• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature), baik untuk upaya preventif,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature), baik untuk upaya preventif,"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengobatan tradisional mulai banyak digunakan seiring dengan kesadaran masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature), baik untuk upaya preventif, kuratif, maupun pemeliharaan (Hastutiningrum, 2002). Salah satu pemanfaatan herbal tradisional adalah untuk mengatur ketidakseimbangan sistem imun atau disebut imunomodulator. Imunomodulator berkerja melalui tiga mekanisme, yaitu imunrestorasi, imunostimulansi, dan imunosupresi (Chairul, 2011).

Phyllanthus niruri L. atau meniran merupakan salah satu tanaman yang

banyak terdapat di Indonesia dan berkhasiat sebagai imunomodulator. Penelitian tentang meniran sebagai imunomodulator pertama kali dilakukan oleh Thabrew (1991) yang membuktikan bahwa ekstrak meniran mampu meningkatkan aktivitas sistem komplemen melalui jalur klasik. Meniran mampu merangsang sistem imun tubuh manusia karena adanya kandungan senyawa flavonoid di dalamnya. Flavonoid dapat menempel pada sel imun dan memberikan respon intraseluler untuk mengaktifkan kerja sel imun lebih baik (Kardinan dan Kusuma, 2004).

Kurkumin merupakan salah satu senyawa yang terkandung dalam temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan mempunyai berbagai manfaat bagi kesehatan. Kurkumin merupakan derivat polifenol hidrofobik yang memiliki aktivitas farmakologi dan biologi yang luas, antara lain sebagai antiinflamasi, anti-neoplastik, antioksidan, antikanker, neuroprotektif, penyakit metabolik, dan kardiovaskuler. Senyawa kurkumin juga berperan dalam modulasi dan regulasi

(2)

respon imun. Sifat imunomodulator pada kurkumin sebagian besar bertindak sebagai imunosupresi, namun dalam beberapa kasus juga dapat sebagai imunostimulansi (Anand dkk., 2007; Srivastava dkk., 2011).

Formulasi sediaan herbal mempunyai beberapa kendala, terutama untuk sediaan oral. Flavonoid dalam meniran, yaitu kuersetin memberikan absorpsi yang kurang baik dalam tubuh, hanya 20-30% untuk penggunaan peroral (Hollman dkk., 1997). Kurkumin mempunyai kelarutan yang rendah dalam air sehingga mempengaruhi bioavailabilitasnya. Berdasarkan uji klinis kuantitatif, kadar serum hanya dapat dicapai dengan dosis kurkumin di atas 3,6 gram(Anand dkk., 2007; Sharma dkk., 2004).

Self-Nanoemulsifying Drug Delivery Systems (SNEDDS) merupakan

campuran isotropik dari minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang mampu membentuk nanoemulsi O/W stabil secara termodinamika pada pengadukan sedang oleh lambung serta mempunyai ukuran droplet di bawah 100 nm (Amrutkar dkk., 2014; Doh dkk., 2013). Kombinasi fraksi etanolik dari ekstrak kering meniran dan temulawak diformulasikan dengan metode SNEDDS untuk meningkatkan bioavailabilitas zat aktif sehingga dapat meningkatkan efektivitas penggunaan. Fase minyak yang digunakan adalah Virgin Coconut Oil (VCO), terdiri dari asam lemak rantai pendek seperti asam laurat (C12) dan asam miristat (C14), sehingga VCO bersifat lebih hidrofil (Krishna dkk., 2010). Penggunaan VCO sebagai fase minyak diharapkan dapat membantu peningkatan bioavailabilitas senyawa aktif karena lebih mudah dimetabolisme dalam tubuh serta aman untuk penggunaan peroral.

(3)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah kombinasi fraksi etanolik dari ekstrak kering meniran dan temulawak dapat diformulasikan menjadi sediaan SNEDDS?

2. Apakah komposisi optimum minyak, surfaktan, dan kosurfaktan dapat menghasilkan emulsi yang jernih, mempunyai ukuran droplet berskala nanometer, teremulsifikasi secara spontan, stabil dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan serta extract loading yang baik?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui komposisi minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang dapat menghasilkan formula SNEDDS

2. Mengetahui komposisi optimum minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang dapat menghasilkan emulsi yang jernih,mempunyai ukuran droplet berskala nanometer, teremulsifikasi secara spontan, stabil dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan serta extract loading yang baik

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi sediaan SNEDDS kombinasi fraksi etanolik dari ekstrak kering meniran dan temulawak menggunakan fase minyak VCO sebagai pengobatan alternatif herbal tradisional khususnya untuk penggunaan peroral.

(4)

E. Tinjauan Pustaka 1. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

a. Taksonomi tanaman Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus

Spesies : Phyllanthus niruri L. (Backer & van den Brink, 1965)

Gambar 1. Meniran (Phyllanthus niruri L.) b. Ekologi dan Penyebaran

Meniran (Phyllanthus niruri L.) merupakan tanaman liar yang berasal dari Asia tropik yang tersebar diseluruh daratan Asia termasuk Indonesia. Penyebarannya di seluruh Indonesia teridentifikasi dengan adanya nama

(5)

daerah yang berbeda untuk menyebutkan tanaman meniran. Di Sumatera dikenal dengan nama sidukung anak, dudukung anak, ba’me tano. Di Sulawesi dikenal dengan nama bolobungo. Di Maluku dikenal dengan nama gosau ma dungi, gosau ma dongi roriha, belalang babiji (Kardinan dan Kusuma, 2004).

c. Morfologi tanaman

Meniran atau Phyllanthus niruri L. merupakan herba tanaman berakar tunggang dengan tinggi 30 – 60 cm. Mempunyai batang bercabang terpencar, daun tunggal berseling dan tumbuh mendatar dari batang pokok. Batang berwarna hijau pucat atau hijau kemerahan. Meniran mempunyai daun berbentuk bundar telur sampai bundar memanjang, dengan panjang daun 5-10 mm, lebar 2,5-5 mm, ujung daun berbentuk bundar atau runcing, permukaan bagian bawah berbintik-bintik kelenjar.

Tanaman ini mempunyai bunga yang keluar dari ketiak daun, bunga jantan terletak di bawah ketiak daun. Bunga berkumpul 2-4 bunga, gagang bunga 0,5-1,0 mm, berwarna merah pucat. Bunga betina terletak di bagian atas ketiak daun, gagang bunga 0,75-1,0 mm, helaian mahkota bunga berbentuk bundar telur sampai bunga memanjang, pada bagian tepi berwarna hijau muda, panjang 1,25-2,5 mm. Mempunyai buah dengan tekstur licin dengan garis tengah 2-2,5 mm, panjang gagang buah 15-2 mm. (Depkes RI, 1978).

d. Kandungan kimia

Kandungan senyawa dalam meniran sangat beragam, hal ini menyebabkan khasiat untuk kesehatan beragam pula. Senyawa aktif yang

(6)

teridentifikasi dalam meniran adalah flavonoid (rutin, kuersetin, kuersitrin, astragalin, katekin), terpernoid, kumarin, lignan, polifenol, tanin, alkaloid, saponin, dan komponen lainnya (Bagalkotkar dkk., 2006).

e. Khasiat tanaman

Pengobatan dari meniran telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun untuk berbagai penyakit seperti diuretik, ekspektoran, dan pelancar haid. Herba meniran juga digunakan untuk pengobatan sembab/bengkak (inflamasi), infeksi dan batu saluran kencing, kencing nanah, menambah nafsu makan, diare, radang usus, konjungtivitas, hepatitis, sakit kuning, rabun senja, sariawan, digigit anjing gila, dan rematik gout (Hutapea dan Syamsuhidayat, 1991).Khasiat yang beragam dari tanaman meniran tersebut berhubungan erat dengan zat atau senyawa yang dikandungnya. Berdasarkan penelitian Maat (1996) menunjukkan bahwa meniran mempunyai efek terhadap respon imun nonspesifik maupun spesifik. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sagala (2013) menunjukkan bahwa ekstrak etanolik meniran yang dikombinasikan dengan ekstrak umbi keladi tikus dan daun sirih merah mampu meningkatkan indeks dan kapasitas fagositosis. Kombinasi tersebut juga mampu meningkatkan sistem imun non spesifik dengan konsentrasi optimum 10µL/mL.

2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) a. Taksonomi tanaman

Kingdom : Plantae

(7)

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhixa Roxb.

Gambar 2. Rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhixa Roxb.) b. Ekologi dan penyebaran

Temulawak merupakan tanaman yang berasal dari kawasan Indo-Malaysia. Tanaman ini menyebar luar di seluruh wilayah Indonesia. Nama lain dari temulawak adalah koneng gede (Sunda), temo lobak (Madura), dan temulawak (Indonesia) (Rukmana, 2006).

c. Morfologi tanaman

Tanaman temulawak berupa rumpung dengan tinggi mencapai 2,5 meter, berwarna hijau atau coklat gelap. Pada tiap batangnya mempunyai daun sebanyak 2-9 helai dengan bentuk bundar memanjang agak lebar. Rimpang temulawak berbentuk bulat telur, bercabang memanjang berjumlah 3 – 4 buah.

(8)

Temulawak merupakan tanaman monokotil berakar serabut yang melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar mencapai 25 cm dan tidak beraturan (Rukmana, 2006).

d. Kandungan kimia

Kandungan utama dalam temulawak adalah pati, kurkumin atau zat kuning, protein dan minyak atsiri. Kandungan lainnya berupa abu dan serat. Minyak atsiri dalam temulawak teridentifikasi sebagai phelandren, kamfer, borneol, xanthorrhizol, tumerol, dan sineal (Rukmana, 2006).

Hasil skrining fitokimia kualitatif menunjukkan hasil bahwa ekstrak temulawak atau C. xanthorrhiza mempunyai kandungan senyawa berupa terpenoid, fenolik, flavonoid, glikosida jantung, alkaloid, dan kumarin (Ismail dkk., 2012).

Gambar 3. Struktur kurkuminoid (Srivastava dkk., 2011) e. Khasiat tanaman

Kurkumin dalam temulawak merupakan derivat polifenol hidrofobik yang memiliki aktivitas farmakologi dan biologi yang luas, antara lain sebagai antiinflamasi, anti-neoplastik, antioksidan, antikanker, neuroprotektif, penyakit

(9)

metabolik, dan kardiovaskuler. Senyawa kurkumin juga berperan dalam modulasi dan regulasi respon imun. Sifat imunomodulator pada kurkumin sebagian besar bertindak sebagai imunosupresi, namun dalam beberapa kasus juga dapat sebagai imunostimulansi (Anand dkk., 2007; Srivastava dkk., 2011). Menurut Sufiriyanto dan Indradji (2007), ekstrak temulawak bersifat sebagai imunostimulan dan memiliki efek konstruktif yaitu mampu memperbaiki jaringan dan kelenjar yang rusak.

3. Imunomodulator

Imunomodulator merupakan suatu bahan yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Imunomodulator berkerja melalui tiga mekanisme, yaitu mengembalikan sistem imun yang terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun yang rusak (imunostimulansi), dan menekan respon imun yang berlebihan (imunosupresi). Imunomodulator paling banyak digunakan untuk penyakit imunodefisiensi, infeksi kronis, dan kanker. Imunitas menurut ilmu kedokteran pada awalnya berarti resistensi relatif terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi tersebut terbentuk berdasarkan respon imunologik yang terjadi pada suatu manusia. Selain membentuk resistensi terhadap infeksi, respon imun juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit, misalnya autoimun. Pencegahan atau pengobatan suatu penyakit yang disebabkan oleh pengaruh faktor dari luar tubuh dan zat asing merupakan arti respon imun secara luas yang berkembang saat ini (Chairul, 2011).

Mekanisme kerja imunomodulator yang paling banyak digunakan dalam dunia kesehatan adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun

(10)

(imunostimulansi). Imunostimulan merupakan bahan yang dapat merangsang sistem imun tubuh melalui mekanisme respon imun nonspesifik dan melalui respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate imunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut. Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi, misalnya kulit atau substansi antimikroba yang diproduksi oleh kulit; berbagai jenis protein dalam darah termasuk diantaranya komponen-komponen sistem komplemen, mediator inflamasi dan sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag serta sel natural killer (NK). Respon imun spesifik merupakan respon yang didapat (acquired immunity) yang timbul terhadap antigen tertentu. Pada respons imun spesifik, adanya antigen yang masuk ke dalam tubuh akan menstimulasi aktivasi limfosit dan produksi antibodi yang pada akhirnya mengeliminasi antigen tersebut (Baratawidjaja, 2000).

4. Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)

Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) merupakan

campuran isotropik minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang mampu membentuk nanoemulsi O/W yang stabil secara termodinamika pada pengadukan sedang oleh lambung dan usus kecil bagian atas (Amrutkar dkk., 2014). SNEDDS memiliki komponen utama berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai pengemulsi minyak ke dalam air melalui pembentukan dan penjaga stabilitas lapisan film antarmuka, serta kosurfaktan untuk membantu tugas surfaktan

(11)

sebagai pengemulsi (Makadia dkk., 2013). Nanoemulsi yang terbentuk memiliki ukuran droplet yang kecil yaitu di bawah 100 nm (Doh dkk., 2013).

a. Minyak

Minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS berdasarkan sifat fisikokimia minyak yaitu volume molekul, polaritas dan viskositas. Peran tersebut adalah untuk menentuan spontanitas emulsifikasi, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat (Bouchemal dkk., 2004). Minyak juga merupakan komponen penting yang berperan sebagai pembawa obat yang bersifat hidrofobik, membantu self-emulsifying dari SNEDDS dan meningkatkan absorbsi pada saluran gastrointestinal karena mampu meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik (Gursoy dan Benita, 2004). Minyak yang digunakan dalam formulasi SNEDDS harus mampu melarutkan obat secara maksimal atau jenis minyak yang digunakan dalam formulasi SNEDDS ditentukan oleh jenis obatnya dan harus mampu melarutkan obat secara maksimal (Makadia dkk., 2013). Kelarutan obat dalam fase minyak mempengaruhi kemampuan nanoemulsi untuk menjaga obat dalam bentuk terlarut (Shaufiq-un-Nabi dkk., 2007). Selain itu, minyak yang digunakan harus mampu menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran tetesan yang kecil. Pemilihan fase minyak ini sangat penting karena akan menentukan pemilihan bahan lainnya.

Penelitian ini menggunakan fase minyak berupa minyak nabati yaitu VCO (Virgin Coconut Oil) yang memiliki rantai trigliserida sedang yang sering digunakan dalam pengembangan desain SNEDDS. VCO juga aman untuk

(12)

dikonsumsi, tidak mudah teroksidasi, dan memiliki kapasitas pelarutan yang baik (Patel dkk., 2011). VCO terdiri dari asam lemak rantai pendek seperti asam laurat dan asam miristat yang terdiri dari 12 dan 14 rantai karbon sehingga bersifat lebih hidrofil (Krishna dkk., 2010). Asam lemak rantai medium yang terkandung dalam VCO utamanya terdiri dari asam laurat (C12) berkisar antara 45-55%. Asam lemak ini dapat diabsorpsi dengan mudah dan dibakar cepat dan digunakan sebagai energi untuk metabolisme yang mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme, sehingga melindungi tubuh dari penyakit dan mempercepat penyembuhan (Harini dan Astirin, 2009). b. Surfaktan

Surfaktan menentukan kemampuan sistem SNEDDS untuk membentuk nanoemulsi secara cepat dengan pengadukan ringan dan berperan pula untuk meningtkatkan kemampuan minyak dalam melarutkan obat, sehingga surfaktan merupakan faktor penting selain minyak dalam formulasi SNEDDS (Patel dkk., 2011; Makadia dkk., 2013). Pembuatan emulsi sebagian besar menggunakan surfaktan non-ionik karena dianggap lebih aman dibandingkan surfaktan ionik dan lebih diterima penggunaanya secara per oral (Nazzal dkk., 2002).

Proses pembentukan droplet emulsi O/W secara spontan diperlukan nilai HLB yang tinggi dengan substituen hidrofilik, sehingga terbentuk larutan jernih yang stabil (Azeem dkk., 2009). Nilai HLB yang digunakan pada formulasi SNEDDS pada umumnya adalah 8-16. HLB yang makin tinggi dapat

(13)

meningkatkan kelarutan obat (Vilas dkk., 2014). Penelitian ini menggunakan surfaktan Tween 80 yang memiliki nilai HLB 15 (Rowe dkk., 2006).

Gambar 4. Struktur kimia Tween 80 (Rowe dkk., 2006)

Tween 80 atau polyoxyethylene-20-sorbitan monooleatemerupakan surfaktan non-ionik hidrofilik yangmemiliki toksisitas rendah sehingga banyak digunakan dalam industri makanan,kosmetik, serta formulasi obat oral dan parenteral sebagai emulgator emulsiminyak dalam air yang stabil. Dosis aman konsumsi Tween 80 dalam sehariadalah 25 g/kgBB (Rowe dkk., 2006)

c. Kosurfaktan

Kosurfaktan ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan surfaktan dalam membentuk nanoemulsi, meningkatkan drug

loading serta berpengaruh terhadap emulsification time dan ukuran tetesan

nanoemulsi (Kishor dkk., 2014; Makadia dkk., 2013). Rasio massa surfaktan dan kosurfaktan memiliki efek terhadap sifat fase serta ukuran dan distribusi partikel nanoemulsi (Hua dkk., 2004).

Kosurfaktan merupakan senyawa ampifilik yang memiliki afinitas terhadap fase air dan minyak. Penggunaan surfaktan saja tidak cukup untuk menurunkan tegangan antarmuka untuk menghasilkan nanoemulsi sehingga diperlukan penambahan amphiphilic molekul rantai pendek atau yang disebut

(14)

dengan kosurfaktan dengan tujuan untuk membantu menurunkan tegangan muka hingga mendekati nol. Mekanisme kerja kosurfaktan yaitu dengan menembus ke dalam monolayer surfaktan dan memberika fluiditas tambahan sehingga menghalangi fase kristal cair yang akan terbentuk ketika film surfaktan terlalu kaku (Wankhade dkk., 2010). PEG 400 (polietilen glikol 400) merupakan kosurfaktan terpilih dalam penelitian ini.

Gambar 5. Struktur kimia PEG 400 (Rowe dkk., 2009)

PEG 400 digunakan sebagai kosurfaktan pada formulasi SNEDDS karena memiliki nilai HLB yang tinggi (>10) yaitu sebesar 11,6 sehingga dapat membantu surfaktan dalam meningkatkan pembentukan nanoemulsi secara spontan (Rowe dkk., 2009). Penggunaan PEG 400 dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi obat yang sukar larut dalam air (Rowe dkk., 2006). PEG merupakan salah satu kosurfaktan berupa senyawa amfifilik yang mempunyai afinitas terhadap fase air dan minyak (Makadia dkk., 2103).

5. Simplex Lattice Design (SLD)

Unsur formulasi tergantung pada formula yang dibuat. Formula suatu sediaan mengandung zat aktif dan eksipien. Formula mempunyai persyaratan tertentu dalam membentuk suatu sediaan. Sediaan didesain bergantung pada persyaratan sediaan, formulator, target pasar, fasilitas, dan lain-lain. Persyaratan tersebut saling berpengaruh sehingga perlu dilakukan optimasi formula untuk

(15)

mendapatkan formula dengan persyaratan yang dikehendaki. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah simplex lattice design (SLD).

Metode SLD digunakan untuk menetapkan proporsi relatif bahan-bahan atau variabel yang menghasilkan formula dengan respon atau hasil paling baik yang telah ditentukan. Metode optimasi ini sesuai untuk formula yang komponennya berjumlah konstan, misalnya sediaan cair dengan komposisi 90% air dan 10% zat aktif, pengawet, pewarna,dan lain-lain (Bolton, 1997).

Gambar berupa garis lurus digunakan untuk menyatakan dimensi apabila komponen berjumlah dua (q=2). Keadaan tersebut diperlukan percobaan minimal tiga kali, yaitu percobaan yang menggunakan 100% variabel A, 100% variabel B, dan campuran yang terdiri dari 50% variabel A dan 50% variabel B. Semakin banyak titik yang digunakan untuk menggambarkan kurva SLD, maka hasil dari prediksi yang diperoleh akan semakin aktual dan menggambarkan respon sebenarnya. Persamaan yang digunakan untuk dua komponen adalah sebagai berikut :

Y = a(A) + b(B) + ab(A)(B) Keterangan:

Y = respon (hasil percobaan)

A, B = kadar komponen dimana (A) + (B) = 1

a, b, ab= koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan

(16)

F. Landasan Teori

Penelitian mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai imunomodulator telah banyak dilakukan, misalnya meniran (Phyllanthus niruri L.). Penelitian yang telah dilakukan oleh Zalizar (2013) membuktikan bahwa kandungan flavonoid dalam meniran dapat berkhasiat sebagai imunomodulator khususnya sebagai imunostimulator karena dapat meningkatkan aktivitas dan kapasitas fagositosis.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang mengandung kurkuminoid terutama kurkumin juga merupakan alternatif herbal tradisional yang digunakan sebagai imunomodulator (Sufiriyanto dan Indraji, 2007). Penggunaan kurkumin untuk pengobatan masih terbatas karena masalah kelarutannya yang rendah dalam air, sehingga mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah pula (Anand dkk., 2007).

Kombinasi fraksi etanolik dari ekstrak kering meniran dan temulawak diformulasikan menjadi sediaan emulsi menggunakan metode

Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). Metode ini dipilih karena

sistem dalam SNEDDS yang menggunakan komponen minyak dan surfaktan terbukti dapat meningkatkan bioavailabilitas oral komponen obat yang sukar larut air dengan membentuk dan mempertahankan obat pada keadaan terlarut maupun level molekuler dalam tetesan kecil minyak, hingga keseluruhan perjalanan melalui saluran gastrointestinal (Amrutkar dkk., 2014). Ukuran yang kecil menyebabkan luas permukaan yang bersinggungan dengan lingkungan semakin luas, sehingga dapat meningkatkan kelarutan dari ekstrak dan berakibat pada

(17)

meningkatnya bioavailabilitas. Penelitian mengenai SNEDDS kurkumin yang telah dilakukan sebelumnya oleh Joshi dkk (2013) menunjukkan bahwa kurkumin dalam bentuk emulsi menggunakan metode SNEDDS menghasilkan bioavailabilitas yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efek pada terapi neuropati pada diabetes. Formulasi SNEDDS senyawa kuersetin juga terbukti mampu meningkatkan efek kuersetin sebagai hepatoprotektif pada hewan uji yang diinduksi paracetamol (Ahmed dkk., 2014).

Minyak yang digunakan untuk formulasi SNEDDS ini adalah VCO. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa penggunaan VCO dapat menghasilkan nanoemulsi dengan tampilan yang lebih jernih dibandingkan dengan minyak soya dan minyak jagung dan menghasilkan ukuran droplet kurang dari 500 nm sehingga mampu meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas obat yang bersifat lipofilik (Erawati, 2014; Sanjeewani dan Sakeena, 2013). Suciati dkk (2014) membuat nanoemulsi transdermal menggunakan komposisi VCO, Tween 80, dan PEG 400 menghasilkan diameter globul berukuran 42,7 ± 0,9 nm.

Keberhasilan pembentukan emulsi ditentukan dari nilai transmitan,

emulsification time dalam AGFserta ukuran dan distribusi partikel. Nilai

transmitan yang mendekati 100% menunjukkan emulsi yang terbentuk jernih dan transparan (Bali, dkk., 2010). Ukuran diameter globul emulsi mempunyai nilai di bawah 100nm dan distribusi ukurannya yang sempit menunjukkan keseragaman tetesan nanoemulsi (Doh dkk., 2013).

(18)

G. Hipotesis

1. Kombinasi fraksi etanolik dari ekstrak kering meniran dan temulawak dapat diformulasikan menjadi sediaan SNEDDS

2. Komposisi optimum minyak, surfaktan, dan kosurfaktan dapat menghasilkan emulsi yang jernih, mempunyai ukuran droplet berskala nanometer, teremulsifikasi secara spontan, stabil dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan serta mencapai extract loading yang baik

Gambar

Gambar 1. Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Gambar 2. Rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhixa Roxb.)
Gambar 3. Struktur kurkuminoid (Srivastava dkk., 2011)
Gambar 4. Struktur kimia Tween 80 (Rowe dkk., 2006)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Maka dapat dikatakan Mahkamah Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari suatu Peraturan Daerah terhadap Undang-undang atau peraturan

Karena fungsi utama dari bank adalah sebagai intermediasi (perantara) antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, maka dengan rasioLDR 60% berarti

Kelompok perusahaan yang tergabung ke dalam industri food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dipilih untuk diteliti dengan mempertimbangkan bahwa perusahaan

Buku ini bukanlah kumpulan MANTRA-MANTRA SIHIR untuk mendapat wanita secara instan yang hanya dengan membacanya. Buku ini hadir sebagai panduan Anda dalam mendekati wanita

Landasan Teori dan Program proyek akhir arsitektur ini yang berjudul.. “Galeri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di

Tujuan penelitian yaitu 1)mengetahui sejarah dan karakteristik kearifan lokal masyarakat Kampung naga; 2)memperoleh nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam mata

Pada saat kontrol sebulan setelah rawat inap (umur 8 bulan), anak tidak sesak, oksigen telah dapat dilepaskan, anak sudah tidak muntah, tidak gumoh, anak baru dapat

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, adalah model pembelajaran dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil