• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Studi Penggunaan Obat

Studi penggunaan obat menurut World Health Organization (WHO) di gunakan sebagai acuan untuk pemasaran, distribusi, peresepan dan penggunaan obat untuk masyarakat dengan melihat aspek dari segi ekonomi, sosisal, dan kesehatan untuk meningkatkan keberhasilan dalam medis (Lee & Bergman, 2000).

2.2 Tinjauan Tentang Diabetes Mellitus 2.2.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan jenis penyakit matabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia atau gula darah yang meningkat, merupakan efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol, dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh (ADA, 2011).

2.2.2 Epidemiologi

The National Diabetes Data Group (NDDG) pertama kali pada tahun 1970 memperkenalkan istilah intoleransi glukosa. Subjek dengan intoleransi glukosa tidak bisa dikategorikan menjadi diabetes, tetapi memiliki kadar glukosa lebih tinggi dari orang normal. The Expert Comitte on the Diagnosis and Classification of Diabetes mellitus tahun 2003 memperluas konsep ini dengan memasukkan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dan toleransi glukosa terganggu (TGT) ke dalam kategori pra diabetes yang berhubungan dengan progresivitas dan komplikasi DM. Beberapa penelitian membuktikan bahwa TGT merupakan faktor risiko untuk timbulnya diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan GDPT (Nasrul, 2012).

Diabetes mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia yang sangat tinggi. Prevalensi diabetes pada orang tua berkisar dari 2,3% di Nigeria hingga 64,6% di Negara Federasi Mikronesia. Wilayah

(2)

Amerika Utara dan Karibia memiliki prevalensi regional tertinggi, yaitu 22,1%, sedangkan di Wilayah Afrika 9,6%. Secara keseluruhan, prevalensi diabetes sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (19,0% vs 18,3%) (IDF, 2013).

Berdasarkan data International Diabetes Federation jumlah penderita DM di Indonesia 9,1 juta pada tahun 2014, naik menjadi 10 juta pada tahun 2015, diprediksi akan mengalami kenaikan menjadi 14,1 juta pada tahun 2035, dan menjadi 16,2 juta penderita pada tahun 2040 (Hapsari dkk, 2017). Data penderita diabetes melitus di wilayah Kota Malang pada tahun 2015 menunjukkan penderita baru sebesar 5.905 pasien dan penderita lama sebesar 22.025 pasien dengan total keseluruhan sebesar 27.930 pasien penderita diabetes melitus (Dinkes Malang, 2015).

2.2.3 Etiologi

Diabetes mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif.

Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel β pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan. Pada diabetes mellitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (ADA, 2012).

2.2.4 Patofisiologi

Dalam keadaan normal kadar gula darah adalah 120 mg/dl. Diabetes mellitus akan menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal seperti penyakit jantung, penyakit ginjal, kebutaan, amputasi, dan mudah mengalami aterosklerosis jika dibiarkan tidak terkendali (Krisnatuti, 2014).

Tubuh manusia seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu badan juga memerlukan energi supaya sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi pada

(3)

mesin berasal dari bahan bakar yaitu bensin. Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat (gula dan tepung-tepungan), protein (asam amino) dan lemak (asam lemak) (Suyono, 2009).

Pengelolaan bahan makanan dimulai mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asm lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memengang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Suyono, 2009).

Diabetes mellitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak-anak atau awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan yang dimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas, menghasilkan defisiensi insulin.

Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel β (contoh: sel antibodi, antibodi insulin) (Dipiro et al., 2015). Pada patofisiologi diabetes mellitus tipe 1, yang terjadi adalah tidak adanya insulin yang dikeluarkan oleh sel yang berbentuk seperti peta pada pankreas yang terletak di belakang lambung. Dengan tidak adanya insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dirubah menjadi tenaga. Karena tidak bisa diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam darah menjadi naik (Homenta, 2012).

Diabetes mellitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan serapan otot

(4)

rangka glukosa. Sel β mengalami disfungsi progresif dan menyebabkan memburuknya kontrol glukosa darah. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenic (kalori yang berlebihan, olahraga tidak memadai dan obesitas) ditumpangkan di atas rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehinga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro et al., 2015).

Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1-2% kasus) mencakup penyakit endokrin (acromegali, cushing syndrome), diabetes gestasional (GDM) atau diabetes pada ibu hamil, dan obat-obatan (glukokortikoid, niasin, αinterferon) (Dipiro et al., 2015).

2.2.5 Klasifikasi

Terdapat empat klasifikasi yang diperkenalkan oleh ADA (American Diabetes Assosiation) 2010, Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah di pakai di seluruh dunia.

1. Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM) DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis (ADA, 2010).

2. Diabetes Mellitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) Penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini

(5)

terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (ADA, 2010).

3. Diabetes Mellitus Tipe Lain. DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain (ADA, 2010).

Diabetes mellitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (ADA, 2010)

2.2.6 Komplikasi

Penderita diabetes mellitus memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi. Komplikasi diabetes mellitus dapat bersifat akut dan kronis.

Komplikasi akut dapat terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejala yang terjadi secara cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya terjadi akibat kadar glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia). Komplikasi diabetes mellitus biasanya tidak muncul secara langsung, tetapi bisa muncul setelah 10-20 tahun, komplikasi ini disebabkan karena tingginya kadar gula yang persisten di dalam darah, sehingga menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf (Wijaya, 2013).

2.2.6.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut pada penderita diabetes mellitus terjadi apabila kadar glukosa darah seseorang meningkat atau menurun secara signifikan dalam waktu yang singkat. Penderita pada umumnya akan mengalami ketoasidosis diabetes, koma hyperosmolar nonketosis, hipoglikemia.

(6)

2.2.6.2 Komplikasi Kronis

Komplikasi kronis diabetes mellitus terjadi apabila kadar gula dalam darah tidak terkendali dengan baik dalam jangka berkepanjangan sehingga mengakibatkan berbagai komplikasi kronik diabetes mellitus yaitu Mikroangiopati (neuropati, nefropati, retinopati) dan Makroangiopati (jantung, stroke, kaki diabetik, komplikasi tulang sendi).

2.2.7 Parameter Kendali Diabetes Mellitus

Penyakit diabetes mellitus tidak dapat disembuhkan, namun dengan pengendalian melalui pengelolaan diabetes melitus dapat mencegah terjadinya kerusakan dan kegagalan organ dan jaringan. Untuk mencegah progresivitas diabetes mellitus pengendalian dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu edukasi, latihan jasmani, terapi nutrisi medis (TNM) dan terapi farmakologi.

Parameter yang dapat digunakan dalam menilai pengendalian diabetes melitus menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2015 adalah HbA1C, gula darah puasa (GDP), glukosa darah 2 jam, profil lipid, indeks massa tubuh (IMT) dan tekanan darah (Pardede, 2017).

1. Pemeriksaan Indeks Masa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan metode antropometri yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Menurut Radio Putro, orang dengan status gizi overweight memiliki risiko 2 kali terjadinya komplikasi diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan dengan orang yang status gizinya normal meskipun secara statistik tidak bermakna. Hal ini juga sama pada korelasi kejadian diabetes melitus dengan tingginya tekanan darah atau hipertensi, yaitu mempunyai risiko 1,5 kali lebih besar untuk mengalami komplikasi diabetes mellitus (Pardede, 2017). Seperti yang di jelaskan pada tabel II.1.

(7)

Tabel II.1 WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:

Redefining Obesity and its Treatment (Perkeni, 2011).

2. Pemeriksaan HbA1C

Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C) di sebut juga glcohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan pemeriksaan HbA1C yang tidak menuntut pasien untuk berpuasa, hasil pemeriksaan pun tidak dipengaruhi oleh gaya hidup jangka pendek pasien (makanan, minuman dan aktivitas fisik) karena HbA1C menggambarkan gula darah rata- rata pasien jangka panjang selama 2-3 bulan. Pemeriksaan HbA1C secara rutin dapat menggambarkan bagaimana kontrol gula darah pasien hingga berguna dalam manajemen untuk sebisa mungkin mengurangi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler yang mungkin terjadi (Airin Que, 2013).

3. Pemeriksaan gula darah

Gula darah merupakan salah satu faktor yang harus dikendalikan.

Pemeriksaan meliputi gula darah puasa (GDP) dan gula darah 2 jam post prandial (GD 2 jam PP). merujuk pada Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) gula darah puasa 80-100mg/dl, gula darah dua jam setelah makan 80-144mg/dl (Ramadhan, 2016).

4. Pemeriksaan tekanan darah

Menurut Eighth Joint National Committee VIII (JNC) penderita diabetes berusia di atas 18 tahun. Untuk menurunkan tekanan darah pada tekanan darah sistolik (SBP) ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) ≥90 mmHg dan memberi terapi hingga target SBP kurang dari 140 mmHg dan target DBP kurang dari 90 mmHg (Njoto, 2014).

5. Pemeriksaan profil lipid

Profil Lipid adalah suatu gambaran kadar lipid di dalam darah. Beberapa gambaran seperti tabel 2.2 dalam pemeriksaan profil lipid adalah kolesterol

Klasifikasi IMT Hasil

BB Kurang <18,5

BB normal 18,5-22,9

BB Lebih ≥ 23,0

1. Dengan resiko 23,0-24,9

2. Obes I 25,0-29,9

3. Obes II >30

(8)

total, trigliserida, HDL (High Density Lipoprotein), LDL (Low Density Lipoprotein), dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Pada pasien yang pemeriksaan profil lipidnya menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL;HDL perempuan >50mg/dL, laki-laki >40mg/dL;

trigliserid <150mg/dL), maka pemerikasaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolestrol HDL, sedangkan kadar kolestrol LDL normal atau sedikit meningkat (Perkeni, 2015).

Tabel II.2 Sasaran Pengendalian diabetes mellitus (Perkeni, 2011).

Parameter Sasaran

IMT(kg/m2) 18,5- <23

Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B) Tekanan darah diastolik (mmHg) <90 (B) Glukosa darah preprandial kapiler(mg/dl) 80-130 Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler(mg/dl) <180

HbA1c (%) <7 atau individual) (B)

Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko KV sangat tinggi)

Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan:

>50 (C)

Trigliserida (mg/dl) <150 (C)

Keterangan: KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial

2.2.8 Faktor Resiko Diabetes Mellitus

Resiko orang terkena penyakit diabetes mellitus terutama pada diabetes mellitus tipe 2 yaitu (Isnaini, 2018) :

1. Mempuyai riwayat keluarga yang terkena diabetes mellitus.

2. Usia ≥ 45 tahun atau lebih.

3. Obesitas (gemuk) atau berat badan tinggi.

4. Glukosa darah puasa atau sesudah makan lebih dari batas normal (pre diabetes atau toleransi glukosa terganggu).

5. Tekanan darah tinggi (lebih dari 130/85).

6. Kolesterol tinggi (LDL kolesterol >130 mg/dL atau kolesterol total

>200 mg/dL)

7. Melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg.

(9)

2.2.9 Gejala Klinik Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus di waspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes mellitus. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain polyuria (sering buang air kecil), polodipsia (sering haus), polifagia (banyak makan atau mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan pengelihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), berat badan yang menurun tanpa sebab yang jelas (DEPKES RI, 2005).

Pada diabetes mellitus tipe 2 gejala yang di keluhkan umumnya hampir tidak ada. DM tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi (DEPKES RI, 2005).

2.3 Tinjauan Terapi Diabetes Mellitus 2.3.1 Terapi Non Farmakologi

1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan diet

Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 diabetes mellitus, fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendah lemak jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan (Dipiro et al., 2015). Dianjurkan diet dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal karbohidrat, lemak dan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai berikut:

1. Karbohidrat : 60-70%

2. Protein : 10-15%

3. Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI, 2005).

(10)

2. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Selain itu latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, membantu untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesehatan (Dipiro et al., 2015).

2.3.2 Terapi Farmakologi

Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan terapi farmakologi, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) 1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupkan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih (Perkeni, 2015). Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea:

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan 2) Menurunkan ambang sekresi insulin

3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini

(11)

masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati.

Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin (70-90%) (DEPKES RI, 2005). Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat.

Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja Panjang (Perkeni, 2015). Obat yang masuk dalam golongan sulfonilurea adalah a. Glibenklamid

Glibenklamid adalah antidiabetik poten generasi kedua dari golongan sulfonilurea yang memperbaiki cara kerja glukosa melalui sekresi insulin, aksi insulin, ataupun keduanya, sementara sensitifitas efek terhadap insulin dapat dimediasi baik melalui perbaikan kontrol metabolik atau melalui efek perifer secara langsung, sulfonilurea juga diketahui dapat mensekresikan hormon pankreas seperti somatostatin dan glukagon. Mekanisme aksi dari glibenklamid adalah membentuk ikatan dari molekul obat dengan reseptor pada sel beta.

Ikatan yang terbentuk dapat merangsang keluarnya hormon insulin dari granul- granul sel beta pulau Langerhans pada pankreas. Oleh karena itu, syarat

(12)

pemakaian glibenklamid pada penderita diabetes mellitus adalah jika pankreas penderita diabetes masih dapat memproduksi insulin (Katzung, 2010). Untuk pemakaianya diminum sehari sekali sebelum makan (15-30 menit) dosis maksimal 20 mg (Perkeni, 2015).

b. Glimepiride

Glimepirid merupakan sulfonilurea generasi ketiga dengan durasi kerja lebih panjang dan onset yang lebih cepat. Berbeda dengan sulfonilurea lainnya, glimepiride mampu mengurangi komplikasi kardiovaskular (ischemic preconditioning) dan menyesuaikan kadar insulin yang disekresikan dengan kadar gula darah, terutama dalam keadaan post prandial, sehingga insiden hipoglikemia glimepiride lebih rendah daripada glibenklamid (Katzung, 2010).

Untuk pemakaianya diminum sehari sekali sebelum makan (15-30 menit) (Perkeni, 2015).

2. Glinid

Mirip dengan sulfonilurea, glinid menurunkan glukosa lebih rendah dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tetapi pelepasan insulin tergantung glukosa dan akan hilang pada konsentrasi glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk hipoglikemi parah. Agen ini menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea durasi panjang. Pengurangan A1C rata-rata 0,8% menjadi 1%. Obat-obatan ini dapat digunakan untuk memberikan peningkatan sekresi insulin saat makan (bila diperlukan) dengan tujuan glikemik. Obat-obat ini sebaiknya diberikan sebelum makan (sampai 30 menit sebelumnya). Jika ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini juga tidak diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk lansia (Perkeni, 2015).

a. Repaglinide (Prandin)

Dimulai pada 0,5-2 mg secara oral dengan dosis maksimum 4 mg tiap makan (Sampai empat kali sehari atau 16 mg / hari) (Perkeni, 2015).

(13)

b. Nateglinide (Starix)

Diberikan 120 mg secara oral tiga kali sehari sebelum makan. dosis awal dapat diturunkan sampai 60 mg tiap makan pada pasien yang A1C mendekati target terapi ketika terapi dimulai. (Perkeni, 2015).

B. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin:

a. Metformin

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan jaringan perifer (otot) untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Hal ini mengurangi tingkat A1C 1,5% menjadi 2%, tingkat FPG 60 sampai 80 mg / dL (3,3-4,4 mmol / L), dan mempertahankan kemampuan untuk mengurangi tingkat FPG sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7 mmol / L). Metformin mengurangi trigliserida plasma dan low-density lipoprotein (LDL) kolesterol sebesar 8% menjadi 15% dan sederhana meningkatkan high-density lipoprotein (HDL) kolesterol (2%). Metformin tidak menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian (Perkeni, 2015).

Metformin digunakan pada pasien obesitas / kelebihan berat badan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (jika ditoleransi dan tidak kontraindikasi) karena satu-satunya obat antihiperglikemik oral yang terbukti mengurangi risiko kematian total. Efek samping yang paling umum adalah abdominal discomfort, stomach upset, diare, dan anoreksia (Perkeni, 2015).

Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi dosis perlahan dan menggunakannya bersama makanan. Extended-release metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi efek samping GI. Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan menghindari penggunaan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih [ ≥124 μmol / L]

pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih [ ≥133 μmol / L] pada laki-laki), gagal jantung kongestif atau kondisi predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat bawaan (Perkeni, 2015).

b. Metformin aksi cepat (Glucophage)

Diberikan 500 mg dua kali Sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu)

(14)

sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari (Perkeni, 2015).

c. Metformin lepas lambat (Glucophage XR)

Bisa dimulai dengan 500 mg dengan makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari (Perkeni, 2015).

d. Tiazolidindion (TZD)

Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot, hati, dan lemak secara tidak langsung. Ketika diberikan selama 6 bulan dengan dosis maksimal, pioglitazone dan rosiglitazone mengurangi A1C sebesar 1,5% dan FPG dari 60 menjadi 70 mg / dL (3,3-3,9 mmol / L). Efek maksimum tidak dapat dilihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi.

Pioglitazone menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%, sedangkan rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazone tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan pada LDL kolesterol, sedangkan kolesterol LDL dapat meningkat 5% sampai 15% dengan rosiglitazone.

Retensi cairan dapat terjadi, dan edema perifer dilaporkan dalam 4%

sampai 5% pasien. Ketika digunakan dengan insulin, angka kejadian edema adalah ~ 15%. Glitazones merupakan kontraindikasi pada pasien dengan kelas New York Heart Association III atau gagal jantung IV dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kelas I atau gagal jantung II atau lainnya yang mendasari penyakit jantung.

Berat badan 1,5 sampai 4 kg tidak lazim. Jarang terjadi, kenaikan yang cepat dari sejumlah berat badan sehingga bila terjadi dimungkin memerlukan penghentian terapi. Glitazones juga telah dikaitkan dengan kerusakan hati, peningkatan patah tulang, dan sedikit peningkatan risiko kanker kandung kemih (Perkeni, 2015).

e. Pioglitazone (Actos)

Dimulai dengan dosis 15 mg per oral sekali sehari; dosis maksimum 45 mg/hari (Perkeni, 2015).

(15)

f. Rosiglitazone (Avandia)

Dimulai dengan dosis 2 sampai 4 mg oral sekali sehari; dosis maksimum 8 mg/hari dan dosis 4 mg dua kali sehari dapat mengurangi A1C sebesar 0,2%

hingga 0,3% lebih atau 8 mg diminum sekali sehari (Perkeni, 2015).

C. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di intestinal kecil, sehingga memperlama absorpsi karbohidrat. Ini berefek langsung pada berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial (40–50 mg/dL;

2.2–2.8 mmol/L) sementara glukosa puasa relatif tidak berubah GDP (~ 10%

pengurangan). Efek pada kontrol glikemi cukup moderat, dengan rerata pengurangan HbA1C 0,3-1%. Obat yang sering digunakan adalah acarbose.

a. Acarbose

Acarbose berfungsi sebagai gukosida inhibitor yang berkerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus halus dan menghambat enzim alfa-amilase pankreas, sehingga secara keseluruhan menghambat pencernaan dan absorpsi karbohidrat. Acarbose tidak merangsang sekresi insulin oleh sel-sel β-Langerhans kelenjar pancreas

Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan memperlambat titrasi dosis. Jika hipoglikemia terjadi ketika digunakan bersama dengan agen hipoglikemi (sulfonilurea atau insulin), produk glukosa oral atau parenteral (dextrosa) atau glukagon harus diberikan karena obat akan menginhibit pemecahan dan absorpsi molekul gula yang lebih komplek (seperti, sukrosa). Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa. Terapi dimulai dengan dosis sangat rendah (25 mg dengan satu sehari) dan ditingkatkan bertahap (selama sebulan) sampai maksimal 50 mg tiga kali sehari untuk pasien 60 kg atau lebih, dan 100 mg tiga kali sehari untuk pasien diatas 60 kg. Obat ini digunakan secara bersamaan dengan makanan untuk menghambat aktivitas enzim (Perkeni, 2015).

(16)

D. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

DPP-4 inhibitor sebagian mengurangi glukagon postprandial tidak tepat ditinggikan dan merangsang sekresi insulin glukosa tergantung. pengurangan A1C rata-rata 0,7% sampai 1% pada dosis maksimum.

Obat-obatan yang ditoleransi dengan baik, berat badan netral, dan tidak menimbulkan efek samping GI. Hipoglikemia ringan mungkin terjadi, tapi DPP-4 inhibitor tidak meningkatkan risiko hipoglikemia sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan obat yang memiliki insiden rendah hipoglikemia. Urtikaria dan atau edema wajah dapat terjadi pada 1% dari pasien, dan penghentian dibenarkan. Kasus yang jarang terjadi sindrom Stevens-Johnson telah dilaporkan. Saxagliptin menyebabkan pengurangan terkait dosis di jumlah limfosit mutlak, pemberhentian harus dipertimbangkan jika infeksi berkepanjangan terjadi (Perkeni, 2015).

E. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (Perkeni, 2015). Seperti tabel II.3 yang menjelaskan obat antihiperglikemia yang tersedia di Indonesia.

Tabel II.3 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia (Perkeni, 2015).

Golongan obat Cara kerja utama

Efek samping utama

Penurunan HbA1c Sulfonilurea Meningkatkan

sekresi insulin

BB naik Hipoglikemia

1,0-2,0%

Glinid Meningkatkan

sekresi insulin

BB naik

hipoglikemia

0,5-1,5%

Metformin Menekan

produksi glukosa hati & menambah sensitivitas terhadap insulin

Dyspepsia, diare, asidosis laktat

1,0-2,0%

Penghambat alfa- glucosidase

Menghambat absorbsi glukosa

Flatulen, veses lembek

0,5-0,8%

(17)

Golongan obat Cara kerja utama

Efek samping utama

Penurunan HbA1c Tiazolidindion Manambah

sensitivitas terhadap insulin

Edema 0,5-1,4%

Penghambat DPP-IV

Meningkatkan sekresi insulin menghambat sekresi glucagon

Sebah, muntah 0,5-0,8%

Penghambat SGLT-2

Menghambat penyerapan glukosa di tubuli distal ginjal

Dehidrasi infeksi saluran kemih

0,8-1,0%

1. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes mellitus tipe 1. Pada diabetes mellitus tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes mellitus tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral. Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).

1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan diabetes mellitus. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan

(18)

berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah (Perkeni, 2015).

3. Terapi Kombinasi

Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.

Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).

2.4 Asuhan Kefarmasian

2.4.1 Pengertian Asuhan Kefarmasian

Pada tahun 1990, helpler dan Strand mendefinisikan asuhan kefarmasian sebagai penyediaan terapi obat secara bertanggung jawab yang ditunjukan untuk memperoleh hasil-hasil nyata yang meningkatkan kualitas hidup pasien.

Hasil-hasil tersebut antara lain penyembuhan penyakit, menghilangkan atau mengurangi gejala-gejala penyakit yang dialami pasien, menahan atau memeperlambat proses penyakit, atau mencegah penyakit atau gejala-gejala (Anshari, 2018).

(19)

Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan kefarmasian yang diberikan, baik di klinik maupun di apotek (komunitas), sehingga peran tenaga kefarmasian dalam pelayanan kepada pasien dapat terukur. Penekanan pelayanan kefarmasian terletak pada hal utama, yaitu:

1. Tenaga kefarmasian menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kondisi penyakit.

2. Tenaga kefarmasian membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambungan (DEPKES RI, 2005).

2.4.2 Perkembangan Asuhan Kefarmasian

Asuhan kefarmasian merupakan suatu konsep tentang farmasi praktis yang pertama kali muncul tahun 1970. Konsep tersebut mengansumsikan bahwa tenaga kefarmasian tidak hanya bertanggung jawab terhadap terapi yang berkaitan dengan obat-obatan saja tetapi berkenaan pula dengan tanggung jawab dan kepedulian tenaga kefarmasian terhadap kebutuhan emosional seorang pasien yang memiliki pengaruh besar pada proses pemulihan kesehatan pasien (WHO, 2006).

Asuhan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan merupakan wujud pelaksanan pekerjaan kefarmasian bedasarkan undang- undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser yang bermula orientasinya drug oriented menjadi patient oriented berazaskan kepada pelayanan kefarmasian. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut tenaga kefarmasian pengelola apotek dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien (DEPKES RI, 2008).

Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan kefarmasian ini tidak jarang mengundang salah pengerti profesi kesehatan lain. Oleh sebab itu perlu bahwa pelayanan kefarmasian yang dilakukan seorang tenaga kefarmasian bukan pengganti dokter atau profesi lain, namun lebih pada pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan yang muncul (DEPKES RI, 2005):

(20)

1. Adanya kecenderungan polifarmasi, terutama untuk pasien lanjut usia ataupun penderita penyakit kronis.

2. Makin beragamnya produk obat yang beredar di pasaran berikut informasinya.

3. Peningkatan komplesitas terapi obat.

4. Peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan masalahterapi obat.

5. Mahalnya biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi.

Konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut sehingga tenaga kefarmasian di tuntut untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainya secara aktif, berinteraksi langsung dengan pasien di samping menerapkan keilmuanya di bidang farmasi. Tenaga kefarmasian di sarana pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab dalam memberikan informasi yang tetap tentang terapi obat kepada pasien. Tenaga kefarmasian berkewajiban menjamin bahwa pasien mengerti dan memahami serta patuh dalam penggunaan obat sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan terapi khususnya kelompok pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis (diabetes mellitus) (DEPKES RI, 2008).

2.4.3 Peran Tenaga Kefarmasian dalam Asuhan Farmasi

Adapun asuhan kefarmasian yang dapat di berikan oleh tenaga kefarmasian pada penderita diabetes militus adalah (DEPKES RI, 2008):

1. Mengidentifikasi dan menilai kesehatan pasien

Tenaga kefarmasian dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau mereka menderita diabetes militus. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko yang tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau dyslipidemia, pasien yang keluarganya mempunyai riwayat diabetes mellitus. Pasien-pasien ini dapat diidentifikasi pada saat mereka mengabil obat di apotik atau di rumah sakit, tenaga kefarmasian juga dapat menyarankan pasien untuk memeriksa kadar gula dalam darah.

(21)

2. Merujuk pasien

Salah satu peran tenaga kefarmasian yang tidak kalah penting yaitu merujuk pasien kepada tim perawatan diabetes mellitus lainya seperti bagian gizi, poliklinik mata, pediatris, gigi dan lainya bila diperlukan.

3. Memantau penatalaksanaan diabetes mellitus

Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan tenaga kefarmasian pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakuakan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangatlah penting untuk menyesuaikan jenis dan dosisi terapi. tenaga kefarmasian harus mendorong pasien untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin.

4. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi

Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi adalah kurangnya pengetahuan yang berdampak pada ketidakpatuhan pasien terhadap terapi.

tenaga kefarmasian memiliki peranan penting dalam membantu pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, tenaga kefarmasian harus mengerti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap terapi yang sedang di jalani.

5. Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan

Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetes mellitus adalah salah satu hal penting dalam pengelolaan diabetes mellitus. Informasi mengenai komplikasi yang mungkin muncul menyertai diabetes mellitus sangatlah penting disampaikan kepada pasien dan keluarganya agar bisa diantisipasi.

6. Menjawab setiap pertanyaan pasien diabetes mellitus

Seorang tenaga kefarmasian dapat menjawab setiap pertanyaan pasien dan keluarganya terkait segala hal yang menyangkut diabetes mellitus dan pengelolaanya, sesuai dengan kompetensinya.

7. Memberikan edukasi

Tujuan edukasi ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya.

Penelitian menunjukan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pengetahuan dan pendidikan mengenai diabetes akan mempunyai resiko untuk terjadi

(22)

komplikasi major meningikat 4 kali lipat. Adapun Pendidikan dan pengetahuan yang diberikan sebagai berikut (DEPKES RI, 2008) :

1. Penggunaan obat.

2. Terapi nutrisi.

3. Aktivitas fisik.

4. Memonitor gula dalam darah.

5. Mencegah, mendeteksi dan mengobati komplikasi akut dan kronis.

2.5 Edukasi

2.5.1 Pengertian Edukasi

Edukasi atau pendidikan secara umum adalah upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan, oleh sebab itu konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan pada bidang kesehatan.

Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat (Notoadmodjo, 2012).

Diabetes mellitus tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus

(23)

2.5.2 Tujuan Edukasi

Edukasi kesehatan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk memelihara serta meningkatkan kesehatannya sendiri. Oleh karena itu, tentu diperlukan upaya penyediaan dan penyampaian informasi untuk mengubah, menumbuhkan, atau mengembangkan perilaku positif (Maulana, 2009). Tujuan pendidikan kesehatan menurut Undang–Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 maupun WHO adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun secara sosial, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat pelayanan kesehatan maupun program kesehatan lainnya.

2.5.3 Pelayanan Tenaga Kefarmasian dalam Edukasi

Bentuk jenis pelayanan kefarmasian yang di lakukan oleh tenaga farmasian meliputi: (DEPKES RI, 2008).

1. Penilaian atau pencarian (assessment) terkait masalah yang berhubungan dengan pengobatan.

2. Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapeutik.

3. Memberikan informasi terkait penggunaan dan pengelolaan obat misal cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.

4. Konsultasi dan edukasi terkait masalah obat.

5. Konsultasi dan edukasi kesehatan secara umum.

6. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan pengunaan obat.

2.6 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour) (Notoatmodjo, 2012).

(24)

2.6.1 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), tingkat pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Yang termasuk mengingat kembali tahap suatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan. Jadi tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai sutau kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contohnya wanita atau responden bisa menyimpulkan, meramalkan tentang hal yang berkaitan dengan pemeriksaan.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisa (Analysis)

Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis dapat dikaitkan dari penggunaan-penggunaan kata kerja seperti kata kerja seperti menggambarkan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya tentang hal-hal yang penting berkaitan pemeriksaan.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. (Notoatmodjo, 2012).

(25)

2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut (Notoatmodjo, 2012) antara lain adalah:

1. Umur

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. penyampaian informasi yang baik yaitu pada masa kedewasaan karena masa kedewasaan merupakan masa dimana terjadi perkembangan intelegensia, kematangan mental, kepribadian, pola pikir dan perilaku sosial. Sehingga dari informasi yang didapat akan membentuk sebuah pengetahuan dan sikap dilihat dari respon setelah informasi diterima.

2. Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan merupakan bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat dipahami suatu hal. Tidak dipungkiri semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya semakin banyak.

3. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negativ.

4. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.

Pengalaman yang sudah diperloeh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

Gambar

Tabel  II.1  WHO  WPR/IASO/IOTF  dalam  The  Asia-Pacific  Perspective:
Tabel II.2 Sasaran Pengendalian diabetes mellitus (Perkeni, 2011).
Tabel II.3 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia (Perkeni,  2015)

Referensi

Dokumen terkait

Biguanid mempunyai efek penurukan kadar glukosa darah melalui penurunan produksi glukosa di hati ( glukoneogenesis ), meningkatkan penggunaan glukosa di.. jaringan

Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dL untuk memastikan diabetes atau

Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) terjadi jika insulin yang beredar tidak mencukupi atau tidak dapat berfungsi dengan baik; keadaan ini disebut

Diabetes Mellitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan karena kerja insulin yang tidak adekuat, sehingga menimbulkan kadar glukosa darah yang

Apabila penatalaksaan terapi obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya

Berbagai macam komplikasi disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah pada diabetes melitus yang dapat mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh seperti ginjal,

Sebaliknya, jika kadar glukosa darah melebihi kemampuan tubuh untuk menyimpannya disertai dengan aktivitas fisik yang kurang, maka kadar glukosa darah menjadi

Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan transportasi glukosa ke sel, metabolisme glukosa menjadi glikogen dalam proses glikogenesis sebagai cadangan energi yang