• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Perubahan PTKP dalam Perhitungan Pph 21 dan Implikasinya bagi Wajib Pajak Pribadi dan Badan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Dampak Perubahan PTKP dalam Perhitungan Pph 21 dan Implikasinya bagi Wajib Pajak Pribadi dan Badan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

480

Analisis Dampak Perubahan PTKP dalam Perhitungan Pph 21 dan Implikasinya bagi Wajib Pajak Pribadi dan Badan

Akhmad Syarifudin

Universitas Putra Bangsa akhmadsyarifudin89@gmail.com

Abstrak

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan faktor pengurang dalam skema penghitungan pajak penghasilan. Sesuai PMK No.0101/PMK/2016 PTKP mengalami kenaikan, tarif PPh final sesuai PP No 23/2018 menurun dari 15% menjadi 0,5%, sedangkan tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan masih sama.

Tujuan penelitian untuk mengetahui dampak perubahan PTKP terhadap jumlah PPh 21 bagi WPOPdan implikasinya terhadap PPh WP Badan. Penelitian menggunakan data ilustrasi dengan beberapa variasi tingkat penghasilan pada setiap subyek pajak. Hasil penelitian menunjukan perubahan PTKP berdampak penurunan jumlah PPh 21 bagi WPOP. Pada tingkat penghasilan Rp 300juta PPh WPOP lebih rendah dari PPh WP Badan, sedangkan pada pengasilan diatas Rp 600juta PPh WPOP akan naik menjadi lebih tinggi dari WP Badan. PPh bagi WP Badan dengan omset sampai <Rp 50Milyar lebih rendah daripada PPh bagi WP Badan yang memiliki omset Rp 50milyar meskipun penghasilan sama. Hasil ini dapat menjadi acuan bagi subyek pajak dalam me-manajemen perpajakan. Manfaat bagi pemerintah dapat menjadi kajian pertimbangan untuk penyesuaian tarif pajak, agar mencapai titik kesimbangan dalam pengenaan tarif pemajakan baik bagi WPOP, Usahawan tertentu, maupun bagi Wajib Pajak Badan.

Kata Kunci: PTKP, PPh 21, WPOP, WP Badan.

Abstract

Non-taxable income (PTKP) is a deduction factor in the income tax calculation scheme. In accordance with PMK No.0101/PMK/2016, PTKP has increased, the final PPh rate according to PP No. 23/2018 has decreased from 15%

to 0.5%, while the PPh rate for corporate taxpayers is still the same. The purpose of the study was to determine the impact of changes in PTKP on the amount of PPh 21 for WPOP and its implications for Corporate Income Tax for Corporate Taxpayers. This study uses illustrative data with several variations in income levels for each tax subject. The results showed that changes in PTKP resulted in a decrease in the amount of PPh 21 for WPOPs. At the income level of IDR 300 million PPh WPOP, which is lower than Corporate Taxpayer Income Tax, while at income above IDR 600 million, WPOP PPh will increase to be higher than Corporate Taxpayer. PPh for corporate taxpayers with a turnover of up to <Rp 50 billion is lower than the income tax for corporate taxpayers who have a turnover of Rp 50 billion even though the income is the same. This result can be a reference for tax subjects in tax management. The benefits for the government can be considered as a review of tax rate adjustments, in order to reach a balance point in the imposition of tax rates for both WPOP, certain entrepreneurs, and for corporate taxpayers.

Kata Kunci: PTKP, PPh 21, WPOP, WP Badan.

(2)

481 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pajak merupakan iuran rakyat sebagai sumber pendapatan negara yang pemungutanya didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan. Sumber pemasukankas negara yang terbesar di Indonesiahingga saat ini berasal dari penerimaan pajak. Kontribusi pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 73% lebih, sedangkan sisanya diperoleh dari pendapatn negara bukan pajak (PNBP).Besarnya sumbangan sektor pemajakan ini menunjukan bahwa pemasukan pendapatan negara sangat tergantung dari capaian realisasi penerimaan pajak. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH adalah “Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Objek pajak yang harus dibayarkan oleh subyek pajak masing-masing meliputi beberapa jenis yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan. Salah satu Objek pajak adalah pajak penghasilan (PPh), baik dari Wajib PajakOrang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Berdasarkan amanat UUD 1945 pemerintah dan DPR telah menetapkan dasar hukum yang mengatur tentang pajak, yang salah satunya adalah pajak penghasilan. Sejak tahun 1983 Undang-undang pajak penghasilan telah mengalami beberapa kali perubahan (revisi) yang saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan. Sedangkan tatacara pemajakannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakanSetiap subyek pajak penghasilan tersebut dalam mekanisme penghitungan pajak penghasilanya telah diatur. Secara garis besar pengaturan pajak poenghasilan dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu WPOP, WP Badan , dan Wajib pajak bagi Usahawan tertentu.

Masing-masing subyek pajak tersebut memiliki kesamaan dan perbedaaan dalam sistem pemungutan dan skema penghitungan pajaknya.Sesuai UU No. 36 tahun 2008 sistem pemungutan pajak dilakukan secara self assesment, artinya wajib pajak dapat melakukan sendiri dalam hal penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajaknya. Bagi WPOP penghasilan bruto dapat dikurangi dengan faktor pengurang seperti PTKP, iuran-iuran dan biaya jabatan (bagi pegawai tetap) agar menjadi penghasilan neto dan penghasilan kena pajak (PKP). Hal ini juga berlaku bagi WP Badan yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan brutonya dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih,dan memelihara..

Perbedaanya secaragaris besar adalah pada pengenaan tarif nya, dimana WPOP dikenakan tarif progersif, sedangan WP Badan dikenakan tarif tunggal.

Kemudian bagi Wajib pajak Usahawan Tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, revisi dari PPh final PP 46/ Tahun 2013tentang PPh final. Objek pajak PPh final ini adalah untuk usahawan tertentu yang memiliki peredaran bruto maksimal Rp 4,8milyar per tahun. Skema penghitungan bagi Wajib Pajak ini berbeda dengan WPOP dan WP Badan. Ketentuan pajak ini lebih khusus dikenakan pada UMKM dengan sistem pemungutan sederhana dengan tarif flatdan bersifat final.

Artinya wajib pajak tidak perlu melakukan penyusunan laporan keuangan tetapi cukup dengan membuat catatan peredean bruto (omzet). Pengenaan pajaknya didasarkan besaran omzet dikalikan dengan tarif 0,5% (setengah persen) dan selesai (final), sehingga tidak perlu dilakukan penghitungan kembali sebagi kredit pajak pada akhir periode. Dengan demkian sesuai ketentuan penghitungan tersebut, penerapan PPh final tidak mengenal faktor pengurang seperti halnya biaya-biaya usaha pada WP Badan maupun PTKP pada WPOP.

Dalam 10 tahun terakhir sejak 2011-2020 selain penerapan PPh final, pemerintah telah melakukan tiga perubahan PTKP yaitu tahun 2012. 2015, dan 2016. Kebijakan perubahan PTKP dilakukan dengan pertimbangan penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong terciptanya efek multi dibidang perpajakan. Hal ini karena pada periode tersebut terkait pergerakaninflasi hargakebutuhan pokok, kenaikanharga BBM, penyesuaian Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kab/Kotayang

(3)

482

hampir disetiap daerah. Selain itu trendperlambatan ekonomi globalmembawa efek melambatnya ekonomi Indonesia hanya tumbuh4,7%pada kuartal 1 tahun 2015 tersebut. Dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi beban pajak dan menjadi insentif untuk menambah kemakmurankhususnya bagi WP Orang Pribadi.

Sesuai amanat yang terdapat dalam pasal 7 UU No. 36 Tahun 2008 tentangPajak Penghasilan (UU PPh),Pemerintah dapat melakukan penyesuain PTKP.Regulasi mengenai perubahan besarnya PTKP dilakukan dengan menerbitkan peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan DPR-RI.

Pada tahun 2015 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya PTKP per tanggal 29 Juni 2015.Kemudian pada tahun 2016, kembali menerbitkan PMK No.101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya PTKPper tanggal 27 Juni 2016.

Besarnya PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi pada tahun 2012 Rp 24.000.000 pada tahun 2015 berubah menjadi Rp 36.000.000, dan pada tahun 2016 berubah menjadi Rp 54.000.000 atau naik 50%

setiap kali perubahan yang masih berlaku hingga tahun ini. Jumlah PTKP sesuai PMk No. 122 /PMK.010/2015dan PMK No. 101/PMK/ 2016 tersaji pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Perbedaan PTKP lama dan PTKP baru Perubahan Regulasi diatur dalam Peratutan

Menteri keuangan (PMK)

PMK No.

122/PMK.010/

2015 (Per 1jani 2015)

PMK No.

101/PMK/0101/2016 berlaku 1 jan 2016

PTKP PTKPsebelum perubahan PTKP setelah perubahan

Wajib Pajak Orang Pribadi Rp 36.000.000 Rp 54.000.000

Tambahan bagi Wajib Pajak Kawin 3.000.000 4.500.000

Tambahan bagi istri bekerja 36.000.000 4.500.000

Tambahan untukanak / tanggungan (maks 3 orang)

3.000.000 4.500.000

Perubahan naiknya PTKP merupakan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang telah ditentukan sebagai salah satu agenda dalam proses pembangunan menuju masyarakat sejahtera dan berkadilan sosial. Dengan adanya kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka faktor pengurang dalam mekanisme penghitungan pajak menjadi semakin besar. Hal tersebut tentu akan berdampak terhadap jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP). Ketika PKP nya menurun maka pajak terutangnya juga cenderung akan menurun. Dalam perspektif ini maka perubahan PTKP cenderung akan menurunkan penerimaan pajak ke kas negara. Akan tetapi pemerintah juga memiliki kebijakan lain untuk meningkatkan pendapatan pajak dari objek yang lain yang tidal dibahas dalam penlitian ini.

Disisi lain, dengan adanya perubahan PTKP maka Wajib Pajak dapat penghematan pajak yang dapat digunakan untuk keperluan yan lain. Selain itu kenaikan PTKP juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak, sehingga jumlah Wajib semakin meningkat dan pada akhirnya jumlah penerimaan pajak tetap meningkat.Hasil Penelitian Rahim dan Syahrul (2016) menunjukan bahwa PTKP berpengaruh terhadap penerimaan pajak di Kantor penerimaan pajak pratama Watampone yang ditunjukan dari berkurangnya hasil penerimaan pajak penghasilan (PPh 21), dan naiknya PTKP memberikan pengaruh banyaknya rakyat kecil yang tidak terkena paja. Hasil analisanya mengatakan bahwa PTKP ini memberikan kepekaan terhadap penerimaan pajak, tetapi tidak signifikan.

Menurut Hasil Penelitian Andiyanto, heru dkk pertumbuhan jumlah Wajib Pajak di KPP Pratama Malang Selatan cenderung mengalami penurunan pendaftar WPOP dari tahun 2009 sampai dengan 2012

(4)

483

saat berlakunya PTKP yang lama dan begitu juga saat berlakunya PTKP yang baru dengan penurunan 7% dari pendaftar. Sedangkan di KPP Pratama Banyuwangi justru mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi baru yang mendaftar sebesar 17% yaitu dari 7.681 WPOP baru di tahun 2012 menjadi 8.960 WPOP di tahun 2013. Dengan demikian, hal ini menunjukan 8 perubahan (kenaikan) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak mengakibatkan penurunan terhadap tingkat pertumbuhan jumlah WPOP baru .

Penelitian Lewa, Kalangi, dan Pontoh (2018) menunjukan perubahan PTKP berdampak menurunya realisasi PPh tahun 2016 dan 2017. Pada tahun 2015 capaian realisasi 115,22% namun ditahun 2016 realisasi pajak Penghasilan Rp 156.474.478.628 atau 88,34%. dari target Rp 177.134.492.000.

Kemudian pada tahun 2017 dari target PPh Rp 201.928.466.000 realisasinya hanya tercapai 70,95% yaitu sebesar Rp 143.267.703.816. Untuk realisasi penerimaan PPh tahun 2016 mengalami kenaikan sebesar Rp1.663.169.686, dimana pada tahun 2015 realisasi pajaknya Rp 154.811.308.942 kemudian ditahun 2016 naik menjadi Rp 156.474.478.628. Sedangkan realisasipenerimaan tahun 2017 sebesar Rp.143.267.703.816 atau menurunan Rp.13.206.774.812.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan secara singkat tentang perubahan PTKP, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Dampak Perubahan PTKP Terhadap PerhitunganPPh Pasal 21 bagi Wajib Pajak Pribadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan PPh 21 terutang bagi Wajib Pajak Pribadi setelah setelah perubahan PTKPdan perbandinganya dengan PPh 21 bagi Wajib Pajak Badan. Untuk mencapai mencapai tujuan penulisan tersebut maka penulis merumuskan dua permasalahan. Permasalahan pertama adalah bagaimana perbedaan perhitungan PPh21 sebelum dan setelah perubahan PTKP. Sedangkan rumusan yang kedua adalah bagaimana dampak perubahan PTKP terhadap Perhitungan PPh pasal 21 bagi WP- OP dan WP Badan.

KAJIAN TEORI Pengertian Pajak

Pengertian Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (Tjahjono dan Husein, 2009:2) adalah “Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Kewajiban Pembukuan dan Norma Penghitungan

Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut self assesmentsystem,yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (WP) dipercayakan kepada yang bersangkutan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri.Sebagai dasar penghitungan untuk menentukan jumlah pajak penghasilan (PPh) yang terutang, maka wajib pajak harus memiliki catatan atas penghasilan dari usahanya.

Berdasarkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terdapat didalam pasal 28 ayat 1 UU No.28/2009 menyatakan, bahwaWajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Menurut pasal 29 UU KUP yang dimaksud dengan pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

(5)

484

Syarat bagi WP Orang Pribadi yang akan menggunakan norma penghitunganharus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak disampaikan ke KPP terdaftar. Kewajiban memberitahukan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015 tentang norma bagi wajib pajak yang diperiksa.

Kemudian didalampasal 3 ayat(1) PER-17/PJ/ 2015 juga memberikan kewenangan kepada pemeriksa pajak untukmenghitung penghasilan neto dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang diperiksa;

a) Tidak menyelenggarakan pembukuan, atau

b) Tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau c) Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, atau d) Tidak memperlihatkan pencatatan, atau

e) Tidak memperlihatkan bukti-bukti pendukungnya.

Pajak Penghasilan Terutang

Definisi penghasilan menurut UU PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah objek pajak.Pajak penghasilan sesuaipasal 1 UU No.36 Tahun2008 adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak.Menurut pasal 1 ayat 10 UU No. 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa “Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

-undangan perpajakan”.

Fungsi Pajak

Menurut Waluyo (2011: 6) pajak memiliki fungsi Penerimaan(Budgeter) dan Fungsi Megatur (Reguler). Fungsi penerimaan(Budgeter) yaitu sebagai sumber dana yang diperuntukan untuk mendanai pengeluaran pemerintah. Sedangkan pajak dalam Fungsi Megatur (Reguler) adalah sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah pada bidang sosial dan ekonomi, serta alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu selain bidang keuangan.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah “pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan ,jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalamnegeri. Sesuai dengan ketentuan UU PPh ini pajak penghasil pasal 21 (PPh21) merupakan pajak yang dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi (WPOP) dan wajib pajak Badan (WPB)

Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak merupakan pihak yang bertanggung jawab atas hutang pajak yang timbul karena suatu aktivitas perpajakan. Jadi subjek pajak PPh adalah orang/badan yang bertanggung jawab terhadap PPh terhutang. Menurut Casavera (2009:78) telah mencakup UU No. 36 tahun 2008, yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah:

1. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yangdalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertembat tinggal di Indonesia.

(6)

485

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau AnggaranPendapatandanBelanjaDaerah,

c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsionalNegara.

3. Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yangberhak.

Konsep Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Berdasarkan Undang-undang Perpajakan nomor 36 pasal 21 tahun 2008 tentang pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalambentukapapunsehubungandenganpekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orangpribadiSubjekPajakdalamNegeri.

Wajib Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Penerimaan penghasilan yang dipotong Pajak PenghasilanPasal21menurut Mardiasmo (2016:201) adalah orang pribadi yang merupakan:

1. Pegawai;

2. Penerimaan uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahliwarisnya;

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai Tetap pada perusahaan yangsama;

5. Mantan pegawai; dan/atau

6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatukegiatan.

Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Resmi(2009:175) penghasilan yang di potong PPh Pasal 21 adalah :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidakteratur.

2. Penghasilan yang diterima/diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilansejenisnya.

3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja danpenghasilansehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lainsejenis.

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upahharian,upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.

5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, danimbalansehubungandengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan;

6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan namaapapun.

(7)

486

7. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

a. Bukan WajibPajak,

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, atau

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan

Menurut Mardiasmo (2016: 171)untuk dapat menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi(PPh) terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya yaitu: “Untuk wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto”.

Wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).Secara singkat dapat dirumuskan sebagaiberikut:

PPh WPOP = Penghasilan Neto - PTKP

Definisi Pegawai Tetap

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-32/PJ/2015 Pasal 1 ayat (10) mendefinisikan bahwa, Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.

Tarif Pengenaan Pajak Penghasilan

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku sekarang tarif Pajak Penghasilan Pasal 21ditetapkan berdasarkan Undang-undang Perpajakan No. 36 tahun 2008 Pasal 17, adapun tarif pajakpenghasilan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeriadalah sebagaiberikut:

Tabel 2

Tarif PPh 21 Wajib Pajak Orang Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

0 – Rp 50.000.000 5%

> Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 15%

>Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 25%

>Rp 500.000.000 30%

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan pengurang penghasilan neto bagi Wajib pajak yang diamanatkan Undang-undang Perpajakan (UU No.36/2008) tentang pajak penghasilan. Besarnya PTKP yang baru sesuai: PMK RI Nomor 122/PMK.010/2015 dan PMK No 101/PMK. 0101/2016 serta selisih PTKP setelah perubahan adalah sebagai berikut:

(8)

487 Tabel 3

Perbandingan Perubahan PTKP Perubahan PTKP diatur dalam

Peratutan Menteri keuangan (PMK)

PMK No.

162/PMK/011/2012 (Per 1 jan 2013)

PMK No.

122/PMK.010/2015 (Per 1jan 2015)

PMK No.

101/PMK.0101/2016 (Per 1jan 2016)

PTKP PTKP lama PTKP sebelumnya PTKP baru

Wajib Pajak Orang Pribadi Rp 24.300.000 Rp 36.000.000 Rp 54.000.000

Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin 2.025.000 3.000.000 4.500.000

Tambahan untuk istri bekerja 24.300.000 36.000.000 54.000.000

Tambahan untuk anak dan atau tanggungan (maks. 3 orang)

2.025.000 3.000.000 4.500.000

Pajak penghasilan pasal 17 dan pasal 31E

Pengertian pajak menurut Resmi (2005:74)adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak, Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dihitung dari Pendapatan Bruto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sedangkan untuk Wajib Pajak Badan (WPB) penghasilan netonya dihitung dari besarnya Pendapatan Bruto dikurangi biaya mendapatkan, menagih dan memelihara. Berikut ini tabel yang memuat tentang daftar PTKP dan tarif pajak penghasilan untuk Wajb Pajak Orang Pribadi (WPOP) dan Wajib Pajak Badan;

Tabel 4.

Daftar PTKP dan Tarif PPh Keterangan

PTKP per tahun

Status WP&

PTKP tahunan

Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Tarif pasal 17 1 Wajib Pajak Orang

Pribadi 54.000.000 K/0=58.500.000 0- 50juta 5%

2 Tambahan WP yang

kawin 4.500.000 K/1=63.000.000 50 juta – 250juta 15%

3 Tambahan untuk istri

kerja 54.000.000 K/2=68.000.000 250juta - 500juta 25%

4 Anak/tanggungan max 3 4.500.000 K/3=72.000.000 > 500.000.000,. 30%

Dasar perubahan PTKP mengacu pada PMK No. 101/PMK.0101/2016 (Per 1 jan 2016) PTKP istri

kerjadigabung Ki/0=112.500.000 Ki/1=117.000.000 Ki/2=121.500.000 Ki/3=126.000.000

Biaya Jabatan (PMK No.

250/PMK.03/2008.

Besarnya :

Rp500.000/bulan, Maks: Rp 6.000.000/th

Tarif PPh bagi Waib Pajak Badan:

25% x PKP

Tarif pasal 31E UU PPh untuk Badan Omset sampai 50M;

tarif= 25% x 50%x x PKP

Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dikenai tarif pajak lebih tinggi sebesar 120%

Sumber: UU PPh dan PMk No 101/PMK 0.0101/2016, data diolah 2017 Biaya Jabatan

Biaya jabatan merupakan salah satu pengurang dalam skemapenghitungan PPh 21 untuk WP orang pribadi/ pegawai tetap. Hal inisesuai Pasal 10 ayat (3) UU No.36 Tahun 2008 tentang pajak

(9)

488

penghasiolan, Penetapkan besarnya biaya jabatan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.Per-32/PJ/2015 Pasal 10 ayat (3a) tentang biaya jabatan, yaitu sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, stinggi-tingginya Rp 500.000,- per bulan atau Rp6.000.000,- per tahun.

Iuran Pensiun

Biaya jabatan bagi pegawai tetap dan besarnya biaya pensiun juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-32/PJ/2015 Pasal 10 ayat (4) tentang besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21. Berdasarkan aturan ini maka jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi- tingginya Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) setiap bulan atau Rp. 2.400.000.- per tahun. Sesuai fungsi penerimaan (Budgeter) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-32/PJ/2015 Pasal 10 ayat (3b )iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggaraan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Pajak Penghasilan final

Pajak penghasilan yang bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU No. 36/2008. Pemerintah telah meluaskan obyek pajak penghasilan final dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang pajak penghasilan final untuk usahawan dengan peredaran bruto tertentu sampai dengan Rp 4,8milyar. Pengenaan tarif tunggal sebesar 1% berdasarkan catatan omset dan bersifat final.

Pada tahun 2018 pemerintah merevisi PPh final PP No 46/2013 tersebut dengan menerbitkan PP No.23 Tahun 2018. Dalam regulasi tersebut terdapat beberapa perbedaan dari PPh final sebelumnya. Perbedaan utama terdapat pada pengenaan tarif flat dari 1% turun menjadi 0,5% dan dalam jangka waktu tertentu Wajib Pajak harus beralih ke PPh non final.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data atau suatu kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif Sugiono,(2008). Dalam penelitian ini penulis menghitung, membandingkan dan menganalisa besarnya pajak terutang yang timbul baik terhadap Wajib pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun Wajib Pajak Badan. Penulis melakukan proses tersebut dengan membuat simulasi untuk menentukan besarnya pajak penghasilan terutang beberapa tingkatan persentase penghasilan penghasilan kena pajak.

Pengumpulan Data

Menurut Subagyo (2011: 39), teknik pengumpulan data berdasarkan tekniknya meliputi beberapa cara baik melului survey, dokumentasi maupun study pustaka.:

1. Survei, yaitu pengumpulan data dimana peneliti atau pengumpul data mengajukan pertanyaan atau pernyataan kepada responden baik dalam bentuk lisan maupun secara tertulis baik melalui wawancara maupun kuesioner

2. Dokumentasi, yaitu dilakukan untuk mengumpulkan data skunder dari berbagai sumber, baik secara pribadi maupun kelembagaan. Data seperti: laporan keuangan, rekapitulasi, personalia, struktur organisasi, peraturan-peraturan, data produksi, surat wasiat, riwayat hidup, riwayat perusahaan, dan sebagainya, biasanya telah tersedia di lokasi penelitian.

3. Studi pustaka, yaitu kegiatan penelusuran kepustakaan untuk mengetahui lebih detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya refrensi relevan yang berasal yang berasal dari teori-teori tanpa memperdulikan apakah penelitian yang dilakukannya menggunakandata primer atauskunder.

(10)

489 Sumber Data dan Teknik Pengolahan

Menurut Subagyo (2011: 87), data tergolong menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Data primer dalah data mentah yang diperoleh sendiri dari sumber aslinya dan masih membutuhkan analisa lebih lanjut.

Sedangkan Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau berasal dari bahan kepustakaan. Data sekunder seringkali digunakan untuk melengkapi data primer yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini, teknik analisis data menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan cara memberikan penjelasan- penjelasan berupa angka- angka dan perbandingan dengan beberapa gambaran serta memberikan penjelasan yang relevan dengan permasalahan. Setelah melakukan penghiitungan kemudian melakukan analisis pembahasan.

Skema Penghitungan PPh 21 Terutang

Berikut ini skema penghitungan PPh terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan susuai dengan UU PPh.

1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Macam-macam Penghasilan

Jenis Penghasilan 1...Rp. xxxxxx Jenis Penghasilan 2...Rp. xxxxxx

Jenis Penghasilan 3...Rp. xxxxxx + Jumlah Penghasilan Bruto ...Rp xxxxxx Biaya jabatan 5% (max 500.000/bulan)...Rp (.xxxx) Penghasilan Netto...Rp xxxxxx Pengurang :

PTKP ...Rp ( xxxxx) Iuran-iuran yang diperkenankan ...Rp ( xxxx)

Penghasilan Kena Pajak ...Rp xxxxx Tarif PPh pasal

Tarif x PKP : ...% x Rp xxxx = Rp. xxxx PPh 21 Terutang = Rp xxx/ Tahun

PPh 21 Terutang = Rp xx/ Bulan 2. Bagi Wajib Pajak Badan (WP Badan)

Untuk menghitung PPh 21 Wajib Pajak Badan terdapat dua skema penghitungan yaitu untuk Badan yang memiliki peredaran Bruto dibawah Rp 50 Milyar dan untuk Badan yang memiliki peredaran bruto (omset) diatas Rp 50 milyar.

a. WP Badan dengan omset dibawah Rp 50milyar sesuai pasal 31 UU No 36/3008, penhitunganya pajaknya menggunakan rumus:

25% x 50% x PKP x ( 4,8milyar/ jumlah omset)

b. WP Badan dengan omset diatas Rp 50 milyar, rumus penghitunganya:

25% x Penghasilan Kena Pajak (PKP) METODE ANALISIS

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif komparatif.

Metode deskriptif komparatif menurut para ahli yaitu metode yang menjelaskan dan melaksanakan perbandingan data dari dua hasil penelitian atau lebih dengan perlakuan yang berbeda. Komparatif deskriptif melakukan perbandingan variabel yang sama untuk sampel yang berbeda atau membandingkan

(11)

490

domein yang satu dengan domein lainya. Metode ini merupakan penyajian data yang berasal dari masalah yang dihadapi wajib pajak, dari masalah-masalah itu dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan yang didasarkan pada teori-teori perpajakan dan pereturan-peraturan yang berlaku.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan teori dan peraturan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis akan melakukan perhitungan PPh pasal 21 terhadap orang pribadi/ pegawai dengan variasi penghasilan yang berbeda.

Dengan menggunakan variasi besaran tingkat penghasilan Wajib Pajak maka diperolah hasil penghitungan yang berbeda pada setiap WPOP maupun pada WP Badan. Hal tersebut untuk mengetahui dampak perubahan pajak terhutang bagi wajib pajak setelah perubahan PTKP sesuai UU PPh dan PMk No. 101/ PMK 0.0101/2016, serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-32/PJ/2015. Bagi Wajib pajak perhitungan PPh pasal 21 merupakan hal penting dan dilakukan secara rutin bulanan, khususnya bagi WP Usahawan Tertentu maupun WP Badan.

Sedangkan pada WP Orang Pribadi dapat melakukan setoran pajak bulanan sebagai angsuran Pajak Penghasilan yang diatur dalam UU PPh pasal 25 UU No.36 Tahun 2008. Perhitungan PPh pasal 21 oleh WPOP dan WP Badan harus dilakukan dengan benar dan sesuai ketetapan peraturan dan perundang-undangan, sehingga dapat menghindari sanksi, baik sanksi administratif berupa denda, bunga, kenaikan pajak, maupun sanksi pidana. Untuk memulai pembahasan dalam penelitian ini menggunakan ilustrasi kasus pajak dengan data sederhana, sebagai berikut:

1. Wajib Pajak meliputi WPOP, WP Usahawan tertentu, Masing-masing WP diberi kode A,B,C,D, dan E

2. Untuk WPOP dengan status telah menikah memiliki 3 orang/tanggungan (K/3) dan menikah dengan 3 orang anak dan istri bekerja (Ki/3).

3. Penghasilan WP setiap bulan terdiri dari Rp 5.000.000; 10.000.000; 25.000.000; 50.000.000;

dan 100.000.000. Untuk WPOP setiap bulan membayar iuran pensiun Rp 300.000 dan membayar premi asuransi kesehatan Rp 100.000 per bulan.

4. Wajib Pajak Badan diIlustrasikan memiliki peredaran bruto atau omset < Rp4,8M; WP Badan dengan omset Rp 0 - Rp50M ; dan WP Badan dengan omset >Rp 50M. Laba bersih kena pajak bagi WPOP diasumsikan sama dengan WP Badan.

Kasus untuk penghitungan ini menggunakan data yang relatif simpel. Hal ini agar analisa pembahasan mengenai perbedaan antara PPh terutang bagi WPOP dengan WP Badan menjadi lebih jelas.

Penyelesaian penghitungan PPh 21 terutang untuk setiap jumlah penghasilanya dibuat dalam tabel agar perbedaanya dapat langsung diperbandingkan. Penghitungan dimulai dari kalkulasi penghasilan dikurangi biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto dan maksimal biaya jabatan adalah Rp.

500.000. Sedangkan iuran pensiun sesuai aturan perpajakan dapat dikurangkan dari penghasilan, akan tetapi pembayaran premi asuransi tidak diperkenankan sebagai pengurang.

Berikut tabel penghitungan PPh 21 untuk Wajib Pajak Badan dan WPOP dengan status K/3,yaitu wajib pajak yang telah menikah dan memiliki tiga orang anak/tangungan. Perhitungan PPh 21 pada tabel berikut ini untuk WPOP nya menggunakan PTKP lama (sebelum perubahan).

Tabel 5

Penghitungan PPh Terutang Bagi WP OP dan WP Badan Penghitungan PPh WPOP dengan status K/3

Penghasilan Bruto 60.000.000-1,2M Per Tahun (Rp)

Status WPOP K/3 WP : A WP: B WP: C WP: D WP: E

Penghasilan Bruto 60.000.000 120.000.000 300.000.000 600.000.000 1,2M

Biaya Jabatan 5% (300.000) (500.000) (500.000) (500.000) (500.000)

Iuran pensiun (300.000) (300.000) (300.000) (300.000) (300.000)

Penghasilan Neto 59.400.000 119.200.000 299.200.000 599.200.000 1.199.200.000

PTKP WP (K/3) 48.000.000 48.000.000 48.000.000 48.000.000 48.000.000

(12)

491

PenghslKena Pajak 11.400.000 47.200.000 251.200.000 527.200.000 1.151.200.000 Tarif Pasal 17

5% x (0-50jt) 15% x (50-250jt) 25% x (250-500jt) 30% x >500jt

570.000 10.680.000 2.500.000

30.000.000 300.000

2.500.000 30.000.000 62.500.000 8.160.000

2.500.000 30.000.000 62.500.000 195.360.000 PPh 21WPOP

terutang 570.000 10.680.000 32.800.000 103.160.000 290.360.000

PPh 21 WP Badan.

Pasal 31 E UU PPh Omset < Rp 4,8M Tarif 25%x 50%

xPKP

Asumsi dasar penghitungan: Penghasiln netoWPOP = PKP WP Badan

7.425.000 14.900.000 37.400.000 74.900.000 140.900.000

Selisih PPh antara

WPOP dan WP B 7.425.000 12.540.000 8,320.000 26.900.000 142.260.000

Analisis Pajak WP OP lebih rendah

Pajak WP OP lebih redah

Pajak WP OP lebih redah

Pajak WPOP lebih tinggi

Pajak WPOP lebih tinggi Omset WPB

>50Mtarif 25%x50%xpkp

14.850.000 29.800.000 74.800.000 149.800.000 281.800.000 Selisih

14.850.000 27.440.000 45.720.000 48.000 .000 1.360.000 Data diolah, 2021

Hasil perhitungan menunjukan terdapat perbedaan PPh terutang yang signifikan bagi WPOP dan WP Badan. Penghasilan bruto sampai dengan Rp 300.000.000 PPh terutangnya WPOP lebih rendah dari PPh WP badan, tetapi setelah melewati Rp300.000 cenderung lebih tinggi dibanding dengan pajak bagi WP Badan. Hal tersebut terbukti pada penghasil bruto Rp 600.000.000 bahkan pada penghasilan bruto Rp 1,2 milyar PPh terutang bagi WPOP sebesarRp 290.360.000. Jumlah Pajak terhutang bagi WPOP tersebut dua kali lipat lebih tinggi dibanding PPh bagi WP Badan. yang besarnya Rp. 140.900.000.

Pada tabel berikut ini merupakan penghitungan PPh 21 untuk Wajib Pajak Badan dan WPOP dengan status K/3, yaitu wajib pajak yang telah menikah dan memiliki tiga orang anak/tangungan. Skema Perhitungan PPh 21 pada tabel berikut ini untuk WPOP nya menggunakan PTKP baru setelah perubahan regulasi.

Tabel 6

Penghitungan PPh Terutang Bagi WP OP dan WP Badan Penghitungan PPh WPOP dengan status K/3

Penghasilan Bruto 60.000.000-1,2M Per Tahun (Rp)

Status WPOP K/3 WP : A WP : B WP : C WP: D WP : E

Penghasilan Bruto 60.000.000 120.000.000 300.000.000 600.000.000 1,2M

Biaya Jabatan 5% (300.000) (500.000) (500.000) (500.000) (500.000)

Iuran pensiun (300.000) (300.000) (300.000) (300.000) (300.000)

Penghasilan Neto 59.400.000 119.200.000 299.200.000 599.200.000 1.199.200.000

PTKP WP (K/3) 72.000.000 72.000.000 72.000.000 72.000.000 72.000.000

PenghslKena Pajak 0 47.200.000 227.200.000 527.200.000 1.127.200.000

Tarif Pasal 17 5% x (0-50jt) 15% x (50-250jt) 25% x (250-500jt) 30% x >500jt

0 2.360.000 2.500.000

26.580.000 2.500.000 30.000.000 69.300.000

2.500.000 30.000.000 62.500.000 188.160.000 PPh21 terutang bagi

WPOP Nihil 2.360.000 29.080.000 101.800.000 283.160.000

PPh 21 WP Badan.

Pasal 31 E UU PPh Asumsi dasar penghitungan: PKPWPOP = PKP WP Badan

(13)

492 Omset < Rp 4,8M

Tarif 25%x 50%

xPKP

7.425.000 14.900.000 37.400.000 74.900.000 140.900.000

Selisih PPh antara

WPOP dan WP B 7.425.000 12.540.000 8,320.000 26.900.000 142.260.000

Analisis pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih redah

pajak WP OP lebih rendah

pajak WPOP lebih tinggi

pajak WPOP lebih tinggi Omset WP B > 50M,

Tarif 25% x PKP 14.850.000 29.800.000 74.800.000 149.800.000 281.800.000

Selisih 14.850.000 27.440.000 45.720.000 48.000 .000 1.360.000

Data diolah, 2021

Penghitungan untuk masing- masing WP Badan (A,B,C,D, dan E) dengan mengasumsikan memiliki peredaran bruto dibawah Rp 4,8 milyar. Berikut penghitunganya::

WP Badan A: Penghasilan Kena Pajak Rp 59.400.000 PPh terutang : 25% x 50% x Rp 59.400.000 = Rp 7.425.000 WP Badan B: Penghasilan Kena Pajak 119.200.000

PPh terutang : 25% x 50% x 199.200.000 = Rp 14.900.000 WP Badan C: Penghasilan Kena Pajak Rp 229.200.000

PPh Terutang : 25% x 50% x Rp 229.200.000 = Rp 37.400.000 WP Badan D : Penghasilan Kena Pajak Rp 599.200.000

PPh Terutang : 25% x 50% x Rp 599.200.000 = Rp 74.900.000 WP Badan E : Penghasilan Kena Pajak Rp 1.199.200.000

PPh Terutang : 25% x 50% x Rp 1.199.200.000 = Rp 140.900.000

Hasil perhitungan yang terdapat pada tabel 4.2 diatas menunjukan terdapat perbedaan PPh terutang bagi WPOP dan WP Badan. Penghasilan bruto sampai dengan Rp 300.000.000 PPh terutangnya bagi WPOP lebih rendah daripada PPh WP badan, tetapi setelah penghasilan diatas Rp300.000.000 pajaknya semakin naik dan menjadi lebih tinggi dibandingkan WP Badan. Hal tersebut terbukti pada penghasil bruto Rp 600.000.000 bahkan pada penghasilan bruot Rp 1,2milyar PPh terutang bagi WPOP sebesar Rp 283.160.000 hampir dua kali lipat PPh Badan. yang besarnya Rp. 140.900.000.

Berikut ini kalkulasi PPh terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Dalam penghitungan ini diilustrasikan WPOP dengan status Ki/3 yaitu wajib pajak yang menikah memiliki tiga anak/tangungan dan istri bekerja.

Tabel 7

Penghitungan PPh Terutang Bagi WP OP danWP Badan Penghitungan PPh WPOP dengan status Ki/3

Penghasilan Bruto Rp 60.000.000 – Rp 1,2Milyar Per Tahun Status WPOP

Ki/3 WP : A WP: B WP: C WP: D WP: E

Penghasilan Bruto 60.000.000 120.000.000 300.000.000 600.000.000 1,2M

Biaya Jabatan 5% (300.000) (500.000) (500.000) (500.000) (500.000)

Iuran pensiun (300.000) (300.000) (300.000) (300.000) (300.000)

Penghasilan Neto 59.400.000 119.200.000 299.200.000 599.200.000 1.199.200.000 PTKP WP (Ki/3) 126.000.000 126.000.000 126.000.000 126.000.000 126.000.000

(14)

493

PenghslKena Pajak 0 0 173.200.000 473.200.000 1.073.200.000

Tarif Pasal 17 5% x (0-50jt) 15% x (50-250jt) 25% x (250-500jt) 30% x >500jt

Nihil Nihil 2.500.000

18.480.000

2.500.000 30.000.000 55.800.000

2.500.000 30.000.000 62.500.000 205.800.000 PPh 21WPOP

terutang Nihil 2.360.000 20.980.000 88.300.000 300.800.000

PPh 21 WP Badan.

Pasal 31 E UU PPh

Omset < Rp 4,8M Tarif 25%x 50%

xPKP

Asumsi dasar penghitungan: PKPWPOP = PKP WP Badan

7.425.000 14.900.000 37.400.000 74.900.000 140.900.000

Selisih PPh antara WPOP & WP Badan

7.425.000 12.540.000 8,320.000 26.900.000 142.260.000

Analisis pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih tinggi

pajak WP OP lebih tinggi PPh Jika omset

WP B > 50M, 14.850.000 29.800.000 74.800.000 149.800.000 281.800.000

Selisih 14.850.000 27.440.000 45.720.000 48.000 .000 1.360.000

Data diolah, 2021

Berdasarkan kalkulasi PPh pasal 21 pada tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa perubahan PTKP pada tahun 2016 berdampak pada perbedaan jumlah PPh yang terutang. Pada tingkat penghasilan yang relatif sama, jumlah PPh bagi WPOP menjadi lebih rendah sehingga tanggungan pajak bagi WPOP menurun dan dapat untuk menambah kesejahteraan. Sedangkan PPh terutang bagi Wajib Pajak Badan jumlahnya tidak berubah karena tidak ada perubahan regulasi. Pada tingkat penghasilan bruto sampai dengan Rp 300.000.000 PPh bagi WPOP masih lebih rendah, ketika penghasilan bruto melebihi angka tersebut PPh-nya naik semakin tinggi daripada PPh WP Badan. Hal ini terbukti pada penghasilan bruto diatas Rp 600.000.000 maka PPh 21 terhutang WPOP lebih tinggi daripada PPh bagi WP Badan.

Berikut ini tabel penghasilan dan perbandingan penghitungan pajak untuk peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8milyar dengan penghasilan neto sebesar Rp 480.000.000.

Tabel 8

Penghitungan PPh WPOP, WP Badan dan Usahawan Tertentu Penghitungan PPh WPOP, WP Usahawan, dan WP Badan Penghasilan neto 480.000.000 dan peredaran brutousaha Rp 4,8M Status WPOP

Ki/3 WP

Orang Pribadi

WP Usahawan Tertentu omset

< 4,8M

WP Badan Omset 0 - 4,8M

WP Badan Omset 0 - 50M

WP Badan Omset

>50M

Penghasilan neto 480.00.000 - 4,8M 4,8M 4,8M

Peredaran Bruto - 4,8 M - - -

PTKP WP (Ki/3) 134.400.000* - - - -

PenghslKena Pajak 345.600.000 4,8M 4,8M 4,8M 4,8M

Tarif Pasal 17 5% x (0-50jt) 15% x (50-250jt) 25% x (250-500jt) 30% x >500jt

2.500.000 30.000.000

23.900.000 - - - -

PPh 21WPOP

terutang 56.400.000

- - - -

(15)

494 Tarif PPh final PP

23/2018 0,5% x Omset

- 240.000.000 - - -

Tarif Pasal 31E UU No.36/ 2008 25% x 50% x PKP

- - 600.000.000 1.142.400.000 1.200.000.000

PPh 21 WP Badan.

Pasal 31 E UU PPh Omset < Rp 4,8M Tarif 25%x 50% xPKP

Asumsi dasar penghitungan: PKP bagi WPOP = PKP bagi WPBadan

7.425.000 14.900.000 37.400.000 74.900.000 140.900.000

Selisih PPh antara

WPOP dan WP B 7.425.000 12.540.000 8,320.000 26.900.000 142.260.000

Analisis pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih rendah

pajak WP OP lebih tinggi

pajak WP OP lebih tinggi PPh Jika omset WP B

> 50M, 14.850.000 29.800.000 74.800.000 149.800.000 281.800.000

Selisih 14.850.000 27.440.000 45.720.000 48.000 .000 1.360.000

Kalkulasi: 4,8M x 4,8M/50M= 460.800.000 25% x 50% x 460.800.000 =57.600.000 4,8M-460.800.000 = 4.339.200.000

25% x 4.339.200.000 = 1.084.800.000

jml pph 57.600.000 +1.084.800.000 = 1.142.400.000

Berdasarkan hasil penghitungan pajak penghasilan pada tabel diatas menunjukan pada tingkat penghasilan yang relatif sama antar kelompok wajib pajak, hasil penghitungan pajak penghasilanya terdapat perbedaan. Pada penghasilan sampai Rp 480.000.000 hasil penghitungan pajaknya menunjukan sebagai berikut;

- Pajak WPOP lebih rendah dari WP Badan dan WP Usahawan tertentu.

- Pajak WP Usahawan Tertentu lebih rendah dari WPOP dan WP Badan

- Pajak Badan dengan fasilitas pajak lebih rendah dari WP Badan tanpa fasilitas pajak

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis dampak perubahan PTKP 2015 terhadap skema perhitungan PPh Pasal 21 atas Wajib Pajak Orang Pribadi maka dapat disimpulkan, bahwa:

1. Perhitungan pajak penghasilan PPh 21 dengan PTKP yang baru berdampak jumlah pajak penghasilanya menjadi lebih rendah. Penurunan pajak ini dapat menambah kesejahteraan rakyat, namun disisi lain dapat mengurangi setoran penerimaan pajak.

2. Perubahan PTKP berdampak terjadinya selisih pajak yang terhutang bagi WP-OP , WP Badan, dan WP Usahawan tertentu (UMKM). Pada penghasilan Rp 300juta PPh WPOP lebih rendah dari WP Badan, dan jika penghasilan diatas Rp 300 pajak WPOP cenderung naik menjadi lebih tinggi dari PPh WP Badan.

3. Perhitungan PPh 21 bagi Usahawan tertentu memudahkan dan sederhana, namun dapat memberatkan WP jika usahanya rugi, karena PPh final dengan tarif flat ini hanya didasarkan pada omset, namun tidak mengenal rugi.

4. Hasil penghitungan menunjukan WP badan yang tidak mendapat fasilitas pajak sesuai Pasal 31E UU PPh, Pajak terhutangnya jauh lebih tinggi dibanding WP-OP dan WP Badan yang dapat fasilitas

(16)

495

pajak. Hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan pajak, sehingga bisa memicu WP Badan melakukan tax planing melaui tax avoidance untuk penghematan maupun tax avasion (tax fraud) dengan penggelapan pajak.

Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan hasil penghitungan PPh 21 yang terutang bagi WPOP dan WP Badan setelah perubahan PTKP mengalami penurunan, sehingga berpotensi menurunkan penerimaan kas negara. Untuk itu pemerintah melalui kementrian keuangan dan Direktorat Jenderal pajak dapat melakukan:

1. Sosialisasi dan edukasi perpajakan untuk meningkatkan kesadaran pajak. melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak agar obyek pajak bertambah dan penerimaan pajak semakin meningkat.

2. Perlu mengkaji kembali pengenaan tarif pajak, khususnya bagi WP Badan yang tidak mendapat fasilitas pajak (pasal 31 E). Hal ini diperlukan demi keadilan pajak (equity priciple) pada semua kalangan dan disertai dengan kebijakan lairnya agar penurunan tarif tersebut tidak berdampak pada menurunya penerimaan kas negara dari sektor pajak.

3. Mengacu pada prinsip keadilan pajak, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kebijakan penurunan tarif pajak khususnya bagi WP Badan dengan omset diatas Rp 50 milyar.

4. Memberikan aturan tambahan berupa kelonggaran pajak PPh final bagi Wajib Pajak Usahawan tertentu apabila pada suatu periode tertentu mengalami kerugian.

5. Bagi penelitian selanjutnya dapat menggunakan study empiris pada WP-OP, UMKM, dan perusahaan besar agar hasilnya semakin melengkapi dan lebih obyektif, sehingga dapat menjadi informasi dan masukan bagi para stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Tjahjono, Muhamad F Husein, (2009); PERPAJAKAN ;UPP STIM Yogyakarta

Anggraini, Tri, Putri. 2008. Analisis Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Karyawan Pada PT Connectra Utama Palembang. Jurnal Akuntansi. Bandung: Universitas Widyatama.

Andiyanto, Susilo dan Kurniawan (2016), Analisis perubahan penghasilan tidak kena pajak (ptkp) terhadap tingkat pertumbuhan jumlah wajib pajak orang pribadi dan penerimaan pajak penghasilan (studi pada kpp pratama malang selatan dan kpp pratama banyuwangi periode 2009–2013)

Lucvany, Suandy 2015). Analisis Perbedaan Pajak Penghasilan TerutangBerdasarkan Norma Penghitungan Dengan Pph FinalWajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Di Bidang Usaha JasaPada Kpp Pratama PurworejoProgram Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Mardiasmo. 2016. Perpajakan. Edisi Terbaru. Yogyakarta: Andi.

Megawani Lewa, Lintje Kalangi, Winston Pontoh (2018)Analisis Perubahan Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (Ptkp)Tahun 2015 Dan Tahun 2016 Terhadap Penerimaan PajakPenghasilan (Pph) Pasal 21 Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bitung

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 192/PMK.011/2014, tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122/PMK 0.10/2015, tentang kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak

(17)

496

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2012 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR-32/PJ/2015 Tanggal 07-8-2015 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR

107/PMK.011/2013tentang tata cara penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018 Tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu

Purba, Suandy (2015) Analisis Perbedaan Pajak Penghasilan Terutang Berdasarkan Norma Penghitungan Dengan Pph Final Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Di Bidang Usaha Perdagangan Pada Kpp Pratama Indramayu ; Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Realisasi Penerimaan Pajak http://www.pajak.go.id/content/article/realisasi-penerimaan-pajak-31- oktober-2015

Syahrul HM dan Abdul Rahim (2016) Analisis Pengaruh Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap RealisasiPenerimaan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Watampone. Institut Agama Islam Negeri (IAIN BONE)

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-02/PJ/2015, tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPh atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu

Siti Resmi, (2005), PERPAJAKAN TEORI DAN KASUS. Penerbit Salemba Empat., Jakarta Suandy, Erly. 2011. HUKUM PAJAK. Edisi Kelima. Jakarta: Salemba Empat.

Sugiyono, (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 Tentang Pajak Penghasilan

UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Waluyo. 2011. PERPAJAKAN INDONESIA. Edisi Kesepuluh Buku Satu. Jakarta: Salemba Empa

Referensi

Dokumen terkait

bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang. memiliki peredaran bruto tertentu, dikenakan Pajak Penghasilan yang

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atau penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.Pajak penghasilan sebagaimana telah

Sedangkan pengertian pajak menurut Undang- undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Terhadap Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Periode 2014-2016) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan

PPh pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran

Jadi jika seorang wajib pajak belum menikah dan tidak memiliki tanggungan maka kodenya adalah TK/0 Penghasilan Tidak Kena Pajak yang dikenakan hanya diri wajib

Terdiri dari data identitas yang mengacu pada t_identitas, data pph neto dalam negeri yang mengacu pada t_penghasilan_neto, data penghasilan kena pajak pada

Oleh karena itu atas pemaparan dan penjelasan diatas, penulis ingin mengangkat topik “Analisis Pengaruh Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Wajib