• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AK-5A

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

OLEH :

RAYNALDO KURNIAWAN (1501035110) LOVIAWAN, AGNES VALENTINA (1501035140)

WILLIAM ONGKOJOYO (1501035200)

BENJAMIN (1501035266)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MULAWARMAN 2017

(2)

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

1. PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL

Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya

dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).

Perpajakan internasional merupakan studi atau penentuan pajak atas subjek orang atau bisnis dengan hukum pajak negara yang berbeda atau aspek-aspek internasional dari hukum pajak negara individu. Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapa cara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial.

2. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK DALAM PAJAK INTERNASIONAL

Subjek pajak dibagi menjadi 2 :

1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di luar negeri

2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di dalam negeri

Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri 2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri

3. DASAR HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 36 Tahun 2008. Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.

PEMAJAKAN BERGANDA

1. DEFINISI PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

Menurut Knechtle dalam bukunya yang berjudul “Basic Problems in International Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci :

a. Secara luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiscal.

b. Secara sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama. Yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.

2. MACAM MACAM PEMAJAKAN BERGANDA

(3)

A. Yuridis

PBI Yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu negara.

B. Ekonomis

PBI ekonomis terjadi apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda

dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara).

PBI ekonomis terjadi jika pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject).

TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Negara domisili mengenakan pajak terhadap subjek pajaknya dari penghasilan

yang diperoleh nya dari negara sumber

Negara sumber mengenakan pajak terhadap penghasilan dari

subjek pajak yang bersumber di negara-nya

Penghasilan

Negara domisili

Negara sumber

Penghasilan

Subjek pajak orang pribadi

Laba kena pajak = 7.5 m -/- pajak final 10% = 0.75 m Laba setelah pajak = 6.75 m

Subjek pajak

badan Laba kena pajak = 10 M

-/- pajak final 10% = 2.5 M Laba setelah pajak = 7.5 M

Atas laba usaha yang sama sebesar 10 M dikenakan pajak dua kali di subjek pajak yang berbeda yaitu sebesar 2.5 M di level subjek pajak badan dan 750 juta di level subjek pajak orang pribadi

(4)

Tujuan utama suatu perjanjian penghindaran pajak berganda adalah untuk meniadakan atau mengurangi pemajakan berganda (avoid double taxtation). Selain itu juga terdapat tujuan lain, yaitu untuk mencegah penghindaran pajak dan penyeludupan pajak (avoid double non- taxation).

Sehingga melalui kedua tujuan tersebut terdapat maksud untuk mencapai tujuan- tujuan seperti :

1. Menjaga persaingan yang adil antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan yang sama berdasarkan tingkat kemampuan membayar pajak (ability to pay) yang sama tanpa memperhatikan di negara mana sumber penghasilan tersebut berasal;

2. Meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal;

3. Membagi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber secara adil atas penghasilan yang berasal dari transaksi lintas batas negara;

4. Menjamin adanya netralitas dalam perpajakan internasional, baik dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk atau keluar ke suatu Negara

Capital export neutrality adalah netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang keluar. Maksud dari capital export neutrality adalah agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri (domestic investment) maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain (foreign investment).

Capital import neutrality adalah netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk ke dalam suatu negara. Maksud dari capital import neutrality adalah agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan yang besumber di negara-nya tanpa membedakan negara yang menerima penghasilan tersebut.

Negara B

Negara A

Subjek Pajak

Subjek Pajak Penghasilan

Negara A mengenakan beban pajak yang sama antara penghasilan yang diperoleh oleh

Subjek Pajak Negara A dan penghasilan yang diperoleh oleh

Subjek Pajak Negara B dalam suatu periode yang sama Negara B

Negara A

Penghasilan

Subjek Pajak

Penghasilan Negara A mengenakan

beban pajak yang sama atas penghasilan Subjek Pajak Negara A, baik yang berasal dari Negara A maupun yang berasal dari Negara B dalam suatu periode yang sama

(5)

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PAJAK BERGANDA

Timbulnya pajak berganda bisa saja disebabkan oleh konflik kepentingan antara negara berupa perbedaan sistem atau prinsip pemajakan antara negara tersebut.

1. Konflik antara negara dengan negara lainnya untuk menjadi negara sumber dari suatu penghasilan tertentu (source-source conflict)

Terjadi ketika suatu negara merasa berhak menjadi negara sumber atas suatu jenis penghasilan tertentu dan kemudian mengklaim negaranya menjadi negara sumber.

Contoh :

(6)

Promotor dari Negara A bermaksud untuk mengadakan pertunjukan musik di Negara B dengan mengundang artis terkenal dari Negara C. Atas pertunjukan tersebut, promotor di Negara A membayar sejumlah honor kepada artis tersebut. Dalam kasus ini, otoritas pajak Negara B, sebagai negara tempat si artis tersebut mengadakan pertunjukan (place of performance) tentu saja dapat mengklaim bahwa Negara B mempunyai hak

pemajakan atas honor yang diperoleh oleh artis tersebut. Akan tetapi, otoritas pajak Negara A dapat saja, berdasarkan kententuan domestik, mengklaim bahwa penghasilan tersebut dikenakan pajak di Negara A karena pembebanan atas biaya honor artis tersebut dibebankan sebagai biaya di Negara A (borne rule principle).

2. Konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu (residence-source conflict)

Terjadi karena negara di mana penghasilan tersebut bersumber (negara sumber) dan negara tempat subjek pajak berdomisili (negara domisili) sama-sama mengenakan pajak atas subjek pajak tersebut.

Contoh :

Tuan Aji merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia yang memiliki kepemilikian 50% saham Singapore Ltd. Singapore Ltd membayar dividen kepada Tuan Aji, berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dan Singapura, pihak otoritas pajak Singapura berhak untuk

mengenakan pajak maksimum 10% dari dividen yang dibayarkan karena penghasilan dividen tersebut bersumber di Singapura. Kemudian otoritas pajak Indonesia yang menganut konsep world wide income juga akan mengenakan pajak atas penghasilan dividen yang diterima dari Singapore Ltd tersebut.

3. Konfilik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili (residence state) bagi subjek pajak tertentu (residence-residence conflict)

Terjadi ketika dua atau lebih negara saling melakukan klaim bahwa subjek pajak yang sama merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mereka.

Contoh :

Mr. Romi adalah warganegara Malaysia dan merupakan subjek pajak dalam negeri Malaysia karena alasan Mr. Romi mempunyai tempat tinggal tetap (permanent home) di Kuala Lumpur. Di bulan September 2009, Mr. Romi mendapatkan penugasan untuk bekerja di Indonesia selama 2 tahun. Penugasan selama 2 tahun di Indonesia tersebut dituangkan di dalam kontrak kerja. Atas dasar kontrak tersebut, dapat diambil

kesimpulan bahwa Mr. Romi mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Indonesia, Mr. Romi merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam tahun 2009, Mr. Romi mempunyai subjek pajak dalam negeri ganda yaitu sebagai subjek pajak dalam negeri Malaysia dan Indonesia.

4. Konflik antara negara domisili dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu (characterization of income conflict)

Terjadi jika salah satu negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda tidak setuju terhadap interpretasi yang diberikan oleh negara partner-nya atas suatu definisi tertentu yang tercantum dalam perjanjian penghindaran pajak berganda.

Contoh :

Mr. David merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara domisili (Negara D). Mr.

David tersebut melakukan konser untuk direkam di Negara S (negara sumber). Mr.

(7)

David menerima penghasilan dari konser tersebut yang dihitung dari suatu persentase tertentu dari hasil penjualan rekaman. Negara S mengklasifikasikan penghasilan yang diperoleh oleh Mr. David sebagai penghasilan dari “imbalan dari kegiatan personal services”. Sedangkan Negara D berpendapat bahwa penghasilan yang diterimannya merupakan penghasilan dari “royalti”. Apabila penghasilan tersebut didefinisikan sebagai “royalti” maka berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dari perjanjian penghindaran pajak berganda yang mereka sepakati (misalnya, menggunakan OECD Model) hanya negara domisili (Negara D) yang mempunyai hak untuk memajaki (shall be taxable only). Akan tetapi, apabila penghasilan tersebut diklasifikasikan sebagai “imbalan dari kegiatan personal services” maka berdasarkan perjanjian penghindaran pajak yang mereka tandatangani, hak pemajakan juga diberikan kepada Negara S. Oleh karena Negara D berpendapat bahwa hanya Negara D yang mempunyai hak pemajakan, maka ketika Negara S mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. David, Negara D tidak mau memberikan keringanan pajak kepada Mr. David atas pajak yang telah dipotong di Negara S. Dengan demikian, atas penghasilan yang diterima oleh Mr.

David dikenakan pajak dua kali tanpa adanya keringanan pajak yang diberikan.

METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Seperti telah dijelaskan di muka, pemajakan berganda secara yuridis (juridical double taxation) terjadi apabila atas penghasilan yang sama dikenakan pajak 2 (dua) kali oleh 2 (dua) Negara yang berbeda dalam periode yang sama. Contoh 1.5 berikut ini menjelaskan

pemajakan berganda secara yuridis.

Contoh 1.5

Misalkan Subjek Pajak A adalah subjek pajak dalam negeri dari Negara D (Negara domisili). Dalam tahun 2008, selain memperoleh penghasilan di Negara D sebesar Rp 20 juta, Subjek Pajak A juga memperoleh penghasilan dari Negara S (Negara sumber) senilai Rp 10 juta. Tarif pajak penghasilan untuk masing-masing Negara adalah sebagai berikut:

1. Negara D mengenakan tariff flat sebesar 30%;

2. Negara S mengenakan tariff sebesar berikut ini:

a. Asumsi I, mengenakan tarif flat yang lebih rendah dari Negara D yaitu sebesar 25%;

b. Asumsi II, mengenakan tarif flat yang lebih tinggi dari Negara D yaitu sebesar 35%.

Negara D sebagai Negara domisili menerapkan sistem world wide income atas subjek pajak dalam negeri-nya. Jadi, Subjek Pajak A akan dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) maupun atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S).

(8)

Berdasarkan kasus Contoh 1.5 di atas maka jika di masing-masing Negara tidak mempunyai ketentuan tentang metode penghindaran pajak berganda maka beban pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh Subjek Pajak A adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1

Total Beban Pajak Subjek Pajak A

Jika Tidak Terdapat Metode Penghindaran Pajak Berganda

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

10.000.000 10.000.000

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D)

20.000.000 20.000.000

3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income)

30.000.000 30.000.000

4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S):

a. Asumsi I (25% x Rp 10.000.000) 2.500.000

b. Asumsi II (35% x Rp 10.000.000) 3.500.000

5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income)

(30% x Rp 10.000.000) dan 3.000.000 3.000.000

(30% x Rp 20.000.000) 6.000.000 6.000.000

6 Total beban pajak 11.500.000 12.500.000

Tampak dalam perhitungan di atas, terhadap penghasilan yang sama yang diperoleh di Negara S sebesar Rp 10.000.000 dikenakan pajak dua kali oleh dua Negara yang berbeda yaitu:

1. Asumsi I:

Negara S sebesar 25% x Rp 10.000.000 = Rp 2.500.000 dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x Rp 10.000.000 = Rp 3.000.000. Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama (Rp 10.000.000), yaitu sebesar Rp 2.500.000 + Rp 3.000.000 = Rp 5.500.000 atau sebesar 55%.

(9)

2. Asumsi II:

Negara S sebesar 35% x Rp 10.000.000 = Rp 3.500.000 dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x Rp 10.000.000 = Rp 3.000.000. Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama (Rp 10.000.000), yaitu sebesar Rp 3.500.000 + Rp 3.000.000 = Rp 6.500.000 atau sebesar 65%.

Tentunya beban pajak sebesar 55% (Asumsi I) atau sebesar 65% (Asumsi II) tersebut sangat memberatkan Subjek Pajak A. Untuk itu, agar tidak terdapat pajak berganda maka dibuatlah metode keringanan pajak sebagai berikut:

1. Metode pembebasan (exemption method):

a. Metode pembebasan penuh (full credit method).

b. Metode pembebasan dengan progresi (exemption with progression).

2. Metode kredit pajak (credit method):

a. Metode kredit pajak penuh (full credit method)

b. Metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method).

3. Metode pengurangan (deduction method).

5.1. Metode Pembebasan (Exemption Method)

Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000 dapat dihindari melalui metode pembebasan (exemption method) dengan cara tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) tersebut di Negara D. Tabel 1.2 berikut ini memperlihatkan perhitungan penghindaran pajak berganda melalui metode pembebasan pajak penuh:

Tabel 1.2

Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pembebasan Pajak Penuh

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

10.000.000 10.000.000

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D)

20.000.000 20.000.000

3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income)

30.000.000 30.000.000

4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S):

a. Asumsi I (25% x Rp 10.000.000) 2.500.000

(10)

b. Asumsi II (35% x Rp 10.000.000) 3.500.000 5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D hanya

atas yang bersumber di Negara D saja yaitu:

(30% x Rp 20.000.000) 6.000.000 6.000.000

6 Total beban pajak subjek pajak A

(dalam nominal) 8.500.000 9.500.000

7 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase)

a. Asumsi I:

(Rp 8.500.000/30.000.000) x 100% 28,3%

b. Asumsi II:

(Rp 9.500.000/30.000.000) x 100% 31,7%

5.2. Metode Kredit Pajak (Credit Method)

Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000 tersebut, selain dapat dihindari dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) seperti diuraikan di atas juga dapat dihindari dengan cara metode kredit pajak. Metode kredit pajak sendiri dibagi menjadi dua yaitu metode kredit pajak penuh (full credit method) dan metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method).

Apabila kasus Contoh 1.5 di atas dihitung dengan menggunkan metode kredit pajak penuh (full credit method) maka perhitungannya tampak dalam Tabel 1.3 berikut ini:

Tabel 1.3

Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Kredit Pajak Penuh

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

10.000.000 10.000.000

(11)

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D)

20.000.000 20.000.000

3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income)

30.000.000 30.000.000

4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S):

a. Asumsi I (25% x Rp 10.000.000) 2.500.000

b. Asumsi II (35% x Rp 10.000.000) 3.500.000

5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income)

(30% x Rp 10.000.000) 3.000.000 3.000.000

(30% x Rp 20.000.000) 6.000.000 6.000.000

6 Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak

11.500.000 12.500.000

7 Kredit Pajak:

a. Asumsi I (2.500.000)

(pajak yang telah dipungut di Negara S)

b. Asumsi II (3.500.000)

(pajak yang telah dipungut di Negara S) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam

nominal)

9.000.000 9.000.000

9 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase)

a. Asumsi I:

(Rp 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0%

b. Asumsi II:

(Rp 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0%

Dari perhitungan metode kredit pajak penuh di atas, tampak bahwa beban pajak secara keseluruhan baik dengan menggunakan Asumsi I atau Asumsi II adalah sama yaitu sebesar Rp 9.000.000. Apabila kita bandingkan dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) maka dari sisi wajib pajak akan memberikan dampak total beban pajak sebagai berikut:

(12)

Tabel 1.4

Perbandingan Beban Pajak antara Metode Pembebasan Pajak Penuh

Dan Metode Kredit Pajak Penuh

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000

2 Metode kredit pajak penuh 9.000.000 9.000.000

Dari Tabel 1.4 di atas, dari sisi subjek pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Asumsi I:

Lebih menguntungkan menggunakan metode pembebasan pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunakan metode kredit pajak penuh.

2. Asumsi II:

Lebih menguntungkan menggunakan metode kredit pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunkan metode pembebasan pajak penuh.

Dalam kasus Asumsi II, permasalahan penggunaan metode kredit pajak penuh timbul jika pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) lebih besar daripada pajak yang dikenakan di dalam negeri (Negara D). Untuk kasus Contoh 1.3 diatas (Asumsi II), Negara D memberikan kredit pajak penuh atas pajak yang telah dipungut oleh Negara S sebesar Rp 3.500.000. Padahal atas penghasilan yang bersumber di Negara S tersebut, Negara D hanya mengenakan pajak sebesar 30% dari Rp 10.000.000 = Rp 3.000.000. Tentunya pemberian kredit pajak yang lebih besar daripada pajak yang didapatka oleh Negara D tidak mungkin dilakukan oleh Negara D.

Atas dasar pertimbangan di atas, metode kredit pajak yang lazim digunakan adalah metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). Dalam metode kredit ini, kredit pajak yang dapat diberikan oleh Negara D adalah sebesar maksimal pajak yang dikenakan oleh Negara D yang dihitung dengan rumus sebagai berikut ini:

(13)

(A/B) x C

dimana:

A = Penghasilan yang bersumber di luar negeri;

B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri);

C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide incime).

Berdasarkan perhitungan dengan metode kredit pajak dengan pembebasan maka kredit pajak yang dapat diperhitungkan di Negara D adalah sebesar:

(Rp 10.000.000/Rp 30.000.000) x Rp 9.000.000 = Rp 3.000.000

Adapun total beban pajak berdasarkan metode kredit pajak dengan pembatasan tampak dalam Tabel 1.5 berikut ini:

Tabel 1.5

Total Beban Pajak Subjek Pajak A

Berdasarkan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

10.000.000 10.000.000

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D)

20.000.000 20.000.000

3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income)

30.000.000 30.000.000

4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S):

a. Asumsi I (25% x Rp 10.000.000) 2.500.000

b. Asumsi II (35% x Rp 10.000.000) 3.500.000

5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income)

(30% x Rp 10.000.000) 3.000.000 3.000.000

(30% x Rp 20.000.000) 6.000.000 6.000.000

(14)

6 Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak

11.500.000 12.500.000

7 Kredit Pajak:

a. Asumsi I (2.500.000)

(pajak yang telah dipungut di Negara S)

b. Asumsi II (3.000.000)

(dibatasi maksimal sebesar pajak yang terutang berdasarkan tarif Negara D) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam

nominal)

9.000.000 9.500.000

9 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase)

a. Asumsi I:

(Rp 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0%

b. Asumsi II:

(Rp 9.500.000/30.000.000) x 100% 31,67%

Apabila kita bandingkan total beban pajak antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit dengan pembatasan akan tampak dalam Tabel 1.6 di bawah ini:

Tabel 1.6

Perbandingan Beban Pajak

Antara Metode Pembebasan Pajak Penuh dan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000

2 Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan

9.000.000 9.500.000

Dari perhitungan di atas, tampak bahwa dalam kasus Asumsi II, antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit pajak dengan pembatasan memberikan beban pajak yang sama bagi Subjek Pajak A.

(15)

Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian kita adalah jika sumber penghasilan di luar tidak berasal dari satu Negara saja tetapi berasal lebih dari satu Negara. Apabila sumber penghasilan berasal lebih dari satu Negara maka perhitungan kredit pajak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Kredit pajak dihitung berdasarkan masing-masing Negara (per country limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut:

a. Untuk Negara S1: (A/B) x C b. Untuk Negara S2: (A/B) x C

dimana:

A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 atau Negara S2;

B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri (Negara S1 dan S2);

C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income).

2. Kredit pajak dihitung berdasarkan gabungan dari seluruh Negara (overall limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut:

Untuk Negara S1 dan Negara S2: (A/B) x C dimana:

A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 dan S2;

B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber dalam negeri dam luar negeri (Negara S1 dan S2);

C = Pajak yang dikenakan negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income).

5.3. Metode Pengurangan (Deduction Method)

Apabila dalam kasus Contoh 1.1 di atas dipergunakan metode keringanan pajak dalam bentuk metode pengurangan (deduction method) maka hasilanya adalah sebagai berikut:

Tabel 1.7

Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pengurangan

(16)

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

10.000.000 10.000.000

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D)

20.000.000 20.000.000

3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income)

30.000.000 30.000.000

4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S):

a. Asumsi I (25% x Rp 10.000.000) (2.500.000)

b. Asumsi II (35% x Rp 10.000.000) (3.500.000)

5 Penghasilan kena pajak setelah pengurangan (deduction)

27.500.000 26.500.000

6 Pajak yang dikenakan subjek oleh Negara D (world wide income)

(30% x Rp 27.500.000) 8.250.000

(30% x Rp 26.500.000) 7.950.000

7 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal)

10.750.000 11.450.000

8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase)

a. Asumsi I:

(Rp 10.750.000/30.000.000) x 100% 35,83%

b. Asumsi II:

(Rp 11.450.000/30.000.000) x 100% 38,17%

Dalam metode pengurangan ini, jumlah pajak yang dikenakan di Negara sumber peghasilan (Negara S) diperlukan sebagai biaya dalam rangka menghitung pajak penghasilan terutang di Negara domisili (Negara D).

Dari berbagai metode penghindaran pajak yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang subjek pajak, yang memberikan beban pajak tertinggi adalah metode pengurangan sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.8 berikut ini:

(17)

Tabel 1.8

Perbandingan Beban Pajak

No Uraian Asumsi I Asumsi II

Rp Rp

1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000

2 Metode kredit pajak penuh 9.000.000 9.000.000

3 Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan

9.000.000 9.500.000

4 Metode pengurangan 10.750.000 11.450.000

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah

• Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini

Subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak yan telah menerima dan memperoleh penghasilan sedangkan subjek pajak luar negeri yang sekaligus menjadi wajib pajak sehubungan dengan

Dari prinsip tersebut di atas, Indonesia sebagai negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan atau laba usaha yang diperoleh oleh perusahaan penduduk negara

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang

Pengenaaan PPh dengan tarif 10% atas dividen yang diterima subjek pajak luar negeri, kecuali ditetapkan lebih rendah oleh P3B....  Fasilitas dalam bentuk pengurangan

Stelsel pemungutan pajak yang menghitung beban pajak berdasar perkiraan penghasilan yang akan diterima

Pajak yang dibayar/terhutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh WP dalam negeri adalah…… 24 Apakah PPH ini boleh dikreditkan ke PPH yang terutang