• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1 Konfigurasi Deposit Batubara di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1 Konfigurasi Deposit Batubara di Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Batubara Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1868 di Ombilin Sumatra Barat oleh H.W.De Grieve seorang berkebangsaan Belanda. Sejak penemuan tersebut sampai dengan era tahun 1970 mineral batubara digunakan untuk keperluan menjalankan mesin-mesin kereta api, dan dalam jumlah sedikit untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Memasuki pertengahan Tahun 1980 mineral batubara sudah menjadi komoditi yang diekspor ke 36 negara tujuan, dan merupakan salah satu produk tambang galian yang diandalkan oleh Pemerintah Indonesia saat ini untuk dapat memberikan kontribusi terhadap devisa negara setelah minyak bumi (Alies, 2003).

Deposit batubara nasional setelah eksplorasi sampai dengan tahun 2003 sebesar 58.8 milyar ton, yang berada di 14 (empat belas) provinsi seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Sumber: Diolah oleh peneliti berdasarkan data dari Dit. Pengusahaan Mineral dan Batubara Tahun 2003

Gambar 1 Konfigurasi Deposit Batubara di Indonesia

Jumlah deposit batubara nasional yang relatif besar seperti diuraikan diatas, merupakan aset bangsa, yang dapat dikelola dengan kaidah pembangunan berkelanjutan untuk keperluan sendiri dan perdagangan internasional yang menghasilkan devisa negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kaltim 33,28% Kalsel 14,75% Kalteng 2.53% Sumsel 37,90% Kalbar 0,89% Sulsel 1,63% Papua 0,23% Sumut 0,05% NAD 0,75% Banten 0,02% Jambi 2,70% Sumbar 1,22%Bengkulu 0,23% Riau 3,51%

(2)

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000 100000 110000 120000 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 ton

P ro du ksi Ex po rt Dom e stik

Konsumsi dalam Negeri Ekspor

Produksi

Menurut data dari Direktorat Pengusahaan Batubara dan Mineral tahun 2004, produksi batubara Indonesia sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 mengalami peningkatan, seperti terlihat pada Gambar 2.

Sumber: Diolah oleh peneliti berdasarkan data dari Dit. Pengusahaan Mineral dan Batubara Tahun 2003

Gambar 2 Produksi, Ekspor, Konsumsi dalam Negeri Batubara tahun 1993- 2003.

Pada tahun 2003 produksi Nasional batubara sebesar 115,6 juta ton, pemakaian dalam negeri sebesar 30 juta ton dan jumlah yang telah diekspor sebesar 85.6 juta ton dengan perolehan devisa sebesar Rp 1.9 trilyun. Jumlah perolehan devisa tersebut merupakan nilai tertinggi yang didapatkan dari sektor pertambangan non Migas dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke tiga dunia pengekspor batubara setelah Australia dan Afrika Selatan.

Bertitik tolak dari pendapatan devisa pada tahun 2003 maka pada tahun 2010 pemerintah akan mengganti pemakaian sumberdaya energi dalam negeri dari bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan gas alam ke bahan bakar yang berasal dari batubara. Hal itu secara bertahap telah dilakukan mulai tahun 2001, di mana pemakaian batubara lebih dominan dibanding pemakaian minyak bumi dan gas alam seperti terlihat pada Gambar 3.

(3)

Gambar 3.Pemakaian Sumberdaya Energi Dalam Negeri tahun 2001-2002.

Pemerintah berencana meningkatkan produksi batubara di tahun-tahun yang akan datang 5 (lima) kali lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar Internasional maupun Nasional yang setiap tahun naik sebesar 36% dan 24%. (DIT,PB&M, 2004). Rencana peningkatan produksi itu merupakan momentum yang tepat mengingat besarnya permintaan pasar dunia akan batubara dengan harga yang relatif tinggi. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah devisa dari sektor pertambangan non migas, serta memenuhi kebutuhan nasional.

Terkait dengan kebutuhan pasar dunia dan rencana pemerintah yang akan mengganti sebagian kebutuhan energi yang berasal dari minyak bumi dengan batubara, maka pengusahaan batubara menjanjikan peluang pasar yang potensial. Kondisi ini memicu peningkatan jumlah pengusaha batubara, termasuk pengusaha / perorangan yang telah lama melakukan eksploitasi tambang batubara di luar kendali atau kontrol pemerintah. Kegiatan pengusahaan seperti disebut terakhir adalah penambangan batubara yang tidak mendapat ijin dari pemerintah atau aktifitas eksploitasi yang dilakukan secara tidak resmi, yang lazim disebut PETI (Penambangan Tanpa Ijin) (Anwar,1997).

Penelitian Qomariah (2003) di Provinsi Kalimantan Selatan, menemukan kegiatan pengusahaan batubara tanpa ijin pada tahun 1997 yang jumlahnya

Minyak Gas Alam Batubara Tenaga Air Panas Bumi

Minyak Gas Alam Batubara Tenaga

Air

Panas Bumi

Sumber : Direktorat Jenderal Tenaga Listrik dan Energi, 2004

(4)

mencapai 157 pengusaha / perorangan. Jumlah ini meningkat menjadi 445 pengusaha pada tahun 2000. Sebagai gambaran jumlah produksi pada tahun 2004 yang dihasilkan PETI per hari sekitar 10 juta metrik ton, sedangkan perusahaan besar seperti PT. Arutmin Tbk, pada tahun yang sama hanya sebesar 9.000 metrik ton, (Forqan.com.2005).

Meningkatnya jumlah pelaku eksploitasi tambang batubara terbuka atau

surface mining yang tidak resmi (illegal), disebabkan alasan ekonomi. Dari

segi bisnis, komoditi batubara menguntungkan (profitable), pasar masih terbuka luas dan permintaan selalu meningkat. Secara teknis proses penambangan batubara di Pulau Kalimantan relatif mudah karena letak deposit batubara terletak antara 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) dari permukaan tanah yang subur (Wadjidi, 2005).

Ditinjau dari segi kuantitas, pelaku eksploitasi tambang batubara terbuka yang kurang mempertimbangkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan setiap tahun meningkat jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh mudahnya mendapatkan ijin eksploitasi dengan persyaratan yang lunak, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah. Luasan eksploitasi di bawah 1000 ha merupakan wewenang pemerintah daerah setempat untuk memberikan ijin eksploitasi pertambangan, dan lemahnya manajemen pengawasan dari pihak yang berwajib, sehingga banyak kelompok masyarakat bisnis melakukan eksploitasi batubara secara illegal di lokasi-lokasi yang sulit dikontrol oleh pemerintah.

Exploiters atau pengusaha kategori illegal mining dalam aktifitas eksploitasi melakukan perusakan hutan dan sumberdaya alam lain seperti lahan, dan sumber mata air. Sumberdaya alam seperti ( lahan, sumber mata air ), dalam kaidah-kaidah penambangan yang berkelanjutan seharusnya tidak boleh rusak selama proses dan pasca penambangan batubara berahir. Menurut Sandy (1982) keinginan untuk menggalakkan kehidupan ekonomi secara dinamis yang berasal dari sumberdaya alam di dalam kehidupan masyarakat, tidak berarti membolehkan mengorbankan kelestarian lingkungan yang bermula dari terdegradasinya lahan. Dalam kenyataannya, aktifitas illegal mining batubara di beberapa tempat atau

(5)

lokasi sering mendatangkan masalah, yang berakibat menurunnya kualitas lingkungan.

Lahan pasca tambang batubara yang terdegradasi karena tidak ada perlakukan rehabilitasi / tanpa reklamasi menampakkan relief morfologi yang

ekstrem, berupa bukit atau gundukan dan cekungan besar. Pada waktu musim

hujan,cekungan besar tersebut berubah menjadi danau (Burhan, 2003). Dampak negatif pasca eksploitasi batubara terhadap kondisi fisik permukaan bumi tersebut mengganggu dan merugikan lingkungan. Hal ini bertolak belakang dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Soemarwoto, 2001).

Eksplorasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga, baik pemerintah maupun swasta, menunjukan bahwa deposit batubara di Pulau Kalimantan berada di kawasan hutan, dan di kawasan-kawasan lain seperti kawasan permukiman Transmigrasi (Arifin, 2002). Saat ini aktifitas eksploitasi batubara oleh perusahaan yang resmi mendapatkan ijin dari pemerintah maupun yang illegal lebih banyak dilakukan dikawasan hutan maupun non kehutanan.

Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh penambang yang tidak resmi (illegal mining) tidak pernah melakukan rehabilitasi lahan. Permasalahan rehabilitasi lahan pasca penambangan, menurut Lubis (1997) adalah hal yang paling rumit, karena disamping menyangkut masalah biaya, waktu juga diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan bagaimana melakukan reklamasi lahan sekaligus sebagai media tumbuh vegetasi agar tercipta kelestarian lingkungan alam tetap terjaga.

PT.KPC (Kaltim Prima Coal) merupakan perusahaan penambangan batubara terbesar di dunia yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur telah melakukan rehabilitasi lahan sampai saat ini seluas 2.223 ha dari jumlah lahan yang dibuka (7.480 ha) selama tiga belas (13) tahun (Sari et al.2005). Perbandingan rehabilitasi dan pembukaan lahan dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 4.

(6)

Sumber : Laporan KPC Minggu ke - 14 Tahun 2005

Gambar 4. Kumulatif Rehabilitasi dan Pembukaan Lahan

Dari gambaran tersebut diatas, nampak bahwa betapa lambat dan sulitnya melakukan recovery sumberdaya lahan pasca pertambangan. Hal ini disebabkan kompleknya permasalahan rehabilitasi lahan pasca tambang batubara open pit.

Saat ini, terdapat beberapa kategori pengusahaan eksploitasi batubara menurut ijin yang diberikan dari pemerintah, seperti pemegang perjanjian PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang ijinnya diberikan oleh pemerintah pusat dengan luasan >3000 ha, Kuasa Pertambangan (KP) yang ijinnya diperoleh dari pemerintah kabupaten dengan luasan < 1000 ha biasanya diberikan kepada koperasi dan badan hukum ,tetapi di lapangan terdapat juga pertambangan rakyat dan pertambangan illegal mining yang jumlahnya sulit diketahui.

Rehabilitasi lahan dengan cara reklamasi untuk suatu keperluan agar vegetasi atau tanaman dapat hidup di lahan pasca tambang bagi pengusaha kategori illegal mining merupakan beban yang relatif berat. Terdapat sejumlah kendala untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, antara lain seperti masalah-masalah teknis, sosial, biaya yang diperlukan sangat mahal, dan waktu yang dibutuhkan cukup lama. Salah satu cara untuk mengatasi kendala seperti yang diuraikan tersebut di atas adalah merumuskan model reklamasi lahan pasca tambang yang efektif dan efisien. Efektif artinya dapat dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan teknologi yang mudah dilakukan oleh masyarakat setempat,

2 3 2 1 2 4 8 8 2 7 5 0 2 9 3 4 3 116 3 3 10 3 6 7 5 4 13 9 4 7 0 6 5 3 19 5 8 9 2 6 9 5 2 7 4 8 0 4 9 15 2 2 7 7 4 5 4 6 2 8 7 9 4 9 8 4 13 0 3 15 8 2 18 3 9 2 0 9 0 2 2 0 4 2 2 2 3 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 5 2 5 7 4 7 4 8 3 8 0 2 3 4 0 0 3 1 2 4 2 8 3 6 2 6 9 1 2 5 16 2 4 8 8 2 4 8 0 2 4 7 3 2 3 3 6 2 2 7 2 3 0 % 3 2 % 3 5 % 3 5 % 3 4 % 3 1 % 2 7 % 2 4 % 2 0 % 15 % 10 % 6 % 2 % 10 % 0 % 20 % 30 % 40 % 50 % 60 % 70 % 80 % 90 % 100 % Ta h u n P er cen ta se R eh a b ( % ) R e h ab D ist u rb M in e F o o tp ri n t (H a) Rehabilitas i Kumulatif Kerus akan Kummulatif Perc entas e

(7)

tetapi juga dapat memberikan manfaat ekonomi, baik kepada masyarakat maupun pemerintah daerah secara berkesinambungan. Efisien, artinya memilih strategi untuk melakukan rehabilitasi lahan dalam sebuah model reklamasi dengan biaya relatif rendah, namun mendapatkan hasil yang optimal dan dalam kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Model reklamasi dimaksud adalah yang berbasis agroforestri. Menurut Foresta,et al.,(2000) penggunaan lahan dengan sistem agroforestri, yang merupakan perpaduan antara tanaman pohon yang memiliki peran ekonomi penting atau memiliki peran ekologi (seperti kelapa, karet, cengkeh, jambu mete atau tanaman pohon) dan sebuah unsur tanaman musiman seperti jagung, padi, kacang-kacangan, sayur mayur, atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi ,coklat adalah sistem agroforestri sederhana. Definisi lain tentang agroforestri menurut Nair (1982)

dalam Riswan et al.(1995) adalah suatu cara penggunaan lahan yang terpadu

untuk daerah-daerah marginal, dengan sistem masukan atau investasi yang rendah tetapi mampu menahan erosi, sehingga akan terjadi perbaikan fisik tanah, dan pengaturan iklim mikro. Definisi menurut Nair (1982) tersebut sejalan dengan landasan umum pembangunan berkelanjutan yang selalu memperhatikan dimensi-dimensi: ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi (Endres,1989). Selain itu, menurut Vergara (1982) agroforestri merupakan terminologi yang paling mudah dilakukan untuk membentuk ekosistem alam baru di lahan yang gundul dan marginal, karena berbagai macam jenis tanaman dapat dicoba. Pada penelitian ini definisi agroforestri yang digunakan adalah seperti definisi menurut Foresta, et al.,(2000).

Menurut Soerianegara (1978) penelitian dengan menggunakan analisis sistem dengan tools simulasi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan penelitian dengan eksperimen biasa, antara lain dapat melakukan eksperimentasi terhadap suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakuan terhadap sistem yang diteliti dengan bantuan model, dan simulasi

dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada model. Model reklamasi lahan pasca tambang batubara terbuka yang berbasis

agroforestri dalam penelitian ini mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi, sebagai bagian dari dimensi

(8)

pembangunan berkelanjutan. Multidimentional Scaling (MDS) digunakan untuk menilai status keberlanjutan dari lahan pasca tambang batubara yang ditinggalkan setelah seluruh deposit batubara habis dieksploitasi. Cara ini belum pernah digunakan untuk mengevaluasi di bidang lahan pasca tambang batubara open pit. Cara evaluasi dengan melibatkan stakeholders untuk melakukan assesment terhadap lahan pasca tambang batubara dengan menggunakan MDS , dinamakan ”Rap-Asslaptabat”.

Konsep model reklamasi lahan pasca tambang batubara yang akan dirumuskan ini, harus dapat menjawab kasus-kasus lahan pasca tambang hasil dari

illegal mining dan merupakan referensi atau rujukan bagi arah kebijakan

pemerintah daerah dalam mendayagunakan sumberdaya alam khususnya lahan yang telah rusak. Hal ini untuk mengantisipasi kondisi pada masa yang akan datang dimana bisnis batubara akan berkembang pesat, antara lain oleh karena: 1). Penggunaan batubara untuk sektor energi dan industri di Indonesia, sudah

mulai menggeser pemakaian minyak bumi, gas alam, tenaga hydro dan

geothermal. Pada tahun fiskal 2002 kebutuhan nasional sumber energi di

suplai dari batubara sebesar 42.2%. Rencana Pemerintah pada Tahun 2010 akan mengganti kebutuhan Nasional sektor energi dan industri dari batubara sebesar 75% (DITJEN TL & PE, 2004).

2). Potensi deposit batubara nasional yang dimiliki Indonesia di tahun 2003 sebesar 58.7 milyar ton, dan dari jumlah tersebut 51% atau sebesar 31.3 milyar ton terdapat di Pulau Kalimantan (DIT.PM& B,2004) .

Kedua alasan tersebut diatas menjadikan posisi industri ini menjadi strategis.

1.2. Perumusan Masalah

Rencana pemerintah dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun yang akan datang mengganti bahan bakar minyak dan gas bumi di sektor energi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dengan batubara. Di samping memenuhi permintaan pasar global yang naik tiap bulan secara signifikan (kenaikan pasar global tiap bulan 3%), maka meningkatkan produksi batubara lima kali lebih besar dari sekarang merupakan program prioritas.

Permintaan pasar bebas tersebut (bebas dalam arti permintaan konsumen tidak dikendalikan oleh institusi dibawah kontrol pemerintah) mendorong

(9)

banyaknya jumlah pelaku bisnis bahan galian ini melakukan eksploitasi / penggalian secara besar-besaran di kawasan-kawasan yang mengandung deposit batubara. Di antara exploiter tersebut terdapat pengusaha (dalam jumlah yang sulit didata oleh yang berwajib) melakukan seluruh rangkaian aktifitas kegiatan penambangan tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan banyak merugikan lingkungan. Bukti bahwa aktifitas kegiatan illegal mining tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan diberitakan diharian nasional ternama, seperti Harian Nasional Kompas pada tanggal 1 juni 2004 di halaman 34 memuat tentang “ Tidak bertanggung jawabnya penambang batubara setelah eksploitasi selesai dilakukan, mereka lari tidak melakukan reklamasi lahan sehingga lahan menjadi terdegradasi”. Pada tanggal 10 Oktober 2005 di harian nasional yang sama di halaman 24, memuat artikel tentang “ Pencurian / penggalian untuk mendapatkan batubara tidak lagi dengan linggis tetapi dengan alat-alat berat terjadi dimana-mana di Kabupaten Kutai Kartanegara “. Dampak negatif aktifitas eksploitasi batubara yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dapat disarikan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 . Dampak Eksploitasi Tambang Batu Bara Terbuka yang Tidak

dengan Kaidah Pembangunan Berkelanjutan.

Wilayah atau kawasan lokasi-lokasi pasca penambangan yang tidak dilakukan reklamasi, setelah mineral batubara habis dieksploitasi lahan ditinggal begitu saja (derelict land) mempunyai dampak antara lain:

Dampak Aktivitas eksploitasi tambang Batu bara secara terbuka

Tanah Secara Kimia

Vegetasi Secara Tanah

fisik Relief Permukaan Tanah

S O S I A L B U D A Y A

EKOLOGI E K O N O M I

(10)

a. Terdapat proses degradasi lahan yang berakibat terhadap penurunan kualitas lingkungan dan mengganggu kehidupan manusia serta biota lainnya. Penurunan kualitas lingkungan merupakan dampak negatif terhadap ekologi, yang diawali dari gundulnya permukaan sebagian muka tanah (tidak ada satupun vegetasi yang tumbuh). Ketika terjadi hujan, permukaan tanah tidak dapat menahan hantaman jatuhnya butir air, sehingga gerusan air permukaan akan memudahkan terjadinya erosi. Erosi yang disebabkan air permukaan akan sangat cepat mengkikis lapisan bagian atas tanah dan dapat merubah bentuk sebagian permukaan tanah dari kondisi aslinya, biasanya berupa gundukan dengan kemiringan lereng >15 %. Hal ini terjadi akibat aktifitas kegiatan pengelupasan, penggalian dan pengerukan. Dalam proses tersebut, secara insitu material tanah merupakan obyek yang mengalami kerusakan dan berakibat pada penurunan kualitas kemampuannya. Secara fisik terdapat rusaknya struktur tanah karena pemadatan akibat gerakan alat-alat berat, kerusakan tersebut dapat juga disebabkan oleh karena bercampurnya tailing (debu batuan hasil pengerukan) dengan tanah yang baik /subur (Hunsberger dan Michaud, 1996). Kenampakan lain secara visual permukaan tanah menjadi gundul atau tidak terdapat vegetasi, berlubang dengan diameter lebih dari 300 meter serta terdapat gundukan (Wajidi,2005). Lahan pada kondisi seperti itu apabila dibiarkan terus menerus akan menjadi lahan yang gersang, dan tidak subur, dalam jangka waktu lama menjadi lahan kritis sehingga tidak mampu berproduksi secara ekonomi (Sitorus, 2003). Kondisi lingkungan dengan tidak terdapatnya vegetasi dapat mendorong pada perubahan iklim lokal dan regional dengan cepat, melalui peningkatan suhu / temperatur, karena siklus hidrologinya terganggu. Kondisi iklim yang tidak menentu tersebut berdampak terhadap aspek ekonomi, karena siklus panen berubah. Dampak lain secara ekonomi luas lahan garapan menjadi berkurang bagi masyarakat sekitar atau penduduk lokal hilangnya kesempatan untuk memetik hasil hutan seperti rotan dan madu yang berasal dari lebah.

b. Masalah lainya yang timbul terhadap sosial budaya, antara lain terdapatnya konflik kepentingan, antara penduduk asli (yang memandang hutan sebagai kehidupan mereka) dan pengusaha (yang memandang hutan sebagai penghalang, karena dibawahnya terdapat mineral batubara). Masalah perubahan

(11)

status hak atas tanah pasca penambangan yang dapat menjadi sumber konflik. Dampak terhadap institusi kelembagaan, berubahnya fungsi-fungsi ruang (Marcellie dan Duhaime. 2001)

c. Permasalahan yang paling serius adalah untuk melakukan rehabilitasi lahan agar lahan dapat berfungsi secara ekologis diperlukan biaya yang sangat tinggi.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun model reklamasi lahan pasca tambang batubara berbasis agroforestri.

Adapun tujuan antara penelitian ini adalah :

1. Mempelajari karakteristik lahan pasca tambang batubara dan perubahan sifat fisik dan sifat kimia menurut lamanya waktu setelah penambangan dan keterkaitannya dengan pertumbuhan vegetasi.

2. Melakukan analisis finansial usaha berbasis lahan terkait dengan jenis tanaman di lahan yang mendapat perlakuan reklamasi lahan.

3. Menganalisis kondisi lahan pasca tambang batubara ”illegal mining” (existing condition) menggunakan MDS dan menyusun kebutuhan pelaku sistem dalam rangka meningkatkan lahan pasca tambang batubara.

4. Menyusun sistem model reklamasi lahan pasca tambang batubara berbasis agroforestri melalui simulasi dinamik.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi Pemerintah Daerah, sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan reklamasi lahan pasca tambang batubara dan masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten.

2. Bagi dunia usaha sebagai referensi untuk penyusunan rencana rehabilitasi lahan pasca tambang, termasuk dalam menentukan komoditi di bidang pertanian/perkebunan dan kehutanan

3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, berbagai persoalan yang sangat komplek seperti masalah-masalah lingkungan, cara melakukan atau

(12)

menyelidiki permasalahan seyogyanya dilihat secara holistik, komprehensif dan sistematis.

1.4. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 mengatur tentang Sumberdaya Alam yang terkandung di bumi Indonesia dimanfaatkan untuk keperluan kesejahteraan rakyat, termasuk mineral batubara yang terletak dibawah permukaan tanah. Mineral batubara diproyeksikan di masa yang akan datang, segera menggantikan peran minyak bumi, baik untuk komoditas perdagangan luar negeri maupun untuk keperluan industri didalam negeri. Devisa yang diperoleh akan segera dapat mensejahterakan rakyat.

Persoalannya adalah terdapat banyak kasus eksploitasi tambang batubara terbuka atau open pit yang dalam pelaksanaannya tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, dari mulai aktifitas eksploitasi sampai dengan selesai penambangan. Lahan pasca penambangan ditinggalkan begitu saja, tidak dilakukan rehabilitasi. Lahan terbuka yang dibiarkan dalam jangka waktu lama dapat menjadi lahan kritis, terdapat proses degradasi karena erosi, kemampuan lahan untuk berproduksi hilang karena tanahnya rusak tidak dapat berfungsi. Kondisi lahan seperti tersebut diatas dapat berakibat terhadap penurunan kualitas lingkungan, dan dapat berkembang menjadi masalah yang komplek.

Lahan pasca tambang yang tidak direhabilitasi justru mendatangkan banyak masalah. Sebagai contoh, pada musim penghujan, didaerah hilir dapat mendatangkan musibah banjir, karena lahan yang tidak bervegetasi tidak mampu menahan gerakan air hujan dan langsung mengikis permukaan sehingga terdapat pendangkalan pada muara-muara sungai (Nugraha dan Katindo,2003). Untuk mengembalikan lahan dapat digunakan menjadi alat produksi pertanian dan sebagai tempat ekosistem alam dibutuhkan biaya yang sangat tinggi. Untuk menyelesaikan persoalan yang komplek dan rumit dalam ekosistem alam, diperlukan suatu metode yang sangat sistematis. Gambar 6 menyajikan kerangka pikir secara diagramatis, letak dan metode penelitian.

(13)

Pemanfaatan Sumberdaya Mineral Batubara

Gambar 6. Pola Pikir Model Reklamasi Lahan Berbasis Kebutuhan

Stakeholders.

Salah satu metode untuk memecahkan persoalan yang rumit adalah dengan pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem disamping memahami proses yang terjadi dari obyek yang sedang diteliti juga melibatkan stakeholders untuk ikut berperan dalam memutuskan bagaimana sebaiknya melakukan rehabilitasi lahan pasca tambang. Hal ini mengacu pada ciri khas pembangunan berkelanjutan, yang selalu melibatkan atau mengikut sertakan pelaku sistem, yaitu

stakeholders.

Penelitian ini menjaring seluruh aspirasi dan kemauan yang bersifat

konstruktif dari para stakeholders yang akan merencanakan, melaksanakan dan mengawal program sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dengan metode tersebut diatas diharapkan timbul dampak positif secara psikologis terhadap stakeholders., karena ikut terlibat dalam seluruh rangkaian aktifitas. Pelaksanaan penyelesaian dengan pendekatan sistem agar tercapai tujuan penelitian, terdapat rambu-rambu batasan sistem. Batasan sistem sesuai dengan kerangka pikir digambarkan dalam bagan alir input- out seperti pada Gambar 7.

● Devisa Negara ● Pemasukan dalam negeri Lahan Pasca Tambang

yang di Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang

yang tidak di Reklamasi

Kesejahteraan Masyarakat Memberdayakan Stakeholders Model Reklamasi ● Analisis Existing Condition ● Analisis Kebutuhan Analisis Teknis ( - ) ( + ) ( + )

(14)

Gambar 7. Bagan Alir Input –Output Kerangka Pikir

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memfokuskan proses evaluasi dan pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian, maka ada beberapa batasan yang perlu penegasan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Penelitian ini membahas lahan pasca tambang batubara yang depositnya tidak jauh dari permukaan tanah (antara 5 s/d 25 meter dibawah permukaan tanah) yang biasa dikenal pertambangan permukaan atau surface mining (penambangan batubara terbuka). Pembahasan pada lahan pasca tambang batubara yang direklamasi dan yang tidak direklamasi pasca eksploitasi. 2. Data untuk keperluan simulasi, khususnya jenis pohon yang tumbuh di lahan

pasca tambang diperoleh dari lahan pasca tambang yang telah direklamasi milik konsesi penambangan batubara PT.KPC di Kabupaten Kutai Timur terutama di lokasi Porodesarood dan Taman Rusa Surya. Data primer dilahan yang belum direklamasi seperti data teknis tanah dan data vegetasi serta data responden dan komponen lain seperti kebutuhan pelaku sistem sebagai faktor

Model Reklamasi Lahan Pasca Tambang

Output yang diinginkan :

 Lahan pasca tambang batubara terbuka, dapat dijadikan sebagai embrio terbentuknya ekosistem alam

 Peningkatan pendapatan secara ekonomi terhadap masyarakat dan dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB dari sektor pertanian tanaman pangan dan hasil kebun

 Mendukung terciptanya kawasan yang sehat  Pembelajaran kepada masyarakat pentingnya

menjaga SDA dan keserasian lingkungan Input tidak dapat dikontrol :

 Fluktuasi harga hasil usaha dan pasar  Kondisi iklim/agroklimat yang tidak menentu  Hama tanaman

Input terkontrol :  Managemen pengelolaan sistem

agroforestri

 Lokasi/lahan pasca tambang  Ketrampilan masyarakat petani  Penyediaan sarana penunjang

Output yang tidak di inginkan  Terjadinya konflik kepentingan

 Tidak terselesaikannya masalah lahan atas tanah  Perubahan-perubahan dalam tata ruang kabupaten Umpan Balik

Input Lingkungan • UU RI No 24 Th 1992 Tentang Penataan Ruang

• UU RI No. 27 Th 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup

(15)

penentu dalam pembuatan model, diambil di Desa Mangunrejo dan Desa Kampung Bali, Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Kutai Kartanegara. 3. Agroforestri yang dibahas dalam penelitian ini adalah definisi kerja

agroforestri sederhana, yaitu perpaduan sejumlah tanaman satu atau lebih unsur yang memiliki peran ekologi dan ekonomi seperti kelapa, karet, cengkeh atau tanaman keras lainnya dan sebuah atau lebih unsur tanaman semusim seperti jagung, padi atau kacang tanah dan jenis tanaman pagar atau pemisah seperti pisang serta nenas (Foresta et al.2000).

1.6. Nilai Kebaruan (Novelty)

Model reklamasi lahan berbasis agroforestri yang dihasilkan dengan metode pendekatan sistem ini merupakan penelitian yang berbeda dengan berbagai penelitian sebelumnya, karena metode pendekatan sistem dengan menggunakan:

1. Tools Multidimentional Scalling (MDS) yang kami namakan

”Rap-Ass-laptabat”singkatan dari Rapid Assessment Lahan Pasca Tambang Batubara,

adalah suatu metode baru untuk menilai kondisi lahan pasca tambang batubara, yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Metode ini merupakan modifikasi dari Rapfish. Rapfish adalah multi-disciplinary rapid

appraisal technique untuk mengevaluasi sustainability of fisheries .

2. Model reklamasi lahan pasca tambang batubara dengan dengan melibatkan stakeholders untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga yang berbasis tanaman dengan nilai ekonomi tinggi.

Gambar

Gambar 3.Pemakaian Sumberdaya Energi Dalam Negeri tahun 2001-2002.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kita mendorong sebuah mobil dengan gaya F , tetapi mobil tersebut tidak bergerak (artinya tidak ada perpindahan), maka menurut fisika, gaya tersebut

Hasil jadi pewarnaan alami pada jilbab berbahan sutera dengan ekstrak gambir menggunakan teknik mordanting awal/pendahuluan, simultan, akhir ditinjau dari aspek kerataan

Dalam metode ini, jenis metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif yaitu berupa uraian dengan menggunakan data-data, literatur-literatur maupun

Iteration handles change automatically (well sort of) 22 Your software isn’t complete until it’s been RELEASED 25 Tools for your Software Development Toolbox 26.. You’re this

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmatnya dan hidayah-Nya yang selalu mengiringi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan

Para nelayan dari kasus Benjina yang diselamatkan dan ditampung di Pelabuhan Perikanan Tual kemudian dipindahkan ke penampungan yang dikelola oleh Kemensos di Ambon

Yang diterapkan dalam UKM di Kota Pasuruan meski empat dimensi ini dominan diterapkan tetapi kurang maksimalnya penerapan terbukti dari tingkat nilai mean yang rendah dan

A 2012-es év tapasztalatai azt mutatják, hogy a fajták (és nem csak a burgonyafajták) alkalmasságát az ökológiai termesztésre mindenképpen érdemes on-farm