• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA DI PESANTREN EDUCATION DEVELOPMENT OF NATION CHARACTER AND CULTURE IN PESANTREN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA DI PESANTREN EDUCATION DEVELOPMENT OF NATION CHARACTER AND CULTURE IN PESANTREN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

EDUCATION DEVELOPMENT OF NATION CHARACTER AND CULTURE IN PESANTREN

Mumuh Muhtarom

Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Bandung E-mail : mumuhmuhtarom@ymail.com

ABSTRACT

What emerges as shortcomings of education in building the nation's character and culture in Indonesia is characterized by the number of behavioral deviations that occur among adolescents. The purpose of this article is to describe how to develop the nation's culture and character in boarding school or Pesantren as a form of non-formal educational institution. This study is a literature review. The method used is a descrip-tive analytical to the key concepts. While analysing the data uses content analysis. It results four ways of culture and character of education as the following: 1) interior regularity; 2) coherence; 3) firmness; and 4) loyalty. The development of nation's character and culture of education in Pesantren can be established if boarding school remains consistent in: 1) forming a man into the fullest both his knowledge and faith to Allah SWT; 2) fostering the superiors Bashthatan fil ' Ilmi wal jismi; and 3 Pesantren itself preparing tafaquh Fiddin's generation.

Keywords: cultural education, national character, pesantren

ABSTRAK

Lemahnya peran pendidikan dalam membangun karakter dan budaya bangsa di Indonesia salahsatunya ditandai dengan banyaknya penyimpangan perilaku yang terjadi di kalangan remaja. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana mengembangkan budaya dan karakter bangsa di pesantren sebagai bentuk institusi pendidikan nonformal. Studi ini merupakan literature review. Metode yang digunakan deskriptif analitis terhadap konsep-konsep kunci. Analisis data dengan teknik content analysis. Hasil penelitian merumuskan bahwa untuk mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa dapat dilakukan apabila mengikuti empat cara yaitu: 1) keteraturan interior; 2) Koherensi; 3) Keteguhan; dan 4) kesetiaan. Sedangkan untuk mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa di pesantren dapat dilakukan jika pesantren tetap konsisten dalam: 1) membentuk manusia rabbani; yakni yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT; 2) membina manusia-manusia unggul yang bashthatan fil 'ilmi wal jismi; dan 3 pesantren mempersiapkan generasi yang tafaquh fiddin.

Kata Kunci: pendidikan budaya, karakter bangsa, pesantren

PENDAHULUAN

Aspek penting dalam dunia pendidikan adalah membangun karakter dari peserta didik (Fauzi, Arianto, Solihatin, 2013; Hakim,2012). Karakter adalah standar atau norma dari sistem nilai yang menggambarkan bentuk kualitas diri. Karakter seseorang mencirikan nilai-nilai luhur, yang terwujud menjadi sebuah perilaku.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa fungsi pendidikan

nasional adalah untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedang-kan tujuannya adalah agar bangsa Indonesia menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, keratif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Rendahnya karakter dan budaya bangsa di Indonesia dewasa ini ditandai dengan banyak-114

(2)

nya penyimpangan perilaku yang terjadi di kalangan remaja. Krisis nilai budaya dan karakter bangsa dilihat dari banyaknya perilaku ketidak jujuran, kekerasan dan narkoba (Muttaqin, 2012). Badan Pusat Statistik tahun 2010 selama tiga tahun terakhir ini menjelaskan bahwa kenakalan remaja terus mengalami peningkatan. Mulai dari kuantitas banyaknya hingga peningkatan bentuk-bentuk kenakalan remaja itu sendiri.

Penelitian terdahulu terkait dengan pentingnya penguatan karakter seperti dilakukan oleh Kuswandi dan Emma Himayaturohmah (2018) dengan berpusat pada peran dan penguatan kultur agama di sekolah. Sementara itu Ramin (2018) menelisik tentang pendidikan karakter di lembaga pendidikan jenjang dasar. Ia menekankan pada pembiasaan nilai-nilai agama yang ditemukannya pada Madrasah Ibtidiyah dan Sekolah Dasar Islam Terpadu.

Pada umumnya riset tentang karakter dominan pada sekolah, baik dengan pembudayaan nilai-nilai positif (Asriati, N. 2012) (Hakim, D. 2012) (Rachmadyanti, 2017), kurikulum, mata pelajaran (Ainiyah, N. 2013) (Marjuki, 2018) maupun pada guru (Sauri, 2010) (Fauzi, dkk. 2013). Sementara itu, lembaga pendidikan di Indonesia banyak ragamnya. Selain sekolah juga ada pesantren atau berbasis pesantren. Berbasis pesantren maksudnya pengembangan pesantren yang kemudian beradaptasi dengan membuka pendidikan umum berupa sekolah. Siswanya sekaligus santri di pesantren tersebut. Diantara riset tentang pendidikan karakter yang berpusat pada pendidikan di pesantren misalnya oleh Zuhry (2011) yang melihat budaya pesantren dan pendidikan karakter di pondok pesantren salaf. Senada dengan itu disertasi Velasufah (2020) juga melihat nilai pesantren sebagai dasar pendidikan karakter.

Diantara riset riset tersebut, sejauh penelusuran masih terbatas pada nilai-nilai yang secara integral ada dalam pesantren. Namun masih belum ditemukan bagaimana karakter bangsa dikembangkan di pesantren. Dalam posisi inilah riset dalam artikel ini dilakukan. Hal ini terutama dengan adanya opini yang berkembang, seolah-olah pesantren memiliki andil dalam pembentukan watak keagamaan yang radikal

(Malik, A., Sudrajat, A., & Hanum, 2016; Ismail, 2018; 2019).

Siapa yang tak kenal pesantren? Masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, pasti sudah akrab dengan nama pesantren. Bahkan banyak di antara mereka yang menginginkan anak-anak-nya dapat belajar di pesantren. Karena dengan belajar di pesantren, diharapkan anak-anaknya menjadi keturunan yang saleh dan salehah.

Pesantren dapat dikatakan model pendidikan agama khas Indonesia. Malah dapat dikatakan, pesantren merupakan model pendidikan Islam tertua di Nusantara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pendidikan pesantren sudah melembaga dan mengakar di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Karena keberadaan pesantren tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Khususnya perjalanan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh para Wali Songo di daratan Pulau Jawa (Tajuddin, 2015; Syafrizal, 2015; Kasman, 2018).

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah.”Bagaimanakan pendidikan budaya dan karakter bangsa di pesantren”?. Identifikasi masalah ini dijabarkan menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Karakter apa saja yang dapat dikembangkan

di Pesantren?

2. Bagaimana mengembangkan budaya bangsa di pesantren?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan Karakter apa saja yang dapat dikembangkan di Pesantren.

2. Mendeskripsikan mengembangkan budaya bangsa di pesantren.

Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian adalah:

1. Lembaga, sebagai masukan bagi pimpinan dalam rangka pembinaan pegawai dilingkungan instansi sendiri dan wahana penambahan pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang pendidikan budaya dan karakter bangsa di pesantren

(3)

2. Pembaca, sebagai media informasi tentang pendidikan budaya dan karakter bangsa di pesantren.

3. Widyaiswara, sebagai masukan dalam mendidik dan melatih terhadap para peserta diklat tentang pendidikan budaya dan karakter bangsa di Pesantren.

4. Masyarakat, sebagai masukan untuk selalu memiliki budaya dan karakter sesuai jatidiri bangsa indonesia.

5. Pemerintah, sebagai masukan dalam merumuskan agenda dan pengambilan kebijakan tentang budaya dan karakter bangsa di Pesantren.

KAJIAN TEORI

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Pendidikan karakter merupakan suatu sistem pendidikan yang berupaya menanamkan nilai-nilai luhur. Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Hakikat pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam konteks pendidikan adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang disebut sebagai kaidah emas (the golden rule). Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar sebagaimana diungkapkan di atas.

Dewasa ini, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya (Aprilia, N., & Indrijati, 2014). Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas

pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun, juga terdapat perbedaan pendapat di antaranya mengenai pendekatan dan modus pendidikan. Berkaitan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai (Lickona, 2009). Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik (Suyitno, 2012).

Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. (Suyitno, 2012) Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar sebagaimana diungkapkan di atas. Penyeleng-garaan pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.Hal-hal tersebut dalam konteks pendidikan karakter merupakan implementasi dari teori internalisasi nilai (Saefullah, 2016).

Pesantren dan Pengembangan Karakter

Pesantren adalah sebuah kawasan yang khas yang ciri-cirinya tidak dimiliki oleh kawasan yang lain. Karenanya tidak berlebihan jika Abdurrahman Wahid menyebut sebagai sub-kultur tersendiri. Hal ini kaitannya dengan otoritas kyai di pesantren yang menjadi warna dan role model dalam budaya pesantren (Nugraha, 2010). Kekhasannya inipun menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yag menurut Sauri dipandang lebih berhasil dalam mengembangkan

(4)

karakter santri sebagai peserta didiknya (Sauri, 2011)

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren secara tradisional yang menjadikannya khas adalah kiai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. Secara garis besar, tipologi pesantren bisa dibedakan paling tidak menjadi tiga jenis, walaupun agak sulit untuk membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut yaitu salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu (Wahjoetomo, 1997). Salafiyah adalah tipe pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, atau kitab-kiab klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Metode pengajaran yang digunakan hanyalah metode bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah. Khalafiyah adalah tipe pesantren modern, yang di dalamnya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan umum, tetapi masih tetap mengajarkan kitab-kitab klasik seperti pesantren salafiyah. Pola kepemimpinan pesantren tipe ini biasanya kolektif-demokratis, sehingga tugas dan wewenang telah dideskripsikan secara jelas, sehingga tidak ada pemusatan keputusan pada figur seorang kiyai. Sistem yang digunakan adalah sistem klasikal, dan evaluasi yang digunakan telah memiliki standar yang jelas dan modern.

Pesantren salafiyah atau tradisional adalah model pesantren yang muncul pertama kali. Pesantren ini biasanya berada di pedesaan, sehingga warna yang muncul adalah kesederhanaan, kebersahajaan dan keikhlasan yang murni. Tetapi seiring perkembangan zaman maka pesantren juga harus mau beradaptasi dan mengadopsi pemikiran-pemikiran baru.

Dalam sejarah disebutkan, bahwa kehadiran pesantren bersamaan dengan proses Islamisasi di bumi Nusantara. Menurut Yusuf (2007 : 16), bahwa awal muncul pesantren diperkirakan pada abab ke-8 dan ke-9 Masehi. Hal ini seiring dengan penyebaran ajaran Islam pada masyarakat Indonesia. Seperti diungkapkan dalam sejarah, bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tanpa peperangan dan kekerasan. Padahal sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia banyak menganut paham animisme dan dinamisme, juga beragama Hindu dan Budha. Kehadiran Islam dapat diterima oleh

masyarakat karena dianggap tidak merusak budaya yang ada. Tetapi Islam yang dibawa ke Indonesia dapat berkolaborasi dengan budaya setempat sehingga tidak menimbulkan konflik.

Penyebaran Islam yang dipelopori oleh Para Wali, menjadikan budaya-budaya yang ada sebagai media dakwah untuk mengembangkan dan menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat. Inilah yang dinamakan proses pribumisasi Islam atau Islamisasi di Nusantara. Misalnya yang dilaku-kan oleh Sunan Ampel dengan menjadidilaku-kan pertunjukkan wayang sebagai media dakwah, sehingga terkenal Wayang Syadat, maksudnya Syahadatain, yakni dua kalimat syahadat sebagai pintu awal masuk Islam.

Pada perkembangan berikutnya, pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam terdepan dalam membina generasi yang unggul dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam membela agama dan negaranya. Sehingga pesantren pun, selain sebagai lembaga pendidikan, juga dijadikan benteng pertahanan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia (Usman, 2013). Di sinilah peran ganda pesantren yang telah memberikan konstribusi yang sangat signifikan terhadap kelahiran dan kemajuan bangsa.

Berkenaan dengan hal itu, tidaklah berlebihan jika kemudian pesantren dilihat sebagai garda dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini mengingat kontribusi pesantren yang besar melalui tokoh-tokohnya di masa lalu dalam melahirkan semangat kebangsaan (Majid, 2008; Halimi, 2019). Semangat ini bahkan sampai sekarang tetap diwarsikan sebagai andil yang berharga dari para santri untuk merawat etos kebangsaan.

Muhaimin (2011) melihat hubungan pesantren dengan masyarakat melahirkan tiga keuntungan pragmatis. Pertama, dimensi kultural, dimana seorang santri di pesantren ternyata seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersamaan melalui sesama manusia. Kedua, dimensi edukatif, yaitu ketika pesantren mampu menghasilkan calon pemimpin agama yang piawai menaungi kebutuhan praktik keagamaan sosial masyarakat sekitar, hingga aktifitas kehidupannya mendapat-kan berkah dari Tuhan. Ketiga, dimensi sosial,

(5)

yaitu pesantren telah menjadi semacam pusat kegiatan belajar masyarakat yang berfungsi menuntun masyarakat hingga memiliki life style agar hidup dalam kesejahteraan.

Pesantren dianggap punya potensi besar dalam pembinaan akhlak yang identik dengan pembinaan karakter. Bahkan dianggap berhasil melihat kearifan lokal dan pendidikan. Pesantren dapat dijadikan bahan rujukan pendidikan karakter. Pada sejumlah pesantren, ada pengikut tarekat yang melakukan riyadhah khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk membersihkan jiwa. Secara umum mereka berprilaku dan berakhlak baik. Melalui serangkaan amalan yang ada dalam tarekat itulah para siswa telah berhasil menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia (Fuad, 2012).

Sebagai wadah integratif dalam pengembangan karater santri, pesantren memiliki keunggulan tertentu. Mastuhu (1994), mengemukakan bahwa pendidikan karakter pada pondok pesantren memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1] menggunakan pendekatan holistik dalam sistem pendidikan, 2] memiliki kebebasan terpimpin, 3] berkemampuan mengatur diri sendiri (mandiri), 4] memiliki kebersamaan yang tinggi, dan 5] mengabdi pada orangtua dan guru (Syafe'i, 2017).

METODE PENELITIAN

Studi ini merupakan literature review. Sesuai dengan sifatnya tersebut, maka dalam studi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya.

Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu Studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen tertulis yang digunakan berupa buku, jurnal maupun artikel ilmiah.

Tahapan penelitian diawali dengan tahap persiapan. Pada tahapan ini difokuskan pada

pengumpulan data yang diperlukan untuk kajian penelitian. Kajian yang dimaksud adalah buku-buku atau sumber lain seperti jurnal atau artikel ilmiah yang berkaitan dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, dan kajian tentang pendidikan pesantren.

Tahapan berikutnya adalah tahapan pelaksanaan. Pada tahap ini semua sumber data yang sudah dikumpulkan kemudian dijadikan data mentah. Kajian pendidikan biudaya dan karakter bangsa serta pendidikan pesantren dari sumber data kemudian dikumpulkan, dicermati diklasifikasi, dan dianalisis.

Pada tahapan pengolahan data, penulis menggunakan teknik content analysis, kemudian mengklasifikasikannya bedasarkan makna dan penggunaannya yaitu pendidikan budaya dan karakter bangsa di. Setelah itu data dianalisis lebih lanjut dengan cara melihat kesinambungan antara model pendidikan pesantren dalam mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Mengembangkan Pendidikan Bu daya dan Karakter Bangsa

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian pendidikan merupakan proses yang integral dan simultan untuk membentuk manusia yang seutuhnya. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari budaya dan karakter bangsa yang melingkupinya.

Sedangkan budaya seperti diutarakan oleh Cristoper Dawson (1993), adalah way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa (dalam Moeljono, 2005). The American Herritage Dictionary (1992) secara formal mendefinisi-kan budaya dan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan

(6)

melalui kegiatan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dengan demikian, budaya dan kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup masyarakat yang perwujudannya tampak pada tingkah laku para anggotanya. Kebudayaan tercipta oleh banyak faktor organ biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan sejarah, dan lingkungan psikologisnya. Masyarakat budaya membentuk pola budaya sekitar satu atau beberapa fokus budaya. Fokus budaya dapat berupa nilai misalnya keagamaan, ekonomi, ideologi dan sebagainya.

Karakter dapat diartikan tabiat, watak, sifat kejiwaan atau akhlak. Pendidikan karakter berarti suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan dan akhlak sehingga menunjukkan perangai atau tingkah laku yang baik. Jadi pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Bambang Q-Anees, 2008 : 99).

Adapun bangsa adalah kumpulan dari masyarakat yang membentuk Negara. Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama dan bersatu karena memiliki kesamaan karakter, persamaan nasib, persamaan keturunan, persamaan bahasa, persamaan politik, persamaan perasaan dan agama. Seperti dikatakan Otto Bauer dari Jerman, bahwa bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan karakter, karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib. Dengan demikian, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah proses pengenalan, afirmasi dan aktualisasi mengenai budaya dan karakter bangsa sehingga dari sejak dini peserta didik mengenali budaya dan karakter bangsa yang nantinya menjadi modal

dasar untuk mencintai bangsa (nasionalisme), memperjuangkan kemajuan bangsa (patriotisme) dengan didasari nilai luhur moral dan etika yang tercermin dalam perilaku dan sikapnya. Masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa (Wahid, 2011)

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Menurut Foerster (Koesoema, 2010), terdapat empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Keempat ciri tersebut sebagai berikut. Pertama adalah keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, adalah koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombangambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, adalah otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi, tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, adalah keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performansi seorang pribadi dalam segala tindakannya.

(7)

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Kiprahnya sudah demikian nyata dan terasa dalam perjalanan pembangunan bangsa. Dari sejak masa penjajahan pesantren menjadi benteng pertahanan dalam mem-perjuangkan kemerdekaan. Tercatat banyak ulama dan kyai pesantren yang gugur di medan pertempuran dan menjadi pahlawan nasional dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hingga sekarang pun peran dan konstribusi pesantren masih signifikan dalam ikut menyukseskan program pendidikan nasional yang diantara tujuannya untuk mempersiapkan peserta didik yang beriman, bertakwa dan ber-aklak mulia.

Sekarang ini, para pakar dan praktisi pendidikan sangat mengkhawatirkan nasib generasi ke depan. Karena disinyalir, bahwa lembaga pendidikan yang ada sekarang, belum bisa mencetak peserta didik yang berkarakter. Pendidikan sekarang lebih mengutamakan pencapaian prestasi dan prestise daripada membina moral dan spiritual peserta didik. Sehingga pendidikan sekarang lebih berkhidmat pada kemajuan yang bersifat material daripada pembinaan akhlak yang bersifat spiritual.

Sejalan dengan visi dan misi yang diemban, pesantren perlu memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral dalam meyelamatkan nasib anak bangsa ke depan dari ancaman kehancuran akhlak dan spiritual. Jauh-jauh hari Al-Qur'an sudah mensinyalir, bahwa ke depan akan lahir generasi yang mengabaikan aspek spiritual dan moral sehingga mereka akan menemui kehancuran. Allah SWT menegaskan, ”Maka akan datang setelah mereka generasi (yang jelek), yakni generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, sehingga kelak mereka akan menemui kehancuran ” (QS. Maryam [19] : 59).

Apa yang disinyalir oleh Al-Qur'an di atas benar-benar sudah terbukti sekarang. Dengan model pendidikan yang sekuler, sekarang ini manusia dibawa pada suatu tatanan kehidupan yang serba materialistik. Sehingga yang menjadi tujuan dan standar kehidupan hanyalah kekayaan yang bersifat

materi. Demi mengejar kesenangan materi, manusia rela menghalalkan segala cara dan mengorbankan segalanya. Padahal Islam sebagai agama yang rahmatan lil-'alamin, jelas-jelas menganut prinsip tawazun (keseimbangan) dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat. Malah dunia ini mesti menjadi media untuk meraih kebahagiaan yang hakiki di akhirat.

Dalam konteks ini, pendidikan model pesantren tetap masih relevan dan signifikan di tengah arus kemajuan zaman yang demikian spektakuler ini. Pesantren dapat menjadi pendidikan alternatif dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mandiri. Pesantren akan tetap eksis menjadi benteng moral, spiritual dan sosial bangsa Indonesia yang semakin dimanjakan oleh kemajuan material. Maka supaya bisa memerankan posisi yang sangat strategis ini, pesantren mesti tetap komitmen dan konsisten pada jalurnya dalam memperdalam ilmu-ilmu agama. Pesantren memiliki peluang untuk mewujudkan pegembangan karakter melalui internalisasi nilai-nilia agama dan budaya pesantren (Dahlan, 2016). Kaitannya dengan hal tersebut, Proses pendidikan karakter di pesantren dapat dilakukan dengan lima pendekatan, yaitu; 1] pendekatan komprehensif; 2] pendekatan pembiasaan; 3] pendekatan keteladanan dan 4] pendekatan kedisiplinan, dan 5] pendekatan pembudayaan (Mubarok, 2019).

Seperti dijelaskan Sumardi (2012) pembelajaran karaker di pesantren adalah kemandirian yang di dalamnya bukan saja tidak bergantung pada orang lain, namun dapat hidup di tengah masyarakat dengan memberikan manfaat. Para santri yang mondok secara tidak langsung telah didik dalam kemandirian, kesederhanaan, kebersihan, kedermawanan, toleransi, cara ber-busana dan gotong-royong. Dengan usia santri yang relatif muda, meraka harus belajar mengatur waktu, mengatur uang, belajar menempatkan diri, belajar bersosialisasi dengan lingkungan pesantren dan luar pesantren. Dengan posisi yang penuh kesederhanaan, toleransi dan gotong-royong akan muncul dengan sendirinya. Termasuk dalam hal berbusana, bertutur kata, dan pergaulan dengan sesama santri, baik pria atau perempuan terjaga dengan baik. Ikatan kebersamaan muncul dengan kuat karena mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam segala aspek

(8)

kehidupan.

Sekalipun dalam prakteknya ada pengklasifikasian pesantren salafiyah dan pesantren khalafiyah (Zuhriy, 2011). Namun ini tentunya bukan dikotomi dan subordinasi untuk melemahkan institusi pesantren. Tapi hal ini menjadi peluang dan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan pesantren untuk lebih mengoptimalkan peran dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, pesantren harus merevitalisasi (menghidupkan kembali) orientasi (tujuan) pendidikan pesantren sesuai dengan pesan-pesan al-Qur'an. Dalam al-Qur'an setidaknya ada 3 orientasi pendidikan pesantren yang mesti dihidupkan kembali, yaitu:

Pertama, membentuk manusia rabbani; yakni yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an: ”Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia (nabi) berkata kepada manusia, 'Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah'. Akan tetapi dia (berkata), 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani', karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan karena kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali-'Imran [3] : 79).

Kedua, membina manusia-manusia unggul yang bashthatan fil 'ilmi wal jismi, yang unggul di bidang ilmu dan teknologi. Dalam al-Qur'an ditegaskan, ”Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ’Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab, ’Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak’ ? (Nabi mereka) berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menanugerahi-nya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa’. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2] : 247).

Ketiga, mempersiapkan generasi yang tafaquh fiddin, ulama yang ahli agama. Sebenar-nya orientasi tafaquh fiddin ini yang pokok, sehingga tujuan pesantren mencetak generasi yang ahli agama. Tinggal bagaimana aplikasinya

dalam pendidikan pesantren supaya agama ini benar-benar menjadi sumber inspirasi, motivasi dan orientasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian diantara orientasi pendidikan pesantren yang tetap relevan untuk terus dikembangkan dalam rangka ikut mengawal dan mensukseskan program pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan undang-undang sistem pendidikan nasional. Maka pesantren perlu terus berbenah diri dan mengembangkan desain dan model pembelajaran-nya supaya tetap dapat berperan dalam kancah nasional untuk mempersiapkan generasi yang unggul dan berkualitas.

PENUTUP A. Simpulan

Simpulan dari studi ini adalah mengembang-kan pendidimengembang-kan budaya dan karakter bangsa dapat dilakukan apabila mengikuti empat cara yaitu: 1. Keteraturan interior jika setiap tindakan diukur

berdasarkan hierarki nilai.

2. Koherensi yaitu keberanian yaitu membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko.

3. Otonomi, yaitu menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. 4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan

daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa di pesantren dapat dilakukan jika pesantren tetap konsisten dalam:

1. Membentuk manusia rabbani; yakni yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT 2. Membina manusia-manusia unggul yang

bashthatan fil 'ilmi wal jismi, yang unggul di bidang ilmu dan teknologi.

3. Mempersiapkan generasi yang tafaquh fiddin, ulama yang ahli agama

B. Rekomendasi rekomendasi dalam studi ini adalah:

1. Pesantren tradisional ataupun modern harus tetap mempertahankan dan menjunjung nilai- nilai dan budaya Islam

(9)

2. Pesantren harus tetap konsisten dan relevan dengan sistem pendidikan Islam

3. Bagi para peneliti berikutnya dapat lebih menggali Kehasan Pesantren Tradisional

DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, N. (2013). Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam. Al-Ulum, 13(1), 25-38. Al-Bahy, Muhammad, 1997, Islam Agama Dakwah Bukan Revolusi, (Terj. M. Toha Anwar), Kalam Mulia,

Jakarta.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 2008, Pedoman Hidup Muslim (terj.), Jakarta, Litera Antar Nusa. Arifin, Isep Zainal, 2009, Bimbingan Penyuluhan Islam, Grafindo Persada, Jakarta.

Aprilia, N., & Indrijati, H. (2014). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku tawuran pada remaja laki-laki yang pernah terlibat tawuran di SMK'B'Jakarta. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 3(1), 1-11.

Asriati, N. (2012). Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, 3(2).

Dahlan, Z. (2016). Internalisasi Pendidikan Karakter Perspektif Pesantren. FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 7(1), 155-172.

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta, Lembaga Pentashsih Al-Qur'an, 2007.

Depdiknas. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas. Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter.

Fauzi, F. Y., Arianto, I., & Solihatin, E. (2013). Peran Guru Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Dalam Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik. Jurnal PPKn UNJ Online, 1, 1-15.

Fuad, J. (2012). PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PESANTREN TASAWUF. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 23 (1). https://doi.org/10.33367/tribakti.v23i1.13

Hakim, D. (2012). Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan Karakter Bangsa. Prosiding Seminas, 1(2).

Halimi, M. I. (2019). Studi tentang pemikiran Nasionalisme KH. Wahab Chasbullah dan implementasi-nya (1914-1934) (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Ilma, N. (2015). 'Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa'.

Ismail, A. (2018). PESANTREN DAN RADIKALISME AGAMA (Studi Kasus Pesantren Hidayatullah Ternate). Al-Qalam, 13(1), 19-36.

Kasman, K. (2018). PERAN WALISONGO DALAM MENTRANSFER TASAWUF. El-Furqania: Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 4(01).

Koesoema, A. D. (2010). Mencari Format Pendidikan Karakter Dalam Konteks Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius.

Kuswandi, Yudi dan Emma Himayaturohmah (2018) 'PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI ISLAMI DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA (Studi Kasus di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Cimahi)' Tatar Pasundan. 12 (34) 2018. DOI : 10.38075/tp.v12i34.77

Lickona, T. (2009). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam. Majid, N. (2008). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Mizan Pustaka.

Malik, A., Sudrajat, A., & Hanum, F. (2016). Kultur pendidikan pesantren dan radikalisme. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 4(2), 103-114.

Marjuki (2018) ”PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPS DI MADRASAH TSANAWIYAH” Tatar Pasundan. 12 (32) 2018. DOI: https://doi.org/10.38075/tp.v12i32.58 Molejono, Djokosantoso (2005) Good Corporate Culture sgb GCG. Jakarta: Elex Media

Mubarok, A. Z. (2019). Model pendekatan pendidikan karakter di pesantren terpadu. Ta'dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 134-145.

122

maupun modern untuk menerapkan model pendidikan pesantren dalam membudayakan nilai-nilai Islami pada pendidikan formal atau nonformal lainnya. []

(10)

123

Muhaimin. (2011). ”Pesantren Dalam Bingkai Mutu Pendidikan Global: Meretas Mutu Pendidikan Pesantren Masa Depan (Suatu Kata Pengantar)”, dalam Umiarso dan Nur Zazin. Pesantren diTengah Arus Mutu Pendidikan Menjawab Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang: Rasail Media Grup.

Muttaqin, A. (2012). Pendidikan Karakter di Sekolah Upaya Membangun Karakter Bangsa. Al Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 3.

Nugraha, Firman (2010). Kepemimpinan Kyai di Pesantren. Dalam http://firmannugraha. blogspot. co. id/ 2010/04/kepemimpinan-kyai-di-pesantren. html

Pustaka Pelajar, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta, Pustaka Pelajara, 2007. Q-Anees, Bambang, Hambali, Adang, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur'an, Bandung, Simbiosa, 2008. Ramin (2018) ”KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KARATER SISWA PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR”,

Tatar Pasundan. Volume 12 Nomor 32 Tahun 2018. DOI: https://doi.org/10.38075/tp.v12i32.52 Rachmadyanti, P. (2017). Penguatan Pendidikan Karakter Bagi Siswa Sekolah Dasar Melalui Kearifan

Lokal. JPsd (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), 3(2), 201-214.

Ridlwan, M. (2019). Dialektika Pesantren Dan Radikalisme Di Pesisir Utara Lamongan. Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam, 11(1), 36-55.

Saefullah, Usep (2016) Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren. Jakarta: Nagakusuma Media Kreatif. Salahuddin Wahid, ”Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren”, Aula, Surabaya, PWNU Jawa Timur, 2011,

h. 70

Sauri, S. (2010). ”Membangun karakter bangsa melalui pembinaan profesionalisme guru berbasis pendidikan nilai”. Jurnal Pendidikan Karakter, 2(2), 1-15.

Sauri, S. (2011). Pendidikan Pesantren dalam Pendidikan Karakter. http://10604714.siapsekolah. com/ 2011/06/02/peran-pesantren-dalam-pendidikan-karakter. Tanggal 6 November 2011.

Soukhanov, Anne H. (1992) The American Heritage Dictionary. Delta.

Sumardi, K. (2012). Potret Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Salafiah. Jurnal Pendidikan Karakter, (3).

Supriadi, Gering, Guno, Tri, Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, Jakarta, Lembaga Adminstrasi Negara, 2009.

_________________, Wawasan Negara Kesatuan RI, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, 2009.

Suyitno, Imam 2012, Pengembangan Pendidikan Karakter Dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 1, Februari 2012

Syafe'i, I. (2017). Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 61-82.

Syafrizal, A. (2015). Sejarah Islam Nusantara. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 2(2), 235-253. Tajuddin, Y. (2015). Walisongo dalam Strategi Komunikasi Dakwah. Addin, 8(2).

Usman, M. I. (2013). Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sejarah Lahir, Sistem Pendidikan, Dan Perkembangannya Masa Kini). Jurnal al-Hikmah, 14(1), 127-146.

Velasufah, W., & Setiawan, A. R. (2020). Nilai Pesantren sebagai Dasar Pendidikan Karakter (Doctoral dissertation, Thesis Commons. DOI: https://doi. org/10.31237/osf. io/hq6kz).

Wahjoetomo. (1997). Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press.

Yusuf, Choirul Fuad (2007) Pemikir Pendidikan Islam. Jakarta: Pena Citasatria.

Zuhriy, M. S. (2011). Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(2), 287-310.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari beberapa definisi mengenai minat beli ulang diatas maka dapat disimpulkan bahwa “minat beli ulang merupakan kegiatan pembelian yang dilakukan konsumen setelah

Pada uji praklinik kolesterol total kelompok kontrol negatif tidak terjadi penurunan karena tikus yang hiperkolesterolemia tidak diberikan susu fermentasi Lactobacillus

Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 13 Tahun 2006 Terkait Proses

Komisijos komunikate ,,Įgyvendinant Bendrijos Lisabonos programą: verslumu pagrįsto mąstymo puoselėjimas ugdant ir mokant“ išskiriama aukštojo mokslo svarba verslumo

Kesimpulannya, melalui metode diskusi dengan teknik probing & prompting dapat mengembangkan keterampilan bertanya siswa dalam pembelajaran IPS.. Hal ini dapat

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Kondisi ini merupakan akibat adanya perubahan atau anomali suhu permukaan laut yang terjadi di Pasifik ekuator, sehingga terjadi perubahan arah dan kecepatan angin dan