BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
A.
A. LaLatatar Br Beelalakakangng Atr
Atresia esia ani ani mermerupaupakan kan kelkelainainan an konkongengenitaital l yanyang g terbterbanyanyak ak padpadaa dae
daerah rah anoanorekrektal. tal. InsiInsidendensinsinya ya adaadalah lah 1 1 dardari i 4004000 0 hinhingga gga 5005000 0 kelkelahiahiranran hidup. Isidensi pada laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan. hidup. Isidensi pada laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan. Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler.
perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler.
Sampai sekarang atresia ani masih dalam perdebatan, baik mengenai Sampai sekarang atresia ani masih dalam perdebatan, baik mengenai kl
klasasififikikasasi i mmauaupupun n penapenatatalalaksksananaaaannnnyya. a. BeBebeberarapa pa ahahli li memencncoobaba mengk
mengklasifikalasifikasikan atresia sikan atresia ani ani serta serta mempmemperkenalerkenalkan kan tekniteknik k operasoperasi i terbaikterbaik.. Klasifi
Klasifikasi Wingspreakasi Wingspread d pada pasien atresia ani, pada pasien atresia ani, yaitu atresia ani yaitu atresia ani letak tinggiletak tinggi,, intermediet,
intermediet, dan rendah saat ini banyak ditinggalkan karena tidak mempunyaidan rendah saat ini banyak ditinggalkan karena tidak mempunyai aspek terapetik dan prognostik.
aspek terapetik dan prognostik.
Klasifikasi Pena yang membagi atresia ani letak tinggi dan rendah Klasifikasi Pena yang membagi atresia ani letak tinggi dan rendah lebih banyak dipakai karena mempunyai aspek terapi. Penatalaksanaan atresia lebih banyak dipakai karena mempunyai aspek terapi. Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi sebagai tindakan bedah awal untuk diversi dan dekompresi, pada kolostomi sebagai tindakan bedah awal untuk diversi dan dekompresi, pada ta
tahahap p beberirikukutntnya ya didilalakukukakan n ananopoplalaststi. i. PrPrososededur ur abdominoperineal abdominoperineal pullthrough
pullthrough yang beberapa waktu lalu dikembangkan dengan tujuan untuk yang beberapa waktu lalu dikembangkan dengan tujuan untuk mem
memudaudahkahkan n ideidentintifikfikasi asi dan dan melmelindindungungi i otootott levator,levator, saasaat t inini i babanynyak ak ditin
ditinggalkaggalkan n karenkarena a menimmenimbulkbulkan an inkoninkontinentinensia sia feses feses dan dan prolap mukosaprolap mukosa usus.
Pena dan
Pena dan de Vries de Vries pada tahun 1982 memperkenalpada tahun 1982 memperkenalkan metode dengankan metode dengan pendekatan
pendekatan posterosagittal posterosagittal anorectoplastyanorectoplasty yayaititu u dedengngan an carcara a memembmbelaelahh mus
muscle cle comcompleplexx dandan parasagittal parasagittal fibrefibre untuntuk uk memmemudaudahkahkan n mobmobiliilisasisasi ka
kantntonong g rerektktum um dadan n pepemomototongngan an fisfistutulala. . SeSejajak k saasaat t itituu posterosagittal posterosagittal anorectoplasty
anorectoplasty menjadi metode operasi pilihan para dokter bedah di seluruhmenjadi metode operasi pilihan para dokter bedah di seluruh dunia, karena hasil operasi yang baik dan hampir semua bentuk kelainan dunia, karena hasil operasi yang baik dan hampir semua bentuk kelainan anorektal dapat dikerjakan dengan metode operasi pilihan ini.
anorektal dapat dikerjakan dengan metode operasi pilihan ini.
B.
B. PePerurumumusasan Mn Masasalalahah
Beberapa permasalahan yang akan dirumuskan adalah: Beberapa permasalahan yang akan dirumuskan adalah: 1.
1. BerapBerapa jumlah a jumlah pasien pasien atresia anatresia ani dan bai dan bagaimagaimana distrina distribusinbusinya berdya berdasarkanasarkan usia dan
usia dan jenis kelamin di jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. RSUD Prof. Dr. MargonMargono Soekarjo Purwokeo Soekarjo Purwokertorto periode Januari 2008 - Desember 2012?
periode Januari 2008 - Desember 2012? 2.
2. BaBagagaimimanana a pepenanatatalalaksksananaaaan n papasisien en atatreresisia a anani i di di RSRSUD UD PrProfof. . DrDr.. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Des
Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Des ember 2012?ember 2012?
C.
C. TuTujujuan an PePenenelilititianan 1.
1. MenMengetgetahuahui i jumjumlah pasielah pasien atresia ani dan distrin atresia ani dan distribusbusinyinya a berberdasdasarkarkan usiaan usia dan
dan jenjenis is kelkelamiamin n di di RSRSUD UD ProProf. f. Dr. Dr. MarMargongono o SoeSoekarkarjo jo PurPurwokwokertoerto periode Januari 2008 – Desember 2012.
periode Januari 2008 – Desember 2012. 2.
2. MeMengngetetahahui ui pepenanatatalalaksksananaaaan n papasisien en atatreresisia a anani i di di RSRSUD UD PrProfof. . DrDr.. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Des
D.
D. MaManfnfaaaat Pet Penenelilititianan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi data ilmiah terkait dengan Penelitian ini diharapkan dapat memberi data ilmiah terkait dengan jumlah
jumlah pasien pasien atresia atresia ani ani dan dan distribusinya distribusinya menurut menurut umur umur dan dan jenis jenis kelaminkelamin serta penatalaksanaan pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo serta penatalaksanaan pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 – Desember
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb ) (Faradilla, 2009).
B. Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka
(Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran
kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan (Sadler T.W, 1997).
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal.
Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).
C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan 3. Berkaitan dengan sindrom down
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 ( Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
D. Patofisilogi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
E. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia
rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit.
Gambar 2.1 Gambaran Atresia Ani pada lali-laki (Levitt M, 2007) Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II
pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Levitt M, 2007).
Gambar 2.2 Gambaran Atresia Ani pada perempuan (Levitt M, 2007) F. Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung. 2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% -60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect . 2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal .
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality ) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) ( Oldham K, 2005). G. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat ditemukan :
1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula. 3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada
laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal
dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007).
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa
keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.
Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan
colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" ( skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah
muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak
ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).
I. Komplikasi post operasi PSARP
Kematian pascaoperasi PSARP pada atresia ani jarang, biasanya disebabkan oleh kelainan kongenital mayor yang menyertai. Komplikasi mayor membutuhkan reoprasi dan kasus yang paling sering adalah repair kloaka. Komplikasi minor yang sering terjadi adalah infeksi perineal, dehisensi luka operasi, trauma uretra atau vagina, dan trauma pada saraf daerah pelvis. Komplikasi lanjut yang sering terjadi adalah stenosis ani, prolaps mukosa rektum, dan fistula yang rekuren.
J. Penatalaksanaan post operasi PSARP
Pemberian antibiotik intravena selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama 8 – 10 hari. 10 hari post operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk. Dilatasi anus bisa dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 2–3 bulan berikutnya. Penutupan kolostomi dapat dilakukan 2–3 bulan setelah pembedahan definitif (Saxena, 2004).
Umur Ukuran Frekuensi Dilatasi
1-4 bulan 12 Tiap 1 hari 1 x dalam 1 bulan 4-12 bulan 13 Tiap 3 hari 1 x dalam 1 bulan 8 – 12 bulan 14 Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan 1-3 tahun 15 Tiap 1 minggu 1 x dalam 1 bulan 3-12 tahun 16 Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Untuk menilai fungsi anus , digunakan sistem skroring Klotz yaitu :
Variabel Kondisi Skor
1. Defekasi 1-2 x sehari 1
2 hari sekali 1 3-5 x sehari 2 3 hari sekali 2 > 4 hari sekali 3
2. Kembung Tidak pernah 1
Kadang – kadang 2
Terus menerus 3
3. Konsistensi Normal 1
Lembek 2
Encer 3
4. Perasaan ingin BAB Terasa 1
Tidak terasa 3
5. Soiling Tidak pernah 1
Terjadi bersama flatus 2
Terus menerus 3
6. Kemampuan menahan feses yang akan keluar
>1 menit 1 <1 menit 2 Tidak bisa menahan 3
7. Komplikasi Tidak ada 1
Komplikasi minor 2 Komplikasi mayor 3 Nilai skoring 7 – 21 7 = Sangat baik 8-10 = Baik 11-13 = Cukup >14 = Kurang
K. Pencegahan komplikasi post operasi PSARP
Tindakan pencegahan timbulnya komplikasi paska tidakan defenitif PSARP adalah perawatan luka secara baik dan benar sehingga mengurangi resiko infeksi, melalukan dilatasi rutin pada anus dengan cara colok dubur, konsumsi makanan bergizi dan menghindari makanan yang mudah menyebabkan konstipasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui distribusi frekuensi dan penatalaksanaan atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Subjek penelitian adalah pasien dengan diagnosis atresia ani yang masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, periode Januari 2008 sampai Desember 2012. B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi yang menjadi target penelitian adalah semua pasien dengan atresia ani
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalalah pasien dengan atresia ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto.
2. Sampel
Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yaitu pasien dengan atresia ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi dan eksklusi 1) Kriteria inklusi meliputi:
Pasien atresia ani yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
2) Kriteria eksklusi
Pasien yang menolak dilakukan tindakan operasi dan data rekam mediknya tidak ditemukan
b. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling , yaitu pengambilan seluruh sampel pada populasi terjangkau (Budiarto,
2003).
c. Besar sampel
Berdasarkan informasi dari rekam medik, diperoleh data bahwa populasi terjangkau sebesar 91 pasien
C. Pengumpulan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien atresia ani yang masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode Januari 2008 sampai Desember 2012. Data rekam medik pasien diambil dari bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2013. Rekam medis dikumpulkan, dianalisis, dan dilakukan tabulasi sehingga dapat diketahui distribusi frekuensi umur, jenis kelamin, dan penatalaksanaan.
D. Tata Urutan Kerja
1. Pengambilan data sekunder pasien dengan diagnosis trauma thoraks di rekam medik pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 2. Tahap pengolahan dan analisis data.
3. Tahap penyusunan laporan. E. Analisis Data
Data yang telah terkumpul dari bagian rekam medik akan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis univariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel berupa distribusi frekuensi dan persentase pada setiap variabel seperti umur, jenis kelamin, dan penatalaksanaan. Analisa data secara deskriptif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2013 di bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Jumlah Tolal Kasus Atresia Ani
Sampel penelitian ini berasal dari pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Penelitian dilakukan selama 9 hari. Penelitian dimulai pada tanggal 2 Mei 2013 sampai dengan 10 Januari 2013. Jumlah yang diambil dari pasien atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto adalah 91 sampel. Jumlah pasien yang dieksklusi sebanyak 17 sampel, 7 sampel karena data
rekam mediknya tidak ditemukan, 6 sampel karena bukan merupakan pasien atresia ani dan 4 lainnya karena menolak operasi sehingga
diperoleh 74 sampel penelitian.
Dari data rekam medis didapatkan jumlah total kasus atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2008 sampai Desember 2012 seperti pada tabel 4.1 berikut
Tabel 4.1 Jumlah total Kasus Pasien Atresia Ani di RSMS Purwokerto Periode Januari 2008 – Desember 2012
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
Jumlah Kasus 17 16 16 16 9 74
Dari tabel di atas di ketahui bahwa jumlah total pasien atresia ani sebanyak 74 pasein dan yang terkecil adalah pada tahun 2012.
2. Karakteristik sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin Jenis Kelamin / Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total Laki laki 10 10 12 9 6 47 58,8% 62,5% 75% 56,3% 66,7% 63,5% Perempuan 7 6 4 7 3 27 41,2% 37,5% 25% 43,7% 33,3% 36,5% Jumlah 17 16 16 16 9 74 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel diatas diketahui bahwa proporsi pasien atresia ani berdasarkan jenis kelamin lebih di dominasi oleh laki-laki sebayak 47 pasien (64%).
3. Karakteristik sampel berdasarkan Usia
Tabel 4.3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Usia
Usia/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total < 1 Tahun 15 16 15 15 6 67 88,2% 100% 93,8% 93,8% 66,7% 90, 6% 1-5 Tahun 2 0 1 1 1 5 11,8% 0% 6,2% 6,2% 11,1% 6,7% 6-12 Tahun 0 0 0 0 2 2 0% 0% 0% 0% 22,2% 2,7% Jumlah 17 16 16 16 9 74 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel di atas diketahui bahwa proporsi pasien atresia ani berdasarkan usia dengan jumlah tertinggi di dominasi oleh usia <1 tahun sebanyak 67 pasien (90,6%). Sedangkan untuk jumlah terendah terdapat pada usia 6-12 tahun sebanyak 2 pasien (2,7%).
Tabel 4.4 Jenis Atresia Ani
Jenis/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
Atresia Ani Letak Rendah
1. Tanpa fistel 3 1 2 0 3 9 17, 7% 6,2% 12,5% 0% 33,3% 12,3% 2. Dengan fistel a. Retrovagina 1 0 1 1 0 3 5,8% 0% 6,2% 6,2% 0% 4,1% b. Retroperineal 0 1 0 0 0 1 0% 6,2% 0% 0% 0% 1,3%
Atresia Ani Letak Tinggi
1. Tanpa fistel 11 13 10 14 4 52 64,7% 81,2% 62,5% 87,5% 44,4% 70,3% 2. Dengan fistel a. Retrovagina 0 1 1 0 1 3 0% 6,2% 6,2% 0% 11,1 4,1% b. Retrovestibular 2 0 2 1 1 6 11,7% 0% 12,5% 6,2% 11,1 8,1% Jumlah 17 16 16 16 9 74 100% 100% 100% 100% 100% 100 %
Dari tabel di atas didapatkan data bahwa pada tahun 2008, jumlah pasien terbanyak didominasi oleh pasien dengan atresia ani letak
tinggi tanpa fistel, yaitu sebanyak 11 pasien (64,7% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2008), pada tahun 2009 sebanyak 13 pasien (81,2% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2009), pada tahun 2010 sebanyak 10 pasien (62,5% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2010), pada tahun 2011 sebanyak 14 pasien (87,5% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2011) dan pada tahun 2012 sebanyak 4 pasien (44,4% dari jumlah total pasien atresia ani tahun 2012).
Secara umum, dari seluruh pasien atresia ani tahun 2008-2012, kasus terbanyak merupakan kasus atresia ani tanpa disertai fistel, yaitu sebanyak 52 pasien (70,3%).
5. Penatalaksanaan Atresia Ani
Tabel 4.5 Penatalaksanaan Atresia Ani
Jenis/Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total 1. Anoplasti 3 1 2 0 2 8 17,7% 6,2% 12,5% 0% 22,2% 10,8% 2. Colostomi 8 7 5 10 3 33 47% 43,7% 31,2% 56,2% 33,3% 44,5% 3. Sigmoidestomi 2 2 0 3 0 7 11,7% 12,5% 0% 17,7% 0% 9,4% 4. PSARP 0 2 1 0 2 5 0% 12,5% 6,2% 0% 22,2% 6,7% 5. Colostomi, PSARP 2 2 8 3 1 16 11,7% 12,5% 50% 17,7% 11,1% 22,6% 6. Sigmoidestomi, PSARP 2 2 0 0 0 4 11,7% 12,5% 0% 0% 0% 5,4% 7. PSARP, Businasi 0 0 0 0 1 1 0% 0% 0% 0% 11,1% 1,3% Jumlah 17 16 16 16 9 74 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar pasien atresia ani ditangani pembedahan secara colostomy yaitu sebesar 33 pasien (44,5%) dan pembedahan lengkap (colostomy, PSARP dan tutup colostomy) yaitu sebanyak 16 pasien (22,6%).
6. Kondisi pasien saat keluar RSMS
Tabel 4.6 kondisi pasien saat keluar RSMS
2008
2009
2010
2011
2012
Total
Hidup 17 15 15 11 9 67 100% 93,7% 93,7% 68,7% 100% 90,6% Meninggal 0 1 1 5 0 7 0% 6,3% 6,3% 31,3% 100% 9,4% Jumlah 17 16 16 16 9 74 100% 100% 100% 100% 100% 100%Dari tabel diatas diketahui bahwa hamper seluruh pasien pulang dalam keadaan hidup yaitu sebanyak 67 pasien (90,6%), hanya 7 pasien (9,3%) yang pulang dalam keadaan meninggal dan yang terbanyak pada tahun 2011 yaitu 5 pasien (31,3%).
B. Pembahasan
Jumlah kasus pasien yang mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2008 sampai dengan Desember 2012 yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 74 pasien. Jumlah kasus di tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2008 sampai dan dengan 2011. Jumlah kasus paling sedikit adalah pada tahun 2012 sebanyak 9 pasien, sedangkan jumlah terbanyak pada tahun 2008 sebanyak 17 pasien. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak terkena atresia ani terbukti dengan jumlah penderitanya sebanyak 47 pasien (63,5%). Sedangkan untuk usia, kisaran usia <1 tahun paling banyak dilakukan tindakan pembedahan terbukti dengan jumlah pasien sebanyak 67 pasien (90,6%).
Jumlah kasus atresia ani berdasarkan jenisnya maka pasien yang mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2008 sampai dan dengan Desember 2012 lebih di dominasi oleh pasien atresia ani letak tinggi tanpa disertai fistel yaitu sebanyak 52 pasien
(70,3%). Jumlah kasus terbanyak 2011 yaitu sebanyak 14 pasein (87,5%) sedangakan jumlah kasus paling sedikit tahun 2012 yaitu sebanyak 4 pasein (44,4%).
Secara umum, jumlah sampel yang mendapat penatalaksanaan pembedahan anoplasti sebanyak 8 pasien (10,8%), colostomi sebanyak 33 pasien (44,5%), sigmoidestomi sebanyak 7 pasien (9,4%), PSARP sebanyak
5 pasein (6,7%), colostomy, PSARP sebanyak 16 pasien (22,6%), sigmoidestomi, PSARP sebanyak 4 pasien (5,4%,), PSARP, businasi sebanyak 1 pasien (1,3%).
Dari 74 sampel yang diambil dari tahun 2008- 2012, kondisi pasien yang keluar RSMS dengan kondisi meninggal sebanyak 7 pasien (9,3%) dibandingkan dengan yang keluar RSMS dengan konsidi hidup sebanyak 67 pasien (90,6%).
BAB V KESIMPULAN
1. Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rectum
2. Atresia ani dapat disebabkan karena, putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur, gangguan organogenesis dalam kandungan, berkaitan dengan sindrom down.
3. Atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin yaitu golongan I dan golongan II.
4. Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani adalah perut kembung, muntah, tidak bisa buang air besar.
5. Diagnosis atresia ani dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang teliti.
6. Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya.
7. Jumlah kasus pasien yang mengalami atresia ani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2008 sampai dengan Desember 2012 yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 74 pasien.
8. Jumlah kasus atesia ani berdasarkan jenis kelamin, lebih didominasi oleh laki-laki yaitu sebanyak 47 pasien (63,5%).
9. Jumlah kasus atresia ani berdasarkan uasia lebih di dominasi oleh usia kisaran < 1 tahun yaitu sebanyak 67 pasien (90,6%).
10. Jumlah kasus berdasarkan jenis atresia ani lebih didominasi oleh letak tinggi tanpa disertai fistel, yaitu sebanyak 52 pasien (70,3%).
11. Jumlah kasus berdasarkan jenis pembedahan lebih didominasi oleh pasien atresia ani dengan pembedahan secara colostomy yaitu sebesar 33 pasien (44,5%) dan pembedahan lengkap (colostomy, PSARP dan tutup colostomy) yaitu sebanyak 16 pasie n (22,6%). 12. Kondisi pasien setelah keluar RSMS dengan kondisi meninggal
lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien yang pulang dalam kondisi hidup yaitu sebanyak 7 pasien (9,3%).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Anorectal Malformation A parent’s Guide. Departement of Paediatric Surgery Starship Hospital Auckland, 2006. http://www.starship.org.nz/General%20Surgery
Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net. [diakses tanggal 18 Mei 2013].
Budiarto, E. 2003. Metodologi Penelit ian Kedokteran. EGC, Jakarta. 1-230 hal.
Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-579.
Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau. Available from: (http://www.Files-of-DrsMed.tk. [diakses 19 mei 2013]
FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006. [diakses18 Mei 2013].
Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar ilmu bedah. editor, Peter J,.-Ed.2.-Jakarta : EGC.
Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6thedition.
Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation in Children. World Journal of Medical
Sciences 1 (2) 2006; 151-154
http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 18 Mei 2013] Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare
Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 18 Mei 2013]
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. 79
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434
Saxena A.K, Morcate J. Schleef J, Reich A, Willital G.H. Rectal atresia, choanal atresia and congenital heart disease: A rare association. Pediatric Surgical University Clinic, M¨unster, Germany, 2004 University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery