi lebih kepada bagaimana
orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak
dalam menuju proses kedewasaan. Dan berupaya pembentukan norma-norma
yang dikehendaki masyarakat umum (Padil dan Supriyatno, 2010: 118).
Casmini (2007: 1) berpendapat bahwa “pengasuhan yang dimaksud
meliputi beberapa aspek antara lain: pengasuhan anak dalam bidang
pendidikan religi meliputi, sosialisasi awal keagamaan terhadap anak,
pengembangan pendidikan keagamaan; pengasuhan anak dalam bidang etika
dan moral anak meliputi etika makan dan minum, etika berpakaian, sopan
santun terhadap orang tua, dan kebersihan; pengasuhan anak dalam bidang
18
Pengasuhan merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang
meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan
keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung
mengarah pada pola asuh yang diterapkan (Gunarsa, 1991: 64). Karena itulah
di dalam keluarga inti yaitu orang tua merupakan seorang aktor yang
memelihara, melindungi, dan panduan kehidupan anak untuk menuju
kedewasaan. Semua orang tua memegang berbagai peran dan tanggung jawab
dalam kaitannya dengan anak-anak mereka. Mereka adalah pengasuh,
pemerhati, pendidik, disipliner, dan penasehat. Pengasuhan dianggap sangat
penting dalam memberi pengalaman manusia yang mengubah orang-orang
secara emosional, sosial, dan intelektual. Aristoteles percaya bahwa
kebanyakan anak-anak akan mendapat manfaat dari pribadi dan stabilitas
sosial yang diterapkan oleh keluarga (Martin & Colbert, 1997: 64).
Gunawan (2000: 55) mendefinisikan bahwa “pola pengasuhan adalah
proses memanusiakan atau mendewasakan manusia secara manusiawi, yang
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan jaman.”
Karena itulah, melalui pengasuhan dan interaksi sosial, dengan demikian
pengasuhan dapat diartikan sebagai sosialisasi seperti bayi yang baru belajar
adaptasi saat meminum ASI. Sedangkan Dantes memberikan pengertian
pengasuhan sebagai pola pendekatan dan interaksi antara orang tua dengan
anak dalam pengelolaan di dalam keluarga (Dantes, 1993: 10).
Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pengasuhan
yang bisa dipilih dan diterapkan oleh orang tua. Hurlock mengemukakan ada
19
1. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan
aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku
seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri
sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran
dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah
benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang
bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras,
lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala
keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan
meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam
suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah
kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja.
2. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu
tergantung pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada
anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan
pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut
dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk
mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih
untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi
20
3. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara
bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi
kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.
Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan
bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang telah
dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran,
arahan atau bimbingan (Thoha, 1996: 111-112).
Tembong Prasetya (2003: 27-32) membagi bentuk pola asuh orang tua
menjadi empat, antara lain:
1. Pola Pengasuhan Autoritatif
Pada umumnya pola pengasuhan ini hampir sama dengan bentuk
pola asuh demokratis oleh Agoes Dariyo dan Chabib Thoha namun hal
yang membedakan pola asuh ini yaitu adanya tambahan mengenai
pemahaman bahwa masa depan anak harus dilandasi oleh
tindakan-tindakan masa kini. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak
dibanding dengan kepentingan dirinya, tidak ragu-ragu mengendalikan
anak, berani menegur apabila anak berperilaku buruk. Orang tua juga
mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki
sikap, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang akan mendasari
anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.
2. Pola Pengasuhan Otoriter
Pada pola pengasuhan ini, orang tua menuntut anak untuk mematuhi
21
dari pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup
bertanggung jawab, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara
sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri.
3. Pola Pengasuhan Penyabar atau Pemanja
Pola pengasuhan ini, orang tua tidak mengadalkan perilaku anak
sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak, tidak pernah
menegur atau tidak berani menegur anak. Anak-anak dengan pola
pengasuhan ini cenderung lebih energik dan responsif dibandingkan
anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter, namun mereka tampak kurang
matang secara sosial (manja), impulsive, mementingkan diri sendiri dan
kurang percaya diri (cengeng).
4. Pola Pengasuhan Penelantar
Pada pola pengasuhan ini, orang tua kurang atau bahkan sama sekali
tidak mempedulikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan
berkembang sendiri, sedangkan orang tua juga lebih memprioritaskan
kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anak. Kepentingan
perkembangan kepribadian anak terabaikan, banyak orang tua yang terlalu
sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai macam alasan.
Anak-anak terlantar ini merupakan Anak-anak-Anak-anak yang paling potensial terlibat
penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan tindakan-tindakan
kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan orang tua sering mengabaikan
keadaan anak dimana ia sering tidak peduli atau tidak tahu dimana
anak-anaknya berada, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, sedang apa anak
22
diperhatikan oleh orang tua, sehingga ia melakukan segala sesuatu atas apa
yang diinginkannya.
Komunikasi ibu dan ayah dalam suatu keluarga sangat menentukan
pembentukan kepribadian anak-anak baik di dalam maupun di luar rumah.
Anak akan memperhatikan sikap, tindakan, perbuatan, maupun ucapan kedua
orang tuanya terhadap dirinya. Sehingga anak berpengaruh pada proses
pembentukan kepribadian anak. Orang tua, keluarga, dan lingkungan mempunyai
peran yang sangat besar dalam perkembangan anak. Namun, karena
perkembangan anak berlangsung secara bertahap dan memiliki alur kecepatan
perkembangan yang berbeda. Maka pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan
tahapan perkembangan anak yang bersangkutan.
Orang tua merupakan pengambil peran utama dalam mengasuh
anak-anaknya. Terutama kedekatan anak terhadap ibu, karena ibulah yang
mengandung, melahirkan, dan menyusui. Jadi secara psikologis mempunyai
ikatan yang lebih dalam. Terjadinya krisis hubungan yang melibatkan antara
orang tua dan anak sebagian besar disebabkan karena ketidakbijaksanaan orang
tua dalam menerapkan pengasuhan kepada anaknya. Sikap atau tindakan anak
itu tercermin dari dalam cara pengasuhan kepada anak yang berbeda-beda
karena orang tua dan keluarga mempunyai cara pengasuhan tertentu. (Galih,
2009: 43)
Dalam hidup berumah tangga tentunya ada perbedaan pendapat antara
suami dan istri, perbedaan dari pola pikirannya, perbedaan dari gaya kebiasaan
sehari-harinya, perbedaan dari sifat dan tabiatnya, perbedaan dari tingkatan
23
Perbedaan yang seperti inilah yang dapat mempengaruhi gaya hidup
anak-anaknya, sehingga akan memberikan warna tersendiri dalam keluarga. Perpaduan
antara perbedaan dari kedua orang tua ini akan mempengaruhi proses
perkembangan kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut.
Secara umum di dalam suatu keluarga, seorang ibu memiliki tanggung
jawab yang cukup besar bahkan juga dapat dikatakan sebagai arsitek dalam
keluarga. Seorang ibu diharapkan mampu mengatur suasana rumah tangga,
yang artinya dapat menciptakan suasana atau kondisi keluarga yang harmonis,
tenang, dan bisa membawa kedamaian seluruh keluarga. Seorang ibu juga
mempunyai tanggung jawab yang cukup besar yaitu menjadi pembentuk
tingkahlaku dan penanaman moral pada anak.
Pengasuhan yang diterapkan dan dikembangkan oleh orang tua terhadap
perkembangan anak-anaknya merupakan dasar awal pembinaan terhadap mental
dan kepribadian anak. Pengasuhan orang tua terhadap anak menjadi 3 (tiga),
yaitu: 1) Pola asuh otoriter, 2) Pola asuh demokratis, (3) Pola asuh permisif
(Hurlock, 2004: 38).
Pengasuhan untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah
dimana orang tua tetap memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi orang
tua juga mengendalikan anak. Sehingga anak yang hidup dalam masyarakat,
bergaul dengan lingkungan, serta mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar
yang mungkin dapat merusak kepribadian, akan dapat dikendalikan oleh orang
tua dengan menerapkan sikap-sikap yang baik dalam keluarga serta contoh
24
Pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar sangat berpengaruh
pada perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui
pengasuhan, akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan
bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Cara pengasuhan orang tua yang bekerja dan tidak bekerja juga akan berbeda.
Demikian juga dengan pengasuhan orang tua yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi maupun latar belakang pendidikan yang rendah.
Pengasuhan yang diterapkan di dalam suatu keluarga juga berkaitan
dengan jenis pekerjaan kedua orang tua. Dalam hal ini orang tua berkewajiban
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi anak. Sebagaimana kita ketahui
bahwa anak merupakan potensi serta penerus bangsa, sehingga kesejahteraan
anak harus benar-benar diperhatikan.
Pola pengasuhan anak sebagai khasanah budaya bangsa adalah wujud
kebudayaan ideal dan kelakuan, menyangkut pewarisan sistem norma, perilaku,
dan nilai-nilai luhur yang telah disepakati, ditaati, dan dihormati. Perbedaan
pengasuhan yang dilakukan oleh setiap orang tua berbeda, disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya:
1. Keadaan alam, misalnya: masyarakat pantai dengan masyarakat pegunungan.
2. Latar belakang pendidikan, misalnya: pendidikan tinggi dan pendidikan
rendah.
3. Mata pencaharian hidup, misalnya: masyarakat yang bertani, masyarakat
nelayan, masyarakat yang menjadi buruh ke luar negeri (TKI), dan
sebagainya.
25
Selain faktor-faktor di atas, dalam pola pengasuhan ini terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan
pola pengasuhan pada anak-anaknya. Menurut Manurung (1995: 53) beberapa
faktor yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua adalah:
1. Latar belakang pola pengasuhan orang tua.
Maksudnya para orang tua belajar dari metode pola pengasuhan yang
pernah didapat dari orang tua mereka sendiri.
2. Tingkat pendidikan orang tua.
Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola
pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki tingkat pendidikan
yang rendah.
3. Status ekonomi serta pekerjaan orang tua.
Orang tua yang cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang
menjadi kurang memperhatikan keadaan anak-anaknya. Keadaan ini
mengakibatkan fungsi atau peran menjadi “orang tua” diserahkan kepada
pembantu, yang pada akhirnya pola pengasuhan yang diterapkan pun
sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh pembantu.
Sedangkan Santrock (1995: 240) menyebutkan ada beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain:
1. Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya. Orang tua
menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola pengasuhan
yang pernah didapat sebelumnya.
2. Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat antara
26
Soekanto (2004: 43) menjelaskan, bahwa secara garis besar ada dua
faktor yang mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu faktor eksternal
serta faktor internal. Faktor eksternal adalah lingkungan sosial dan lingkungan
fisik serta lingkungan kerja orang tua, sedangkan faktor internal adalah model
pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya. Secara lebih lanjut
pembahasan faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam pola pengasuhan
orang tua adalah:
1. Lingkungan sosial dan fisik tempat dimana keluarga itu tinggal
Pola pengasuhan suatu keluarga turut dipengaruhi oleh tempat di
mana keluarga itu tinggal. Apabila suatu keluarga tinggal di lingkungan
yang otoritas penduduknya berpendidikan rendah serta tingkat sopan
santun yang rendah, maka anak dapat dengan mudah juga menjadi ikut
terpengaruh.
2. Model pola pengasuhan yang didapat oleh orang tua sebelumnya
Kebanyakan dari orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada
anak berdasarkan pola pengasuhan yang mereka dapatkan sebelumnya.
Hal ini diperkuat apabila mereka memandang pola asuh yang pernah
mereka dapatkan dipandang berhasil.
3. Lingkungan kerja orang tua
Orang tua yang terlalu sibuk bekerja cenderung menyerahkan
pengasuhan anak mereka kepada orang-orang terdekat atau bahkan kepada
baby sitter. Oleh karena itu pola pengasuhan yang didapat oleh anak juga
27
Peter L. Berger juga menyebutkan bahwa terdapat proses sosialisasi
yang salah satunya adalah pola sosialisasi represif (otoriter), di mana pada
sosialisasi ini menekankan pada penggunakan hukuman terhadap kesalahan,
orang tua lebih dominan, dan komunikasi terjadi pada satu arah (Sunarto,
1993: 33). Jadi ketika dalam proses pengasuhan yang bersifat represif ini
(otoriter), orang tua juga akan semakin ketat dalam mengontrol tingkah laku
dan aktivitas yang dilakukan oleh anak. Sehingga anak harus mengikuti semua
apa yang sudah dikatakan oleh orang tua mereka.
Berger dan Luckman (1990: 176), menjelaskan bahwa terdapat dua jenis
sosialisasi, yaitu:
1. Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal yang dialami individu pada
saat kecil, saat dikenalkan pada dunia sosial obyektif. Individu berhadapan
dengan orang yang sangat berpengaruh (orang tua atau pengganti orang tua),
dan bertanggung jawab atas sosialisasi anak. Sosialisasi primer berlangsung
saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah. Anak
mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap
dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar
keluarganya. Dengan kata lain sosialisasi primer adalah sosialisasi yang
pertama yang dialami individu pada masa kanak-kanak yang dengan itu
menjadi bagian atau anggota masyarakat.
Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu
abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang
28
realitas yang berasal dari orang lain yang sangat berpengaruh itu dianggap
oleh si anak sebagai realitas obyektif. Dalam sosialisasi ini lebih pada
kondisi yang bermuatan emosional yang tinggi. Karena tanpa hubungan
emosional yang tinggi inilah, maka proses belajar itu akan menjadi sulit.
Anak akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang
mempengaruhi dengan berbagai cara emosional.
Apapun cara itu, internalisasi hanya berlangsung dengan
berlangsungnya identifikasi, seorang anak akan mengoper peranan dan
sikap orang-orang yang mempengaruhinya. Artinya anak itu menginternalisasi
dan menjadikannya peranan sikapnya sendiri, dan melalui identifikasi dengan
orang-orang yang berpengaruh itu si anak menjadi mampu mengidentifikasi
dirinya sendiri untuk memperoleh suatu identitas yang secara subyektif
koheren dan masuk akal. Ini bukan suatu proses yang mekanistik dan
sepihak. Ia melibatkan suatu dialektika antara identifikasi oleh orang lain
dan identifikasi oleh diri sendiri, antara identitas yang diberikan secara
obyektif dan identitas yang diperoleh secara subyektif.
2. Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi sekunder sebagai proses sosialisasi lanjutan setelah
sosialisasi primer yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu
dalam masyarakat, atau dengan kata lain merupakan suatu proses yang
mengimbas individu yang sudah diasosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor
baru dunia obyektif masyarakatnya. Keterbatasan biologis dalam sosiolisasi
29
ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak
diperoleh (menurut struktur landasan pengetahuan itu).
Berbeda halnya dengan sosialisasi primer, di mana sosialisasi primer
tidak dapat berlangsung tanpa suatu identifikasi yang bermuatan emosi di
pihak antara anak dan para pengasuhnya, tetapi kebanyakan sosialisasi
sekunder tidak memerlukan identifikasi seperti itu, dan bisa berlangsung
secara efektif dengan hanya identifikasi timbal-balik sebanyak yang masuk
dalam tiap komunikasi antar manusia. Dalam sosialisasi sekunder, konteks
kelembagaannya biasanya dipahami. Tak perlu dikatakan lagi bahwa hal
ini tidak perlu melibatkan suatu pemahaman yang canggih mengenai semua
implikasi dari konteks kelembagaannya.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang
memepengaruhi pola asuh orang tua yaitu adanya hal-hal yang bersifat internal
(berasal dalam diri) dan bersifat eksternal (berasal dari luar). Hal itulah yang
kemudian menentukan pola asuh terhadap anak-anak untuk mencapai tujuan
agar sesuai dengan norma yang berlaku.
B. Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat
dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan
hidup bagi diri dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk
30
berharga baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Oleh karena itu, hak
atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang
wajib dijunjung tinggi dan dihormati.
Kebijakan ekonomi dirancang untuk memacu perekonomian pada
tingkatan sepesat mungkin juga banyak mengalami hambatan, sehingga
program pemacu perekonomian hanya menjadi slogan kosong yang tidak
mempunyai implikasi yang serius dalam perubahan ekonomi di Indonesia,
sehingga semakin bertumpuk pengangguran dan kemiskinan. Seharusnya,
solusi yang paling ambisius bagi pemerintah adalah menjadi majikan terakhir
(the employer of last resort), yang menjamin pekerjaan bagi setiap orang yang
mampu bekerja dan menginginkan pekerjaan (Nickel, 1996: 226).
Alasan utama seseorang mencari pekerjaan tentunya adalah agar
mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena
pada umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya
adalah orang tua yang bekerja (Zuriah, 2007: 162). Selain itu, kerja adalah
data stabil pada masyarakat ini. Tanpa sesuatu untuk dikerjakan tidak ada
alasan untuk hidup. Seseorang yang tidak dapat bekerja hampir sama dengan
meninggalkan dan biasanya memilih kematian dan berusaha mencapainya
(Hubbard, 2009: 122).
Pekerjaan berarti aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam
arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang
menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini
sering dianggap sinonim dengan profesi. Berikut ini dijelaskan ciri-ciri
31
1. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat
dilakukan oleh kelompok tertentu/pekerja.
2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah
tehnik dan prosedur yang unik.
3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang
mampu melaksanakannya suatu pekerjaan profesional.
4. Dimilikinya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu
melaksanakannya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja
menjaga, akan tidak sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas
layanan kepada masyarakat, terutama tindak-tindak etis profesional kepada
anggota (Arikunto, 1993: 236).
Untuk memulai mencari pekerjaan apa yang sesuai dengan kita, maka
harus dipertimbangkan segala sesuatu yang kita sukai, dan hal itu sangat
penting. namun, melihat kenyataan akan kesempatan kerja yang ada adalah
lebih penting. Tidak peduli mengenai latar belakang pendidikan seseorang,
kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan segala
sesuatu untuk ditawarkan (Sidharta, 1996: 6).
Suatu pekerjaan akan membuat hidup seseorang menjadi lebih baik dari
segi ekonomi dan dapat disimpulkan bahwa karier seseorang sangat ditentukan
oleh tekad dan kemampuan yang besar untuk memanfaatkan kesempatan yang
ada dengan segala kemampuan yang dimilikinya. untuk itu, dibutuhkan
keahlian khusus atau dengan kata lain harus melihat sesuai kemampuan yang
dimilikinya, mengingat banyak sekali ragam dan jenis dalam pekerjaan. Oleh
32
Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi
bangsa Indonesia di sepanjang perjalanannya menjadi bangsa merdeka adalah
masalah pengangguran. Keberadaan masalah tersebut menunjukkan bahwa di
negeri gemah ripah loh jinawi ini, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak
mampu menampung ledakan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran
menjadi fenomena mengemuka sekaligus menjadi salah satu masalah serius
dalam lingkaran persoalan nasional yang bernama kemiskinan. Oleh karena itu
mengatasi masalah pengangguran menjadi agenda penting dalam kerangka
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan.
Di saat pemerintah belum sepenuhnya berhasil mencari jalan keluar atas
persoalan pengangguran, fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengemuka.
Fenomena ini tampil sebagai solusi alternatif yang banyak peminatnya, ditandai
semangat menjadi TKI yang begitu menggelora di kalangan angkatan kerja
(Forum Sadar Hukum Islam, 2009: 11). Fenomena pekerja migran lintas negara
ini menjadi satu hal yang tak terhindarkan, tak terkecuali negara Indonesia.
Kita semua menyadari, mancari penghidupan yang layak, termasuk
menjadi TKI di luar negeri, adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena
itu, tidak ada orang atau pihak yang bisa melarang atau membatasi hak asasi
tersebut. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus menghormati pilihan mereka
yang bersusah-payah mencari nafkah di negeri orang. Bahkan pemerintah
memiliki kewajiban untuk menfasilitasi, menjaga dan melindungi para pekerja
migran lintas negara ini agar bisa hidup aman dan nyaman dan makmur di
33
Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah warga
negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang melakukan kegiatan di
bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesehatan dan olah raga profesional
serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri baik di darat, laut maupun udara
dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja (Soepomo, 2001: 3).
Namun demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar.
Sedangkan TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Kepergian para TKI, mula-mula didorong oleh keinginan sejumlah
angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di manca negara sebab
di negeri sendiri belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu
memperbaiki kehidupan mereka (Utomo, 2009: 7). Keberhasilan sejumlah
TKI pemula, yang ditandai gaji tinggi dan perolehan kekayaan menakjubkan
untuk ukuran pekerja migran menjadi daya tarik, inilah yang mendorong
mereka untuk kemudian menyusul dan berbondong-bondong menjadi TKI.
Fenomena ini berlangsung mulai tahun 1980-an sampai sekarang, sehingga
akhirnya keputusan menjadi TKI pun kini merupakan pilihan menarik bagi
jutaan angkatan kerja di seluruh pelosok Indonesia. Pada saat yang sama
pemerintah tidak memiliki alasan untuk berkata “tidak“ atas keberangkatan
mereka. Saat ini, tidak kurang dari 8,3 juta orang TKI tersebar di berbagai negara;
dan darinya per tahun mengalir devisa antara 3-4 milyar dollar Amerika Serikat
atau setara dengan 27-36 trilyun rupiah.
Maraknya kehadiran TKI di Malaysia terjadi sejak tahun 1995 saat itu
sekitar 150 perusahaan di negara tersebut menderita krisis tenaga kerja. Mereka
34
orang. Permintaan tersebut dipenuhi pemerintah, kebijakan bagi masuknya
pekerja asing benar-benar dilonggarkan. Gaji yang diberikan jauh lebih besar
dibanding di negara asal pekerja, sehingga Malaysia benar-benar diserbu
pekerja asing.
Beberapa TKI di Malaysia menyatakan bahwa bekerja di Malaysia itu
lebih mudah disebabkan budaya dan bahasa sedikit sama dengan Indonesia,
gaji yang relatif tinggi jika dikurskan dengan rupiah, sarana transportasi dari
Indonesia-Malaysia dan sebaliknya mudah dijangkau dan relatif murah baik
itu melalui jalan udara maupun laut (Utomo, 2009: 7). Jadi dengan gambaran
besaran gaji spintas di atas, tidaklah heran jika banyak orang-orang yang lebih
memilih bekerja di Malaysia, karena Indonesia belum dapat menyediakan
lapangan pekerjaan yang mampu memperbaiki kehidupan mereka.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap pemerintah
untuk “merestui” keberangkatan TKI ke luar negeri, yang kata lainnya
melegitimasi ekspor “manusia”, relevan dipandang sebagai upaya menelan “pil
pahit” yang diharapkan dapat menjadi “obat mujarab” dalam menyembuhkan
“penyakit” kronis yang disebut pengangguran. Meskipundi manca negara TKI
hanya bisa bekerja sebagai pekerja kasar di sektor-sektor marjinal karena
mereka tidak berbekal keahlian yang menjual (unskilled), pemerintah pun
terpaksa merelakan walau disadari itu bukan keputusan yang membanggakan.
Sikap mengijinkan keberangkatan TKI, disadari merupakan pilihan terbaik (di
antara sekian pilihan yang tidak ideal) yang terpaksa dilakukan karena belum
ada alternatif lebih baik yang dapat menggantikan. Dengan pendidikan rendah
35
untuk datang ke negeri orang. Modal nekat inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu, selain itu mereka juga menjadi korban kebijakan
pemerintah (Utomo, 2009: 9), yang mana pada taraf tertentu, pemerintah juga
ikut memanfaatkan untuk meraup keuntungan.
Dari keberangkatan para TKI atau TKW ke luar negeri, dapat
mendapatkan devisa yang sangat besar. Sedangkan di sisi lain, kondisi dan
kesejahteraan TKI atau TKW tidak diperhatikan sama sekali. Keberadaan TKI
atau TKW sering kali diperlakukan sebagai budak tidak berharga, hingga
diperlakukan layaknya binatang. Nyawa mereka seolah tidak berharga,
karenanya, tidak sedikit nyawa melayang akibat persoalan sepele (apalagi
yang tidak diketahui publik). Mereka diekploitasi untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya, belum lagi ‘diisap darahnya’, dengan berkedok jaminan
asuransi, yang harus mereka bayar dengan potongan gaji 5-6 bulan. Maka tak
salah jika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri (TKI/TKW) bak menjual
kebodohan dan martabat bangsa (Iqbal, 2009: 15).
Tidak dapat dipungkiri jika kemudian keberadaan TKI mengundang pro
dan kontra sejalan dengan nasib TKI yang tidak pernah bisa diterka. Ada yang
beranggapan TKI merendahkan martabat bangsa, sementara ada yang menyebut
mereka pahlawan devisa. Hal ini dikarenakan setiap tahun jutaan dollar AS yang
masuk ke suatu negara yang dikirim dari luar negeri oleh para pekerja tersebut.
Uang tersebut tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang mendapatkanya, tetapi
ikut meningkatkan devisa negara sekaligus menggerakkan perekonomian
setempat. Ada TKI yang menjadi kaya raya, namun tidak sedikit TKI yang
36
hidup menderita, mendapat siksa, bahkan ada yang meninggal dunia di tempat
kerja (Wawa, 2005: 12).
Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang semakin besar serta laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi dari tahun ke tahun merupakan persoalan
khusus dan rumit bagi bangsa Indonesia serta dapat menjadi sumber konflik
sosial, politik, maupun ekonomi (Syahrir, 1995: 1). Hal ini sebenarnya tidak
perlu menjadi ma salah bila daya dukung ekonomi yang efektif di negara itu
cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya termasuk penyediaan
kerja (Simanjuntak, 1985: 21).
Beberapa permasalahan TKI dapat dianalisa sebagai berikut: Pertama,
yang jelas lapangan tenaga kerja dalam negeri yang kurang. Inilah yang
menyebabkan begitu banyaknya tenaga kerja Indonesia yang
berbondong-bondong ke luar negeri, meskipun mungkin dengan taruhan nyawa. Meskipun
dengan dokumentasi yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena sektor industri
yang ada belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia,
sehingga banyak sekali terjadi pengangguran di sana sini.
Kedua, upah buruh yang terlalu kecil. Dari berbagai survei tentang
masalah tenaga kerja yang bisa kita lihat dari televisi dan kita baca dari
majalah disebutkan bahwa upah buruh yang ada di Indonesia paling murah,
dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Upah yang sangat kecil ini jelas
sekali sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga, di mana semua harga
barang-barang yang ada selalu naik setiap tahunnya. Jadi upah ini jelas
berbanding terbalik dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk
37
Ketiga, oknum Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang
sekarang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta
(PPTKIS). Masih banyaknya PJTKI/ PPTKIS yang tidak mendapat izin dari
Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) serta tidak memahami atau sengaja
bermain demi mencari keuntungan, sehingga menyebabkan aliran TKI tidak
terkontrol. Akibatnya bisa ditebak, banyak kasus-kasus pemulangan TKI yang
tidak lengkap surat-suratnya alias illegal.
Keempat, kurangnya perhatian dari pemerintah. Pemerintah sebagai
pelaku dan pelaksana pemerintahan dirasakan sangat kurang sekali perhatiaannya
atas nasib para tenaga kerja ini (http://www.Radiomadufm.Com, diakses 13
Maret 2016).
Dari keempat analisa penyebab terus adanya masalah dengan tenaga
kerja di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya permasalahan itu
semua bersumber pada masalah dari dalam negeri Indonesia, di mana
pelakunya adalah bangsa kita sendiri (80%), sisanya merupakan permasalahan
yang berada di negara tujuan tempat bekerja. Kepedulian sosial masyarakat
sebagai modal sosial untuk melindungi dan memberdayakan para buruh
migran. Dalam hal ini kelembagaan pemberdayaan masyarakat di daerah
dapat dioptimalkan untuk pemberdayaan dan perlindungan bagi buruh
migran (Saptandari, 2009: 10-11). Oleh sebab itu, dengan pengawasan yang
dilakukan secara multisektoral baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun
kelompok masyarakat, kejadian tidak menyenangkan yang dialami TKI
38
C. Pola Pengasuhan pada Anak Keluarga TKI
Sejak kecil anak sudah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya
melalui keteladanan dan kebiasaan sehari-hari dalam keluarga. Baik tidaknya
keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua
sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keteladanan
dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak
terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan hidup orang
tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan, karena memang pada masa
perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua
lakukan. Dalam hal ini dikenal dengan anak belajar melalui imitasi.
Dorothy Law Nolte sangat mendukung pendapat di atas. Melalui sajaknya
yang berjudulAnak Belajar dari Kehidupan, dia mengatakan:
“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika ia dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan”(Djamarah, 2004: 25).
Pada dasarnya yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pendidikan
bagi si anak adalah orang tuanya sendiri. Bukan dilimpahkan pada orang lain.
Ironisnya, hal ini tidak berlaku pada keluarga TKI. Jika melihat uraian di atas
maka dalam hal ini anak tidak menemukan cinta dalam kehidupanya, karena