• Tidak ada hasil yang ditemukan

INKONTINENSIA FEKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INKONTINENSIA FEKAL"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

INKONTINENSIA FEKAL Difinisi:

Menurut Bharucha A.E., Blandon R.E. (2007), kontinensia adalah kemampuan untuk menahan keluarnya luaran tubuh (bodily discharge) secara sadar/volunter. Kata kontinensia berasal dari kata latin continere atau tenere yang berarti “menahan”. Anorektal adalah akhir kaudal dari traktus gastrointestinal, yang bertanggung jawab pada kontinensia fekal dan proses defekasi.(1)

Rao S.S.C. (2007) menyatakan bahwa inkontinensia fekal adalah keluarnya feces atau gas secara involunter atau ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feces atau gas melalui anus. (2)

Sedangkan menurut U.S. Departement of Health and Human Services (2009)(3) dan Junizaf (2011),(4) inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan dalam menahan keinginan buang air besar sampai mencapai toilet, juga diartikan sebagai ketidakmampuan menahan gas, feces cair, maupun feces padat.

Dykes S.L, Bordeianou L. (2012) menyatakan bahwa inkontinensia anal adalah ketidakmampuan untuk mengendalikan keluarnya flatus, feces cair, serta feces padat, dari yang ringan berupa kesulitan mengendalikan keluarnya gas sampai dengan ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feces cair dan feces padat.(5)

Inkontinensia fekal menimbulkan masalah sosial yang besar,(6) memalukan, sehingga banyak penderita berusaha untuk menyembunyikan masalah mereka,(3) dapat menurunkan harga diri, isolasi sosial, perasaan tidak berdaya, serta depresi.(4,7) Ia merasa sangat malu untuk mengatakan bahwa ia menderita inkontinensia fekal, sehingga angka prevalensi inkontinensia fekal cukup rendah yaitu 0.3-2.2%. Hal ini tentu tidak baik, karena kasus inkontinensia banyak yang dapat diobati dengan baik sehingga kualitas hidup mereka akan dapat ditingkatkan.(4)

Epidemiologi:

Insiden serta prevalensi inkotinensia fekal sulit ditentukan. Laporan penelitian dapat bias karena adanya keengganan responden dalam mengisi keluhan/gejala yang dialami dalam quisioner penelitian tersebut. Macmillan dkk. memperkirakan

(2)

prevalensi inkontinensia anal (gas dan feces) sebesar 2% sampai 24%, dan prevalensi inkontinensia fekal (feces) sebesar 0,4% sampai 18%.(7)

Chaliha C (2006) menjumpai prevalensi inkontinensia fekal sebanyak 36 orang (4%), pada questioner post natal dari 906 wanita 10 bulan setelah bersalin. Enam dari wanita tersebut mengalami inkontinensia fekal setelah seksio sesaria emergensi, dan tidak satupun dari mereka yang mengalami inkontisia fekal setelah seksio sesaria elektif. Namun angka tersebut tidak meliputi inkontinensia flatal yang kemungkinan lebih sering terjadi, dan dilaporkan terjadi sebesar 29%, 9 bulan pasca persalinan pada sebuah penilitian terhadap 349 wanita primipara. Inkontinensia fekal sering terjadi setelah ruptura sfingter ani, dengan prevalensi 16-47%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tetzschner dkk. dijumpai dampak jangka panjang dari ruptura sfingter ani obstetri terhadap kejadian frekuensi urin serta inkontiensia anal. Dua sampai empat tahun post partum, 42% dari 94 wanita dalam penelitian tersebut mengalami inkontinensia anal, 32% mengalami inkontinensia urin, dan 18% mengalami inkontinensia anal dan inkontinensia urin. Walau angka kejadian inkontiensia tersebut cukup tinggi, namun hanya sedikit dari mereka yang datang untuk mendapatkan penatalaksanaan medis. (8)

Patofisiologi:

Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuk sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130 derajat.(2)

Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan

(3)

otot polos sirkuler rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan heterogen.(2)

Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk, berbangkis dan sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas, karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani interna dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.(4)

Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada posterior dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan penting untuk mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter ani interna, berperan penting untuk mengontrol feces yang cair.

Bantalan anus yang dapat memberikan sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah yang mengalir pada arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus. Kerjasama antara sfingter anal yang komplek dengan fungsi rektal yang normal dibutuhkan untuk mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektum mengembung untuk menampung feces selama feces masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi untuk menampung feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat.(4)

Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat. Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan dibawah sadar (sub

consious), tetapi kontrol volunter juga mempunyai peranan penting dalam penundaan

(4)

Gambar 1. Anatomi Anal Kanal dan Rektum

Gambar 1. Anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan mekanisme fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi (9)

Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter.

Lipatan mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions)

memperkuat penutupan dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan meningkatkan kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.(2)

Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis maupun oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik. Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami cidera regangan, terutama pada saat melahirkan pervaginam.(2)

Tampaknya isi rektum secara periodik dirasakan oleh proses "ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari rektum ke dalam anal kanal bagian

(5)

atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak end organ end organ sensorik khusus seperti Krause end-bulbs, Golgi–Mazzoni bodies dan genital corpuscles, serta the relatively sparse Meissner’s corpuscles dan Pacinian corpuscles.

Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani ujung saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum tersebut, sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan predisposisi untuk terjadinya inkontinensia.(2)

Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf yang terorganisir. Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin berada berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk relaksasi serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal.(2) Sensasi dari distensi rektum berjalan sepanjang sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf sakralis sangat besar peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom anorektum, serta dalam mempertahankan kontinensia

.

(2)

Penyebab:

Untuk mempertahankan kontinensia fekal diperlukan interaksi yang kompleks antara susunan saraf pusat (korteks frontalis) dan jalur persarafan yang intak antara medula spinalis dengan otot-otot dasar panggul serta sfingter ani yang utuh. Hal tersebut, bersama dengan beberapa mekanisme fisiologis lainnya bekerja sama untuk mengendalikan proses defekasi, sehingga defekasi tersebut dapat terjadi secara volunter pada saat dan kondisi sosial yang diinginkan.(7)

Kerusakan atau kelemahan sfingter ani, neuropati saraf pudendus, gangguan sensasi anorektal, gangguan akomodasi rektum atau evakuasi feces yang inkomplit dapat berkontribusi pada patogenesis inkontinensia fekal. Perubahan tersebut mungkin terjadi akibat kelainan yang bersifat lokal, anatomis maupun sistemik. Sehingga penyebab dari inkontinensia fekal seringkali multifaktorial.(2)

(6)

Tabel 1. Peyebab Tersering Inkontinensia Fekal (9)

Obstetri:

Penyebab iatrogenik utama dari inkontinensia fekal adalah kerusakan sfingter setelah persalinan.(4,7,8) Kerusakan tersebut dapat terjadi melalui 2 mekanisme: (a) gangguan/ kerusakan mekanis dari serabut otot(10) melalui mekanisme laserasi perineal(11) dan (b) gangguan/kerusakan dari inervasi saraf pada skeletal dan mungkin pada otot polos,(10) dimana kerusakan saraf tersebut dapat terjadi oleh karena kompresi serta peregangan saat proses persalinan berlangsung.(7)

Sultan dkk melaporkan bahwa 35% dari kelompok primipara yang dinyatakan dengan sfingter ani intak ternyata mengalami defek sfingter ani setelah menjalani pemeriksaan endoanal ultrasonografi 6 minggu pasca persalinan pervaginam. Namun banyak dari penderita tersebut ternyata baru mengalami gejala inkontiensia bertahun-tahun setelah trauma obstetri yang dialaminya; hal itu menunjukkan bahwa mekanisme kontinensia yang terkompensasi tersebut mengalami degradasi seiring dengan waktu.(7)

Risiko cidera sfingter ani meningkat pada pengunaan forsep atau vakum ekstraksi, berat badan janin yang berlebihan, serta episiotomi.(10)

Persalinan dengan forsep mengakibatkan trauma sfingter ani serta berkaitan dengan insiden gejala gangguan defekasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan vakum

(7)

ekstraksi. Defek sfingter ani ekterna terjadi sebanyak 81% pada persalinan forsep, dibandingkan dengan 24% pada persalinan dengan vakum ekstraksi.(8) Sehingga

bilamana dibutuhkan, persalinan dengan forsep ekstraksi sebaiknya digantikan dengan vakum ekstraksi, serta mengakhiri distosia persalinan dengan tindakan seksio sesaria.(7)

Risiko cidera sfingter ani meningkat bermakna pada kasus episiotomi mediana, telah dilaporkan terjadi peningkatan 3 kali sampai 4 kali lipat insiden perluasan luka insisi sampai sfingter ani maupun mukosa rektum.(10) Peneliti lainnya menjumpai insiden kerusakan sfingter ani bervariasi dari 0,5 sampai 2,5% pada pusat-pusat pelayanan yang melakukan episiotomi mediolateral, serta 7% pada pusat pelayanan yang melakukan episiotomi mediana.(8) Sehingga disarankan melakukan episiotomi mediolateral bilamana akan melakukan pertolongan persalinan dengan bayi besar, persalinan dengan alat, atau bila ingin menghindari cidera perinei tingkat 3 dan tingkat 4.(10)

Bila kerusakan sfingter ani segera dikenali dan kemudian di tangani saat persalinan pervaginam, akan dapat menghindarkan terjadinya gejala inkontinensia fekal yang berat dikemudian hari.(10) Namun beberapa penderita tersebut membutuhkan sfingteroplasty sekunder beberapa bulan segera setelah melahirkan. Beberapa penderita lainnya tidak mengalami inkontinensia fekal walau mengalami kerusakan pada hampir seluruh sfingter ani ekternanya. Hal tersebut mungkin disebabkan karena kekuatan serta integritas dari sfingter ani yang tidak rusak.(10)

Gambar 2. Defek Sfingter Ani Interna & Eksterna

(8)

ani eksterna (tanda panah).Sfingter ani interna tampak hiperekoik dikelilingi oleh sfingter ani eksterna yang hipoekoik.(8)

Penyakit Radang Usus Besar

Diare kronis yang disebabkan oleh penyakit radang usus besar atau irritable bowel

syndrome dapat mengakibatkan sfingter ani tidak dapat mengontrol gas atau feces.

Inkontinensia fekal tersebut bahkan dapat lebih berat bila penderita mengalami proktitis Crohn’s; pada penderita tersebut, daya tampung rektum serta kemampuan penyimpanannya menurun secara abnormal, menimbulkan kumpulan gejala berupa urgensi, ansietas, serta inkontinensia. Riwayat pembedahan anal karena abses multipel dan fistula yang dapat menyertai Crohn’s disease dapat pula mempengaruhi fungsi sfingter ani.(10)

Penyakit/Kelainan Neurologis (Kongenital Serta Dapatan)

Penyakit saraf dapat mempengaruhi kontinensia dengan mempengaruhi baik persepsi sensorik atau fungsi motorik, atau keduanya. Dalam sistem saraf pusat, Parkinson,(8) multipel sklerosis, dimensia, stroke, tumor otak, sedasi, lesi sumsum tulang belakang dapat mengakibatkan inkontinensia.(2)

Dalam sistem nervus perifer, lesi cauda equina, neuropati diabetik, neuropati akibat keracunan alkohol, atau neuropati akibat trauma post partum dapat menyebabkan ikontinensia fekal. Sampai dengan 30% dari penderita dengan multiple sclerosis mengalami ikontinensia fekal.(2)

Skleroderma dan multipel sklerosis dapat mempengaruhi kompleks unit motor nervus pudendus. Skleroderma pada awalnya dapat mengakibatkan hipertonik sfingter interna, namun seiring dengan makin prograsifnya penyakit tersebut, maka tekanan kontraksi dari sfingter ani interna tersebut akan menurun. Multipel sklerosis mempengaruhi persarafan secara acak, dan dapat mengenai saraf-saraf pudendus dan dasar panggul sehingga berakibat pada buruknya fungsi volunter otot otot yang disarafinya.(10)

Neuropati perifer yang diakibatkan oleh diabetes militus(4) mengakibatkan hilangnya sensasi anal kanal serta hilangnya fungsi sfingter ani.(10) Sebagian besar anak

(9)

fekal (74%).(12)

Gangguan otot rangka seperti distrofi otot, myasthenia gravis, dan miopati lainnya dapat mempengaruhi fungsi sfingter ani eksterna dan puborektalis.(2)

Trauma tumpul pelvis atau luka penetratif pada anal kanal dapat mengakibatkan inkontinensia fekal karena kehilangan jaringan yang luas atau trauma pada nervus pudendus.(10) Lesi di daerah sulkus dapat menyebabkan kerusakan otot dasar panggul

dan sfingter ani.(4)

Pada cidera medula spinalis bagian atas, reflek inhibitor anorektal masih baik, namun tidak terdapat kontrol volunter untuk mencegah pengosongan isi rektum saat relaksasi sfingter ani interna sebagai respon distensi dari rektum. Akan terjadi evakuasi feces secara spontan jika terjadi relaksasi sfingter ani interna secara simultan dengan gerakan peristaltik kolon yang kuat.(10)

Trauma medula spinalis bagian bawah dapat menciderai cabang-cabang nervus perifer S1 sampai S4, yang merupakan sumber dari nervus pudendus serta nervus sakralis yang mensarafi dasar panggul. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya kemampuan kontraksi otot dasar panggul yang bersifat volunter.(10)

Kelainan Kolorektal

Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan terbentuknya segmen usus yang berdilatasi yang disebut 'megarectosigmoid'. Hal ini kemudian dapat menyebabkan inkontinensia overflow karena evakuasi tidak lengkap.(13) Sekali rektum mengalami

megarectum atau megasigmoid, maka tidak akan dapat diterapi secara konservatif, dan reseksi megarectum atau megasigmoid dilaporkan dapat memperbaiki kondisi tersebut. Sekelompok kecil penderita (5%) memerlukan kolostomi.(13)

Anus imperforata terjadi ketika tidak teradapat lubang anus atau anus tidak dalam posisi normal. Merupakan kelainan kongenital yang disebabkan oleh kegagalan perkembangan normal dari daerah anal. Penyebabnya belum diketahui, terjadi pada 1 dari setiap 5.000 bayi. Terkadang terdapat rektovaginalis pada anak perempuan, atau fistula rektum dan saluran kemih pada anak laki-laki.(14)

(10)

Ada dua jenis anus imperforata, yaitu anus imperforata jenis tinggi: tidak ada lubang anus, dan traktus gastrointestinal berakhir di atas otot-otot dasar panggul, dan jenis rendah dimana traktus gastrointestinal berakhir di bawah otot dasar panggul. Pada anus imperforata jenis rendah seringkali dijumpai muara traktus gastrointestinal, tetapi dalam posisi abnormal atau ditutupi oleh membran. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai adalah: tidak terdapat lubang anus, letak lubang anus yang salah, luabang anus yang sangat dekat introitus vagina, tidak defekasi dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah lahir, keluarnya feces melalui vagina atau uretra, serta distensi abdomen.(14) Mekanisme inkontinensia setelah operasi untuk penyakit Hirschsprung,

malformasi anorektal dan konstipasi yang parah dianggap terjadi karena motilitas usus yang terganggu. Beberapa anak dengan penyakit Hirschsprung setelah pull-through

operations dan konstipasi hebat mungkin juga mengalami gejala inkontinensia.(13)

Prolaps rekti berhubungan dengan kejadian fekal inkontinensia pada 40% sampai dengan 60% dari kasus. Hal ini kemungkinan besar karena peregangan sfingter ani interna atau nervus pudendus karena mengedan kronik serta penurunan perineum.(10)

Kondisi yang dapat mengakibatkan penurunan dari daya tampung serta akomodasi rektum dapat pula mengakibatkan inkontinensia fekal. Penyebabnya antara lain adalah: peradangan dan fibrosis karena radiasi, peradangan rektal sekunder akibat colitis ulseratif, Crohn’s disease, atau infiltrasi rektum oleh tumor, iskemia, atau setelah radikal histerektomi.(2)

Penyebab lain dari inkontinensia fekal adalah fistula rektovaginal.(4,15) Fistula

rektovaginal dapat terjadi jika bagian presentasi janin menekan jaringan dasar panggul pada sakrum selama persalinan, menyebabkan iskemik nekrosis septum rektovaginal. Prevalensinya mulai dari 6% sampai dengan 22%. Biasanya disertai dengan fistula vesikovaginal. Kondisi sfingter ani harus dicermati, karena mungkin dapat terjadi inkontinensia flatal atau fekal bahkan setelah repair dari kelainan tersebut.(15)

Perubahan degeneratif dan usia

Perubahan degeneratif dan usia mungkin menyebabkan kegagalan sensorik dan kelemahan otot sfingter ani.(4) Defisiensi estrogen pasca menopausal juga dapat

(11)

Diagnosis:

Penilaian Klinis Inkontinensia Fekal

Penderita inkontinensia fekal dapat dikelompokkan menjadi inkontinensia pasif atau inkontinensia urgensi atau rembesan feces, dan berat-ringannya dapat dinilai berdasarkan buku harian defekasi prospektif serta gambaran klinisnya.(2)

Pemeriksaan penderita dengan inkontinensia fekal memerlukan penilaian klinis yang detail serta tes-tes fisiologis dan pencitraan anorektum yang sesuai. Ketiga sumber informasi ini saling melengkapi sehingga dapat memberikan data yang berguna terkait keparahan masalah, faktor etiologi yang mendasari, serta dampak masalah tersebut pada kualitas hidup penderita. Berdasarkan hal tersebut maka akan memungkinkan untuk merancang strategi terapi yang sesuai sehingga dapat memperbaiki keadaan klinis penderita.(2)

Gambaran Klinis

Banyak penderita inkontinensia fekal, menggunakan istilah “diare” atau “urgensi”. Karenanya, langkah pertama dalam pemeriksaan adalah untuk membentuk pendekatan dengan penderita dan untuk mengkonfirmasi adanya inkontinensia fekal. Setelah itu, dapat dilakukan karakterisasi lebih jauh yang meliputi penilaian durasi, progresi, karakteristik, misalnya; inkontinensia flatus, feces cair, atau padat, dan dampaknya pada kualitas hidup (Tabel 2).

Anamnesis mengenai penggunaan popok atau alat lain serta kemampuan penderita untuk membedakan antara feces yang berbentuk dan gas harus dilakukan. Penelusuran mendetail juga harus meliputi riwayat obstetrik, riwayat diabetes militus, radiasi •Awal terjadinya inkontinensia fekal •Lama, berat­ringannya, serta waktu kejadian  •Konsistensi feces dan urgensi •Masalah yang menyertai/pembedahan/inkontinensia urin/cidera tulang belakang •Obstetri: riwayat forsep, robekan, presentasi, repair •Obat­obatan, kafein, diet •Subtipe klinis—inkontinensia pasif atau urge atau rembesan feces  •Derajat klinis atau berat­ringannya  •Riwayat Impaksi fekal (History of fecal impaction) Tabel 2. Informasi Penting Dari Penderita  Dengan Kecurigaan  Inkontinensia Fekal (2)

(12)

pelvis, masalah-masalah neurologis atau cedera medula spinalis, dan riwayat inkontinensia urin yang menyertai. Juga, selama penilaian klinis, perlu ditanyakan apakah penderita dapat membedakan antara feces yang berbentuk dan tidak berbentuk atau flatus, untuk mengetahui adanya agnosia rektoanal.

Harus ditentukan kondisi yang dialami saat inkontinensia terjadi. Penelusuran yang detail tersebut dapat memfasilitasi idenfitifikasi beberapa kemungkinan skenario berikut:

1. Inkontinensia pasif: merupakan buangan involunter materi feces atau flatus tanpa disadari. Ini menunjukkan hilangnya persepsi dan/atau gangguan pada refleks rektoanal baik dengan atau tanpa disfungsi sfingter.

2. Inkontinensia urge: merupakan pengeluaran materi feces atau flatus meskipun ada upaya aktif untuk mempertahankan agar feces tidak keluar. Di sini, disfungsi yang terjadi predominan pada sfingter atau kapasitas untuk mempertahankan feces.

3. Rembesan feces: merupakan kebocoran feces yang tidak diinginkan, seringkali setelah terjadinya gerakan usus dimana biasanya kontinensia dan evakuasi masih normal. Kondisi ini seringkali terjadi karena evakuasi feces yang tidak komplit dan/atau gangguan sensasi rektum. Fungsi sfingter dan nervus pudendus sebagian besar masih baik).

Meskipun terdapat tumpang tindih antara ketiga kelompok ini, namun dengan membuat pembedaan klinis, akan memungkinkan untuk memperkirakan etiologi yang mendasari sehingga kemudian dapat dilakukan penilaian dan penatalaksanaan yang tepat. Penilaian gejala juga dapat memberikan tilikan yang berguna terkait mekanisme yang mendasari, tetapi dapat tidak berkorelasi dengan temuan manometri. Pada suatu studi, kebocoran memiliki sensitivitas 98.9%, dan spesifisitas 11%, dan positive

predictive value sebesar 51% untuk mendeteksi tekanan sfingter ani istirahat yang

rendah. Positive predictive value untuk mendeteksi tekanan kontraksi yang rendah adalah 80%. Karenanya, untuk penderita dengan inkontinensia, riwayat dan gambaran klinis saja tidak cukup untuk mendefinisikan patofisiologi, sehingga memerlukan pemeriksaan obyektif lainnya.(2)

Meskipun begitu, berdasarkan gambaran klinis, beberapa tingkat penilaian telah diajukan. Baru-baru ini, suatu modifikasi dari sistem penilaian klinis Cleveland telah divalidasi oleh para peneliti St. Mark. Sistem tersebut merupakan metode obyektif untuk mengkuantifikasi derajat inkontinensia, serta dapat digunakan untuk menilai efikasi terapi. Sistem penilaian ini berdasarkan pada tujuh parameter yang meliputi

(13)

apakah buangan dari anus berbentuk padat, cair atau flatus, dan apakah masalah ini menyebabkan perubahan pada gaya hidup (skor: Tidak pernah = 0, Selalu = 5); kebutuhan untuk menggunakan popok atau kebutuhan untuk mengkonsumsi obat anti diare, dan kemampuan untuk menunda defekasi (skor: Tidak—0, ya—2). Skor memiliki rentang dari 0 (kontinensia baik) hingga 24 (inkontinensia berat). Meskipun begitu, gambaran klinis saja tidak cukup untuk dapat menjelaskan patofisiologi. Penggunaan angket yang tervalidasi misalnya SCL-90R SF-36 dapat memberikan informasi tambahan aspek psikososial dan dampak pada kualitas hidup.(2)

Tabel 3. Daftar Harian Defekasi (2)

Pemeriksaan Fisik

Harus meliputi pemeriksaan fisik dan neurologis yang mendetail dari punggung dan ekstremitas bawah, karena inkontinensia dapat merupakan akibat sekunder dari gangguan sistemik atau neurologis. Inspeksi perineum dan rectal touche paling baik dilakukan dengan penderita berbaring pada posisi miring ke kiri dengan pencahayaan yang baik. Pada inspeksi dapat dilihat adanya materi feces, hemoroid yang prolaps, dermatitis, jaringan parut, ekskoriasi kulit, tidak adanya lipatan perianal, atau anus yang terbuka. Gambaran-gambatan ini dapat menunjukkan kelemahan sfingter atau iritasi kulit kronik dan memberi petunjuk terkait etiologi yang mendasarinya.

(14)

Penurunan perineal yang berlebihan atau prolapsus rekti dapat ditunjukkan dengan meminta penderita untuk mencoba melakukan defekasi. Suatu penonjolan keluar yang melebihi 3 cm biasanya didefinisikan sebagai penurunan perineal yang berlebihan. Sensasi perianal juga harus diperiksa. Refleks anokutaneus dilakukan untuk mengetahui integritas hubungan antara nervus sensoris dan kulit, neuron intermediate pada medula spinalis segmen S2, S3, dan S4, dan inervasi motorik pada sfingter ani eksterna. Ini dapat dinilai dengan secara perlahan menggores kulit perianal dengan

cotton bud pada masing-masing kuadran perianal. Respons normal terdiri atas

kontraksi singkat dari sfingter ani eksterna. Gangguan atau tidak adanya refleks anokutaneus dapat menunjukkan adanya cedera saraf aferen atau eferen.(2)

Rectal Touche

Rectal touche dapat mengidentifikasi penderita-penderita dengan impaksi dan overflow feces, namun tidak cukup akurat untuk mendiagnosis disfungsi sfinger atau

untuk inisiasi terapi. Setelah memasukkan jari telunjuk yang memakai sarung tangan dan telah dilubrikasi, dilakukan penilaian tonus sfingter istirahat, panjang dari anal kanal, integritas puborectal sling, derajat sudut anorektal, kekuatan otot-otot anus, dan elevasi perineum selama mengerutkan anus secara volunter. Dapat pula dijumpai adanya rektokel atau impaksi feces.

Akurasi rectal touche—sebagai pemeriksaan obyektif untuk mengevaluasi fungsi sfingter ani—telah dinilai pada beberapa studi. Pada suatu studi yang melibatkan 66 penderita, pemeriksaan RT dengan ahli bedah yang berpengalaman cukup berkorelasi dengan tekanan sfingter saat istirahat (r = 0.56; p < 0.001) atau tekanan maksimal saat kontraksi (r = 0.72: p < 0.001). Pada studi lain, dari 280 penderita dengan beberapa gangguan anorektal, didapatkan korelasi yang baik antara palpasi jari dan manometri. Bagaimanapun, sensitivitas, spesifisitas dan positive predictive value dari nilai pemeriksaan RT sangat rendah. Dengan pemeriksaan RT, positive predictive value untuk mendeteksi tonus sfingter yang rendah adalah 66.7% dan tekanan kontraksi yang rendah adalah 81%. Pada studi lain terhadap 64 penderita, persetujuan antara pemeriksaan RT dan tekanan anal kanal istirahat masing-masing adalah 0.41 dan 0.52. Data ini menunjukkan bahwa pemeriksaan RT hanya merupakan perkiraan, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk ukuran jari pemeriksa, teknik, dan kerjasama penderita. Karenanya, sangat tidak dapat diandalkan dan rentan terhadap perbedaan antar pemeriksa.(2)

(15)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan endoskopik regio rektosigmoid dapat mendeteksi penyakit mukosa atau neoplasia yang berkontribusi pada terjadinya inkontinensia fekal. Penting untuk membedakan apakah inkontinensia merupakan dampak sekunder dari diare atau tidak bergantung pada konsistensi feces. Jika ada diare yang menyertai, flexible

sigmoidoscopy atau kolonoskopi sebaiknya dilakukan untuk mengeksklusi inflamasi

mukosa kolon, massa rektum, atau striktur. Studi feces yang meliputi skrining feces untuk infeksi, volume feces, osmolalitas dan elektrolit dapat dilakukan. Secara serupa, pemeriksaan biokimiawi dapat menunjukkan disfungsi tiroid dan gangguan metabolik lainnya. Breath test dapat menunjukkan intoleransi laktosa atau fruktosa atau kelebihan pertumbuhan bakteri.

Ada beberapa pemeriksaan spesifik yang dapat menentukan mekanisme yang mendasari terjadinya inkontinensia fekal. Tes-tes ini sering bersifat saling melengkapi. Pemeriksaan yang paling berguna adalah manometri anorektal, endosonografi anus, tes ekspulsi balon dan pudendal nerve terminal motor latency.(2)

Manometri Anorektal

Manometri anorektal dengan pemeriksaan sensoris rektum merupakan metode yang lebih disukai untuk menentukan kelemahan fungsional dari sfingter ani eksterna atau interna dan untuk mendeteksi sensasi rektum abnormal. Pengukuran kompliansi rektum (fungsi reservoir) dapat membantu pada beberapa penderita. Tes-tes ini juga dapat memfasilitasi pelatihan biofeedback.

Manometri anorektal memberikan penilaian objektif pada tekanan sfingter ani bersama dengan penilaian sensasi rektum, refleks rektoanal, dan kompliansi rektum. Saat ini, beberapa jenis probe dan alat-alat pencatat tekanan sudah tersedia. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Water perfused

probe dengan sensor ruang tertutup multipel, banyak digunakan. Sebagai alternatif,

suatu solid state probe dengan transduser mikro dapat digunakan. Meskipun lebih mahal dan fragil alat ini tidak membutuhkan alat perfusi, mudah dikalibrasi, dan kemungkinan lebih akurat.

Tekanan sfingter ani dapat diukur dengan teknik stasioner, station pull-through, atau

rapid pull-through, tetapi dua yang disebut pertama mungkin lebih akurat. Teknik rapid pull-through dapat memberikan tekanan sfingter tinggi yang palsu. Tekanan

(16)

tekanan anus saat berkontraksi volunter terutama mengukur fungsi sfingter ani eksterna. Penderita-penderita dengan inkontinensia telah ditemukan memiliki tekanan sfingter saat istirahat dan saat kontraksi yang rendah. Durasi tekanan saat kontraksi yang bisa dipertahankan memberi suatu petunjuk bagi indeks kelelahan otot sfingter. Kemampuan sfingter ani eksterna untuk berkontraksi secara refleks juga dapat dinilai selama peningkatan mendadak tekanan intra abdomen misalnya ketika batuk. Respons refleks ini menyebabkan tekanan sfingter ani melebihi tekanan rektum untuk mempertahankan kontinensia. Respons tersebut dapat dipicu oleh reseptor-reseptor pada dasar panggul dan diperantarai melalui suatu lengkung refleks medula spinalis. Penderita-penderita dengan lesi medula spinalis di atas konus medularis masih memiliki respons refleks ini, namun kemampuan kontraksi secara volunter mungkin tidak ada, sedangkan pada penderita-penderita dengan lesi kauda equina atau pleksus sakralis, baik respons refleks dan respons kontraksi volunter tidak ditemukan.(2)

Pemeriksaan Sensoris

Distensi balon pada rektum dengan udara atau air dapat digunakan untuk menilai respons sensorik dan kompliansi dinding rektum. Dengan mengembangkan balon pada rektum dengan volume yang semakin meningkat, akan memungkinkan untuk menilai ambang untuk persepsi pertama, keinginan pertama atau suatu keinginan yang mendesak untuk defekasi. Ambang yang lebih tinggi untuk persepsi sensoris menunjukkan gangguan sensasi rektum. Juga volume balon yang dibutuhkan untuk inhibisi parsial atau lengkap dari tonus sfingter ani dapat dinilai. Telah terbukti bahwa volume yang dibutuhkan untuk menginduksi refleks relaksasi anus lebih rendah pada penderita-penderita inkontinensia dibandingkan kontrol.

Karena pengambilan sampel isi rektum oleh mukosa ani dapat berperan penting dalam menjaga kontinensia, telah diusulkan penilaian kuantitatif dari persepsi anus menggunakan stimulasi listrik atau termal. Pada satu studi, sensasi mukosa anus dinilai dengan mencatat ambang persepsi untuk stimulasi listrik dari anal kanal tengah dengan elektroda cincin. Suatu defek sensoris dan motorik ditemukan pada penderita-penderita degan inkontinensia. Pada studi lain, meskipun persepsi anal kanal terganggu segera setelah melahirkan pervaginam, tidak ada perbedaan pada 6 bulan kemudian. Peran termosensitivitas tampaknya kontroversial. Pada satu studi, kemampuan mukosa anus sehat untuk membedakan adanya perubahan kecil temperatur telah dipertanyakan. Karena pada kondisi normal tidak memungkinkan untuk menilai suhu materi feces yang dibuang dari rektum ke anal kanal selama

(17)

pengambilan sampel. Penelitian tersebut tidak dapat menunjukkan apakah penderita hanya mengalami defek sensorik anus tanpa adanya disfungsi sfingter, atau gangguan sensorik rektum saja. Sebaliknya, suatu kombinasi defek sensorik dan motorik telah dilaporkan pada banyak studi.

Kompliansi rektum dapat dihitung dengan menilai perubahan pada tekanan rektum selama distensi balon dengan udara atau cairan. Kompliansi rektum berkurang pada penderita-penderita dengan kolitis dan dan pada penderita-penderita dengan lesi medula spinalis rendah dan pada penderita diabetes dengan inkontinensia. Sebaliknya, kompliansi meningkat pada lesi medula spinalis tinggi. Ketika dilakukan dengan cermat, manometri anorektal dapat memberikan informasi yang berguna terkait fungsi anorektal. Suatu kajian teknis merekomendasikan penggunaan manometri anorektal untuk pemeriksaan penderita-penderita dengan inkontinensia karena ini dapat mendefinisikan kelemahan fungsional dari salah satu atau kedua sfingter dan membantu untuk melakukan serta mengevaluasi respons terhadap pelatihan

biofeedback. Sayangnya, hingga kini belum ada teknik atau alat yang seragam untuk

melakukan manometri anorektal. Juga, data normatif yang ada masih langka, serta belum tersedianya metode yang seragam untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan. Karenanya, ada urgensi untuk mengembangkan standar pemeriksaan fungsi anorektal dan untuk memvalidasi signifikansi hasil-hasil yang abnormal. Baru-baru ini, American Motility Society telah memulai suatu upaya kolaboratif internasional untuk mengembangkan standar pemeriksaan manometri dan suatu dokumen konsensus telah dipublikasikan. Pemeriksaan manometri untuk fungsi anorektal juga dapat berguna untuk menilai perbaikan obyektif pasca terapi obat, terapi biofeedback, atau bedah.(2)

Pencitraan Anal Kanal

Endosonografi anus merupakan pemeriksaan yang paling sederhana, banyak tersedia, dan paling murah untuk menentukan defek struktural dari sfingter ani dan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita yang diduga mengalami inkontinensia fekal.

Endosonograsi Anus: Secara tradisional, endosonografi anus telah dilakukan menggunakan tranduser putar 7 mHz dengan panjang fokus 1–4 cm. Alat ini memberikan penilaian ketebalan dan integritas struktural dari otot sfingter ani eksterna dan interna dan dapat mendeteksi adanya jaringan parut, hilangnya jaringan

(18)

otot, dan patologi lokal lainnya. Saat ini telah tersedia, probe dengan frekuensi yang lebih tinggi (10–15 mHz) yang dapat menunjukkan batas dari kompleks sfingter ani dengan lebih baik.

Setelah proses melahirkan pervaginam, endosonografi anus telah menunjukkan adanya cedera sfingter tersembunyi pada 35% wanita primipara dan sebagian besar lesi ini tidak terdeteksi secara klinis. Pada studi lainnya, defek sfingter ditemukan pada 85% wanita dengan robekan perineum derajat tiga dibandingkan dengan 33% subjek tanpa robekan. Pada studi-studi yang membandingkan pemetaan EMG dengan endosonografi anus, terdapat kesesuaian yang tinggi untuk mengidentifikasi defek sfingter menggunakan kedua modalitas tersebut. Bagaimanapun, teknik ini bergantung pada operator dan membutuhkan pelatihan dan pengalaman. Meskipun endosonografi dapat membedakan suatu cedera sfingter interna dari eksterna, cara ini memiliki spesifisitas yang rendah untuk menunjukkan etiologi dari inkontinensia fekal. Karena endosonografi anus lebih banyak tersedia dan lebih murah dan tentu saja lebih tidak menyakitkan dibandingkan insersi jarum, saat ini, ini merupakan teknik yang lebih disukai untuk memeriksa morfologi sfingter ani.(2)

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada suatu studi kecil yang belum lama

dilakukan, MRI endoanal telah terbukti memberikan pencitraan dengan resolusi spasial yang lebih baik, terutama untuk menentukan anatomi sfingter ani eksterna. Suatu kontribusi besar dari MRI anus adalah pada pengenalan atropi sfingter ani eksterna dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi perbaikan sfingter. Atropi juga dapat muncul tanpa adanya neuropati nervus pudendus. Penambahan MRI pelvis dinamik menggunakan fast imaging sequences dari MRI colpocystografi dengan pengisian sendiri rektum dengan gel ultrasound sebagai agen kontak dan meminta penderita untuk mengevakuasi gel ini sambil berbaring dalam alat MRI dapat menentukan anatomi anorektal dengan lebih tepat. Penggunakan kumparan endo-anal secara signifikan meningkatkan resolusi dan memungkinkan menentukan otot-otot sfingter dengan lebih tepat. Studi-studi komparatif yang menilai biaya, ketersediaan, pengetahuan teknis, penggunaan klinis, dan bagaimana MRI dapat mempengaruhi keputusan terapi, masih perlu dilakukan di masa depan.

(19)

Defekografi

Defekografi berguna pada penderita-penderita dengan dugaan prolapsus rekti atau pada mereka yang memiliki evakuasi rektum yang buruk. Ini merupakan pemeriksaan radiografis yang memberi informasi morfologis terkait rektum dan anal kanal dan menggunakan teknik-teknik fluoroskopik. Ini digunakan untuk menilai beberapa parameter misanya sudut anorektal, penurunan diafragma pelvis, panjang anal kanal, adanya rektokel, prolapsus rekti, atau intususepsi mukosa. Sekitar 150 ml bahan kontras ditempatkan pada rektum dan subjek diminta untuk mengejan, batuk atau mengeluarkan kontras. Berbagai bahan kontras yang telah digunakan antara lain barium kontras esofagus, barium dicampur dengan havermut (oatmeal), atau bahan kental lainnya.(2)

Meskipun pemeriksaan ini dapat mendeteksi sejumlah abnormalitas, namun inkontinensia juga dapat ditemukan pada individu yang asimtomatik tetapi tidak mengalami gangguan evakuasi rektal. Belum ada kesepakatan diantara penilai dalam hal pengukuran sudut anorektal. Tidak jelas apakah pemeriksa sebaiknya menggunakan aksis sentral dari rektum atau dinding posterior rektum. Signifikansi fungsional untuk mengidentifikasi defek morfologis telah dipertanyakan. Banyak peneliti juga mempertanyakan dasar rasional untuk melakukan defekografi pada penderita-penderita dengan inkontinensia karena pemeriksaan ini hanya menambahkan informasi yang sangat sedikit dibandingkan yang didapat dari manometri. Meskipun defekografi dapat mengkonfirmasi kejadian inkontinensia saat istirahat atau saat batuk, pemeriksaan ini paling berguna untuk menunjukkan prolapsus rekti pada penderita-penderita yang terdapat dugaan untuk hal tersebut.(2)

Tes Ekspulsi Balon

Tes ekspulsi balon dapat mengidentifikasi gangguan evakuasi pada penderita-penderita dengan rembesan feces atau pada mereka yang mengalami impaksi dan

overflow feces. Hampir semua subyek normal dapat mengeluarkan balon yang berisi

air sebanyak 50 ml, atau feces tiruan yang berisi silikon dari rektum. Secara umum, sebagian besar penderita dengan inkontinensia fekal mengalami sedikit kesulitan atau tidak kesulitan sama sekali dalam evakuasi tersebut. Namun, gangguan evakuasi tersebut terjadi pada penderita-penderita dengan rembesan feces dan banyak subyek lansia dengan inkontinensia fekal akibat impaksi feces. Pada penderita-penderita khusus ini, suatu tes ekspulsi balon dapat membantu mengidentifikasi disinergia. Disinergia adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat koordinasi antara abdomen,

(20)

diafragma pelvis, dan otot-otot sfingter ani selama defekasi. Bagaimanapun, defekasi disinergik, membutuhkan tes-tes obyektif lain. Jika terdapat gangguan evakuasi, maka tes ekspulsi balon dapat digunakan untuk menentukan penderita-penderita dengan rembesan feces untuk menjalani pelatihan biofeedback dan juga untuk menilai efikasi terapinya. (2)

Pudendal Nerve Terminal Latency (PNTML)

PNTML berguna untuk menilai penderita-penderita sebelum menjalani repair sfingter ani dan terutama membantu dalam memprediksi luaran tindakan bedah tersebut. PNTML mengukur integritas neuromuskular antara bagian terminal dari nervus pudendus dan sfingter ani. Cedera pada nervus pudendus menyebabkan denervasi otot sfingter ani dan kelemahan otot. Karenanya, pengukuran durasi latensi saraf dapat membantu membedakan otot sfingter yang lemah karena cedera otot dengan yang diakibatkan oleh cedera saraf. Suatu elektroda sekali pakai (St. Mark’s electrode; Dantec-Medtronics, Minneapolis, MN) digunakan untuk mengukur waktu latensi. Pemanjangan waktu latensi saraf menunjukkan neuropati nervus pudendus.

Wanita yang melahirkan pervaginam dengan pemanjangan kala dua persalinan atau melahirkan dengan dibantu forsep ditemukan memiliki pemanjangan PNTML dibandingkan dengan wanita yang melahirkan dengan seksio sesaria atau secara spontan. Telah ditunjukkan pula bahwa wanita dengan inkontinensia fekal setelah suatu cedera obstetri memiliki baik neuropati nervus pudendus maupun defek sfingter ani.

Inkontinensia fekal seringkali merupakan hasil akhir dari cedera saraf dan otot. Pada satu studi, dijumpai bahwa wanita dengan cedera obstetri mengalami inkontinensia fekal hanya ketika ada neuropati pudendus. Karenanya, PNTML sendiri tidak dapat mengidentifikasi mekanisme yang mendasari untuk terjadinya inkontinensia fekal. Bagaimanapun, bersamaan dengan manometri dan/atau endosonografi anus, pemeriksaan ini dapat melengkapi satu dengan lainnya. Pada suatu studi retrospektif pada 55 penderita dengan inkontinensia fekal, sebagai dampak sekunder dari trauma obstetrik dan mereka yang menjalani tindakan bedah, lima penderita dengan sfingter ani yang utuh dan enam dengan sfingter ani yang tidak utuh memiliki luaran bedah yang jelek. Karenanya, baik endosonografi anus atau PNTML sama-sama tidak dapat memprediksikan luaran bedah. Yang lain telah menunjukkan bahwa tidak ada pemeriksaan tunggal fungsi anorektal yang memiliki nilai diskriminatorik atau nilai

(21)

prediktif yang cukup tinggi untuk mendefinisikan patofisiologi yang mendasari. Satu studi menunjukkan bahwa satu repair menghasilkan hasil yang baik hingga sangat baik pada 80% wanita dengan inkontinensia fekal tetapi tanpa neuropati nervus pudendus dibandingkan dengan 11% dari wanita dengan neuropati. Karenanya, tampaknya wanita dengan defek sfingter saja mendapat manfaat yang lebih baik pasca

repair sfingter dibandingkan wanita dengan defek sfingter yang disertai neuropati.

Suatu kajian teknis menyimpulkan bahwa PNTML tidak dapat direkomendasikan untuk pemeriksaan penderita-penderita dengan inkontinensia fekal karena memiliki korelasi yang buruk dengan gejala-gejala klinis dan temuan-temuan histologis; pemeriksaan ini tidak membedakan kelemahan otot yang disebabkan oleh cedera saraf atau otot; memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang buruk; bergantung pada operator; dan tidak dapat memprediksikan luaran bedah.

Bagaimanapun, dua kajian terbaru untuk delapan studi tidak terkontrol melaporkan bahwa penderita-penderita dengan neuropati nervus pudendus umumnya memiliki luaran klinis yang buruk jika dibandingkan dengan yang tidak memiliki neuropati. Hasil PNTML normal tidak mengeksklusi neuropati nervus pudendus, karena adanya beberapa serabut saraf yang utuh dapat memberikan hasil yang normal, sedangkan waktu latensi abnormal dapat lebih signifikan. Karenanya, ketika menginterpretasikan hasil PNTML, penting untuk mempertimbangkan apakah seorang penderita memiliki cedera otot atau cedera neurogenik murni atau cedera campuran. Pada seorang penderita yang hanya memiliki cedera otot, mungkin hanya ada sedikit atau tidak ada gangguan saraf sedangkan pada seorang penderita dengan hanya cedera neurogenik mungkin hanya ada sedikit atau tidak ada disrupsi otot. Pada sebagian besar penderita, bagaimanapun, terdapat cedera campuran. Jika begitu, nilai prognostik dari PNTML akan bergantung sebagian pada derajat masing-masing jenis cedera, usia penderita, dan masalah-masalah lain yang muncul bersamaan. Diperlukan suatu studi terkontrol prospektif multilokasi yang dirancang dengan baik untuk mendifinisikan penggunaan pemeriksaan ini, baik untuk tujuan diagnostik dan untuk memprediksi luaran klinis dari intervensi terapetik.(2)

Tes Infus Salin

Tes infus salin merupakan metode sederhana untuk mengevaluasi inkontinensia fekal, terutama untuk menilai perbaikan klinis setelah bedah atau terapi biofeedback.

Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai kapasitas keseluruhan dari unit defekasi untuk mempertahankan kontinensia selama kondisi-kondisi yang menyebabkan stimulasi

(22)

diare. Dengan penderita berbaring di tempat tidur, suatu selang plastik 2-mm dimasukkan hingga sekitar 10 cm ke dalam rektum dan difiksasi dengan plester. Selanjutnya, penderita dipindahkan ke toilet. Selang dihubungkan dengan pompa infus kemudian salin hangat sebanyak 1.500 ml atau 800 ml diinfuskan ke dalam rektum pada kecepatan 60 ml/menit. Penderita diminta untuk menahan cairan salin selama mungkin. Volume salin yang telah diinfuskan pada kejadian kebocoran pertama (didifinisikan sebagai kebocoran setidaknya 15 ml), dan volume total yang dipertahankan pada akhir infus dicatat. Sebagian besar subjek normal harus dapat mempertahankan volume ini tanpa kebocoran, sedangkan penderita-penderita dengan inkontinensia fekal atau penderita-penderita dengan gangguan kompliansi rektum, misalnya kolitis ulseratif, mengalami kebocoran pada volume yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan ini juga berguna untuk menilai perbaikan obyektif inkontinensia fekal setelah terapi biofeedback.(2)

Penggunaan Klinis Tes-Tes untuk Inkontinensia fekal

Suatu pemeriksaan diagnostik dianggap berguna jika dapat memberikan informasi terkait patofisiologi yang kelainan yang terjadi pada penderita, mengkonfirmasi suatu kecurigaan klinis, atau memandu manajemen klinis. Pada suatu studi prospektif, riwayat (anamnesis) saja dapat mendeteksi suatu penyebab yang mendasari inkontinensia fekal hanya pada 9 dari 80 penderita (11%), sedangkan tes-tes psikologis menunjukkan abnormalitas pada 44 penderita (55%). Tidak diragukan lagi, tes-tes yang disebutkan di atas dapat membantu mengidentifikasi mekanisme yang mendasari terjadinya inkontiensia fekal, namun hanya menyediakan informasi yang terbatas terkait dengan kegunaannya secara klinis dan dampaknya pada penatalaksanaan penderita.

Pada suatu studi retrospektif besar yang terdiri atas 302 penderita dengan inkontinensia fekal, suatu abnormalitas patofisiologis yang mendasari dapat diidentifikasi, tetapi hanya setelah melakukan manometri, EMG, dan pemeriksaan sensoris rektum. Sebagian besar penderita memiliki lebih dari satu abnormalitas patofisiologis. Pada suatu studi besar lainnya yang terdiri atas 350 penderita, penderita-penderita yang mengalami inkontinensia memiliki tekanan istirahat dan tekanan saat saat kontraksi yang lebih rendah, kapasitas rektum yang lebih kecil, dan mengalami kebocoran lebih dini pasca infus salin pada rektum. Bagaimanapun, baik pemeriksaan tunggal maupun kombinasi tiga pemeriksaan yang berbeda (manometri

(23)

anus, kapasitas rektum, tes kontinensia salin) memberikan nilai diskriminatorik yang rendah antara penderita-penderita yang mengalami dan tidak mengalami inkontinensia. Ini menekankan pada luasnya rentang nilai normal dan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi kehilangan jika ada salah satu mekanisme kontinensia yang hilang.

Pada suatu studi prospektif, manometri anorektal dengan pemeriksaan sensoris tidak hanya mengkonfirmasi kesan klinis tetapi juga memberi informasi baru yang tidak terdeteksi secara klinis. Lebih jauh lagi, informasi diagnostik yang didapat dari studi-studi di bawah ini kemudian mempengaruhi baik manajemen dan luaran penderita-penderita dengan inkontinensia. Pada sebuah studi dijumpai adanya abnormalitas tunggal pada 20% penderita, sedangkan abnormalitas yang lebih dari satu ditemukan pada 80% penderita. Pada studi lain, tekanan sfingter abnormal ditemukan pada 40 penderita (71%) sedangkan perubahan sensasi rektum atau kompliansi rektum yang buruk ditemukan pada 42 penderita (75%). Temuan-temuan ini telah dikonfirmasi lebih jauh oleh studi lain, yang menunjukkan bahwa tes-tes fisiologis tersebut memberikan diagnosis definitif pada 66% dari penderita-penderita dengan inkontinensia. Bagaimanapun, berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan ini saja, tidak mungkin untuk memprediksi apakah seorang penderita secara individual mengalami atau tidak mengalami inkontinensia. Konsekuensinya, suatu hasil tes abnormal harus diinterpretasikan bersamaan dengan gejala-gejala yang dialami penderita dan tes-tes pelengkap lainnya. Tes-tes untuk fungsi anorektal memberikan data obyektif dan dapat menjelaskan patofisiologi yang mendasarinya; dimana sebagian besar dari informasi tersebut tidak dapat terdeteksi secara klinis. (2)

Tatalaksana Penderita dengan Inkontinensia fekal

Tujuan terapi untuk penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk mengembalikan kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup. Suatu pendekatan algoritmik untuk pemeriksaan dan manajemen penderita-penderita dengan inkontinensia fekal disajikan pada Gambar 3

Upaya-Upaya Suportif

Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif, membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit, dan melakukan perubahan gaya hidup dapat bermanfaat dalam penatalaksanaan inkontinensia fekal.

(24)

Suatu riwayat komprehensif (Tabel 2), pemeriksaan fisik mendetail, dan penggunaan buku harian feces prospektif (Tabel 3), dapat memberikan petunjuk-petunjuk penting terkait keparahan dan jenis inkontinensia juga kondisi-kondisi yang menjadi predisposisi, misalnya impaksi feces, dimensia, masalah-masalah neurologis, penyakit radang usus besar atau faktor diet (intoleransi karbohidrat). Jika dijumpai adanya masalah, maka harus dilakukan diterapi atau dikoreksi dengan agresif.

Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk defekasi, dan pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang penting. Upaya-upaya kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah, membersihkan kulit perianal segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi), dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc oxide dan calamine lotion (Calmoseptine®, Calmoseptine Inc: Huntington Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit. Infeksi jamur perianal harus diterapi dengan agen antifungal topikal. Yang lebih signifikan, berupa penjadualan defekasi dengan toilet dekat dengan tempat tidur atau dengan pispot dan upaya-upaya suportif untuk memperbaiki keadaan umum dan nutrisi penderita terbukti efektif. Deodoran feces (Periwash®, Sween Corp, MN, Derifil®, Rystan Corp. NJ, dan Devrom®, Parthenon Co., UT) dapat berguna untuk mengurangi bau feces. Pada penderita-penderita yang dirawat, merutinkan defekasi dan melakukan pelatihan kognitif dapat bermanfaat. Upaya-upaya ini penting, di mana kegagalan pada upaya-upaya ini akan berkaitan dengan kematian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengalami inkontinensia.

Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya, mengurangi konsumsi kafein, terutama setelah makan dapat membantu mengurangi urgensi postprandial dan diare. Aktivitas fisik yang cukup, terutama setelah makan atau segera setelah bangun dapat menimbulkan inkontinensia fekal karena kejadian-kejadian fisiologis tersebut berhubungan dengan peningkatan motilitas kolon. Olahraga dapat meningkatkan aktivitas motorik dan transit kolon. Buku harian mengenai makanan dan gejala dapat mengidentifikasi faktor-faktor diet yang menyebabkan feces cair dan inkontinensia, terutama, malabsorpsi laktosa atau fruktosa. Mengeliminasi jenis makanan tersebut terbukti bermanfaat. Suplemen serat

(25)

seperti psyllium sering dicoba untuk memadatkan feces dan mengurangi feces cair. Bagaimanapun, belum ada studi yang dipublikasi untuk membenarkan pemberian suplemen tersebut. Perlu dicatat bahwa suplemen serat dapat secara potensial memperburuk diare dengan meningkatkan fermentrasi serat tak terabsorpsi di kolon.(2)

(26)

Terapi Spesifik

Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai berikut: 1. Terapi farmakologis

2. Terapi biofeedback

3. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers), dan terapi tambahan 4. Bedah

Terapi Farmakologis:

Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen antidiare misalnya loperamide hydrochloride (Imodium®—Janssen Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil®, Searle, Chicago, IL) tetap menjadi obat pilihan yang utama. Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4 mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani istirahat dan mengurangi berat feces. Perbaikan klinis juga dilaporkan dengan diphenoxylate/atropine (Lomotil®) tetapi, pemeriksaan obyektif tidak menunjukkan perbaikan pada kemampuan untuk mempertahankan salin atau gumpalan. Codeine phosphate menunjukkan manfaat yang serupa tetapi menyebabkan mengantuk dan adiksi, sedangkan diphenoxylate/atropine menyebabkan mulut kering. Meskipun sebagian besar penderita mendapat manfaat sementara, setelah beberapa hari, banyak yang melaporkan nyeri perut bawah seperti kram, atau kesulitan evakuasi akibat antidiare. Karenanya, titrasi yang hati-hati dari dosis antidiare dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Malabsorpsi garam empedu idiopatik dapat merupakan penyebab mendasar yang penting untuk terjadinya diare dan inkontinensia. Penderita-penderita dengan masalah ini dapat diberikan titrasi dosis resin penukar ion misalnya cholestyramine (Questran®, Bristol Laboratories, Princeton, NJ) atau colestipol (Colestid®, Pharmacia & Upjohn, Kalamazoo, MI).(2)

Wanita-wanita pascamenopause dengan inkontinensia fekal dapat mendapat manfaat dari terapi pengganti estrogen. Pada suatu studi prospektif tentang pemberian estrogen, 25% dari 20 wanita pascamenopause yang mengalami inkontinensia flatus atau fekal dan urgensi feces menjadi asimtomatik setelh 6 bulan terapi. Dua pertiga

(27)

lainnya membaik secara simtomatik. Tekanan anus istirahat dan saat kontraksi volunter juga meningkat setelah terapi estrogen. Baru-baru ini, suatu studi acak untuk krim topikal phenylephrine 10%, menunjukkan adanya perbaikan simtomatik pada setengah dari penderita-penderita dengan kantong ileoanal dan inkontinensia, dan resolusi lengkap pada sepertiga lainnya. Studi pendahuluan lainnya menunjukkan bahwa valproate sodium, dengan mengaktivasi reseptor GABA, dapat meningkatkan tekanan sfingter ani, dan menurunkan frekuensi defekasi dan inkontinensia pada penderita-penderita dengan anastomosis ileoanal. Suatu studi label terbuka yang terbaru menunjukkan bahwa amitriptyline (20 mg) berguna dalam terapi penderita-penderita dengan inkontinensia urin atau fekal dan tanpa bukti adanya defek struktural atau neuropati. Supositoria atau enema juga dapat berperan dalam terapi penderita-penderita inkontinensia dengan evakuasi rektum yang inkomplit dan pada mereka yang mengalami rembesan pasca defekasi. Pada beberapa penderita, obat-obat konstipasi yang diberikan secara bergantian dengan enema periodik dapat memberikan evakuasi yang lebih terkontrol, namun terapi intervensi ini belum diuji secara prospektif. (2)

Terapi Biofeedback .

Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif. Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal, mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameter-parameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.

Terapi perilaku menggunakan teknik “operant conditioning,” telah terbukti memperbaiki fungsi usus dan inkontinensia. Prinsipnya pengaturannya adalah bahwa seorang individu menjalani perilaku baru melalui proses trial and error. Jika proses pembelajaran ini ditekankan secara berulang, terutama dengan umpan balik yang instan, kecenderungan untuk mendapat dan menyempurnakan perilaku ini akan meningkat beberapa kali lipat. Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal adalah:

1. untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;

2. untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal, dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan setelah persepsi rektum;

(28)

Karena masing-masing tujuan membutuhkan metode pelatihan spesifik, protokol terapi harus dikhususkan untuk masing-masing penderita berdasarkan mekanisme patofisiologis yang mendasari. Pelatihan biofeedback sering dilakukan menggunakan teknik umpan balik visual, auditorik, atau verbal. Instrumen yang digunakan untuk memberi umpan balik terdiri atas manometri atau probe EMG yang dimasukkan ke anorektum dan suatu monitor atau pencatat grafik untuk menunjukkan perubahan-perubahan manometri. Ketika seorang penderita diminta untuk mengerutkan anus dan mempertahankannya selama mungkin, otot sfingter ani berkontraksi. Peningkatan tekanan anus atau aktivitas EMG ini dapat ditampilkan pada suatu monitor dan dapat berfungsi sebagai petunjuk visual yang memberikan umpan balik instan pada penderita terkait kinerja mereka. Secara serupa, intensitas atau tinggi rendah nada dari sinyal auditorik yang dihasilkan oleh aktivitas EMG anus dapat memberikan informasi umpan balik auditorik. Terapis kemudian memberikan arahan verbal.(2)

Tujuan pelatihan koordinasi rektoanal adalah untuk mencapai kontraksi volunter maksimun dalam kurang dari 2 detik setelah menggelembungkan balon dalam rektum. Manuver ini menyerupai peristiwa masuknya feces pada rektum dan mempersiapkan penderita untuk bereaksi dengan mengkontraksikan kelompok otot yang tepat. Penderita diajari untuk dengan selektif mengkontraksikan otot-otot anusnya tanpa meningkatkan tekanan intraabdominal atau mengkontraksikan otot pantat atau paha. Juga, manuver ini mengidentifikasi penundaan sensorik dan melatih individu untuk menggunakan petunjuk visual untuk memperbaiki koordinasi sensorimotornya. Pengkondisian sensorik dari rektum mengedukasi penderita untuk mempersepsi volume distensi balon yang lebih rendah tetapi dengan intensitas yang sama dengan yang sudah dirasakan sebelumnya dengan volume yang lebih tinggi. Ini dicapai dengan secara berulang menggelembungkan dan mengempiskan balon dalam rektum. Pendekatan lain meliptui program biofeedback dengan penambahan yang terdiri dari stimulasi listrik sfingter ani dengan umpan balik EMG. (2)

Teknik pengkondisian neuromuskular ini harus digunakan bersamaan dengan latihan penguatan otot-otot dasar panggul (latihan Kegel termodifikasi) dan upaya-upaya suportif lainnya untuk mencapai perbaikan fungsi defekasi yang dapat bertahan lama. Belum ada suatu analisis komponen mengenai metode biofeedback mana; apakah misalnya pelatihan otot atau pelatihan sensorik atau keduanya lebih efektif, atau apakah latihan Kegel saja sudah cukup efektif. (2)

(29)

Sulit untuk memprediksi berapa banyak sesi terapi biofeedback yang dibutuhkan. Sebagian besar penderita tampaknya membutuhkan empat hingga enam sesi pelatihan. Studi-studi yang telah menggunakan jumlah sesi terapi yang baku, sering kurang dari tiga kali, menunjukkan respons perbaikan yang kurang memuaskan dibandingkan studi-studi yang mentitrasi jumlah sesi berdasarkan kinerja penderita. Pada satu studi, penekanan periodik dengan pelatihan biofeedback pada 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan, dianggap memberikan manfaat tambahan, tetapi dibutuhkan konfirmasi lebih lanjut. (2)

Pada literatur istilah “perbaikan,” “keberhasilan,” atau “penyembuhan” telah digunakan bergantian dan definisi untuk masing-masing istilah tidak konsisten. Pada studi-studi tidak terkontrol, perbaikan subyektif telah dilaporkan pada 40–85% penderita. Beberapa studi bergantung pada buku harian gejala prospektif, tetapi banyak lainnya menggunakan panggilan telepon dan survey sebanyak satu kali. Perbaikan obyektif pada fungsi anorektal kurang banyak dilaporkan. Ini mungkin karena perbedaan pada teknik pelatihan—koordinasi motorik atau sensorik, jumlah sesi pelatihan, apakah penekanan periodik dilakukan atau tidak, dan apakah dilakukan penilaian jangka pendek atau jangka panjang. Pada suatu studi dari 100 penderita dengan inkontinensia fekal, dua pertiga dari penderita membaik pada akhir terapi dan mereka yang mengalami inkontinensia urgensi saja menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan inkontinensia pasif (55% vs 23%). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efikasi terapetik pelatihan biofeedback tidak dapat diprediksi berdasarkan hasil manometrik. Pada sebagian besar studi ini, hanya ada perbaikan obyektif minimal. Bagaimanapun, satu studi prospektif terkontrol menunjukkan bahwa 1 tahun setelah memulai terapi, terdapat peningkatan signifikan pada tekanan saat kontraksi volunter dan perbaikan signifikan pada koordinasi rektoanal, perbaikan sensasi rektum dan kapasitas untuk mempertahankan infus salin. Hasil yang serupa berupa perbaikan fungsi sfingter ani telah dilaporkan pada studi-studi terbaru. Baru-baru ini, suatu studi acak terkontrol pada 171 penderita yang menerima terapi perilaku telah dipublikasikan. Studi ini menunjukkan bahwa sekitar 54% penderita dengan inkontinensia fekal ringan hingga sedang (jumlah median episode = 1/minggu) yang menerima perawatan standar dengan nasehat atau terapi biofeedback berbasis instrumen dapat membaik. Meskipun pengulangan pemeriksaan obyektif tidak dilakukan pada 40% subyek, studi ini menunjukkan bahwa pendekatan perilaku dengan atau tanpa instrumentasi dapat efektif.(2)

(30)

Adanya inkontinensia fekal berat, neuropati nervus pudendus, dan masalah neurologis yang mendasari terkait dengan prognosis yang buruk bila diterapi dengan terapi

biofeedback. Satu studi menunjukkan bahwa terapi biofeedback paling bermanfaat

pada penderita-penderita dengan inkontinensia urgensi. Biofeedback tampaknya juga berguna pada penderita-penderita yang telah menjalani sfingteroplasti, postanal repair, dan reseksi low anterior dan pada anak-anak yang telah menjalani koreksi anomali anorektal. Bagaimanapun, belum ada studi acak terkontrol yang membandingkan terapi biofeedback dengan modalitas lain termasuk tindakan bedah.(2)

Teknik terapi biofeedback belum distandarisasi dan metode optimal untuk mendefinisikan perbaikan klinis juga tidak jelas. Ini membatasi kemampuan kita untuk melakukan suatu meta-analisis. Tidak jelas juga komponen mana dari terapi

biofeedback yang paling efektif dan penderita-penderita mana yang cocok untuk

terapi ini. Terlebih lagi, penggunaan terapi ini terbatas pada tempat pelayangan yang memiliki spesialis. Seiring tumbuhnya pengalaman dan terkonfirmasinya efikasi jangka panjang terapi biofeedback pada studi-studi terkontrol, tampaknya bahwa terapi yang aman, relatif tidak mahal dan mudah dilakukan ini akan menjadi lebih populer. Penting dicatat bahwa parameter manometrik yang diambil pada awal penelitian tidak memprediksikan respons klinis terhadap terapi biofeedback. Karenanya, kriteria seleksi, motivasi individu, antusiasme terapis, dan keparahan inkontinensia, masing-masing dapat mempengaruhi luaran latihan tersebut.(2)

Pada keadaan tidak adanya pendekatan yang seragam, sebagian besar teknik untuk terapi biofeedback tampaknya menawarkan manfaat. Karenanya, terapi biofeedback sebaiknya ditawarkan pada semua penderita dengan inkontinensia fekal yang telah gagal dengan semua upaya suportif, dan terutama untuk penderita-penderita tua dan mereka yang memiliki penyakit komorbid, neuropati nervus pudendus dan penderita-penderita sebelum menjalani bedah rekonstruktif.(2)

Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik

Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studi-studi klinis terkontrol.

Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah diambil. Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat ini berguna bagi

(31)

penderita-penderita dengan gangguan sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat.

Pemadatan sfingter ani untuk menambah luas permukaannya sehingga dapat memberikan sumbatan yang lebih baik pada anal kanal telah dicoba menggunakan berbagai agen. Ini meliputi lemak otolog, glutaraldehyde-treated collagen (GAX), atau makromolekul sintetik. Bahan-bahan ini biasanya diinjeksikan submukosa baik pada sisi di mana sfingter mengalami defisiensi atau secara sirkumferensial, jika keseluruhan otot mengalami degenerasi atau terfragmentasi. Berbagai studi menunjukkan perbaikan definitif pada jangka pendek pada penderita-penderita dengan inkontinensia fekal pasif. Pengalaman dengan teknik ini, bagaimanapun, terbatas, dan tidak ada studi terkontrol atau studi luaran jangka panjang.(2)

Stimulasi Listrik

Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi otot. Pada satu studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari. Terdapat sejumlah peningkatan pada 10 dari 15 penderita dan ini berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter. Pada studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari selama 12 minggu, tetapi perbaikan hanya diamati pada 2 dari 10 penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan sfingter. Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis, dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik kesimpulan yang bermakna terkait efikasi terapi ini. Terapi alternatif lainnya adalah dengan melakukankan stimulasi nervus sakralis. Pada satu studi yang menilai efek jangka pendek, kontinensia dapat kembali pada delapan dari sembilan penderita. Hasil serupa juga dilaporkan oleh studi lain yang melakukan follow up pada lima penderita. Bagaimanapun, indikasi yang tepat untuk stimulasi nervus sakralis, komorbiditasnya, luaran jangka panjang dan efikasinya harus tetap dikaji.(2)

Tindakan Bedah:

Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau terapi biofeedback.

Pada sebagian besar penderita dengan inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian

Gambar

Gambar 1. Anatomi Anal Kanal dan Rektum
Tabel 1. Peyebab Tersering Inkontinensia Fekal  (9)
Gambar 2. Defek Sfingter Ani Interna &amp; Eksterna
Tabel 3. Daftar Harian Defekasi  (2)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah studi yang menggunakan gabungan autopsi dan ekokardiografi terhadap 1139 pasien HIV, didapati pada penderita dengan efusi perikard yang tidak disertai gejala, dua

Sebuah studi cohort mengenai penderita AIDS dengan cryptosporidiosis menunjukkan 4 pola gejala klinis pada saluran cerna, yaitu infeksi asimptomatik, dimana penderita tidak

Rencana Terapi B, jika penderita mengalami dehidrasi ringan – sedang yaitu diare yang terjadi dan melibatkan dua atau lebih tanda. di bawah ini yaitu: Gelisah dan rewel,

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Min, dkk (2006) yang menyatakan bahwa lansia dengan fungsi kognitif yang masih baik dan mengalami inkontinensia urin akan

Pada akhir terapi ditemukan 79,6% pasien dengan kualitas hidup yang membaik dan 20,4% yang menetap, pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi

Pada akhir terapi ditemukan 79,6% pasien dengan kualitas hidup yang membaik dan 20,4% yang menetap, pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Min, dkk (2006) yang menyatakan bahwa lansia dengan fungsi kognitif yang masih baik dan mengalami inkontinensia urin akan

Dampak akhirnya tentunya perbaikan kualitas hidup seperti yang dilakukan oleh Negara Australia yang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk para penderita inkontinensia dengan tujuan