3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan Pulau Matakus yang terletak di depan outlet teluk Saumlaki, Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Propinsi Maluku. Kegiatan penelitian berlangsung selama 5 bulan, dimulai pada bulan Oktober 2008 – Maret 2009. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual tentang suatu daerah (Natzir, 1993). Metode survei juga bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya (Singarimbun, 1995). Gay (1976) dalam Sevilla et al. (1993) mendefenisikan metode survei sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.
3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui survey, observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat desa, wisatawan dan stakeholder terkait di lapangan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansai terkait di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dalam bentuk laporan dan publikasi daerah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Bappeda, BPS, BMG, Kantor Camat, Kantor Desa Matakus, sedangkan peta-peta pendukung diperoleh dari instansi seperti Biotrop, Dishidros TNI AL dan Bakosurtanal. Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian seperti terlihat pada Tabel 1.
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.
Gambar 3 Peta Lokasi Sampling
KEP. TANIMBAR Provinsi Maluku Timor Leste Irian Jaya P. Seram P. Buru P. Wetar NTT
Kab. Maluku Tenggara Barat Lokasi Penelitian 7 °2 9 '0 0 " 7 °2 9'0 0 " 4 °5 8 '0 0 " 4 °5 8 '0 0 " 126 °31'00" 126 °31'00" 129°2'0 0" 129°2'0 0" 131°33 '00" 131°33 '00"
Peta Lokasi Penelitian
0 100 200 Km
N
Dibuat oleh, Salvinus Solarbesain
C252070101/SPL
Kab. Maluku Tenggara Barat
Tabel 1 Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian.
Komponen Data Metode Pengumpulan Data
Sumber Data Alat/bahanyang digunakan 1 2 3 4 A. Komponen Biofisik - Biologi 1. Tutupan komunitas karang 2. Jenis pertumbuhan terumbu karang (life
form)
3. Jenis ikan karang - Fisik 1. Kedalaman perairan 2. Tipe pantai 3. Lebar pantai 4. Material dasar perairan 5. Kecepatan arus 6. Kemiringan pantai 7. Kecerahan perairan 8. Penutupan lahan pantai 9. Ketersedian air tawar B. Sosial Ekonomi - Umur, mata pencaharian, pendapatan, pendidikan, persepsi masyarakat desa, wisatawan dan Pemda. - Populasi Wisatawan
Lokal & Mancanegara
C. Aksesibilitas:
Jarak, alat serta ketersedian transportasi Pengukuran di lapangan, data sekunder, interpretasi citra Pengukuran di lapangan, data sekunder
Visual Sensus dan Data sekunder
Pengukuran di Lapangan dan data sekunder Pengamatan di lapangan Pengukuran di Lapangan Pengamatan di lapangan Data sekunder dan Pengukuran di lapangan Pengukuran di lapangan Pengukuran di lapangan Pengamatan di lapangan Pengamatan di lapangan Wawancara dan Data sekunder
Wawancara dan Data Sekunder
Observasi, Wawancara dan data sekunder Insitu/DKP MTB Citra Landsat Insitu/DKP MTB Insitu/DKP MTB Insitu/DKP MTB Insitu Insitu Insitu Insitu/DKP MTB Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu, BPS Dinas Pariwisata Insitu, DinasPerhubung Fin, Masker, Snorkel, GPS sda sda Meteran, GPS Daftrar isian Meteran, GPS Daftar isian Botol aqua, tali dan pemberat Meteran, GPS Sechhi disk Daftar isian Meteran, GPS Kuesioner Daftar isian Daftar Isian, Kuesioner D. Kondisi umum daerah penelitian:
- Kondisi geografis dan administratif
- Kondisi iklim dan cuaca
- Sarana dan prasarana
Studi literatur/Laporan Studi Literatur/Laporan Studi literatur Bappeda BMG Dinas Pariwisata Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian
1 2 3 4 - Demografi dan kependudukan - Rencana Strategis Kabupaten MTB dan laporan-laporan Pemda E. Peta-peta pendukung, yaitu:
- Peta Rupa bumi - Bathimetri
- Citra Satelit Landsat 7ETM Studi literatur Studi Literatur Survei Literatur Survei Literatur Survei Literatur BPS Bappeda MTB Bakosurtanal Dishidros AL Biotrop Daftar Isian Daftar Isian
3.3.2 Metode Pengambilan Contoh
Data Biofisik. Lokasi pengambilan data biofisik dilakukan di perairan dan daratan Pulau Matakus meliputi 9 (sembilan) stasiun pengamatan (Gambar 3). Penentuan stasiun penelitian dilakukan secara sengaja (pusposive sampling) didasarkan pertimbangan bahwa lokasi stasiun mewakili wilayah aktifitas masyarakat lokal dan wisata, daerah yang terbuka dan tertutup dari hempasan gelombang. Selain itu juga berdasarkan pada pengamatan kualitatif, yaitu dengan melihat keragaman penutupan karang dan kondisi pantai yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal. Berdasarkan hasil pengolahan citra awal diperoleh gambaran tentang kondisi dan penyebaran terumbu karang secara umum, serta kondisi biofisik daratan sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan stasiun/lokasi pengamatan.
Pengambilan data primer terumbu karang dilakukan pada stasiun penelitian yang telah ditentukan dengan metode Manta Tow untuk memperoleh data profil dan kondisi terumbu karang yang berupa bentuk pertumbuhan karang dan persentase penutupan karang hidup. Data hasil pengamatan dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau dengan nilai persentase bilangan bulat.
Data primer ikan karang di peroleh dengan metode Sensus Visual (coralreef fish visual cencus) yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan – ikan karang yang ditemui di sekitar titik sampling. Keberadaan ikan karang dicatat berdasarkan gambar panduan jenis – jenis ikan karang yang dibawa oleh penyelam dan penentuan jenis ikan tersebut dilakukan berdasarkan nama latin spesiesnya (English et al. 1997). Peralatan yang
digunakan meliputi kaca mata selam (masker), snorkel, fin, papan manta, peralatan tulis bawah air, stop watch dan GPS.
Pengambilan data kondisi pantai (kemiringan, tipe, lebar, penutupan lahan/vegetasi), kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kedalaman dan ketersediaan air tawar dilakukan melalui observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, GPS, dan current meter dan secchi dish.
Untuk mendukung data primer kondisi biofisik lokasi penelitian, dikumpulkan juga data – data sekunder. Data sekunder tentang kondisi terumbu karang, jenis ikan karang, hidrooseanografi, vegetasi dan kondisi pantai Pulau Matakus diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan MTB dalam bentuk Laporan Akhir Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten MTB.
Data Sosial Ekonomi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara secara mendalam dengan responden (indept interview). Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi dan persepsi atau pemahaman masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan Pemerintah Daerah tentang pengelolaan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata pesisir dan laut. Pengumpulan data primer dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat adalah kepala keluarga (KK) yang tinggal di desa Matakus. Penentuan responden dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa: 1) responden adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap selama 3 tahun dan, 2) penduduk yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di pulau Matakus. Penduduk dewasa dalam hal adalah yang bersangkutan telah matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, nelayan, petani, pedagang, pemilik guesthouse, dan angkatan muda.
Penentuan jumlah responden (sampel) dari populasi dimaksud menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Slovin, (1960) yang di acu dalam Sevilla et al., (1993) yaitu:
n = N / ( 1 + Ne2 ) dimana, n : ukuran sampel
N : ukuran populasi masyarakat Matakus
e : persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%)
Jumlah kepala keluarga di Pulau Matakus pada tahun 2007-2008 tercatat sebanyak 97 KK (Kabupaten MTB, 2008), sehingga berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diatas dan persentase ketidaktelitian 10%, diperoleh jumlah sampel sebanyak 50 KK.
Pemilihan sampel responden dari unsur wisatawan dilakukan secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada di lokasi penelitian dan bersedia menjadi responden sedangkan pemilihan responden dari unsur Pemerintah Daerah dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu atau lembaga yang berperan dalam pengambilan kebijakan sehubungan dengan pengelolaan Pulau Matakus baik langsung maupun tidak langsung. Responden yang diperlukan terdiri atas para pejabat atau staf yang berasal dari BAPPEDA, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Pertanian, dan Dinas Perhubungan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Analisis Kondisi Terumbu Karang
Untuk mengetahui kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian, maka data hasil pengamatan di tabulasikan dan dianalisis dengan menghitung nilai median (median values) kategori tutupan karang dari seluruh titik pengamatan yang menggambarkan persentase tutupan karang hidup menggunakan software statistic Microsoft Office Exel 2007. Klasifikasi kategori yang menggambarkan persentase tutupan karang dapat dilihat pada Gambar 4 (English et al., 1997).
Gambar 4 Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai persentase karang hidup (English et al., 1997).
Selanjutnya data kondisi persentase penutupan karang hidup yang diperoleh dibandingkan dengan kategori penutupan karang hidup menurut Gomes dan Yap (1998), yaitu:
a. 0% - 24.9% : penutupan karang kategori jelek b. 25% - 49.9% : penutupan karang kategori sedang c. 50% - 74.9% : penutupan karang kategori baik d. 75% - 100% : penutupan karang kategori sangat baik
3.4.2 Analisis Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus
Analisis zonasi ditujukan untuk melakukan konsevasi sumberdaya pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus dalam mendukung kegiatan ekowisata pesisir dan laut. Pembagian zonasi terdiri atas tiga bagian yaitu zona inti, zona penyanga dan zona pemanfaatan langsung. Di tiap zonasi tersebut akan dibuat desain masing-masing kegiatan wisata yang cocok.
Pengkajian zonasi ini dibutuhkan beberapa kriteria. Kriteria yang digunakan terdiri atas kelompok kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana terlihat pada Lampiran 7 (modifikasi dari Salm et al., 2000 dalam Soselisa, 2006). Selanjutnya, berdasarkan hasil zonasi yang diperoleh dilanjutkan dengan pembagian zonasi berdasarkan kegiatan wisata yang dihasilkan dari analisis kesesuaian kawasan. Kategori 1 0 – 10% Kategori2 11 – 30% Kategori 3 31 – 50% Kategori 4 51 – 75% Kategori 5 76 – 100%
Pembagian zonasi peruntukan kawasan Pulau Matakus dilakukan berdasarkan persentase total nilai skoring kriteria di tiap stasiun pengamatan yang diperoleh dengan membandingkan total nilai skoring kriteria stasiun ke-i dengan total nilai skoring keseluruhan kriteria dikalikan 100 persen.
Dengan menggunakan teknik interval kelas, zonasi peruntukan pulau dibagi atas tiga zona yaitu Zona Inti dengan interval nilai persentase > 70%, Zona Pemanfaatan Langsung dengan interval nilai persentase 60% - 70% dan Zona pemanfaatan tidak langsung (zona penyangga) dengan interval nilai persentase <60% (Baksir, 2009).
3.4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata Bahari
Analisis kesesuaian lahan merupakan suatu kajian untuk menilai kecocokan dan kelayakan berbagai macam aktivitas yang akan dilakukan disuatu kawasan sesuai dengan potensi sumberdaya dan peruntukaannya dengan mempertimbangkan berbagai parameter. Hal ini mengingat walaupun secara visual suatu lokasi kelihatan indah dijadikan lokasi wisata, namun belum tentu sesuai secara ekologis mengingat ada berbagai paramaeter baik fisik maupun biologi yang harus diamati dan dinilai secara ilmiah untuk menentukan sesuai tidaknya lokasi tersebut untuk kegiatan wisata.
Kesesuaian kawasan juga merupakan suatu pola pikir yang mengarah pada pertimbangan bahwa betapapun besarnya daya tarik dari suatu lokasi, secara ekologis tetap akan memiliki keterbatasan (scarcity), sehingga jumlah dan frekuensi kunjungan dalam suatu ruang dan waktu harus disesuaikan dengan kaedah yang berlaku.
Analisis kesesuaian yang dilakukan dalam penelitian ini hanya difokuskan untuk peruntukan kawasan ekowisata bahari (jenis kegiatan selam, snorkling, berenang, mendayung, jet ski dan perahu layar) dan wisata pantai (jenis kegiatan rekreasi pantai, olahraga pantai, sunbathing dan camping).
Tahapan proses analisis kesesuaian lahan Pulau Matakus untuk kegiatan wisata pesisir dan lautan di lakukan dengan teknik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) meliputi:
1. Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter di amati dan diukur di lapangan. Untuk masing-masing jenis kegiatan wisata penetapan parameter tidak sama. Parameter dan kriteria disusun berdasarkan parameter biofisik yang relavan dengan setiap kegiatan. Parameter yang menentukan di berikan bobot terbesar sedangkan kriteria (batas-batas) yang sesuai diberikan skor tertinggi. Pada penelitian ini, matriks kesesuaian yang digunakan mengacu pada Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007) dengan sedikit modifikasi.
Bobot untuk setiap parameter adalah antara 1 – 10, demikian juga untuk penetuan skor berkisar antara 1 – 10. Untuk parameter yang dianggap dominan diberikan nilai bobot yang besar, sedangkan yang dianggap kurang dominan/berpengaruh diberikan nilai yang rendah. Pemberian nilai skor (scoring) berbeda untuk tiap kelas kesesuaian, tetapi sama nilainya untuk semua parameter dalam kelas kesesuaian yang sama. Kelas S1 diberikan nilai 3, kelas S2 diberikan nilai 2, dan kelas N diberikan nilai 1.
a. Wisata Bahari
Wisata bahari meliputi jenis kegiatan selam, snorkling, berenang, berperahu, dan olah raga air (jet ski dan banana boat). Kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam mempertimbangkan enam parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter dimaksud antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Selanjutnya penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Bahari Kategori Selam
No. Kriteria Bobot Kelas Kesesuaian dan Skor
S1 Skor S2 Skor N Skor 1 Kecerahan Perairan (%) 5 >80 3 50 - 80 2 < 50 1 2 Tutupan komunitas karang (%) 5 >75 3 > 50-75 2 <50 1 3 Jenis life form 4 > 12 3 < 7 - 12 2 < 7 1 4 Jenis ikan karang 4 >100 3 50 - 100 2 < 50 1 5 Kecepatan arus (cm/det) 3 0-15 3 15 - 50 2 > 50 1 6 Kedalaman terumbu karang 3 6 - 15 3 15 - 30 2 > 30 1
Sumber : Modifikasi dari Yulianda (2007) Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai
Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling mempertimbangkan 7 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata
bahari kategori wisata snorkling antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Bahari Kategori Snorkling
N
o Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian dan Skor
S1 Skor S2 Skor N Skor 1 Kecerahan Perairan (%) 5 100 3 50 - <100 2 < 50 1 2 Tutupan komunitas karang (%) 5 >75 3 > 50-75 2 <50 1 3 Jenis life form 4 > 12 3 < 7 - 12 2 < 7 1 4 Jenis ikan karang 4 >100 3 50 - 100 2 < 50 1 5 Kecepatan arus (cm/det) 3 0-15 3 15 - 50 2 > 50 1 6 Kedalaman terumbu karang 3 1-5 3 5-10 2 > 10 1 7 Lebar Hamparan Datar Karang (m) 3 > 500 3 50-500 2 < 50 1
Sumber : Modifikasi dari Yulianda (2007) Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai
Kesesuaian wisata bahari untuk kegiatan berperahu, jet ski, banana boat dan perahu layar mempertimbangkan 2 parameter dengan tiga klasifikasi
penilaian. Parameter tersebut antara lain kedalaman dan kecepatan arus sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kegiatan berperahu, jet ski dan banana boat
No Kriteria Bobot Kelas Kesesuaian dan Skor
S1 Skor S2 Skor N Skor 1 Kedalaman (m) 3 10 – 25 3 5 – 10 2 < 5 1 2 Kecepatan Arus
(cm/det) 5 0 – 15 3 15 – 50 2 > 50 1
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996); Yulianda (2007). Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai.
b. Wisata Pantai
Kesesuaian wisata pantai dengan jenis kegiatan rekreasi pantai mempertimbangkan 10 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter tersebut antara lain kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar (Tabel 5).
Tabel 5 Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai
N
o Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Kedalaman perairan (m) 5 0 – 5 5 – 10 > 10
2 Tipe pantai 5 Pasir putih Pasir hitam
berkarang
Lumpur, berbatu terjal
3 Lebar pantai (m) 5 > 15 5 - 15 < 5
4 Material dasar perairan 4 Pasir Pasir berkarang lumpur
5 Kecepatan arus (cm/dt) 4 0 – 20 20 – 50 > 50
6 Kemiringan pantai (0) 4 < 15 15 – 45 > 45
7 Kecerahan perairan (%) 4 > 80 50 – 80 < 50
8 Penutupan lahan pantai 3 Kelapa, lahan
terbuka Semak belukar
Hutan bakau, pemukiman
9 Biota berbahaya 3 Tidak ada Bulu babi
Bulu babi, ikan pari, lepu,
hiu 10 Ketersediaan air tawar
(jarak/km) 3 < 1 1 – 2 > 2
Kesesuaian wisata pantai untuk kegiatan olahraga pantai dan berjemur (sun bathing) mempertimbangkan 5 parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter tersebut antara lain substrat, luas pantai, panjang pantai, tipe pantai dan penutupan lahan pantai sedangkan penetapan kriteria, bobot dan skor dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks kesesuaian untuk wisata pantai jenis kegiatan olahraga pantai, dan berjemur (sun bathing)
N
o Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 Skor S2 Skor N Skor
1 Substrat 5 Pasir 3 Karang Pasir 2
Pasir Lumpur/ Lumpur 1 2 Luasan Pantai (m2) 5 >2500 3 1000-2500 2 <1000 1 3 Panjang Pantai (m) 5 > 300 3 100-300 2 <100 1
4 Tipe Pantai 3 Berpasi
r 3 Pasir, sedikit karang 2 Lumpur, karang 1 5 Penutupan Lahan Pantai 3 Lahan terbuka 3 Semak Belukar 2 Hutan bakau 1
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996); Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai.
2. Penghitungan nilai peruntukan lahan
Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan obyek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang digunakan untuk menentukan kesesuaian wisata adalah (Yulianda (2007) :
IKW = ∑ [ Ni/ Nmaks] x 100%
Dimana : IKW : Indeks Kesesuaian Wisata
Ni : Nilai Paramater ke-i (Bobot x Skor) Nmaks : Nilai Maksimum dari suatu kategori wisata
3. Pembagian kelas lahan dan nilainya
Berdasarkan matriks kesesuaian yang berisi parameter – parameter kesesuaian, kemudian disusun kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata pantai dan bahari. Kelas kesesuaian pada matriks ini menggambarkan tingkat kecocokan dari kawasan Pulau Matakus untuk peruntukan kegiatan wisata
dengan konsep ekowisata. Dalam penelitian ini, kelas keseuaian lahan dibagi dalam 3 kelas yaitu; sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Defenisi masing-masing kelas kesesuaian tersebut adalah :
1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kegiatan atau produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari pengusahaan lahan tersebut.
2. Kelas S2: sesuai (suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus di terapkan. Pembatas tersebut akan mengurangi aktivitas dan keuntungan yang diperoleh, serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut.
3. Kelas N: tidak sesuai (not suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas berat/parmanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.
Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh masing-masing lahan, maka lahan S1 dinilai sebesar > 80%; S2 dinilai sebesar 66 - 80% dan N dinilai sebesar < 66%. Semakin kecil faktor pembatas dan peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya.
4. Memadankan (membandingkan) nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Dengan cara ini, kelas kesesuain lahan untuk penggunaan tertentu diperoleh.
5. Pemetaan kelas kesesuain lahan.
Pemetaan kelas kesesuaian menggunakan analisis keruangan (spatial analysis). Dengan analisis ini akan dihasilkan peta – peta kesesuain untuk berbagai kegiatan wisata pesisir dan laut di Pulau Matakus. Dalam penelitian ini, penggunaan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan program ArcView Version 3.4.
Penggunaan SIG untuk analisis spasial dapat dilakukan dengan teknik spatial overlay modelling. Metode ini menggunakan pembobotan pada sejumlah alternatif faktor yang berpengaruh dan skor kesesuaian pada setiap kriteria yang ditentukan.
Basis data akan dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana akan dihasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuain lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai indeks overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pelaksanaan operasi tumpang susun untuk setiap peruntukan dimulai dari parameter yang paling penting (bobotnya terbesar), berurutan hingga parameter yang kurang penting.
3.4.4 Analisis Daya Dukung untuk Pariwisata
Analisis daya dukung ditujukan untuk pengembangan wisata bahari dan pesisir (coastal and marine tourism) dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan pantai pulau kecil secara lestari.
Kawasan wisata membutuhkan ketenangan dan kenyamanan bagi wisatawan yang datang ke tempat tersebut. Selain itu kebutuhan setiap wisatawan akan ruang juga sangat berfariasi dan relatif, tergantung pada latar belakang budaya dan kemampuan ekonomi wisatawan. Dengan demikian berdasarkan analisis ini dapat ditentukan daya tampung kawasan pulau Matakus untuk menerima jumlah optimum atau jumlah maksimun wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pulau Matakus.
Daya Dukung Kawasan. Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda, 2007).
Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam adalah dengan dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) yang diacu dari Yulianda (2007) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
DDK : Daya Dukung Kawasan (orang)
K : Potensi Ekologis pengunjung per satuan unit area (orang) Lp : Luas area (m2) atau panjang area (m) yang dapat dimanfaatkan Lt : Unit area untuk kategori tertentu (m2 atau m)
Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari (jam)
Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam)
Potensi ekologis pengunjung di tentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang dikembangkan (Tabel 7). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga.
Tabel 7 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt).
Jenis Kegiatan K
(∑ Pengunjung)
Unit Area (Lt)
Keterangan
Selam 2 1 000 m2 Setiap 2 org dlm 100 m x 10 m
Snorkling 1 250 m2 Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m
Rekreasi Pantai 1 50 m 1 org setiap 50 m panjang pantai
Olahraga Pantai 1 50 m 1 org setiap 50 m panjang pantai
Olahraga perairan 1 500 m2 Setiap 1 org dalam 50 m x 10 m
Sumber: Yulianda (2007); Modifikasi (2009)
Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan pengunjung di lokasi wisata untuk melakukan kegiatan wisata seperti terlihat pada Tabel 8. Waktu pengunjung untuk kegiatan selam, snorkeling dan berjemur merupakan rata-rata waktu yang telah berlaku secara umum sedangkan waktu untuk kegiatan rekreasi pantai, berenang dan berperahu
Wp
Wt
x
Lt
Lp
Kx
DDK
diperoleh pada saat wawancara dengan wisatawan di lokasi penelitian. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam (Yulianda, 2007).
Tabel 8 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata
No. Kegiatan Waktu yang di Butuhkan Wp-(Jam)
Total Waktu 1 hari Wt-(Jam)
1 Selam 2 8
2 Snorkling 3 6
3 Berjemur 2 4
4 Rekreasi Pantai Hasil wawancara (3) 6
5 Olahraga Air/berperahu 2 4
Sumber: Modifikasi dari Yulianda (2007)
Ecological Footprint Analysis (EFA). Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu wilayah dengan ketersediaan ecological capacity, defisit atau surplus keberlanjutan dapat dikuantitatifkan (Adrianto, 2006).
Analisis ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan Pulau Matakus untuk pengembangan ekowisata bahari secara berkelanjutan berdasarkan luas total kawasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari.
Secara teoritis, EFA bertujuan untuk mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan (Haberl et al. 2001 dalam Adrianto, 2006). Yang fundamental dari metode ecological footprint adalah ide untuk menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi suatu wilayah.
Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001 dalam Adrianto, 2006), yaitu sebagai berikut :
Sedangkan, loki i i
Y
DE
EF
EF
lok
EF
iKeterangan, EFi : Ecological Footprint komponen wisata ke-i (ha/orang)
EFlok : Total Ecological Footprint local (ha/orang)
DEi : Konsumsi produk komponen wisata ke-i (kg/orang)
Ylok i : Produktivitas lokal komponen wisata ke-i (kg/ha)
Total ecological footprint untuk setiap wisatawan terdiri dari jumlah keseluruhan kategori lahan bangunan (built-up land), lahan energy fosil (fosil energy land), lahan pertanian (crop land), padang rumput (pasture land), hutan (forest land) dan ruang laut (sea space).
Untuk menghitung ecological footprint dari perjalanan wisatawan yang mengunjungi Pulau Matakus, sumberdaya dan lahan yang digunakan dibagi ke dalam empat komponen yaitu transportasi, akomodasi, aktifitas, dan konsumsi pangan untuk wisata.
Transportasi terdiri dari semua perjalanan yang berhubungan dengan wisata, dari saumlaki menuju dan kembali dari Pulau Matakus. Transportasi ini mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan pelabuhan) yang diperlukan berkaitan dengan kegiatan wisata. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan (disebut sebagai footprint Build-up land dari komponen transportasi) dihitung dengan membagi total area perjalanan wisata dengan jumlah kedatangan touris tahun 2007. Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur dalam proses perjalanan (jalan dan pelabuhan).
Untuk akomodasi, footprint wisatawan terdiri dari area yang diperlukan untuk akomodasi (homestay) dan fossil energy land untuk menghitung penggunaan energy (penerangan). Footprint Bild-up Land dari komponen akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan akomodasi dengan jumlah kedatangan touris tahun 2007. Total area akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur seperti guesthouse, homestay dll. Total area diperoleh dengan mengalikan luas area setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint energy dari komponen akomodasi dihitung berdasaran total energi yang digunakan dihitung dengan mengalikan penggunaan energy tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse kemudian dibagi dengan jumlah touris.
Aktifitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan rekreasi seperti melihat lokasi bersejarah (budaya), rekreasi pantai, hiburan (bioskop, bar dll), kegiatan olahraga (diving, snorkling jet ski dll). Dalam kasus ini, footprint wisatawan untuk aktifitas walaupun berhubungan dengan ruang laut namun dianggap merupakan bagian dari build-up land. Ruang laut adalah luas ruang yang dibutuhkan oleh wisatawan untuk rekreasi pantai, diving dan snorkling. Luas ruang untuk aktifitas wisata di Pulau Matakus ini dapat diketahui dengan bantuan analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS.
Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint dari pangan dan sandang berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang laut (sea space) dan padang rumput (pasture land). Karena kurangnya ketersediaan data statistik dalam menghitung footprint konsumsi sandang dan pangan di lokasi penelitian, maka untuk mengatasi masalah ini diasumsikan bahwa kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi wisatawan di lokasi penelitian mirip dengan yang biasanya dikonsumsi seharian di rumah. Dengan demikian footprint sandang dan pangan dapat dihitung berdasarkan data footprint nasional asal wisatawan yang dominan mengunjungi Pulau Matakus (Australia, Inggris dan Indonesia) dalam Living Planet Repport edisi 2008 yang diproduksi oleh WWF (WWF et al., 2008). Jumlah sumbangan rata-rata tahunan ruang untuk konsumsi pangan dan sandang adalah 6 hari yang merupakan rata-rata lama tinggal di Pulau Matakus.
Untuk menjumlahkan kategori ruang yang berbeda terhadap footprint total maka area dikalikan dengan equivalence factors (Wackernagel et al., 1999 dalam Gosling et al., 2002). Equivalence factor menggambarkan produktifitas relative rata – rata dunia dalam hektar dalam tipe lahan yang berbeda. Semua Negara memiliki Equivalence factor yang sama dan berubah sedikit dari tahun ke tahun. Equivalence factor dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity dan footprint dan dilaporkan dalam satuan global hektar (gha). Equivalence factor untuk tiap kategori ruang yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada revisi terbaru dalam Living Planet Report edisi 2008 seperti terdapat pada Tabel 9.
i j
EF
BC
CC
Tabel 9 Equivalence Factor berdasarkan hasil biomasa relatif
Kategori Ruang Nilai
- Fosil energy land (newly planted forest area needed to absorb emited CO2)
1.33 - Built up land (required for roads, houses, playgrounds etc). 2.64
- Arable land (for growing crops) 2.64
- Pasture (for grazing animals) 0.50
- Sea Space (for harvesting fish and other sea food) 0.40 - Forest area (for producing wood for forniture, paper, etc. 1.33
Sumber: WWF et al., (2008).
Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai ecological footprint sama dengan nilai kapasitas biologis (bio-capacity) dari sumberdaya alam yang dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lenzen dan Murray 2001):
dimana, BCj : Biocapacity ruang ke-j yang diperlukan untuk pariwisata
A
j : Luas land cover kategori ke-j (ha);
YF : Yield factor land cover kategori ke-j.
Yield faktor menggambarkan produktivitas relatif nasional dan rata – rata dunia dalam hektar dari setiap tipe land use. Yield factor tiap land use yang digunakan dalam perhitungan biocapacity dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Yield factor untuk setiap tipe land use
Tipe Land Use Yield Factor
- Build up 1.0
- Cropland/arable land 1.7
- Pasture land 2.2
- Forest land 1.3
- Fishing ground 0.6
Sumber: Modifikasi dari Lenzen dan Murray (2001) dan Global Footprint Network (2008)
Selanjutnya daya dukung lingkungan (carrying capacity/CC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
j j j
A
YF
dimana, BCj : Biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha)
EFi : Ecological footprint komponen wisata ke-i (ha/orang)
CC : Carrying Capacity (orang).
Untuk memprediksi jumlah wisatawan dan kondisi ecological footprint selama 10 tahun kedepan, dilakukan pemodelan dinamik dengan menggunakan software Stella 9.0.2. Causal loop dan model dinamik yang akan dibangun, dikembangkan dari konsep dan hasil perhitungan ecological footprint dan biocapacity secara manual.
3.4.5 Analisis Persepsi Masyarakat, Wisatawan dan Pemerintah Daerah Persepsi masyarakat desa Matakus, wisatawan dan Pemerintah Daerah MTB terhadap pengembangan ekowisata bahari di Pulau Matakus, diketahui melalui persentase jawaban responden dari ketiga unsur tersebut terhadap pertanyaan – pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner pada saat wawancara berlangsung.
Persentase untuk tiap jawaban didapatkan dengan mempergunakan rumus sebagai berikut:
Pi = (AJi / TR) x 100%
dimana, Pi : Kualitas Persepsi ke-i
AJ : Aspirasi jawaban responden ke-i TR : Total responden yang menjawab.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan kondisi sosial ekonomi yang berpengaruh besar terhadap persepsi digunakan metode analisis statistic multivariable yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Menurut Bengen (2000), tujuan utama penggunaan analisis ini adalah:
1. Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data berukuran besar.
2. Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi. 3. Mempelajari suatu tabel/matrik data dari sudut pandang kemiripan antara