• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENDEKATAN PEMBELAJARAN SEJARAH DARI ISUS-ISU KONTROVERSIAL, SEJARAH-KOMPARATIF KE ANALISIS TEKSTUAL | Sjamsuddin | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 764 1404 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENDEKATAN PEMBELAJARAN SEJARAH DARI ISUS-ISU KONTROVERSIAL, SEJARAH-KOMPARATIF KE ANALISIS TEKSTUAL | Sjamsuddin | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 764 1404 1 SM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

11 | A g a s t y a V o l . 0 2 N o . 0 1 , J a n u a r i 2 0 1 2

MODEL PENDEKATAN PEMBELAJARAN SEJARAH

DARI ISUS-ISU KONTROVERSIAL, SEJARAH-KOMPARATIF

KE ANALISIS TEKSTUAL

Helius Sjamsuddin

*

)

Abstrak

Pengajaran sejarah umumnya masih dalam hafalan faktual saja. Menurut jenjang usia, para siswa juga diperkenankan secara sederhana cara kerja (metode) sejarawan mengumpulkan materi sejarah sampai pada penulisannya (historiografi).. Munculnya isu-isu kontroversial ada hubungannya dengan masalah obyektivitas dan / subyektivitas sejarah. Sejarawan yang baik sepakat menulis karya sejarah yang tidak memihak dan tidak bersifat pribadi. Pada kenyataannya setiap mata pelajaran (subject matter) atau disiplin memiliki masalah kontroversial yang tidak terpecahkan. Meskipun sebuah topik secara politik kontroversial tidak berarti sekolah atau guru secara individual netral. Para guru telah menggunakan pendekatan tertentu dalam mengajarkan isu-isu kontroversial.

Kata Kunci : Pendekatan Pembelajaran, Isu-isu Kontroversial, Sejarah Komparatif

Pengantar

Guru-guru Sejarah dari berbagai jenjang pendidikan acapkali mengeluh karena banyak siswa dari kelas-kelas sejarah mereka kurang kalau tidak dapat dikatakan tertarik kepada pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning) mata pelajaran (subject-matter) sejarah. Alasan kalsik, biasanya sejarah itu merupakan hafalan yang membosankan, “cerita” tentang orang-orang ternama, peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, waktu lampau (past) yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka. Berbagai metode dan pendekatan yang diajarkan

atau latihan seperti Penelitian Tindakan Kelas (PTK, ClassroomAktion Research) kepada guru-guru sejarah agar mempelajari mata pelajaran yang mereka berikan menarik dan oleh karena itu dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar dan mengapresiasi lebih lanjut apa yang mereka peroleh dan pada gilirannya memberikan hasil (produk) dan manfaat bagi peserta didik. Namun dari hasil-hasil penelitian belum banyak memberikan manfaat sehingga kita tidak jemu-jemu mencari cara-cara berdasarkan per-kembangan teori-teori belajar agar pengajaran dan pembelajaran sejarah selain menarik juga efektif. Teori-teori belajar dari

(2)

abad ke-20 yang selalu sampai kita memasuki abad ke-21 sekarang,

sejak dari Behaviorisme (pembelajaran terjadi ketika perilaku atau perubahan perilaku diperoleh sebagai hasil dari jawaban individual terhadap stimulasi/ rangsangan). Kognitivisme (pembelajaran adalah suatu perubahan dalam pengetahuan yang disimpan dalam ingatan), sampai kepada kontruktivisme (pembelajaran adalah suatu proses dimana individu-individu mengkontruksikan ide-ide atau konsep-konsep baru berdasarkan atas pengetahuan dan/atau pengalaman yang telah ada sebenarnya/sebelumnya) se-karang, (http://www.myecoach.com/ idtimelitine/learningtheory.html. 08-02-2004) dalam prakteknya belum banyak pembuahan hasil untuk hampir semua disiplin ilmu, termasuk sejarah. Pertemuan kita ini juga adalah dalam rangka itu semua.

Apa itu belajar sejarah ?

Brian Garvey dan Mary Krug menulis bahwa paling tidak yang disebut belajar sejarah (studying history) itu :

1. Memperoleh pengetahuan fakta-fakta sejarah

2. Memperoleh pemahaman atau apresiasi peristiwa-peristiwa atau periode-periode atau orang-orang dari masa lalu.

3. Mendapatkan kemampuan meng-evaluasi dan mengkritik karya-karya sejarah.

4. Belajar teknik-teknik penelitian sejarah.

5. Belajar bagaimana menulis sejarah. (Garvey dan Krug, 1977:2).

Umumnya kita mengajarkan sejarah masih dalam tahap pertama (kognitif) hafalan faktual saja. Kita masih menanyakan pada siswa-siswa kita

pertanyaan-pertanya-an dasar seperti apa, siapa, kapan, dimana, dan paling jauh bagaimana (proses terjadinya). Memang kita tidak salah, hanya mengajukan pertanyaan kritis seperti mengapa yang membuat siswa terpaksa harus ”memutar otak” melakukan inkuri (inqury) mencari sebab peristiwa baik yang terpendam maupun yang terbuka.

Sebenarnya belajar sejarah tidak berhenti disitu saja, melainkan siswa-siswa diharapkan dapat mengapresiasi (afaktif) apa yang telah dipelajarinya tentang orang-orang, masa-masa dan peristiwa-peristiwa tertentu dari masa lalu. Siswa harus mencari makna (meaning) dan belajar suatu kejadian, apakah itu baik buruk buruk. Tahap berikutnya di bawah bimbingan guru tentu saja siswa-siswa perlu mengevaluasi dan mengkritik buku-buku test atau teks-teks sejarah (sebagai sumber pertama). Kemudian menurut jenjang usia siswa-siswa juga diperkenankan secara sederhana cara-cara kerja (metode) sejarawan mengumpul-kan materi sejarah sampai pada penulisan-nya (historiografi), tentu saja untuk para siswa mereka belajar menulis dengan cara menyusun laporan-laporan sederhana tentang apa yang telah mereka cari dan kumpulkan. Untuk tahap terakhir ke-4 dan ke-5 sebenarnya kita telah mengajarkan kepada siswa-siswa ”struktur” ilmu sejarah dengan cara sederhana, mudah, dan menarik.

Model-model pendekatan

1) Isu-isu kontroversial (Contro-versial Issues)

A. Masalah Objekvitas dan/atau

Subjektivitas Sejarah

(3)

M o d e l P e n d e k a t a n S e j a r a h . . . . | 13

sejarah yang masih merupakan debat lama yang tidak pernah selasai, paling tidak seperti yang direfleksikan dalam filsafat sejarah. Pertanyannya apakah sejarah dapat objektif? Sebenarnya bukan hanya sejarah saja tetapi juga disiplin-disiplin kognitif lain tidak dapat objektif yang dimaksud dengan kata ”obyektif” itu tuntutan yang sulit atau mustahil dipenuhi seperti :

a. Kebenaran mutlak

b. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyikan.

c. Netralitas mutlak, tidak memihak, dan tidak terikat.

d. Kondisi kondisi yang harus lengkap untuk peristiwa atau menuntuk penempatan seluruh peristiwa kedalam hukum-hukum yang berlaku umum. (Conkin dan Stromberg, 1971:85,197).

Sejarah sebagaimana yang dipenuhi oleh para sejarawan bukanlah masalalu melainkan catatan (record) daningatan (memory) mengenal masa lalu. Oleh sebab itu jika kita tidak ada catatan atau ingatan tidak ada sejarah. Sebagai catatan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat atau mengingat dan sebagai manusia ia (mereka) mempunyai pandangan-pandangan, mem-punyai prasangka-prasangka yang me-masuki catatan atau ingatan itu dan memberi warna tertentu kepadanya yang disebut memihak (bias). (Gee, 1950; 41-42, Dance,1960;9) dari sini saja si pencatat atau si pengingat (untuk tradisi lisan) sudah ”subjektif”. Laporan-laporan para pejabat Belanda, baik berupa etnografi dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia ataupun mengenai perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sebelum abad ke-20, misal, telah diwarnai dengan prasangka dan pemihakan mereka. laporan inilah yang menjadi sember-sumber pertama penulisan sejarah selai sumber-sumber pribumi lainnya. Ketika sejarawan Belanda meng-hasilkan karya-karya sejarah Indonesia

sejarawan Indonesia sendiri juga meng-hasilkan tulisan sejarah yang bersebrangan dengan mereka.

Menurut Walsh (1960; 100-108) paling tidak ada empat kemungkinan yang menyebabkan tidak ada kesepakatan di antara sejarawan yang mempunyai konse-kwensi kepada masalah subjektivitas dan objektivitas sejarah ini.

a. Pemihakan Pribadi (personal bias).

Persoalan suka dan tidak suka pribadi terhadap individual-individual atau golongan dari seseorang. Ada sejarawan seperti Carlyle mengagumi orang-orang besar. Carlyle menulis tentang cita-cita dan tindakan-tindakan dari perlawanan sebagai penentu jalannya sejarah pada waktunya. Sebaliknya Wells betapa tidak jujur atau jahat, misalnya, dari para pelaku sejarawan yang terutama tokoh-tokoh militer, tetapi karena pemihakan yang semacam ini karya-karya mereka dicap sebagai”sejarah yang buruk”. Pada contoh lain, karya-karya biografi, memoir, atau otobiografi, mem-punyai peluang besar adanya bias pribadi ini.

(4)

Book (6 Agustus 1914), Perancis Yellow Book (Desember 1914), Austria Red Book (Februari 1914). (Clogh, et.al., ed. 1970: 293; Cantor dan Berner,ed. 1971:213-259;421-489).

c. Teori-teori yang berlawanan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation)

Sejarawan Marxis, misalnya, akan menulis berdasarkan teori determinisme ekonomi dalam menafsirkan faktor penyebab sejarah; bahwa ekonomilah satu-satunya penggerak utama sejarah. Begitu pula para determinis lain yang akan menulis berdasarkan faktor atau tenaga tunggal ras, atau geografis.

d. Konflik-konflik filsafat yang mendasar

(underlying philo-sopical conflicts) Kaitanya dengan kepercayaan moral atau Weltanschauungen (pandangan hidup seseorang). Secara teoristis, seorang yang menganut filsafat hidup tertentu, paham, keper-cayaan, atau agama tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangan ini.

Bagaimana juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah yang tidak memihak dan tidak bersifat pribadi. Semua karya sejarah yang ber-argumentasi dan kesimpulannya diputar-balik untuk tujuan-tujuan prasangka dan propaganda dianggap buruk. (Walsh, 1960:98).

B. Apa itu isu-isu kontroversial?

Pada kenyataan setiap mata pelajaran (subject matter) atau disiplin memiliki masalah-masalah kontroversial yang tidak terpecahkan. Para serawan misalnya, tidak sepakat mengenai tafsiran-tafsiran atas peristiwa-peristiwa dan tingkah laku seorang atau satu kelompok. Dalam geografi ada teori-teori dan model bagai-mana yang berbeda tentang bagaibagai-mana kota-kota dikembangkan. Para ahli ekonomi bertengkar tentang sebab-sebab inflasi.

Dalam ilmu-ilmu alam ada pertentangan yang funda-mental tentang asal muasal angkasa, evolusi, penerapan praktis teori-teori dan temuan-temuan ilmiah, dampak kemajuan teknologi bagi kualitas hidup manusia. Menurut Stradling, mengajarkan berbagai mata pelajaran yang seolah-olah tidak ada kontroversi atau pertanyaan-per-tanyaan terbuka tentang fakta dan menafsirkan, berarti salah mengarahkan siswa-siswa atau salah tafsir tentang hakekat dan perkembangan disiplin-disiplin ilmu dan metode-metode inkuiri. (Stradling, et.al. 1984:1)

C. Hakekat kontroversi

Stradling, et.al. mendefinisikan ”isu-isu kontroversial” (contro-versial issues) sebagai topik-topik dalam pembelajaran yang secara politik sensitif (politically sensitive) dimasukkan ke dalam kurikulum yang dapat menimbulkan gejolah kemarahan dalam masyarakat atau cara bagai-mana diajarkan. (Stradling, et.al. 1984:1)

(5)

M o d e l P e n d e k a t a n S e j a r a h . . . . | 15

keberatan pada masyarakat lain dan menimbulkan protes. (Stradling, et.al. 1984:1). Kita masih menyaksikan sekarang kontraversi pro-kontra rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi sekarang.

Masalah-masalah konflik nilai sering-kali dihadapi guru sebagai masalah yang paling fundamental dalam pedagogi. Kita batasi penggunaan istilah isu kontroversial ini untuk maslah dan pertentangan yang dapat memecah belah masyarakat dan oleh sebab itu kelompok-kelompok penting dalam masyarakat menawarkan penjelasan-pen-jelasan konflik dan pemecahan-pemecahan berdasarkan atas nilai-nilai alternatif. Pertentangan itu mungkin tentang:

Apa yang telah terjadi.

Sebab-sebab dari situasi sekarang. Sasaran yang dikehendaki yang akan dituju.

Cara tindakan yang akan di-tempuh. Dampak yang mungkin timbul dari tindakan itu. (Stradling, et.al. 1984:3)

Semakin kontemporer isu-isu itu semakin besar masalah yang dihadapi oleh guru, terutama karena hasilnya masih sulit untuk diramal-kan; kita tidak mempunyai rujukan melihat ke belakang (bindsight) mengenai pentingnya peristiwa-peristiwa terbaru itu; para siswa suka membawa ke kelas tafsiran-tafsiran, pengalaman-pengala-man dan prasangka-prasangka mereka, sumber-sumber pertama evidensi itu biasanya bias, tim tidak lengkap dan saling bertentangan bahkan sulit untuk menetapkan kriteria untuk menentukan apa yang bisa dan tidak bisa membentuk evidensi yang valid. Stradling, et.al. 1984:3)

D. Mengapa mengajarkan isu-isu

kontroversial?

Guru-guru menggunakan pen-dekatan ini mengajarkan isu-isu kontro-versial dalam pembelajaran mereka :

Sebagai topik mungkin ada hubungan langsung dengan kehidupan siswa sendiri.

Masalah-masalah besar dalam bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, dan moral pada masa kita sekarang dan akibatnya bagi aspek-aspek kehidupan yang perlu diketahui oleh para siswa.

Masalah-masalah yang tersebar luas dan pentingnya bertahan lama yang kalau tidak diketahui akan ada jurang yang serius bagi pendidikan anak-anak. Tema-tema yang berhubungan dengan isu-isu yang berpusat pada hubungan antara gender, distribusi sumber-sumber langka dalam masyarakat, kerja, perang dan damai, hukum dan ketertiban, dll. Isu-isu itu menawarkan suatu fokus yang bermanfaat bagi siswa untuk mengem-bangkan keterampilan akademik dan kajian mereka (misalnya dalam mem-bangun hipnotis, mengumpulkan temuan-temuan).

Isu-isu menawarkan suatu konteks yang berguna untuk mempraktekkan ketram-pilan-ketrampilan sosial dan kehidupan (misalnya, ketrampilan berkomunikasi dengan orang-orang lain, kerjasama dalam proyek-proyek dll).

Karena isu-isu spesifik dapat membuktikan bermanfaat bagi studi-studi kasus untuk memahami teori, konsep-konsep dan generalisasi (misalnya konflik-konflik di tanah air untuk memahami teori-teori konflik politik, agama, etnis). Stradling, et.al. 1984:3-4)

(6)

menyeder-hanakan tingkat kesukaran isu-isu kontro-versial itusesuai dengan perkembangan usia para siswa untuk dapat menangkap dan memahaminya.

E. Strategi dan metode pengajaran

Empat hal yang harus menjadi perhatian :

Seimbang (balance). Kepada siswa-siswa diberikan sebagai alternatif sudut pandang yang berbeda agar mereka mendapat gambaran yang relatif seimbang.

Netralitas (netrality). Guru sedapat mungkin bersikap netral terhadap opini yang berbeda, yang berkembang dalam diskusi ataupun bias yang telah dibawa para siswa dari luar, meskipun pada hakekatnya guru-guru juga mempunyai pendirian sendiri.

Komitmen (commitment). Guru-guru harus mempunyai tanggung jawab bahwa apa yang diajarkannya itu tidak harus bebas nilai (value free). Hanya ia harus mengingat sebagai pegangan utama lebih kepada nilai-nilai pendidikan dari pada substansi atau pemihakan.

Indoktrinasi (indoctrination) selalu dihubungkan denga usaha-usaha mengajarkan itu benar atau umum dapat menerimanya tanpa evidensi/ bukti samasekali. Atas dasar ini guru-guru yang menyebutkan jelas posisinya dalam isu-isu itu tidak perlu melakukan indoktrinasi :

a. Jika sudut pandang lain mendapat perlakuan yang jujur (fair) dan sama.

b. Jika guru hanya mencoba memper-baiki keseimbangan dengan menyatakan sudut pandang yang lain daripada sumber utama informasi dan opini yang diperoleh

siswa dari luar, misalnya dari media masa.

c. Jika guru mendorong keberanian siswa yang menyatakan pandangan yang berbeda itu dengan penga-matan yang kritis.

d. Jika guru menyatakan pen-dapatnya sendiri yang berbeda dengan sikap dan asumsi-asumsi siswa sendiri. Stradling, et.al. 1984:5-10)

2) Pendekatan Sejarah Komperatif

(Historical Comparative Approach)

Bermula pendekatan ini dari ahli sosiolagi yang melakukan penelitian H-C (Historical Comparative) pada abad ke-19. Pada awalnya, karya-karya sejarah komparatif ini merupakan campuran (blend) sosiolagi, sejarah, ilmu politik dan ilmu ekonomi. (Neuman, 200:382). Komparasi adalah salah satu bentuk pendekatan sosiologi sejarah (historical Sosiology) yang lintas waktu (temporal) dan ruang (spasial0. Kita dapat membahas bangsa yang sama, atau bangsa-bangsa berbeda (sedikit atau banyak), kita dapat membahasnya listas masa (acroos time) dari dahulu sampai sekarang.

(7)

M o d e l P e n d e k a t a n S e j a r a h . . . . | 17

kapitalisme, pemerintah demokrasi dan non-demokrasi, nasionalisme, pembangunan bangsa (nation building), konflik-konflik politik, revolusi, perang, tumbuhnya kota-kota, kewarganegaraan (citizenship) (Smith, 1991: ix; Neuman, 2000: 382-383).

Pendekatan ini masih langka kalau tidak dapat dikatakan belum digunakan dalam kelas-kelas sejarah oleh guru-guru sejarah kita. Tentu saja dituntut pengetahu-an guru ypengetahu-ang luas dpengetahu-an mendalam dalam berbagai fenomena sejarah dunia (dan Indonesia tentu saja). Model ini mengguna-kan perbandingan (compere) persamaan dan perbdaan (contrast). Misalnya kita membicarakan persamaan dan perbedaan denga revolusi-revolusi dibagian lain dunia seperti The Glorious Revolusion di Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), Revolusi Prancis (1789), Revolusi Rusia (1917) yang waktu dan tempatnya berbeda. Dengan cara membandingkan, diperoleh manfaat ganda selain melihat persamaan bahwa revolusi itu sebagai salah satu bentuk konflik dalam interaksi sosial (bisa antar negara, antar negara, atau intra bangsa sendiri), juga dapat melihat perbedaannya bahwa revolusi Inggris tidak sama dengan Amerika, tidak sama dengan Prancis, tidak sama dengan Rusia, tentu saja tidak sama dengan Indonesia. Bersamaan dengan itu kita dapat melihat keunikan dari revolusi Indonesia, umpamanya. Dengan demikian kita dapat mengapresiasi revolusi kita sendiri, melihat persamaan dan perbedaan denga revolusi bangsa-bangsa lain. Tentu saja kita dapat menggali apakah ada pengaruh dari revolusi-revolusi yang lain di Indonesia. Erosi bangsa kita sekarang dalam pembentukan nation building mungkin karena anak cucu kita tidak mengenal apalagi menghargai revolusi yang ”unik” dilakukan para leluhur kita sendiri. Pendekatan koparatif semacam ini dapat juga kita gunakan dalam pembahas

per-bandingan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru (bahkan Orde Revormasi) dalam sejarah lama, bisa kita bandingkan proses masuknya agama-agama di dunia ke Indonesia (Hindhu-Budha, Islam, dan Kristen) masuknya paham-paham ke Indonesia beserta dampaknya, berbagai persamaan dan perbedaan etnis dan budaya etnis kita sendiri yang majemuk.

3) Analisis Tektual (Tekxtual Analysis)

Menekuni dokumen-dokumen dari sumber-sumber pertama (primary Sources) yang menuliskan dikenal atau tidak dikenal dalam penelitian sejarah sebenarnya, pada hakekatnya untuk mendapatkan dan memahami ”makna” (meaning) yang tertulis maupun yang tersirat. Hal ini perlu juga dilatihkan dan diajarkan kepada para anak didik kehendaki mereka tidak harus menjadi sejarawan di kemudian hari. Begitu pula dengan karya-karya sejarah (historiografi) perlu dilihat sebagai teks-teks yang maknanya harus digali, ditafsirkan, dan dipahami maksud teks itu sendiri atau maksud sebenarnya dari penulis-penulisnya (sejarawan) dengan tulisanya itu. Analaisis teks itu harus merupakan bagian dari pembelajaran sejarah di kelas-kelas sejarah. Untuk itu guru-guru sejarah perlu dilengkapi dengan ”ilmu bantu” a.l. hermeneutika (hermeneutics) yang pada giliranya dapat tularkan kepada siswa-siswanya dalam memberikan mereka ”indar empati”, kemam-puan menafsirkan dan menjelaskan ber-bagai fenomena sejarah. (Kneller, 1984: 65-98).

(8)

hidup sekarang. Pada dekade-dekade terbar terutama tahun 1960an istilah hermeneutika diambil oleh para peneliti dalam ilmu-ilmu kemanusia-an (humanities, humaniora), ilmu-ilmu sosial, dan ilmu behavioral (behavioral sciences). (Thomas, 2003: 94).

Wilhelm Dilthey (1833-1911), ahli filsafat yang banyak disebut berjasa dalam meluncurkan gerakan hermeneutika pada masa modern ini, mendefinisikan

hermeneutika sebagai ”pemahaman

fenomena sosial dalam arti motif-motif dari para pelaku/partisipan dan makna-makna (dari motif-motif itu) bagi institusi dan peristiwa”. Bubner yang juga dikutip oleh

Thomas Menyatakan ”bagi ilmu

hermeneutika, pemahaman berarti suatu pengertian fundamental tentang kebenaran (trutb) yang ter-jadi dalam proses hubungan inter-subjektif (intersubjective prosses of communication) dan melalui mediasi sejarah” (Thomas,2003: 94).

Jadikan berbagai makna yang dikenakan kepada hermeneutika itu berkisar pada :

(1) Yang sangat terbatas (the very limitet) (seperti memperkirakan motif-motif dalam situasi sosial atau memper-kirakan makna yang dimaksud oleh isi dokumen dalam konteks ketika dokumen itu dibuat pertama kali). (2) Yang sangat luas (the very broad)

(keseluruhan seni dan sains interprestasi dengsn segala versinya).

Menurut Thomas, hermeneu-tika itu paling sering digunakan untuk maksud menafsirkan :

(a) Bagaimana konteks asal suatu komunikasi (dokomen, orasi, komentar, gerak isyarat) mempengaruhi makna/ arti komunikasi pada waktu dan tempat itu.

(b) Bagaimana komunikasi yang sama itu harus dipahami sekarang ini. Oleh sebab itu penafsiran kontekstual dapat

cocok untuk menjawab berbagai pertanyaan-pertayaan, misalnya :

Orang/manusia macam apa yang dimaksud dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika denga kata ”orang-orang” (men), bahwa ”semua manusia/orang diciptakan sama (all men art creaed equal”) Apa ciri-ciri konteks sosial di India dan dunia Internasional tahun 1940an yang membuat gerakan perlawanan damai, Gandhi berhasil? (Thomas, 2003: 94). Dalam konteks politik bagaimana naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 diucapkan oleh Sukarno-Hatta?

Sehubungan dengan diatas tugas-tugas yang harus dilakukan:

(a) Mengumpulkan evidensi tentang arti-arti (meanings) kata dan kondisi sosial/politik pada waktu dan tempat dari peristiwa yangdijelaskan.

(b) Menunjukkan bagaimana kon-disi-kondisi itu serupa dan berbeda dari kondisi sekarang ini.

(c) Menyarankan bagaimana per-samaan-persamaan dan perbeda-an itu dapat mempengaruhi sebaik orang-orang sekarang memahami waktu dahulu dan temapat-tempat yang jauh. (Thomas 2003: 94).

Penutup

(9)

M o d e l P e n d e k a t a n S e j a r a h . . . . | 19

(10)

Daftar Pustaka

Cantor, Norman F. Dan Berner, Samuel, ed. The Modern Era. 1815 to the Present. New York : Thomas Y. Crowell Co. 1971

Clough, Shepard B ; Gay, Peter, Warner, Charles K. ; Cammet, John M. The Eropen Past. Reappraisals in History Since Waterloo. 2ed.ed. Volume II. New York : The macmillan Company. 1970

Conkin, Paul dan Stromberg, Roland. The Heritage and the Challenge of History.... New York : Dodd, Mead dan Company. 1971.

Evans, Roland W. Dan Saxe, David Waren. Handbook On Teaching Social Issues. NCSS Bulletin 93. 1996. 130-163.

Garvey, Brian dan Krug, Mary. Models of History Teaching in the Seecondary School. Oxford University Press. 1997.

Gee, Wilson. Social Sciense Research Methods. New York : Appleton-Century-Croft Inc. 1950

Kneller, George F. Movements of thouht in Modern Education. New York : John Wiley dan Sons. 1984.

Neuman, W. Lawrence Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches. 4 th. Ed. Boston : Allyn and Bacon. 2000.

Smith, Denis. The Rise of Historical Sociologi. Oxford : Polity Press. 1991.

Stradling, Robert ; Noctor, Michael ; Baines, Bridge. Teaching Controversial Issues. Melbaurne : Edward Arnold, 1985

Thomas, R. Murray. Blending Qualitative dan Quantitative Research Methods in Theses and Dissertations. Thaosand Oaks, California. Corwin Press, Inc. 2003.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

a) Akhlak kepada Allah, diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai akhlaki. Sekurang-kurangnya ada empat

KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA PEMBIBITAN TERNAK KAB.TEGAL TAHUN 2012.. PENGUMU.MAI\ PENETAPAIY PEryYEDIA

Hasil analisis dengan menggunakan Sperman correlation didapatkan P tabel 0,494 dengan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan

Pada siklus I penggunaan metode kombinasi Problem Posing dan Resitasi dapat meningkatkan kinerja guru sebesar 68,52%, prestasi belajar akuntansi siswa aspek

Analisis pada air dilakukan secara in situ dan laboratorium. Analisis in situ meliputi warna, bau, rasa dan pH. Analisis laboratorium meliputi parameter fisika terdiri dari