• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Polimorfisme Promoter Gen RUNX2 (Runt-related transcription factor2) pada Osteoporosis : Kajian pada Wanita Menopause di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Polimorfisme Promoter Gen RUNX2 (Runt-related transcription factor2) pada Osteoporosis : Kajian pada Wanita Menopause di Indonesia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

transcription factor2) pada Osteoporosis : Kajian pada

Wanita Menopause di Indonesia

Sri Sofiati Umami,1 Dwi Anita Suryandari,2

Elza Ibrahim Auerkari,3

1 Dosen Jurusan Tadris IPA Biologi FITK IAIN Mataram

2,3 Departemen Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia

Abstrak

Osteoporosis merupakan suatu penyakit metabolik tulang yang ditandai dengan penurunan densitas mineral tulang disertai dengan peningkatan risiko fraktur disebabkan ketidakseimbangan pembentukkan (formasi) dan penyerapan (resorpsi) tulang. Risiko kejadian osteoporosis meningkat seiring dengan bertambahnya usia, khususnya pada wanita pasca-menopause dan keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai variasi ekspresi dari gen-gen regulator yang berasosiasi dengan proses penulangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh gen RUNX2-faktor transkripsi osteoblastik yang menstimulasi pembentukan tulang dan diferensiasi osteoblas, menganalisis SNP pada promoter (P1) dan risiko terjadinya osteoporosis pada wanita pasca-menopause di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan pada peningkatan risiko osteoporosis yang diasosiasikan dengan genotip TT (tipe mutan) dan alel T yang ditemukan pada Polimorfisme RUNX2 promoter 1. Akan tetapi kecenderungan ini menunjukan hasil tidak signifikan setelah dilakukan uji multvariat yang dihubungkan dengan usia dan waktu setelah menopause. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu dalam upaya mengkonfirmasi potensial risiko pada genotip TT dibutuhkan sampel subjek dengan jumlah lebih besar. Analisis SNP yang dilakukan disini hanya menunjukan satu dari banyak polimorfisme pada RUNX2. Meski demikian, hasil penelitian ini dapat mengungkapkan pengaruh RUNX2 dan risiko yang diakibatkan pada wanita pasca-menopause di Indonesia.

(2)

PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran membawa dampak positif terhadap peningkatan angka harapan hidup manusia yang jumlahnya berbanding lurus dengan peningkatan penyakit degeneratif yang menyertainya,

seperti osteoporosis. Osteoporosis merupakan penyakit

metabolisme tulang yang ditandai dengan pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas tulang yang meningkat. Di Amerika, osteoporosis diderita sekitar 10 juta penduduknya dan 80% penderitanya adalah wanita. Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko osteoporosis. Angka ini lebih tinggi dari prevalensi dunia, di mana satu diantara tiga orang berisiko mengalami osteoporosis, sehingga osteoporosis sudah selayaknya menjadi perhatian bersama.

Osteoporosis dilaporkan lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Penelitian klinis pada wanita menopause menunjukkan bahwa defisiensi estrogen merupakan faktor utama tetapi bukan merupakan faktor dasar bagi berkembangnya osteoporosis. Hormon estrogen memiliki peran penting dalam pemeliharaan tulang dengan memicu aktifitas osteoblas dalam formasi tulang untuk membentuk kolagen. Kadar estrogen yang sangat rendah dapat menghambat kerja osteoblas dan akan meningkatkan kerja osteoklas sehingga remodelling tulang tidak seimbang dan lebih banyak ke arah proses resorpsi tulang (osteoklas lebih aktif dari osteoblas). Hal ini menjadi ancaman terjadinya ostopenia hingga osteoporosis. Kehilangan massa tulang pada awal menopause sekitar 10% dan berkelanjutan sekitar 2-5% pertahun (Rahman IA, 2006).

Klasifikasi kepadatan massa tulang berdasarkan kriteria WHO membagi hasil T-score menjadi tiga kategori : T-score lebih besar dari -1 dikategorikan normal, antara -1 sampai -2,5 disebut osteopenia, dan kurang dari -2,5 disebut osteoporosis (Riggs BL

dkk, 2005). Stimulasi pembentukkan tulang merupakan elemen

kunci dari pengembalian kerusakan massa tulang dan mikroarsitektur. Kombinasi dari faktor lingkungan dan genetik merupakan komponen yang menentukan kekuatan tulang. Salah

(3)

dalam pembentukan tulang adalah Runt related transcription

factor2 (RUNX2).

RUNX2 (6p21,1) merupakan faktor transkripsi runt domain

yang berperan penting sebagai regulator dini bagi diferensiasi osteoblas. Sejumlah gen penyandi matriks tulang membutuhkan

RUNX2 untuk ekspresinya, diantaranya alkaline phosphatase, osteopontin, bone sialoprotein, dan collagen type Iα. Penelitian

menggunakan model hewan coba mencit knock out dominan negatif RUNX2 memperlihatkan adanya fenotip tulang yang tidak lengkap, sementara heterozigot mencit knock-out menunjukkan adanya kelainan yang mengarah pada karakteristik Cleidocranial

dysplasia (CCD) (Riggs BL dkk, 2005).

Penelitian lain pada manusia yang dilakukan oleh Lee dkk (2009) mengungkapkan bahwa sindrom CCD pada manusia disebabkan oleh mutasi missense, nonsense dan frameshift pada gen RUNX2. Beberapa dari mutasi ini mengganggu aktivitas

RUNX2 DNA-binding, sebaliknya pada mutasi lainnya ditemukan

adanya perubahan lokalisasi protein, sintesis protein yang termutasi atau protein yang terpotong sehingga secara biologis menyebabkan aktivitas RUNX2 inaktif.

Serangkaian studi asosiasi polimorfisme RUNX2 juga telah dilakukan dan beberapa diantaranya dihubungkan dengan densitas mineral tulang pada wanita pasca menopause. Menurut Doecke dkk (2006), region polimorfisme gen RUNX2 yang paling

fungsional dan terkait dengan massa tulang serta

suseptibilitasnya terhadap osteoporosis berada di daerah promoter. Salah satu polimorfisme yang memiliki asosiasi terhadap kerapatan mineral tulang yaitu pada promoter 1 titik G-330-T, tetapi polimorfisme promoter di titik tersebut masih belum banyak diteliti (Napierala dkk, 2005).

Penelitian Napierala dkk(2005) melaporkan bahwa mutasi

pada posisi -330 promoter 1 RUNX2 turut berkontribusi terhadap

predisposisi sindrom CCD pada manusia. Single Nucleotide

Polymorphism (SNPs) promoter 1 (P1) -330 G/T diketahui berada

pada daerah hulu dari promoter tepatnya pada domain pengikat DNA zinc finger yang dapat memengaruhi aktivitas transkripsi

(4)

dari gen RUNX2 melalui protein faktor transkripsi yang melekat pada elemen tersebut (Doecke JD, 2006), sehingga pada penelitian ini dilakukan analisis polimorfisme promoter 1 G-330T untuk melihat hubungan polimorfisme RUNX2 dengan nilai T-score dan apakah polimorfisme promoter 1 gen RUNX2 menyebabkan perbedaan pembentukan osteoblas sehingga memengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengalami osteoporosis lebih cepat setelah menopause.

METODOLOGI

Isolasi DNA

Sampel darah diambil dari (vena) subyek sebanyak 2 mL, dilakukan isolasi DNA di Laboratorium Biologi Molekuler Departemen Biologi FKUI. Isolasi DNA dilakukan menggunakan prosedur isolasi yang telah baku dengan tahapan yaitu ke dalam tabung falcon darah yang telah diberi zat antikoagulan

ditambahkan RBC (NH4Cl 1,45M, EDTA anhidrous 5mM, KHCO3

0,1M) dengan komposisi 3 bagian RBC dan 1 bagian darah, lalu tabung dibolak-balik selama 10 menit. Kemudian tabung disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 1500rpm pada

suhu 270 dan supernatan dibuang, begitu seterusnya dengan

pengulangan 3 kali. Larutan RBC berfungsi untuk memisahkan anatar sel darah merah dengan leukosit. Setelah itu ditambahkan 2mL CLS (Tris-HCl 10mM pH8, EDTA 0,25 mM dan SDS 0,5%) ke dalam pelet dan larutan di up-down dengan pipet transfer, penambahan CLS bertujuan untuk melisiskan membran sel, campuran tersebut lalu diinkubasi dalam waterbath 370C selama

60 menit. Selanjutnya larutan Protein presipitation (PP) (Amonium asetat 5M) 1,3mL ditambahkan ke dalam tabung yang berfungsi untuk mengendapkan protein, divortex sesaat dan disentrifus kembali 3000rpm 40C selama 5 menit. Supernatan

kemudian dituang ke tabung baru yang telah berisi isopropanol dingin 2,3mL dilakukan invert sampai terlihat DNA berwarna putih. Berikutnya etanol 70% dingin 1,3mL ditambahkan dan di-invert. Diulangi pencucian sebanyak 2 kali. Selanjutnya tabung dikeringkan dengan cara dimiringkan posisinya. Kemudian

(5)

ditambahkan 0,3mL TE (Tris-HCl EDTA) yang disesuaikan dengan jumlah DNA dan diinkubasi di waterbath 370C ±2 jam. Terakhir

larutan dipindahkan ke tabung eppendorf dengan mikropipet

300uL dan disimpan pada frezzer -200C sebelum digunakan untuk

proses PCR.

Amplifikasi Fragmen DNA Target

Untuk mengetahui polimorfisme pada promoter (P1) gen

RUNX2 DNA yang telah diisolasi dilakukan amplifikasi terlebih

dahulu menggunakan sepasang primer yang meliputi promoter (P1) gen RUNX2. Pada posisi -330, forward 5’-AAA AAG GCA GAG GTT GAC CGG-3’dan reverse 5’-CCC CCT TGC TCT TTC TCT CTC-3’. Amplifikasi dilakukan dengan metode PCR pada mesin Elmer

GeneAmp PCR System 9700. Volume tiap pereaksi adalah 25uL

yang terdiri dari 5ul DNA genom, larutan dapar yang mengandung 0,2 uM untuk masing-masing dNTP, 0,4 uM pada masing-masing

primer, 0,7U Tag Polymerase (promega), 1.5 mM MgCl2 dan

ddH2O (promega).

Sampel DNA diamplifikasi sebanyak 35 siklus dengan kondisi amplifikasi : pada awal siklus dilakukan pre-denaturasi 940C selama 6 menit, kemudian siklus pertama denaturasi 940C

selama 1 menit, penempelan primer 620C selama 30 detik dan

pemanjangan DNA 720C selama 30 detik. Pada akhir siklus ke-35

dilakukan pemanjangan waktu ekstensi 720C selama 5 menit.

Hasil amplifikasi dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 1,5% (promega) yang mengandung ethidium bromida 0,5mg/ml (promega) dalam larutan dapar TAE 1X (0,04M Tris-Asetat, 0,002 M EDTA pH 8,0). Fragmen DNA dipisahkan dengan elektroforesis pada tegangan 80V selama 40 menit. Panjang DNA target hasil PCR adalah 225bp.

Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP)

RFLP dilakukan menggunakan enzim restriksi BsaJI (NEB) sebanyak 1ul (10U/ul) ke dalam tabung yang telah berisi fragmen

DNA hasil PCR, 2uL larutan dapar RE10X dan 18uL ddH2O.

Selanjutnya diinkubasi dalam waterbath pada suhu 600C selama 4

(6)

800C selama 20 menit. Fragmen DNA dianalisis pada 3% gel

agarose dalam buffer TAE 1X pada tegangan 90V selama 60 menit. Hasil pemotongan dengan enzim restriksi BsaJI adalah pita DNA berukuran 205bp dan 20 bp.

Sekuensing DNA

Sekuensing DNA dilakukan sebagai konfirmasi situs polimorfik, digunakan hasil amplikon PCR. Amplikon tersebut dikirim ke The 1st-BASE di Singapura. Prosedur sekuensing DNA meliputi beberapa tahap yaitu purifikasi produk PCR, pengurutan siklus, presipitasi, pengurutan siklus kembali dan analisis urutan basa nukleotida.

Analisis Statistik

Analisis genotip dan alotip terhadap kelompok normal, osteopenia dan osteoporosis digunakan dengan uji statistik

Chi-square dan dinyatakan bermakna jika p<0,05 sedangkan analisis

hubungan genotip dan alotip dengan T-score dilakukan dengan uji

Kruskal-Wallis karena data T-score tidak berdistribusi normal.

Analisis statistik yang digunakan untuk melihat asosiasi polimorfisme gen dan risiko osteoporosis adalah odds ratio (OR).

HASIL PENELITIAN

Analisis Molekuler

PCR dilakukan untuk mengamplifikasi DNA target daerah promoter 1 gen RUNX2 G-330T yang berada pada elemen

enhancer. Sampel DNA hasil PCR yang diinginkan yaitu pita

tunggal berukuran sebesar 225bp. Amplikon kemudian dipotong menggunakan enzim BsaJI untuk mengetahui situs polimorfik pada sampel. Digesti enzim menghasilkan 3 macam genotip yaitu genotip GG (wild type) akan terpotong menghasilkan 2 pita berukuran 205bp dan 20bp, genotip GT (heterozigot) direpresentasikan dengan terbentuknya 3 pita berukuran 225bp, 205bp dan 20bp dan genotip TT (mutan) yang tidak terpotong akan direpresentasikan dengan satu pita berukuran 225bp

(7)

(Gambar 1). Pada visualisasi elektroforesis gel tidak diperoleh pita DNA yang berukuran 20 bp dikarenakan ukuran molekul DNA yang terlalu kecil sehingga diduga sudah bermigrasi terlebih dahulu dan hilang pada saat dilakukan elektroforesis.

Pemberian kode genotip didasarkan pada perubahan yang terjadi pada basa nukleotida di tiap sampel. Pada alel wild-type ditemukan basa guanin (G) sedangkan pada mutan ditemukan basa timin (T) sehingga tidak akan terpotong. Untuk mengkonfirmasi posisi perubahan basa nukleotida hasil pemotongan enzim BsaJI ini dilakukan sekuensing pada sampel

wild-type, heterozigot dan mutan (Gambar 1).

Tabel 1

Data Distribusi Genotip dan Alotip serta hubungannya dengan T-score pada Kelompok Normal, Osteopenia dan Osteoprosis

Keterangan : * HWE P Value ** Uji Kruskal-Wallis *** Uji Chi-Square Genotip n (%) Alotip n(%) GG GT TT P G T P Frekuensi 95 (59) 54 (33,5) 12 (7,5) 244 (75,8) 78 (24,2) 0,273* T-score -1,65 -1,61 -2,07 1,509** -1,64 -1,75 0,450 Normal 34 22 2 0,500*** 90 26 0,569*** Osteopenia 33 16 4 82 24 Osteoporosis 28 16 6 72 28

(8)

Gambar 1

Gambaran hasil metode PCR-RFLP dan sekuensing. Pada gambar (A) sisi kiri memperlihatkan hasil PCR dengan menggunakan primer RUNX2. M=marker 100bp; sumur 1=kontrol negatif; sumur2=kontrol positif primer GAPDH; sumur 3-5 = sampel hasil PCR dengan produk 225bp. Hasil PCR kemudian dipotong dengan enzim BsaJI, yang dapat dilihat pada gambar (B) kiri. Sumur1=marker 50bp; sumur 1 dan 4 =GG; sumur 2-3=GT; sumur 5=TT. Hasil sekuensing pada gambar sisi kanan. Gambar 1 menunjukkan sampel homozigot wildtype (GG), gambar 2 adalah sampel homozigot mutan (TT) dan gambar C merupakan sampel heterozigot (GT)

(A)

(9)

Tabel 2

Hubungan Odds Ratio (OR) Genetik terhadap Risiko Osteoporosis

*) Uji Chi-Square

Hubungan Genotip, Alotip dan T-score

Sampel wanita menopause sebanyak 161 dianalisis genotip dan alelnya pada promoter 1 gen RUNX2. Dari 161 wanita menopause yang dianalisis, sebanyak 95 orang atau 59% memiliki genotip GG, 54 orang atau sebesar 33,5% memiliki genotip GT dan 12 orang memiliki genotip TT atau sebesar 7,5%, sedangkan frekuensi alelnya yaitu 75,8% untuk alel G dan 24,2% untuk alel T. Analisis T-score untuk kelompok genotip dan alotip diperoleh hubungan yang tidak berbeda bermakna (Tabel 1).

Hubungan Polimorfisme dengan Risiko Osteoporosis

Berdasarkan penghitungan nilai OR, genotip GG, GT dan TT menunjukkan nilai OR kurang dari 1 dengan interval kepercayaan mencakup angka 1 (Tabel 2). Secara statistik disimpulkan bahwa kelompok genotip bukan faktor risiko terhadap osteoporosis.

PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok genotip dan alotip dengan

T-score dengan nilai signifikansi p=1,509 dan p=0,450 (p>0,05).

Frekuensi genotip GG, GT dan TT pada tiap kelompok dianalisis

Kelompok Genotip

Gangguan

Densitas Tulang P

Odds Ratio (IK 95% lower – upper)

Ya Tidak

GG 17 37 0,117* 0,291 (0,058 – 1,459) GT 61 34 0,186* 0,359 (0,074 - 1,733 )

(10)

menggunakan uji chi-square dengan interval kepercayaan 95% memperlihatkan hasil tidak berbeda bermakna pada kelompok normal 1), osteopenia (-2,5<T-score<-1) dan osteoporosis (T-score>-2,5) dengan nilai 0,500 (p>0,05).

Untuk frekuensi alel G dan T memperlihatkan hasil yang tidak berbeda bermakna dengan nilai p=0,569 (p>0,05). Perbandingan dengan studi SNP yang sama pada populasi Eropa (Spanyol) ditemukan distribusi yang serupa dimana alel G merupakan alel mayor dan alel T merupakan alel minor, namun frekuensi alel T (mutan) di Spanyol lebih sedikit yaitu 2% dibandingkan populasi Indonesia yaitu 12%. Perbedaan frekuensi ini diduga disebabkan oleh perbedaan ras dan jenis pengukuran densitas tulang.

Pada populasi Indonesia genotip TT memiliki rerata nilai densitas tulang yang paling rendah (-2,07) dibandingkan dengan kelompok genotip GG dan GT, sedangkan pada populasi Spanyol densitas mineral tulang subyek yang memiliki genotip GG lebih rendah dibandingkan subyek yang membawa genotip GT dan TT. Ekspresi fenotip yang berbeda ini menimbulkan dugaan bahwa pada populasi Indonesia rendahnya nilai densitas mineral tulang disebabkan oleh rendahnya proses mineralisasi tulang yang dipengaruhi oleh lingkungan dan perbedaan etnis atau latar belakang genetik lainnya.

Pada populasi Indonesia frekuensi genotip GG lebih banyak dimiliki oleh subyek normal sedangkan genotip TT cenderung meningkat frekuensinya pada subyek yang mengalami osteoporosis (Tabel 1), demikian pula pada frekuensi alel menunjukkan hal serupa yaitu alel G lebih banyak terdapat pada subyek normal dan alel T jumlahnya meningkat pada subyek osteoporosis, sehingga dapat disarankan pada penelitian berikutnya bila jumlah sampel dapat ditingkatkan, diduga akan diperoleh hubungan yang lebih bermakna.

Distribusi frekuensi genotip dan alotip juga dianalisis menggunakan Hukum Hardy-Weinberg Equibrium (HWE) dengan uji Chi-Square, dikatakan konsisten dengan hukum Hardy-Weinberg apabila nilai p>0,05. Pada penelitian ini diperoleh nilai p=0,273 yang berarti frekuensi genotip dan alel populasi Bekasi mengikuti Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini dapat dimengerti karena Populasi di kecamatan Bekasi Timur diketahui didominasi oleh

(11)

pendatang sehingga dengan jumlah penduduk yang besar maka masyarakatnya cenderung melakukan perkawinan acak, dengan demikian keberadaan Hukum Hardy-Weinberg dapat berlaku.

Analisis genotip dan alotip RUNX2 tidak cukup untuk mengetahui seberapa besar pengaruh RUNX2 terhadap pembentukkan tulang sehingga perlu dilakukan pengukuran rasio kadar protein RUNX2 pada subyek yang memiliki genotip wild-type dan mutan untuk menginterpretasi ekspresi RUNX2 pada proses formasi tulang dan melihat korelasi antara kadar protein dengan densitas mineral tulang menggunakan nilai T-score.

Studi asosiasi SNPs lainnya dari gen RUNX2 dengan subyek osteoporosis menopause perlu dilakukan untuk mengetahui asosiasi yang paling kuat terhadap ekspresi RUNX2 terhadap densitas mineral tulang, Polimorfisme lain yang dilaporkan memiliki asosiasi paling kuat terhadap kerapatan mineral tulang yaitu SNP Promoter 2 T-1025C gen

RUNX2. Dilaporkan bahwa perubahan T menjadi C dapat

menghilangkan binding site repressor transkripsi, sehingga perubahan sehingga laju transkripsi meningkat (Lee dkk, 2009). Penelitian pengembangan pada polimorfisme lain terkait gen RUNX2 perlu dilakukan salah satunya gen reseptor Bone Morphogenetic Proteins (BMPs) pada subyek osteoporosis pasca menopause, karena diketahui BMPs merupakan faktor transduksi sinyal yang dapat mengaktivasi transkripsi gen RUNX2 (Miyazono K, 2004).

PENUTUP Kesimpulan

Analisis genotip dan alotip gen RUNX2 tidak menunjukkan hubungan antara polimorfisme genetik promoter 1 RUNX2 dengan

T-score pada kelompok normal, osteopenia dan osteoporosis pada wanita

menopause. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio diperoleh hasil bahwa kelompok genotip bukan faktor risiko terhadap osteoporosis.

(12)

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan perlu dilakukan pemeriksaan kadar protein RUNX2 untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ekspresi RUNX2 terhadap penentuan densitas mineral tulang dan penelitian mengenai asosiasi polimorfisme lain terkait gen RUNX2 seperti pada gen reseptor Bone Morphogenetic Protein (BMPs) yang merupakan faktor transduksi bagi aktivasi gen RUNX2.

DAFTAR PUSTAKA

Doecke JD, Day CJ, Stephens AS, Carter SL. Van Daal A, Kotowicz MA, dkk. Association of functionally different RUNX2 P2 Promoter Alleles with BMD. J. Bone Miner. Res .2006; 21: 265 – 73.

International Osteoporosis Foundation (NOF). Prevalence. NOF;

2006. Online :

http://www.nof.org/osteoporosis/bonemass.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2011.

Lee HJ, Koh JM, Hwang JY, Choi KY, Lee SH, Park EK, dkk. Association of a RUNX2 promoter polymorphism with bone mineral density in postmenopausal Korean women. Calcif

Tissue Int. 2009; 84: 439–45.

Mariona B, Xavier N, Susana J, Anke W, Enrique C, Ramon C. Promoter 2 -1025 T/C Polymorphism in the RUNX2 Gene Is Associated with Femoral Neck BMD in Spanish Postmenopausal Women. Calcif Tissue Int. 2007; 81: 327– 32.

Miyazono K, Maeda S, Imamura T. Coordinate regulation of cell growth and differentiation by TGF-β superfamily and Runx proteins. Oncogene. 2004; 23: 4232-37.

Napierala, Xavier GR, Kathy S, Keiko W, Connie C, Roberto M, et al. Mutations and promoter SNPs in RUNX2, a transcriptional regulator of bone formation. Molecular Genetics and

(13)

National Osteoporosis Foundation Prevention of osteopororis; 2008. Online : http://www.NOF.org. Diakses tanggal 7 Juni 2011.

Rachman IA. Osteoporosis primer (post menopause osteoporosis). In osteoporosis. Edisi I. Editor : Suherman SK, Tobing S,

Dohar AL. Perhimpunan Osteoporosis Indonesia,

Indomedika. 2006; 1-16.

Riggs BL, Parfitt AM. Drugs used to treat osteoporosis: the critical need for a uniform nomenclature based on their action on bone remodeling. J Bone Miner Res 2005; 20 : 177-184.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Konsep strategi komunikasi dalam perancangan ini bertujuan untuk membangun kesadaran atau awareness terhadap produk Gupalas dan memperkenalkan Gupalas sebagai gula

Meskipun Ordonansi Guru 1905 itu telah menjadi klilip (batu sandungan) umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan agama, namun di saat peraturan tersebut dikeluarkan

Nama pengapalan yang sesuai dengan PBB : Tidak diatur Kelas Bahaya Pengangkutan : Tidak diatur Kelompok Pengemasan (jika tersedia) : Tidak diatur. Bahaya Lingkungan :

Seluruh teori dan konsep sudah coba dipakai, tidak ada lagi yang tersisa untuk ditawarkan. Bahkan teori penyebab ketidakmanjuran teori yang dipakai pun sudah

Digunakan sebagai sarana untuk melaporkan rekapitulasi kegiatan dan hasil-hasil kegiatan pelayanan kontrasepsi yang dilakukan oleh klinik KB, dokter/bidan praktek swasta dan

Dalam tahun berjalan, Perusahaan dan entitas anak telah menerapkan semua standar baru dan standar revisi serta interpretasi yang dikeluarkan oleh Dewan Standar

Pengaruh Program Sekolah berwawasan lingkungan Terhadap Kognitif Afektif dan Psikomotorik Lingkungan Hidup Siswa Sekolah Dasar di Kota Medan(Studi Kusus di SD