LAMPUNG DAN JAWA BARAT
DAVID CHANDRA
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DAVID CHANDRA. Inventarisasi Hama dan Penyakit pada Pertanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) di Lampung dan Jawa Barat. Dibimbing oleh DADANG dan GEDE SUASTIKA.
Indonesia yang sedang mengalami krisis energi perlu mencari sumber energi alternatif lain yang salah satunya yaitu dengan pemanfaatan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) sebagai bahan baku biodisel. Penanaman jarak pagar secara besar-besaran dengan sistem monokultur berpotensi menimbulkan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menurunkan produksi. Sementara itu OPT pada tanaman jarak pagar ini belum banyak diketahui, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian bertujuan untuk menginventarisasi hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar serta mengevaluasi kerusakan yang ditimbulkannya di beberapa lokasi di Lampung dan Jawa Barat. Pengamatan dilakukan di enam lokasi yang berbeda yaitu Lampung (Lampung Selatan dan Bandar Lampung) serta Jawa Barat (Sukabumi, Ciawi, dan 2 lokasi di Citeureup). Pengamatan dilakukan pada lima petak tanaman contoh dengan pola diagonal, 1 petak pada pertemuan garis diagonal dan 4 petak lainnya pada ujung-ujung garis diagonal. Hama yang ditemukan menyerang tanaman jarak pagar yaitu kutu putih (Ferrisia virgata, Hemiptera: Pseudococcidae), tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae), thrips (Selenothrips rubrocinctus, Thysanoptera: Thripidae), kepik lembing (Chrysocoris javanus, Hemiptera: Pentatomidae), walang sangit (Leptocorisa oratorius, Hemiptera: Alydidae), kepik hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae), belalang (Valanga
nigricornis, Orthoptera: Acrididae), ulat api (Parasa lepida, Lepidoptera:
Limacodidae), ulat kolang-kaling (Chalcocelis albiguttata, Lepidoptera: Limacodidae), Coreidae (Hemiptera), Pyrochroidae (Coleoptera), Amatidae (Lepidoptera), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae), dan Liriomyza sp. (Diptera: Agromyzidae). Patogen yang ditemukan pada pertanaman jarak pagar yaitu Botryodiplodia sp., Curvularia sp., Fusarium sp., Helmynthosporium sp.,
Camarosporium sp., Bipolaris sp., Rhizopus sp., dan Cacumisporium sp..
Kerusakan oleh hama yang cukup tinggi ditemukan berupa daun berkerut atau kerdil, bercak keperakan pada daun, dan titik-titik merah pada daun, sedangkan gejala penyakit yang ditemukan berupa bercak daun, bercak daun coklat, busuk buah atau bunga, busuk batang, dan embun tepung. Faktor-faktor yang mempengaruhi populasi hama dan penyakit yaitu cara budidaya, fase tanaman, lingkungan sekitar, iklim atau cuaca, dan teknik pengendalian. F. virgata merupakan hama yang ditemukan pada semua lokasi pertanaman jarak pagar, populasi tertinggi hama ini di Lampung Selatan yaitu 3,35 ekor/daun. Gejala daun kerdil yang disebabkan oleh Tetranychus sp. adalah gejala serangan hama yang cukup tinggi yang terdapat pada hampir di semua lokasi pertanaman jarak pagar. Persentase gejala daun kerdil tertinggi terjadi di lahan Bandar Lampung yang mencapai 22,8%, sedangkan penyakit yang banyak ditemukan pada hampir semua lokasi pertanaman jarak pagar yaitu bercak daun. Persentase luas serangan dan keparahan penyakit tertinggi di lahan Bandar Lampung mencapai 84% dan 26,3%.
LAMPUNG DAN JAWA BARAT
DAVID CHANDRA A44104055
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Nama Mahasiswa : David Chandra NIM : A44104055 Menyetujui, Dosen Pembimbing 1 Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 131879337 Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. NIP 131669946
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP 131124019
Penulis dilahirkan di Krui, Lampung Barat pada tanggal 21 Oktober 1986 sebagai anak ke-enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak M. Rusdi Yahya dan Ibu Hilyati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 5 Sukarame, Bandar Lampung pada tahun 1998 dan menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 21 Bandar Lampung pada tahun 2001. Penulis melanjutkan ke SMUN 3 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama di IPB penulis ikut serta dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diadakan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM A), Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia (HMPTI) serta menjadi pengurus HIMASITA periode 2005-2006, BEM A periode 2006-2007, HMPTI periode 2006-2008. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Entomologi Umum pada tahun 2006, pendamping Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada tahun 2007, ikut pelatihan siaran radio komunitas IPB (Agri FM) April-Mei 2007, serta asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun 2008.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat kehadirat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi yang berjudul Inventarisasi Hama dan Penyakit pada Pertanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) di Lampung dan Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Bapak M. Rusdi Yahya dan Ibu Hilyati beserta kakak-adikku (Iwan Setiawan, SE., Heri Wihansen alm., Yulian Handika, Riza Pahlevi, Febri Himawan, SS., Ria Lestari) yang telah memberikan kasih sayangnya. Kepada Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Dr. Ir. Gede Suastika. M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penelitian penulis hingga selesai. Kepada Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, M.Si. selaku dosen penguji dalam sidang skripsi atas saran dan kritik yang diberikan untuk kesempurnaan laporan akhir ini. Terima kasih juga kepada Bapak Abas, Ketua Perhimpunan Petani Jarak Pagar Indonesia-Lampung beserta staff (Pak Suhaili dan Mas Teddy), Bapak Ical, petani jarak pagar Lampung Selatan, Bapak H. Sofyan, petani jarak pagar Cigawir beserta staff (Pak Haris dan Pak Dindin), Bapak Suprianta, petani jarak pagar Ciawi beserta staff (Pak Maryanto dan Pak Tugiyo), PT. Indocement beserta staff (Mas Misnen) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini hingga selesai. Kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat selaku dosen pembimbing akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Dr. Ir. Nina Maryana, Dr. Ir. Giyanto, M.Sc dan Dra. Dewi Sartiami, M.Si. yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama ini. Kepada Dimas, Ferdi, Mika, Alfi, Heni, Budi, Amanda, Cok, Deri, Afiat beserta anak-anak HPT angkatan 41, anggota Laboratorium Fistok, The Kumbang’s, Rusdan SP. beserta HPT 40 lainnya, teman-teman KKP (Yohana, Dwi, Yamin, Sekar, Ari), temen-teman HIMASITA, BEM A, dan HMPTI, serta pihak-pihak yang membantu penelitian ini hingga penelitian ini selesai yang tidak dapat penulis sajikan satu persatu.
Bogor, Mei 2008
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Karakteristik dan Produksi Minyak Tanaman Jarak Pagar ... 3
Morfologi dan Bioekologi Tanaman Jarak Pagar ... 4
Budidaya Tanaman Jarak Pagar ... 6
Hama dan Penyakit Tanaman Jarak Pagar ... 7
Hama ... 8
Belalang (Valanga nigricornis dan Locusta migratoria) ... 8
Ulat Api (Parasa lepida, Lepidoptera: Limacodidae) ... 9
Tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranycidae) ... 10
Kepik Hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae) ... 11
Walang Sangit (Leptocorisa oratorius, Hemiptera: Coreidae) 12 Kepik Lembing (Chrysochoris javanus, Hemiptera: Pentatomidae) ... 12
Thrips (Selenothrips rubrocinctus, Thysanoptera: Thripidae ) 13
Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae) ... 14
Kutu Putih, Ferrisia virgata (Hemiptera: Pseudococcidae) ... 15
Kumbang Moncong (Coleoptera: Curculionidae) ... 16
Wereng Daun (Empoasca sp., Hemiptera: Cicadellidae) ... 16
Penyakit ... 16
Bercak/Penyakit Kulit Botryodiplodia (Botryodiplodia sp.) ... 16
Embun Tepung (Oidium sp.) ... 17
Musuh Alami Hama ... 20
Belalang Sembah (Mantodea: Mantidae) ... 20
CoccinellidaePredator (Coleoptera) ... 21
BAHAN DAN METODE ... 22
Tempat dan Waktu ... 22
Metode Penelitian ... 22
Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh ... 22
Pengamatan Hama ... 22
Pengamatan Penyakit ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Karakteristik Lahan ... 25
Lahan Lampung Selatan ... 25
Lahan Bandar Lampung ... 25
Lahan Cigawir ... 26 Lahan Ciawi ... 27 Lahan Citeureup ... 28 Hama ... 28 Kutu Putih ... 29 Thrips ... 31 Tungau ... 33 Belalang ... 35 Kepik Lembing ... 36 Walang Sangit ... 38 Hama lainnya ... 39 Penyakit ... 39 Bercak Daun ... 39
Bercak Daun Coklat ... 41
Busuk Buah ... 44
Busuk Batang ... 45
Embun Tepung ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN ... 54
No Halaman
Teks
1. Luas serangan dan keparahan penyakit bercak daun bakteri ... 40
2. Luas serangan dan keparahan penyakit bercak daun coklat ... 43
3. Luas serangan dan keparahan penyakit busuk buah/bunga ... 48
No Halaman
Teks
1. Buah jarak pagar dengan berbagai tingkat kematangan ... 4
2. Lahan pertanaman jarak pagar ... 5
3. Hama tungau ... 10
4. Hama L. oratorius ... 12
5. Hama Thrips ... 14
6. Lahan jarak pagar di Lampung Selatan ... 25
7. Lahan jarak pagar di Cigawir ... 27
8. Lahan jarak pagar di Ciawi ... 27
9. Lahan jarak pagar di Citeureup (a) budidaya dan (b) persemaian ... 28
10. Gejala serangan hama F. virgata pada daun ... 29
11. Populasi hama F. virgata di beberapa lokasi ... 29
12. Gejala serangan hama S. rubrocinctus ... 31
13. Populasi hama S. rubrocinctus di beberapa lokasi ... 31
14. Persentase gejala S. rubrocinctus di beberapa lokasi ... 32
15. Gejala daun kerdil serangan hama Tetranychus sp. ... 33
16. Populasi hama Tetranychus sp. di beberapa lokasi ... 33
17. Persentase gejala daun kerdil di beberapa lokasi ... 34
18. Persentase gejala titik-titik merah di beberapa lokasi ... 35
19. Hama belalang, Valanga nigricornis ... 35
20. Populasi hama V. nigricornis di beberapa lokasi ... 36
21. (a) Imago dan (b) nimfa C. javanus... 37
22. Populasi hama C. javanus di beberapa lokasi ... 37
23. Populasi hama L. oratorius di beberapa lokasi ... 38
24. Gejala penyakit bercak daun jarak ... 40
25. Gejala penyakit daun melepuh/terbakar ... 42
26. Cendawan Curvularia sp. ... 42
30. Busuk bunga/buah pada tanaman jarak pagar ... 44
31. Bercak/busuk batang tanaman jarak pagar (a) tanaman mulai terserang, (b) tanaman rebah, (c) penghitaman bagian empulur setelah batang dibelah melintang ... 46
32. Cendawan Fusarium sp. ... 47
33. Cendawan Cacumisporium sp. ... 47
34. Cendawan Rhizopus sp. ... 47
No Halaman
Teks
1. Gambar hama tanaman jarak pagar ... 56
2. Gambar sarang semut pada pertanaman jarak pagar ... 56
3. Populasi rata-rata S. rubrocinctus ... 57
4. Populasi rata-rata hama F. virgata ... 57
5. Populasi rata-rata hama C. javanus ... 57
6. Populasi rata-rata hama L. oratorius ... 58
7. Populasi rata-rata hama V. nigricornis ... 58
8. Populasi rata-rata hama Tetranychus sp. ... 58
9. Rata-rata persentase gejala daun mengkerut atau kerdil oleh Tetranychus sp. ... 59
10. Rata-rata persentase gejala titik-titik merah pada daun oleh Tetranychus sp. ... 59
11. Rata-rata persentase gejala daun keperakan oleh S. rubrocinctus ... 59
12. Sidik ragam populasi hama di berbagai lokasi ... 58
13. Sidik ragam gejala serangan hama di berbagai lokasi ... 58
14. Sidik ragam luas serangan penyakit di berbagai lokasi ... 58
Latar Belakang
Jumlah penduduk di Indonesia tiap tahunnya meningkat, sehingga kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) pun akan meningkat. Sejak tahun 1995 konsumsi BBM di Indonesia telah melebihi produksi dalam negeri. Diperkirakan 10-15 tahun ke depan cadangan minyak dalam negeri akan habis (Hambali et al. 2006). Negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting Country (OPEC) yang penduduknya padat seperti Indonesia, harus dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis energi, terutama kelangkaan BBM yang menyebabkan harganya meningkat. Untuk menanggulangi kelangkaan BBM, beberapa cara yang dapat ditempuh diantaranya gerakan hemat energi hingga mencari sumber-sumber energi lain pengganti BBM, seperti mengusahakan peningkatan pemanfaatan gas alam, energi panas bumi, tenaga air, energi surya, energi angin, energi nuklir dan sebagainya. Pembangunan bukan berarti merusak, tetapi suatu usaha yang bijak dengan memanfaatkan energi hijau yang berasal dari tumbuhan (Sanusi 1984). Bahan bakar yang ramah lingkungan yang berasal dari tumbuhan disebut bahan bakar nabati (BBN).
Menurut Riberio et al. (1997) dalam Indartono (2006) BBN telah memenuhi dua syarat utama sebagai sumber energi baru: (1) tidak menciptakan ketergantungan, karena bahan baku BBN dapat dibudidayakan di Indonesia, dan (2) ramah lingkungan. Emisi pembakaran BBN yang juga merupakan gas rumah kaca yaitu CO2, pada prinsipnya akan diserap kembali oleh tanaman sumber BBN.
Terbukti telah terjadi penurunan emisi CO2 sebesar 12% di Brazil setelah negara
ini menggunakan bioetanol dalam skala besar. Komoditas perkebunan dapat diolah menjadi minyak nabati yang bersifat seperti minyak disel/solar, diantaranya minyak kelapa sawit, kelapa, jagung, kedelai, dan jarak pagar. Tetapi peluang jarak pagar sebagai bahan bakar biodisel lebih besar dikarenakan minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori edible oil. Selain itu jarak pagar juga merupakan tanaman yang mudah untuk dibudidayakan karena tahan akan kekeringan, juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan beriklim panas, tandus dan berbatu. Penanaman jarak pagar dengan skala besar dengan sistem
pertanaman monokultur sangat berpotensi munculnya hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi buah atau biji (Hambali et al. 2006). Banyak orang beranggapan bahwa tanaman jarak pagar adalah jenis tanaman yang beracun dan memiliki sifat fungisidal sehingga tidak perlu mengkhawatirkan adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), tetapi dari hasil laporan diketahui adanya beberapa hama dan penyakit pada pertanaman yang menyebabkan kerusakan secara ekonomi (Djudawi 2006).
Informasi mengenai hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar hingga saat ini belum banyak diketahui dan terbatas. Oleh karena itu, inventarisasi OPT pada pertanaman jarak pagar perlu dilakukan agar pengelolaan tanaman jarak pagar dapat dilakukan dengan baik.
Tujuan
Menginventarisasi hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar serta mengevaluasi kerusakan yang ditimbulkannya di beberapa lokasi di Lampung dan Jawa Barat.
Manfaat
Memberikan informasi hama dan penyakit pada pertanaman jarak pagar agar dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam mengelola pertanaman tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Produksi Minyak Tanaman Jarak Pagar
Produksi bahan bakar dari tanaman disebut biodisel atau minyak nabati. Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel (Vicente et al. 2006 dalam Indartono 2006). Dahulu minyak jarak pagar jarang diproduksi karena harga BBM yang rendah karena adanya subsidi dari pemerintah yang mengakibatkan minyak dari tumbuhan tidak dapat bersaing dengan minyak dari penambangan. Meningkatnya harga bahan bakar dunia saat ini menyebabkan minyak jarak pagar diproduksi kembali yang sebelumnya pada zaman Jepang tanaman jarak pagar pernah diproduksi sebagai bahan bakar pesawat terbang dan minyak lampu di perumahan (Indartono 2006).
Kandungan minyak jarak pagar dipengaruhi oleh tingkat kemasakan buah. Buah jarak pagar dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan dalam satu ranting dalam hubungannya dengan kandungan minyaknya yaitu (1) buah muda ditandai dengan kulit buah berwarna hijau muda, biji berwarna putih, daging biji belum terbentuk masih berupa air yang keruh, biji ini belum mengandung minyak, (2) buah setengah tua ditandai dengan kulit buah berwarna hijau, kulit biji berwarna coklat muda keputih-putihan, daging biji telah terbentuk namun masih lunak, biji juga belum mengandung minyak, (3) buah tua, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau tua, biji berwarna hitam dan keras, biji telah mengandung minyak walaupun masih rendah, (4) buah masak kulit buah berwarna kuning sampai hitam, biji telah berwarna hitam mengkilat dan keras, kandungan minyak paling tinggi, dan (5) buah lewat masak, buah telah kering atau telah jatuh, tergantung pada kondisi lingkungan, jika kondisi kering maka buah dapat tergantung di pohon selama 2–3 bulan ditandai dengan kulit buah telah mengering dengan warna coklat kehitaman, sedang jika kondisi basah, buah akan jatuh dan berkecambah, pada kondisi demikian kandungan minyak sangat rendah (Gambar 1) (Indartono 2006).
Gambar 1 Buah jarak pagar dengan berbagai tingkat kematangan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen buah pada tingkat 4 buah masak, memberikan hasil minyak tertinggi yaitu 30,32% untuk buah berwarna kuning dan 31,47% untuk buah hitam sedang buah pada tingkat 3 buah tua dengan kulit berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam, kandungan minyaknya hanya 20,70% (Yeyen et al. 2006). Bila setiap hektar terdiri atas 2.500 tanaman jarak pagar unggul yang sudah dewasa (umur 4 tahun setelah tanam) dengan kondisi syarat tumbuh (tanah dan iklim) dan pemeliharaan yang optimal maka setiap pohon memiliki 40 cabang, setiap cabang mempunyai 3 tandan buah per tahun, setiap tandan menghasilkan 10–15 buah per tandan (30–45 biji). Dalam kondisi yang demikian, jumlah biji yang akan dihasilkan dari luasan 1 ha adalah 2.500 tanaman x 40 cabang x 3 tandan x (10–15) buah x 3 biji = 9.000.000–13.500.5000 biji. Bila 1 kg terdiri atas 2.000 biji kering maka produksi jarak pagar per hektar per tahun adalah 4,5–6,75 ton biji kering (Indartono 2006).
Morfologi dan Bioekologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Klasifikasi tanaman jarak pagar (J. curcas) yaitu:
Divisi : Spermathopyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha
Gambar 2 Lahan pertanaman jarak pagar
Jarak pagar ialah tanaman perdu yang agak besar dengan cabang yang tidak teratur. Tanaman ini mulai berbuah pada umur lima bulan, dan mencapai produktivitas optimal pada umur lima tahun. Tanaman ini mencapai ketinggian 3–5 m. Daun jarak pagar berbentuk jantung dan bertangkai panjang, cabang pohonnya mengandung getah, buah berbentuk elips dengan panjang sekitar 2,5 cm, dan di dalamnya terdapat 2–3 biji. Bunga berwarna kuning kehijauan dan berupa bunga majemuk berumah satu, bunga ini tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung batang atau ketiak daun, setiap tandan memiliki lebih dari 15 bunga, serta jumlah bunga betina lima kali lebih banyak dari bunga jantan. Beberapa varietas jarak pagar yang dikenal saat ini ialah Cape Verde, Nicaragua, Ife Nigeria, dan Non-Toksik Mexico (Syah 2006). Tanaman jarak pagar mulai berbunga setelah umur 3–4 bulan, sedangkan pembentukan buah mulai pada umur 4–5 bulan. Pemanenan dilakukan jika buah telah masak, dicirikan kulit buah berwarna kuning dan kemudian mulai mengering. Buah biasanya masak setelah berumur 5–6 bulan. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang dapat hidup lebih dari 20 tahun jika dipelihara dengan baik (Indartono 2006).
Tanaman jarak pagar sebagai tanaman yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya. Lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhannya yaitu antara 50 °LU–40 °LS, ketinggian antara 0–2000 m dpl, suhu berkisar antara 18–30 °C, dan curah hujan antara 300–1200 mm/tahun. Pada daerah dengan suhu
rendah (< 18 °C) dapat menghambat pertumbuhan tanaman, sedangkan pada suhu tinggi (> 35 °C) dapat menyebabkan gugur daun dan bunga, serta buah menjadi kering sebelum waktunya, sehingga menurunkan produksi. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5–6,5 (Indartono 2006).
Budidaya Tanaman Jarak Pagar
Tanaman jarak pagar hidup dengan baik pada curah hujan optimum 625 mm/tahun dan temperatur tahunan 20–28 °C. Tanaman jarak pagar tumbuh baik pada tanah gembur (Syah 2006). Suhu ekstrim <15 °C atau >35 °C akan menghambat pertumbuhan serta dapat mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya. Jarak pagar memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah sehingga tahan kekeringan serta berfungsi menahan erosi. Lahan hendaknya memiliki drainase baik, tidak tergenang dan pH tanah 5–6,5 (Djudawi 2006). Penanaman dengan jarak tanam 2 m x 3 m (populasi 1600 pohon/ha), 2 m x 2 m (populasi 2500 pohon/ha) atau 1,5 m x 2 m (populasi 3300 pohon/ha). Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak dalam barisan 1,5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Bibit dipilih yang sehat dan cukup kuat serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih.
Pembibitan dapat dilakukan di polibag atau bedengan. Setiap polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) yang dicampur dengan pupuk kandang, dan ditanami 1 benih/polibag. Pembibitan diberi penaung atau atap dengan bahan berupa daun kelapa, jerami atau paranet. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (2 kali sehari yaitu pagi dan sore), penyiangan, dan seleksi bibit. Setelah 2–3 bulan bibit dipindahkan ke lapang. Penanaman dapat juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan stek cabang atau batang (Indartono 2006). Setelah tanaman cukup besar perlu dilakukan pemangkasan tanaman agar tumbuh banyak percabangan, dan dilakukan penjarangan yang berfungsi untuk mengurangi terjadinya kompetisi diantara tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit atau stek. Pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan secara periodik dalam
usaha budidayanya. Selain itu tanaman juga perlu diberi pupuk NPK, karena jika tanah kekurangan nitrogen akan menyebabkan bunga akan gugur. Pemupukan dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu 150 kg SP dan pada pemupukan ke dua dengan dosis 180 kg NPK, dan tiap tahunnya ditingkatkan sebanyak 10% (Syah 2006).
Produksi bunga dan buah dipengaruhi oleh curah hujan dan unsur hara, jadi tanaman jarak pagar harus mendapatkan pengairan yang cukup. Jika dalam setahun terdapat satu kali musim hujan maka pembuahan biasanya hanya terjadi satu kali dalam setahun, tetapi jika diberi pengairan dapat berbuah hingga tiga kali setahun. Setelah tanaman berumur lima tahun tanaman jarak pagar dapat menghasilkan 4–12 ton biji/ha per tahun (Syah 2006) atau 1–4 ton rendemen.
Hama dan Penyakit Tanaman Jarak Pagar
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu masalah yang terjadi pada setiap komoditas pertanian. OPT yang menyerang pertanaman jarak pagar ialah hama tanaman muda: ulat tanah (Agrotis ipsilon, Lepidoptera: Noctuidae), Lundi scarabaeid (Coleoptera: Acarabaeidae), belalang (Valanga spp. dan Locusta migratoria, Orthoptera: Acrididae), ulat grayak (Spodoptera litura, Lepidoptera: Noctuidae). Hama tanaman dewasa: hama pada batang (Ostrinia
furnacalis, Lepidoptera: Pyralidae), ulat daun jarak (Achaea janata), ulat api
(Parasa lepida, Lepidoptera: Limacodidae), wereng daun (Empoasca sp., Hemiptera), tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae), ulat tongkol jagung (Helicoverpa armigera, Lepidoptera: Noctuidae). Hama bunga dan buah: kepik hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae), ulat penggerek pucuk jarak (Dichocrosis punctiferalis). Penyakit: bercak bibit, bercak alternaria (Alternaria ricini), karat (Melampsora ricini), bercak daun cercospora (Cercospora ricinella), layu fusarium (Fusarium oxysporum), busuk botrytis (Botrytis ricini), dan bercak daun bakteri (Xanthomonas ricinicola) (Hambali et
Hama
Belalang (Valanga spp. dan Locusta migratoria, Orthoptera: Acrididae) Belalang tergolong ke dalam ordo Orthoptera dan famili Acrididae. Imago betina memiliki panjang tubuh 58–71 mm dan imago jantan 49–63 mm. Imago meletakan telurnya pada kedalaman 5–8 cm dan dibungkus material seperti busa. Serangga ini umumnya bertelur pada awal musim hujan dan menetas awal musim kemarau (Dadang et al. 2007). Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan. Serangga ini memiliki dua buah (sepasang) mata majemuk (facet), sepasang antena, serta tiga buah mata sederhana (oceli). Dua pasang sayap serta tiga pasang tungkai terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spirakel yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap-tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen), dan tipe alat mulut menggigit mengunyah. Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur–nimfa–dewasa (imago) (Indartono 2006).
Belalang daun maupun belalang kembara dapat menyerang pertanaman setiap saat dan memiliki inang yang banyak/polifag. Serangan berat umumnya terjadi pada tanaman muda. Panjang belalang kembara dewasa jantan berkisar antara 3,4–4,1 cm, sedangkan yang betina relatif lebih panjang, yaitu sekitar 4–4,7 cm. Semakin tua umur belalang maka warnanya akan semakin cerah. Warna belalang dewasa yang semula coklat abu-abu akan berubah menjadi kuning mengkilat pada belalang jantan dan berwarna coklat kekuning-kuningan pada belalang betina. Adanya bintik coklat-hitam pada sayap depan yang berwarna kuning transparan, sedangkan untu sayap belakang tidak berbintik. Belalang memiliki kemampuan jelajah yang tinggi mencapai 200 km, kemampuan pembentukan kelompok dengan anggota yang sangat banyak, serta kemampuan makan yang sangat lahap. Kemampuan makan belalang yang sangat tinggi menyebabkan tanaman dalam jumlah besar akan habis dan rusak dalam waktu
yang sangat singkat. Sebagai contoh, tanaman padi akan rusak seluruhnya dan tanaman jagung hanya tinggal batangnya jika terjadi serangan berat oleh kawanan belalang kembara.
Populasi belalang kembara yang melimpah tersebut berhubungan dengan kemampuan bertelur belalang yang memang tinggi. Seekor belalang betina dapat bertelur mencapai 24 butir dan dapat bertelur hingga 9 kali. Hasil salah satu penelitian menunjukkan bahwa masa aktif bertelur seekor betina rata-rata selama 63 hari (Indartono 2006). Pengendalian yang selama ini dilakukan dalam mengatasi hama ini ialah sanitasi lahan, tidak menanam tanaman yang dapat menjadi inangnya di luar tanaman utama, dan pengandalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida berbahan aktif betasiflutrin, sipermetrin,
tiodikarb, MIPC, dan fipronil (Dadang et al. 2007).
Ulat Api (Parasa lepida, Lepidoptera: Limacodidae)
Ulat api tergolong dalam ordo Lepidoptera, famili Limacodidae. Larva ulat ini berwarna hijau terang dengan garis membujur berwarna biru, pada bagian dorsal memiliki rambut-rambut/duri yang muncul dari tubuhnya. Ulat ini disebut ulat api karena apabila duri ulat ini tersentuh tangan akan terasa panas seperti terbakar. Pada awalnya ulat hidup secara berkelompok/gregarius pada daun jarak, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman seiring dengan pertumbuhan larva. Imago meletakan telur pada bagian tanaman yang lunak dalam kelompok kecil. Hama ini bersifat polifag, satu ekor imago betina dapat menghasilkan 400– 600 butir telur dalam waktu 3–5 hari. Ulat dapat menyebabkan daun tanaman jarak berlubang, serangan berat daun akan habis. Pengendalian yang pernah dilakukan terhadap serangga ini ialah dengan memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Apanteles parasae, Chrysis shanghaiensis, Trachysphyrus (Cryptus)
oxymorus (Tosq.), Chlorocryptus sp., Goryphus mesoxanthus (Br.), beberapa
golongan Ichneumonidae, Fornicia sp. (Braconidae), Meteorus sp., Rogas sp.,
Euplectomorpha sp., dan Platyplectrus orthocraspedae Ferr., dan predator Canthecona sp. dan Sycanus sp.. Pengendalian juga dapat menggunakan musuh
alami dari golongan cendawan atau disebut entomopatogen, cendawan yang digunakan dalam pengendalian hama ini yaitu Cordyceps coccinea. Selain itu
pengendalian sering dilakukan dengan penggunaan senyawa kimia yaitu insektisida dengan bahan aktif klorpirifos dan organofosfat lainnya, serta insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis (Dadang et al. 2007).
Tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae)
Tetranychus sp. termasuk dalam ordo Acarina. Telur Tetranychus sp. yang
berwarna merah tua dan berbentuk bulat adalah fase yang mudah untuk membedakan dari tungau jenis lain. Telur sebagian besar diletakkan di permukaan bagian atas sepanjang tulang daun, tetapi sebagian lainnya diletakkan pada permukaan daun bagian bawah atau secara bebas ke dalam jaringan makanan tanaman (Krantz 1978). Imago betina dari tungau ini berbentuk oval, berwarna merah tua dan mempunyai bulu-bulu yang panjang dan menarik perhatian. Tungau jantan ukuran tubuhnya lebih kecil, lebih runcing dan mempunyai kaki yang relatif panjang dan geraknya lebih aktif daripada yang betina. Tungau dapat memperbanyak diri scara seksual maupun partenogenesis (Oliver 1971).
Gambar 3 Hama tungau (Sumber:Taropest)
Populasi tungau merah banyak ditemukan di permukaan daun bagian atas, dan sebagian kecil menyerang buah dan cabang. Dalam proses pemangsaan, tungau merah menghisap klorofil dari daun, sehingga warnanya berubah menjadi bintik-bintik kelabu dan keperakan. Serangan lebih parah di musim kering di mana kelembapan dalam tanaman menurun. Pada kondisi demikian dari efek serangan tungau, iklim dan faktor fisiologis dapat mengakibatkan gugurnya buah dan ranting muda mati. Buah yang masih hijau lebih disenangi daripada yang tua,
tetapi gejala serangan lebih jelas terlihat pada buah yang tua dan bersifat permanen.
Varietas jarak yang lebih tahan terhadap serangan hama ini ternyata tanaman yang bunganya tidak dilapisi lilin. Tungau bersifat polifag, selain jarak banyak menyerang pada pertanaman kapas, tomat, kacang-kacangan, dan lain-lain. Penyebaran tungau dapat melalui daun-daun gugur yang terserang, lalu tertiup angin, selain itu dapat melalui sentuhan pakaian pekerja kebun. Musuh alami dapat sebagai pengendalian tungau ini, yaitu tungau predator dari famili Phytoseiidae yang menyerang telur dan larva (Anonim 2007). Selain itu kumbang Coccinelidae, Stethorus spp. juga memangsa tungau tanaman ini. Secara kimiawi pengendalian hama ini menggunakan akarisida Keethane 200EC dan Omite 570 EC. Selain itu dapat juga digunakanCuracron 500 EC dengan konsentrasi 2 ml/l air atau Pegasus 500 SC dengan konsentrasi 1.5 ml/l air atau Agrimec 18 EC dengan konsentrasi 0,5 ml/l air. Ketiga insektisida digunakan secara bergantian (Anonim 2002).
Kepik Hijau (Nezara viridula, Hemiptera: Pentatomidae)
Kepik hijau merupakan hama penting pada daerah tropik. Kepik hijau memiliki panjang tubuh 16 mm. Imago betina dapat menghasilkan telur sebanyak 10–90 butir dalam bentuk kelompok di permukaan daun. Telur menjadi dewasa membutuhkan waktu 4–8 minggu, siklus hidup 60–80 hari, maksimum mencapai 6 bulan. Imago betina hama ini menyerang pada fase pembungaan sehingga menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang berkembang. Kepik hijau ini bersifat polifag pada tanaman padi, tomat, cabai, kapas, dan lain-lain. Kerusakan utama biasanya bukan karena tusukan dan hisapan langsung, tetapi karena racun yang dikeluarkan melalui kelenjar ludahnya. Racun ini dapat menimbulkan kelayuan, kematian daun dan pucuk tanaman (Dadang et al. 2007). Pengendaliannya dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman perangkap seperti Caosalaria. Selain itu mengumpulkan telur dan larvanya kemudian dimusnahkan untuk menekan perkembangan hama ini. Pengendalian hayati dapat menggunakan Trissolcus basalis, Trichopoda pilipes dan Trichopoda pennipes sebagai parasitoid imago, dan predator telur Dolichoderus sp., Gryllidae, dan
A a ( W P b p t m p K p k P m b h t h h a Arachnida. aktif klorflu (Dadang et a Walang San Leptoc Panjang tubu berkembang paurometabo terbakar kar mulut menu pengumpula Kepik Lemb Salah peneliti Pusl kepik lembi Pentatomida metamorfosa berkelompok hitam denga thorax berw hama ini ya hitam pada e al. 2007). Jika popul uazuron, dif al. 2007). ngit (Leptoc corisa orato uh 7–30 mm g sempurna ola. Serang rena nutrisi usuk menghi an telur dan m Gambar bing (Chrys satu serang litbang Perk ng (Chrysoc ae, genus Ch a paurometa k di bawah an bintik mer warna hijau aitu serangg elitra, dan im C. javanus asi tinggi d flubenzuron, orisa orator orius memil m. Serangga (Kalshoven gan hama in jaringan ta isap. Penge memusnahka r 4 Hama L sochoris java gga yang me kebunan pad choris javan hrysochoris abola, telur permukaan rah, kuning, metalik dan ga didomina mago memili memiliki an dapat diaplik , alfametrin rius, Hemipt liki femur t ini berwarn n 1981). T ni membuat anaman dihi endalian L. o annya atau d . Oratorius ( anus, Hemip erupakan ha da pertanama nus Westw.), (Indartono 2 berbentuk s n daun. Pad , dan hijau m n hidup berk asi dengan w iki panjang t ntena yang kasikan inse n, lamda si tera: Alydid tungkai ke a coklat atau Tipe perkem tanaman m isap, hama oratorius da dengan peny (Sumber: pu ptera: Penta ama yang u an jarak pag , termasuk o 2006). Sera seperti tong da fase nim mengkilat, se kelompok. warna merah tubuh menca lebih panjan ktisida yang ihalotrin, da dae) tiga yang u hitam deng mbangbiakan menguning a ini memilik apat dilakuk yemprotan in ustaka-deptan atomidae) umum ditem gar di Indone ordo Hemipt angga ini me dan diletak mfa tubuhnya ementara bag Ciri khas f h dan mem apai 20 mm ng dari kepa g berbahan an fusalon membesar. gan tungkai nnya ialah atau seperti ki tipe alat kan dengan nsektisida. n) mukan oleh esia adalah tera, famili emiliki tipe kkan secara a berwarna gian dorsal fase imago miliki corak (Dadang et ala, antena
terdiri dari tiga ruas, dan tubuh memiliki bentuk perisai yang khas. Scutellum berkembang dengan baik. Siklus hidup berkisar 60–80 hari, stadia nimfa dan kepik dewasa gerakannya lambat.
C. javanus menyerang jarak pagar pada saat pembungaan, menjelang
pembentukan buah dan menghisap buah, sehingga menimbulkan kerusakan pada kapsul buah yang sedang berkembang. Bunga/buah yang terserang akan menjadi coklat kehitaman, bunga tidak bisa menjadi buah, sedangkan buah menjadi rusak tidak dapat dipanen (Djudawi 2006). Pengendalian yang biasanya dilakukan dalam mengatasi hama ini secara mekanik yaitu dengan mengumpulkan dan memusnahkan kelompok telur, nimfa, atau imago. Kegiatan pengendalian secara mekanis dapat dilakukan bersamaan dengan pemangkasan atau pemanenan sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja. Pengendalian kimiawi dengan insektisida kontak maupun sistemik (Dadang et al. 2007).
Thrips (Selenothrips rubrocinctus: Thysanoptera: Thripidae)
Thrips merupakan ordo Thysanoptera (Borror et al. 1996). Tubuhnya ramping dan pipih, imago berwarna hitam dan panjangnya 1–2 mm (Kalshoven 1981). Semakin rendah suhu suatu lingkungan warna thrips biasanya akan lebih gelap. Thrips jantan tidak bersayap, sedangkan yang betina mempunyai dua pasang sayap yang halus dan berumbai. Hama ini berkembang biak secara partenogenesis atau dapat menghasilkan telur tanpa melalui perkawinan terlebih dahulu. Telur thrips berbentuk oval, diletakkan secara terpisah-pisah di permukaan bagian tanaman atau ditusukkan ke dalam jaringan tanaman oleh alat peletak telur. Telur diletakkan di bagian dalam jaringan daun, kemudian nimfa yang keluar menghisap jaringan mesofil daun, sehingga beberapa spot transparan dan mengering. Telur yang dihasilkan dapat mencapai 80–120 butir. Setelah 6–8 hari telur menetas menjadi instar pertama berwarna putih transparan (Indartono 2006). Thrips dewasa dapat hidup hingga 20 hari. Siklus hidup hama thrips lebih kurang 3 minggu. Di daerah tropis siklus hidup tersebut bisa lebih pendek (7–12 hari), sehingga dalam satu tahun dapat mencapai 5–10 generasi. Nimfa atau thrips dewasa menyerang tanaman dengan menggaruk jaringan daun dan menghisap cairan selnya, terutama daun yang masih muda (Anonim 2008).
Karakteristik stadia nimfa S. rubrocinctus memiliki tiga segmen pada abdomen dan terdapat pita/garis melintang berwarna merah-orange pada tengah segmen abdomen (Kalshoven 1981). Nimfa paling suka dengan daun yang masih muda atau kuncup daun. Karena itu, hama ini banyak ditemui di kuncup-kuncup daun. Gejala yang ditimbulkan adalah daun mula-mula bernoda putih mengkilat seperti perak, kemudian menjadi kecoklat-coklatan dengan bintik hitam. Serangan biasanya akan lebih berat jika terjadi hujan rintik-rintik, suhu di atas normal, dan kelembapan di atas 70%. Hama ini bersifat polifag, kadang-kadang menjadi vektor penyakit (Indartono 2006). Suhu optimum untuk perkembangan serangga ini anatara 26–28 °C dan kelembapan 85% (Kalshoven 1981).
Gambar 5 Hama thrips, sumber gambar : CABI
Pengendalian hama ini adalah dengan memasang perangkap likat IATP (Insect Adhesive Trap Papper) berupa kertas lembaran tahan air berwarna kuning (warna yang disukai thrips) yang telah diberi perekat. Selain dengan perangkap berperekat pemangkasan bagian tanaman yang terserang dan pemusnahan hama juga dapat dilakukan dalam mengendalikan thrips. Secara biologis dengan memanfaatkan musuh alami dari jenis Coccinellidae (Anonim 2008).
Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae)
Ulat jengkal dapat menghasilkan telur mencapai 50 butir, telur diletakan secara berkelompok. Lama stadia telur adalah 3 hari, telur berbentuk bulat dan berwarna hijau kebiruan. Pada saat menjelang menetas, telur menjadi kehitaman. Larva berwarna hijau dan bergerak seperti orang mengukur panjang atau lebar dengan jengkalnya, sehingga diberi nama ulat kilan atau ulat jengkal. Larva ulat jengkal merusak daun-daun yang agak tua, yaitu dengan cara menggigit daun dari arah pinggir. Jika serangan berat, bagian daun yang tersisa hanya tulang daunnya saja. Larva berpupa dalam anyaman daun. Pada tanaman kakao, jika daun sudah
habis, maka larva ini akan menyerang bunga dan buah. Saat larva sudah besar biasanya masuk ke dalam tanah yang gembur untuk berpupa pada kedalaman 2–3 cm. Lama stadium pupa adalah 6 hari. Ngengat berwarna coklat keabu-abuan dan aktif pada malam hari. Tanaman inang lain hama ini adalah kacang hijau, kedelai, kentang, kakao, dan tembakau.
Kutu Putih (Ferrisia virgata, Hemiptera: Pseudococcidae)
Kutu dompolan tergolong dalam ordo Hemiptera dan famili Pseudococcidae yaitu serangga yang menyerupai tepung. Karakteristik hama ini yaitu memiliki tubuh berwarna putih dan lilin kuning, tubuhnya di lapisi oleh tepung berwarna putih, pinggiran tubuhnya terdapat seperti benang-benang kecil, serta pada bagian ekor memiliki 2 benang yang lebih panjang panjang dari benang lainnya di sekitar tubuh. Hama ini bersifat polifag, imago betina dapat menghasilkan 200–450 telur dalam waktu beberapa jam. Sedangkan perubahan bentuk dari telur menjadi nimfa berlangsung 4–9 hari. Untuk jantan akan menjadi imago dalam waktu 20– 60 hari setelah nimfa menetas dan imago betina membutuhkan hanya 20–45 hari untuk menyelesaikan masa nimfanya. Imago betina dapat hidup selama 1–2 bulan, sedangkan jantan hanya 1–3 hari. Selain dengan cara kopulasi, perkembangbiakan hama ini dapat dilakukan secara partenogenesis oleh imago betina (Kalshoven 1981). Pengendalian hama ini adalah dengan menggunakan benih yang sehat dan secara mekanis memangkas bagian tanaman yang terserang dan dimusnahkan (Dadang et al. 2007). Pengendalian secara biologis dengan memanfaatkan predator dari famili Coccinellidae yaitu Scymnus apiciflavus (Anonim 2007) dan Cryptolaemus montrouzieri, serta Syrphidae (Dadang et al. 2007). Selain predator, dapat juga memanfaatkan parasitoid Cocophagus gumeyi,
Tetracnemus pretiosus, T. Peregrinus, Leptomastidae abnormis dan Anarhopus sydeyensis (Anonim 2007). Pengendalian kimiawi dengan menggunakan
insektisida sistemik.
Kumbang Moncong (Coleoptera:Curculionidae)
Kumbang moncong memiliki warna hitam kotor/tidak mengkilap dengan ukuran antara 3,5–7 mm termasuk moncong. Kumbang bertelur pada daun atau
lubang pada batang tanaman. Larva menggerek ke jaringan batang atau masuk ke pucuk/kuncup dan tangkai sampai menjadi pupa. Pupa terbungkus oleh sisa makanan dan terletak di rongga dalam bekas gerekan batang. Kerusakan terjadi karena larvanya menggerek daun dan memakan jaringan di bagian dalam batang sehingga mengakibatkan aliran air dan hara dari akar terputus serta daun-daun menjadi kuning dan layu. Kerusakan pada daun menyebabkan daun berlubang-lubang. Larva juga menggerek batang umbi, pucuk dan batang untuk membentuk pupa, sedangkan kumbang dewasa memakan epdermis/permukaan daun muda, jaringan/tangkai bunga dan pucuk/kuntum sehingga dapat mengakibatkan kematian bagian tanaman yang dirusak. Serangan pada titik tumbuh dapat mematikan tanaman. Pada pembibitan Phalaenopsis sp. dapat terserang berat hama ini. Serangan kumbang gajah dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi paling banyak terjadi pada musim hujan, terutama pada awal musim hujan tiba (Anonim 2007). Inang lain dari hama ini adalah anggrek, kelapa, dan kelapa sawit.
Wereng Daun (Empoasca sp., Hemiptera: Cicadellidae)
Wereng daun merupakan salah satu hama utama pada tanaman jarak di daerah tropik dan subtropik dan sangat berbahaya pada tanaman di lahan pembibitan (Dadang et al. 2007). Imago betina meletakan telur di dalam jaringan daun, dekat dengan tulang daun di permukaan bawah. Nimfa dan imago menghisap cairan daun hingga daun berubah warna menjadi merah atau coklat. Kadang kala daun mengering dan mati. Pengendalian hama ini dengan menggunakan insektisida imidaklrpid, betasiflutrin, atau karbosulfan (Dadang dkk. 2007).
Penyakit
Bercak/Penyakit Kulit Botryodiplodia (Botryodiplodia sp.)
Penyakit kulit botryodiplodia sering ditemui pada anggrek jenis Vanda sp. dan Arachnis sp. (Anonim 2007). Gejala dapat terjadi pada batang berupa bercak coklat hingga hitam pada permukaan berupa blendok, kulit menjadi gelap dan lama kelamaan akan mengering. Bagian yang sakit akan menjadi luka yang terbuka (kanker) akhirnya akan mati. Penyakit ini berkembang dalam kambium,
sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar dari penampakan luarnya (Semangun 2000). Bercak tidak terbatas pada bagian-bagian yang tua saja tetapi yang muda pun terserang. Penyakit memencar dengan spora yang terdapat pada badan buahnya. Spora memencar bila terjadi perubahan cuaca yang mendadak dari basah ke kering (Anonim 2007). Konidia berbentuk kapsul kecil berwarna orange dengan sekat melintang (Agrios 1997). Konidium cendawan ini bersel satu dan hialin pada waktu muda, serta bersel dua dan warna agak gelap dengan ukuran 26–28 µm x 12–14 µm saat konidium dewasa. Cendawan ini bertahan pada ranting-ranting dan kulit batang/cabang yang sakit.
Pengendalian penyakit kulit botryodiplodia dapat dilakukan dengan cara yaitu dianjurkan untuk mengapur pangkal batang setelah pemangkasan dengan campuran kapur dan garam dapur (25 kg kapur mati, 2 kg garam dapur, 25–35 l air), dapat juga dilakukan dengan cara pengolesan dengan bubur Bordeaux 5% yang dicampur dengan lem kayu 0,5% (Muller 1940 dalam Semangun 2000). Selain itu pengendalian terhadap tanaman yang terserang penyakit dapat dilakukan dengan memotong bagian yang terinfeksi dan bagian luka bekas pemotongan tadi ditutup dengan lilin yang telah dicampur dengan karbolineum
planetarium. Untuk mengurangi terjadinya serangan Botryodiplodia sp. pada
buah, setelah dilakukan pemanenan buah segera dibawa ke tempat penyimpanan/pemeraman secara tertutup dan mengusahakan tangkai buah masih melekat pada buah untuk menghindari terjadinya luka pada buah (Semangun 2000).
Embun Tepung (Oidium sp.)
Embun Tepung ialah cendawan obligat. Konidia tumbuh baik pada suhu 7–31 °C dan kelembaban 30%–100%. Perkembangan patogen ini memerlukan keadaan lingkungan yang lembap (optimum 90%), tetapi air tidak sampai tergenang di atas permukaan tanah. Curah hujan yang tinggi merupakan kondisi yang kurang menguntungkan untuk patogen ini, sebab dapat mengganggu perkembangannya pada daun yang selalu basah. Terkena sinar matahari langsung, suhu hingga 33 °C, dan kelembaban di bawah 20% akan mengganggu perkembangan patogen. Perkembangan penyakit sangat dibantu oleh sedikit
hujan, tidak banyak sinar matahari, dan suhu yang agak rendah (Anonim 1962
dalam Semangun 2000). Dari penelitian di Malaysia pertumbuhan cendawan Oidium akan cepat pada suhu 15–16 °C dan kelembapan nisbi 75%–80%
(Semangun 2000). Cendawan ini dapat menyerang berbagai bagian tanaman, baik bagian batang, daun, atau bunga. Penyebarannya ke tanaman lain dengan bantuan angin maupun kontak dengan tanaman yang terinfeksi. Cendawan ini memiliki apresorium yang membulat, konidiofornya 60–120 x 12 µm, sedangkan konidiumnya mebentuk rantai yang terdiri dari 4–8 konidium yang melekat pada konidiofornya, konidium tidak berwarna, ukuran konidium sangat dipengaruhi oleh tanaman inang dan cuaca (Semangun 2000).
Pada permukaan tanaman yang terserang tampak bercak-bercak berwarna putih kelabu seperti beludru halus, yang terdiri dari miselium, konidiofor, dan konidium cendawan. Bila serangan berat akan menimbulkan bercak coklat kemerahan. Jika serangan terjadi pada daun yang baru saja berkembang akan menyebabkan perubahan warna menjadi kusam, daun lemas dan tepi-tepinya agak mengeriting. Serangan pada daun muda ini dalam beberapa hari akan menjadi hitam dan gugur satu per satu. Jika serangan pada daun yang agak tua, daun akan mengalami perubahan warna/pemudaran warna dan hanya 1 atau 2 daun yang rontok. Di India telah dilaporkan penyakit ini menyerang pada pertanaman jarak pagar (Lim 1972 dalam Semangun 2000). Pengendalian terhadap penyakit embun tepung dapat dilakukan dengan cara membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai terhadap perkembangan cendawan ini dengan cara pemangkasan yang dapat mengurangi kelembapan tanaman (Semangun 2000).
Di daerah dengan ketinggian <400 m dpl penyakit ini dapat dikendalikan dengan penyerbukan tepung belerang. Untuk daerah >400 m dpl baiknya dilakukan penyemprotan dengan bubur california (1:30) (Anonim 1984 dalam Semangun 2000). Pengendalian lainnya secara umum dapat menggunakan fungisida, baik yang alami yaitu biofungisida dengan memanfaatkan
Ampelomyces quisqualis, maupun sintetik dengan menggunakan fungisida
berbahan aktif triadimenol, propiconazole, dan fenarimol (Dadang et al. 2007). Kegiatan penyemprotan atau penyerbukan ini dilakukan selama masih ada daun-daun muda, dilakukan tiap minggu hingga serangan tidak ada lagi. Penyerbukan
juga dilakukan pada waktu daun masih basah oleh embun, sehingga serbuk belerang dapat melekat pada daun (Semangun 2000), pengaruh belerang juga akan meningkat jika terkena sinar matahari langsung (Kauchenius 1931 dalam Semangun 2000). Vollema (1929 dalam Semangun 2000) menyatakan bahwa pemupukan dapat menambah ketahanan pohon terhadap embun tepung.
Layu Fusarium (Fusarium sp.)
Patogen Fusarium sp. menginfeksi tanaman melalui jaringan akar yang terluka. Setelah patogen ini berkembang maka bagian tanaman yang berada di atas tanah akan merana seperti kekurangan air, daun menguning, layu dan keriput, serta akar-akar membusuk. Pembusukan pada akar-akar ini dapat meluas ke atas sampai ke pangkal batang. Jika akar rimpang dipotong akan terlihat epidermis dan hipodermis berwarna ungu, sedang floem dan xylem berwarna ungu merah jambu muda, akhirnya seluruh akar akan berwarna ungu. Pengendalian patogen ini dapat menggunakan fungisida Benlate (Benomyl) untuk menyiram atau merendam tanaman, yang jika perlu diulang setelah 2 minggu (Burnett 1974 dalam Semangun 2000).
Busuk Botrytis (Botrytis ricini)
Masalah penyakit busuk botrytis akan serius pada saat musim hujan yang bersamaan dengan pembentukkan kapsul buah. Bunga yang terinfeksi akan timbul bercak kecil berwarna hitam kemudian menjadi busuk dan tertutup cendawan berwarna abu-abu. Cendawan ini memiliki empat tipe propagul yaitu askospora, konidia, miselia, dan sklerotia. Massa konidia berwarna coklat kelabu. Penyakit ini disebarkan melalui vektor yaitu lalat buah dan thrips, sisa tanaman mati yang terserang, serta udara (Dadang et al. 2007). Pencegahan dengan cara tindakan budidaya seperti penanaman varietas jarak yang tidak banyak duri pada kapsul, irigasi yang tidak berlebihan, penanaman tidak terlalu rapat dan sanitasi. Pemanfaatan Trichoderma harzianum juga dilaporkan efektif dalam
mengendalikan patogen ini. Pencegahan secara kimiawi dengan aplikasi fungisida Karbendazim dengan interval 15 hari sekali. Selain itu mepaniprim dan
pirimetanil diketahui memiliki keefektifan yang cukup tinggi dalam pengendalian
penyakit ini (Dadang et al. 2007).
Bercak Daun Bakteri (Xanthomonas ricinicola)
Temperatur optimum untuk pertumbuhan bakteri Xanthomonas ricinicola adalah 36 °C dengan kelembaban 80%. Bakteri ini menyerang kutiledon dan daun. Gejala yang ditimbulkan berupa bercak bulat berwarna coklat atau kuning dan tidak beraturan, serta tepi dibatasi garis berwarna terang pada permukaan bawah daun. Gejala ini dapat meluas hingga permukaan atas daun dan bercak akan meluas berwarna coklat gelap atau hitam, dan disekitar bercak berwarna kuning. Pada buah akan menyebabkan bercak dengan halo berwarna hijau terang. Sedangkan pada ranting akan menyebabkan kanker dengan bercak hitam. Bakteri ini dapat disebarkan melalui bantuan angin dan air hujan. Patogen ini dapat menginfeksi tanaman melalui stomata maupun luka. Tindakan pengendalian untuk meminimalkan serangan bakteri bercak daun ini dengan cara sanitasi lahan dan perlakuan panas pada biji selama 10 menit. Pengendalian kimia dapat digunakan bakterisida berbahan aktif streptosiklin atau dari golongan
oksitetrasiklin, serta senyawa kimia yang mengandung seng seperti ziram dan
seng sulfat (Dadang et al. 2007)
Musuh Alami Hama Belalang Sembah (Mantodea:Mantidae)
Belalang sembah adalah serangga yang memiliki tungkai depan yang selalu berada di depan tubuhnya, hewan ini merupakan predator dari serangga-serangga kecil yang berada di sekitar pertanaman (Kalshoven 1981). Mantidae memiliki tipe metamorfosis paurometabola, yaitu telur–nimfa–imago. Predator ini dapat bersifat kanibal, jantan dari serangga ini akan dimakan oleh betinanya setelah melakukan kopulasi (Kalsohoven, 1981).
Coccinellidae Predator (Coleoptera)
Kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinellidae) memiliki panjang tubuh 0,8–18 mm, berbentuk oval setengah lingkaran dengan bagian
dorsal cembung dan bagian ventral datar (Hodek 1973). Predator ini mampu memangsa 200–400 ekor nimfa kutu kebul. Siklus hidup predator 18–24 hari, dan satu ekor betina mampu menghasilkan 3000 butir telur (Anonim 2008). Coccinellidae juga merupakan salah satu predator dari kutu daun (Anonim 2007).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan di pertanaman jarak pagar yang berlokasi di Lampung yaitu Karang Anyar (Lampung Selatan) dan Kedaton (Bandar Lampung), Jawa Barat yaitu Cigawir (Sukabumi), Ciawi (Bogor), Citeureup 1 (Bogor), Citeureup 2 (Bogor). Identifikasi OPT dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Laboratorium Biosistematika Serangga, Musium Serangga, Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2007 sampai Februari 2008.
Metode Penelitian
Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh
Pengamatan dilakukan pada lima petak tanaman contoh dengan pola diagonal, 1 petak pada pertemuan garis diagonal dan 4 petak lainnya pada ujung-ujung garis diagonal. Setiap petak contoh tanaman diamati 15 tanaman contoh, sehingga tiap lahan diamati 75 tanaman contoh.
Pengamatan Hama
Pengamatan hama tanaman jarak pagar dilakukan dengan mengamati secara langsung pada tiap tanaman contoh, dengan mengidentifikasi jenis dan menghitung jumlah populasi hama serta gejala serangan pada tiap tanaman contoh. Untuk hama yang tidak dapat diidentifikasi di tempat, dilakukan pengkoleksian contoh hama pada botol yang berisi alkohol 70% atau kantung plastik untuk diidentifikasi di Laboratorium Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB dengan menggunakan buku Borror et al. (1996) dan Musium Serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB. Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan diuji menggunakan program
statistical analysis system (SAS) dengan rancangan acak kelompok (RAK),
Persentase kerusakan oleh hama dihitung dengan menggunakan rumus: KH = n/N x 100%
KH =Kerusakan oleh hama
n =Jumlah daun yang terserang dalam satu tanaman N =Jumlah daun dalam satu tanaman
Pengamatan Penyakit
Pengamatan penyakit dengan cara pengamatan langsung gejala yang terdapat pada tanaman contoh, sebagian contoh tanaman sakit yang bergejala dibawa ke Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB untuk diidentifikasi jenis patogennya. Gejala yang terjadi pada tiap tanaman contoh dihitung untuk mengetahui persentase kerusakan dan kejadian penyakit. Persentase kejadian penyakit tersebut dihitung dengan rumus:
KP = n/N x 100%
KP = Kejadian penyakit
n = Jumlah tanaman yang terserang
N = Jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati
Berdasarkan gejala serangan penyakit, keparahan penyakit dapat dihitung dengan rumus Townsend dan Heuberger (1974 dalam Agrios 1997).
I = ∑(ni.vi)/N.V x 100% I = Keparahan penyakit
ni = Jumlah tanaman yang terserang pada kategori ke-i vi = Kategori kerusakan ke-i
N = Jumlah tanaman yang diamati V = Nilai kategori serangan tertinggi
Nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tiap tanaman contoh (x) sebagai berikut:
Nilai 0 = Tidak ada serangan Nilai 1 = 0 < x ≤ 25 % Nilai 2 = 25 < x ≤ 50 % Nilai 3 = 50 < x ≤ 75 %
Nilai 4 = x > 75 %
Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan diuji menggunakan program statistical analysis system (SAS) dengan rancangan acak kelompok (RAK), dilanjutkan uji Duncan, taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lahan Lahan Lampung Selatan, Lampung
Tanaman jarak pagar di Karang Anyar, Lampung Selatan memiliki nama lokal Asem Bagus. Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 50 m dpl. Lahan tanaman jarak pagar yang diamati di Karang Anyar seluas 250 m x 100 m dengan jarak tanam 2 m x 2 m, dan jumlah tanaman lebih kurang 6125 tanaman. Tanaman jarak pagar sedang memasuki fase generatif (Gambar 6). Pada saat awal penanaman, tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 1 kg/tanaman, setelah tanaman berumur 8 bulan diberi pupuk NPK sebanyak 100 mg/tanaman. Menurut informasi yang didapatkan, penyakit yang paling merugikan di lokasi tersebut ialah penyakit leles atau busuk batang dengan bercak-bercak hitam pada permukaan batang yang menyebabkan kematian tanaman hingga 50% di persemaian. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 11 bulan dan musim kemarau.
Gambar 6 Lahan jarak pagar di Lampung Selatan
Lahan Bandar Lampung, Lampung
Tanaman jarak pagar Bandar Lampung memiliki nama lokal Asem Bagus. Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 70 m dpl. Lahan tanaman jarak pagar di daerah ini memiliki luas 324 m2, jarak tanam 0,5 m x 0,5 m, dan jumlah
tanaman lebih kurang 1295 tanaman. Lahan ini adalah lahan percobaan pengembangan tanaman jarak pagar oleh Perhimpunan Petani Jarak Pagar Indonesia-Lampung (PPJPI-Lampung). Lahan ini terletak di tengah-tengah areal tanaman padi masyarakat. Tanaman sedang memasuki fase generatif. Pada saat awal penanaman, tanaman diberi pupuk kandang dengan dosis 3 ons/tanaman, dan tidak ada teknik budidaya khusus yang dilakukan pada lahan ini. Penyakit yang paling merugikan ialah penyakit leles atau busuk batang dengan bercak-bercak hitam pada permukaan batang yang menyebabkan kematian tanaman hingga 70% di persemaian. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman umur 2 tahun dan musim kemarau.
Lahan Cigawir, Sukabumi, Jawa Barat
Tanaman jarak pagar Cigawir memiliki nama lokal Asem Jawa. Lahan berada pada ketinggian 600 m dpl. Lahan tanaman jarak pagar di daerah ini memiliki luas 30 ha. Jarak tanamnya adalah 2 m x 2 m untuk lahan datar, sedangkan pada lahan yang miring jarak tanamnya adalah 2 m x 1,5 m. Jumlah tanaman lebih kurang 75000 tanaman. Lahan jarak pagar ini adalah bekas lahan teh (Gambar 7). Pada saat awal penanaman, lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman teh, baik bagian tanaman yang tertinggal maupun tanaman teh yang masih tumbuh di lahan. Tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 500 g/tanaman, setelah tanaman berumur 3 bulan diberi pupuk NPK sebanyak 50 mg/tanaman. Pengendalian hama dan penyakit yang pernah dilakukan yaitu pengendalian Tetranychus sp. dengan menggunakan rinso dan bubur california yang disemprot dengan dosis 250 cc/pohon. Selain itu pengendalian juga dilakukan dengan cara pemangkasan tanaman yang terserang hama atau penyakit. Selain untuk mengendalikan hama dan penyakit, pemangkasan berfungsi untuk merangsang pembentukan bunga. Pengamatan dilakukan pada tanaman umur 1 tahun dan pada musim hujan.
Gambar 7 Lahan jarak pagar di Cigawir
Lahan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Bibit tanaman jarak pagar Ciawi berasal dari Lampung dengan nama lokal Asem Bagus. Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 400 m dpl. Lahan tanaman jarak pagar di daerah ini memiliki luas 2,5 ha dan jarak tanamnya adalah 2 m x 2 m. Tanaman sedang memasuki fase generatif (Gambar 8). Pada saat awal penanaman dilakukan pembersihan lahan dari gulma-gulma/rumput yang ada, tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 1 kg/tanaman dan PSP/SP36 dengan dosis 50 g/lubang tanam. Perawatan dilakukan dengan cara pembersihan gulma bila sudah banyak, biasanya 4 bulan sekali. Satu bulan setelah tanam diberi pupuk NPK sebanyak 10 g/tanaman. Penyakit yang paling merugikan ialah penyakit leles atau busuk batang dengan bercak-bercak hitam pada permukaan batang yang menyebabkan kematian tanaman hingga 50% di persemaian. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 11 bulan dan musim kemarau.
Lahan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Tanaman jarak pagar Citeureup memiliki nama lokal Dompu. Lahan berada pada ketinggian lebih kurang 200 m dpl. Lahan tanaman jarak pagar di daerah ini memiliki luas 30 ha, jarak tanam 2 m x 2 m. Umur tanaman 11 bulan dengan jenis tanah berkapur (Gambar 9a). Pada saat persemaian, media yang digunakan adalah media tanam jadi yang dimasukan pada polibag 20 cm x 25 cm. Polibag yang telah ditanami benih diletakan di tempat yang berpenaung (paranet 65%) (Gambar 9b). Tanaman yang telah berumur 12 minggu setelah tanam (MST) dipindahkan ke lapang. Tanaman diberi pupuk kandang (kotoran sapi) dengan dosis 3 kg/lubang dan Furadan sebanyak 2 g/lubang. Bibit dimasukan ke dalam lubang tanam, pada umur ± 8 MST dilakukan pemangkasan ± 40 cm dari pangkal batang. Umur 16 MST di lapangan sudah dapat dipanen. Perawatan dilakukan dengan penyiraman air 1 kali dan penyiangan gulma. Pengendalian OPT menggunakan bubur california 20–30 ml/l air. Pemupukan dilakukan 3 bulan sekali, dengan dosis 2 kg pupuk kandang/pohon. Penelitian dilakukan pada saat musim hujan
(a) (b)
Gambar 9 Lahan jarak pagar di Citeureup (a) budidaya dan (b) persemaian
Hama
Beberapa hama yang ditemukan pada pertanaman jarak pagar yaitu kepik lembing (Chrysocoris javanus, Hemiptera: Pentatomidae), tungau merah (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae), thrips (Selenothrips rubrocinctus, Thysanoptera: Thripidae), kutu putih (Ferrisia virgata, Hemiptera: Pseudococcidae), ulat kolang-kaling (Chalcocelis albiguttata, Lepidoptera:
Limacodidae), walang sangit (Leptocorisa oratorius, Hemiptera: Alydidae), belalang (Valanga nigricornis, Orthoptera: Acrididae), kepik hijau (Nezara
viridula, Hemiptera: Pentatomidae), ulat api (Parasa lepida, Lepidoptera:
Limacodidae), cengkerik (Orthoptera: Gryllidae), siput kecil (Mollusca),
Dyscheres curtus (Coleoptera: Curculionidae), Coreidae (Hemiptera),
Pyrochroidae (Coleoptera), Amatidae (Lepidoptera), wereng daun (Empoasca sp., Hemiptera: Cicadellidae), dan ulat pengorok daun (Liriomyza sp., Diptera: Agromyzidae).
Kutu Putih (F. virgata, Hemiptera: Pseudococcidae)
Populasi F. virgata di lahan Lampung Selatan yaitu 3,35 ekor/daun yang menunjukan lebih tinggi daripada di lainnya. Populasi F. virgata di lahan Lampung Selatan tidak berbeda nyata dengan populasi di lahan Ciawi yaitu 3,08 ekor/daun (Gambar 11).
Gambar 10 Gejala serangan hama F. virgata pada daun
Gambar 11 Populasi hama F. virgata di beberapa lokasi a c c ab bc c 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 Lampung Selatan Bandar Lampung
Cigawir Ciawi Citeureup 1 Citeureup 2
Rata-rata populasi
(ekor/d
aun)
Tingginya populasi F. virgata di lahan jarak pagar Lampung Selatan dan Ciawi dapat disebabkan lokasi kedua lahan ini berdekatan dengan pertanaman kelapa yang juga merupakan salah satu inang hama ini. Curah hujan yang rendah pada lahan Lampung Selatan merupakan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan kutu dompolan. Tidak adanya tindakan pengendalian OPT di lahan ini seperti sanitasi lahan, pemangkasan tanaman yang terserang hama, maupun aplikasi insektisida menyebabkan populasi F. virgata menjadi tinggi.
Pada lahan Ciawi yang memiliki curah hujan cukup tinggi yaitu kondisi lahan yang tidak sesuai untuk perkembangan F. virgata, tetapi terdapat populasi yang tidak berbeda nyata dengan lahan Lampung Selatan. Tingginya populasi hama di lahan Ciawi kemungkinan karena faktor inang yang cukup luas yang salah satunya terdapat tanaman kelapa di sekitar pertanaman jarak pagar, serta angin yang cukup kuat di lokasi ini yang dapat membantu penyebaran hama. Populasi F. virgata sangat rendah di lahan Cigawir yaitu 0,05 ekor/daun. Hal ini karena lahan Cigawir memiliki curah hujan yang cukup tinggi yang dapat menghambat perkembangan hama. Selain faktor alam yang tidak mendukung perkembangan hama, adanya teknik pengendalian yang dilakukan dengan cara pemangkasan tanaman yang terserang hama serta aplikasi pestisida berupa bubur california dan detergen selain sebagai fungisida terbukti dapat menekan perkembangan F. virgata.
Pada lahan Bandar Lampung, Citeureup 1, dan Citeureup 2 yang memiliki curah hujan cukup rendah yaitu kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan hama, tetapi populasi hama pada ketiga lahan ini rendah yaitu 0,55 ekor/daun, 1,51 ekor/daun, dan 0,19 ekor/daun. Hal ini kemungkinan karena sumber hama seperti inang lainnya di sekitar tanaman jarak pagar tidak ada, sehingga penyebarannya cukup lama. Selain itu pada lokasi Citeureup 2 tanaman persemaian mendapatkan perlakuan budidaya yang cukup intensif yaitu tanaman dinaungi paranet 65% yang menyebabkan sinar matahari tidak masuk penuh sehingga ketahanan tanaman cukup kuat terhadap hama. Pemangkasan tanaman terserang dan aplikasi pestisida dilakukan di lahan Citeureup 2 upaya pengendalian hama, serta sering dilakukan monitoring yang baik terhadap lahan tersebut. F. virgata menyerang hampir seluruh pertanaman jarak pagar, hal ini
b b b b a b 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Lampung Selatan Bandar Lampung
Cigawir Ciawi Citeureup 1 Citeureup 2
Rata-rata pop
ulasi
(ekor/daun)
Lokasi
karena hama dapat menyerang berbagai fase tanaman dan semua bagian tanaman, serta memiliki kisaran inang yang luas yang menyebabkan hama ini dapat ditemukan hampir diseluruh pertanaman jarak pagar.
Thrips (S. rubrocinctus, Thysanoptera: Thripidae)
Populasi tertinggi hama thrips terdapat di lahan Citeureup 1 yaitu 7,28 ekor/daun. Pada lahan di daerah lainnya tidak berbeda nyata yaitu berkisar antara 0,21-1,11 ekor/daun (Gambar 13).
Gambar 12 Gejala serangan hama S. rubrocinctus
Gambar 13 Populasi hama S. rubrocinctus di beberapa lokasi
Rata-rata gejala thrips tertinggi terdapat pada lahan Citeureup 1 yaitu 21,4% (Gambar 14). Gejala hama ini terdapat juga pada lahan Lampung Selatan dan Bandar Lampung.
b c c c a c 0 5 10 15 20 25 Lampung Selatan Bandar Lampung
Cigawir Ciawi Citeureup 1Citeureup 2
Rata-rata gejala
(%)
Lokasi
Gambar 14 Persentase gejala S. rubrocinctus di beberapa lokasi
Populasi hama thrips tertinggi terdapat di lahan Citeureup 1 dibandingkan lahan lainnya. Hal ini disebabkan di lahan jarak pagar Citeureup 1 memiliki kondisi lingkungan yang baik untuk berkembangnya hama thrips yaitu dengan suhu yang cukup panas lebih kurang 28 °C dan curah hujan yang cukup rendah. Suhu optimum untuk perkembangan serangga ini anatara 26–28 °C dan kelembapan 85%, serangan biasanya akan lebih berat jika terjadi hujan rintik-rintik (Kalshoven 1981). Populasi hama thrips di lahan lainnya cukup rendah yaitu pada lahan Lampung Selatan 0,21 ekor/daun, Bandar Lampung 0,29 ekor/daun, Cigawir 0, Ciawi 1,11 ekor/daun, dan Citeureup 2 yaitu 0,21 ekor/daun. Tidak adanya hama pada pertanaman jarak pagar di Cigawir dan rendahnya hama di lahan Ciawi disebabkan kedua lahan ini berada di tempat yang cukup tinggi yaitu mencapai 600 m dpl yang menyebabkan suhu cukup rendah lebih kurang 24 °C, serta curah hujannya yang cukup tinggi. Pada kondisi lahan seperti ini ialah kondisi lahan yang tidak disukai oleh thrips. Selain kondisi lingkungan Cigawir yang tidak mendukung perkembangan thrips di lahan, teknik pengendalian dengan pemangkasan tanaman yang terserang hama, aplikasi pestisida, serta di lahan terdapat serangga predator Coccinelidae yang dapat menekan perkembangan hama.
Gejala keperakan pada permukaan daun jarak pagar tertinggi terjadi di lokasi lahan jarak pagar Citeureup 1 yaitu mencapai 21,4 %. Tingginya
c c c c a b 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Lampung Selatan Bandar Lampung
Cigawir Ciawi Citeureup
1 Citeureup 2 Rata-rata p opulasi (ekor/daun) Lokasi
persentase gejala keperakan pada daun berkorelasi dengan tingginya populasi hama thrips di lahan Citeureup 1. Sedangkan serangan pada lahan lainnya cukup rendah. Pada lahan Cigawir, Ciawi, dan Citeureup 2 tidak terdapat gejala pada pertanaman, hal ini disebabkan rendahnya populasi hama thrips pada ketiga lahan tersebut.
Tungau (Tetranychus sp., Acarina: Tetranychidae)
Populasi hama tungau merah di lahan Citeureup 1 dan Citeureup 2 berbeda nyata yaitu berturut-turut 1,00 ekor/daun dan 0,44 ekor/daun, sedangkan pada lahan Lampung Selatan, Bandar Lampung, Cigawir, dan Ciawi hama tidak ditemukan (Gambar 16).
Gambar 15 Gejala daun kerdil serangan hama Tetranychus sp.
a a bc bc b c 0 5 10 15 20 25 Lampung Selatan Bandar Lampung
Cigawir Ciawi Citeureup 1Citeureup 2
Rata-rata gejala
(%)
Lokasi
Tungau merah hanya ditemukan di lahan Citeureup 1 dan Citeureup 2 (Gambar 16). Hal ini diduga karena faktor lingkungan di dua lahan ini yang sesuai untuk perkembangan tungau merah. Lokasi Citeureup yaitu daerah yang memiliki jenis tanah berkapur, sehingga penyerapan air kurang baik. Kondisi tanah seperti ini membuat kelembapan dalam tanah menurun. Aktifitas tungau semakin tinggi pada daerah yang memiliki kelembapan tanah rendah. Populasi tungau merah yang hanya mencapai 1 ekor/daun diduga karena pengaruh musuh alami yaitu Coccinelidae.
Gejala daun kerdil tertinggi berada di lahan jarak pagar Lampung Selatan dan Bandar Lampung yang mencapai 22,8 % (Gambar 17). Padahal pada kedua lahan ini tidak ditemukan tungau merah, diduga populasi hama sedang turun karena pengaruh perubahan iklim dari panas memasuki musim hujan, sehingga yang tersisa pada tanaman hanya gejala serangan tungau. Sementara itu pada lahan Cigawir dan Ciawi populasi dan gejala serangan tungau rendah. Hal ini karena kondisi lingkungan kedua lahan ini yang cukup lembap yang mana kondisi lingkungan seperti ini kurang sesuai untuk perkembangannya. Selain faktor lingkungan yang tidak sesuai bagi tungau, kedua lahan ini memiliki perawatan tanaman yang cukup baik seperti pemangkasan tanaman yang terserang hama, sanitasi sumber hama, maupun pengendalian dengan aplikasi pestisida.
Gambar 17 Persentase gejala daun kerdil di beberapa lokasi
Selain gejala daun kerdil, terdapat gejala titik-titik merah pada permukaan daun. Gejala titik-titik merah hanya terlihat di lahan Citeureup 1 dan Citeureup 2