• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pajak Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pajak Internasional"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

1 1..11 LLaattaar r BBeellaakkaanngg

Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin hubungan Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin hubungan de

dengngan an nenegagara ra lalaininnynya a guguna na memengngadadakakan an trtranansasaksksi-i-trtranansasaksksi i yayang ng sasalilingng menguntungkan antar negara. Transaksi internasional berupa import barang dari luar  menguntungkan antar negara. Transaksi internasional berupa import barang dari luar  ne

negegeriri, , ekekspspor or babaranrang g ke ke luluar ar nenegegeri, ri, adadalaalah h memerurupapakakan n babagigian an dadari ri tratransnsakaksisi   pe

  perdardagangangan gan intinternernasiasionaonal. l. TraTransansaksi ksi tertersebsebut ut tententu tu menmengakgakibaibatkatkan n salsalah ah seoseoranrangg   penduduk dari salah satu negara tersebut memperoleh penghasilan. Penduduk yang   penduduk dari salah satu negara tersebut memperoleh penghasilan. Penduduk yang memperoleh penghsilan tersebut disebut subyek pajak, sedangkan hasil yang diperoleh memperoleh penghsilan tersebut disebut subyek pajak, sedangkan hasil yang diperoleh adalah obyek pajak.

adalah obyek pajak.

Dis

Disampamping ing kerkerjasjasama ama ekoekonomnomi i berberupa upa perperdagdagangangan, an, kerkerjasjasama ama antantar ar negnegara ara jugjugaa menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya lainnya.

sosial budaya lainnya.

Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna mencapai Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna mencapai ko

komimitmtmen en bebersrsamama, a, dadalam lam bebentntuk uk peperjarjanjnjian ian ininteternrnasasioionanal l yayang ng memenynyanangkgkutut ke

kepepentntiningagan n anantatar r nenegagara ra tetersrsebebutut, , titidadak k teterkrkecuecualali i yayang ng terterkakait it dedengngan an asaspepek k   perpajakan.

 perpajakan.

Setiap penduduk asing di seluruh Dunia, tidak dilarang jika mereka ingin melakukan Setiap penduduk asing di seluruh Dunia, tidak dilarang jika mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal di Indonesia, atas usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal di Indonesia, atas ha

hasisil l yayang ng diditeteririma ma pependndududuk uk asasining g tetersrsebebutut, , dadapapat t didikekenanakakan n papajajak k di di nenegagarara Ind

Indononesiesia. a. PenPengengenaan aan pajpajak ak yanyang g dildilakuakukan kan di di NegNegara ara IndIndoneonesia sia dapdapat at dildilakuakukankan den

dengan gan kewkewenaenangangan n yanyang g dimdimiliiliki ki NegNegara ara IndIndoneonesia sia sebsebgai gai pempemegaegang ng kedkedaulaulataatann hu

hukukum m dadan n wiwilalayayah, h, nanamumun n dedemimikikian an jujuga ga haharurus s memempmperertitimbmbanangkgkan an asaspepek k   perekonomian nasional dan hubungan kerjasama antar negara.

 perekonomian nasional dan hubungan kerjasama antar negara.

Tr

Tranansasaksksi i anantatar r ke ke dudua a nenegagara ra atatau au bebebeberaprapa a nenegagara ra dadapapat t memeninimbmbululkakan n asaspepek k   perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia  perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia

(2)

gu

guna na memeniningngkakatktkan an peperekrekononomomiaian n dadan n peperdrdagaganangagan n kekedudua a nenegagara, ra, agagar ar titidadak k  me

mengnghahambmbat at ininveveststasasi i pepenanananamaman n momodadal l asasining g akakibibat at pepengngenenaan aan papajajak k yayangng mem

memberberatkatkan an wajiwajib b pajpajak ak yanyang g berberkedkeduduudukan kan di di kedkedua ua negnegara ara yanyang g menmengadgadakaakann transaksi tersebut.

transaksi tersebut.

Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak  Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak    pe

  pengengenaanaan n pajpajak ak yanyang g berberlaklaku u di di suasuatu tu negnegaraara, , dimdimana ana setsetiap iap negnegara ara dipdipastastikaikann mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak  negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak  internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.

Konvensi Wina.

Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang mem

memadaadai, i, karkarena ena hanhanya ya sedsedikiikit t jumjumlah lah wajwajib ib pajpajak ak yanyang g terlterlibaibat t daldalam am trantransaksaksisi int

internernasiasionaonal. l. SebSebagiagian an masmasyaryarakaakat t atau atau wajwajib ib pajpajak ak yanyang g tidtidak ak memmemahaahami mi pajpajak ak  internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak  internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak  terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau mempe

mempelajari lajari tentatentang ng perpajperpajakan yang akan yang terkait dengan penghasilterkait dengan penghasilan an pendpenduduk kita uduk kita didi negara lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, negara lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita hal ini guna menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita  bersinggungan atau bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari  bersinggungan atau bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari

negara lain. negara lain.

Pajak Internasional  Pajak Internasional  22

(3)

gu

guna na memeniningngkakatktkan an peperekrekononomomiaian n dadan n peperdrdagaganangagan n kekedudua a nenegagara, ra, agagar ar titidadak k  me

mengnghahambmbat at ininveveststasasi i pepenanananamaman n momodadal l asasining g akakibibat at pepengngenenaan aan papajajak k yayangng mem

memberberatkatkan an wajiwajib b pajpajak ak yanyang g berberkedkeduduudukan kan di di kedkedua ua negnegara ara yanyang g menmengadgadakaakann transaksi tersebut.

transaksi tersebut.

Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak  Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak    pe

  pengengenaanaan n pajpajak ak yanyang g berberlaklaku u di di suasuatu tu negnegaraara, , dimdimana ana setsetiap iap negnegara ara dipdipastastikaikann mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak  negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak  internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.

Konvensi Wina.

Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang mem

memadaadai, i, karkarena ena hanhanya ya sedsedikiikit t jumjumlah lah wajwajib ib pajpajak ak yanyang g terlterlibaibat t daldalam am trantransaksaksisi int

internernasiasionaonal. l. SebSebagiagian an masmasyaryarakaakat t atau atau wajwajib ib pajpajak ak yanyang g tidtidak ak memmemahaahami mi pajpajak ak  internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak  internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak  terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau mempe

mempelajari lajari tentatentang ng perpajperpajakan yang akan yang terkait dengan penghasilterkait dengan penghasilan an pendpenduduk kita uduk kita didi negara lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, negara lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita hal ini guna menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita  bersinggungan atau bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari  bersinggungan atau bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari

negara lain. negara lain.

(4)

BAB II

BAB II

PENJELASAN

PENJELASAN

2

2.1.1 PaPajjak Iak Intnteernrnasasioionanall

Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini  belu

 belum m ada. Penulis bersama dengan Bapak ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Sriadi Kepala Seksi PerjanPerjanjian Perpajakanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.

tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.

“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara “Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara   y

  yanang g memempmpununyayai i PePersrsetetujujuauan n PePengnghihindndararan an PaPajajak k BeBergrgananda da (P(P3B3B) ) dadann   pel

  pelaksaaksanaannaanya ya dildilakukakukan an dengdengan an niat baik niat baik sesusesuai ai dengdengan an KonvKonvensi ensi Wina Wina (Pac(Pactata Sunservanda).”

Sunservanda).”

Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap   badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral   badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau  penduduk asing tersebut.

 penduduk asing tersebut.

Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu:

yaitu: 1.

1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dariPemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri, dan

luar negri, dan 2.

2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalamPemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri(domestik).

negeri(domestik).

Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (

(ke) luar batas negara (outward, outbound transactionoutward, outbound transaction ) karena umumnya melibatkan) karena umumnya melibatkan ek

ekspsporortatasi si momodadal l ke ke mamancnca a nenegagara ra sesedadangngkakan n didimemensnsi i kekedudua a memenununjnjuk uk papadada  pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (

 pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward,inward, inbound transaction

inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara.) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasin

Dalam aplikasinya ya pemajpemajakan akan pengpenghasilahasilan n luar negeri luar negeri dilakudilakukan kan oleh negara oleh negara domisdomisiliili

 Pajak

(5)

((residence countryresidence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (

sumber ( source countr  source countr y)y)

2.2

2.2 KonKonsep sep JurJuridiidical Vcal Verersus Esus Econconomiomic Doc Doubluble Tae Taxatxationion

Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara   pa

  pajak jak berberganganda da yuryuridiidis s (( juri  juridicdical al doubdouble le taxataxationtion) ) dendengan gan pajpajak ak ganganda da ekoekonomnomisis ((economic double taxationeconomic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu yang sama yang diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).

(secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).

Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha (atau ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha (atau   pe

  perusrusahaahaan an indinduk) uk) oleoleh h suasuatu tu NegNegara ara dan dan pempemajakajakan an atas atas pempemegaegang ng sahsaham am (at(atauau   pe

  perusrusahaahaan an anaanak) k) oleoleh h negnegara ara lain lain bukbukanlanlah ah suasuatu tu pajpajak ak berberganganda da karkarena ena mermerekaeka merupakan dua subjek hokum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI merupakan dua subjek hokum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kes

kesatuatuan an ekoekonomnomis. is. PajPajak ak berberggaggandnda a ekoekonomnomis is dapdapat at terterjadjadi i apaapabilbila a penpenghaghasilsilanan dik

dikenaenakan kan pajpajak ak padpada a perperseksekutuutuan an dan dan kepkepada ada seksekutuutu, , atau atau kepkepada ada lemlembagbaga a walwalii amanat (

amanat (trust trust ) dan pemilik manfaat manat () dan pemilik manfaat manat (beneficiariesbeneficiaries ), dan pemajakan penghasilan), dan pemajakan penghasilan  pada keluarga dan anggota keluarga.

 pada keluarga dan anggota keluarga.

Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (

satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof legal identityof   subject 

 subject ). ). Di Di pihpihak ak lailain, n, PBI ekonoPBI ekonomis melipumis meliputi ti pempemajaajakan kan ataatas s objobjek ek yanyang g samsamaa terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya

(6)

2.3 Hukum Pajak internasional

Ottmar buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum pajak  internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit adalah (Agus Setiawan, 2006):

“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar  bangsa (hukum internasional),”

Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:

“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang  mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”

Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas termasuk sebagai berikut:

a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional 

b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian internasional;

c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :

i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;

ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal   perpajakan;

iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat  internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.

Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak   Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”

Menurut PJA Adriani, “ Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang  mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-masing negara.”

(7)

 pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai :

a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;

 b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda; c. Traktat-traktat.

Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai  berikut :

1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);

2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);

3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law).

 National External Tax Law 

 National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).

Foreign Tax Law 

 Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.

 Internasional Tax Law 

  Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak  Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan   prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di

(8)

Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik  yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pangenaan pajak dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :

i. Hukum Pajak Internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik  ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;

ii. Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan negara domisili;

iii. Hukum Pajak Nasional adalah merupakan bagian dari Hukum Pajak  Internasional yang digunakan;

iv. Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di  berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada Hukum Pajak   Nasional;

v. Hukum Pajak Internasional dalalam arti sempit adalah Hukum Pajak  Internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah Hukum Pajak  Internasional yang berlaku bagi seluruh negara.

2.4 Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara lain :

A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain :

a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian

(9)

dengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan  pencegahan pengelakan pajak.”;

b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak  Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);

c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak  Termasuk Subyek Pajak;

d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak  Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;

e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;

f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak  Luar Negeri;

g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat: a. Perjanjian bilateral;

b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

c. Perjanjian multirateral

Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak  Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

(10)

Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan   pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan

ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga  perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk 

mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur  asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.

Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng ini.

Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan  berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau

tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.

2.5 Prinsip Non-Diskriminasi

Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang  perpajakan bagi warganegara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner  lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).

(11)

Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner  lainnya atau perusahaan  penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau

dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner  lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.

2.6 Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning , dan Tax Evasion

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik  maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran   pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak 

diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran   pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning  dan istilah untuk   penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning .

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai suatu   skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan

memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal ) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of 

(12)

 Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament ).

Tax planning  adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang  melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan  perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas  pajak.

Sedangkantax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang  dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak  melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.”

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak  ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?

Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer   pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign

corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:

1.  Substantive tax planning , yang terdiri atas:

a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan  pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan  pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of  tax object ) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau

(13)

negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

2. Formal tax planning 

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

2.7 Ketentuan tentang Anti Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax  planning  seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan   pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan  perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak  atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty  shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak  untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak  mempunyai substansi bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk  menangkal praktik  unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning  yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning  yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive tax  planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning  oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai  berikut:

(14)

1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan  bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.

2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak  tersebut tidak ditujukan kepadanya.

3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).

4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang.

5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.

6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema  penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga  berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan   penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak 

maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan

(15)

 perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.

2.8 Pengertian Pajak Ganda Internasional

Knechtle (1979) membedakan pengertian pajak berganda dalam dua pengertian, yaitu  pajak ganda dalam arti luas (wider sense) dan pajak ganda dalam arti sempit. (narrower   sense). Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan  pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda ( double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam arti sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan  beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu admisitrasi pajak 

yang sama.

Pengertian tersebut mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan   bagian administrasinya yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari   pemerintah pusat. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh  penguasa tunggal ( singular power ) atau oleh berbagai (lapisan) administrasi ( plural   power ). Pemajakan ganda oleh admisitrator tunggal, misalnya dapat terjadi pada   pemajakan terhadap bangungan atas nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan   penghasilannya (Pajak Penghasilan atas sewa atau keuntungan transfernya). Pajak   berganda tersebut sering disebut pajak berganda ekonomis (economic double taxation).

Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat terjadi secara vertical (pemerintah  pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota

atau kabupaten dengna provinsi A, atau provinsi B)

Sementara itu, hubungan ekonomi internasional yang semula hanya diwarnai dengan  pertukaran barang, migrasi sumber daya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, kini telah semakin luas ruang geraknya dengan ditandai semakin meningkatnya arus modal dan pembiayaan antar negara serta semakin berperannya sektor informasi, dan semua itu berjalan tidak sendiri-sendiri, melainkan saling kait mengait. Lalu lintas barang dan  pertukaran sumber daya internasional, jasa dan modal serta informasi mempunyai sifat

(16)

2.9 Penyebab Pajak Berganda Internasional

Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation ). Oleh para investor dan pengusaha, pajak  ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan   perdagangan internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan

keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi   pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah

daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere ).

Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal ( fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik  dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar  wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi  benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama ( primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder ( secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.

Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor  menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan   jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination  principle; Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen).

(17)

PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal  bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai   pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak   bersamaan.

Contoh timbulnya PBI dapat diilustrasikan sebagai berikut

PERUSAHAAN M

M adalah sebuah perusahaan multinasional yang berkedudukan di negara A dan empunyai cabang di negara B. Negara A menerapkan azas domisili dan azas sumber  secara bersamaan, demikian pula dengan negara B. Atas penghasilan M di negara B dipungut pajak oleh negara A berdasarkan azas domisili, dan negara B memungut pajak  atas penghaasilan M yang sama berdasarkan azas sumber. Dengan demikian  penghasilan M tersebut dipungut pajak dua kali. Pemungutan pajak atas pengasilan M

itu mungkin saja tidak menimbulkan masalah sepanjang negara A dan B menerpakan tarif pajak yang rendah dan terjangkau oleh M. Apabila pajak ganda itu menjadi beban yang berat bagi M, maka haruslah dicari jalan keluarnya.

A

B

Double

Taxation

(18)

2.10 Dimensi Internasional Aplikasi Yurisdiksi Pemajakan

a. Pemajakan atas Penghasilan dari Transaksi Transnasional 

Transaksi transnasional dapat berupa transaksi keluar dari (outbound) atau masuk  ke (inbound) Indonesia. Pemajakan atas penghasilan dari transaksi keluar merujuk  kepada perlakukan perpajkan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima WPDN dari menjalankan usaha (melakukan kegiatan) atau dari investasi di luar Indonesia. Karena mendasarkan pada pertalian subjektif, Indonesia dapat mengaplikasikan yurisdiksi pemajakan terhadap WPDN dengan menjangkau objek yang berada di luar wilayah negara tersebut (ekstra territorial). Atas transaksi keluar, Indonesia mengenakan pajak berdasarkan yurisdiksi domisili. Semua WPDN dikenakan pajak  atas penghasilan global termasuk penghasilan dari usaha dan kegiatan serta investasi di mancanegara. Sehubungan dengan penghasilan dari usaha di mancanegara, berdasarkan argumen netralitas pemajakan atas sumber (source neutrality), Doernberg (1989) berpendapat bahwa pajak seharusnya dihitung  berdasarkan ketentuan domestik. Namun, untuk keperluan praktis adiministratif, Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.04/2002memberikan implikasi bahwa angka penghasilan sumber mancanegara dihitung berdasarkan ketetapan (ketentuan) pajak negara sumber.

Sehubungan dengan penghasilan dari investasi saham yang diterima oleh badan WPDN terdapat perbedaan perlakuan antara investasi di dalam dan di luar negeri. Berbeda dengan dividen dari investasi di dalam negeri, dengan persyaratan tertentu yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4(3)(f) UU PPh, dividen yang diterima dari sumber di luar Indonseia selalu dikenakan pajak, di pihak lain, atas  penghasilan dari transaksi ke dalam (inbound transactions), selain penghasilan dari usaha dan kegiatan yang dikenakan pajak berdasar criteria ambang batas (BUT), Indonesia menerapkan yurisdiksi sumber. Penghasilan WPLN dari investasi di Indonesia dikenakan pajak bersarkan sistem pemotongan (withholding system) dengan basis bruto dan tariff proporsional (20%) atau sesuai dengan tariff P3B yang berlaku.

b. Keterbatasan Jangkauan Yurisdiksi 

(19)

Pada dasarnya, menurut Knechtle (1979) setiap negara termasuk Indonesia bebas dari pembatasan legal negara manca untuk merumuskan sistem perpajakan yang diinginkannya. Sebagai negara berdaulat, Indonesia dapat mengatur seberapa jauh  jangakauan kewajiban perpajakan seseorang. Sesuai dengan soverenitas fiskal yang

dimiliki, negara tersebut dapat merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek  yang berada di luar wilayah kedaulatannya. Namun pemikiran demikian, oleh Martha (1989) dianggap suatu konsep yang kurang tepat. Yang tidak terbatas itu adalah soverenitas. Pemikiran Martha didukung oleh Van Raad (1986) yang menyatakan bahwa secara umum terdapat batas legal (legal restriction) atas  pemajakan terhadap orang probadi warga negara lain atau yang bertempat tinggal atau residen negara lain dan objek di mancanegara. Pembatasan tersebut dapat  berasal dari hokum internasional atau supranasional atau dari ketentuan umum dari undang-undang domestik negara dimaksud. Selain itu, penegakan(enforcement) yurisdiksi fiskal dan hasil dari pelaksanaan klaim pemajakan mancanegara akanterbentu dengan beberapa hambatan legal maupun faktual.

Secara faktual, pelaksanaan yurisdiksi pemajakan hanya dapat berlaku efektif  apabila subjek dan objek dimaksud berada di bawah wilayah kekuasaan Indonesia. Apabila subjek dan objek tersebut berada di luar jangakauan administrasi pajak, secara prkatis, pelaksanaan administrasi perpajakan (penetapan, penagihan,   pengawasan, dan sebagainya) akan banyak mengalami kesulitan. Sangat kecil

kemungkinannya untuk/dapat melaksanakan pemajakan terhadap subjek yang baik  secara personal maupun ekonomis tidak ada kaitan dengan Indonesia.

Pelaksanaan kewenangan fiskal oleh suatu negara juga terhambat oleh ketentuan hokum publik internasional yang menyatakan behwa suatu negara hanya kompeten mengatur subyek atau obyek maupun kejadian yang mempunyai kaitan dengan wilayahnya (knechtle 1979). Prinsip cakupan territorial tersebut membatasi   jangkauan aplikasi hokum admisitratif termasuk hukum pajak suatu negara.

Apabila tidak ada pengaturan dalam perjanjian bilateral atau multilateral, kegiatan  pelaksanaan pemajakan ke luar wilayah dapat menimbulkan benturan pengaturan dengan otoritas pemajakan mancanegara. Selain kesulitan dalam penagihan pajak 

(20)

 pembuktian fakta perpajakan di luar negeri juga merupakan hal yang tidak mudah dilaksanakan.

Selain kedua pembatasan tersebut, secara legal sebagai penambah dari pembatasan di atas, dalam ketentuan domestik (misalnya pidana) dalam rangka melindungi kedaulatan suatu negara, kegiatan pencarian fakta (termasuk pajak), tanpa sepengathuan negara, juga pada umumnya tidak diperbolehkan. Apalagi menyangkut rahasia usaha dan profesi tentu tidak dengan mudah untuk dapat diabaikan alasan tertentu untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan nasionalnya.

2.11 Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda Internasional

Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk  mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau objek  yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi pemajakan (tax jurisdiction) sebagai kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu negara (Knechtle, 1979). Sehubungan dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut empat teori jusitifikasi legal hak pemajakan suatu negara:

a. ealistis atau empiris,  b. etis atau retributive,

c. kontraktual, dan d. soveranitas.

Teori soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu bentuk    pelaksanaan dari yurisdiksi dan yurisdiksi merupakan atribut (kelengkapan) dari

soveranitas. Sumber dari hak pemajakan (right to tax) suatu negara berasal dari  soveranitas (kedaulatan) negara tersebut. Sebagai kebutuhan histories (akan adanya suatu negara), hak dan kewajiban utama suatu negara adalah untuk mengamankan dan melestarikan keberadaannya. Untuk keperluan itu, negara mempunyai hak untuk  meminta sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa saja yang berada di bawah kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori retributive yang menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) yang telah dinikmati seseorang sebagai justifikasi

(21)

  pemajakan, dengan mendasarkan pada asumsi bahwa keberadaan negara adalah masalah esensial politis, teori soveranitas cenderung memberikan justifikasi pemajakan  berdasarkan keterkaitan politis ( political allegiance) seseorang terhadap suatu negara.

Dari neksus perpajakan (keterkaitannya dengan pemajakan asas penghasilan), kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga prinsip:

1. kewarganegaraan,

2. domisili (dan residensi), serta

3. sumber penghasilan (termasuk kekayaan).

Sebagaimana sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya berdasarkan dua kaitan (pertalian) fiskal (  fiscal allegiance) yaitu: subjektif (personal), dan (b) objektif. Pertalian subjektif memperhatikan status wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam kasus wajib pajak orang pribadi; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan). Pertalian objektif mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan. Surrey (1987) dan Tilinghast (1984) serta the American Law Institute (1987) menyatakan bahwa yurisdiksi yang mendasarkan pada pertalian subjektif disebut yurisdiksi domisili atau azas domisili (domicilary jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk pada sumber penghasilan disebut yurisdiksi/azas sumber ( source jurisdiction).

a. Azas Domisili

Pasal 2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili terhadap orang pribadi dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1), nampak jelas bahwa yang tersurat sebagai subjek pajak adalah termasuk warisan yang belum terbagi dan   bentuk usaha tetap (dalam model perjanjian perpajkan disebut .permanent

establishment.). Namun karena warisan yang belum terbagi pada hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang pribadi ahli waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk usaha tetap (BUT) sebagai kriteria ambang   batas pemajakan penghasilan usaha (dan kegiatan) dari perusahaan luar negeri

(22)

1. Orang Pribadi

Indonesia mempunyai yurisdiksi domisili atas orang pribadi dengan status wajib pajak dalam negeri (istilah .dalam negeri. adalah setara dengan .residen/penduduk yang dipakai oleh kebanyakan negara lain). Pasal 2 (3) (a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah seseorang merupakan wajib  pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:

a. tempat tinggal (domisili,

 b. keberadaan/kehadiran (presensi), dan c. niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Kriteria domisili untuk menentukan status WPDN merupakan tambahan oleh UU No. 10 tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat (dalam UU No 7 tahun 1983) dan sekaligus memperluas yuridiksi domisili pemajakan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2(6), apakah seseorang bertempat tinggal di Indonesia ditentuka menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang sebenarnya tersebut, misalnya, dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau substansial (keberadaan keluarga, tempat tinggal, alamat tetap, atau kepentingan ekonomis dan sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama lebih dari 183 hari) madih sapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan ha tersebut dan oleh karenanya termasuk WPDN.

Apabila criteria domisili dapat bersifat subjektif formal, criteria keberadaan kehadiran merupakan criteria yang bersifat obejktif kuantitatif. Namun kedua criteria tersebut dibangun berdasar kterkaitan ekonomis (economic allegiance) seseorang terhadap negara pemungut pajak, sedangkan  pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di bangun berdasar 

keterkaitan politis (political allegiance).

2. Badan

Pasal 2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu yurisdiksi domisili Indonesia atas badan yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b) tempat kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di Indonesia

(23)

merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986) suatu   badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status hukum

(kewarganegaraan atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum siapa   badan tersebut didirikan (.incorporated.). Setiap badan yang didirikan di

Indonesia dianggap bernasonalitas Indonesia.

Dengan demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian (fiskal) nasionalitas. Akibatnya, semua badan yang didirikan di (berdasarkan hokum) Indonesia, tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya (di mana pun berada), merupakan WPDN Indonesia.

 Namun dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan, seperti penaftaran, asesmen, penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut sama sekali tidak  mempunyai perwakilan atau orang di Indonesia perlu dicari upaya yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari ketentuan tersebut.

b. Azas Sumber

Pasal 2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source jurisdiction.) yang   berlaku di Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima secara global

(misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad (1986)) yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsure: (a) menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan (b) menerima atau memperoleh penghasilan yang bersimber di negara tersebut.

UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjala nkan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila aktivitas ekonomi tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur  dalam pasal 2(5), Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan atas usaha yang dijalankan oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas ekonomi ini dapat  berupa; (a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan (profesi atau pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum tahun 2000

(24)

 pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik untuk usaha maupun pekerjaan bebas profesi).

Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik   bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Implikasi

dari yurisdiksi sumber ialah bahwa Indonesia secara sah dapat memungut pajak  dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang menerima atau memperoleh  penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.

2.12 Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional 1. Dampak Pajak Berganda

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.

2. Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1)   pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya. Kedua

metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah ini.

 Pembebasan/pengecualian

(25)

Metode pembebasan (exemption)/pengecualian (e xclusion) berupaya untuk  sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara  pemegang yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3)  pajak.

Pembebasan subjek (  subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional mendapat  privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja ( sending state). Ketentuan pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan  full  exemption atau exemption without progression, diberikan dengan mengeluarkan  penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara tersebut.  Exemption

without progression (eksemsi tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya (mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif   pengenaan pajak negara domisili.

Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax exemption) atau dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya   penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi   penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global

dipertahankan. Apabila negara residen memperlakukan tarif sepadan ( prporsional  atau flat ), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh  positif atau menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas   penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara metode

(26)

  pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).

Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti Indonesia.

 Kredit Pajak 

Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh ( full  tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit  mothode) dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing credt methode ). Dalam tataran lain, sehubungan dengan investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung dan kredit tidak langsung.

Metode kredit penuh ( full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas  penghasilan tersebut.

Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit ) memberikan keringanan  pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak 

nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2) pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.

Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung ( oveall ) atau tiap negara (  per country limitation). Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib   pajak dengan diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum  pajak yang dapat dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang berupa dividen, selain kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit ) dapat pula diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen tersebut (indirect tax credit ).

(27)

 Metode Lainnya

Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional, selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku   International Juridicial Double Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai berikut:

1. Pembagian pajak (tax sharing )antara negara domisili dan sumber,

2. Pembagian hak pemajakan (division of taxing power ) dengan penentuan tarif   pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut

oleh negara sumber,

3. Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus diberikan oleh negara dimisili,

4. Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari penghasilan luar negeri, dan

5. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu,   beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan

termasuk;

• Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan

kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan domisili,

• Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction

method ) dan

• Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau

seluruhnya).

2.13 Praktik Penghindaran Pajak Berganda Internasional.

Untuk menghndari atau mengurangi dampak PBI, di dunia internasional dikenal tiga cara yang sering dilaksanakan, yaitu (1) mengikuti konvensi/traktat internasional), (2) mengadopsi kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak domestik, dan (3) antar negara mengadakan perjanjian perpajakan (tax treaty).

 Konvensi 

(28)

a. Bidang pajak Penghasilan, meliputi :

1. Azas reprositas (tet) atau azas timbal balik, yakni apabila negara lain tidak  mengenakan pajak penghasilan untuk pejabat perwakilan negara Indonesia (Duta Besar atau konsulat), maka pejabat pewakilan negara tersebut di Indonesia pun tidak dikenakan pajak penghasilan.

2. Kegiatan usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan yang dikirimkan ke induk perusahannya di luar negeri, dikecualikan sebagai objek pajak.

3. Penghasilan perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.

 b. Bidang Pajak Pertambah pabean Nilai

1. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah  pabean dikenakan PPN apabila dipakai dalam daerah Pabean.

2. Penyerahan jasa kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan PPN apabila dimanfaatklan di dalam daerah pabean.

  Mengadopsi Kesepakatan-kesepakatan Internasional Ke Dalam Undang-Undang   Pajak Domestik .

Indonesia sebagai negara yang berdaulat (  sovereign country) ikut serta menghindari/mengurangi terjadinya PBI dengan mengadopsi kesepakatan-kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak nasional. Pengadopsian kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut dimaksudkan pula untuk memberikan kepastian hukum. Rincian pasal-pasal yang mencerminkan adanya adopsi kesepakan internasional dalam undang-undang pajak domestik sebagai berikut:

a. Bidang Pajak Penghasilan (Undang-undang Pajak Penghasilan) 1) Pasal 2 ayat (4) : Subjek Pajak luar Negeri

2) Pasal 2 ayat (5) : Bentuk Usaha Tetap (BUT) 3) Pasal 3 : Pengecualian Subjek Pajak 

4) Pasal 5 : Objek Pajak BUT

5) Pasal 21 ayat (2) : Pengecualian Sebagai Pemotong Pajak 

(29)

6) Pasal 24 : Pengkreditan Terbatas (Ordinary Tax Credit)

7) Pasal 26 ayat (1), (2) : Pemotongan Pajak Atas Penghasilan yang Diterima WPLN

8) Pasal 32A : Pemerintah berwenang mengadakan perjanjian dengan negara lain.

 b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai_  1) Pasal 4 huruf e : Pemanfaatan barang kena pakak tidak berwujud dari luar 

daerah pabean di dalam daerah pabean.

2) Pasal 4 huruf g : Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

 Mengadakan Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty).

Antar negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treeaty) yang disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi penduduk suatu negara supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak  (dalam negeri dan luar negeri). Dalam hal telah ada perjanjian peerpajakan, maka   pemungutan pajak berdasarkan perjanjian perpajakan (kedudukan perpjanjian  perpajakan lebih tinggi dari undang-undang pajak nasional suatu negara). Indonesia

sampai saat ini telah mengadakan perjanjian perpajakan dengan lebih dari 70 negara, sedangkan yang masih berlaku sebanyak 57 negara sahabat.

2.14 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun ekonomis.

Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi,  perdagangan, produksi dan distribusi, sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional maupun global, dalam sektor perpajakan untuk  mengindari beban ekonomis dari PBI tersebut juga terdapat jaringan kerja sama

(30)

(.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek (subjek) yang sama.

Sampai saat ini Indonesia telah menutup P3B dengan lebih dari 70 negara mitra runding. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan ( wealth tax), semua P3B dimaksud berkaitan dengan pajak penghasilan saja. Sebagai salah satu instrumen yang tunduk pada hukum internasional, P3B yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu ketentuan domesti (UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek.

a. Dasar Hukum P3B

P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979). Negara ( Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan  persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan   bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah

negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan  pengelakan pajak.

Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya tunduk pada The Viena Convention on The Law of 

(31)

Treaties tanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi   bagian dari hukum nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang

menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa   pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu  pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan

dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai  berlaku di kedua negara mitra runding tersebut.

b. Model, Sifat, dan Tujuan Umum. 1. Model Perjanjian

Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan  pemberian keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara  bersama-sama dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut   biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak   berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik (misalnya Pasal 24 UU

PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B

(32)

 pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya.

Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model.

Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan   perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari

negara-negara industri maju dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan dasar pijakan alokasi   penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota domisili  berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.

Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap

wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak   pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada negara domisili wajib pajak.  Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan pajak sumber 

(withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk  memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk menyediakan kredit atau  bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara sumber.

Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD

Referensi

Dokumen terkait

Pajak penghasilan atau yang sering disebut dengan PPh adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh

PPh atau Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honor / honorarium, upah, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima atau

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atau penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.Pajak penghasilan sebagaimana telah

Pajak penghasilan menurut Mardiasmo (2019: 161) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak

Menjaga persaingan yang adil antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan yang sama

Subjek pajak luar negeri dalam kertas karya ini dikenakan pajak atas penghasilan yang sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh perusahaan milik wajib pajak dalam

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Objek pajak penghasilan