• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHARUAN DALAM PENAFSIRAN ALQURAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHARUAN DALAM PENAFSIRAN ALQURAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

0

Proposal Disertasi

PEMBAHARUAN

DALAM PENAFSIRAN

ALQURAN

Studi Komparatif Kritis terhadap Hermeneutika Kontekstual Abdullah Saeed dan Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab

(2)

PEMBAHARUAN DALAM PENAFSIRAN ALQURAN (Studi Komparatif Kritis terhadap Hermeneutika Kontekstual

Abdullah Saeed dan Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab)

A. Latar Belakang Masalah

Alquran, seperti dinyatakannya sendiri, adalah kitab petunjuk

bagi manusia1 yang tidak mengandung sesuatu yang meragukan sedikitpun2. Alquran juga merupakan kitab suci terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab terdahulu yang diturunkan kepada para

nabi sebelum Nabi Muhammad saw.3

1 QS. al-Baqarah [2]: 185             

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknannya (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 28. Selanjutnya terjemahan ayat-ayat Alquran dalam tulisan ini akan memakai referensi yang sama.

2 QS. al-Baqarah [2]: 2          

Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

3 QS. Āli „Imrān [3]: 3            

Dia menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,

(3)

Dengan merujuk pada ayat-ayat di atas itulah, misalnya, umat

Muslim memosisikan Alquran sebagai teks yang tidak semata dibaca

dan dipahami, tapi juga teks yang didengar petuah-petuahnya.4

Kendati demikian, karena Alquran adalah “Kitab Terbuka”

—open work, atau opera aperta, dalam istilahnya Umberto Eco; “teks polifonik”, kata M. Bakhtin5—sepanjang 14 abad usianya, Alquran

telah melahirkan sebukit komentar dan karya turunan (tafsir) yang tidak

jarang saling berseberangan—sekedar tidak mengatakan kerap kali

bertolak belakang—antara satu karya dengan karya lainnya. Apalagi,

sembari memosisikan Alquran sebagai “teks berbahasa Arab terbesar dengan sumbangan susastranya yang juga terbesar” sepanjang sejarah, sebagian mufasir seperti Amin al-Khulli, misalnya, menganggap

disiplin tafsir sebagai salah satu bidang keilmuan Islam yang memang

belum lagi mapan apalagi gosong (la nadzija wa la ihtiraqa)”—jika

dibandingkan dengan bidang Nahwu dan Usul yang dianggapnya

nadzija wa ihtiraqa, atau Fikih dan Hadis yang nadzija wa ma

ihtiraqa.6

Selain itu, walaupun kehadiran Alquran diakui oleh setiap

Muslim sebagai sumber petunjuk bagi seluruh manusia, tapi bagi siapa

4 Abdullah Saeed, “Contextualizing”, dalam The Blackwell Companion to the Qur’an, ed.

Andrew Rippin (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), 41.

5 Goenawan Mohamad, “Tentang Teks dan Iman”, dalam Eksotopi: Tentang Kekuasaan,

Tubuh, dan Identitas (Jakarta: Grafiti, 2002), 213-223.

6 Amīn al-Khūllī, Manāhij Tajdīd fi al-Nahwi wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab

(4)

pun yang mencoba memahaminya akan tampak dengan jelas bahwa

sebagian besar ayat-ayat Alquran turun dalam konteks sosio-historis

yang khusus dan sebab itu tidak bisa dipahami dengan mudah oleh

seluruh umat Muslim.

Dalam sebuah tulisannya seputar dasar-dasar untuk memahami

Alquran, Abu al-A‟la al-Maududi malah secara tegas menyatakan

bahwa, “Sebagian besar yang dinyatakan Alquran selalu mengacu pada

konteks cita-rasa orang-orang Arab, lingkungan, dan tradisi mereka”

dan pada gilirannya, bagi sebagian pembacanya yang tidak begitu

memiliki dasar-dasar keilmuan untuk memahami Alquran, potensial

menerbitkan wasangka ihwal universalisme pesannya.7

Tapi kompleksitas dan kerumitan teks Alquran itulah yang justru

menyebabkan lahirnya pluralitas tafsir, di satu sisi; dan meniscayakan

studi tafsir terus digalakkan serta diperbaharui agar tidak kehilangan

relevansinya dengan semangat zaman, di sisi lain.

Begitulah, dari studi seputar literatur tafsir hasil aktivitas

intelektual kaum Muslim, tidak perlu mengundang tanya jika

ditemukan berbagai karya tafsir dengan metodologi (Ijmālī, Tahlīlī,

Muqāran, dan Mawdhū’ī), substansi dan materi tafsir (Tafsīr bi al-Ma’thūr dan Tafsīr bi al-Ra’yī), jenis dan corak (Falsafī, Shūfī/Isyārī,

7 Abū al-A‟la Al-Mawdūdī, “Mabādi Asāsiyyah li Fahm al-Qur'ān,” dalam Abdallah

(5)

‘Ilmī, Fiqhī, dan Adabī-Ijtimā’ī), serta pendekatan (Tekstual dan

Kontekstual) yang begitu beragam.8

Sebab, itu juga berarti, betapapun berharganya khazanah literatur

tafsir peninggalan para mufasir masa lalu, tafsir yang diandaikan bisa

menyahuti selera zaman saat ini dan di sini, tetap saja harus lahir dari

rahim zaman kini, di sini; dan pembaruan (tajdid; modernisasi;

reaktualisasi) dalam tafsir, pada gilirannya, juga mustahil ditampik

urgensinya.

Pada noktah inilah para penafsir modernis seperti Sayyid Ahmad

Khan9 dan Muhammad Abduh10 yang—seperti tampak dalam

8

Pemetaan klasifikasi metodologi, pendekatan, corak, dan jenis tafsir di atas masih bersifat fleksibel dan tidak fixed atau clear-cut. Selanjutnya, silakan baca, Nashruddin Baidan,

Metode Penafsiran Al-Qur'an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 40-53; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari

Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 113-119.

9 Embrio kesadaran baru dalam cara pandang Alquran sebenarnya telah dimulai oleh

Syah Waliyullah al-Dihlawi (w. 1176/1762), putra anak benua India. Al-Dihlawi dengan keras menolak bentuk taklid buta, menganjurkan ijtihad, dan mendukung aplikasi gagasan baru dalam menafsirkan Alquran. Al-Dihlawi menolak beberapa hal yang diterima begitu saja dalam uūl

al-tafsīr. Meskipun demikian al-Dihlawi menerima doktrin naskh sebagai sesuatu yang berguna

untuk penafsiran Alquran. Al-Dihlawi juga mengkritik pandangan penerimaan begitu saja terhadap laporan sahabat dan tabiin. Dalam kasus riwayat asbāb al-nuzūl, misalnya, al-Dihlawi berpendapat bahwa itu hanya ilustrasi dari sahabat atau tabiin. Sehingga tidak bisa begitu saja dianggap sebagai bentuk hubungan sebab akibat dari turunnya Alquran. Lihat misalnya J.M.S. Baljon, Modern

Muslim Koran Interpretation (Leiden: E.J. Brill, 1961), 2-3.

10 Dalam menafsirkan Alquran, Abduh berdiri di atas dua landasan pokok, yakni peranan

akal dan kondisi sosial. Terkait dengan peranan akal, Abduh berpendapat bahwa metode Alquran dalam memaparkan ajaran-ajaran agama tidak menuntun untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan. Akan tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi. Bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya sembari membuktikan kesalahan mereka. Selain itu, bagi Abduh, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika. Sebagaimana diakuinya pula bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sulit dipahami dengan akal, namun tidak bertentangan dengan akal.

Adapun tentang peranan sosial, Abduh terlebih dahulu menguraikan pembagian ajaran agama pada ajaran yang rinci dan ajaran yang umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Allah dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan. Sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial. Dari sini Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya

(6)

karya mereka—berikhtiar untuk melahirkan bentuk tafsir yang peka

terhadap konteks pewahyuan, dan pada saat yang bersamaan juga peka

terhadap kondisi kekinian dan kedisinian.

Kesadaran yang sama bisa dipastikan betul-betul mengendap

padat pula dalam benak penafsir kontemporer lain, seperti Hanafi11, Fazlur Rahman12, Arkoun13, Farid Esack14, Amina Wadud15, dan Nasr

yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu, tanpa menghiraukan perbedaan kondisi sosial. Sikap ini, bagi Abduh, “mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.” Shaykh Muhammad „Abduh, Risālah al-Tawhīd (Kairo: Dār al-Ḥilāl, 1963), 24-26, 112.

11 Hanafi bisa dikatakan sebagai orang pertama yang memanfaatkan hermeneutika,

meskipun sejak awal tidak dikaitkan dengan pemahaman Alquran secara langsung. Hanafi mengidealkan Usul Fikih, karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang mampu menjembatani antara realitas masyarakat yang berkembang dan teks keagamaan yang dijadikan referensi ajaran. Menurut Hanafi, pemahaman terhadap Alquran menjadi hal yang niscaya dan metode tafsir yang menjadi pendahuluan untuk itu dan untuk mengubah “kalam ilahi” yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menjadi “kalam insani” yang ditujukan kepad umat manusia. Hasan Hanafi, Metode

Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Pesantren Mawesea Press,

2007), 15-16.

Pada awal tahun 1980-an, Hanafi menawarkan suatu formula baru dalam penafsiran Alquran yang disebutnya dengan metode sosial (al-manhaj al-ijtimā’ī). Hasan Hanafi, “Method of Thematic Interpretation of the Qur‟an”, dalam The Qur’an as Text, ed. Stefan Wild (Leiden and New York: EJ. Brill, 1996), 198-202.

12 Pada tahun 1970-an Rahman melontarkan pembaruan metodologi tafsir Alquran. Fazlur

Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternatives”, International Journal of

Middle East Studies, Vol.1, No.4 (1970), 317-333. Gagasan Rahman mulai matang pada akhir

tahun 1970-an sampai awal 1980-an. Model hermeneutika Alquran Rahman bertumpu pada formulasi yang dikenalkannya dengan nama double movement (teori gerak ganda); dari masa kini ke masa lalu, kemudian kembali lagi ke masa kini. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas:

Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985), 7-8.

13 Arkoun menyatakan perlunya ada penjembatan atas “fakta Alquran” dan “fakta Islam”.

Fakta Alquran adalah himbauan Allah yang ditujukan kepada manusia melalui Alquran. Sedangkan fakta Islam adalah cara nyata himbauan Ilahi tersebut diterjemahkan dalam sejarah manusia.

Berangkat dari titik tolak tersebut, Arkoun berpendapat perlu adanya penafsiran Alquran dan penafsiran realitas. Keduanya, menurut Arkoun, dijembatani oleh hermeneutika. Muhammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 19, 308.

14

Bertolak dari fakta ketertindasan di Afrika Selatan akibat praktik doktrin apartheid, Esack merumuskan sebuah hermeneutika Alquran untuk pembebasan yang pada hakikatnya mengabdi kepada perumusan teologi pembebasan yang dilakukannya. Ini penting karena menurut Esack perlu ada kerangka pengetahuan bagi perjuangan pembebasan yang didasarkan pada Alquran. Farid Esack, Liberation,and Pluralism: An Islamic Prespective of Interreligiuos

Solidarity Aggaints Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).

15 Pada Awal 1990-an, Wadud berupaya merumuskan hermeneutika feminis Alquran

(7)

Hamid Abu Zayd16, kendati dengan menempuh jalur yang berbeda. Sebab mereka mewujudkan ikhtiar mereka—seperti tersebut di atas—

dengan mengusung hermeneutika pada ranah ulūm al-Qur’ān yang

notebene selama ini telah mapan menjadi alat bedah untuk menguak

maksud yang terkandung dalam Alquran.

Dengan didobraknya pemikiran-pemikiran yang selama ini telah

mapan dalam dunia tafsir atau—dengan kata lain—seiring diusungnya

hermeneutika pada ranah ulūm al-Qur’ān (selanjutnya disebut

hermeneutika Alquran), maka bisa ditebak, alur yang terjadi kemudian

adalah beragamnya reaksi yang muncul. Baik dari mereka yang

mendukung, maupun dari mereka yang memunculkan kritik. Mulai dari

mereka yang mengkritik secara logis sampai yang hanya didasari emosi

belaka tanpa disertai argumentasi yang kuat.17

bersamaan dengan itu mengandung prior text sehingga tidak ada metode penafsiran yang objektif, definitif, dan bersifat pasti. Amina Wadud, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1992), 15.

16 Sebagaimana gurunya, Amin al-Khulli, Abu Zayd mengembangkan studi Alquran

lewat pendekatan sastra. Abu Zayd bersikap kritis terhadap tradisi. Tradisis harus dibaca dan dipahami dalam prespektif kesadaran kontemporer. Untuk ini, Abu Zayd mengadopsi teori-teori linguistik, semiotika, dan hermeneutika dalam kaitan kajiannya dengan Alquran. Abu Zayd mengidentifikasi kerjanya sebagai kerangka objektif dan ilmiah untk menganalisis dan menafsirkan teks keagamaan.

Pendekatan hermeneutika Abu Zayd terdiri dari dua unsur utama yang antara kedunya terjadi dialektika. Pertama, menemukan kembali makna teks dengan menempatkannya pada konteks sosio-historisnya (dalālah; makna). Kedua, menarik penafsiran makna asli tersebut ke dalam kerangka sosio-kultural kontemporer dan tujuan praktis, sehingga dapat menjelaskan muatan ideologis penafsiran tersebut dalam makna historis yang asli (magza; signifikansi). Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Nash: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān (Kairo: al-Hayyi`ah al-Āmmah li al-Kitāb, 1993).

17 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta:

(8)

Sebut saja, misalnya, pertanyaan yang mempertanyakan

kembali—bila enggan berkata meragukan—kegunaan hermeneutika

sebagai alat bedah penafsiran Alquran. Sebab di antara problem yang

diusung hermeneutik—yang pada saat bersamaan menjadi pembenaran

utama bagi penafsir yang pro hermeneutik bahwa hermeneutika mampu

memberi warna baru dalam penafsiran Alquran—adalah18 “Bagaimana menjelaskan pesan sebuah teks yang telah terucap/tertulis pada kurun

waktu, tempat, dan budaya yang berbeda dengan masyarakat yang

hendak memahami dan melaksanakan pesan teks itu?” 19

18

Selain problem di atas, di antara persoalan lain yang diusung oleh hermeneutika adalah, “Bagaimana menyampaikan kehendak Tuhan yang menggunakan „bahasa langit‟ kepada manusia yang menggunakan „bahasa bumi‟? Atau dengan kata lain, “Bagaimana Yang Tidak Terbatas (Tuhan) berhubungan dengan manusia yang terbatas?” Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa

Agama..., 13.

Persoalan tersebut terselesaikan oleh ulama Islam, antara lain, dengan merujuk pada firman Allah dalam QS. al-Zukhrūf [43]: 3:

      

“Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran berbahasa Arab supaya kamu memahami(nya). “ Para pakar tafsir mengatakan bahwa ada yang dikenal dengan kalām nafsī. Itulah yang ditunjuk oleh kata ganti (dhamīr) pada kata ja’alnāhu (menjadikannya). Selain itu da pula kalām

lafdzī dan itulah Alquran yang berbahasa Arab. Kedua hal tersebut dapat dianalogikan dengan

bahasa manusia kepada bahasa binatang. Manusia yang kemampuannya melebihi ayam, misalnya, berbicara dengan „bahasa ayam‟ sehingga binatang itu mengerti. Tuhan pun berbicara tidak dengan „bahasa‟-Nya atau „bahasa langit‟, tetapi menjadikan bahasa-Nya serupa dengan bahasa manusia agar manusia dapat mengerti. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan

Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 556-557.

Selain dua hal di atas, hal lain yang ditegaskan dalam hermeneutik adalah “Seseorang harus bersikap hati-hati, bahkan mencurigai teks”. Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa

Agama..., 14. Jika problem kedua ini dimasukkan pada kerangka keotentikan Alquran, maka bagi

ulama Islam, tidak ada lagi keraguan menyangkut teks Alquran. Semuanya otentik, benar pada tenpatnya, dan tidak ada yang berubah. Kepercayaan ini, bukan semata berlandas pada jaminan Allah (QS. al-Ḥ ijr [15]: 9), tapi juga berdasarkan argumentasi-argumentasi ilmiah yang kuat dan sejarah yang terpercaya. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid 2..., 557-561.

19 Lihat misalnya Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

(9)

Bagi ulama tafsir problem ini telah lama diakui keberadaannya,

sekaligus dibahas pemecahannya. Sehingga kemudian lahirlah apa yang

dinamai dengan makkī-madanī, asbāb al-nuzūl, juga naskh-mansūkh.20 Sampai pada titik ini, bagi ulama yang pro hermeneutik, klaim

bahwa ‘ulūm al-Qur’ān masih memadai untuk mengolah dimensi

pemaknaan terhadap Alquran harus diakui memiliki relevansi. Namun

bagi mereka, kesadaran akan konteks saja belumlah cukup bila tidak

dibarengi dengan kontekstualisasi. Dalam bahasa hermeneutik, dengan

kesadaran terhadap konteks saja yang terjadi hanyalah sekedar

reproduksi makna lama ke dalam ruang dan waktu masa kini. Menurut

keyakinan dalam dunia hermeneutik, hanya mereproduksi makna

mungkin saja masih relevan dan sesuai untuk diaplikasikan, tapi hanya

pada aspek tertentu. Sebab dalam banyak hal bisa dipastikan akan

terjadi pemaknaan dan pemahaman yang mis-placed dan a-historis.21 Keraguan tersebut dijawab oleh para ulama tafsir dengan

memperkenalkan dalam konteks perintah dan larangan yang sifatnya

ibadah murni, apa yang mereka namai ‘illat yang wujud.22

Terlepas dari talik ulur antara “kubu” tafsir dan “kubu” hermeneutika, yang jelas kedua kubu sejalan dalah satu titik temu akan

20 Meski terdapat silang pendapat di antara ulama menyangkut pengertian dan penerapan

makkī-madanī, asbāb al-nuzūl, dan juga naskh-mansūkh, namun dari sini muncul bahasan tentang

analogi dan syaratnya dalam memahami dan menerapkan teks. M. Quraish Shihab, Membumikan

al-Qur’an Jilid 2...,561; Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an..., 18.

21 Ibid., 19.

(10)

perlunya tajdid dalam pemikiran Islam. Yang mereka persoalkan adalah

sejauh mana pembaruan itu dapat dilakukan, apa batasan-batasannya,

dan apa pula syarat-syaratnya.

Dalam gerakan proyek tajdid di atas, muncul dua nama,

masing-masing dari “kubu” hermeneutika dan “kubu” tafsir, yakni Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab.

Membincangkan Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab

menempati tempat yang urgen dan menarik, setidaknya, karena

beberapa hal berikut,

Pertama, keduanya merupakan cendekiawan yang pendapatnya

banyak dianut oleh umat Muslim, khususnya di wilayah Australia dan

Asia Tenggara.

Kedua, baik Saeed maupun Quraish Shihab—seperti terlihat

dalam karya-karya mereka—datang dengan memberi warna baru dalam

kaitan dengan tajdid dalam penafsiran Alquran yang sesuai dengan

semangat zaman tanpa menciderai dan membahayakan keimanan.

Sebab keduanya tidak mau terjebak dalam dua titik ekstrim;

(11)

hukum-hukum sakral Tuhan, di satu sisi; atau membuang Alquran

karena tidak sesuai dengan zaman, di sisi lain.23

Ketiga, Saeed maupun Quraish Shihab sama-sama pernah

mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun di kota-kota yang

sampai saat ini merupakan salah satu pusat pembelajaran ilmu-ilmu

keislaman. Saeed di Madinah, Arab Saudi24 dan Quraish Shihab di Kairo, Mesir25. Latar belakang pendidikan mereka penting untuk diulas lebih lanjut (urainnya akan dituang pada bab dua), karena sebagaimana

mafhum, latar belakang pendidikan memiliki pengaruh besar terhadap

pemikiran seseorang.26

Keempat, masih adanya paradigma literalistik dalam memahami

teks agama dalam umat Islam, membuat mereka terlebih dahulu

membangun argumentasi-argumentasi kuat guna melegalkan teori

tajdid yang mereka gadangkan. Hanya saja, karena alat ukur yang

digunakan keduanya berbeda, maka secara otomatis batasan ukuran

tajdid yang dihasilkan pun juga berbeda.

Kelima, dalam kaitan dengan tajdid, Saeed beranggapan perlu

adanya cara pandang baru terhadap ayat-ayat Alquran yang

23 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach

(London and New York: Routledge, 2006), 2; M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid

2..., 300.

24 “Curriculum Vitae of Abdullah Saeed”, dalam http://www.abdullahsaeed.org (10 Maret

2013).

25 “Biografi”, dalam Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992). 26 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2..., 564.

(12)

mengandung muatan ethico-legal. Yang termasuk di dalamnya adalah

ayat-ayat tentang iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah

kematian; aturan-aturan dalam pernikahan, perceraian, dan warisan; apa

yang diperintah dan dilarang; perintah puasa, jihad, dan hudūd;

larangan mencuri; hubungan dengan non Muslim; perintah yang

berhubungan dengan etika; hubungan antar agama dan pemerintahan.27 Reinterpretasi terhadap ayat-ayat ini menjadi penting karena pada

kenyataannya, menurut Saeed ayat-ayat inilah yang paling tidak siap

dihadapkan pada realita. Padahal pada saat yang sama, ayat-ayat inilah

yang paling banyak mengisi kehidupan sehari-hari sebagian besar umat

Islam.

Sementara Quraish Shihab, meski tidak secara langsung dan

spesifik menyangkal metode tafsir yang disuguhkan Saeed, namun dari

kaidah penafsiran yang ia aplikasikan terlihat bahwa ia mempunyai cara

pandang yang berbeda dengan Saeed terhadap upaya tajdid dalam

penafsiran Alquran, khususnya pada ayat-ayat Alquran yang bermuatan

ethico-legal.

Selanjutnya, dalam kesempatan penelitian inilah, diskusi

pemikiran Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab tentang tajdid dalam

penafsiran Alquran ralegid naka.

(13)

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi

permasalahan-per masalahan sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi landasan pemikiran teori tajdid Abdullah Saeed

dan M. Quraish Shihab?

2. Bagaimana rancang bangun teori tajdid versi Abdullah Saeed dan

M. Quraish Shihab?

3. Bagaimana aplikasi dari teori tajdid dalam penafsiran Alquran

prespektif Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab?

4. Bagaimana penilaian terhadap perbandingan antara teori tajdid

dalam penafsiran Alquran prespektif Abdullah Saeed dan M.

Quraish Shihab?

5. Bagaimana pengaruh pemikiran dua tokoh tersebut terkait tajdid

pada pemikir modern yang lain?

Dari beberapa permasalahan yang bisa diidentifikasi di atas,

penelitian ini memusatkan perhatiannya kepada empat poin pertama (1,

2, 3, dan 4). Dengan kata lain, penelitian ini akan menguraikan

landasan tajdid menurut Saeed dan Quraish Shihab. Lalu menyusun

sistem tajdid mereka untuk mengetahui batasan tajdid yang mereka

(14)

tajdid tersebut, guna melakukan penilaian terhadap pemikiran

keduanya.

Adapun pengaruh gagasan tajdid Saeed dan Quraish Shihab

terhadap para pemikir keislaman modern yang lain (poin 5), tidak

memiliki kaitan langsung dengan upaya menguak landasan tajdid dan

batasan-batasannya dalam prespektif Saeed dan Quraish Shihab

sehingga tidak akan menjadi fokus perhatian utama dalam penelitian

ini.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan umum penelitian sebagai berikut: Apakah yang menjadi

batasan tajdid pada penafsiran Alquran dalam prespektif Abdullah

Saeed dan M. Quraish Shihab?

Dari pertanyaan umum tersebut, dapat dikembangkan

pertanyaan-pertanyaan khusus berikut ini:

1. Apakah hal-hal yang menjadi landasan teoritis tajdid yang diusung

Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab?

2. Bagaimana rancang bangunan interpretasi tajdid dan

(15)

3. Bagaimana aplikasi dari teori tajdid yang dibawa Abdullah Saeed

dan M. Quraish Shihab?

4. Bagaimana penilaian terhadap perbandingan antara teori tajdid

dalam penafsiran Alquran prespektif Abdullah Saeed dan M.

Quraish Shihab?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan hal-hal yang menjadi landasan teoritis bagi

proyek tajdid Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab.

2. Untuk mendeskripsikan bangunan tajdid sekaligus

batasan-batasannya prespektif Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab.

3. Untuk memahami metodologi tajdid yang dibawa Abdullah Saeed

dan M. Quraish Shihab dalam aplikasi tafsir yang nyata.

4. Untuk memahami kritik-analitis dari perbandingan atas metodologi

tajdid yang dibawa Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab dalam

aplikasi tafsir yang nyata

E. Kegunaan Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan mampu memiliki kegunaan, baik

(16)

1. Secara akademis, penelitian ini merupakan satu sumbangan

sederhana bagi pengembangan studi Alquran. Guna kepentingan

studi lanjutan, penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan

acuan, referensi, dan lainnya, bagi para penulis lain yang ingin

memperdalam studi tokoh dan pemikiran.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi

tambahan alat bantu operasional dalam memahami Alquran.

F. Penelitian Terdahulu

Dari pencarian yang penulis lakukan baik secara online maupun

offline, penulis belum menemukan monograf tunggal yang mencoba

mengurai metodologi tajdid dalam prespektif Abdullah Saeed dan M.

Quraish Shihab. Namun demikian, penulis menemukan beberapa karya

tulis yang menfokuskan kajiannya pada ketokohan dan pemikiran

Abdullah Saeed di bidang hermeneutika Alquran;28 serta begitu banyak penelitian yang terkait dengan ketokohan dan pemikiran M. Quraish

Shihab di bidang tafsir.

28 Penulis mengalami kesulitan menemukan penelitian yang membahas Abdullah Saeed,

di antaranya, akibat keterbatasan akses terhadap literatul tersebut. Dalam kaitannya dengan pemikiran Saeed tentang hermeneutika Alquran yang tertuang dalam bukunya Interpreting the

Qur’an: Toward a Contemporary Approach, ada beberapa review buku tersebut yang telah ditulis

dan diterbitkan dalm jurnal internasional, misalnya, artikel Jason Walsh dalam Reviews in Religion

and Theology 13, no. 4 (2006) dan Neal Robinson dalam Bulletin of Oriental and African Studies

(17)

Skripsi Lien Iffah Naf‟atu Fina yang berjudul Interpretasi

Kontekstual: Studi atas Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed

mengkaji tentang landasan teoretis sekaligus bangunan metodologi

hermeneutika Alquran Abdullah Saeed. Memang dalam beberapa hal

terdapat kesamaan materi pembahasan dalam skripsi tersebut dengan

penelitian ini. Namun demikian dalam skripsinya Fina tidak

mengkhususkan pembahasannya pada batasan tajdid dari bangunan

metodologi hermeneutika Alquran Saeed. Selain itu Fina juga tidak

menyertakan aplikasi dari teori interpretasi yang ditawarkan Saeed.29 Ruang kosong itulah yang coba diisi oleh penulis dalam penelitian ini.

Tulisan kedua berjudul Melacak Pengaruh Pemikiran Fazlur

Rahman Terhadap Metodologi Penafsiran Al-Qur’an yang Digagas Abdullah Saeed merupakan skripsi yang disusun oleh Suherman.

Skripsi tersebut mengidentifikasi bentuk keterpengaruhan Abdullah

Saeed atas metodologi penafsiran Fazlur Rahman serta melacak apa

yang dikembangkan dan disempurnakan oleh Abdullah Saeed dari ide

metode interpretasi yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman.30

Adapun penelitian yang terkait dengan ketokohan dan pemikiran

M. Quraish Shihab di bidang studi Alquran, dikarenakan banyaknya

29

Lien Iffah Naf‟atu Fina, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

30 Suherman, “Melacak Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Metodologi

Penafsiran Al-Qur‟an yang Digagas Abdullah Saeed” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011).

(18)

ulasan yang bisa dituang, padahal ruangan yang tersedia terbatas, maka

penulis hanya menuangkan beberapa di sini secara acak, meski tetap

mengutamakan karya yang memiliki relevansi dengan tajdid, baik

secara langsung ataupun tidak.

Faiq Tabrani menulis skripsi dengan judul Implementasi Teori

An-Naskh dalam Istinbad Hukum dari Ayat Wasiat dan Ayat Warisan Perbandingan Pemikiran Syahrur dan Quraish Shihab, yang mengupas

sikap Syahrur yang menyatakan bahwa wasiat tetap berlaku (tidak

di-naskh) meski dengan adanya ayat warisan. Pemberlakuan wasiat boleh

kepada siapa saja, baik ahli waris maupun pihak di luar keluarga,

dengan syarat pemufakatan dari seluruh ahli waris. Di sini nampak

bahwa Syahrur masuk pada kategori tokoh yang menolak

naskh-mansūkh apapun dalil dan alasannya. Sementara itu di tempat lain,

Quraish Shihab menentang pendapat tersebut. Ia berpendapat bahwa

ayat wasiat sudah tidak berlaku. Perannya telah digantikan ayat

warisan. Memang masih boleh melakukan wasiat, tapi hanya terbatas

kepada golongan luar ahli waris. Besarannya jumlahnya tidak boleh

melebihi sepertiga harta peninggalan.31

Tulisan selanjutnya adalah skripsi Ḥijab in The Prespective of M. Quraish Shihab karya Indatul Laili yang menyoroti sikap Quraish

31 Faiq Tabrani, “Implementasi Teori An-Naskh dalam Istinbad Hukum dari Ayat Wasiat

dan Ayat Warisan Perbandingan Pemikiran Syahrur dan Quraish Shihab” (Skripsi—UIN Sunan

(19)

Shihab yang lebih longgar dalam memberikan hukum pemakaian jilbab

bagi seorang Muslimah. Menurut Quraish Shihab pemakaian jilbab

bukan sebuah keharusan, melainkan hanya sebatas anjuran. Dalam buku

Wawasan Al-Qur'an, Quraish Shihab menyatakan bahwa wanita yang

menutup seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya telah

menjalankan bunyi teks ayat-ayat Alquran, bahkan mungkin lebih.

Sama halnya tidak dibenarkan pula menyatakan perempuan yang tidak

memakai jilbab atau yang menampakkan setengah tangannya, sebagai

pelanggar petunjuk agama. Bukankah Alquran tidak menyebutkan

batasan aurat? Para ulama yang lain pun berbeda pendapat ketika

membahas masalah jilbab.32

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan

(library research)33 yang bersifat deskriptif-analitis, yang akan mencoba menjawab pertanyaan di dalam rumusan masalah

berdasarkan pembacaan dan interpretasi terhadap data-data yang

akan diteliti.

32 Indatul Laili, “Hijab in The Prespective of M. Quraish Shihab” (Skripsi—IAIN Sunan

Ampel Surabay, 2010).

33 Anton Eakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

(20)

a. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode

dokumentasi terhadap data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data kepustakaan yang mengulas tentang

gagasan Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab mengenai

tajdid dalam penafsiran Alquran yang tertuang dalam berberapa

karya tulis mereka, terutama buku Interpreting the Qur’an:

Towards a Contemporary Approach (2006) karya Abdullah

Saeed dan Membumikan Al-Qur’an: Memfungsikan Wahyu

dalam Kehidupan (1992), Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (2011), serta Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (2013).

Adapun data sekunder merupakan bacaan-bacaan yang

memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan data

primer.

b. Metode Analisis Data

Guna menganalisis data yang telah terkumpul, penulis

menggunakan beberapa metode, yaitu deskriptif, taksonomi,

(21)

Metode deskriptif digunakan penulis untuk

mendeskripsikan, terutama, latar belakang kehidupan tokoh

yang dikaji dan posisi mereka dalam diskursus penafsiran

Alquran kontemporer.34

Adapun analisis taksonomi yang memusatkan

penelitian hanya pada domain tertentu dari pemikiran tokoh,35 digunakan penulis untuk hanya menelisik pemikiran Abdullah

Saeed dan M. Quraish Shihab yang terkait dengan tajdid

dalam penafsiran Alquran.36

Selanjutnya melalui metode interpretatif, penulis

berupaya untuk menginterpretasikan dan menganalisis secara

memadai pemikiran Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab

mengenai tajdid dalam penafsiran Alquran. Interpretasi ini

penulis lakukan dalam batas alur pemikiran. Hal ini

digunakan untuk menemukan dan memahami maksud dari

apa yang digagas oleh dua tokoh tersebut.37

34 Ibid., 63.

35 Analisis taksonomi berbeda dengan analisis domain. Jika analisis taksonomi hanya

memusatkan penelitian pada domain tertentu dari pemikiran tokoh, maka analisis domain digunakan para peneliti untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh perihal pemikiran tokoh.

36 Aref Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh

(Yogyakarta: Pustakka pelajar, 2005), 64-67.

(22)

2. Pendekatan

Pendekatan penelitian ini adalah historis filosofis.

Pendekatan historis dipakai untuk menelusuri kehidupan Abdullah

Saeed dan M. Quraish Shihab serta mendeskripsikan diskursus

penafsiran Alquran kontemporer. Sedangkan filosofis berarti

melakukan telaah atas bangunan berpikir Abdullah Saeed dan M.

Quraish Shihab dengan melihat kerangka teoritis yang mereka

gunakan untuk menjelaskan tajdid dalam penafsiran Alquran.

Sehingga pada akhirnya akan terlihat alur pemikiran Abdullah

Saeed dan M. Quraish Shihab terkait dengan tajdid dalam

penafsiran Alquran.38

H. Sistematika Pembahasan

Setelah mengacu pada metode penelitian di atas, dan guna

memudahkan, serta demi runtutnya penalaran dalam penelitian, maka

kajian dalam penelitian ini akan dibagi dalam tiga bagian utama, yakni

pendahuluan, isi, dan penutup dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang menguraikan argumentasi

seputar signifikansi penelitian ini. Sebagai landasan awal dalam

melakukan penelitian, pada bab pertama ini termuat latar belakang

(23)

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

pembahasan, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua akan memperbincangkan seputar biografi tokoh yang

dikaji, meliputi latar belakang kehidupan maupun biografi intelektual,

termasuk karya-karya intelektualnya. Sub bab berikutnya berbicara

tentang gambaran diskursus penafsiran Alquran kontemporer. Bahasan

yang termuat pada bab kedua ini, di samping sebagai upaya untuk

mengenal tokoh yang dikaji secara personal, j untuk mengetahui

posisinya di tengah kancah studi Alquran, khususnya dalam diskursus

penafsiran kontemporer.

Bab ketiga merupakan ruang untuk memaparkan landasan

teoritis dari tajdid prespektif Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab,

yang sebelumnya didahului dengan pemaparan tentang pengertian

tajdid dalam penafsiran Alquran secara umum. Pemahaman akan hal

ini bertujuan untuk mengetahui pondasi yang diletakkan kedua tokoh

yang dikaji sebagai upaya menguatkan gagasan tajdid yang mereka

usung.

Pada bab keempat kajian akan difokuskan pada metodologi

tajdid hermeneutika yang digalakan oleh Abdullah Saeed dalam

karya-karyanya, untuk selanjutnya dibandingkan dengan tajdid dalam ruang

tafsir versi M. Quraish Shihab. Pemaparan metodologi ini selanjutnya

(24)

metodologi-metodologi tersebut. Pada bagian akhir dari bab ini penulis

mencoba untuk menimbang model tajdid, baik dalam ruang

hermeneutika maupun tafsir, yang ditawarkan oleh tokoh yang dikaji,

dalam kaitannya dengan relevansi dan posisinya dalam diskursus

penafsiran Alquran kontemporer.

Sementara bab kelima merupakan bab penutup yang akan

memberikan kesimpulan dan keterbatasan studi terhadap diskusi

(25)

DAFTAR RUJUKAN

„Abduh, Shaykh Muhammad. Risālah al-Tawhīd. Kairo: Dār al-Ḥilāl, 1963. Arkoun, Mohammad. Nalar Islam dan Nalar Modern, terj. Rahayu S.

Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.

Baljon, J.M.S. Modern Muslim Koran Interpretation. Leiden: E.J. Brill, 1961.

Eakker, Anton. dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian

Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Esack, Farid. Liberation,and Pluralism: An Islamic Prespective of

Interreligiuos Solidarity Aggaints Oppression. Oxford: Oneworld,

1997.

Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.

Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternatives”,

International Journal of Middle East Studies, Vol.1, No.4, 1970.

_____. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.

Fina, Lien Iffah Naf‟atu. “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed”. Skripsi—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Furchan, Aref. dan Agus Maimun. Studi Tokoh: Metode Penelitian

Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustakka pelajar, 2005.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga

Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.

Hanafi, Hasan. “Method of Thematic Interpretation of the Qur‟an”, dalam Stefan Wild (ed.). The Qur’an as Text. Leiden and New York: EJ. Brill, 1996.

_____. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Pesantren Mawesea Press, 2007.

(26)

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.

Khūlī (al), Amīn. Manāhij Tajdīd fi al-Nahwi wa al-Balāghah wa al-Tafsīr

wa al-Adab. Mesir: al-Hai‟ah al-Mishriyyah al-„Āmmah li al-Kitāb.

Laili, Indatul. “Hijab in The Prespective of M. Quraish Shihab”. Skripsi— IAIN Sunan Ampel Surabay, 2010.

Mawdūdī (al), Abū al-A‟la. “Mabādi Asāsiyyah li Fahm al-Qur'ān,” dalam Abdallah Yousuf Ali. The Glorious Kur’an: Translation and

Commentary. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Mohamad, Goenawan. “Tentang Teks dan Iman”, dalam Eksotopi: Tentang

Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas. Jakarta: Grafiti, 2002.

Saeed, Abdullah. “Contextualizing”, dalam The Blackwell Companion to

the Qur’an, ed. Andrew Rippin. Oxford: Blackwell Publishing,

2006.

_____. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London and New York: Routledge, 2006.

Shihab, M. Quraish. Al-Qur’an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, 2010.

_____. Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam

Kehidupan. Jakarta: Lentera Hati, 2011.

Suherman, “Melacak Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an yang Digagas Abdullah Saeed”. Skripsi—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

Tabrani, Faiq. “Implementasi Teori An-Naskh dalam Istinbad Hukum dari

Ayat Wasiat dan Ayat Warisan Perbandingan Pemikiran Syahrur dan Quraish Shihab”. Skripsi—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2011.

Wadud, Amina. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1992.

Zayd, Nashr Hamid Abu. Mafhūm al-Nash: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur`ān. Kairo: al-Hayyi`ah al-Āmmah li al-Kitāb, 1993.

“Curriculum Vitae of Abdullah Saeed”, dalam

Referensi

Dokumen terkait

4.6.4 Minat Menggunakan Internet Banking yang Dipengaruhi Oleh Persepsi Kegunaan, Persepsi Kemudahan Penggunaan, Persepsi Kredibilitas : Gender sebagai Variabel Moderating Gibson

dan waktu penyadapan pada suhu yang relatif lebih tinggi pada siang hari menghasilkan jumlah getah sadapan jauh lebih besar daripada penyadapan pada pohon Keruing

Proses desain keseluruhan menggunakan software Adobe Photoshop CS5. Pada setiap desain menggunakan gambar ilustrasi yang dipadukan dengan elemen lainnya seperti teks,

Permasalahan yang sering muncul masih banyak orang berwisata tapi malah menimbulkan beban pikiran baru. Berwisata juga merupakan kebutuhan jasmani yang penting

Kalimantan Tengah juga memiliki daerah-daerah yang berpotensi memiliki obejk-objek wista kaya akan alam, budaya, kesenian serta taman buatan, salah satu daerah yang memiliki

pengetahuan masyarakat mengenai kelainan buta warna serta melakukan tes buta warna sejak dini. Deteksi sejak dini suatu kelainan merupakan manfaat terbesar dan akan memungkinkan

Perpaduan yang dimaksud bukan sekedar proses percampuran biasa (Islamisasi), tetapisebagai proses pelarutan. Paradigma ini bukan hanya menyatukan ilmu-ilmu kealaman

Hal ini menunjukkan bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 yang berarti bahwa Ha diterima, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara perfeksionisme