• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi obat (Setiawati, 2013).

2.1.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal (Tatro, 2009). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang bersamaan dapat menghasilkan efeknya secara bebas atau dapat berinteraksi. Interaksinya bisa bersifat potensiasi atau antagonis dari satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF, 2014).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2013).

(2)

2.1.2 Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat adalah bagaimana interaksi itu muncul. Ada dua macam mekanisme interaksi obat yakni interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.

2.1.2.1 Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah ketika obat diberi bersamaan obat yang satu mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik, seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat yang diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai

(3)

contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).

iv. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif

(4)

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous System (CNS) (Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang

(5)

sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008). iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

iv. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

(6)

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008). iii. Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2.1.2.2 Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang mana satu obat menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik objek obat. Artinya, seseorang dapat melihat perubahan kerja obat tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis yaitu penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan aksi farmakologis yang sama atau berbeda, misalnya penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan hipnotik atau antihistamin. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut bukan interaksi obat dan memang sebagian besar tanpa kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan (Tatro, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain) dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-

(7)

kadang efek aditif menyebabkan toksik misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008).

b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan aktivitas yang bertentangan satu sama lain. Misalnya efek penurunan glukosa dari antidiabetes akan ditentang oleh kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid (hiperglikemik) dan hiperglikemia yang signifikan telah terlihat dengan kortikosteroid sistemik. Contonnya adalah penggunaan dosis tinggi fluticasone inhalasi dengan glibenklamid dan metformin (Stockley, 2008).

2.1.3 Tingkat keparahan interaksi obat

Tingkat keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dibandingkan dengan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai berikut: a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek yang ditimbulkan biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk dalam keparahan moderate jika efek yang ditimbulkan dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau perpanjangan perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).

(8)

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas bagi profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individual berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003): a. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik. b. Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi

(9)

kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

c. Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karakteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.

d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan.

2.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Depkes RI, 2005).

2.2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (2015), terdapat 4 klasifikasi diabetes melitus, yaitu:

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 sebelumnya disebut dengan istilah diabetes tergantung insulin (insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang muncul sejak

(10)

kanak-kanak atau remaja (juvenile-onset diabetes) (ADA, 2015). Walaupun bentuk diabetes ini biasanya muncul pada anak-anak dan remaja, ini juga dapat muncul pada usia berapa saja. (Triplitt, et al., 2008).

Kasus DM tipe 1 berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini terjadi dikarenakan destruksi autoimun dari sel β pankreas. Namun beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak diketahui etiologinya (idiophatic diabetes). Pasien dengan diabetes bentuk ini memiliki insulinopenia permanen dan cenderung terjadi ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai tingkat defisiensi insulin antara episodenya. Tidak ada bukti dari autoimunitas untuk bentuk diabetes ini dan kurangnya bukti mengenai imunologi autoimunitas sel β. Diabetes tipe ini biasanya diturunkan dan insulin mutlak dibutuhkan oleh penderita diabetes tipe ini (ADA, 2015).

b. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes yang tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang muncul setelah dewasa (adult-onset) (ADA, 2015). Penderita DM tipe 2 mencapai sekitar 90-95% dari seluruh populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Diabetes jenis ini dikarakterisasi oleh resistensi insulin dan berkurangnya sensitivitas insulin. Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang buruk, seperti: kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah serat (Triplitt, et al., 2008).

c. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM)

Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan. Wanita dengan diabetes pada trimester pertama akan

(11)

diklasifiksikan memiliki diabetes tipe 2. GDM adalah diabetes yang didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas-jelas diabetes. (ADA, 2015). Sekitar 7% dari seluruh wanita hamil menderita GDM. Deteksi klinis penting sebagai terapi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal (Triplitt, et al., 2008)

d. Diabetes tipe spesifik

Tipe spesifik diabetes dikarenakan oleh penyebab lain seperti sindrom monogenik diabetes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the

young {MODY}), penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis sistik), dan obat

atau bahan kimia yang menginduksi diabetes (seperti pada pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (ADA, 2015).

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis Diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis dapat digunakan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM. (Purnamasari, 2009).

PERKENI (2011) menjelaskan diagnosis DM dilakukan jika terdapat gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dapat ditegakkan melalui beberapa cara:

(12)

a. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126mg/dL

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan gukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakuakan karena membutuhkan persiapan khusus.

d. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA (2015) sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI (2011) komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut i. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah

(13)

yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (Depkes RI, 2005). ii. Ketoasidosis Diabetik

Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Depkes RI, 2005). Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi- kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma (Utami dan Tim Lentera, 2003).

iii. Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK)

Hiperglikemia yang berlangsung lama juga dapat berkembang menjadi Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) (Depkes RI, 2005). Sindrom KHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa adanya ketosis. Gejala klinis utamanya adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis KHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus (Seowondo, 2009).

(14)

iv. Kemolakto Asidosis/Asidosis Laktat

Kemolakto asidosis/asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Tingginya konsentrasi asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolise karbohidrat dan berat penyakikit/kematian (Seowondo dan Hendarto, 2009). Gejala yang muncul biasanya berupa stupor hingga koma. Pemeriksaan gula darah biasanya hanya menunjukkan hiperglikemia ringan (glukosa darah dapat normal atau sedikit turun) (Utami dan Tim Lentera, 2003).

b. Komplikasi kronis

i. Komplikasi makrovaskuler

Tiga jenis komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah dan otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskuler dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskuler ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan/atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit makrovaskuler dikenal dengan berbagai nama antara lain Insulin Resistance

Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, Syndrome X (Depkes RI, 2005).

ii. Komplikasi mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya

(15)

komplikasi-komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, dan neuropati (Depkes RI, 2005).

2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan diabetes menurut (Depkes RI, 2005) memiliki tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada pada kisaran normal

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes 2.2.3.1 Terapi Non Farmakologi

a. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan dan masukan serat juga sebaiknya diperhatikan (Depkes RI, 2005).

b. Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

(16)

Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).

2.2.3.2 Terapi Farmakologi

Apabila penatalaksaan terapi obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.

a. Insulin

Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin dilepaskan dari sel β pankreas dengan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan, terutama glukosa. Insulin meningkatkan simpanan lemak dan glukosa di dalam sel target khusus dan mepengaruhi pertumbuhan sel dan fungsi metabolik berbagai jaringan (Nolte dan Karam, 2012).

Sediaan insulin yang beredar di pasaran mengandung hanya peptida aktif insulin. Ada empat jenis sediaan insulin injeksi antara lain:

i. Insulin kerja ultra pendek (rapid acting Insulin),

Insulin kerja ultra pendek mempuyai daya absorpsi pada tempat suntikan lebih cepat (90% dalam 100 menit) dibandingkan dengan insulin regular (90% dalam 150 menit). Onset kerja lebih cepat, puncak konsentrasi lebih tinggi dan lebih dini, serta lama kerja lebih singkat (Deliana, et al., 2007). Contohnya insulin aspart dan insulin glulisine dengan onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum

(17)

5-6 jam. Insulin lispro dengan onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum 4-6 jam (Triplitt, et al., 2008).

ii. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Potensi dan efek hipoglikemia insulin kerja pendek atau insulin regular, hampir sama dengan insulin kerja ultra pendek. Selain dapat diberikan subkutan, insulin regular adalah insulin yang dapat diberikan secara intra vena, oleh karena itu insulin ini biasa dipakai untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, pasien baru, dan tindakan bedah (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin regular yang memiliki onset 0,5-1 jam dengan masa kerja maksimum 6-8 jam (Triplitt, et al., 2008).

iii. Insulin kerja menengah (intermediate insulin)

Insulin kerja menengah mempunyai onset yang lambat dan masa kerja yang panjang tetapi masih kurang dari 24 jam. Insulin jenis ini dapat digunakan dua kali sehari (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin NPH (Neutral

Protamine Hagedorn) dengan onset 2-4 jam dan masa kerja maksimum 14-18 jam

(Triplitt, et al., 2008).

iv. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Mengingat masa kerja yang panjang, maka pemakaian insulin ini cukup diberikan satu kali dalam satu hari. Penggunaan insulin kerja panjang secara bermakna mengurangi kejadian hipoglikemia pada malam hari (nocturnal

hypoglycemia). Penggunaan insulin ini juga secara bermakna dapat menurunkan

kadar HbA1c serta frekuensi terjadinya hipoglikemia (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin detemir dengan onset 2 jam dan masa kerja maksimum

(18)

24 jam. Kemudian insulin glargine dengan onset 4-5 jam dan masa kerja maksimum 24 jam (Triplitt, et al., 2008).

b. Obat Antidiabetik Oral i. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea digunakan sebagai salah satu terapi pada DM tipe 2 karena dapat menstimulasi sekresi insulin. Mekanisme sekresi insulin terjadi karena sulfonilurea dapat berikatan dengan subunit SUR1 pada kanal kalium yang sensitif ATP (k-ATP) di sel β pankreas sehingga dapat menginduksi terjadinya penutupan kanal k-ATP. Penutupan kanal tersebut menyebabkan depolarisasi membran sel β pankreas sehingga kanal Ca2+

yang sensitif tegangan terbuka dan terjadi influks kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler menstimulasi eksositosis pelepasan granul insulin dan meningkatkan sekresi insulin (Triplitt, et al., 2008).

Obat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu glibenklamid, gliklazid, glipizid, glikuidon, dan glimepirid. Efek samping obat golongan ini yang sering terjadi, yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Triplitt, et al., 2008). ii. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin meningkatkan sensitivitas insulin baik pada hati dan jaringan perifer. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight. Efek samping dari baguanida adalah gangguan gastrointestinal meliputi diare dan rasa tidak nyaman pada perut (Triplitt, et al., 2008).

(19)

iii. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Contoh: Pioglitazone, Rosiglitazone (Triplitt, et al., 2008).

iv. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia

postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose dan Miglitol (Triplitt, et al., 2008).

v. Golongan DPP 4 Inhibitor

Penghambat Dipeptidyl Peptidase 4 (DPP-4) menghambat kerja DPP-4 dalam menguraikan inkretin. Penghambat DPP-4 juga bekerja seperti GLP-1 (Glucagon like Peptide-1) yaitu menstimulasi insulin dan menghambat sekresi glukagon, namun penghambat DPP-4 tidak menghambat pengosongan lambung. Contoh penghambat DPP-4 adalah sitagliptin dan vildagliptin. Penghambat DPP-4 memiliki waktu paruh yang panjang kecuali Vildagliptin. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan Penghambat DPP-4 adalah diare, mual, muntah dan sakit kepala (Triplitt, et al., 2008).

(20)

vi. Inhibitor ko-transporter natrium-glukosa 2 (Sodium-Glucose cotransporter

2 inhibitor/SGLT 2)

Inhibitor SGLT 2 menghadirkan penurunan glukosa tidak bergantung insulin dengan memblok reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal ginjal dengan menginhibisi SGLT 2. Agen ini menghadirkan penurunan berat badan sedang dan penurunan tekanan darah. Contohnya adalah canagliflozin, depagliflozin, empagliflozin. Obat ini meningkatkan glukosuria, sehingga efek samping yang dapat timbul adalah infeksi genitourinary, poliuria, hipotensi, pusing, peningkatan LDL-C dan peningkatan kreatinin (sementara) (ADA, 2015).

2.2.3.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma

penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut: a. Tahap 1

Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup (konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.). Apabila perubahan gaya hidup saja tidak cukup untuk mempertahankan tujuan glikemik, monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan dikontraindikasikan. Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk DM tipe 2.

b. Tahap 2

Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi, metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut: Sulfonilurea, Thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1, penghambat SGLT-2, atau insulin basal (Gambar 2.1). Pilihan obat didasarkan

(21)

pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan lain tidak ditampilkan pada Gambar 2.1 misalnya α-glukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi pemberian, dan/atau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat HbA1C ≥9%.

c. Tahap 3

DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan insulin dimulai saat KGD ≥300-350mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau HbA1C ≥10-12%. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa

postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat

makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek (lispro, aspart, glulisine) dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat menggunakan insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30

asprat mix). Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi harian (insulin pump) jarang digunakan dan relatif lebih mahal.

(22)

Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan preferensi pasien.

Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum. Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C ≥9%.

** Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD ≥300 -350 mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau A1C ≥10-12%, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul (penurunan berat badan, ketosis), dalam hal ini insulin basal + insulin waktu

Gambar

Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penderita diabetes yang tidak gemuk peningkatan konsentrasi glukosa darah disebabkan oleh produksi insulin yang relative terlalu sedikit untuk dapat

Tujuan penatalaksanaan diet atau perencanaan makanan pada penderita DM menurut Suyono (1999) adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah

Perubahan dari penderita hipertensi dapat berakibat menganggu aktifitas yaitu terganggunya sistem saraf simpatis yang diperlukan untuk pengaturan tekanan darah yang

Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari

insulin yang diberikan pada penderita DM tipe II apabila: (a) terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, (b) pasien dalam keadaan

Konsumsi beras sebagai makanan pokok yang memiliki IG rendah bagi penderita diabetes melitus berguna untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah dikarenakan lambat

Pada penderita diabetes tipe 2, pankreasnya sebenarnya menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat normal, namun

Bawang merah dilaporkan dapat menurunkan glukosa darah kelinci, baik yang diberi diet sukrosa dalam jumlah besar maupun yang dibuat diabetes dengan pemberian aloksan.. Bawang