• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. metabolisme yang bersifat heterogen secara genitis dan klinis dengan menifestasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. metabolisme yang bersifat heterogen secara genitis dan klinis dengan menifestasi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan yang terdapat pada metabolisme yang bersifat heterogen secara genitis dan klinis dengan menifestasi yaitu hilangnya toleransi glukosa. Berkembang secara klinis biasanya dapat dilihat peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) puasa dan postpradial, tanda lain yang bisa ditemukan pada pasien yang menderita DM yakni aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati dan neoropati akan tetapi biasanya gejala klinis dari penyakit vaskuler terjadi ketika gula darah sudah tidak terkontrol. Pasien DM dengan kelainan toleransi glukosa ringan tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price & Wilson, 2006).

American Diabetes Mellitus (ADA) menjelaskan DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin atau kerja insulin bisa juga karena keduanya. DM diklasifikasikan berdasarkan atas kekurangan insulin secara total atau hampir total menjadi empat jenis yaitu: (1) DM tipe I, (2) DM tipe II, (3) Gestosional Diabetes Melitus (GDM), dan (4) DM tipe lain. (Price & Wilson, 2006).

DM tipe II atau yang disebut juga DM tidak tergantung insulin (NIDDM), disebabkan karena penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik

(2)

insulin. Penurunan sensitivitas terhadap insulin ini seringkali disebut sebagai resistensi insulin.

2.1.2 Etiologi

DM tipe II ini lebih sering ditemukan pada usia diatas 30 tahun yang timbul secara perlahan–lahan. Etiologi dari DM tipe II pada dasarnya akan mempengaruhi insulin sehingga tejadi resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa yang biasanya terjadi secara bertahap. Sampai saat ini DM tipe II masih dikaitkan dengan faktor genetik yang memberikan kontribusi yang besar terhadap mayoritas penderita DM (Price & Wilson, 2006).

Ada beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain karena faktor genetik pada orang obesitas memiliki jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan jaringan adiposa lebih sedikit dari pada jumlah reseptor pada orang yang kurus. Orang obesitas juga mengalami gangguan sinyal insulin yang disebabkan efek toksik dari akumulasi lipid di jaringan seperti pada otot rangka dan hati sehingga menyebabkan resistensi insulin kondisi ini yang kemudian akan memicu terjadinya DM tipe II. Sehingga berat badan berlebih (≥25) atau yang biasa disebut obesitas juga menjadi salah satu hal yang sering dikaitkan dengan meningkatnya angka kejadian DM tipe II ini (Guyton & Hall, 2008).

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko merupakan individu yang belum terkena DM akan tetapi berpotensi untuk menderita DM. Adapun faktor risiko DM tipe II menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu :

(3)

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Usia (resistensi insulin meningkat pada usia diatas 65 tahun). b. Ras dan etnik.

c. Genetik (keluarga dengan penderita DM). 2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Berat badan lebih ( indeks masa tubuh >23 kg/m2) b. Kurangnya aktivitas fisik

c. Hipertensi (> 140/90 mmHg) d. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dL) e. Trigliserida > 250 mg/dL

f. Diet tinggi gula atau karbohidrat dan rendah serat g. Diet tinggi lemak

3. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM a. Penderita sindrom metabolik

b. Memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau gula darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

c. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler

2.1.4 Patofisiologis

DM tipe II memiliki dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin sehingga diabetes melitus tipe II sering didefinisikan sebagai gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin, meningkatnya produksi glukosa hati, dan gangguan metabolisme lemak. Resistensi insulin pada DM tipe II menyebabkan insulin tidak efektif dalam

(4)

menstimulasi pengambilan glukosa ke jaringan dan peningkatan glukosa ke hati yang menyebabkan peningkatan glukosa dalam darah (Arief, 2007).

Keadaan toleransi glukosa terganggu diakibatkan karena jumlah sekresi insulin berlebih atau kadar glukosa yang berlebih kondisi ini akan berusaha dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Keadaan ini jika terus berlangsung, sel–sel beta pankreas tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat yang nantinya akan terjadi DM tipe II. Penderita DM tipe II memiliki pankreas yang masih mampu memproduksi insulin, akan tetapi jumlah insulin yang diproduksi hanya mampu untuk memecah lemak dan mengurangi produksi badan keton yang menyertainya sehingga pada penderita DM tipe II tidak terjadinya ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2002).

Dalam menentukan diagnosis DM harus berdasarkan atas pemeriksaan glukosa darah serta harus memperhatikan asal usul bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena sedangkan untuk pemantauan hasil pengobatan biasanya dapat diperiksa melalui glukosa darah kapiler (Gustaviani, 2006).

Tabel 1. Gula Darah sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM

Waktu Pengambilan

Sampel Darah Sampel Darah Bukan DM

Belum Pasti

DM DM

Kadar glukosa darah

sewaktu (mg/dl) Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200

Kadar glukosa darah

puasa (mg/dl) Darah kapiler < 90 90-109 ≥ 110

Kadar glukosa darah 2

jam postpradial Darah kapiler < 140 140-199 ≥ 200

(5)

2.1.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan defisiensi insulin pada dasarnya tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Kadar glukosa tinggi melebihi ambang ginjal untuk zat ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria), dan timbul rasa haus (polidipsia). Ikutnya glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Kehilangan kalori menyebabkan rasa lapar semakin besar (polifagia), pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk. Sehingga pada pasien DM akan memiliki gejala khas sepeti: poliuria, polidipsia, dan polifagia. Gejala inilah kemudian yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk mendiagnosa seseorang dinyatakan menderita DM atau tidak (Price & Wilson, 2006). Seseorang dinyatakan positif menderita DM dapat terlihat dari:

a) Gejala khas DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl. b) Gejala khas DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. c) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl.

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM tipe II pada dasarnya yaitu mengatur gula darah karena secara normal glukosa merupakan satu–satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina epitel germinal gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut secara optimal sesuai dengan energi yang dibutuhkannya. Jumlah glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi karena dapat menimbulkan tekanan osmotik dalam cairan ekstrasel yang

(6)

menimbulkan dehidrasi sel (Guyton & Hall, 2008). Penatalaksanaan pada DM tipe II yakni melalui enam penatalaksanaan DM diataranya adalah (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen–agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa dirumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri (Price & Wilson, 2006).

1. Rencana diet

Terapi diet atau terapi gizi medis merupakan salah satu terapi yang digolongkan kedalam penatalaksanaan diabetes non farmakologi. Terapi gizi medis ini pada dasarnya adalah untuk pengaturan pola makan serta memodifikasi diet berdasarkan status gizi dan kebutuhan individual. Sedangkan manfaat dari terapi gizi medis diantaranya : (1) menurunkan berat badan, (2) menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, (3) menurunkan kadar gula darah, (4) memperbaiki profil lipid, (5) meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan (6) memperbaiki sistem koagulasi darah (Yunir & Soebardi, 2009). Tujuan terapi gizi medis pada pasien DM tipe II adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

a. Kadar gula darah mendekati normal. b. Tekanan darah < 130/80 mmHg. c. Kolesterol LDL < 100 mg/dl. d. Kolesterol HDL > 40 mg/dl. e. Trigliserida < 150mg/dl.

(7)

Jenis makanan yang perlu diperhatikan yaitu jenis makanan karbohidarat, protein, dan lemak. Karbohidrat adalah jenis bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber energi. Pasien dengan diabetes melitus jumlah karbohidrat dalam diet yang disarankan tidak boleh lebih dari 55%–65% dari kebutuhan energi sehari, untuk protein yang direkomendasikan pada penderita diabetes melitus sekitar 10%–15% dari total kalori perhari sedangkan untuk lemak pembatasan hanya pada lemak jenuh saja sekitar 10% dari kebutuhan kalori perhari atau jika kadar LDL ≥100 mg/dl, asupan lemak jenuh diturunkan maksimal 7% dari total kalori perhari (Yunir & Soebardi, 2009). 2. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik

Manfaat latihan fisik pada DM tipe II yaitu dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh. Prinsip latihan jasmani terutama pada pasien dengan DM pada umumnya memenuhi hal seperti :

1. Frekuensi: jumlah olah raga yang diberikan kepada pasien dengan diabetes melitus harus teratur dengan 3–5 kali perminggu.

2. Intensitas: intensitas latihan yang diberikan biasanya ringan dan sedang atau sampai 60%–70% dari detak jantung maksimum.

3. Durasi: durasi yang diindikasikan biasanya 30-60 menit saja.

4. Jenis latihannya: jenis latihan yang diberikan sesuai dengan kemampuan pasien.

Latihan jasmani secara teratur tidak hanya baik untuk pasien dengan DM terutama DM tipe II atau penyakit kronik lain tetapi juga orang yang sehat karena dengan latihan jasmani yang teratur akan memberikan tenaga

(8)

lebih banyak, membantu jantung lebih kuat, meningkatkan sirkulasi, memperkuat otot, meningkatkan kelenturan, meningkatkan kemampuan bernafas, membantu mengatur berat badan, memperlambat proses penuaan, memperbaiki tekanan darah, memperbaiki kolesterol dan lemak tubuh yang lain, mengurangi stres, dan melawan akibat–akibat yang ditimbulkan dari kekurangan beraktivitas (Yunir & Soebardi, 2009).

3. Agen–agen hipoglikemik oral

Medikamentosa baru diberikan ketika pengendalian DM dengan non farmakologi belum tercapai, akan tetapi memberikan terapi farmakologi ini juga harus diimbangi dengan diet dan latihan fisik yang sesuai. Melakukan pemilihan intervensi farmakologi yang perlu diperhatikan yaitu titik kerja obat dan sesuai dengan penyebab hiperglikemia. Menurut Yunir & Soebardi (2009) yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan dalam pemberian obat hipoglikemik oral yaitu :

a. Terapi dimulai dengan dosis yang rendah dan kemudian dinaikkan secara bertahap.

b. Harus diketahui cara kerja obat, lama kerja, dan efek samping obat– obatan tersebut.

c. Bila memberikan bersamaan dengan obat lain hindari adanya interaksi antara obat tersebut.

d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemia, usahakan menggunakan obat dengan golongan lain terlebih dahulu bila gagal, baru beralih kepada insulin.

(9)

4.Terapi insulin

Insulin disekresikan oleh pankreas secara fisiologis yang berguna untuk menekan kadar glukosa yang ada di dalam darah, namun pada penderita DM tipe II jumlah insulin yang disekresikan tidak cukup untuk mengontrol keseimbangan gula darah sehingga kadar glukosa akan tetap tinggi pada keadaan puasa dan 2 jam setelah makan, sehingga perlu adanya insulin eksternal yang disuntikan untuk menekan kenaikan glukosa darah (Price & Wilson, 2006).

Insulin ekternal diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek penurunan glukosa plasma yang maksimal dan untuk meringankan efek yang terjadi setelah pemberian suntikan. Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang, dan masa kerja panjang. Insulin kerja pendek biasanya digunakan untuk mengontrol hiperglikemia postpradial masa kerjanya maksimalnya dalam waktu beberapa menit hingga 6 jam. Insulin masa kerja sedang mencapai kerja maksimal antara 6 jam–8 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk mengontrol harian pasien dengan DM. Insulin masa kerja panjang mencapai kerja maksimalnya dalam waktu 14 jam–20 jam setelah pemberian (Price & Wilson, 2006).

Perbedaan respon terhadap insulin yang disebabkan oleh makanan, kegiatan fisik, medikasi, kebiasaan hidup, dan faktor emosi maka dosis insulin yang diperlukan untuk mendapatkan kontrol yang memuaskan tergantung pada individu, jadi tidak ada dosis yang universal. Biasanya

(10)

insulin yang diberikan pada penderita DM tipe II apabila: (a) terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, (b) pasien dalam keadaan stres berat, (c) gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan (d) kontraindikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemia oral (Yunir & Soebardi, 2009).

5. Pengawasan glukosa dirumah

Pengawasan glukosa dirumah berkaitan dengan penggunaan insulin yang diberikan kepada pasien dirumah. Penilaian ini dapat dilakukan dengan menguji darah kapiler dengan menggunakan strip dan dibaca melalui pengukur glukosa. Alat tersebut akan menyimpan nilai glukosa dalam memorinya dan hasil ini akan dibaca nantinya oleh petugas kesehatan untuk menentukan program insulin selanjutnya. Terapi insulin yang intensif akan memperbaiki kontrol glukosa yang akan memperbaiki kondisi pasien itu pula (Price & Wilson, 2006).

6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri

Pasien relatif dapat hidup normal dan mampu menerima keadaanya jika mereka tahu dan paham baik mengenai keadaannya, penatalaksanaan, maupun prognosis penyakit yang dideritanya. Mereka akan belajar mengontrol gula darah baik itu dengan mengkonsumsi obat hipoglikemia oral, diet, latihan fisik maupun kemandirian dalam menyuntikkan sendiri insulinnya, memantau kadar gula darah mereka dan mencari informasi secara aktif mengenai penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakitnya sehingga dapat mengurangi hiperglikemia atau hipoglikemia serta

(11)

komplikasi yang mungkin terjadi akibat tidak terkontrolnya gula darah secara ketat (Price & Wilson, 2006). Hasil yang dijadikan target pengendalian gula darah terkontrol dapat dilihat dalam Tabel 2 tentang kriteria pengendalian DM. Berikut tabel kriteria pengendalian DM:

Tabel 2. Kriteria Pengendalian DMTahun 2006

Profil Baik Sedang Buruk

Glukosa darah (mg/dl) - Puasa - 2 jam postpradial Alc (%) Kol. Total (mg/dl) Kol. LDL (mg/dl) Kol. HDL (mg/dl) Trigliserida (mg/dl) IMT (kg/m2) Tekana darah (mmHg) 80-100 80-144 < 6,5 < 200 < 100 > 45 < 150 18,5 – 23 ≤ 130/80 100-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129 150-199 23-25 130-140/80-90 ≥ 12526 ≥ 180 ≥ 8 ≥ 240 ≥ 130 ≥ 200 > 25 > 140/90 Sumber: Soewondo, 2013 2.1.7 Komplikasi

Prince & Wilson (2006) menggolongkan komplikasi DM menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskuler jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik akut pada diabetes melitus tipe II berupa hiperglikemia, hiperosmolar, dan koma nonketotin.

Komplikasi vaskuler jangka panjang melibatkan pembuluh darah kecil, sedang, dan besar. Pembuluh darah kecil akan mengalami mikroangiopati

(12)

merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arterola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), saraf–saraf perifer (neuropati diabetik), otot–otot serta kulit. Pembuluh darah sedang dan besar akan mengalami makroangiopati merupakan gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufiensi insulin. Gangguan–gangguannya berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Makroangiopati diabetik pada akhirnya akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler yang berujung pada terjadinya insufiensi vaskuler perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufiensi serebral dan stroke serta bila mengenai arteri koronaria dan aorta maka akan mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006).

2.2 Gula Darah

2.2.1 Pengertian

Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana berbentuk monosakarida yang diabsorbsi ke dalam darah melalui sistem pencernaan. Kadar gula darah ini akan meningkat setelah makan dan biasanya akan turun pada level terendah pada pagi hari sebelum makan pagi. Kadar gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh (Price & Wilson, 2006). Konsentrasi gula darah sangat penting untuk dipertahankan tetap dalam keadaan stabil sekitar 80–120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan suplai jaringan secara optimal. Pada penderita DM terjadi peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yaitu kondisi kadar glukosa darah puasa lebih

(13)

dari 126 mg/dl dan kadar glukosa darah dua jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl (Soegondo, 2009).

2.2.2 Pembentukan Gula Darah

Glukosa diperlukan oleh manusia untuk sumber energi yang biasanya diperoleh dari sumber makanan berupa karbohidrat. Dalam diet normal hanya ada tiga sumber utama karbohidrat yaitu sukrosa, laktosa, dan tepung. Akan tetapi ada karbohidrat lain yang dicerna lebih sedikit yaitu amilase, glikogen, alkohol, asam laktat asam piruvat, pectin, dekstrin, dan derivat karbohidrat. Ketika makanan tersebut bercampur dengan saliva, yang terdiri dari enzim pencernaan ptialin yang terutama disekresikan oleh kelenjar parotis akan terjadi hidrolisis tepung menjadi disakarida maltosa dan polimer glukosa kecil lainnya yang mengandung tiga sampai sembilan melekul glukosa (Guyton & Hall, 2008).

Pada tahap selanjutnya akivitas amilase dihambat oleh asam yang berasal dari sekresi lambung. Meskipun demikian sebelum makanan dan saliva yang ada bersamanya bercampur dengan sekresi lambung seluruhnya, sebanyak 30 sampai 40 persen tepung telah dihidrolisis terutama membentuk maltose. Kemudian dalam waktu 15 sampai 30 menit setelah kimus dikosongkan dari lambung ke dalam duodenum dan bercampur dengan getah pankreas (α-amilase) semua karbohidrat telah dicerna dan hampir semua diubah menjadi maltosa dan polimer– polimer glukosa yang sangat kecil lainnya (Guyton & Hall, 2008).

Disakarida laktosa, sukrosa, dan maltosa serta polimer – polimer glukosa kecil lainnya akan dipecah menjadi unsur monosakarida oleh enzim dari enterosit yang terletak pada vili usus halus. Laktosa akan dipecah menjadi satu molekul

(14)

galaktosa dan satu molekul glukosa. Sukrosa akan dipecah menjadi satu molekul fruktosa dan satu molekul glukosa. Maltosa dan polimer–polimer glukosa kecil lainnya menjadi molekul–molekul glukosa. Seluruh monosakarida tersebut larut-air dan diserap segera ke darah portal (Guyton & Hall, 2008).

2.2.3 Pengaturan Glukosa Darah

Pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada orang normal saat puasa biasanya antara 80 sampai 90 mg setiap 100 ml darah yang diukur sebelum makan pagi. Konsentrasi ini akan meningkat menjadi 120 sampai 140 mg setiap 100 ml darah satu jam pertama setelah makan, namun sistem umpan balik yang mengatur kadar gula darah akan mengembalikan glukosa ke nilai kontrol yang biasanya terjadi dalam waktu dua jam setelah mengkonsumsi karbohidrat yang terakhir. Sebaliknya pada keadaan kelaparan fungsi glukoneogenesis dari hati menyediakan glukosa yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar glukosa puasa (Guyton & Hall, 2008). Guyton & Hall (2008) juga menjelaskan mekanisme pengaturan glukosa darah yaitu sebagai berikut:

a. Hati

Saat glukosa darah meningkat hingga konsentrasi tinggi yang biasanya terjadi sesudah makan dan diikuti sekresi insulin yang meningkat, sebanyak dua pertiga dari seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat akan disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Selama beberapa jam berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, hati akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah (Guyton & Hall, 2008).

(15)

b. Insulin dan Glukagon

Fungsi insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistem pengatur umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Insulin disekresikan oleh sel–sel beta pankreas sebagai respon terhadap meningkatnya glukosa darah, insulin selanjutnya akan mengurangi konsentrasi glukosa darah dalam keadaan normal. Sedangkan glukagon baru akan disekresikan oleh sel–sel alfa pulau langerhans sebagai respon terhadap penurunan glukosa darah. Glukagon selanjutnya akan meningkatkan glukosa darah agar kembali kenilai normal (Guyton & Hall, 2008).

c. Hormon Pertumbuhan dan Kortisol

Hormon pertumbuhan dan kortisol ini disekresikan sebagai respon hipoglikemia yang lama. Kedua hormon ini berfungsi mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel tubuh, sebaliknya akan menambah jumlah pemakaian lemak (Guyton & Hall, 2008).

2.2.4 Pemakaian Glukosa

Sebagian besar glukosa yang terbentuk dari proses glukoneogenesis selama proses pencernaan digunakan untuk metabolisme di otak dan merupakan satu–satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina, dan epitel germinal gonand. Selain itu saat melakukan aktivitas kebutuhan glukosa juga meningkat akibat dari energi yang dipakai oleh otot yang berkontraksi. Setiap otot yang berkontraksi akan memerlukan energi dari ATP. Melalui miosin yaitu salah satu protein kontraktil serabut otot yang bekerja sebagai enzim yang menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin difosfat (ADP), sehingga

(16)

melepaskan energi yang dibutuhkan untuk terjadinya kontraksi (Guyton & Hall, 2008).

2.3 Active Assistive Range of Motion (AAROM)

2.3.1 Definisi AAROM

Range of Motion (ROM) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal. ROM atau rentang gerak adalah teknik dasar yang digunakan untuk pemeriksaan gerakan atau untuk memulai gerakan ke dalam program intervensi terapeutik (Kisner & Colby, 2007).

Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang akan memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif, aktif dengan bantuan maupun pasif. ROM dibedakan menjadi tiga yaitu Active Range of Motion (AROM), Active Assistive Range of Motion (AAROM), dan Passive Range of Motion (PROM) (Potter & Perry, 2006).

AAROM merupakan latihan yang dilakukan oleh klien sendiri dengan atau tanpa bantuan dari perawat, namun tetap diawasi oleh perawat. Melalui latihan ini dapat meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri pada klien (Ellis & Bentz, 2007). AAROM adalah jenis AROM yang mana bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan bantuan untuk menyelesaikan gerakan (Kisner & Colby, 2007).

(17)

Prinsip dasar latihan AAROM adalah: (1) AAROM harus diulang sekitar delapan kali dan dikerjakan minimal dua kali sehari, (2) AAROM dilakukan perlahan dan hati-hati agar tidak melelahkan pasien, (3) dalam merencanakan program latihan AAROM, perhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring, (4) AAROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh fisioterapi atau perawat, (5) bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan AAROM adalah leher, bahu lengan, siku, jari, ibu jari, pinggul, lutut, kaki, pergelangan kaki dan jari–jari kaki, (6) AAROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit seperti kelemahan baik karena gangguan otot, saraf, atau metabolik (Havid & Cemy, 2012).

2.3.2 Indikasi AAROM

Indikasi merupakan keadaan yang memerlukan latihan AAROM. Indikasi pemberian AAROM menurut Kisner & Colby (2007) antara lain :

a. Pada saat pasien mampu melakukan kontraksi otot secara aktif dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan dari luar oleh perawat atau tidak.

b. AAROM dapat digunakan untuk program latihan aerobik.

c. AAROM digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas di atas dan di bawah daerah yang tidak dapat bergerak.

(18)

2.3.3 Kontraindikasi AAROM

Kontraindikasi merupakan keadaan yang tidak memperbolehkan dilakukannya latihan AAROM. Menurut Kisner & Colby (2007) kontraindikasi dari AAROM yaitu :

a. Latihan AAROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan cedera.

b. Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan.

c. AAROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya membahayakan (life threatening).

d. Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria, dan lain-lain, AAROM pada ekstremitas atas masih dapat diberikan dalam pengawasan yang ketat.

2.3.4 Manfaat AAROM

Latihan AAROM memberikan manfaat bagi sistem tubuh. Potter dan Perry (2006) menjelaskan sistem yang dipengaruhi setelah dilakukannya AAROM antara lain :

1. Sistem kardiovaskuler

a. Meningkatkan curah jantung

b. Memperbaiki kontraksi miokardial, kemudian menguatkan otot jantung c. Menurunkan tekanan darah istirahat

(19)

2. Sistem Respirasi

a. Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan b. Meningkatkan ventilasi alveolar

c. Menurunkan kerja pernapasan

d. Meningkatkan pengembangan diafragma 3. Sistem Metabolik

a. Meningkatkan laju metabolisme basal

b. Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak c. Meningkatkan pemecahan trigliserida

d. Meningkatkan motilitas lambung e. Meningkatkan produksi panas tubuh 4. Sistem Muskuloskletal

a. Memperbaiki tonus otot

b. Meningkatkan mobilisasi sendi

c. Memperbaiki tolerasi otot untuk latihan d. Mungkin meningkatkan masa otot e. Mengurangi kehilangan tulang 5. Toleransi Aktivitas

a. Meningkatkan toleransi b. Mengurangi kelemahan

2.3.5 Prosedur Tindakan

Prosedur tindakan yang biasa digunakan pada latihan rentang gerak AAROM menurut Potter dan Perry (2006) yaitu:

(20)

1. Gerakan Leher, spina servikal

a. Fleksi : menggerakan dagu menempel ke dada sebesar 450 otot yang dipengaruhi yaitu otot sternocleidomastoid

b. Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak sebesar 450 otot yang dipengaruhi yaitu otot Trapezius

c. Hiperekstensi : menekuk kepala sejauh mungkin sebesar 100 otot yang dipengaruhi yaitu otot Trapezius

d. Fleksilateral : memiringkan kepala sejauh mungkin ke arah setiap bahu sebesar 400-450 otot yang dipengaruhi yaitu otot sternocleidomastoid e. Rotasi : memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler

sebesar 1800 otot yang dipengaruhi sternocleidomastoid dan trapezius 2. Gerakan Bahu

a. Fleksi : menaikan lengan dari posisi di samping tubuh kedepan ke posisi di atas kepala selebar 1800 otot yang dipengaruhi antara lain : otot korakobrakhialis, bisep brakhii, deltoid, dan pektoralis mayor

b. Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh selebar 1800 otot yang dipengaruhi antara lain : Latissaimus dorsi, teres mayor, dan trisep brakhii

c. Hiperekstensi : menggerakan lengan ke belakang tubuh dengan siku tetap lurus selebar 450-600 otot yang dipengaruhi yaitu Latissimus dorsi, teres mayor, dan deltoid

(21)

d. Abduksi : menaikkan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala selebar 1800 otot yang dipengaruhi yaitu deltoid dan supraspinatus

e. Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh

mungkin selebar 3200 otot yang dipengaruhi yaitu pektoralis mayor

f. Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakan

lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu pektoralis mayor, latissimus dorsi, teres mayor, dan subskapularis

g. Rotasi luar : dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari keatas dan ke samping kepala sebesar 900 otot yang dipengaruhi intraspinalus, teres mayor, dan deltoid

h. Sirkumduksi : menggerakan lengan dengan lingkaran penuh sebesar 3600 otot yang dipengaruhi yaitu deltoid, korakobrakialis, latissmus dorsi, dan teres mayor.

3. Gerakan Siku

a. Fleksi : menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi

bahu dan lengan sejajar bahu sebesar 1500 otot yang dipengaruhi bisep brakhii, brakhialis, dan brakhioradialis

b. Ekstensi : meluruskan siku dengan menurunkan lengan sebesar 1500 otot yang dipengaruhi yaitu trisep brakhii

(22)

4. Gerakan Lengan Bawah

a. Supinasi : memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas sebesar 700-900 otot yang dipengaruhi supinator dan bisep brakhii

b. Pronasi : memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah sebesar 700-900 otot yang dipengaruhi yaitu pronator teres dan pronator quadratus.

5. Gerakan Pergelangan Tangan

a. Fleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah sebesar 800–900 otot yang dipengaruhi yaitu fleksor karpi ulnaris, dan fleksor karpi radialis

b. Ekstensi : menggerakkan jari–jari sehingga jari–jari, tangan, dan lengan bawah berada pada arah yang sama sebesar 800 – 900 otot yang dipengaruhi yaitu ekstensor karpi ulnaris, ekstensor karpi radialis brevis, dan ekstensor karpi radialis longus

c. Hiperekstensi : membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh

mungkin sebesar 890–900 otot yang dipengaruhi yaitu ekstensor karpi ulnaris, ekstensor karpi radialis brevis, ekstensor karpi radialis longus d. Abduksi (fleksi radial) : menekuk pergelangan tangan miring (medial)

ke ibu jari sebesar 300 otot yang dipengaruhi yaitu fleksor karpi radialis, ekstensor karpi radialis brevis, dan ekstensor karpi radialis longus

(23)

e. Adduksi (fleksi ulna) : menekuk pergelangan tangan miring (lateral) kearah lima jari sebesar 300–500 otot yang dipengaruhi yaitu fleksor karpi ulnaris dan ekstensor carpi ulnaris.

6. Gerakan Jari – jari tangan

a. Fleksi : membuat genggaman otot yang dipengaruhi yaitu lumbrikales, interosseus volaris, dan interosseus dorsalis

b. Ekstensi : meluruskan jari–jari tangan sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu ektensor digiti quanti

c. Hiperekstensi : menggerakkan jari–jari tangan kebelakang sejauh mungkin sebesar 300–600 otot yang dipengaruhi yaitu priprius, ekstensor digitorum kommunis, dan ektensor indicis proprius

d. Abduksi : menggerakan jari–jari tangan yang satu dengan yang lain sebesar 300 otot yang dipengaruhi yaitu interosseus dorsalis

e. Adduksi : merapatkan kembali jari–jari tangan sebesar 300 otot yang dipengaruhi yaitu interosseus volaris

7. Gerakan Ibu Jari

a. Fleksi : Menggerakan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu fleksor pollisisbrevis

b. Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari telapak tangan sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu ekstensor pollisis longus dan ekstensor pollis brevis

c. Abduksi : menjauhkan ibu jari ke samping sebesar 300 otot yang dipengaruhi yaitu abduktor pollisis brevis

(24)

d. Adduksi : menggerakkan ibu jari ke depan tangan sebesar 300 otot yang dipengaruhi yaitu adduktor pollisis obliquus dan adduktor pollisis transversus

e. Oposisi : menyentuhkan ibu jari kesetiap jari–jari tangan pada tangan yang sama otot yang dipengaruhi yaitu opponeus pollisis dan opponeus digit minimi

8. Gerakan Pinggul

a. Fleksi : menggerakkan tungkai kedepan dan keatas sebesar 900–1200 otot yang dipengaruhi yaitu psoas mayor, iliakus, iliopsoas, dan sartorius

b. Ekstensi : menggerakan kembali kesamping tungkai yang lain sebesar 900–1200 otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus, dan semimembranosus

c. Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh sebesar 300– 500 otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendonosus, dan semimembranosus

d. Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh sebesar 300–500 otot yang dipengaruhi yaitu gluteus medius, dan gluteus minimus

e. Adduksi : menggerakkan tungkai kembali keposisi medial dan melebihi

jika mungkin sebesar 300–500 otot yang dipengaruhi yaitu adduktor longus, adduktor brevis, dan adduktor magnus

(25)

f. Rotasi dalam : memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai yang lain sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu gluteus medius, gluteus minimus, dan tensor fasciae latae

g. Rotasi keluar : memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain sebesar 900 otot yang dipengaruhi yaitu obturatorius internus, obturatorius eksternus

h. Sirkumduksi : menggerakkan tungkai melingkar otot yang dipengaruhi yaitu psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius, dan adduktor magnus

9. Gerakan Lutut

a. Fleksi : menggerakan tumit kearah belakang paha sebesar 1200–1300 otot yang dipengaruhi yaitu bisep femoralis, semitendonosus, semimembranosus, dan sartorius

b. Ekstensi : mengembalikan tungkai ke posisi semula1200–1300 otot yang dipengaruhi yaitu rektus femoralis, vastus lateralis, vastus medialis, dan vastus intermedius

10.Gerakan Mata Kaki

a. Dorsifleksi : mengerakkan kaki sehingga jari–jari kaki menekuk keatas sebesar 200–300 otot yang dipengaruhi yaitu tibialis anterior

b. Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari–jari kaki menekuk kebawah sebesar 450–500 otot yang dipengaruhi yaitu gastroknemus, dan soleus

(26)

11.Gerakan Kaki

a. Inversi : memutar telapak kaki ke samping dalam (medial) sebesar 100 atau kurang otot yang dipengaruhi yaitutibialis anterior, tibialis, dan posterior

b. Eversi : memutar telapak kaki ke samping luar (lateral) sebesar 100 atau kurang otot yang dipengaruhi yaitu peroneus longus, dan peroneus brevis

12.Gerakan Jari–Jari Kaki

a. Fleksi : melengkungkan jari–jari kaki kebawah sebesar 300–600 otot yang dipengaruhi yaitu fleksor digitorum, lumbrikalis pedis, dan fleksor hallusis brevis

b. Ekstensi : meluruskan kembali jari–jari kaki sebesar 300–600 otot yang dipengaruhi yaitu ektensor digitorum longus, ekstensor digitorum brevis, dan ekstensor digitorum hallusis longus

c. Abduksi : merenggangkan jari–jari kaki satu dengan yang lain sebesar 150 atau kurang otot yang dipengaruhi yaitu abduksi hallusis, dan interosseus dorsalis

d. Adduksi : merapatkan kembali bersama–sama sebesar 150 atau kurang otot yang dipengaruhi yaitu abduksi hallusis, dan interosseus plantaris

2.4 Pengaruh AAROM terhadap Gula Darah

AAROM merupakan gerakan isotonis yaitu gerakan kontraksi otot memendek yang dilakukan klien dengan gerakan masing–masing persendian sesuai dengan rentang gerak yang normal namun tegangan pada otot tetap konstan

(27)

selama kontraksi. Dalam sehari jaringan otot tidak tergantung glukosa untuk energinya tetapi sebagian besar tergantung pada asam lemak kecuali diransang oleh insulin. Ada dua keadaan saat otot menggunakan sejumlah besar glukosa yaitu selama beberapa jam setelah makan dan saat melakukan aktivitas fisik. Dalam aktivitas fisik akan menimbul suatu kerja dan memerlukan energi, sejumlah besar ATP akan dipecah membentuk ADP, yang memindahkan energi dari ATP ke perangkat kontraksi serabut otot lalu ADP mengalami refosfolarisasi untuk membentuk ATP baru (Guyton & Hall, 2008).

Sumber energi yang digunakan untuk refosfolarisasi yaitu substansi kreatin fosfat dan glikolisis dari glikogen yang sebelumnya tersimpan dalam otot. Pemecahan glikogen secara enzimatik menjadi asam piruvat dan asam laktat yang berlangsung dengan cepat akan membebaskan energi yang digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP, ATP kemudian dapat digunakan secara langsung untuk memberi energi bagi kontraksi otot selanjutnya (Guyton & Hall, 2008). Sehingga semakin banyak jumlah otot yang dikontraksikan kebutuhan energinya akan semakin banyak dan begitu pula kebutuhan glukosanya yang akan menyebabkan turunnya kadar glukosa yang ada dalam darah.

Pada penderita DM tipe II terdapat gangguan resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin maka pada saat melakukan AAROM gangguan tersebut dapat teratasi karena pada latihan akan terjadi peningkatan aliran darah yang menyebabkan lebih banyak jala–jala kapiler terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif disamping itu otot yang aktif akan meningkatkan kepekaan reseptor insulin otot dan menambah reseptor

(28)

insulin otot. Kepekaan ini akan berlangsung lama bahkan hingga latihan telah berakhir (Potter & Perry, 2006). Baik ada maupun tidak ada insulin saat melakukan aktivitas fisik glukosa masih dapat digunakan karena serabut otot yang bekerja menjadi permeabel terhadap glukosa akibat proses kontraksi itu sendiri (Guyton & Hall, 2008).

Gambar

Tabel 1. Gula Darah sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM
Tabel 2. Kriteria Pengendalian DM Tahun 2006

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan merumuskan judul “ Meningkatkan

Pada kondisi sumber daya ikan melimpah, hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan dapat lebih banyak walaupun dengan upaya penangkapan yang kecil.. Trend CPUE

[r]

Kesimpulan dan Saran PT.DAUN BIRU telah menerapkan pengendalian intern yang baik dalam siklus penjualan angsuran terbukti dengan terjaganya asset perusahaan dan menkngkatnya

Jadi model path analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan maupun antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung

Boyer dan Pegell (2000) mengemukakan bahwa efektifitas Strategi operasi perusahaan dapat diukur dengan menilai keterkaitan atau konsistensi antara prioritas

Adapun tahapan pengembangan alat pengaman laboratorium sebagai berikut : (1) tahap analisis (analysis), Hasil tahap analisis adalah proses pengumpulan kebutuhan

mengeluarkan sebuah situs apabila situs tersebut dicurigai melakukan kecurangan. Iklan yang ditampilkan oleh Google bersifat acak sehingga iklan yang ditampilkan bersifat