• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT A. KEDUDUKAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT A. KEDUDUKAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

A. KEDUDUKAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

Dalam system ketatanegaraan Indonesia, posisi Gubernur menjadi unik dan khas, karena otonomi daerah dan pemilihan langsung di daerah telah menjadikan gubernur sebagai seorang kepala daerah, namun di sisi lain dengan adanya asas dekosentrasi yang dianut oleh Indonesia, maka gubernur pun bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan sebagian pemerintahan di kabupaten dan kota.65

Pelimpahan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap gubernur adalah bentuk nyata dari pelaksanaan asas dekosentrasi di Indonesia.66 Dekosentrasi diberlakukan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan menggunakan asas desentralisasi. Selain itu, sebagai Negara kesatuan memang tidak

65Suryo Sakti Hadiwjoyo, Gubernur, (Jakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 64.

66Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, asas

dekosentrasi diselenggarakan melalui dua cara, yaitu: pertama, pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada perangkat pusat (instansi vertikal) di daerah; kedua, pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

(2)

memunggkinkan jika seluruh wewenang dan urusan pemerintahan didesentralisasikan kepada daerah.67

Dekosentrasi sendiri menurut undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni Dekosentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/ atau kepada Gubernur dan kepada Bupati/Wali Kota sebagai peanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Adapun menurut Mudrajad Kuncoro dekosentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal diluar kantor pusat. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah wewenang administrasi belaka bukan wewenang politis, wewenang politis tetap dipegang oleh pemerintah pusat.68 Sedangkan walfer menjelaskan bahwa dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pada pejabat atau kelompok pejabat yang diangkatoleh pemerintah pusat dalam wilayah administrasi. Sedang Henry Maddick menjelaskan dekosentrasi adalah pelimpahan wewnang untuk melepaskan fungsi-fungsi tertentu kepada pejabat pusat yang berada di luar kantor pusat. Oleh karena itu dekosentrasi hanya mencipatkan local state government atau field administrative/wilayah administrative.69

67Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali

kewenangan absolute dari pemerintah pusat sesuai dengan undang-undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni:1. Bidang politik luar negeri, 2. Pertahanan, 3. Keamanan, 4. Yustisi, 5. Moneter dan Fiskal Nasional, dan 6. Agama.

68Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah (reformasi perencanaan, strategi, dan peluang). Erlangga: Jakarta, 2004, hal 3.

(3)

Sedangkan tentang cirri-ciri dari dekosentrasi, Smith sebagaimana dikutip oleh Hanif Nurcholis menyebutkan sebagai berikut:

1. Pelimpahan wewenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang dirinci dari pemerintah pusat kepada pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah;

2. Penerima wewenang adalah pejabat pemeritah pusat yang ada di daerah; 3. Tidak mencakup kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan wewenang

yang mengatur;

4. Tidak menciptakan otonomi dan daerah otonom tetapi menciptakan wilayah administrative;

5. Keberadaan field administration berada di dalam hirarki organisasi pemerintah pusat;

6. Menunjukan pola hubungan kekuasaan intra organisasi; 7. Menciptakan keseragaman dalam struktur politik.

Dalam dekosentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi saja, sedangkan kebijakan politiknya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu pejabat yang mewakili pemerintah pusat di wilayah kerja masing-masing atau pejabat pusat yang ditempatkan di luar kantor pusat. Pejabat tersebut adalah pejabat pusat yang bekerja di daerah, yang bersangkutan diangkat oelh pemerintah pusat, bukan dipilih oleh rakyat yang dilayani. Oleh karena itu, pejabat tersebut bertanggung jawab pada pejabat yang menganggkatnya.

(4)

Konsekuensinya, pejabat daerah yang dilimpahi wewenang bertindak atas nama pemerintah pusat.70

Adapun jika kita melihat ke dalam peraturan perundang-undangan baik yang masih berlaku atau yang pernah berlaku di Indonesia mengenai keduudukan gubernur sebagai wakil pemeirntah pusat, dapat penulis jabarkan sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah

Di dalam undang-undang pokok pemerintahan daerah ini pengaturan tentang dekosentrasi bisa kita lihat di pasal 1 butir f, dimana yang dimaksud dengan dekosntrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemeirntah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Adapun di dalam penjelasan undang-undang pokok-pokok pemerintahan di daerah ini, di angka ketiga tentang asas-asas penyelenggaraan pemerintahan, di huruf c yang dikatakan asas dekosentrasi diadakan oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh pemeirntah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsure pelaksananya adalah terutama instansi-instansi Vertikal, yang dikordinasikan oleh Kepala Daerah dalam

(5)

kedudukannya selaku perangkat pemerintah pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekosentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan pemerintah pusat.

Adapun sesuai dengan yang dikatakan oleh penjelasan dari undang-undnag tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah ini jabatan seorang kepala daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang Kepala Daerah; dalam pengangkatan seorang kepala daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai Kepala Wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercaya sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. Dan sebagai Kepala Daerah Otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.

Dari fungsi seorang Gubernur sebagai seorang Kepala Wilayah did aerah Provinsi lah yang menjadikan seorang Gubernur menjadi wakil dari pemerintah pusat di daerah. Adapun di dalam penjelasan di undang-undang pokok-pokok pemerintahan di daerah di bagian pengawasan umum dikatakan pengawasan umum terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerahnya.

(6)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undang pemerintahan daerah tahun 1999, adpaun kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat kita lihat di pasal 1 huruf f, yang merupakan penjelasan dari pengertian dekosentrasi yang berbunyi “dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.

Dan dapat kita lihat juga di dalam isi dari undang-undang pemerintahan daerah ini, dalam beberapa pasal diatur tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, sebagai berikut:

PASAL 31

(1) Kepala, Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil pemerintah.

(4) Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, gubernur berada dan dibwah tanggung jawab gubernur.

PASAL 9

(2) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Adiministrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.

(7)

Dari beberapa pasal di atas dapat kita lihat secara jelas dari kedudukan seorang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang mana di masa tersebut wilayah propinsi dikatakan sebagai wilayah administrative.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menurut undang-undang nomor 32 tahun 2044 tentang pemerintahan daerah dapatlah kita lihat dari substansi yang terkandung di dalam undang-undang ini sendiri, yang mana diawali dari pengertian dekosentrasi itu sendiri yang terdapat pada Pasal satu butir ke delapan, yang mana berbunyi sebagai berikut:

“Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi wilayah vertical tertentu”.

Berangkat dari pasal satutersebut telah sangat jelas kedudukan dari Gubernur yang bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat. Namun bukan hanya pasal satu aja yang mengatur mengenai kedudukan dari GUbernur sebagai wakil pemeirntah pusat melainkan juga terdapat di dalam beberapa pasal yang terdapat dalam paragraph keenam dari undang-undang pemerintahan daerah ini, adapun pasal-pasal yang mengatur mengenai kedudukan gubernur sebagai wakil peemrintah pusta sebagai berikut:

(8)

PASAL 37

(1) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan;

(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab terhadap Presiden.

Dari substansi undang-undang pemerintahan daerah ini sendiri secara jelas sudah meneyebutkan kedudukan gubernur sebagai wakil pemeirntah pusat, yang mana dengan jabatannya sebagai gubernur secara langsung atau melekat menjadi wakil pemerintah pusta yang bertanggung jawab terhadap presiden berbeda ketika gubernur sebagai kepala daerah yang mana pertanggung jawabannya kepada rakyat daerah yang dipimpinnya dan diwakilkan melalui dewan perwakilan rakyat daerah provinsi sang gubernur memimpin.

4. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undang ini adapun yang dimaksud dengan dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

(9)

Di dalam paragraf ketujuh undang-undnag pemeirntahan daerah ini tentang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, dikatakan di dalam pasal Sembilan puluh satu yang mana berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91

(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Dari kedua pasal yang telah penulis sebutkan sudah sangat jelas atau gambling kedudukan dari seorang gubernur di dalam undang-undang ini sebagai wakil pemerintahh pusat yang mana merupakan bentuk pengaplikasian asas dekosentrasi di Indonesia.

B. RUANG LINGKUP GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMEIRNTAH PUSAT

Sebelum kita berbicara ruang lingkup dari seorang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan ruang lingkup itu sendiri, definisi dari “ruang lingkup adalah suatu batasan yang memudahkan dilaksanakannya penelitian agar lebih efektif dan efisien untuk memisahkan aspek tertentu sebuah objek”.71

(10)

Adapun ketika kita berbicara tentang ruang lingkup dari seorang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, berarti kita berbicara mengenai batasan-batasan dari kegiatan-kegiatan gubernur sebgaai wakil pemerintah pusat yang dapat dia laksanakan maupun yang bukan wewenang dia untuk menjalankan perannya sebagai wakil dari pemerintah pusat. Jika kita ingin melihat ruang lingkup dari seorang gubernur maka kita dapat melihatnya di dalam tugas dan kewenangan dari seorang gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat, penulis mencoba menjabarkan apa saja ruang lingkup seorang gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang ada, sebagai berikut:

1. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah

Ketika kita berbicara undang-undnag pokok-pokok pemeirntahan di daerah maka kita harus kembali mengingat bagaimana kondisi pemerintahan di masa tersebut dimana masih terlalu kuatnya kekuatan pihak eksekutif di pusat, maka dari itu penulis akan mencoba menyebutkan ruang lingkup seorang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat pada masa tersebut melalui kewenangan-kewenangan yang dimilikinya sebagai wakil pemerintah pusat sebagai berikut:

(11)

(2) Perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang terletak dalam Daerah Tingkat I yang sama, diselesaikan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 70

(1) Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menjalankan haknya untuk menangguhkan atau membatalkan Peraturan Daerah Tingkat II dan atau Keputusan Daerah Tingkat II sesuai dengan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka penangguhannya dan atau pembatalannya dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 71

(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan daerah;

(2) Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala hal mengenai pekerjaan Pemerintahan Daerah, baik mengenai urusan rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan;

(12)

(3) Ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi Gubernur Kepala Daerah terhadap Pemerintahan Daerah Tingkat II.

Pasal 81

Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah:

(a) Membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah;

(b) Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang ideologi, Negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah;

(c) Menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan instansi-instansi vertikal dan antara instansi-instansi Vertikal dan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai daya guna dan hasi guna sebesar-besarnya;

(d) Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

(e) Mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah dijalankan oleh instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang

(13)

dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan;

(f) Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya; (g) Melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam

tugas sesuatu instansi lainnya.

Dari pasal-pasal di atas sudah sangat jelas ruang lingkup dari seorang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, adapun jika kita urut dari pasal-pasal tersebut wewenang dari gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dapat kita simpulak wewenang dari gubernur sebaga berikut:

1. Pasal 66, Gubernur berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara Kepala Daerah Tingkat II yang berada di wilayah kekuasannya;

2. Pasal 70, Gubernur berwenang menangguhkan dan membatalkan peraturan daerah yang berada di Daerah Tingkat II, jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang lebih tinggi darinya;

3. Pasal 71, Gubernur berwenang mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala hal mengenai pekerjaan Pemerintahan Daerah Tingkat II.

4. Pasal 81, merupakan segala hak-hak kewenangan Gubernur sebagai Kepala Wilayah sebagai pelaksana asas dekosentrasi di daerah.

(14)

2. Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Pasca reformasi ruang lingkup Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat banyaklah berkurang, hal ini juga dikarenakan tuntutan reformasi yang meninginkan kewenangan daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri lebih besar hal ini dapat kita lihat dari pasal-pasal di dalam undang-undang ini yang mengatur mengenai kedudukan Gubernur sebagai wakil pemrintah pusat, tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur mengenai kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang mana hal ini merupakan dampak atas tuntutan dari kejadian reformasi yang terjadi di tahun 1998, walaupun di dalam pasal 1 huruf f dikatakan gubernur menerima pelimpahan wewenang atas diterapkannya asas dekosentrasi, namun kenyataanya pada isi undang-undnag ini tidak kita ketemukan tentang pengaturan ruang lingkup atau wewenang gubernur sebagai wakil pemeirntah pusat.

Adapun untuk ruang lingkup atau wewenang dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat kita lihat di Penjelasan Pasal 8 undang-undnag nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah ini, yang mana berbunyi sebagai berikut:

“Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan atau Dilimpahkan kepada Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan, perijinan,

(15)

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang sesuai standar, norma, dan kebijakan pemerintah”.

Dari bunyi penjelasan pasal 8 diatas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa Gubernur sebagai Wakil Pemrintah Pusat terdapat lima kewenangan utama yakni sebagai berikut:

1. Melakukan pengelolaan Pembiayaan; 2. Melakukan Pengelolaan Perijinan; 3. Melakukan Pengelolaan Perencanaan; 4. Melakukan Pengelolaan Pelaksnaan; dan 5. Melakukan Evaluasi.

3. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undnag ini ruang lingskup seoarang Gubernur sebagai Wakil dari Pemerintah Pusat di daerah, sudahlah sangat diatur dengan jelas dimana terdapat paragraf keenam tentang tugas Gubernur sebagai Wakil Pemeirntah yang mana terdiri daru dua pasal yakni, sebagai berikut:

Pasal 37

(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah propinsi yang bersangkutan;

(16)

(2) Dalam kedudukannya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 38

(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang.

a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah propinsi dan kabupaten/kota;

c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN;

(3) Kedukukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah;

(4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam peraturan pemerintah.

`

Dari dua pasal diatas dapatlah kita cermati bersama dimana ruang lingkup Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di dalam undang-undang pemerintahan daerah ini, memiliki tiga wewenang yang melakat pada dirinya sebagai seorang perwakilan pemerintah pusat di daerah

(17)

sebagaimana yang telah disebutkan di dalam pasal 38 ayat (1) undang-undnag nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

4. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undnag pemerinthan daerah tahun 2014 ini ruang lingkup seorang gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat mengalami penambahan yang cukup signifikan ketimbang ruang lingkup gubernur sebagai wakil pemerintah pusta di undang-undang yang mengatur tentang hal yang sama sebelumnya. Adapun pengaturan tentang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di dalam undang-undnang ini diatur di dalam paragraf tujuh yang terdiri dari tiga pasal, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91

(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah Kabupaten/Kota, Presiden dibantu oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat;

(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) gubernur sebagi wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:

(18)

a. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota;

b. Melakukan Monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;

c. Memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya;

d. Melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;

e. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang: a. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali

kota;

b. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah;

c. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah Provinsi;

(19)

d. Memberikan persetujuan terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan susunan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota; dan

e. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas dan wewenang:

a. Menyelaraskan perencanaan pembangunan antar Daerah Kabupaten/Kota dan antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya;

b. Mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dan antar-Daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya;

c. Melantik Bupati/Wali Kota;

d. Memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolute dan pemebentukan Instansi Vertikal oleh Kementrian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(20)

e. Melantik Kepala Instansi Vertikal dari kementrian dan lembaga pemerintah nonkementrian yang ditugaskan di wilayah Daerah Provinsi yang bersangkutan kecuali untuk Kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolute dan Kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementrian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; dan

f. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (4) dibebankan pada APBN;

(6) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan kepada penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

(7) Tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat didelegasikan kepada wakil gubernur;

(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang serta hak keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat diatur dengan peraturan pemerintah.

(21)

Pasal 92

Dalm hal Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak melaksanakan tugas dan wewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), menteri mengambil alih pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernru sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Dari kedua pasal diats dapat kita tarik kesimpulan bahwa ruang lingkup Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat terdapat pada beberapa hal seperti yang tertuang di dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan Pasal 91 ayat (4).

(22)

BAB IV

HUBUNGAN GUBERNUR TERHADAP BUPATI/WALI KOTA DALAM PERBANDINGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. PERSPEKTIF TEORI HUBUNGAN KEKUASAAN PEMERINTAH

Pemerintahan yang terdesentralisasi sebenarnya merupakan organisasi yang semi independen. Artinya, organisasi pemerintahan tersebut memiliki kebebasan (terbatas) bertindak tanpa mengacu pada persetujuan pusat, tetapi statusnya tidak dapat dibandingkan dengan Negara berdaulat.72 Persoalannya tidak sederhana ketika unit-unit pemerintahan yang terdesentralisasi harus dibatasi kewenangan dan diatur hubungan kelembagaannya satu dengan yang lain. Setiap Negara pasti mengalami ketegangan bahkan konflik antarunit atau tingkat pemerintahan sebagai akibat dari penataan kelembagaan yang tidak tepat.

Konsep hubungan antar tingkat pemerintahan berbeda di setiap Negara. Jenis dan besaran kewenangan yang dimiliki oleh setiap tingkatan pemerintahan serta tingkatan pemerintahan serta mekanisme hubungan kelembagaan antar tingkat pemerintahan tidak hanya didasarkan pada bentuk pemerintahan federal atau kesatuan. Derajat otonomi, baik untuk tingkat

72Rhodes, “The Institutional Approach,” dalam David Marsh dan Gery Stoker, Theory and Methods in Political Science, (London: Macmilan Press, 1995) , dikutip dari Mardyanto Wahyu

(23)

state(Negara bagian) maupun provinsi dan pemerintahan lokal dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan Negara yang bersangkutan.

Di Negara seperti Amerika dan Kanada yang menganut system federal, Negara bagian ditempatkan sebagai daerah otonom yang memiliki otoritas dominan untuk mengatur pemerintahan lokal (municipal, county, city, dan sebagainya). Pemerintahan lokal merupakan kepanjangan dari pemerintahan Negara bagian sehingga model ini disebut oleh Shah sebagai dual federalism. Pemerintahan-pemerintahan lokal hanya melaksanakan kekuasaan yang secara explicit diserahkan oleh Negara bagian.73 Dengan kata lain, Negara bagian memiliki kewenangan untuk umenentukan jumlah dan jenis otoritas yang dijalankan oleh pemerintahan dibawahannya. Karena perlakuan setiap Negara bagian terhadap pemerintah lokal mereka berbeda, otoritas yang dimiliki oleh setiap pemerintahan sangat variatif.

Model hubungan antara negara bagian dan pemerintah lokal di Brazil tidak sama dengan model yang dianut oleh Kanada dan Amerika. Di Brazil, hubungan antar tingkat pemerintahan (terutama negara bagian dengan pemerintahan lokal) merupakan mitra yang sejajar sehingga disebut dengan cooperative federalisme. Model ini berbeda dengan swiss dimana pemerintahan lokal merupakan sumber utama kedaulatan dan meiliki signifikasi konstitusi yang lebih besar dibanding pemerintah federal. Menurut Shah, derajat pengawasan yang bervariasi terhadap penyediaan pelayanan

73Ann O’M. Bowman dan Richard C. Kearney, State and Local Government: The Esentials, Second Edition, (Boston, Ney York: Houghton Mifflin Company, 2003), hlm 230, dikutip dari Mardyanto

Wahyu Tryatmoko, Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2013.

(24)

public di tingkat lokal di negara-negara federal tergantung pada status legal dan konstitusional pemerintahan lokal ditempatkan.74

Di Amerika, meskipun devolusi juga berlaku dalam hubungan negara bagian dengan pemerintahan lokal, konflik diantara mereka juga kadang kala muncul karena persoalan anggaran. Ini terjadi karena pemerintahan lokal sangat tergantung pada negarabagain dalam hal keuangan. Meskipun demikian, kepatuahn wali kota (pemerintahan lokal) terhadap gubernur (state) relative terjaga karena selain otoritas negara lebih didominasi negara bagian, eksistensi pemerintah lokal sebagai subordinat masih sangat tergantung pada negara bagian, termasuk dalam hal keuangan. Konflik juga terjadi antara gubernur dengan pemerintah federal. Persoalannya juga sama, yaitu beban kegiatan yang dlimpahkan ke negara bagian terkadang tidak disertai pendanaan.

Model hubungan antar tingkat pemerintahan di negara-negara kestuan (unitary) tampak jelas terlihat dalam pembagian kewenangan di setiap tingkat pemerintahan, disertai dengan pengewasan yang berjenjang. Pada umumnya, pemerintahan subnasional bertindak atas nama pemerintah pusat. Kewenangan provinsi tidak lebih banyak/strategis dari kewenangan nasional ataupun pemerintahan lokal (kabupaten/kota), sebagaimana terlihat dalam posisi negara bagian di negara federal pada umumnya. Paling tidak ada tiga ciri hubungan antar tingkat pemeritahan di negara-negara kesatuan. Pertama, pengembangan

74Anwar Shah dan Sana Shah, “The New Vision Of Local Governance and the Evolving Roles of

Local Governments”, dalam Anwar Shah (Ed), Local Governance in Developing Countries, (Washington: The World Bank, 2006), dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi

Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan

(25)

kebijakan dan standar pelayanan ditentukan oleh pemerintah di tingkat nasional. Kedua, pengawasan implementasi dialakukan oleh negara bagian atau tingkat provinsi. Ketiga, pelayanan publik langsung dilakukan oleh pmerintah lokal.75

Jika pemerintah provinsi difungsikan sebgai kepanjangan tangan dari pemerintahan nasional, paling tidak terdapat tigal hal pokok yang menajdi tujuannya. Pertama, adalah kontrol politik. Kedua adalah regulasi ekonomi. Ketiga berkaitan dengan perhatian pada detail adminsitrasi pelayanan publik.

Persoalannya, otonomi poitik (misalnya dalam pemilihan politisi lokal) yang diberikan pada provinsi dan kabupaten/kota seringkali dicampuradukkan dengan persoalan admisnistrasi. Proses-proses administrasi tidak memakai proses-proses birokratik rasional, tetapi sering diintervensi oleh kepentingan politik gubernur yang lebih banyak bersifat subjektif. Sebagai dampaknya, desentralisasi administratif (birokratik) yang didalamnya termuat pembinaan, pengawasan, dan koordinasi berjenjang menjadi tidak berjalan karena prosedur politik (atas nama demokrasi) yang tidak sesuai telah merusak tatanan itu.76

Berbicara soal peran ganda gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan entitas di daerah hal ini tidak terlepas dari pengaturan fungsi dekosentrasi dan desentralisasi. Kedua konsep ini hampir tidak dapat dibedakan hingga sangat banyak sekali variasi definisi dari keduanya. Chemma dan Rondinelli,

75Anwar Shah, ibid.

76Eva Etziony-Halevy, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma, (London, Boston,

Melbourne and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1983), dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2013.

(26)

misalnya menjelaskan bahwa dekosentrasi adalah bagian dari system desentralisasi.77 Menurut Mawhood, secara konseptual desentralisasi dan dekontrasi merupakan system yang jelas perbedaanya.78 Tabel dibawah ini akan memberikan gambaran tentang perbedaan dekosentrasi dan desentralisasi.

Kaitan Definisi Dekosentrasi Desentralisasi

Prinsip Pengorganisasian Bureaucratic decentralization Democratic decentralization Administrative decentralized Political decentralized Struktur dimana prinsip mendominasi

Field Administration Local Government

Regional Administration Local Self-Government

Praktik

Prefectoral administration Municipal administration

77Menurut beberapa penulis di dalam buku yang diedit oleh Cheena dan Rondinelli, terdapat

empat bentuk desentralisasi, yaitu dekosntrasi, delegasi kepada agen-agen semi otonom dan parastatal, devolusi kepada pemerintahan lokal, dan transfer fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga publik kepada non-pemerintah. G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Eds.),

Decentralization and Development: Policy Implementationin Developing Countries, (Beverly Hills,

London, New Delhi, Sage Publications, 1983) dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi

Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia, 2013.

78Philiph Mawhood, “Decentralization: the concept and the practice,” dalam Philiph Mawhood

(Ed), Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Afrika, (Chicester, New York, Brisbane, Toronto, and Singapore: John Wiley & Sons, 1983) , dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2013.

(27)

Delegation of powers Devolution of powers

Jika dicermati lebih mendalam, perbedaan antara desentralisasi dan deksoentrasi terletak pada penekanan politik dan administrasi. Persoalan politik menyangkut sumber, penggunaan dan akuntablitas kekuasaan, sedangkan persoalan administrasi lebih kepada mekanisme distribusi atau pembagian kewenangan (urusan). Politik di dalam desentralisasi bermakana pembagian sebagian kekuasaan pemerintahan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa di tingkat pusta kepada kelompok-kelompok lain di tingkat lokal. Setiap kelompok memiliki ototritas yang relative otonom, tidak terikat dengan kepentingan pusat. Di tingkat lokal, kekuasaan (politik) digunakan untuk penguasa perwakilan (birokrat dan politisi) untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan publik. Akuntabilitas penggunaan kekuasaan di tingkat lokal tentu saja ditujukan lebih kepada kepentingan-kepentingan lokal daripada kepentingan-kepentingan pusat.

Meskipun desentralisasi sangat popular dipakai oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas pemerintahan, dan demokratisasi, di beberapa kasus desentralisasi dipakai hanya sebagai aksesoris. Di banyak kasus, desentralisasi tidak diadopsi untuk merespon tekanan dari bawah, melainkan tetapi hanya sebagai saluran ide/kepentingan pemerintah nasional. Dalam konteks ini, desentralisasi hanya

(28)

dipakai oleh para politisi untuk mendapatkan atau memeprtahankan kekuasaan.79

Politik di dalam dekosntrasisasi dimaknai dalam konteks pembagian kekuasaan di antara sesame kelompok-kelompok yang berkuasa di area yang berbeda. Struktur politik pada dasarnya mewakili kepentingan-kepentingan penguasa pusat dan tergantung pada dukungan mereka. Pengguna kekuasaan yang melaksanakan pembuatan kebijakan-kebijakan formal adalah perangkat pemerintahan yang ditunjuk secara terpusat.

Di dalam praktiknya kekacauan pemerintahan dapat terjadi dari persoalan kekaburan pemakaian system dekosentrasi dan desentralisasi. Menurut Mawhood, power sharing di dalam pemerintahan sangat kompleks dan terdiri atas lembaga dan struktur yang tidak sederhana. Kompleksitas ini terkadang mengaburkan, baik praktik desentralisasi dan dekosentrasi. Terkadang praktik system dekosentrasi dirancang dan dieri label desentraslisasi. Demikian juga, struktur desentralisasi seringkali dikikis secara perlahan dengan menerapkan lebih banyak control selain membatasi penggunaan sumber daya lokal. Kekaburan atau kebingungan penggunaan system dekosentrasi dan desentralisasi ini merupakan persoalan klasik di banyak negara.

Terlepas dari kekaburan penggunaan system dekosentrasi dan desentralisasi, Fumihiko Saito mengingatkan bahwa bentuk-bentuk desentralisasi yang bervariasi dapat dilihat sebagai mekanisme untuk

79Kathleen O’Neil, Decentralizing The State: Elections, Parties, and Local Power in The Andes,

(New York: Cambridge University Press, 2005) dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi

Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan

(29)

menyesuaikan hubungan-hubungan antar pemerintahan yang ada. Focus perhatiannya adalah melakukan redefinisi peran dan pertanggung jawaban setiap tingkat pemerintah terkait hubungannya dengan tingkat pemerintahan lainnya. Ada dua hal pokok dalam melihat persoalan desentralisasi dari hubungan antar pemerintahan. Pertama adalah bagaimana membagi habis fungsi-fungsi yang diperlukan antara pemerintah pusat dan lokal: fungsi-fungsi apa yang seharusnya dibebankan pada tingkatan struktur administrasi yang mana. Kedua adalah persoalan koordinasi untuk mengharmonisasi pelaksaanaan fungsi-fungsi yang terbagi di setiap tingkat pemerintahan.80

Perdebatan mengenai desentralisasi dan dekosentrasi menjadi tidak begitu penting ketika setiap tingkat pemerintahan diberi kebebasan otonomi, tetapi sekaligus mendapat kewajiban untuk mempertahankan kesatuan bangsa. Tantangan bagi suatu unit pemerintah dalam melakukan peran/fungsi ganda ini tidak lagi terletak pada struktur pemerintahan yang hierarki, dimana tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dapat melakukan perintah dan kontrol. Saat ini struktur pemerintahan di daerah lebih banyak berbentuk horizontal karena sama-sama memiliki otonomi, dengan pendekatan konsultais untuk mendapatkan solusi.

80Fumihiko Saito, “Decentralization and Local Governance: Introductin and Overview.” Dalam

Fumihiko Saito (Ed.), Foundation for Local Governance: Decentralization In Comperative

Perspective, (Heidelberg: Physica-Verlag, 2008),dikutip dari Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota, Vol. 3 No. 2, Lembaga Ilmu Pengetahuan

(30)

B. FORMAT HUBUNGAN GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALI KOTA DI TINJAU DARI KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota,sangatlah perlu kita pahami dimana dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil pemerinthan pusat seorang gubernur haruslah didukung dengan terdapatanya format hubungan antara dirinya dengan bupati/wali kota yang mana bertujuan agar koordinasi antara gubernur dan bupati/wali kota dapat berjalan dengan baik, yang mana hal ini tentu saja akan mendukung proses pembangunan di daerah itu sendiri.

Adapun ketika kita ingin melihat format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota dapatlah kita lihat di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mana hal ini terdapat di dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di Daerah

Format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota di masa ketentuan undang-undang pokok pemerintahan di daerah ini, dapat kita pahami terlebih dahulu yakni seorang kepala daerah pada masa undang-undnag ini berlaku memegang dua jabatan sekaligus yakni sebagai seorang Kepala Daerah baik tingkat I maupun Kepala Daerah Tingkat II, dan jabatan satunya lagi ialah sebagai seorang Kepala

(31)

Wilayah hal ini seperti yang tercantum di dalam pasal 79, yang mana berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79

(1) Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi atau Ibu Kota Negara;

(2) Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya;

(3) Ketentuan tentang pengangkatan dan pemeberhentian Kepala Wilayah Kota Administratif dan Kepala Wilayah Kecamatan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Hal ini penulis kemukakan agar tidak terjadi kekeliruan, dikarenakan format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota di dalam undang-undang pemerintahan di daerah ini, adalah sebagai seorang gubernur yang merupakan kepala wilayah bukan sebagi kepala daerah tingkat I dan juga sebagai bupati/wali kota bukan sebagai kepala daerah tingkat II, hal ini sebagaimana bunyi dari pasal 78, sebagai berikut:

Pasal 78

Dalam menjalankan tugasnya, kepala wilayah:

a. Kecamatan bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya atau Kota Administratif yang bersangkutan;

(32)

b. Kota Administratif bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten yang bersangkutan;

c. Kabupaten atau Kotamadya bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Propinsi yang bersangkutan;

d. Propinsi atau Ibu Kota Negara bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Dari bunyi diatas dapat kita cermatin bahwa format hubungan antar gubernur dengan bupati/wali kota adalah dalam bentuk hierarki atau berjenjang dari atas ke bawah, hal ini dari point c pasal 78 diatas dimana kabupaten/kotamadya bertanggung jawab kepada gubernur. Adapun jika digambarkan dalam bentuk skema format hubungan gubernur dengan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah, seperti gambar di bawah ini.

Bagan 1 Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota menurut Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah

Presiden

Menteri Dalam Negeri Gubernur

(33)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undang ini kedudukan dari masing-masing pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota berdiri sendiri hal ini sesuai dengan ketentuan dari pasal 4 yang mana sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakata;

(2) Daerah-daerah sebagaimana pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.

Ketentuan pasal empat ini tentu saja sangat mempengaruhi format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota, yang mana pada aturan sebelumnya diantar gubernur dengan bupati/wali kota terdapat hubungan hirarki dimana bupati/wali kota merupakan bawahan dari seorang gubernur di wilayahnya. Adapun dalam hal hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota di dalam undang-undang ini di jelaskan di dalam pasal 4 ayat (2) penjelasan dari undang-undang

(34)

nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang mana berbunyi sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain adalah Bahwa Daerah, Propinsi tidak membawakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek. Penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi , kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengwasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota”.

Dari ketentuan penjelasan pasal 4 ayat (2) undang-undnag nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, sangatlah membantu untuk kita memahami format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota, dimana dikatakan terdapat dua format hubungan yakni, pertama format hubungan sebagai daerah otonom, dan kedua format hubungan sebagai wilayah administrasi. Adapun jika digambarkan dalam bentuk skema seperti gambar di bawah berikut:

(35)

Bagan 2 Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota dalam hal sebagai Daerah Otonom, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Bagan 3 Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota dalam hal sebagai wilayah administrasi, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur) Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati) Pemerintah Daerah Kota (Wali Kota) Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur)

Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati)

Pemerintah Daerah Kota (Wali Kota)

(36)

3. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam undang-undang ini adapun mengenai hubungan antara pemerintahan daerah disebutkan dengan jelas bahwa setiap daerah otonom memiliki hubungan, hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 2 ayat (4), yang berbunyi sebagai berikut:

“Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dan dengan pemerintahan daerah lainnya.”

Dari ketentuan di atas sudah sangat jelas telah menyebutkan bahwa antara masing-masing pemerintahan daerah memiliki hubungan baik antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, maupun antara pemerintah kabupaten dengan kota. Namun ketentuan di atas tidak ada memberitahukan mengenai format dari hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota, adapun di dalam undang-undang ini tidaklah terdapatnya ketentuan yang menjelaskan secara jelas tentang format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota. Maka dari itu untuk mengetahui format hubungan tersebut kita harus memahami secara keseluruhan dari undang-undang ini, hal yang paling mendasar yang dapat membantu kita memahami format

(37)

hubungan tersebut terdapat di dalam pasal 20 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20 ayat (2)

“Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dari ketentuan diatas bahwa Pemeirntah sendiri yang mana merupakan pemerintah pusat, menggukan tiga prinsip dasar dalam penyelennggaraan pemerintah yakni desentralisasi, tugas pembantuan dan dekosentrasi. Adapun untuk pemerintah daerah sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam pasal 20 ayat (3) yang mana berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20 ayat (3)

“Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Dari beberapa ketentuan diatas dapatlah disimpulkan bahwa hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota tidaklah terdapat hubungan secara hirarki melainkan hanyalah sebatas hubungan sebatas koordinasi, adapun hal-hal yang harus dikordinaskan di dalam bidang-bidang tertentu, yang seperti hubungan wewenang, hubungan keuangan, hubungan pelayanan umum, hubungan pemanfaatan sumber

(38)

daya alam, dan hubungan sumber daya lainnya. Adapun jika dgambarkan dalam bentu sketsa hubungan gubernur dengan bupati/wali kota, seperti gambar dibawah berikut:

Bagan 4: Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota meneurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pmerintahan Daerah

4. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Didalam undang-undang ini dalam hal format hubungan anatara gubernur dengan bupati/wali kota mengalami sedikit perubahan dari pada peraturan sebelumnya, dimana wilayah daerah sendiri mengalami sedikit perubahan makna dari pada yang dikatakan oleh undang-undang sebelumnya. Yang mana di dalam undang-undang-undang-undang ini

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur) Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati) Pemerintah Daerah Kota (Kota)

(39)

dikatakan di dalam pasal 4 sebagai berikut yang dimaksud dengan daerah adalah sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Daerah Provinsi selain berstatus sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan wilayah kerja bagi Gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah Provinsi;

(2) Daerah Kabupaten/Kota selain berstatus sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Adminisratif yang menjadi wilayah kerja bagi Bupati/Wali Kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah Kabupaten/Kota.

Dari ketentuan pasal 4 diatas dapat kita pahami bahwa daerah sendiri memiliki dua fungsi yakni pertama sebagai daerah otonom dan daerah sebagai wilayah administratif, hal ini tentu saja juga akan mempengaruhi kedudukan dari masing-masing kepala daerah di wilayahnya, dan juga akan mempengaruhi hubungan dari gubernur dengan bupati/wali kota. Adapun kalau berbicara mengenai format hubungan anatara gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang ini, maka terdapat dua format yakni pertama, format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota sebagai daerah otonomi dan kedua,

(40)

format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota sebagai wilayah administratif. Adapun yang menjadi dasar untuk keduanya adalah sebagai berikut:

1. Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota sebagai wilayah administratif

Pasal 91

(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah Kabupaten/Kota, Presiden dibantu oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat;

(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) gubernur sebagi wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:

a. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota;

b. Melakukan Monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;

c. Memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya;

(41)

d. Melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;

e. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang: a. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Wali

kota;

b. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah;

c. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah Provinsi;

d. Memberikan persetujuan terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan susunan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota; dan

e. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(42)

(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas dan wewenang:

a. Menyelaraskan perencanaan pembangunan antar Daerah Kabupaten/Kota dan antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya;

b. Mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dan antar-Daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya;

c. Melantik Bupati/Wali Kota;

d. Memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolute dan pemebentukan Instansi Vertikal oleh Kementrian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. Melantik Kepala Instansi Vertikal dari kementrian dan lembaga pemerintah nonkementrian yang ditugaskan di wilayah Daerah Provinsi yang bersangkutan kecuali untuk Kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolute dan Kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementrian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; dan

(43)

f. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (4) dibebankan pada APBN;

(6) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan kepada penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

(7) Tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat didelegasikan kepada wakil gubernur;

(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang serta hak keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat diatur dengan peraturan pemerintah.

Adapun jika digambarkan dalam bentuk gambar format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang ini adalah seperti gambar dibawah ini:

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur)

Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati)

Pemerintah Daerah Kota (Wali Kota)

(44)

2. Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota Sebagai Daerah Otonomi.

Pasal 3

(1) Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah.

(2) Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan diatas setiap daerah memiliki pemerintahan daerah masing-masing, dimana di dalam pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan, adalah sebagai berikut:

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Adapun format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota sebagai daerah otonomi menurut undang-undang nomor 23 tahun 2014

(45)

tentang pemerintahan daerah, jika dibuat dalam bentuk sketsa adalah seperti gambar dibawah ini:

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Propinsi (Gubernur) Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati) Pemerintah Daerah Kota (Wali Kota)

(46)

C. Kelebihan dan Kekurangan Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota Menurut Ketentuan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah

Setiap dilakukannya penggantian peraturan untuk hal yang sama sudah pastilah bertjuan untuk memperbaiki peraturan yang sebelumnya yang mungkin sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada maupun karena terdapatnya ketentuan-ketentuan di dalam peraturan tersebut yang menimbulkan gejolak di masyarakat karena ketentuan-ketentuan tersebut. Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan daerah, dimana dari kurun waktu 1974 sampai dengan 2014 total telah dilakukan perubahan sebanyak empat kali yang mana sudah barang pasti untuk mengikuti perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan masyrakat atas pemerintahan daerah.

Dengan dilakukannya perubahan-perubahan tersebut terhadap undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, berimbas juga terhadap format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota di Indonesia sendiri. Tentu setiap format hubungan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pengaturannya ataupun dalam pelaksanaannya, di bagian ini penulis akan menjabarkan mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota berdasarkan isi dari ketentuan yang mengatur

(47)

masing-masing format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota adalah sebagai berikut:

1. Kelebihan dan Kekurangan Format Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.

Di undang-undnag pokok-pokok pemerintahan di daerah ini format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota nya adalah masing berbentuk hirarki dimana gubernur yang merupakan kepala daerah tingkat I berkedudukan di atas dari Bupati dan Wali Kota yang merupakan kepada Daerah Tingkat II. Adapun dari format hubungan yang berbentuk hirarki antara gubernur dengan bupati/wali kota tentu menimbulkan kelebihan dan kekurangan dalam hal pelaksanaannya di lapangan pemerintahan daerah.

Kelebihan dari format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota yang berbentuk hirarki ini adalalah koordinasi antara gubernur dengan bupati/wali kota berjalan dengan sangat baik dikarenakan seorang gubernur merupakan atasan dari seorang bupati dan wali kota, yang mana setiap instruksi dari gubernur yang diberikan terhadap bupati/wali kota akan dilaksanakan tanpa adanya pembangkangan atau penolakan atas instruksi tersebut, namun walaupun begitu gubernur memiliki batasan-batasan terhadap pemberian instruksi tersebut dimana instruksi-instruksi tersebut diberikan demi berjalannya urusan pemerintahan umum.

(48)

Adapun kekurangan dari format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota dengan bentuk hirarki yang terdapat di dalam undang-undang nomor 5 tahun 1974, membuat kreatifitas dari seorang bupati dan wali kota menjadi tidak dapat tersalurkan, dengan posisi gubernur yang sebagai atasan dari bupati/wali kota hal ini telah menjadikan gubernur dapat bertindak sesuai kehendaknya terhadap kabupaten maupun kota yang dipimpin oleh seorang bupati dan wali kota, walaupun terdapat batasan dalam penggunaan hak dan wewenang gubernur sebagai atasan dari bupati dan wali kota. Namun tetap saja hal ini membuat seorang bupati yang memimipin kabupaten dan wali kota yang memimpin kota menjadi seorang kepala daerah yang tidka dapat bertindak secara bebas demi memajukan daerah yang dipimpinnya, karena bisa saja program yang diinginkan seorang bupati/wali kota tersebut di wilayahnya bertolak atau tidak sejalan dengan program gubernur, dan sudah barang tentu ketika program tersebut tidak sejalan dengan program gubernur, program tersebut tidak akan disetujui oleh seorang gubernur, yang memiliki hak untuk meninjau RAPBD daerah kabupaten dan daerah kota.

(49)

2. Kelebihan Dan Kekurangan Format Hubungan Gubernur Dengan Bupati/Wali Kota Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Di dalam undang-undang ini format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota terdapat dua format yakni pertama format hubungan sebagai daerah otonom dan kedua format hubungan sebagai wilayah administratif, hal ini tentu saja sangat berbeda jauh dari ketentuan sebelumnya yang hanya mengenal satu format hubungan. Adapun dibuatnya dua format ini diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat pada masa itu yang merupakan saat-saat pasca reformasi yang mengingkan kekuasaan daerah diperluas dan diperkuat. Tentu saja dengan adanya dua format ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Adapun yang menjadi kelebihan dari format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang ini adalah tidak terjadinya lagi gubernur yang dapat memberikan isntruksi kepada bupati dan wali kota dan harus dilaksanakan oleh keduanya yang pada aturan sebelumnya merupakan bawahan dari gubernur, berbeda dari aturan sebelumnya kedudukan dari gubernur, bupati dan wali kota di dalam undang-undnag ini adalah setara sebagai pemimpin di daerah otonomi. Walaupun terdapat kedudukan sebagai wilayah administrative dimana gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang

(50)

pada dasarnya kedudukannya lebih tinggi ketimbang bupati/wali kota, namun sebagai wakil permintah pusat hanyalah dapat melakukan koordinasi dengan bupati/wali kota dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan umum, ataupun urusan yang telah diatur oleh undang-undang ini tanpa dapat mmeberikan instruksi yang harus dipatuhi oleh bupati/wali kota.

Kekurangan dari format hubungan antara gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemeirntahan daerah, ialah dengan kedudukan antara gubernur dan bupati/wali kota menjadikan sebuah kondisi dimana para bupati/wali kota menjadi kesempatan untuk mengindahkan atau menolakan masukan dari gubernur yang merupakan wakil pemerintah pusat, dimana gubernur yang hanya dapat melakukan koordinasi tanpa memiliki sebuah kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap bupati/wali kota, hal inilah yang membuat pada masa undang-undnag ini diterapkan banyak sekali tidak sejalannya program gubernur dengan bupati/wali kota, yang barang tentu saja akan berdampak terhadapa proses pembangunan di daerah yang merupakan tujuan utama diadakannya pemerintahan daerah.

(51)

3. Kelebihan Dan Kekurangan Format Hubungan Gubernur Dengan Bupati/Wali Kota Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang ini adalah dengan kesetaraan di dalam kedudukan antara gubernur dan bupati/wali kota, yang mana hal ini didasarkan oleh baik gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga pertanggung jawaban mereka terhadap rakyat di daerah mereka melalui dewan perwakilan rakyat daerah. Adapun hubungan diantara gubernur dengan bupati/wali kota adalah dengan cara melakukan koordinasi untuk urusan pemerintahan umum yang mana dengan tujuan agar tercapainya tujuan utama dilaksanakannya pemerintahan daerah. Dengan format yang setara dalam hal kedudukan ini tentu saja akan memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pelaksanaanya.

Adapun kelebihan dari format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ini adalah tidak terjadinya lagi gubernur yang dapat memberikan isntruksi kepada bupati dan wali kota dan harus dilaksanakan oleh keduanya, sehingga seorang bupati/wali kota dapat menjalankan fungsinya sebagai kepala daerah dengan bebas dan penuh kreatifitas yang dimiliki dirinya demi tercapainya kemajuan di daerah yang dipimpinnya.

(52)

4. Kelebihan Dan Kekurangan Format Hubungan Gubernur Dengan Bupati/Wali Kota Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Format hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota menurut undang-undang ini adalah dengan dua format yakni yang pertama format hubungan sebagai daerah otonom dan kedua format hubungan sebagai wilayah administrasi, hal ini di buat untuk mengurangi terjadinya tidak sejalannya antara pemrintahan provinsi dengan pemerintahan kabupaten/pemerintahan kota dimana hal ini terjadi di dalam peraturan yang sebelumnya. Dengan dua format hubungan ini sendiri diharapkan dapat menjadi jalan untuk tercapainya garis koordinasi antara gubernur dengan bupati/wali kota untuk mencapai kemajuan di wilayahnya.

Kelebihan dari format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang ini adalah terjadinya sebuah koordinasi yang saling bersinergi antara gubernur dengan bupati/wali kota dimana dengan dua format hubungan di dalam undang-undang ini telah menjadikan jalannya pemerintahan daerah yang secara efektif dan efisien, dimana dalam format hubungan sebagai daerah otonom memberikan keleluasaan kepada bupati/wali kota untuk memimpin daerahnya tanpa takut di dikte oleh seorang gubernur, namun gubernur juga memiliki kewenangan untuk memberikan saran dan masukan terhadap bupati/wali kota terhadap jalannya beberapa urusan

(53)

pemerintahan umum maupaun beberapa urusan lainnya yang telah diatur oleh undang-undang ini. Yang mana apabila seorang bupati/wali kota menyalahi tugas nya sebagai kepala wilayah di daerahnya masing-masing, seorang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat memberikan teguran maupun sanksi secara administrative yang telah ditentukan oleh undang-undang ini.

Kekurangan format hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menurut undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, ialah walaupun telah adanya kewenangan di gubernur untuk memberikan sanksi secara administrative namun tetap saja di dalam pelaksanaannya masih banyak bupati/wali kota yang mengindahkan bahkan membangkang atas koordinasi yang telah dilakukan sang gubernur, hal ini dimungkinkan karena masih terbawanya budaya peraturan yang lalu.

(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengalami beberapa perubahan di dalam perjalannya dimana perubahan tersebut menghasilkan beberapa perbedaan dalam hal tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang gubernur sebagai wakil pemeirntah pusat, dimana jika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sangatlah kuat dimana seorang gubernur memiliki kewenangan untuk mengevaluasi dan membatalkan Perda kabupaten/kota. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah kedudukan gubernur mengalami pengeurangan atas tugas dan wewenangnya yang membuat posisi gubernur menjadi lemah terhadap bupati/wali kota. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kedudukan gubernur di undnag-undang ini sebagai wakil pemerintah pusat masih lah sangat lemah dalam hal kewenangannya terhadap bupati/wali kota. Dan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah kedudukan gubernur sebagai wakil

(55)

wewenang yang dimilikinya yang diharapkan dapat memperkuat posisinya sebagai wakil pemerintah pusat terhadap bupati/wali kota. 2. Hubungan Gubernur dengan Bupati/Wali Kota berdasarkan peraturan

perundang-undangan di Indonesia yaitu menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah menggunakan format hubungan dengan bentuk hirarki diantara gubernur, bupati, dan wali kota. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menggunakan format dimana kedudukan antara gubernur, bupati dan wali kota sejajar. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hubungan gubernur dengan bupati/wali kota menggunakan format hubungan dimana kedudukan dari gubernur, bupati, dan wali kota sejajar sebagai seorang kepala daerah di daerah otonomi masing-masing. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan menggunakan format hubungan dengan dua bentuk yakni sejajar dan hirarki antara gubernur dengan bupati/wali kota, sejajar dalam hal hubungannya sebagai kepala daerah otonomi dan hirarki dalam hal hubungannya sebagai wilayah administrative.

3. Peranan seorang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapatlah dipahami sangat lah penting hal ini diakarenakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah pada dasarnya gubernur diberi kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat

(56)

untuk memberikan garis koordinasi yang lebih efisien dan efektif dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Demi terwujudnya percepatan pembangunan di daerah dan meratanya pembangunan di seluruh daerah di Indonesia.

B. SARAN

1. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat lebih aktif dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya, dan menggunakan hak-hak yang dimilikinya dengan benar dan secara bijak juga dalam penggunaanya.

2. Terhadap Bupati/Wali Kota agar lebih memahami kedudukannya terhadap seorang Gubernur yang merupakan wakil dari Pemerintah Pusat, jangan jadikan kedudukan Gubernur tersebut sebagai bentuk pengusikan atas kedudukan Bupati/Wali Kota sebagai Kepala Daerah di Kabupaten/Kota, melainkan kedudukan Gubernur tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah pusat dalam hal berjalannya pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien, dengan menunjuk Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk memepermudah koordinasi antara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tanpa perlu ke pemerintah pusat melainkan langsung diwakilkan oleh Pmerintah Daerah Provinsi.

Referensi

Dokumen terkait

3 Pembuatan KTSP Kepmad dan WakamadKurikulum 4 Peningkatan kompetensi guru Kepala Madrasah dan Wakamad 5 Pengadaan buku literatur Wakamad kurikulumc. 6 Peningkatan

Dari tabel 4 di atas terlihat bahwa dari 13 responden yang lama paparan pestisida selama masa kehamilannya ≥ 5 jam/hari, sebanyak 92,3% mempunyai anak dengan gangguan

JJM Linier KurangStatus Kepegawaian menunggu verifikasi Dinas Pendidikan 1243 9552744647300013

 Subjek diobservasi pada periode waktu tertentu yang relatif pendek, dan perilaku yang diperoleh dipandang sebagai sampel dari perilaku yang biasa terjadi (Goodenough). 

Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat

BAB V PENUTUP 5.1 kesimpulan Dari judul yang diambil dalam penelitian ini “Pengaruh Akuntabilitas Pengengolaan Keuangan Alokasi Dana Desa, Kebijakan Desa, Dan Partisipasi

agar mudah mudah dalam dalam pengelolaaannya pengelolaaannya Pengolahan lahan Pengolahan lahan untuk untuk budidaya ikan gabus tidak terlalu rumit karena jenis ikan

Berdasarkan rendemen pulp, konsumsi alkali, dan bilangan kappa, maka pulp batang pisang yang dihasilkan dari proses semikimia pada konsentrasi alkali 4% lebih layak teknis