• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN POLRI DALAM TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA PELAKU KEJAHATAN BERDASARKAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN POLRI DALAM TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA PELAKU KEJAHATAN BERDASARKAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

76

KEWENANGAN POLRI DALAM TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA PELAKU KEJAHATAN BERDASARKAN PERSPEKTIF HAK

ASASI MANUSIA DAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

Oleh:

Dr. Adnan Murya, SH., MM. Aris Supomo, SH., MH.

Fakultas Hukum Universitas Wiralodra

The Crime is so flaret in every country, Indonesia did not escape also be a target for perpetators to act criminality and threatened so that people covered by fear and worry. The perpetrators always spread fear as if no deterrent in Indonesia, ranging from crime in their own country to an international network. Of the high incidence of crime that afflicts many countries that eventually made demands for regulations governing the eradication of any crime. For that police have the authority to take action against the firing place offenders if necessary. In performing its duties the police are confronted by difficult choices that complete its work thoroughly but constrained by the existence of human rights and the presumption of innocence.

A. Latar Belakang

Masalah penegakan hukum merupaka masalah yang tidak henti-hentinya dibicarakan, baik secara nasional dan internasional. Masalah ini akan selalu ada dan selalu patut dibicarakan, sepanjang kita masih mempercayai hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan masyarakat. Terlebih dalam era reformasi saat ini, masalah “penegakan hukum” sedang mendapat tantangan dan sorotan tajam.

Oleh karena itu, kepolisian makin dituntut dapat menangani masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat yakni mencegah adanya penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan masyarakat, memberikan pengertian pentingnya taat hukum kepada warga masyarakat, memelihara ketertiban dan keamanan warga masyarakat, mengawasi aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan segala sumber gangguan yang terindikasi mengancam kenyamanan dan keamanan di tengah masyarakat.

Kenyataan dalam realitas kinerja polisi sering melakukan brutalitas terhadap masyarakat dan merupakan kekerasan yang berlebihan, hingga ke tingkat yang lebih ekstrim, dan mencakup kekerasan yang digunakan polisi tidak mendukung fungsi polisi yang sah. Penyalahgunaan wewenang dapat didefinisikan sebagai segala

(2)

77

bentuk tindakan yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan motif, maksud atau rasa dendam yang cenderung untuk melukai, menghina, menginjak-injak martabat manusia, menunjukan perasaan merendahkan, dan/ atau melanggar hak-hak hukum seorang penduduk dalam pelaksanaan “pekerjaan polisi”.

Secara formal prosedur penggunaan senjata api dalam upaya membantu tugas kepolisian diperbolehkan. Namun, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan yang ada dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Kepolisian, seperti yang bersifat kondisional. Yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “tembak di tempat” terhadap para pelaku tindak pidana kategori residivis atau yang sadis dalam melakukan kejahatannya.

Dalam melakukan penangkapan para penyelidik dan penyidik memerlukan pedoman seta yang mendasari cara melakukan penangkapan, tidak hanya menggunakan surat perintah penangkapan. Tidak jarang dalam melakukan penangkapan banyak terjadi sikap yang tidak kooperatif yang ditunjukan oleh para terduga pelaku tindak pidana atau tersangka, hal ini yang menyebabkan aparat kepolisian berani mengambil tindakan tegas agar pelaku tidak bertindak anarkis maupun melawan pihak kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya. Tidak jarang pula terdapat oknum polisi yang melakukan “pekerjaan polisi” tersebut dengan sewenang-wenang.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Aturan Hukum Tentang Tembak Mati di Tempat Terhadap Pelaku Kejahatan?

2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Polisi Terhadap Tembak Mati Di Tempat pada Pelaku Kejahatan?

C. Pembahasan

a. Aturan Hukum Tentang Tembak Di Tempat

Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan kewenangan tembak di tempat serta sesuai dengan situasi dan kondisi kapan perintah tembak di tempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalam

(3)

78

pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan, dan asas kepentingan. Pada dasarnya tindakan tembak di tempat menjadi prioritas apabila posisi petugas terdesak dan pelaku mengancam keselamatan anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus mnenghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaaan karena kedua hak itu dijamin dengan undang-undang.

Serta perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan senjata api oleh anggota Polri dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat agar nantinya dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat itu tidak melanggar hukum. Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh Polri. Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri, hal ini yang sering disalahgunakan oleh oknum anggota kepolisian.

Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)

Pasal 48 KUHP yang berbunyi barang siapa melakukan perbuatan karena adanya daya paksa (Overmacht) tidak dipidana. Adanya daya paksa itulah yang menyebabkan anggota Kepolisian Republik Indonesia menggunakan kekuatan dengan senjata api. Dalam kaitan adanya upaya paksa yang dimaksudkan adalah upaya paksa yang bersifat paksaan lahir bathin serta paksaan rohani da jasmani karena ada pertentangan antara penegakan hukum dan peraturan hukum itu sendiri. Jonkers yang dikutip Soesilo membedakan daya paksa atas 3 macam, ialah:1

a. Daya paksa yang bersifat absolut yang dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakannya.

b. Daya paksa yang bersifat relatif yang mana daya paksa tersebut tidak mutlak dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk dapat memilih akan berbuat yang mana.

c. Daya paksa yang bersifat darurat dimana daya paksa ini terletak pada orang yang dipaksa melakukan peristiwa pidana yang dia pilih.

(4)

79

Dalam hal melakukan tembak mati di tempat pada proses penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia terdapat daya paksa yang bersifat darurat karena polisi melakukan tembak mati di tempat untuk menghindarkan jatuhnya korban baik dari pihak polisi maupun masyarkat.

Dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer), yang rumusannya menyebutkan barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Pembelaan terpaksa, berkaitan dengan prinsip pembelaan diri. Dalam pembelaan terpaksa inilah anggota Kepolisian Republik Indonesia menggunakan kekuatan dengan senjata api karena adanya perbuatan yang melanggar kepentingan hukum orang lain, namun perbuatan tersebut dibenarkan oleh hukum karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang, yakni: perbuatan tersebut dilakukan karena ada serangan atau ancaman serangan yang bersifat seketika, serangan atau ancaman serangan tersebut bersifat melawan hukum serangan tersebut ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik milik sendiri maupun orang lain. Dikatakan pembelaan terpaksa harus dipenuhi tiga macam syarat sebagai berikut:2

a. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela) dimana pembelaan tersebut amat perlu dan tidak ada jalan lain. b. Perbuatan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan

yang dalam pasal ini ialah badan, kehormatan dan barang sendiri maupun orang lain.

c. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyongkonyong atau pada ketika itu juga.

Penembakan mati dalam proses penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia ialah keadaan yang terpaksa karena tidak ada jalan lain dan dalam hal mempertahankan hak yang didahului dengan serangan. Dalam penjelasannya disebutkan, pembelaan terpaksa itu hanya bisa dilakukan berdasarkan prinsip keseimbangan, kalau yang diserang atau diancam masih bisa menghindar atau melarikan diri, janganlah polisi memaksakan diri untuk melakukan penembakan dengan dalih pembelaan terpaksa.

(5)

80

Dalam pasal 50 KUHP yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh di hukum, menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas melakukan perbuatan yang diatur undangundang akan tetapi dapat lebih luas lagi ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. Polisi yang menembak mati dalam proses penangkapan harus dilihat apakah seimbang apa tidak dalam hal penggunaan senjata api3. Serta dalam pasal 51 KUHP ayat (1) yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Ada syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat pertama, bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan dimana ada hubungan kepegawaian negeri, syarat kedua perintah diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah4.

b. Pemberlakuan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka

Tindakan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan suatu bentuk perintah dari atasan kepolisian terhadap anggotanya yang bertugas dilapangan untuk menangkap tersangka pidana, namun prosedur pelaksanaannya telah diatur secara jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Umumnya perintah ini dikeluarkan oleh atasan kepolisian untuk diberlakukan terhadap tersangka pidana yang telah melakukan kejahatan pidana berat berulang kali (residivis) dan terhadap tersangka yang membahayakan nyawa manusia saat penangkapannya oleh aparat kepolisian, dalam hal ini tindakan tembak ditempat itu diputuskan oleh aparat kepolisian yang berhadapan langsung dengan tersangka dilapangan5.

Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka setiap aparat kepolisian harus memperhatikan Prinsip-prinsip Dasar Penegakkan Hukum, dimana prinsip tersebut terdiri dari:6

a. Asas Legalitas

Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam hak

3 Ibid, hlm. 66. 4

Ibid, hlm. 67. 5

M.Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 16.

(6)

81

asasi manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, seorang polisi harus mengetahui perundangundangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakkan hukum.

b. Asas Nesesitas

Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan tersangka. Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan. Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan, hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan. Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka. c. Asas Proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas dalam penegakkan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dalam semua tindakan, terutama pada saat penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:

1. Tindakan tersangka dan penggunaan sasaran/peralatan (senjata api, pisau, dan lain-lain);

2. Keadaan yang mendesak menimbulkan risiko kematian (warga masyarakat, petugas kepolisian dan tersangka);

3. Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa atau keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana. 4. Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan terjadi,

petugas harus mampu menetukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan.

(7)

82

c. Berlakunya Asas Praduga Tidak Bersalah Terhadap Tersangka

Asas praduga tidak bersalah yang diberlakukan terhadap tersangka dalam suatu tindak pidana tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia (HAM). Asas praduga tidak bersalah erat kaitannya terhadap HAM dikarenakan asas ini merupakan salah satu asas yang memberikan perlindungan HAM atas seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana.

Mien Rukmini menyatakan bahwa antara negara hukum, HAM dan Sistem Peradilan Pidana memiliki hubungan yang relevan dan erat sekali dalam melaksanakan perlindungan HAM7. Negara Indonesia merupakan negara hukum dimana negara Indonesia selalu mengedepankan HAM dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana dapat terjadi pada tataran norma (undang-undang), namun lebih terlihat jelas pada tataran penegakannya, yakni pemeriksaan dalam semua tahapan sistem peradilan pidana. Dalam tahapan pemeriksaan, aparat penegak hukum berpotensi menggunakan kekuasaannya baik dalam bentuk ancaman fisik maupun psikis terhadap pelaku tindak pidana pada saat mulai pemanggilan, penentuan sebagai tersangka/ terdakwa, pemeriksaan yang berlarut-larut, penahanan yang tidak sah bahkan sampai pada rekayasa perkara. Rekayasa perkara merupakan pelanggaran HAM yang sangat kejam dalam proses penegakan hukum, yaitu dengan sengaja menciptakan seseorang sebagai pelaku tindak pidana8.

Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence dalam penegakan hukum pidana di Indonesia dinyatakan : “bahwa walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar, terlebih atas perbuatannya itu sebelum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku bersalah, sesuai asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, karena itu beban pembuktian merupakan kewajiban

7

O.C Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni, hlm. 29.

8

Ari Wibowo. 2012. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana

(8)

83

dari Penuntut Umum sebagai konsekuensi penerapan asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence”9.

Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence sesuai dengan Konvenan mendefenisikan bahwa selama terhadap seorang tersangka atau terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Hak-hak hukum yang dimaksud meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:10

a. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.

b. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.

c. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.

d. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.

e. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.

f. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.

g. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.

h. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Asas pokok yang menjadi pelindung terhadap tersangka / terdakwa adalah asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah merupakan asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu. Asas ini harus dipatuhi oleh penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Jaminan atas hak ini terdapat dalam Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman11.

9 Dikdik M. Arief Mansur. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan

Realita. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 20.

10 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1996 Pasal 14. 11 Op.Cit., Ari Wibowo, hlm. 45

(9)

84

Asas praduga tidak bersalah mengandung konsekuensi bahwa untuk dianggap bersalah oleh pengadilan, maka seseorang harus dipenuhi hak-haknya sebagai berikut:12

a. Hak atas peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak; b. Hak atas bantuan dari profesi hukum yang bebas.

Untuk menjamin agar proses peradilan tidak dilaksanakan secara sewenang-wenang, maka jalannya pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas publisitas atau keterbukaan merupakan asas yang sangat pokok untuk menjamin berjalannya proses peradilan yang independen, jujur dan tidak memihak13.

Asas praduga tidak bersalah atau Persumption of Innocence ini, jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Tersangka/ terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka kearah itulah pemeriksaan harus ditujukan14.

Konsekuensi logis dari asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan, dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan15.

d. Hubungan Antara Asas Praduga Tidak Bersalah Dengan Tembak Ditempat

Tindakan tembak ditempat merupakan suatu bagian dari diskresi kepolisian yang dijalankan oleh aparat kepolisian, khususnya unit reserse yang menjalankan fungsi sebagai penyelidik. Aparat kepolisian yang menjalankan fungsi ini lebih sering berhadapan langsung dengan tersangka pidana di

12 Ibid 13 Ibid

14 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset, hlm. 44. 15

(10)

85

lapangan dibandingkan dengan fungsi kepolisian lainnya16. Pada saat berhadapan langsung dengan tersangka, tidak menutup kemungkinan terjadinya perlawanan dari tersangka secara tiba-tiba. Dalam situasi seperti ini aparat kepolisian dituntut untuk segera mengambil tindakan guna mencegah tersangka melarikan diri ataupun melukai masyarakat sipil pada tempat kejadian ataupun membahayakan nyawa aparat kepolisian bersangkutan. Setiap aparat kepolisian harus dapat memutus sendiri jenis tindakan yang harus dia lakukan tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada atasannya. Seorang aparat kepolisian yang sedang melaksanakan tugasnya dituntut supaya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak agar tidak terdapat aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang salah17. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa aparat kepolisian unit reserse lebih rentan untuk menggunakan kewenangan tembak ditempat terhadap tersangka.

Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1981 dan peraturan perundangan lainnya. Unit Reserse berfungsi menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi Reserse Kepolisian dalam rangka penyidikan tindak pidana sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, koordinator PPNS, dan pengelolaan Pusat Informasi Kriminil (PIK)18.

Setiap menjalankan tugas dan fungsinya, aparat kepolisian bidang reserse ini diwajibkan untuk bertindak sesuai dengan asas-asas yang berlaku dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Asas yang utama harus dikedepankan oleh aparat kepolisian bidang reserse antara lain:19

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence)

Artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

2. Asas Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality before the law)

16 DPM. Sitompul. 1985. Hukum Kepoli sian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Bandung: Tarsito, hlm. 103.

17 Ibid 18

Surat Keputusan Kapolri NoPol: SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, hlm. 134

(11)

86

Asas ini memberikan jaminan bahwa setiap orang diperlakukan sama di muka hukum tanpa membedakan ras, agama, kedudukan susila, dan kelamin. Polri dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat tidak boleh memberikan pelayanan yang berbeda-beda.

3. Asas Hak Pemberian Bantuan / Penasehat Hukum (Legal aid / assistance) Artinya setiap orang yang tersangkut tindak pidana wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan/ atau penahanan.

Dapat dilihat bahwa asas praduga tidak bersalah memiliki keterkaitan dalam setiap tindakan aparat kepolisian khususnya fungsi reserse yang bertugas menjalankan penyelidikan. Pada dasarnya asas praduga tidak bersalah harus diberlakukan kepada setiap tersangka yang diduga melakukan tindak kejahatan. Sampai ada putusan pengadilan yang memvonis seseorang bersalah. Tetapi untuk situasi tertentu ketika berhadapan dengan tersangka tindak kejahatan polisi diperbolehkan melakukan tembak ditempat dengan mengacu pada resolusi PBB No 34/168 tentang prinsip penggunaan senjata bagi aparat penegak hukum yaitu antara lain:

a. prinsip legalitas artinya semua tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku,

b. prinsip Nesesitas adalah sebuah keadaan yang mengharuskan untuk melakukan suatu tindakan atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindari atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang, dan

c. prinsip proporsionalitas yaitu penggunaan senjata api sesuai dengan, dan berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas. Adapun prosedur teknis dimana harus ada tembakan peringatan sebanyak 3 kali yang diarahkan keatas kemudian jika tersangka melawan atau melarikan diri maka di tembak dengan tujuan untuk melumpuhkan tidak mematikan.

Apabila prinsip dan pro sedur tesebut tidak dilakukan maka akan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan penggunaan kekuatan yang berlebihan sehingga sebagai bagian dari pelanggaran HAM.

Pada dasarnya setiap orang yang menjadi tersangka memiliki hak untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan orang tersebut bersalah atau tidak, namun dalam hal pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka sesungguhnya pemberlakuan praduga tak bersalah terhadap

(12)

87

tersangka juga bukan hak yang bersifat absolute. Hal ini dapat dibuktikan bila petugas Kepolisian (Penyidik) dalam melakukan penyidikan telah menemukan cukup bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa tersangka melakukan suatu tindak pidana, dengan adanya laporan kepada Polisi, adanya keterangan saksi, serta adanya barang bukti yang didapat sesuai dengan Pasal 17 KUHAP.

Asas praduga tidak bersalah memang harus dikedepankan oleh aparat kepolisian dalam melakukan tugasnya dalam hal menangkap tersangka tindak pidana. Namun adakalanya juga asas praduga itu ditiadakan bagi tersangka pelaku tindak pidana. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf a menyatakan:

“bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia huruf b menyatakan:

“bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolsian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM)”.

Kepolisian Republik Indonesia merupakan aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional yang digariskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Negara dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat demi terciptanya tatanan kehidupan yang aman dan tentram diberikan juga peran atau kekuasaan untuk menangani aksi kriminal atau general policing authority in criminal mater di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia20. Di dalam melaksanakan kekuasaan/kewenangan tersebut, Kepolisian Republik Indonesia berperan melakukan kontrol kriminal atau crime control dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan atau investigasi,

20 M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP: Penyidikan dan

(13)

88

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan serta melakukan pelayanan sipil atau civil service harus tunduk dan taat kepada prinsip the right of due process dimana setiap tersangka/terdakwa berhak diselidiki dan disidik atas landasan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang telah digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)21.

e. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Prosedur

Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Aparat kepolisian tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang menurut peraturan yang berlaku, untuk mengetahui letak kesalahan aparat kepolisian tersebut sehingga hukuman yang dijatuhkan atas aparat kepolisian tersebut merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Ayat (1):

“Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.”

ayat (2):

Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah:

a. Atasan yang berhak menghukum (Ankum), b. Atasan langsung,

c. Atasan tidak langsung,

d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum.

Proses disipliner Kepolisian melahirkan suatu tindakan administratif serius yang memiliki pengaruh penting terhadap keamanan dan karir seorang petugas. Dikarenakan luasnya pengaruh tindakan disipliner, proses dan hasilnya menjadi sasaran penyelidikan yang cermat. Jika Kepolisian salah menjatuhkan tindakan disipliner terhadap aparat kepolisian, kepercayaan masyarakat sipil akan instansi Kepolisian akan berkurang bahkan tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap

(14)

89

hukum dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu penting bagi instansi Kepolisian untuk memiliki sistem disipliner yang dirancang dengan baik, obyektif, adil, dan disusun dengan cermat dan dinyatakan jelas dalam kebijakan dan prosedur formal22.

Jika setelah melalui pemeriksaan suatu pengaduan diterima, maka kelompok atau individu yang ditugaskan akan menilai sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Sanksi disipliner biasanya bergantung pada keseriusan dan situasi sekitar pelanggaran peraturan tersebut, faktor-faktor yang mengganggu dan merugikan, dan sejarah pribadi aparat kepolisian. Sanksi yang mungkin dijatuhkan mencakup pemecatan, penurunan pangkat, skors dari tugas, penempatan dalam masa percobaan, pemindahan tugas, pelatihan, peringatan, atau bimbingan dan pengawasan23.

1. Pemecatan

Pemecatan adalah pemutusan total dari dinas Kepolisian termasuk gaji, keuntungan dan tanggung jawab timbale balik antara petugas dan Kepolisian. Ini merupakan keputusan yang terberat dalam proses pemeriksaan administratif dan dalam pemeriksaan selanjutnya. Meskipun demikian, terkadang tindakan ini merupakan satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus serius tertentu.

2. Penurunan pangkat

Penurunan pangkat adalah penurunan dari posisi organisasi yang diakui secara formal yang menentukan wewenang terhadap anggota organisasi lainnya. Sebagai hukuman, penurunan pangkat merupakan sanksi serius, karena mengakibatkan berkurangnya penghasilan, turunnya status, dan pertanggungjawaban dalam perkembangan karir.

3. Hukuman Skors

Hukuman Skors adalah hukuman apabila seorang aparat kepolisian dibebaskan dari tugas tanpa gaji untuk periode waktu tertentu yang biasanya tidak lebih dari empat minggu. Selama masa skors petugas tidak memiliki wewenang sebagai petugas polisi dan dalam banyak yuridiksi bahkan tidak ddapat bekerja dalam suatu pekerjaan “di luar tugas” yang mungkin membutuhkan wewenang polisi. Sementara si petugas tidak memiliki wewenang atau gaji, biasanya tunjangan personil masih diberikan.

22 Ibid, hlm. 523. 23 Ibid, hlm. 542.

(15)

90 4. Hukuman Percobaan

Hukuman percobaan adalah hukuman dimana petugas tetap bertugas, menerima gaji dan tunjangan, tetapi statusnya berubah karena dugaan penyelewengan yang kemudian diterima mungkin, akan mengakibatkan dijatuhkannya hukuman skors atau pemecatan. Hukuman ini paling sering diberikan kepada petugas yang sudah mengikuti rehabilitasi pecandu alcohol, petugas yang terlalu sering mangkir dari kerja, aparat kepolisian yang banyak terkena pengaduan ringan (tidak professional ataupun tidak ramah) dan keadaankeadaan lain yang serupa.

5. Pemindahan tugas

Biasanya sanksi pemindahan tugas dijatuhkan dalam kasus dimana seorang aparat kepolisian terlibat dalam penyelewengan yang berhubungan dengan penguasaannya yang sekarang. Pemindahan tugas dapat berupa penarikan seorang aparat kepolisian keluar dari posisi dari fungsi yang dijalankannya ke fungsi lain, ataupun pemindahan lokasi tugas dari suatu kota ke kota lain.

6. Pelatihan

Jika pelanggaran peraturan atau prosedur yang dilakukan seorang aparat kepolisian merupakan akibat dari penyalahgunaan jabatan, maka dijatuhkan sanksi pelatihan tambahan tentang subjek masalah yang berhubungan dengan penyelewengan tersebut. Dalam hal ini instansi Kepolisian harus menanggung sebagian tanggung jawabdan memberikan serangkaian tindakan perbaikan.

7. Peringatan

Suatu peringatan adalah hukuman ketika seorang petugas secara resmi mendapat peringatan karena perilakunya. Peringatan tersebut dalam bentuk tertulis, biasanya dari seorang komandan (kepala unit), dan salinan tersebut dimasukkan dalam arsip personalia aparat kepolisian yang mendapat peringatan tersebut. Surat peringatan ini akan dijadikan pertimbangan dalam evaluasi kenaikan pangkat dan juga keputusan hukuman untuk kejadian penyelewengan di masa datang.

8. Bimbingan dan Pengawasan

Sanksi berupa dialog dengan aparat kepolisian berkenaan dengan masalah yang biasanya berhubungan dengan faktor-faktor penampilan dan prosedur. Bimbingan dan pengawasan bukan merupakan bagian dari catatan

(16)

91

personalia resmi pegawai, meskipun begitu, pengawas harus membuat catatan sebagai referensi yang mungkin penting dalam masalah disipliner di masa datang. Meskipun demikian, sanksi ini merupakan sanksi disipliner yang sering digunakan. Bimbingan dan pengawasan adalah apa yang oleh orang sering didengar sebagai teguran lisan.

Aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur dapat diberikan sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas tugas yang diembannya. Pasal pidana yang dapat dikenakan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai prosedur ialah pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa, antara lain:

Pasal 338 KUHP

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

Pasal 359 KUHP

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Pasal 360 KUHP

Ayat (1):

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Ayat (2):

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 KUHP, bagi seorang pegawai negeri yang melanggar kewajibannya dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, maka hukumannya ditambah sepertiga

(17)

92

dari hukuman pokok. Ketentuan ini tentu berlaku bagi seorang aparat kepolisian Indonesia karena polisi merupakan bagian dari pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 92 KUHP.

Dapat dilihat bahwa setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya. Sehingga dengan demikian hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang untuk memutuskan memberikan sanksi administratif atau tindakan disiplin yang bagaimana bterhadap aparat kepolisian tersebut, atau memberikan sanksi administratif disertai sanksi pidana.

D. Penutup

Aturan mengenai tembak ditempat pada pelaku kejahatan secara hukum dapat dilihat dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981; Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian; dan Pasal 47 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia.

Anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam proses penangkapan yang menyebabkan kematian dengan melakukan penembakan kepada tersangka yang dilakukan sesuai dengan prosedur penangkapan sesuai Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981; prosedur tembak mati dalam penangkapan sesuai Pasal 5 dan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena adanya alasan pembenar. Akan tetapi, dalam proses penangkapan yang menyebabkan

(18)

93

kematian dengan melakukan penembakan kepada tersangka yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dapat diminta pertanggungjawabanya sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Daftar Pustaka

Ari Wibowo. 2012. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia untuk Anggota POLRI (2006). Dikdik M. Arief Mansur. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

antara Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo Persada. DPM. Sitompul. 1985. Hukum Kepoli sian di Indonesia (Suatu Bunga

Rampai). Bandung: Tarsito.

Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1996 Pasal 14

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

M.Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: PradnyaParamita.

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika O.C Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka,

Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 2007.

Surat Keputusan Kapolri NoPol: SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menganalisis ketersediaan suplai sistem transmisi Bali dengan kondisi N-1 dengan meramalkan beban puncak, tetapi bukan hanya dengan satu metode tersebut dapat

Demikian Berita Acara Pembukaan (download) Penawaran File I ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Desfa

(6) Kendaraan yang diparkir di Badan Jalan yang tidak termasuk tempat parkir umum dan tempat parkir khusus pada malam hari atau dalam waktu diluar jam parkir yang

TONGAT (belum tertangkap) dan dirumah tersebut Terdakwa bersama dengan teman-temannya tersebut sudah mempersiapkan rencana untuk menjambret dengan membawa pisau dan

Kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang relasi desain produk dengan engineering serta beberapa detail mekanisme serta contoh produk yang

Setelah proses pembelajaran, peserta didik, dapat menyebutkan minimal 3 alat yang diperlukan dalam membuat kerajinan dari bahan alam dengan tehnik pilin 2.. Setelah

Suatu cara dan ketentuan untuk mengatur, mengusun, meramu (menyampur) dengan dasar kaidah- kaidah yang ada, hingga mewujudkan, suasana tatanan yang harmonis, kaidah-kaidah

Dalam hal ini, kegiatan selama proses pembelajaran yang tidak terlaksana pada siklus I akan dilaksanakan berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang