• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Model Perubahan Penggunaan Lahan

Pemodelan spasial dengan program CLUE-S memerlukan skenario yang ditentukan berdasarkan pada kebutuhan. Pada penelitian pemodelan spasial ini

expert judgment dilakukan berdasarkan studi pustaka dan peneltian-penelitian

sebelumnya. Skenario yang digunakan berdasarkan pada demand modul dan

spatial policy. Skenario yang ditetapkan ada enam buah yang ditunjukkan pada

Tabel 18.

Demand module dalam program CLUE-S merupakan tabel time series untuk

setiap penggunaan lahan berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan sebelumnya. Spatial policy adalah area restriction (areal terlarang) yang membatasi wilayah untuk dikonversi seperti kawasan lindung dan cagar alam. (Lampiran 13).

Tabel 20 berikut menjelaskan kombinasi skenario yang dilakukan pada simulasi perubahan penggunaan lahan. Skenario pertama, merupakan skenario baseline, digunakan sebagai pembanding. Skenario ini menggunakan demand

module, dengan laju perubahan penggunaan lahan yang sama dengan laju 20

tahun yang lalu (demand.in1) dan tanpa ada larangan konversi pada wilayah tertentu (region_nopark.fil). Bila diterjemahkan kedalam keadaan realitas, tanpa ada larangan konversi adalah keadaan peraturan-peraturan yang melarang wilayah tertentu untuk tidak dikonversi dilanggar. Dengan kata lain, spatial policy ini sama dengan tidak adanya penegakan hukum. Skenario kedua dan kelima menggunakan demand module, dengan laju perubahan penggunaan lahan sama dengan laju 20 tahun yang lalu (demand.in1), tetapi untuk skenario kedua, spatial

policy pada cagar alam saja sementara pada skenario kelima spatial policy pada

cagar alam dan kawasan lindung. Pada skenario ketiga, keempat dan keenam, demand module yang digunakan adalah separuh dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun yang lalu. Spatial policy yang digunakan pada skenario ketiga, keempat dan keenam adalah tanpa ada larangan, larangan pada cagar alam dan larangan pada cagar alam dan kawasan lindung.

(2)

Menurut FAO (2003) selama kurun waktu 1990 sampai 2000 laju deforestasi atau perubahan kawasan hutan menjadi jenis penggunaan lahan lain di Indonesia adalah 1.312.000 hektar per tahun atau 1,2%. Perubahan hutan menjadi jenis penggunaan lain di wilayah Bandung adalah 2,63 % per tahun (Tabel 18). Berdasarkan hal tersebut diatas, ditetapkan demand module dengan prediksi setengah dari laju perubahan penggunaan lahan untuk penetapan skenario.

Tabel 18 Skenario-skenario yang digunakan dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Bandung

Skenario Laju pertumbuhan Spatial policy

pertama Sama dengan laju selama 20 tahun (1983

sampai 2003) Æ (demand.in1) Tidak ada Æ(region_nopark.fil)

kedua Sama dengan laju selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in1)

Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam Æ

(region_park1)

ketiga Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003) Æ (demand.in2)

Tidak ada Æ(region_nopark.fil)

keempat Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003)Æ (demand.in2)

Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam Æ

(region_park1)

kelima Sama dengan laju selama 20 tahun (1983

sampai 2003) Æ (demand.in1) Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung Æ(region_park2)

keenam Laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan selama 20 tahun (1983 sampai 2003)Æ (demand.in2)

Ada larangan perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung Æ (region_park2)

Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis statitik dengan regresi logistik binari adalah seperti yang disajikan pada Tabel 19 dan 20. Hasil dari analisis regresi logistik diuji ketepatannya dengan menggunakan metode ROC (relative operating characteristic). Nilai ketepatan ini biasanya berada ROC diantara 0.5 sampai 1.0. Nilai 1.0 mengindikasikan hasil perhitungan tepat sempurna, sedangkan nilai 0,5 mengindikasikan bahwa hasil tersebut karena pengaruh acakan saja (Pontius & Scheneider 2001).

Hasil ROC paling tinggi adalah 0.966 diperoleh oleh penggunaan lahan sawah, kemudian 0.936 pada kawasan terbangun, selanjutnya perkebunan dengan

(3)

0.921. Nilai cukup tinggi ada pada penggunaan lahan hutan dengan 0.901 dan lainnya dengan 0.892. Nilai yang terendah adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan 0.813 (Tabel 19).

Persamaan regresi logistik yang digunakan adalah Log [p/(1-p)]= β0 + β1X1i+β2X2i +...+ βnXni., β merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi dan p adalah peluang munculnya jenis penggunaan lahan dan driving factor (variabel bebas) tertentu. Untuk menganalisis persamaan tersebut digunakan Exp(β). Bila nilai Exp (β) lebih besar dari satu artinya peluang munculnya penggunaan lahan tersebut akan meningkat bila terdapat peningkatan pada variabel bebas. Sebaliknya, bila nilai Exp (β) lebih kecil atau sama dengan satu, maka peluang munculnya penggunaan lahan tersebut menurun dengan terdapatnya peningkatan pada variabel bebas.

Tabel 19 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan Driving Factors

(variabel bebas) Hutan Lainnya

Kawasan

Terbangun Perkebunan Pertanian Lahan Kering Sawah Kepadatan penduduk -0,011 -0,023 0,032 -0,010 -0,013 -0,043 Tingkat pendidikan 0,041 0,077 0,056 -0,058 -0,094 Kondisi tempat tinggal -0,016 -0,068 0,069 -0,019 0,049 -0,073 Usaha bidang pertanian 0,031 0,046 -0,013 -0,005 -0,074

Aluvial 5,505 0,366 -1,456 Andosol 1,759 -0,626 -1,502 15,811 Asosiasi 0,518 -0,399 -0,495 Grumosol -0,702 Kompleks 1,426 0,439 -0,775 -0,261 -0,946 Latosol 6,299 -1,020 -0,720 Aluvium 1,202 -5,220 -21,679 2,408 -33,120

Aluvium, fasies gunung api -0,452 1,518

Eosen -0,736 2,811 -18,525 -1,005

Hasil gunung api kwarter tua -3,097 1,398 -23,576 1,195 Hasil gunung api tak teruraikan -1,483 -4,426 0,458 -19,525 0,421 -31,719 Miosen fasies sedimen -2,005 -3,283 2,431 Pliosen fasies sedimen -2,147 17,801 Plistosen sedimen gunung api -1,386 3,615 -1,966 Elevasi 0,001 -0,005 0,000 -0,002 0,000 -0,003 Slope -0,005 -0,013 -0,007 0,011 0,004

Aspek 0,002 -0,001

Jarak dari jalan raya utama 0,000 0,000 -0,001 0,000 0,000 Jarak dari pusat kota Bandung 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Curah hujan -0,001 -0,001 0,001 0,000 0,000 -0,001 Konstanta -11,844 7,520 -38,822 64,989 -2,091 37,441 Akurasi (ROC) 0,901 0,892 0,936 0,921 0,813 0,966

(4)

Tabel 20 Hasil analisis regresi logistik nilai Exp(β) dari penggunaan lahan Driving Factors

(vaiabel bebas) Hutan Lainnya

Kawasan Terbangun Perkebunan Pertanian Lahan Kering Sawah Kepadatan penduduk 0,989 0,977 1,033 0,990 0,987 0,958 Tingkat pendidikan 1,042 1,080 1,058 0,944 0,910 Kondisi tempat tinggal 0,984 0,934 1,071 0,981 1,051 0,929 Usaha bidang pertanian 1,031 1,047 0,987 0,995 0,929

Aluvial 245,987 1,441 0,233 Andosol 5,807 0,535 0,223 7,352E+06 Asosiasi 1,678 0,671 0,609 Grumosol 0,495 Kompleks 4,161 1,551 0,460 0,770 0,388 Latosol 544,192 0,361 0,487 Aluvium 3,328 0,005 0,000 11,110 0,000

Aluvium, fasies gunung

api 0,636 4,563

Eosen 0,479 16,630 0,000 0,366

Hasil gunung api kwarter

tua 0,045 4,046 0,000 3,304

Hasil gunung api tak

teruraikan 0,227 0,012 1,581 0,000 1,523 0,000

Miosen fasies sedimen 0,135 0,038 11,369 Pliosen fasies sedimen 0,117 5,381E+07 Pleistosen sedimen gn api -1,386 37,138 0,140 Elevasi 1,001 -9,037 1,000 0,998 1,000 0,997

Slope 0,995 -0,611 0,993 1,011 1,004

Aspek 1,002 0,999

Jarak dari jalan raya utama 1,000 1,000 0,999 1,000 1,000 Jarak dari pusat kota

Bandung 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

Pada Tabel 20 terlihat bahwa peluang penggunaan lahan hutan akan meningkat bila variabel pendidikan, usaha bidang pertanian, jenis tanah aluvial, andosol, latosol, aluvium dan elevasi meningkat. Sementara pada peluang penggunaan lahan kawasan terbangun meningkat bila variabel kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal, jenis tanah kompleks, geologi (eosen, hasil gunung api kwarter tua, hasil gunung api tak teruraikan, miosen fasies sedimen, pliosen fasies sedimen, pleistosen sedimen gunung api) dan akses meningkat. Sedangkan pada peluang penggunaan lahan sawah akan meningkat bila variabel jenis tanah andosol meningkat.

Pada pemodelan ini simulasi dilakukan selama 20 tahun, dengan kondisi awal pada tahun 2003 dan terakhir pada ahun 2023. Hasil simulasi setiap tahun

(5)

dapat dipetakan secara spasial. Pada pemodelan dengan enam skenario ini peta hasil simulasi disajikan dan dianalisis dalam lima tahunan.

Hasil pemodelan skenario pertama yaitu laju perubahan tetap dan tanpa ada kebijakan spasial disajikan pada Gambar 20. Penggunaan lahan hasil pemodelan pada tahun 2008 dibandingkan dengan keadaan awal, akan terdapat penurunan luasan hutan, penggunaan lahan yang tetap adalah kawasan terbangun dan sawah, sementara penggunaan lahan lainnya, perkebunan dan pertanian lahan kering bertambah luas.

Pada tahun 2013 kondisi ini akan tetap terjadi, kecuali pada penggunaan lahan perkebunan yang menjadi menurun. Pada tahun 2018, kondisi tetap seperti tahun 2013 tetapi terjadi musnahnya lahan persawahan. Lahan persawahan akan digantikan oleh kawasan terbangun. Pada tahun terakhir simulasi kondisi hampir sama dengan kondisi tahun sebelumnya dengan makin menurunnya kawasan hutan dan makin meluasnya pertanian lahan kering.

Pemodelan dengan skenario kedua berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan tetap, tetapi ada kebijakan spasial bahwa kawasan cagar alam tidak boleh dikonversi. Jenis penggunaan lahan hutan akan mengalami penurunan terutama di bagian utara dan barat yang tergantikan oleh pertanian lahan kering. Hasil simulasi pada tahun 2008, 2013 dan 2018 menghasilkan kondisi yang hampir sama dengan kondisi hasil pemodelan pada skenario pertama (Gambar 21). Perbedaan yang nyata terjadi pada hasil simulasi tahun 2023, tampak luasan hutan yang tersisa merupakan kawasan cagar alam. Kawasan hutan akan berkurang di bagian barat laut tergantikan oleh pertanian lahan kering. Secara ukuran luas, wilayah hutan pada tahun 2003 pada skenario pertama dan kedua adalah sama, yang berbeda adalah lokasi hutan tersebut.

(6)

(d) (e) Gambar 20

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario pertama) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario pertama) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario pertama) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario pertama)

(7)

(a)

(b) (c)

(d) (e)

Gambar 21

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kedua) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kedua) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kedua)

(8)

Pemodelan dengan skenario ketiga berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan tidak ada kebijakan spasial. Hasil simulasi berupa peta penggunaan lahan hasil simulasi disajikan pada Gambar 22. hasil simulasi pada tahun 2008, 2013, 2018 dan 2023 semua jenis penggunaan lahan masih ada. Penurunan luasan yang tampak jelas adalah pada jenis penggunaan lahan hutan. Penurunan kawasan perkebunan tampak terjadi pada akhir simulasi terutama perkebunan yang berbatasan dengan kawasan terbangun dan sawah. Wilayah yang nyata bertambah luas adalah pertanian lahan kering. Kawasan terbangun dan sawah tidak menunjukkan pertambahan luas yang cukup nyata.

Pemodelan dengan skenario keempat berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan ada kebijakan spasial untuk melarang perubahan penggunaan lahan di kawasan cagar alam. Peta hasil simulasi dengan skenario ke empat ini digambarkan pada Gambar 23. Hasil simulasi dengan skenario keempat hampir sama dengan simulasi dengan skenario ketiga, perbedaan yang cukup nyata terjadi pada tahun 2018 dan 2023. Luas hutan tersisa karena tidak terkonversi pada tahun 2018 dan 2023 pada skenario keempat sama luasnya dengan pemodelan dengan skenario ketiga, tetapi lokasi-lokasi hutan tersebut berbeda. Pada pemodelan skenario keempat lokasi-lokasi hutan tersisa adalah kawasan cagar alam.

Pemodelan dengan skenario kelima berdasarkan pada laju perubahan penggunaan lahan sama dengan sebelumnya tetapi kebijakan spasial adalah larangan konversi untuk cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan skenario kelima digambarkan oleh peta penggunaan lahan pada Gambar 24. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Sebagaima hasil simulasi skenario pertama dan kedua, terdapat penurunan luasan sawah pada tahun 2018, tergantikan oleh kawasan terbangun. Tetapi terdapat perbedaan dengan hasil simulasi pertama dan kedua adalah pada tahun 2018 dan 2023 yang menunjukkan luasan hutan yang tersisa lebih luas daripada simulasi dengan skenario pertama dan kedua. Lokasi hutan tersisa pada akhir simulasi meliputi kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

(9)

(d) (e)

Gambar 22

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario ketiga) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2003 (hasil simulasi skenario ketiga) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario ketiga)

(e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario ketiga)

(b) (c)

(10)

(a)

(b) (c)

(d) (e)

Gambar 23

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keempat) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keempat) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keempat) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keempat)

(11)

(a)

(b) (c)

(d) (e)

Gambar 24

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario kelima) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario kelima) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario kelima)

(12)

Pemodelan dengan skenario keenam berdasarkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju sebelumnya dan kebijakan spasial ada larangan konversi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Hasil pemodelan dengan skenario keenam ini disajikan pada Gambar 25. Peta penggunaan lahan hasil simulasi kelima ini, mirip dengan hasil simulasi dengan skenario ketiga dan keempat. Sebagaimana pada hasil simulasi skenario ketiga dan keempat, pada tahun 2018 dan 2023 masih terdapat sawah. Perbedaan dengan hasil simulasi ketiga dan keempat adalah luasan hutan yang tersisa pada akhir simulasi lebih luas daripada simulasi dengan skenario ketiga dan keempat.

Pada hasil simulasi skenario pertama, kedua dan kelima di tahun ke 10 tampak bahwa kawasan terbangun menggeser kawasan persawahan. Dampak dari habisnya persawahan secara ekonomi akan menurunkan hasil sektor pertanian, meskipun akan meningkatkan hasil sektor lain seperti perdagangan, industri dan jasa. Bila hal tersebut terjadi, maka produksi padi sawah yang berasal dari Kabupaten Bandung yang berjumlah 577.616 ton pada tahun 2003 tidak diperoleh lagi (BPS 2003). Hal ini telah terjadi di sepanjang Jalur Pantai Utara Jawa, akibat alih fungsi lahan persawahan menjadi areal industri yang mengkibatkan kerawanan pangan nasional. Menurut Rustan (2004) hal tersebut disebabkan oleh

trade off hasil pertanian yang makin turun dibanding produk industri, kebijakan

pemerintah yang tidak konsisten, adanya land absentee kepemilikan lahan, adanya kemudahan dalam investasi bidang industri sehingga tidak ada resistensi dari pemilik lahan pertanian (persawahan) untuk mempertahankannya.

Semakin meluasnya kawasan terbangun akan mengurangi luasan permukaan tanah, keadaan ini akan menurunkan infiltrasi tanah bila terjadi hujan (Mather 1986), yang akan meningkatkan run off atau aliran permukaan. Bila fasilitas drainase yang ada di kawasan terbangun kurang, maka peluang untuk terjadinya banjir atau genangan akan semakin tinggi pada saat musim penghujan. Dampak sosial yang terjadi dengan hilangnya persawahan adalah akan terjadi pergeseran pada mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

Pada simulasi dengan skenario pertama, kedua dan kelima ini, pada tahun ke 20 kawasan hutan akan sangat berkurang terutama di wilayah bagian barat. Wilayah ini terletak di Kecamatan Rongga dan Kecamatan Cipongkor. Dampak

(13)

(d) (e)

Gambar 25

(a) Penggunaan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003

(b) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2008 (hasil simulasi skenario keenam) (c) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2013 (hasil simulasi skenario keenam) (d) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2018 (hasil simulasi skenario keenam) (e) Penggunaan lahan Kab. Bandung tahun 2023 (hasil simulasi skenario keenam)

(a)

(14)

yang diakibatkan dengan menurunnya kawasan hutan secara sosial ekonomis, dimungkinkan untuk ada peningkatan pendapatan masyarakat dengan beralih fungsinya hutan menjadi areal pertanian. Tetapi secara ekologis sangat merugikan karena akan menurunkan biodiversitas. Secara hidrologis, berkurangnya kawasan hutan akan menurunkan kawasan resapan air tanah. Selain itu, penurunan kawasan hutan akan berpengaruh terdapat debit sungai di daerah aliran sungai. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Farida dan van Noordwijk (2004) yang menemukan bahwa penurunan luas hutan akan meningkatkan debit sungai pada DAS Way Besai, Sumberjaya, Lampung.

Hal yang berbeda terjadi pada skenario ketiga, keempat dan keenam. Berdasarkan skenario ini, areal persawahan masih dapat dijaga sampai pada akhir simulasi. Berdasarkan skenario ini, kawasan hutan tetap tergeser oleh jenis penggunaan pertanian lahan kering. Dampak yang dapat terjadi sama dengan dampak yang diakibatkan oleh skenario pertama, kedua dan kelima. Meskipun demikian, intensitas dampak diduga tidak seberat pada skenario pertama, kedua dan kelima.

Bila dibandingkan hasil pemodelan skenario ketiga, keempat dan keenam pada akhir simulasi, maka yang tampak nyata adalah lokasi kawasan hutan yang ada. Lokasi kawasan hutan di bagian selatan Kabupaten Bandung dari tiga skenario tersebut berbeda luasannya. Skenario ketiga paling kecil luasannya, dan skenario keenam paling luas. Rencana Struktur Ruang Metropolitan Bandung (Distarkim 2005) menetapkan wilayah bagian selatan sebagai zona konservasi. Berdasarkan hal tersebut, maka skenario keenam merupakan skenario yang paling baik untuk dipilih. Skenario keenam adalah skenario terbaik yang berdasar pada laju perubahan penggunaan lahan separuh dari laju perubahan penggunaan lahan eksisting dan adanya larangan konversi lahan di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

(15)

5.2. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Perhitungan WI di Wilayah Kabupaten Bandung ditunjukkan pada Tabel 21 dan 22. Hasil perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 14. Hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria WI menghasilkan angka indeks kesejahteraan manusia (Human Wellbeing Index) Kabupaten Bandung adalah 55. Indeks kesejahteraan ekosistem (Ecosystem Wellbeing Index ) adalah 69. Jadi nilai WI adalah 62; sementara indeks stress kesejahteraan (Wellbeing Stress Index) untuk Kabupaten Bandung adalah 1.8. Bila dibandinglan dengan indeks kesejahteraan Indonesia yang bernilai 42 (Prescott-Allen 2001) termasuk pada area poor, maka indeks kesejahteraan Kabupaten Bandung lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa rata-rata wilayah Kabupaten Bandung kebih berkelanjutan bila dibandingkan dengan rata-rata keadaan di Indonesia. Keadaan ini disebabkan karena kondisi Indonesia merupakan rata-rata dari berbagai daerah. Secara umum keadaan sosial, ekonomi dan sebaran penduduk di Indonesia tidak terdistribusi secara merata, pusat kegiatan ekonomi, sosial dan budaya berada di Pulau Jawa. Tabel 21 Perhitungan WI

Subsistem Dimensi Jumlah indikator

Gabungan total skor

Rata-rata

Kemakmuran & Ekonomi 1 65 65

Pengetahuan, budaya dan keahlian 2 82 41

Manusia

Infrastruktur 2 116 58

Lahan 1 73 73

Air 1 62 62

Ekosistem

Flora (penggunaan sumber daya) 1 72 72

Tabel 22 Indeks keberlanjutan Kabupaten Bandung

Indeks (Index) Nilai

Kesejahteraan manusia (human wellbeing) 55 Kesejahteraan ekosistem (ecosystem wellbeing) 69

Wellbeing 62 Stress kesejahteraan (wellbeing stress) 1.8

(16)

Wellbeing Stress Index (WSI) merupakan rasio kesejahteraan manusia

terhadap stress ekosistem, untuk menggambarkan tekanan terhadap peningkatan kesejahteraan. Hal ini berakibat terhadap kehidupan (wellbeing) ekosistem. Angka WSI sama dengan 1.0 mengandung arti stress dari ekosistem sudah melampaui kesejahteraan manusia (dalam standar termasuk dalam band poor). Semakin rendah nilai ini semakin besar akibat dari tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia terhadap kehidupan ekosistem. Kabupaten Bandung dengan nilai WSI 1.8, menunjukkan bahwa posisi wilayah ini mendekati band

medium. Nilai ini mengandung arti bahwa tekanan untuk peningkatan

kesejahteraan manusia belum melampaui tekanan ekosistem. Kondisi ekosistem yang baik dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Kondisi ini dimetaforakan oleh sebuah telur. Ekosistem diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik.

Bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka untuk wilayah Kabupaten Bandung (tahun 2003) adalah 67.5. Angka ini merupakan penggabungan dari keadaan angka harapan hidup dengan nilai 65.4; angka melek huruf 97.5; angka rata-rata lama sekolah 7.7 dan konsumsi per kapita 530.2 (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Tampak bahwa angka ini sejalan dengan angka WI, tetapi IPM hanya menyoroti aspek manusia, tanpa melihat aspek ekosistem.

Hasil perhitungan dipetakan pada barometer sustainability seperti disajikan pada Gambar 26.. Tampak bahwa tingkat berkelanjutan untuk wilayah Bandung adalah dalam posisi medium. Posisi ini adalah posisi di tengah, yang mengarah ke almost sustainable untuk ekosistem, sedangkan untuk manusia mengarah ke

almost unsustainable. Hal ini mengandung arti bahwa keadaan ekosistem wilayah

Kabupaten Bandung relatif lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata wilayah lain di Indonesia.

(17)

Chambers, Simmons & Wackernagel (2002) mengkaji hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah dan menggambarkannya dalam empat kondisi (Gambar 27). Zona A menggambarkan kondisi kualitas hidup tidak tercapai tetapi modal alam terlindungi. Zona B menunjukkan untuk mecapai kualitas lingkungan yang minimal terjadi penurunan modal alamiah. Sementara pada zona C untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi modal alam mengalami penurunan. Kondisi ideal adalah pada zona D yaitu untuk mencapai kualitas hidup yang baik dapat sejalan dengan melindungi alam, yang artinya menuju sustainability. Kondisi pada zona-zona A, B dan C dapat diarahkan menuju ke kondisi D dengan cara mengembangkan sustainability (developing

sustainability).

Gambar 26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung (Hasil analisis)

(18)

Pengembangan keberlanjutan seperti digambarkan oleh Chambers Simmons & Wackernagel (2002) perlu dilakukan untuk menjaga daya dukung alamiah dan mengurangi penurunan modal alamiah. Bila dikaitkan dengan diagram Chambers tersebut maka kondisi Kabupaten Bandung dapat menuju ke Zona D. Berdasarkan hal tersebut diatas maka hasil perhitungan keberlanjutan ini merupakan salah satu masukan dalam penentuan strategi pengelolaan wilayah Kabupaten Bandung.

Gambar 27 Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah (Chambers, Simmons & Wackernagel 2002)

(19)

5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

5.3.1. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan mengandung arti bahwa secara spasial sumberdaya alam yang ada, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa mengurangi daya dukung alamiah, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pada bagian ini akan dibahas strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi adalah jurus atau cara atau teknik yang taktis dalam mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut sebelumnya telah dilakukan penelitian-penelitian yang meliputi analisis deskripsi regulasi tata ruang, pemodelan spasial untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada time frame 20 tahun mendatang, dan analisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah.

Pemodelan spasial dengan CLUE-S untuk wilayah Kabupaten Bandung memberikan hasil pada penggunaan lahan yang masih menggambarkan kondisi paling ideal adalah skenario ketiga, keempat dan keenam. Hasil simulasi dengan skenario-skenario ini, sampai dengan tahun ke 20 masih mengandung semua jenis penggunaan lahan. Dari ketiga skenario ini, terpilih skenario keenam sebagi skenari terbaik. Skenario keenam ini mensyaratkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan eksiting dan adanya larangan alih fungsi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

Kondisi keberlanjutan pembangunan Kabupaten Bandung berdasarkan indeks kesejahteraan manusia dan ekosistem ada posisi di tengah. Untuk kesejahteraan manusia levelnya berada pada hampir tidak berkelanjutan dan untuk ekosistem berada pada hampir berkelanjutan. Artinya, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai kondisi keberlanjutan yang sedang. Hal ini berdasarkan pada kesejahteraan ekosistem yang hampir berkelanjutan, dan kesejahteraan manusia pada level hampir tidak berkelanjutan.

Pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan dilakukan lokakarya analisis prospektif yang melibatkan stakeholder pakar yang terlibat di wilayah penelitian. Identifikasi

(20)

faktor-faktor yang ada adalam strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung disajikan pada pada Tabel 23.

Tabel 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Hasil analisis)

Faktor Karakteristik Jenis Tanah Geologi Elevasi Aspek Geofisik Slope Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan

Rasio Guru/ Murid (Sekolah Dasar) Sosial

Tingkat putus sekolah dasar Kondisi Tempat Tinggal

Persentase tenaga kerja di bidang pertanian Produksi pertanian

Listrik tersedia/ kebutuhan Tingkat pendapatan masyarakat Ekonomi

Status kepemilikan lahan Jalan Raya

Jarak ke pusat kota Aksesibilitas

Persentase jalan yang baik terhadap panjang jalan yang ada Persentase areal budidaya dari seluruh lahan pertanian Ekologi Persentase kawasan lindung yang dikelola dengan baik Iklim Jumlah curah hujan tahunan

Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah (peraturan) Kebijakan

Perencanaan tata ruang

Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel pengaruh langsung antar faktor. Para peserta lokakarya memberikan nilai pengaruh langsung antar faktor pada tabel tersebut. Kemudian direkapitulasi pengaruh antar faktor dari masing-masing peserta lokakarya untuk dilakukan penggabungan. Hasil penggabungan pengaruh langsung antar faktor berupa grafik/ diagram pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi dikategorikan sebagai faktor kunci. Faktor kunci

(21)

adalah faktor yang berada di variabel penentu dan variabel penghubung (Gambar 28).

Hasil identifikasi faktor-faktor tampak bahwa faktor kunci yang berperan penting karena pengaruh dan ketergantungan antar faktor cukup tinggi pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk Kabupaten Bandung adalah : (1) kepadatan penduduk; (2) tingkat pendidikan; (3) perencanaan; (4) tingkat pendapatan masyarakat; (4) status kepemilikan lahan; (5) kebijakan pemerintah; (6) alokasi dana pembangunan

Hasil penyusunan keadaan atau state dari ketujuh faktor kunci tersebut adalah faktor kapadatan penduduk dan kebijakan pemerintah memiliki dua keadaan. Sedangkan tingkat pendidikan, perencanaan, status kepemilikan lahan dan alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan atau state dari kepadatan penduduk ada dua kondisi. Pertama, kepadatan penduduk dimasa datang relatif tetap seperti kondisi saat ini (1A). Keadaan kedua adalah kepadatan

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

-Status kepemilikan lahan Tingkat pendapatan masyarakat Perencanaan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah

Persentase jalan raya baik Kondisi tempat tinggal

Tingkat pendidikan

Jenis tanah

Tenaga kerja pertanian

Kepadatan penduduk Geologi Elevasi Slope Aspek Tingkat aksesibilitas

Rata-rata curah hujan Produksi pertanian Rasio guru muridTingkat putus SD

Listrik tersedia -0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 Ketergantungan P e ng a ruh

Gambar 28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan

(22)

penduduk dimasa datang menjadi lebih tinggi dari sekarang, hal ini berarti jumlah penduduk semakin besar tetapi luasan lahan tetap (1B).

Tingkat pendidikan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama tingkat pendidikan menjadi semakin buruk, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk tidak terdidik, peningkatan jumlah tuna aksara (2A). Hal ini dimungkinkan terjadi bila biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Keadaan kedua, tingkat pendidikan masyarakat relatif tetap seperti kondisi saat ini (2B). Keadaan ketiga, tingkat pendidikan masyarakat menjadi semakin baik, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk terdidik dan masa sekolah masyarakat semakin lama (2C). Hal ini dimungkinkan bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun benar-benar terlaksana dan biaya pendidikan tinggi semakin terjangkau oleh masyarakat.

Keadaan atau state perencanaan memiliki tiga keadaan kondisi perencanaan semakin kurang aplikatif dan kondusif, dalam arti peraturan sebagai acuan yang ada tidak berdasarkan pada aturan/ kebijakan yang lebih tinggi (3A). Keadaan kedua, kondisi perencanaan stabil, dalam arti peraturan sebagai acuan tidak tegas berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi tetapi tidak terdapat sangsi terhadap pelanggaran dari perencanaan yang telah ditetapkan (3B). Keadaan ketiga, kondisi perencanaan semakin kondusif dan aplikatif, terdapat aturan yang jelas yang mengacu pada aturan yang lebih tinggi dan ada sangsi terhadap pelanggaran (3C).

Keadaan atau state tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan pertama, tingkat pendapatan masyarakat menjadi semakin kecil (4A). Keadaan kedua, tingkat pendapatan masyarakat relatif tetap (4B). Keadaan ketiga, tingkat pendapatan masyarakat semakin besar tetapi nilainya tetap (4C). Keadaan keempat, tingkat pendapatan masyarakat dalam arti nilai yang semakin besar (4D).

Status kepemilikan lahan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama, status kepemilikan lahan perseorangan semakin tinggi, dalam arti persentase status kepemilikan lahan makin lebih banyak dimiliki oleh perseorangan (pribadi atau institusi) daripada milik negara (5A). Keadaan kedua, status kepemilikan lahan perseorangan relatif tetap (5B). Keadaan ketiga, status kepemilikan lahan

(23)

perseorangan semakin rendah, dalam arti persentase kepemilikan lahan makin banyak dimiliki oleh negara (5C).

Terdapat dua keadaan dari kebijakan pemerintah. Kedaan pertama adalah kebijakan pemerintah relatif tetap (6A). Keadaan kedua, kebijakan pemerintah semakin baik dalam arti semakin kondusif dan aplikatif serta transparan (6B). Alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama adalah alokasi dana pembangunan semakin kecil (7A). Keadaan kedua, alokasi dana pembangunan relatif tetap (7B). Keadaan ketiga, alokasi dana pembangunan semakin besar (7C). Secara ringkas ketujuh faktor kunci dan keadaannya ditampilkan pada Tabel 24.

Tabel 24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan

Faktor Keadaan

1 A 1 B

Kepadatan penduduk

Tetap Makin tinggi (makin padat)

2 A 2 B 2 C

Tingkat pendidikan

Makin buruk Tetap Makin baik

3 A 3 B 3C

Perencanaan

Makin kurang aplikatif

Stabil Makin aplikatif dan kondusif

4 A 4 B 4C 4D

Tingkat pendapatan

masyarakat Makin kecil Tetap Makin besar jumlahnya tetapi nilai tetap Jumlah dan nilai makin besar 5 A 5 B 5 C Status kepemilikan

lahan kepemilikan Persentase perseorangan makin kecil Persentase kepemilikan perseorangan tetap Persentase kepemilikan perseorangan makin besar 6 A 6 B Kebijakan pemerintah

tetap Makin kondusif dan transparan

7A 7B 7C Alokasi dana

(24)

Tabel 25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung

No Skenario Urutan Faktor

1 Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5A-6B-7C

2 Optimis (berkelanjutan) 1A-2C-3C-4D-5B-6B-7C

3 Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha yang keras)

1B-2C-3C-4C-5B-6B-7C 4 Kondisi tetap seperti saat ini 1B-2B-3B-4B-5B-6A-7B 5 Kondisi semakin buruk (semakin tidak

berkelanjutan)

1B-2A-3A-4A-5C-6A-7A

Tabel 26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung

Skenario Jumlah Persen

Sangat optimis (sangat berkelanjutan) 17 13,1

Optimis (berkelanjutan) 18 13,8

Agak optimis untuk berkelanjutan (dengan usaha

yang keras) 38 29,3

Kondisi tetap seperti saat ini 29 22,3

Kondisi semakin buruk (semakin tidak

berkelanjutan) 28 21,5

Total 130 100.0

Skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis untuk berkelanjutan (29,3%). Skenario ini mempunyai keadaan sebagai berikut: kepadatan penduduk semakin tinggi, tingkat pendidikan makin baik; perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif; tingkat pendapatan masyarakat makin besar dalam jumlah tetapi nilai tetap; persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap; kebijakan pemerintah makin kondusif dan transparan; alokasi dana untuk pembangunan makin besar.

(25)

5.3.2. Implikasi skenario dan rekomendasi pada penataan ruang dalam

kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung

Hasil lokakarya analisis prospektif adalah ditemukannya tujuh faktor kunci yang paling berpangaruh pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci tersebut adalah kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, persentasi kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan.

Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi penelitian di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp & Bouma 1999). Akibat tekanan penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan penduduk meningkat.

Tingkat kependidikan menjadi faktor kunci berikutnya pada analisis prospektif. Hal ini dibuktikan pada hasil regresi logistik. Peluang terdapatnya hutan dan kawasan terbangun meningkat dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor pula dalam tingkat keberlanjutan (Omar 2003, Prescott-Allen 2001). Pada Lampiran 14 ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, yaitu rasio guru dan murid cukup baik.

Perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif menjadi faktor kunci. Faktor ini ditetapkan berdasarkan hasil lokakarya analisis prospektif. Saat ini perencanaan lebih menitik beratkan pada bagaimana membuat rencana. Hanya sedikit perhatian diberikan pada kontrol terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Selain itu, perencanaan yang tepat adalah suatu rencana guna lahan yang dapat mengantisipasi perubahan yang sangat cepat (Akbar 2001).

Tingkat pendapatan masyarakat sebagai faktor kunci berkaitan dengan keadaan bahwa tingkat pendapatan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam. Tingkat

(26)

pendapatan dapat berpenganruh positif dan negatif terhadap penataan ruang. Semakin tinggi tingkat pendapatan akan meningkatkan tingkat atau standar kehidupan yang membutuhkan sumberdaya dan energi serta lahan (Hall 2006).

Persentase kepemilikan lahan antara kepemilikan pribadi atau swasta dengan negara merupakan faktor kunci yang ditetapkan berdasarkan analisis prospektif. Kepemilikan lahan pribadi atau swasta memberikan peluang yang lebih tinggi untuk terjadinya konversi penggunaan lahan. Kepemilikan lahan harus didefiniskan dengan jelas yang meliputi batasan, jumlah dan kualitas sumberdaya bersama publik, dan semi publik. Pendefinisian penting untuk pengendalian pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi sumberdaya (Nugroho dan Dahuri 2004).

Kebijakan pemerintah makin kondusif berkaitan dengan kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang merupakan faktor kunci. Saat ini terdapat adanya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan tata ruang yaitu antara Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Alokasi dana pembangunan merupakan faktor kunci hasil analisis prospektif. Jumlah dana dialokasikan untuk pembangunan mempengaruhi pembangunan, yang berakibat pada penataan ruang. Alokasi dana pembangunan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penggunaan lahan (Lambin et

al. 2003).

Dari ketujuh faktor kunci tersebut, faktor yang tinggi pengaruhnya dan tetapi ketergantungannya relatif rendah adalah kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Keadaan kepadatan penduduk ada dua keadaan yaitu tetap dan makin tinggi atau makin padat. Keadaan tetap relatif lebih sulit untuk dicapai, jadi keadaan kepadatan yang makin tinggi akan terjadi. Sementara tingkat pendidikan terdapat tiga keadaan yaitu makin buruk, tetap dan makin baik. Jadi, tingkat pendidikan dapat dianggap faktor kunci yang paling penting. Hal ini sejalan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi peluang untuk terdapatnya jenis penggunaan lahan hutan, jenis penggunaan lahan lainnya dan kawasan terbangun. Selain itu, pada penilaian tingkat keberlanjutan tingkat

(27)

pendidikanpun memberikan kontribusi yang tinggi pada level keberlanjutan pembangunan wilayah.

Bila skenario agak optimis ini terjadi pada 20 tahun mendatang dengan keadaan kepadatan penduduk makin tinggi, tingkat pendidikan makin baik, perencanaan wilayah makin aplikatif, tingkat pendapatan masyarakat makin besar, persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap, kebijakan makin kondusif, alokasi dana pembangunan makin besar; maka faktor yang harus didorong adalah tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dalam grafik hasil analisis prospektif (Gambar 28) berada pada tingkat ketergantungan dibawah satu, tetapi tingkat penaruhnya cukup tinggi yaitu diatas satu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perlu didorong. Dorongan terhadap faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi faktor lainnya.

Secara umum tingkat pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian UNESCO-UIS/OECD (2005) yang melakukan analisis tren tingkat pendidikan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara yang diamati adalah Argentina, Brazil, Chile, China, Mesir, India, Indonesia, Jamaika, Jordania, Malaysia, Paraguay, Peru, Philippines, Federasi Rusia, Srilanka, Thailand, Tunisia, Uruguay dan Zimbabwe. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara WEI (World Education Indicator). Indikator tingkat pendidikan yang digunakan dalam WEI adalah harapan bersekolah, tingkat kelulusan dari SLTA, rasio murid dan guru SLTA, biaya per murid di SLTA, persentase murid pada SLTA swasta. Angka harapan bersekolah di Indonesia adalah 11.9 tahun, dan merupakan angka terendah bila dibandingkan dengan negara WEI lainnya, dengan rata-rata adalah 13.5 tahun untuk negara dengan PDB rendah dan 17.3 tahun untuk PDB tinggi. Tingkat kelulusan SLTA adalah 41% sementara negara dengan PDB rendah adalah 57.7% dan negara dengan PDB tinggi adalah 78%. Biaya untuk pendidikan tingka SLTA adalah PPP$ 379 merupakan sepertiga dari negara WEI lain dengan PDB rendah.

Sementara itu sesuai dengan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG) yang terdiri dari delapan tujuan, yaitu (1) pengentasan kemiskinan dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3)

(28)

peningkatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) pengurangan kematian anak, (5) perbaikan kesehatan ibu, (6) perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan dan (8) pengembangan kerjasama global untuk pembangunan (United Nation 2006). MDG ini berasal dari deklarasi milenium PBB (United Nation Millenium Declaration) pada tahun 200 yang diadopsi oleh 189 negara. Target yang ditetapkan sebagain besar ingin dicapai pada tahun 2015 berdasarkan situasi global tahun 1990an.

Indonesia sendiri telah menyusun MDG (Bappenas 2005), pada tujuan kedua, yaitu pencapaian pendidikan dasar, sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar (sembilan tahun), yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP/MTs sebesar 90 persen paling lambat pada tahun 2008. Di Kabupaten sendiri komponen pendidikan pada Indeks Pembangunan Manusia, yang diwakili oleh angka melek huruf dengan nilai 97.5% dan rata-rata lama sekolah 7.7 tahun (Bapeda & BPS Kabupaten Bandung 2003). Dari angka tersebut tampak bahwa kebijakan penetapan wajib belajar untuk pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai.

Berdasarkan keadaan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut diatas, tingkat pendidikan perlu didorong untuk lebih baik sesuai dengan target tujuan MDG Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan langkah-langkah kebijakan meliputi: meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan (Bappenas 2006).

Lima penyebab dari perubahan penggunaan diungkapkan oleh Lambin et al. (2003) yaitu kelangkaan sumberdaya; aspek ekonomi akibat pasar; adanya intervensi kebijakan; meningkatnya kerentanan karena berkurangnya kemampuan beradaptasi; perubahan organisasi sosial dan perilaku. Bila kelima alasan ini

(29)

dihubungkan dengan implikasi dari skenario agak optimis maka dua penyebab perubahan penggunaan lahan yaitu intervensi kebijakan dan perubahan organisasi sosial dan perilaku, akan memperoleh dampak positif dari skenario ini.

Implikasi dari skenario optimis berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Seperti diungkapkan oleh Munasinghe (1993) pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan ekonomi yaitu adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Dengan keadaan peningkatan alokasi dana pembangunan, diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada aspek ekologi, skenario agak optimis berdampak positf dengan adanya perencanaan dan kebijakan yang transparan yang karena terjadinya peningkatan pendidikan.

5.3.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Sesuai dengan Gambar 1 (Kerangka Pikir) pada Bab I, model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan ini mengandung tiga komponen utama yaitu model perubahan penggunaan lahan, komponen pembangunan wilayah berkelanjutan, komponen penataan ruang. Hasil ketiga komponen ini merupakan umpan balik untuk Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah atau akan disusun. Klasifikasi dari jenis-jenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik (Eriyatno 1999).

Model perubahan penggunaan lahan CLUE-S merupakan input dalam penataan ruang. Model dengan CLUE-S dapat memprediksikan perubahan penggunaan lahan sampai 20 tahun mendatang. Hasil prediksi berupa peta penggunaan lahan yang diperoleh dengan menetapkan skenario perubahan penggunaan lahan. Skenario yang terpilih adalah skenario keenam yaitu laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan ada larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung.

Sebagaimana dijelaskan oleh Forrester (1995) yang menganalisis dinamika perkotaan atau wilayah, meskipun termasuk sistem dinamis masalah penataan

(30)

ruang termasuk sistem sosial. Model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan, menetapkan laju perubahan penggunaan lahan perlu diturunkan. Penurunan laju perubahan penggunaan lahan dapat diatur oleh regulasi. Faktor kunci dan penurunan laju perubahan penggunanaan lahan saling berpengaruh. Faktor perencanaan untuk menetapkan penurunan laju perubahan penggunaan lahan, bila ditetapkan dengan regulasi, dapat mencapai tujuan penataan ruang yang berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan (sustainability), dapat diperoleh oleh ekosistem dengan spatial

policy (model perubahan penggunaan lahan) dengan melarang konversi lahan

pada wilayah tertentu.

Pembangunan wilayah berkelanjutan mengandung aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah, atau menurut Munasinghe (1993) mengandung aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara menurut konsep dalam analisis keberlanjutan dengan Wellbeing Index (WI) terdapat dua kelompok saja yaitu manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001). Aspek manusia dalam konsep WI mengandung lima unsur yaitu kesehatan dan kependudukan; kemakmuran, pengetahuan dan kebudayaan, masyarakat, persamaan. Aspek ekosistem mengandung lima unsur yaitu lahan, air, udara, spesies dan diversias genetik, dan penggunaan sumberdaya. WI cukup memberikan informasi keberlanjutan pembangunan wilayah. Indikator dari keberlanjutan meliputi buruk (0-20), miskin (20-40), sedang (40-60), memadai (60-80), baik (80-100). Sementara kondisi keberlanjutan meliputi buruk (tidak berkelanjutan), miskin (hampir tidak berkelanjutan), sedang, hampir berkelanjutan dan berkelanjutan. Pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, informasi WI pada wilayah yang dikaji cukup memadai. Informasi nilai WI digunakan untuk menetapkan skenario dan strategi.

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian

(31)

pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (UU No. 24 Tahun 1992).

Hasil dari model perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S adalah peta penggunaan lahan masa mendatang berdasarkan skenario. Skenario yang sesuai dipilih untuk penyusunan perencanaan tata ruang. Skenario perubahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak disesuaikan. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor kunci hasil temuan analisis prospektif. Perencanaan yang disusun selain berdasarkan pada kebutuhan penduduk di masa datang (antroposentris) perlu didampingi oleh keterbatasan wilayah tersebut. Jadi hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai batas atau dari wilayah yang tidak dapat dikembangkan lagi.

Aspek pemanfaatan ruang berdasar pada RTRW yang telah disusun dan pembiayaan yang diperlukan. Aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci yang diperoleh yaitu alokasi dana pembangunan. Berdasarkan skenario terpilih maka alokasi dana pembangunan diperkirakan akan meningkat. Karena itu, pembiayaan untuk pemanfaatan ruang diperkirakan meningkat. Bila pemanfaatan ruang telah merujuk pada perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sejalan dengan kegiatan pembangunan. Aspek pengendalian menjadi sangat penting dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Aspek pengawasan dan penertiban berdasar pada regulasi yang ada.

Tahapan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten meliputi persiapan penyusunan; peninjauan kembali RTRW Kabupaten sebelumnya; pengumpulan data dan informasi; analisis; konsepsi atau perumusan konsep rencana; legalisasi rencana menjadi Peraturan Daerah. Pada tahap analisis, yang dilakukan meliputi analisis terhadap kondisi sekarang dan kecenderungan di masa depan dengan menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dalam proses pengumpulan data dan informasi. Dokumen RTRW berisi rencana yang berdasarkan pada sektor, program, sasaran, lokasi, instansi, sumber pembiayaan dan dimensi waktu (Kimpraswil 2002). Berdasarkan hal tersebut, model perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan CLUE-S

(32)

merupakan informasi yang penting karena dapat menduga keadaan penggunaan lahan pada masa datang. Informasi penggunaan lahan masa depan bila dilengkapi dengan informasi sektor prioritas (unggulan), sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan kelembagaan dapat membantu RTRW yang disusun lebih lengkap dan sesuai dengan kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan.

Menurut McKeown (2002), negara dengan tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi cenderung konsumsi per kapitanya tinggi. Contohnya, Amerika Serikat dengan 25% penduduknya adalah lulusan perguruan tinggi, negara tersebut merupakan pengguna sumberdaya alam tertinggi. Jadi makin tinggi pendidikan rata-rata penduduk suatu negara tidak menjamin dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, setiap negara harus memeriksa ulang kurikulum pada setiap level pendidikan. Pendidikan secara langsung berpengaruh terhadap keberlanjutan dalam tiga bidang yaitu implementasi, pengambilan keputusan dan kualitas kehidupan. Pada bidang implementasi: tingkat keberlanjutan suatu negara meningkat atau menurun dipengaruhui oleh tingkat pendidikan. Negara dengan tingkat buta huruf tinggi dan tenaga kerja tidak punya keahlian memiliki sedikit pilihan untuk membangun. Pembangunan akan bergantung pada pengambilan sumberdaya alam, dan terpaksa membeli energi dan hasil manufaktur dari negara lain. Hal ini akan memacu eksploitasi sumberdaya alam. Pada bidang pengambilan keputusan, contohnya adalah masyarakat dengan pendidikan tinggi dapat mencari informasi sendiri dan memberikan masukan pada pengambil keputusan. Sedangkan pada kualitas kehidupan, pendidikan dapat meningkatkan status keluarga, memperbaiki kondisi kehidupan, memperbaiki tingkat pendidikan generasi selanjutnya. Karenanya memperbaiki pendidikan dapat berimplikasi pada individu dan nasional.

Faktor tingkat pendidikan nyata akan berpengaruh dalam kegiatan penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan didorongnya aspek pendidikan, maka kemampuan masyarakat untuk mengetahui informasi dampak perubahan penggunaan lahan akan lebih merata. RTRW yang disusun sebelum disahkan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

(33)

Masyarakat dalam Penataan Ruang. Bila skenario agak optimis terjadi maka akan berdampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan makin baik, kondisi ini dapat menekan tingkat “lapar lahan” sehingga alih fungsi lahan dapat ditekan. Meskipun kepadatan penduduk semakin tinggi, tetapi pertambahan penduduk yang diiringi dengan peningkatan kualitas penduduk dalam pendidikan dan pendapatan akan dapat mengendalikan eksploitasi lahan. Jadi faktor yang penting untuk didorong adalah tingkat pendidikan untuk diperbaiki dalam kualitas dan pengelolaannya. Faktor ini akan mempengaruhi keenam faktor kunci lainnya, sehingga akan mencapai penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan wilayah berkelanjutan.

Gambar

Tabel 19 Hasil analisis regresi logistik biner untuk nilai β dari penggunaan lahan
Tabel 20 Hasil analisis regresi logistik nilai Exp(β) dari penggunaan lahan
Tabel 21  Perhitungan WI
Gambar 26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung  (Hasil analisis)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Confidence , Sikap yakin dengan kemampuan sendiri dalam upaya hendak mengungkap suatu kasus yang  sedang  diinvestigasi,  sangatlah  membantu  semangat 

Kebiasaan dalam pengelolaan pembuatan kue rumahan di Desa Lampanah memiliki kebiasaan kurang baik, hal ini di sebabkan karena pengelolaan kue rumahan oleh

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

M enurut Sutarman (2003, p4), internet berasal dari kata interconnection networking yang mempunyai arti hubungan sebagai komputer dan berbagai tipe komputer yang merupakan

Uji coba kelompok besar merupakan uji eksperimen apakah produk multimedia interaktif hasil penelitian pengembangan ini dapat mengatasi kesulitan guru dan siswa dalam

Dan yang lebih penting lagi disebutkan bahwa dari dialah sumber ajaran agama Malim yang diturunkan kepada umat manusia melalui manusia yang terpilih yang disebut

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang