• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012

MAKALAH

Konvensi Anti Penyiksaan dan Upaya Indonesia

Menghapuskan Penyiksaan dan Perlakukan atau

Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan

Merendahkan Martabat Manusia

Oleh: Zainal Abidin

(2)

1

Konvensi Anti Penyiksaan dan Upaya Indonesia Menghapuskan Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan

Merendahkan Martabat Manusia Oleh: Zainal Abidin1

1. Pengantar

Penyiksaan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejatan ini telah lama dilarang dalam berbagai instrumen HAM internasional. Larangan penyiksaan ini diantaranya dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM2 dan Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR).3 Pada tahun 1984, terbentuk Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).4

Di Indonesia, upaya untuk menghapuskan praktik penyiksaan telah lama dilakukan, diantaranya dengan meratifikasi Konvensi menentang penyiksaan tersebut.5 Akhirnya, pada tahun 1998 Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut melalui UU No. 5 Tahun 1998. Larangan penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat semakin kuat ketika pada tahun 2000, berdasarkan amandmen kedua Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa setiap orang bebas dari penyiksaan dan perlakukan yang merendahkan derajat martabat manusia.6 UUD 1945 juga menyebut bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.7

Tulisan ini hendak menguraikan tentang Ratifikasi Konvensi dan perkembangan upaya penghapusan praktik penyiksaan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Indonesia. Tulisan akan memuat isi konvensi, termasuk instrumen pendukungnya yaitu Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Sejak saat itu, komitmen untuk menghapuskan praktik penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, dituangkan dalam berbagai peraturan nasional baik berupa Undang-Undang (UU) maupun peraturan teknis lainnya.

Setelah 14 tahun sejak ratifikasi, telah terjadi perubahan dengan semakin meningkatnya jaminan normatif hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi. Namun demikian, hingga kini jaminan normatif tersebut belum mampu menghapuskan praktik-praktik penyiksaan dan perbuatan kejam, dan tidak manusiawi, dan perbuatan tersebut masih terus terjadi di Indonesia. Berbagai laporan menyebutkan kasus-kasus penyiksaan, tahanan yang meninggal karena perlakukan buruk, dan berbagai tindakan yang merendahkan martabat manusia masih berlangsung diberbagai penahanan dan dilakukan oleh aparat negara, baik anggota kepolisian, TNI, maupun anggota lembaga pemasyarakatan.

1 Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Makalah dipresentasikan pada Intermediate Human Rights Training bagi

para Dosen Pengajar Hukum dan HAM oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UniversitasIslam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta bekerjasama

dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo Norway, Balikpapan, 6 November 2012.

2 Pasal 5 Deklarasi Universal HAM, “tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum

secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya”.

3 Pasal 7 ICCPR, “tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan

martabat. Pada khususnya tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.

4 Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1984.

5 Lihat buku, “Ke arah ratifikasi konvensi anti penyiksaan: kajian kasus-kasus penyiksaan belum-terselesaikan”, Elsam, 1995.

6 Pasal 28G ayat (2) UUD 1945. 7 Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

(3)

2

Punishment/0PCAT), dan uraian tentang berbagai perkembangan dan hambatan dalam penghapusan penyiksaan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Indonesia.

2. Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

Lahirnya Konvensi ini merupakan hasil kerja bertahun-tahun, yang mulai nampak ketika diadopsinya Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan, Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) oleh Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1975. Pada saat itu Majelis Umum PBB meminta Komisi HAM untuk mempelajari tentang permasalahan penyiksaan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap Deklarasi. Delapan tahun kemudian, pada 8 Desember 1977, Majelis Umum secara khusus meminta Komisi HAM untuk menyusun draft Konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi, dan kemudian dibentuklah kelompok kerja untuk melaksanakan tugas tersebut. Pada tahun 1984 Kelompok kerja yang sama juga dibentuk untuk melanjutkan menyusun draft Konvensi.

Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia akkhirnya terbentuk, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1994 dan mulai berlaku sejak 26 Juni 1987 setelah diratifikasi oleh 20 Negara.8

a. Isi Konvensi

Dalam penyusunan Konvensi, terdapat beberapa masalah yang menyulitkan untuk mendapatkan kesepakatan, diantaranya terkait dengan definisi penyiksaan, yurisdiksi, pelaksanaan di tingkat internasional, dan pelaksanaan oleh negara-negara pihak. Akhirnya isi Konvensi disepakati, dan terdiri dari 3 bagian dan 33 pasal.9

8 Lihat pasal 27 (1) Konvensi, “Konvensi ini berlaku pada hari ke 30 setelah tanggal penyerahan Piagam ke 20 ratifikasi atau Aksesi kepada

Sekretaris Jenderal Bangsa-Bangsa”.

Konvensi dibentuk berlandaskan pada pemikiran; 1) kesesuaian dengan prinsip dalam Piagam PBB yakni, pengakuan atas hak-hak yang sama dan hak-hak yang tidak boleh dipisahkan dari semua umat manusia yang merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, 2) pengakuan bahwa hak-hak tersebut melekat pada martabat manusia sebagai pribadi, 3) kewajiban negara-negara dalam Piagam PBB, yaitu untuk memajukan penghormatan dan pentaatan yang universal terhadap hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar, 4) pasal Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa tak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, dan 5) Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang diterima oleh Majelis Umum pada tanggal 9 Desember 1975.

Pada bagian satu Konvensi memuat tentang definisi penyiksaan dan kewajiban negara untuk menghormati berbagai hak dasar, untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam lainnya.

Definisi Penyiksaan

Definisi tentang “penyiksaan’ yang dituangkan dalam Konvensi, merupakan definisi “penyiksaan’ yang paling komprehensif yang ditetapkan dewasa ini dan diperlakukan sebagau rujukan oleh badan-badan internasional, regional dan nasional. Sebelumnya definisi “penyiksaan” yang tertuang dalam Deklarasi dikritik dan dianggap cukup lengkap.

9 Lihat juga makalah Agung Yudhawiranata, LLM, “Konvensi Anti Penyiksaan”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI, ELSAM, 2007.

(4)

3

Definisi “penyiksaan” dalam Konvensi, sebagaimana tertuang dalam pasal 1, paragraf 1;

“istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa

sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau

penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

Berdasarkan pada definisi tersebut, unsur-unsur pokok dalam penyiksaan sebagaimana dirumuskan dalam Konvensi adalah:10

1) Menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang berat (baik fisik maupun mental); 2) Dengan segaja ditujukan/dimaksudkan;

3) Untuk tujuan yang khusus; diantaranya;

- untuk mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban langsung atau dari pihak ketiga;

- untuk menghukum korban langsung atas tindakan dari korban atau pihak ketiga atau atas perbuatan yang diduga telah dilakukan;

- untuk mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga;

- untuk setiap alasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam berbagai bentuk;

4) Dengan keterlibatan secara langsung atau tidak langsung pejabat resmi/pejabat publik, baik “de jure” maupun “de facto”. Rasa sakit dan penderitaan harus ditimbulkan/dilakukan;

- oleh pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi; atau

- berdasarkan anjuran/dorongan dari pejabat publik atau atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi; atau

- dengan pengetahuan dari pejabat publik atau atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi; atau - dengan persetujuan dari pejabat publik atau atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi.

Larangan Penyiksaan Bersifat Absolut

Larangan atas tindakan penyiksaan bersifat absolut dan tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non derogable).11 Hal ini berarti bahwa apapun kepentingannya, termasuk untuk keamanan nasional, dan meskipun dalam kondisi atau situasi yang khusus, seperti perang, konflik, atau darurat, negara tidak boleh mengurangi kewajibannya untuk menghormati dan memastikan larangan absolut ini. Komite menentang penyiksaan juga telah menyatakan bahwa amnesti atau penghalangan lainnya yang merintangi atau mengindikasikan ketidakmauan untuk melakukan penuntutan yang adil dan segera merupakan pelanggaran terhadap prinsil “non-derogability”.12

10 Lihat dokuman Association for the Prevention of Torture, “The criminalisation of torture under the UN Convention against torture and other

cruel, inhumane or degrading treatment or punishment, An Overview for the Compilation of Torture Laws”, Agustus 2009. Dokumen dapat diakses di :

Larangan penyiksaan yang bersifat absolut dan non derogable ini juga telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional, dan merupakan “jus cogens.”

http://apt.ch/tld/Overview.pdf

11 Pasal 2 (2) Konvensi. Larangan penyiksaan yang bersifat absolut dan non derogable ini juga terdapat dalam pasal 7 dan pasal 4 ayat (2)

ICCPR.

12 Komnetar Umum No. 2 Komite Menentang Penyiksaan tentang Pelaksanaan Pasa 2 oleh Negara Pihak (U.N. Doc. CAT/C/GC/2/CRP. 1/Rev.4

(5)

4

Kewajiban Negara

Konvensi memuat setidaknya 16 pasal yang terkait dengan kewajiban negara pihak. Negara-negara yang meratifikasi Konvensi berkewajiban untuk;

1) Mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya (pasal 2 (1));

2) Tidak melakukan pengecualian apapun, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan (pasal 2 (2)); 3) Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan (pasal 2 (3)); 4) Tidak mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisi seseorang kenegara lain apabila terdapat alasan yang

cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan (pasal 3 (1)); 5) Mengatur bahwa kejahatan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya,

termasuk bagi tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan, dan dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan pertimbangan sifat kejahatannya. (Pasal 4);

6) Harus mengambil langkah-langkah yang diperlakukan dalam menetapkan kewenangan hukumannya (yurisdiksi) atas terjadinya kejahatan penyiksaan (pasal 5);

(1) apabila tindak pidana dilakukan didalam suatu wilayah hukumannya atau diatas kepal laut atau pesawat terbang di negara itu;

(2) apabila pelaku yang dituduh adalah warga dari negara tersebut;

(3) apabila korban dianggap sebagai warga negara tersebut, dan negara itu memandang perlu:

(4) mengambil tindakan yang diperlukan untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas tindak pidana dalam kasus yang pelaku tindak pidana yang dituduh itu berada di wilayah kewenangan hukumnya dan negara itu tidak menyerahkannya. Mengekstradisikannya sesuai dengan Pasal 8 ke negara lain sebagi mana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.

7) Dalam hal terdapat kejahatan penyiksaan, setelah yakin berdasarkan pengujian informasi yang tersedia, keadaan menghendakinya, jika di wilayahnya terdapat orang yang diduga telah melakukan penyiksaan harus (pasal 6);

(1) menahan orang itu, atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin adanya penahanan dan tindakan hukum lain yang harus disesuaikan dengan hukum negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang dalam jangka waktu tertentu yang diperlukan agar memungkinkan prosedur pidana atau ekstradisi dilaksanakan;

(2) segera melaksanakan penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada;

(3) seseorang yang ditahan harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan terdekat negara, tempat ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan negara tempat ia biasa menetap;

(4) apabila suatu negara, telah menahan seseorang, negara tersebut harus segera memberitahukan kepada negara tempat terjadinya kejahatan bahwa orang tersebut benar berada dalam tahanan dan alasan penahanannya;

(5) negara yang melakukan penyelidikan awal harus segera melaporkan temuannya kepada negara termaksud dan menyampaikan apakah pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum.

8) Dalam hal disuatu negara diwilayah kewenangan hukumnya ditemukan seseorang yang diduga telah melakukan penyiksaan jika negara itu tidak mengekstradisikan, harus mengajukan kasus itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan. Pihak-pihak yang berwenang ini harus mengambil keputusan dengan cara yang sama seperti dalam mengambil keputusan pada kasus tindak pidana biasa lain yang menurut hukum itu merupakan tindak pidana berat, dan standar pembuktian yang diperlukan dan penghukuman sama sekali tidak bolah kurang kerasnya dibandingkan dengan standar pembuktian yang diterapkan pada kasus-kasus yang sama, dan seseorang yang sedang diajukan ke sidang pengadilan harus dijamin mendapatkan perlakuan adil pada semua tahap proses pengadilan (pasal 7);

9) Kejahatan penyiksaan, harus dianggap sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisi di dalam setiap perjanjian yang telah dibuat diantara Negara Pihak, dan memasukan tindak pidana semacam itu sebagai tindak

(6)

5

pidana yang dapat diekstradisikan dalam setiap perjanjian ekstradisi yang disepakati. Dalam hal suatu Negara Pihak yang mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi menerima permohonan ekstradisi dari suatu Negara Pihak lain, konvensi dapat dianggap sebagai dasar hukum bagi ekstradisi, yang tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum negara yang menerima permohonan. Kejahatan penyiksaan harus diperlakukan, untuk keperluan ekstradisi antara Negara Negara Pihak, sebagai tindak pidana yang dilakukan, tidak hanya ditempat dimana tindak pidana itu terjadi tetapi juga diwilayah negara yang diminta untuk menetapkan kewenangan hukumnya (pasal 8);

10) Harus saling memberi bantuan sebesar-besarnya sehubungan dengan adanya kejahatan penyiksaan, termasuk memberikan semua bukti yang mereka miliki yang diperlukan untuk penyelesaian perkara. Negara-negara pihak harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan setiap perjanjian timbal balik yang mungkin ada diantara negara-negara tersebut (pasal 9);

11) Harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, aparat kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara, dan harus mencantumkan larangan tersebut dalam peraturan atau instruksi yang dikeluarkan sehubungan dengan tugas dan fungsi orang-orang tersebut diatas (pasal 10);

12) Harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya penyiksaan (pasal 11);

13) Harus menjamin agar instansi-instansi yang berwenang harus melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya (pasal 12);

14) Harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang mereka berikan (pasal 13);

15) harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyisaan memperolah ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan konpensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan konpesasi. Tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukuman nasional (pasal 14);

16) Harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah dibuat sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan harus tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat (pasal 15);

17) harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apa bila tindakan semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional, atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran. (pasal 16).

(7)

6

Selain berbagai kewajiban tersebut, Negara yang meratifikasi Konvensi juga berkewajiban untuk menyerahkan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan tentang tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan dari Konvensi ini, dalam waktu satu tahun setelah diberlakukannya Konvensi ini untuk Negara Pihak yang bersangkutan. Setelah itu Negara-Negara Pihak menyerahkan laporan pelengkap setiap 4 (empat) tahun sekali tentang langkah-langkah baru yang diambil dan laporan-laporan lain yang mungkin diminta oleh Komite (pasal 19 ayat (1)).

Pelaporan oleh negara memuat informasi dasar dan menguraikan konteks dalam hal mana pelarangan penyiksaan dijamin, menunjukkan status konvensi dalam hukum domestik, dan termasuk menguraikan struktur organisasi negara kekuasaan yudikatif, legislatif dan yudikatif dan tanggung jawab mereka. Laporan juga memuat memuat informasi dasar terperinci pasal demi pasal mengenai pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam Konvensi.

Komite Menentang Penyiksaan

Pada bagian dua Konvensi mengatur tentang pembentukan Komite Menentang Penyiksaan. Komite ini terdiri dari 10 pakar bermoral tinggi yang diakui kemampuannya, dan bertugas dalam kapasitas pribadinya, dipilih dan diajukan oleh negara pihak, melalui pemungutan rahasia, dan dipilih untuk jabatan selama 4 tahun, dan dapat dipilih kembali. Komite memilih pejabat-pejabatnya untuk masa 2 tahun dan dapat dipilih kembali dan menetapkan tertib organisasinya sendiri (pasal 17 dan 18).

Komite ini bertugas, dan harus mempertimbangkan laporan yang dibuat oleh negara pihak. Komite dapat memberikan komentar umum terhadap laporan tersebut apabila Komite menganggapnya tepat dan harus meneruskan komentar ini kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak tersebut dapat memberikan tanggapan melalui observasi-observasi yang dibuat kepada Komite. Komite dapat memutuskan untuk memasukkan setiap komentar yang dibuatnya, bersamaan dengan observasi atas komentar itu dari Negara Pihak yang bersangkutan, dalam laporan tahunannya yang disusun (sesuai Pasal 24).

Dalam hal Komite menerima informasi terpercaya yang mengandung petunjuk bahwa cukup beralaan telah terjadi penyiksaan secara sistematik di wilayah suatu Negara Pihak;

1) Komite dapat mengundang Negara Pihak itu untuk bekerjasama dalam memeriksa kebenaran dari informasi tersebut dan untuk keperluan ini mengajukan observasi berkenaan dengan informasi tersebut;

2) Menugaskan seorang atau lebih anggotanya untuk mengadakan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. Jika penyelidikan dilakukan, Komite harus mengupayakan kerjasama dari Negara Pihak yang bersangkutan. Melalui persetujuan dengan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan kewilayah Negara Pihak tersebut;

3) Setelah meneliti temuan-temuan, Komite harus meneruskan temuan-temuan tersebut kepada Negara Pihak yang bersangkutan bersama dengan komentar atau saran yang sepadan dengan situasi yang ada;

4) Semua tindakan yang dilakukan oleh Komite untuk menyelidiki laporan harus bersifat rahasia, dan pada setiap tahap, harus diupayakan adanya kerjasama dengan Negara Pihak yang bersangkutan;

5) Setelah rangkaian tindakan berkenaan dengan penyelidikan dilakukan selesai dan setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak yang bersangkutan, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan laporan singkat mengenai hasil-hasilnya dalam laporan tahunannya.

Pelaporan Individual

Konvensi membuka kemungkinan adanya laporan yang dibuat oleh individu-individu (perorangan) yang menyatakan sebagai korban penyiksaan yang dilakukan oleh negara pihak. Laporan ini tidak dapat diterima oleh Komite jika tidak jelas pengirimnya (tidak jelas identitasnya) atau dianggap oleh Komite sebagai penyalahgunaan hak untuk mengajukan pengaduan atau bertentangan dengan ketentuan Konvensi.

(8)

7

Komite harus membawa setiap laporan pengaduan yang diajukan untuk mandapatkan perhatian dari Negara Pihak yang dituduh melanggar suatu ketentuan Konvensi ini. Dalam waktu enam bulan, negara penerima harus mengajukan kepada Komite penjelasan tertulis atau pernyataan-pernyataan yang menjernihkan permasalahan dan langkah perbaikan, kalau ada, yang mungkin telah dilakukan oleh negara tersebut.

Komite harus mengadakan pembahasan terhadap laporan pengaduan yang diterima menurut pasal ini berdasarkan semua informasi yang ada padanya oleh atau atas nama pribadi dan oleh Negara Pihak yang bersangkutan. Pembahasan dilakukan oleh Komite dalam hal; 1) masalah yang sama belum dan tidak sedang diperiksa berdasarkan suatu prosedur lain dari penyelidikan atau penyelesaian internasional, 2) pelapor telah menggunakan upaya penyelesaian yang tersedia di dalam negerinya, namun penerapan upaya penyelesaian tersebut diulur-ulur secara tidak masuk akal atau mungkin sekali tidak membawa perbaikan efektif terhadap orang yang menjadi korban pelanggaran. Pemeriksaan laporan dilakukan oleh Komite dalam sidang-sidang tertutup, dan harus menyampaikan pandangan-pandangannya kepada Negara Pihak yang bersangkutan dan kepada pribadi tersebut. Secara ringkas kronologis pembahasan pengaduan atau laporan ini adalah; 1) penerimaan pengaduan oleh Komite, 2) pengecekan administratif bahwa negara yang diadukan adalah negara pihak, 3) penilaian lebih lanjut apakah pengaduan dapat diterima, termasuk memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk saling memberikan tanggapan, 4) pemeriksaan tentang kesahihan pengaduan, 5) Komite menganalisa semua informasi dan mengelurakan pendapat, termasuk tentang kebenaran pelanggaran, 6) Komite memberikan penjelasan tentang laporan kasus tersebut, yang dipublikasikan dalam laporan tahunan Komite.

3. Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/0PCAT)

Protokol ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 2002, yang mulai berlaku pada 22 Juni 2006. Protokol mengatur tentang suatu sistem kunjungan berkala oleh lembaga-lembaga internasional dan nasional ke tempat-tempat penahanan untuk mencegah terjadinya penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Dalam pembukaan/mukadimah, Protokol ini dinyatakan bahwa;

1) Penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dilarang dan merupakan pelanggaran serius hak asasi manusia;

2) Langkah-langkah selanjutnya diperlukan untuk mencapai tujuan Konvensi (anti penyiksaan) dan untuk memperkuat perlindungan orang-orang yang tercabut kemerdekaannya terhadap tindakan penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

3) Pasal 2 dan 16 Konvensi mewajibkan setiap negara untuk melakukan langkah-langkah efektif untuk pencegahan tindakan penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat dalam setiap wilayah yurisdiksinya;

4) Negara mempunyai kewajiban yang utama dalam melaksanakan pasal-pasal dalam konvensi tersebut, memperkuat perlindungan orang-orang yang tercabut kemerdekaannya dan menghormati secara penuh hak asasi mereka merupakan tanggung jawab bersama;

5) Pencegahan yang efektif atas penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia mensyaratkan pendidikan dan kombinasi dari berbagai langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial dan langkah-langkah lainnya;

6) Perlindungan orang-orang yang tercabut kemerdekaannya dari tindakan penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dapat diperkuat dengan cara pencegahan non yudisial, berdasarkan pada kunjungan berkala ke tempat-tempat penahanan.

(9)

8

Sebagaimanan disebutkan diatas, tujuan protokol ini adalah menetapkan sistem kunjungan berkala yang dilakukan badan-badan internasional dan nasional yang independen ketempat-tempat dimana orang-orang tercabut kebebasannya, dalam rangka mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Sub komite pencegahan penyiksaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat dibentuk dan melaksanakan tugas berdasarkan protokol ini, dan melaksanakan tugasnya berdasarkan kerangka kerja Piagam PBB dan didasari oleh tujuan-tujuan darn prinsip-prinsip yang ada, berpegang pada prinsip kerahasiaan, adil, tidak memihak, universal dan obyektif.

Berdasarkan protokol ini, setiap negara;

1) Harus membentuk, menunjuk atau melanjutkan pada tingkat domestik satu atau beberapa badan-badan pencegahan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (mekanisme pencegahan nasional);

2) Harus mengijinkan kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat penahanan, yang harus diupayakan unutk memperkuat, dan jika dipandang perlu perlindungan bagi orang-orang tersebut dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;

3) Membentuk sistem/mekanisme pencegahan nasional, yang dilakukan paling lama setelah 1 tahun setelah berlakunya protokol ini atau setalah ratifikasi/aksesi, setiap negara pihak harus menunjuk/membentuk, satu atau beberapa mekanisme nasional pencegahan penyiksaan di level dalam negeri;

4) menjamin independensi fungsional dari mekanisme-mekanisme pencegahan nasional sebagaimana juga independensi personel-personelnya, juga bertanggungjawab menyedikan sumber-sumber daya yang diperlukan agar fungsi mekanisme-mekanisme pencegahan nasional dapat berjalan.

4. Konteks Indonesia: Implementasi Ratifikasi 1998 – 2012

Pasca ratifikasi Konvensi pada tahun 1998, jaminan normatif hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia sudah cukup banyak.13

1) UUD 1945, pada amandmen kedua tahun 2000. Setiap orang bebas dari penyiksaan dan perlakukan yang merendahkan derajat martabat manusia, dan hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable) (pasal 28G ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945);

Berbagai instrumen hukum nasional telah mengatur jaminan hak-hak tersebut, termasuk menyesuaiakan dengan berbagai ketentuan yang dinyatakan dalam Konvensi;

2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (pasal 4), dan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya (pasal 33 ayat (1));

3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyiksaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 9);

4) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Landasan berfikir dan filosofis dari tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia, yang tercermin dalam penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan, "begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor

13 Sebagai catatan, pada tahun 1981, Indonesia membentuk hukum acara pidana dengan UU No. 8 Tahun 1981, yang melarang penggunaan

(10)

9

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas". Pada tahun 2009, muncul Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia, dimana dalam peraturan tersebut penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dilarang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.

5) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Korban kejahatan (termasuk penyiksaan) mendapatkan hak kompensasi dan restitusi (pasal 7).

6) Berbagai UU Sektoral lainnya, dan peraturan internal institusi-institusi keamanan misalnya TNI yang melarang adanya penyiksaan, dan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Berdasarkan berbagai jaminan normatif tersebut menunjukkan bahwa telah banyak regulasi (UU atau regulasi yang lebih rendah) dengan mendasarkan pada isi Konvensi. Selain itu pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai pelatihan bagi penegak hukum dan aparat negara lainnya yang relevan (misalnya anggota TNI) tentang pencegahan dan larangan penyiksaan dan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. kasus-kaus penyiksaan semakin banyak yang diajukan ke pengadilan, meski dengan menggunakan delik ‘penganiayaan’, dan dalam sejumlah putusan pengadilan telah merujuk, dan menggunanakan Konvensi sebagai landasan pertimbangan dalam memutus kasus-kasus penyiksaan.14 Salah satu perkembangan penting, dari implementasi Konvensi adalah adanya pengakuan hak-hak korban kejahatan, termasuk kejahatan penyiksaan, untuk mendapatkan pemulihan dan ganti kerugian berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.15

Selama Periode Januari-November 2011, ELSAM mencatat terdapat 19 kasus penyiksaan perlakukan kejam dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh oleh aparat negara mulai dari TNI, Kepolisian dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan. Polisi masih menjadi instusi yang paling sering melakukan praktik-praktik penyiksaan. Akibat praktik-praktik penyiksaan ini, sedikitnya 3 orang korban meninggal dunia, 25 mengalami luka-luka, dan 4 orang berada dalam kondisi buruk selama dalam tahanan. Praktik penyiksan yang dilakukan oleh polisi sebanyak 11 kasus, berupa tindakan penganiayaan, penyiksaan dalam proses intrograsi, dan penyiksaan tahanan, dilakukan oleh anggota TNI sebanyak 5 kasus dengan korban 2 orang meninggal. Dari persebaran wilayahnya, praktik penyiksaan paling sering terjadi di wilayah Papua,

Meski diakui adanya kemajuan, tindakan penyiksaan dan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia masih terus berlangsung. Survey LBH Jakarta tentang penyiksaan tahun 2005 dan 2008, telah menunjukkan responden menyatakan telah mendapat kekerasan dari aparat kepolisian, yang mencapai 70 persen sampai 80 persen. Pada survei 2005, sebanyak 491 (74,4 persen) dari 639 responden menyatakan telah mendapat kekerasan dari polisi, 30 responden (4,5 persen) menyatakan pernah mendapat kekerasan sipir, 6 responden (0,9 persen) mendapat kekerasan dari TNI, dan 4 responden (0,6 persen) mendapat kekerasan dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Pada survei 2008, disebutkan juga bahwa sebanyak 83,65 persen dari 367 responden (307 responden), menyatakan saat berada di tingkat kepolisian, baik saat penangkapan maupun pemeriksaan, mengalami kekerasan. Survey ini melengkapi berbagai laporan tentang masih berlangsungnya tindakan penyiksaan dan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dari tahun ketahun.

14 Misalnya dalam Pengadilan Koneksitas dalam kasus penyerangan dan pembunuhan terhadap Tengku Bantaqiah dan Santrinya di di Pengadilan

Negeri Banda Aceh pada tahun 2000. Pengadilan mempertimbangan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Menentang Penyiksaabn dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

15 Dalam 2 tahun terakhir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah mendampingi para korban kejahatan termasuk dalam kasus-kasus

(11)

10

sedikitnya 6 kasus penyiksaan terjadi di wilayah ini selama 2011. Disusul Sumatera Utara dengan 3 kasus, Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan Jawa Timur.16

Selama periode Januari – April 2012, ELSAM mencatat sedikitnya terjadi 22 kasus penyiksaan, penganiayaan, perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi, yang terjadi di tempat-tempat penahanan. Tindakan yang tidak manusiawi ini terjadi baik pada saat penangkapan, interogasi, maupun selama dalam penahanan. Kecenderungannya pun terus mengalami kenaikan, dari 4 kasus di bulan Januari, naik menjadi 6 kasus pada bulan Februari, menurun kembali pada Maret menjadi 5 kasus, dan naik lagi menjadi 7 kasus di bulan April. Peristiwanya menyebar, hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk DKI Jakarta yang pengawasannya relatif ketat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Pelaku penyiksaan, anggota Polisi masih menduduki peringkat pertama pelaku penyiksaan. 55% kasus penyiksaan atau 12 kasus dari 22 kasus penyiksaan, pelakunya diduga kuat adalah polisi. Petugas Rutan/Lapas menduduki peringkat kedua pelaku dengan 5 kasus (23%), dan 4 kasus dilakukan oleh tahanan lain, serta 1 kasus dilakukan oleh petugas imigrasi. Sedikitanya 30 anggota polisi dan 11 petugas Rutan/Lapas diduga terlibat dalam kasus penyiksaan, beberapa diantaranya sudah dilakukan proses hukum.17

Kedua, seringkali pelaku penyiksaan dihukum ringan dan tak jarang pula hanya dikenai hukuman disiplin menjadikan ketidaan pelajaran (efek jera) dan peringatan bahwa pelaku penyiksaan akan dihukum dengan setimpal. Penolakan-penolakan atas dugaan adanya praktik penyiksaan yang dilakukan institusi kepolisian juga memberikan dampak pada upaya perlindungan bagi para oknum polisi yang melakukan penyiksaan. Para tahanan yang meninggal, seringkali dengan cepat dinyakan sebagai sakit, langsung dikuburkan tanpa adanya autopsi yang memadai untuk mengetahui sebab-sebab kematian selama ditahanan. Kasus-kasus penyiksaan, seringkali terungkap ketika organisasi-organisasi HAM melakukan penelurusan dan menyuarakan adanya praktik penyikaan ditempat-tempat penahanan, yang sebelumnya sering ditolak oleh Institusi kepolisian. Kasus terakhir yang dilakukan pemantauan oleh ELSAM, yakni meninggalnya Erik Alamsyah, Pengadilan Negeri Bukit Tinggi menghgukum 6 (enam) para pelaku mulai dari 10 bulan sampai 1 tahun penjara.

Melihat banyaknya instrumen hukum, sepertinya telah cukup untuk menecgah aparat kepolisian dan aparat lainnya melakukan penyikasaan dan perbuatan kejam lainnya kepada para tahanan. Namun, hal itu ternyata tidak cukup membendung terus berlanjutnya praktik-praktik penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Sejumlah permasalahan terkait masih berlangsungnya berbagai penyiksaan dan perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, diantaranya;

Pertama, belum cukup berubahnya kultur masa lalu, dimana praktik interogasi kepada para tersangka seringkali dilakukan dengan cara-cara menyiksa dan melakukan tindakan yang kejam untuk mendapatkan informasi dan pengakuan. Minimnya anggaran untuk penyelidikan dan penyelesaian perkara di Kepolisian, serta minimnya penggunaan teknologi untuk mengumpulkan bukti-bukti selain dari pengakuan tersangka, mendukung terus terjadinya praktek penyikaan.

18

Ketiga, hukuman ringan itu juga tidak terlepas dari masih kurang lengkapnya, instrumen hukum pidana terkait dengan kejahatan penyiksaan. KUHP yang selama ini menjadi landasan penghukuman bagi kejahatan-kejahatan penyiksaan yang terjadi, masih mendasarkan pada delik penganiayaan dan delik-delik lainnya, belum sesuai dengan pengertian penyiksaan sebagaimana yang didefinisikan dalam Konvensi. Padahal, sejak lama RUU KUHP telah memasukkan

16 Laporan Situasi HAM 2011, “Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM”, ELSAM, Desember 2011. Dokumen dapat diakses di

http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=1681&lang=in&act=view&cat=c/404

17 Laporan Situasi HAM di Indonesia Catur Wulan Pertama, “(Me)lanjutkan untuk Melanggar”, ELSAM, Mei 2012. Dokumen dapat diakses di:

http://www.elsam.or.id/downloads/1338873520_Laporan_HAM_Caturwulan_Pertama_2012.pdf

18 Lihat laporan Pemantauan Persidangan Kasus Erik Alamsyah, “Ketiadaan Perlindungan Saksi, Potensi Gagalkan Penghukuman”, Elsam dan LBH

Padang, September 2012. Lihat juga siaran pers, “Putusan Erik Alamsyah: Tak Menjerakan Pelaku, dan Mewajarkan Praktek Penyiksaan”, Elsam dan LBH Padang, 22 Oktober 2012.

(12)

11

kejahatan penyiksaan, sebagai mana rumusan dalam Konvensi, dan memberikan ancaman hukuman paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.19

19 Lihat pasal 404 RUU KUHP (Naskah Tahun 2012), “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun setiap pejabat publik atau orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik, yang melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan, menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau memaksa orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya.”

Dalam berbagai kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum TNI, proses peradilan dengan melalui peradilan militer juga menyumbang kegagalan untuk melakukan pengukuman yang memadai bagi terjadinya kejahatan penyiksaan dan perlakukan kejam lainnya. Pengadilan militer ini seringkali pemeriksaannya dilakukan tertutup, dan jarang menyentuh para pimpinan (komandan) dimana anak buahnya melakukan penyiksaan.

Keempat, lemahnya sistem pengawasan ditempat-tempat penahahan terus menyuburkan praktik-praktik penyiksaan dan perlakukan kejam terhadap orang-orang yang berada dalam tahanan. Tindakan-tindakan tersebut seringkali bukan hanya dilakukan oleh oknum kepolisian selama proses interogasi, tetapi dilakukan oleh sipir penjara karena berbagai alasan. Ketiadaan sanksi bagi atasan pelaku penyiksaan dan perlakukan kejam ditempat-tempat penahanan, menjadikan mereka tidak secara serius melakukan kontrol dan mengawasi perilaku anak buanya yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

Berbagai faktor penyebab terus berlangsungnya praktik penyiksaan dan perlakukan kejam tersebut, seharusnya segera dilakukan langkah-langkah yang sistematis untuk menghentikannya. Setidaknya ada tiga hal penting yang harus dilakukan; pertama, melakukan pelatihan yang terus menerus kepada para anggota kepolisian untuk mampu melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum yang sesuai dengan HAM dan tidak menggunakan cara-cara penyiksaan dan perlakukan kejam. Pelatihan tersebut haruslah sampai pada tingkat yang paling teknis, misalnya cara-cara interogasi, pencarian fakta-fakta dan penggunaan teknologi mutakhir tanpa menggunakan cara-cara-cara-cara penyiksaan. Pelatihan juga dilakukan terhadap aparat penegak hukum lainnya untuk memahami tingkat keseriusan kejahatan penyiksaan dan pemenuhan hak-hak korban, sehingga proses peradilan kasus-kasus penyiksaan mampu menghukum pelaku dengan setimpal dan memberikan pemulihan kepada para korbannya.

Kedua, penguatan sistem hukum untuk mencegah dan menghapus terus berlangsungnya kasus-kasus penyiksaan. Sejumlah rencana penguatan instrumen untuk mencegah penyiksaan harus segera dibentuk, karena telah direncanakan dari waktu ke waktu. Lihat misalnya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang akan memberikan rambu-rambu bagi polisi dalam melakukan interogasi dan pemeriksaan saksi terus tertunda. Demikian pula dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dalam RUU tersebut telah dirumuskan delik penyiksaan berdasarkan Konvensi Anti Penyiksaan tak juga dibahas di DPR. Terakhir, rencana pengesahan Protocol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention Against Torture), yang memberikan mekanisme pencegahan secara nasional dengan adanya kunjungan ke tempat-tempat penahanan, belum juga ada perkembangan berarti.

Ketiga, adanya penegakan hukum yang adil dan konsisten terhadap setiap terjadinya penyiksaan. Berbagai upaya menutup-nutupi kasus-kasus penyiksaan ditempat-tempat tahanan seharusnya segara diakhiri, dan melakukan proses yang terbuka untuk mengadili para pelaku penyiksaan dan perbuatan kejam lainnya yang tidak manusiawi. Demikian pula dengan keseriusan untuk menjerat para pelaku penyiksaan, mulai dari pelaku langsung maupun tidak langsung, termasuk para pihak yang menganjurkan/mendorong penyiksaan, perbuatan percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan para pimpinan aparat keamanan yang membiarkan terjadinya penyiksaan.

(13)

12

Kejahatan penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat merupakan kejahatan yang harus segara dihapuskan. Indonesia sejak tahun 1998 telah berkomitmen untuk menghapuskan berbagai praktik kejahatan tersebut, dan saat ini terus melakukan perbaikan untuk memastikan penghapusan praktik penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Sebagaimana dinyatakan dalam berbagai intrumen HAM internasional, efektifitas pencegahan praktik penyiksaan, perlakukan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia mensyaratkan adanya pendidikan yang terus menerus, dan kombinasi dari berbagai langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial dan langkah-langkah lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pada histopatologi tampak diferensiasi yang baik, terdiri dari lesi hiperkeratotik dengan papila kompleks, ireguler, dengan/tanpa inti fibrovaskuler. Hubungan dengan

Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak

Setiap orang yang melakukan perlakuan lain atau penghukuman tidak manusiawi yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran dan/atau yang merendahkan martabat

Tujuan pengkajian adalah untuk merancang model Sistem Manajemen Ahli dalam merencanakan pertanian buah-buahan di Jawa Barat.. Model FRUTY95 dirancang dengan menggunakan bahasa

Berdasarkan penelitian sebelumnya dari 70 orang responden diperoleh bahwa, 19,4 % responden yang berperilaku tidak aman dengan pengetahuan yang rendah tentang

Setiap Negara Pihak mengikatkan dirinya untuk mencegah di dalam wilayah yang termasuk jurisdiksinya tindakan-tindakan lain yang merupakan perlakuan atau penghukuman yang kejam,

Secara jasmani, kaum muda adalah manusia yang sedang mencari identitas diri. Dalam masa ini mereka dihadappkan dengan berbagai macam permasalahan hidup baik dari dalam maupun

Penelitian Solichin (2007) yang ditunjukkan pada Tabel 9, juga menunjukkan nilai PRI yang lebih tinggi dengan menggunakan bahan koagulan asap cair cangkang kelapa