• Tidak ada hasil yang ditemukan

UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UnizarLawReview Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

UnizarLawReview

Volume 3 Issue 2, Desember 2020 E-ISSN: 2620-3839

Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index

Perlindungan Hukum TerHadaP konsumen dalam

krediT online

LEGAL PROTECTION OF CONSUMERS IN ONLINE CREDIT

ahmad Zuhairi

Universitas Mataram, NTB Email : ahamdazuhairi@unram.ac.id

khairus Febryan Fitrahady

Universitas Mataram, NTB Email: khairusfebryan@unram.ac.id saleh Universitas Mataram, NTB email : salehfh@unram.ac.id abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum terhadap konsumen dalam kredit online. Jenis Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam kredit online secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun karena perkembangan bisnis kredit pembiayaan secara online yang sering menimbulkan masalah bagi masyarakat baik dari segi perizinan, pengawasan dan perlindungan terhadap data pribadi nasabah yang sering disalahgunakan oleh perusahaan pemberi kredit. Belum adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang pengawasan oleh OJK terhadap kredit online. Peraturan khusus tentang itu hanya diatur dalam POJK tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, dan Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Konsumen, Kredit Online

abstract

The purpose of this research is to study and analyze legal protection for consumers in online credit. This type of research is a normative legal research method, using a statutory approach and a conceptual approach. Based on the results of legal protection provided to consumers in online credit, it is regulated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. However, due to the development of the online financing credit business, which often creates problems for the community, both in terms of licensing, supervision and protection of customer personal data which is often misused by credit companies. There is no law that specifically addresses online supervision by the Financial Services Authority. Specific regulations regarding that are only regulated in the Financial Services Authority Regulation concerning Digital Financial Innovation in the Financial Services Sector, and Regarding Information Technology-Based Lending and Borrowing Services.

(2)

A. PendAhuluAn

Perkembangan dunia usaha di Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam hal penawaran produk barang dan/atau jasa. Saat ini penawaran dan transaksi perdagangan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak memerlukan interaksi langsung pada tempat dimana pelaku usaha tersebut mendirikan usahanya. Salah satunya kegiatan/ aktifitas penawaran jasa kredit melalui aplikasi onlie dimana konsumen tidak perlu lagi datang kepada lembaga pembiayaan atau lembaga perbankan untuk mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumen hanya tinggal menginstal aplikasi kredit online dan mengajukan sejumlah pinjaman hanya dengan mengupload identitas menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja dan nomor rekening, beberapa saat kemudian uang pinjaman akan masuk ke rekening konsumen.

Namun dalam beberapa waktu terakhir, kegiatan peminjaman dengan menggunakan aplikasi online tersebut menimbulkan masalah baru, seperti misalkan dalam pemberitaan pada media online BBC News pada tanggal 9 November 2018 dimana beberapa kasus terjadi ketika konsumen terlambat untuk membayar, data diri terhadap nasabah disebarluaskan melalui media sosial maupun media lainnya.1 dan pada media online krjogja.com pad tanggal 20 februari 2019

menyebutkan korban pinjaman online semakin banyak terjadi ketika foto-foto diri konsumen disebarkan oleh penyedia jasa layanan kredit online.2Oleh karena itu menarik untuk dibahas

bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam aktifitas kredit online.

B. meTode PeneliTian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konspetual dan pendekatan kasus.

C. PemBaHasan

1. aspek Hukum dalam kredit

Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat tercapai. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa:Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut R. Setiawan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan

1https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-46107193 diakses tanggal 9 November 2019.

2https://krjogja.com/web/news/read/73795/Korban_Pinjol_Berjatuhan_Waspadai_Kredit_Online dikases 20

(3)

dipergunakannya kata perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum, beliau memberikan definisi sebagai berikut:3

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Sehingga menurut beliau perumusan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih.

Menurut Rutten dan Purwahid Patrik, rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata mengandung beberapa kelemahan,adapun tersebut dapat diperinci sebagai berikut:4

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

Disini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tetapi tidak dari kedua belah pihak.

Sedangkan maksud perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya, setidaknya perlu ada rumusan “saling mengikatkan diri”. Dengan penambahan rumusan tersebut akan nampak jelas adanya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

a. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga:

1) Mengurus kepentingan orang lain 2) Perbuatan melawan hukum

Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak mengandung kesepakatan atau tanpa kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan perbuatan hukum.

Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam definisi ini telah tampak adanya asas konsesualisme dan timbulnya akibat hukum, kemudian menurut Van Dunne, perjanjian diartikan sebagai salah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.5

Jadi perjanjian bukanlah semata-mata perjanjian, tetapi harus dilihat perbuatan sebelumnya atau perbuatan yang mendahuluinya, perbuatan tersebut antara lain:

1) Tahap sebelum perjanjian, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2) Tahap perjanjian, yaitu adanya penyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, atau tahap pelaksanaan perjanjian

3R. Setiawan.(1994). Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta, hlm. 49.

4Purwahid Patrik.(1994). Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-undang).

Bandung: Mandar Maju, hlm. 46

(4)

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu Perjanjian para pihak harus memenuhi persyaratan di bawah ini:

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kedua subyek megadakan perjanjian, harus bersepakat megenai hal-hal pokok yang ada dalam perjanjian yang diadakan. Sepakat mengandung arti, bahwa apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Menurut Sudikno Mertokusumo ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis b. Bahasa yang sempurna secara lisan

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan

e. Diam atau membisu, tetapi asal dapat dipahami atau diterima oleh pihak lawan.6

Pada dasarnya cara yang paling sering dilakukan oleh para pihak adalah dengan menggunakan bahasa yang sempurna baik secara lisan maupun tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari.

(2) Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalaah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Seorang telah dewasa, sehat jasmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum, sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

1. orang yang belum dewasa

2. orang yang ditaruh dalam pengampuan (3) Suatu hal tertentu

Suatu hal atau obyek/prestasi tertentu artinya dalam membuat perjanjian apa yang diperjanjikan harus jelas, sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.

(4) Suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal, tetapi hanya disebutkan sebab yang terlarang yaitu pada Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian adalah sah bila tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.7

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 19458. Hal tersebut selaras dengan arah kebijakan pembangunan

di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang

6Ibid., hlm. 33

7Puwahid Patrik.(1986). Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, hlm. 3. 8Penjelasan Umum Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

(5)

mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional9. Kegiatan pembangunan di bidang ekonomi tentu membutuhkan

penyediaan modal yang cukup besar, karena merupakan salah satu faktor penentu dalam pelaksanaan pembangunan.

Bagi masyarakat, perorangan atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan komsumtif atau produktif sangat membutuhkan pendanaan dari bank sebagai salah satu sumber dana yang di antaranya dalam bentuk perkreditan, agar mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya10. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan

dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat agar dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan sebagai upaya mengantisipasi timbulnya resiko bagi kreditur pada masa yang akan datang. Untuk usaha tersebut dapat mengunakan jasa perbankan11.

Penyaluran dana pinjaman (kredit) dilakukan oleh pihak bank selaku lembaga perantara keuangan kepada masyarakat yang membutuhkan modal, selalu dituangkan dalam suatu perjanjian sebagai landasan hubungan hukum di antara para pihak (kreditor dan debitor). Adanya perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut, maka mutlak diperlukan solusi hukum bagi adanya lembaga jaminan agar memberikan kepastian bagi pengembalian pinjaman tersebut. Keberadaan lembaga jaminan amat diperlukan karena dapat memberikan kepastian, dan perlindungan hukum bagi penyedia dana/kredit (kreditor) dan penerima pinjaman atau debitor12. Solusi hukum yang dimaksudkan di sini adalah prosedur mengenai pelaksanaan

pemenuhan prestasi apabila debitor wanprestasi. Memang saat ini ada banyak alternatif tentang eksekusi (pelaksanaan) terhadap obyek jaminan manakala debitor wanprestasi, namun tentunya eksekusi mana yang paling mudah prosedurnya untuk mempercepat pelunasan piutangnya sehingga bisa mendukung pembangunan ekonomi nasional13.

2. kredit online dan Financial Technology

Industri jasa keuangan mengalami inovasi yang sangat singnifikan sejalan dengan berkembang pesatnya teknologi digital saat ini. Inovasi jasa keuangan yang telah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan sedang menjadi perbincangan hangat saat ini adalah financial technology (fintech). Menurut Financial Stability Board (FSB), fintech adalah suatu bentuk inovasi finansial berbasis teknologi yang dapat dapat menghasilkan model bisnis, aplikasi, proses atau produk baru dengan efek material terkait pada pasar keuangan, institusi,

9Propenas 2000-2004, UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Sinar Grafika,

2001, hal. 21.

10Herowati Poesoko.(2012). Dinamika Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan. Yogyakarta: Aswaja Pressindo,

hlm. 1.

11Ibid.

12Sony Harsono, Sambutan MenteriAgraria/Kepala BPNpada Seminar Hak Tanggungan alas Tanah dan Benda-Benda

yang Berkaitan dengan Tanah, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1996, dalam buku Herowati Poesoko, Ibid

(6)

dan penyedia layanan keuangan. Sedangkan menurut The National Digital Research Centre (NDRC), fintech merupakan innovation in financial services (inovasi pada sektor finansial).

Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya fintech adalah a fusion between technology and financial services. Penggunaan handpone sebagai layanan mobile bankingdan investasi bisa dijadikan sebagai contoh perpaduan teknologi dengan sistem keuangan guna memberikan layanan keuangan yang lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, fintech bertujuan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga meningkatkan literasi keuangan.

Industri fintech saat ini berkembang dengan pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyak berdirinya startupdi bidang fintech. Fintechmenawarkan berbagai jenis jasa keuangan, antara lain seperti peer to peer (P2P), lending (peminjaman), crowd funding, payment gateway (alat pembayaran), dan manajemen investasi.Dari beberapa jenis usaha tersebut, layanan P2P landing dan sistem pembayaranyang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Di Indonesia sendiri, fintech juga telah berkembang, meskipun masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain seperti China, Hong Kong dan India. Saat ini, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh perusahaan konsultan manajemen bisnis McKinsey & Company dalam laporan terbarunya berjudul Digital Banking in Indonesia: Building Loyalty and Generating Growth, tingkat penetrasi penggunaan layanan keuangan melalui fintech di Indonesia masih sekitar 5%. Angka tersebut tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara China dengan presentasi 67%, Hong Kong 57% dan India 39%. Meskipun demikian, fintech di Indonesia tetap mempunyai potensi besar untuk lebih berkembang ke depannya, karena berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2017, pertumbuhan digitalisasi di Indonesia menjadi salah yang tercepat di dunia, bahkan mengalahkan China dan Brazil.14

Menurut data dari OJK, sampai bulan Januari 2019, penyaluran pinjaman fintech mencapai Rp25,92 triliun. Jumlah penyaluran tersebut naik 14,36% dari awal tahun 2018 yang tercatat senilai Rp22,67 triliun. Angka ini masih tergolong kecil, karena berdasarkan penelitian OJK pada tahun 2016, terdapat kesenjangan pendanaan di Indonesia sebesar Rp. 989 triliun per tahunnya. Kesenjangan tersebut disebabkan kebutuhan pendanaan sebesar Rp1.649 triliun tak mampu dipenuhi oleh lembaga keuangan yang hanya memiliki total aliran dana Rp. 660 triliun. Oleh karena itu, industri fintech di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang lagi ke depannya mengingat masih banyaknya kebutuhan pendanaan yang diperlukan oleh masyarakat belum terpenuhi. Sampai saat ini, berdasarkan data statistik OJK per tanggal 1 Februari 2019, terdapat 99 perusahaan fintech lending yang telah terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan 54 fintech sistem pembayaran yang terdaftar di Bank Indonesia (BI). Masih terdapat beberapa perusahaan lagi yang masih dalam proses perizinan sehingga Jumlah perusahaan fintech ini juga akan terus bertambah Sistem pinjaman pada Aplikasi pinjaman online dilaksanakan dengan sistem “peer to peer lending”, yaitu

(7)

penyelengaraan perjanjian pinjam-meminjam yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman melalui jaringan internet. Kehadiran sistem peer to peer lending di Indonesia tentunya dapat memberi dampak yang positif, yaitu beberapa penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah terpencil atau pelosok-pelosok daerah dapat dengan mudah melaksanakan proses pinjam-meminjam uang. Dalam pinjaman online ini, pelaksanaan pemberian kredit dapat dilaksanakan dengan cepat. Selain itu, pemberian pinjaman dapat diberikan tanpa Agunan, lain halnya dengan bank yang secara yuridis meyatakan bahwa KTA tidak mungkin terjadi, dan walaupun bank memberikan kredit tanpa agunan khusus, hal itu bukan berati bahwa pemberian kredit tersebut tanpa disertai agunan sama sekali.15

Financial technology atau bisa juga disingkat dengan sebutan finance technology merupakan pemanfaatan teknologi untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dalam keuangan ataupun perbankan.16Layanan ini tentunya akan memudahkan konsumen, sehingga akan semakin

berkembang, dan akhirnya menghasilkan industri tersendiri yang produknya bekerja sama dengan komoditas berbagai lembaga keuangan konvensional. Meskipun ada pula produk dari industri finance technology yang bekerja sama dengan produk dari lembaga keuangan konvensional seperti perusahaan perbankan, investasi, dan perasuransian.

Finance technology adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.17 Finance technology merujuk pada penggunaan perangkat lunak dan

platform digital untuk memberikan pelayanan atau layanan finansial pada konsumen. Finance technology memiliki potensi yang tidak berbatas. Sebagai alat dan teknologi baru yang sedang berkembang, serta sebagai tantangan yang dihadapi oleh model bisnis lama, layanan atau pelayanan keuangan model ini dapat disertai dengan kecepatan, reliabilitas, dan efisiensi lebih.

Negara Indonesia mengatur finance technology melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Finance technology merupakan salah satu instrumen keuangan inklusif yang dapat membuka kesempatan ekonomi dan memerluas akses masyarakat, terutama warga miskin, pada layanan keuangan yang merupakan produk finance technology.

Selain dasar hukum di atas, terdapat dara hukum lainnya yang digunakan sebagai acuan beroperasinya financial technology, yakni:

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/Pbi/2017 Tentang Penyelenggaraan finance technology.

2. Fatwa No:117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

15Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman.(2012). Hukum Perbankan. Jakarta: cet. II, Sinar Grafika, hlm. 286. 16Anonim, Finansialku, diakses melalui https://www.finansialku.com, pada tanggal 29 Nopember 2018

17Normand Edwin Elnizar, Aspek Hukum Finance technology di Indonesia yang Wajib Diketahui Lawyer diakses melalui

(8)

3. Peraturan OJK No. 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Aturan ini merupakan ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri financial technology.

Pokok-pokok pengaturan Inovasi Keuangan Digital (IKD) antara lain:18

1) Mekanisme Pencatatan dan Pendaftaran Fintech

Setiap penyelenggara IKD baik perusahaan Startup maupun Lembaga Jasa Keuangan (LJK) akan melalui 3 tahap proses sebelum mengajukan permohonan perizinan:

a) Pencatatan kepada OJK untuk perusahaan Startup/non-LJK. Permohonan pencatatan secara otomatis termasuk permohonan pengujian Regulatory Sandbox. Sedangkan untuk LJK, permohonan Sandbox diajukan kepada pengawas masing-masing bidang (Perbankan, Pasar Modal, IKNB).

b) Proses Regulatory Sandbox berjangka waktu paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang selama 6 bulan bila diperlukan.

c) Pendaftaran/perizinan kepada OJK.

2) mekanisme Pemantauan dan Pengawasan Fintech

OJK akan menetapkan Penyelenggara IKD yang wajib mengikuti proses Regulatory Sandbox. Hasil uji coba Regulatory Sandbox ditetapkan dengan status:

a) Direkomendasikan. b) Perbaikan.

c) Tidak direkomendasikan.

Penyelenggara IKD yang sudah menjalani Regulatory Sandbox dan berstatus direkomendasikan dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. Untuk pelaksanaan pemantauan dan pengawasan, penyelenggara IKD diwajibkan untuk melakukan pengawasan secara mandiri dengan menyusun laporan self assessment yang sedikitnya memuat aspek tata kelola dan mitigasi risiko. Penyelenggara IKD dilarang mencantumkan nama dan/ atau logo OJK namun dapat mencantumkan nomor tanda tercatat/terdaftar. Dalam jangka menengah, OJK dapat menunjuk pihak lain (Asosiasi Penyelenggara IKD yang diakui oleh OJK) yang bertugas dalam pengawasan IKD.

3) Pembentukan Ekosistem Fintech

Untuk memelihara ekosistem keuangan, Lembaga Jasa Keuangan yang telah memperoleh izin atau terdaftar di OJK dilarang bekerja sama dengan Penyelenggara IKD yang belum tercatat di OJK atau terdaftar di otoritas lain yang berwenang guna memelihara ekosistem keuangan.

4) membangun Budaya inovasi

OJK menginisiasi pembentukan Pusat Inovasi Keuangan Digital (Fintech Center) dan ekosistem IKD yang bertujuan sebagai sarana komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antara otoritas terkait dan pelaku IKD serta wadah Inovasi dan Pengembangan IKD.

18CNBS Indonesia, Indonesia Kini Punya Payung Hukum Aturan Fintech, 1 September 2018,

(9)

5) inklusi dan literasi

Penyelenggara IKD wajib melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan kepada masyarakat.

6) Bisnis dan Perlindungan data

Penyelenggara IKD wajib menyediakan pusat pelayanan konsumen berbasis teknologi sebagai bentuk penerapan edukasi dan perlindungan konsumen beserta usahanya.

7) manajemen risiko yang efektif

Penyelenggara IKD wajib menerapkan prinsip pemantauan secara mandiri, menginventarisasi risiko utama, menyusun laporan risk self assessment secara bulanan, dan memiliki perangkat yang dapat meningkatkan efisiensi dan kepatuhan atas proses pemantauan yang dilakukan oleh OJK.

8) kolaborasi

Dengan dibentuknya Fintech Center maka dapat membantu berjalannya proses Regulatory Sandbox sebagai langkah inkubasi model bisnis yang inklusif dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta meningkatkan sinergi antar industri, pemerintah, akademisi dan innovation hub lain.

9) Perlindungan konsumen

Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan konsumen yaitu (a) transparansi, (b) perlakuan yang adil, (c) keandalan, (d) kerahasiaan dan keamanan data/ informasi konsumen, dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

10) Transparansi

Penyelenggara IKD wajib menerapkan prinsip pengawasan berbasis disiplin pasar, risiko dan teknologi terhadap inovasinya antara lain harus memperhatikan transparansi produk dan layanan, pasar yang kompetitif dan inklusif, kesesuaian dengan kebutuhan konsumen, penanganan mekanisme keluhan yang segera, dan aspek keamanan dan kerahasiaan data konsumen dan transaksi.

11) anti-Pencucian uang dan Pendanaan Terorisme

Penyelenggara IKD juga wajib menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan terhadap konsumen sesuai ketentuan Peraturan OJK di bidang AML-CFT (Anti Money Laundering and Counter-Financing of Terrorism). Sebelumnya OJK telah mengeluarkan peraturan mengenai fintech peer to peer lending melalui POJK 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Mengenai perlindungan data pribadi dalam layanan pinjaman online, Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut telah mengatur mengenai perlindungan data pribadi peminjam dalam rangka menggunakan layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi. Pasal 26 huruf a POJK ini menyatakan bahwa penyelenggara

(10)

wajib “menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan.” Hal ini berarti pihak pemberi pinjaman memiliki kewajiban untuk merahasiakan data pribadi peminjam dimulai dari proses perjanjian pinjam-meminjam dibuat hingga selesainya perjanjian tersebut. Kewajiban tersebut harus dilaksakan guna tercapainya perlindungan terhadap data pribadi peminjam.

Selanjutnya, Pasal 26 huruf c POJK ini menyatakan bahwa penyelenggara wajib “menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi... yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa, tanpa persetujuan dari pemilik data pribadi (peminjam), maka pihak pemberi pinjaman tidak dapat menggunakan data pribadi tersebut untuk kegiatan apapun, kecuali dengan persetujuan pemilik atau ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara pinjaman online juga dilarang untuk memberikan atau menyebarluaskan data atau informasi mengenai pengguna kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari pengguna atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah menjamin adanya kepastian hukum mengenai perlindungan terhadap data pribadi. Perlindungan tersebut berupa pemberian hak kepada peminjam untuk dilindungi data pribadinya dalam penyelenggaraan pinjaman online. Apabila hak yang dimiliki tersebut dilanggar, maka peminjam dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui upaya hukum, yaitu upaya hukum yudisial (di luar peradilan) dan upaya hukum yudisial (peradilan). Upaya hukum non-yudisial dapat dilakukan dengan cara pengaduan kepada pengawas dibidang jasa keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kemudian OJK akan memberikan peringatan atau teguran kepada penyelenggara. Sedangkan, upaya hukum yudisial bersifat represif artinya telah memasuki proses penegakan hukum. Upaya hukum ini diajukan setelah pelanggaran terjadi dengan maksud untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan. Upaya hukum ini dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pengajuan gugatan ke pengadilan tidak hanya untuk menggugat penyelenggara pinjaman online yang telah menyebarluaskan data pribadi peminjam, tetapi juga kepada pihak ketiga dan pihak yang tidak memiliki hubungan hukum dengan pemilik data pribadi yang telah menyalahgunakan data pribadi tersebut. Dengan diberikannya hak tersebut, maka telah adanya kepastian hukum berupa perlindungan hukum terhadap data pribadi peminjam dalam penggunaan layanan aplikasi pinjaman online. Perlindungan hukum yang dimaksud yaitu perlindungan terhadap kerahasiaan data pribadi peminjam agar data pribadinya tidak disebarluaskan atau agar tetap dijaga kerahasiannya oleh pihak penyelenggara pinjaman online, serta berhak untuk mengajukan upaya hukum apabila data pribadinya disebarluaskan tanpa persetujuan.

(11)

Financial technology merupakan perkembangan baru yang dalam dunia keuangan karena seiring dengan perkmbangan teknologi informasi. Sehingga tadinya yang bisa memberikan pinjaman kepada masyarakat adalah bank dengan segala administrasinya. Namun seiring perkembangan teknologi, Hampir semua aspek kehidupan manusia saat ini ditransformasikan melalui digital systems. Salah satu aspek yang cukup krusial di bidang ekonomi adalah transaksi yang berkaitan dengan keuangan. Hal ini mencakup mulai dari aspek pemasaran, transaksi perdagangan atau bisnis online hingga lembaga pembiayaan online atau yang dikenal dengan kredit online atau peer to peer lending. Hampir semua aktifitas tersebut berlangsung dalam bentuk digital. Di satu sisi, sistem keuangan digital (digital finance system) ini menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam mengoptimalkan potensi ekonomi, namun disisi lain tidak dapat dipungkiri, masih banyak persoalan hukum yang harus dibenahi, khususnya dalam transaksi kredit online atau peer-to peer leding systems.

Dilihat dari sudut kemanfaatannya, kredit online ini telah banyak memberikan kontribusi bagi pendistribusian potensi keuangan yang dapat dikonversi menjadi real atau nyata bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Secara kuantitatif, total nilai investasi fintech (disclosed) di Indonesia pada 2017 mencapai US$ 176,75 juta atau sekitar Rp 2,56 triliun dengan kurs Rp 14.500/dolar Amerika Serikat, baik dari investor atau pemodal lokal maupun global. Ini menggambarkan betapa besarnya potensi pasar fintech di Indonesia.19 Salah satu

alasannya adalah karena baru sekitar 49 persen penduduk dewasa di Indonesia yang tersentuh layanan perbankan sehingga masih ada potensi bagi pasar fintech. Sementara nilai transaksi fintech pada 2018 mencapai US$ 22,34 juta atau sekitar Rp 234 miliar. Adapun pertumbuhan nilai transaksi diproyeksikan tumbuh 16,13 persen/tahun. Sebagai informasi, pangsa pasar fintech terbesar bergerak di sektor pembayaran mencapai 38% dan pinjaman sebesar 31%.20

Akses perbankan yang masih rendah membuka peluang besar bagi tumbuhnya financial teknologi (fintech) di Indonesia. Kemajuan ekonomi digital t e l a h m e n d o r o n g p eningkatan kapitalisasi pembiayaan atau pendanaan bagi para pelaku usaha yang belum terjangkau oleh sektor perbankan. Hal ini diwujudkan melalui layanan peer to peer (P2P) lending yang terus mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya sektor keuangan. Pembiayaan P2P (peer to peer atau orang ke orang) seperti P2P Lending, P2P Fund, dan asuransi P2P berkembang pesat di seluruh dunia berdasarkan metode online seperti internet dan media sosial sesuai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi.21 Berdasarkan data Bank Indonesia (BI),

penduduk dewasa yang memiliki rekening dilembaga keuangan formal baru mencapai

19Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan jumlah penduduk

menca-pai 265 juta jiwa pada 2018. Dari jumlah tersebut, mayoritas berusia di bawah 35 tahun yang merupakan usia produktif. Tidak heran jika dengan angka usia produktif sebesar itu, pertumbuhan smartphone dan pengguna internet juga semakin meningkat. Hal ini menjadi peluang bagi tumbuhnya fintech (financial technology) nasional.

20databoks.katadata.co.id, ‘Berapa Nilai Investasi ke Fintech Indonesia?’, DATABOKS.CO.ID, 2018 <https://databoks.

katadata.co.id/datapublish/2018/11/26/berapa-nilai-investasi-ke-fintech-indonesia> [accessed 17 May 2019].

21Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, and Monica Rotua Angelina, ‘Pencegahan Dan Penanggulangan

Ke-hilangan Uang Kreditur Dalam Siklus Peer to Peer Lending’, 2018 <https://www.researchgate.net/publication/325658963_ PENCEGAHAN_DAN_PENANGGULANGAN_KEHILANGAN_UANG_KREDITUR_DALAM_SIKLUS_PEER_TO_ PEER_LENDING>.

(12)

36,06 persen pada2014. Sementara yang memiliki tabungan hanya 15,3 persen, bahkan yang memiliki pinjaman ke lembaga keuangan formal hanya8,5 persen. Sehingga pasar yang belum tergarap oleh sektor perbankan tersebut dapat disasar oleh para pemain P2P lending.22

Melihat kehadiran peer to peerlending dalam financial technology merupakan pembantuan lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat yang belum mendapatkan akses. Sehingga kalau melihat hal tersebut hubungan hukum antara nasabah dengan perusahaan financial technology sama dengan perjanjian kredit dalam perbankan. Perjanjian kredit terdapat dua pendapat di antara kalangan ahli hukum yaitu apakah masuk perjanjian pinjam meminjam biasa atau perjanjian kredit yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam.

Dalam perjanjian peer to peer lending melibatkan banyak pihak yaitu Penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis informasi teknologi, Pemberi Pinjaman, Penerima Pinjaman, Bank, dan Otoritas Jasa Keuangan.

a. Penyelenggara layanan Pinjam meminjam uang Berbasis Teknologi informasi

Pengertian penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi telah diatur dalam Pasal 1 angka 6 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara dalam ketentuan tersebut adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Bentuk badan hukum penyelenggara dapat berupa perseroan terbatas atau koperasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, penyelenggara peer to peer lending haruslah badan hukum dan tidak dapat dilakukan oleh orang-perorangan maupun kegiatan usaha non badan hukum seperti Maatschap, Firma, ataupun CV. Badan hukum yang dapat bertindak sebagai penyelenggara peer to peer lending hanyalah perseroan terbatas yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau Koperasi. Ditinjau dari kapasitas hukum, tentu badan hukum memiliki kedudukan yang lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan non badan hukum mengingat badan hukum merupakan subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas nama badan hukum tersebut. Dengan ketentuan ini pula jelas bahwa Yayasan maupun badan hukum lainnya tidak dapat menjalankan kegiatan peer to peer lending. Persyaratan penyelenggara dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi ini telah sesuai dengan tujuan kepastian hukum bagi para pihak dalam kegiatan usaha peer to peer lending dimana peer to peer lending merupakan kegiatan usaha yang bersifat mencari keuntungan (profit oriented) dan melibatkan banyak pihak.

a. Pemberi Pinjaman

22databoks.katadata.co.id, ‘Akses Perbankan Masih Rendah, Peluang Besar Bagi Fintech’, DATABOKS.CO.ID, 2017

<https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/10/akses-perbankan-masih-rendah-peluang-besar-bagi-fintech> [ac-cessed 17 May 2019].

(13)

b. Penerima Pinjaman c. Bank

d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Dari beberapa subyek dalam kredit online tersebut, fokus riset ini hanya pada hubungan hukum antara tiga pihak yaitu pihak Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, pihak memberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Karena dalam kredit online atau peer to peer lending melibatkan beberapa pihak. Hal tersebutlah yang membedakannya dengan kredit di Bank.

Kredit online atau peer to peer lending konsumennya adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, karena keduanya sama–sama menggunakan jasa platform peer to peer lending. Perbedaan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman disini adalah tujuannya dalam menggunakan layanan platform peer to peer lending:

a. Pemberi pinjaman menggunakan layanan platform peer to peer lending dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman.

b. sementara penerima pinjaman menggunakan layanan platform peer to peer lending dengan tujuan mendapatkan pinjaman uang tanpa agunan, dan tanpa melalui lembaga keuangan resmi seperti bank.

Platform peer to peer lending dikelola oleh penyelenggara yang berbadan hukum di Indonesia. Platform peer to peer lending bertugas mengelola dana pemberi pinjaman, dan melakukan analisis kredit terhadap peminjam yang ingin meminjam uang lewat platform peer to peer lending yang bersangkutan. Hubungan kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha dalam peer to peer lending diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Pasal 18 yang berbunyi “Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi meliputi : a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan b. perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.”

Dalam hal penyelenggara peer to peer lending menggunakan perjanjian baku kepada pengguna layanan peer to peer lending, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Pasal 36 menyatakan, bahwa: 1. “Dalam hal Penyelenggara menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan oleh Penyelenggara dilarang;

a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab atau kewajiban Penyelenggara kepada Pengguna;dan b. Menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan, dan/ atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Penyelenggara dalam periode Pengguna memanfaatkan layanan.”

Sementara tanggung jawab dari penyelenggara peer to peer lending diatur dalam Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam

(14)

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang menyatakan bahwa “Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian Pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara.” Kesalahan yang dimaksud pada Pasal 37, adalah “Kesalahan dan/atau kelalaian pada pasal ini adalah kesalahan dan/atau kelalaian dalam menjalankan kegiatan usaha Penyelenggara dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Penyelenggara.” Jadi hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan penyelenggara peer to peer lending, adalah penyelenggara memiliki tanggung jawab untuk melakukan analisis kredit terhadap peminjam peer to peer lending dalam rangka menekan risiko gagal bayar. Analisis kredit yang dilakukan oleh penyelenggara adalah bentuk prestasi penyelenggara dalam perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman.23

Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang penting dalam masalah perlindungan konsumen, karena jika kemudian terjadi kerugian ataupun pelanggaran terhadap hak–hak konsumen, akan memunculkan konsekuensi tanggung jawab bagi mereka yang menimbulkan kerugian tersebut atau mereka yang melanggar hak–hak konsumen. Sehingga perlu diketahui siapa yang harus bertanggungjawab serta seberapa jauh tangung jawab akan dibebankan kepada pihak–pihak yang diduga bertanggung jawab. Secara umum prinsip pertanggungjawaban hukum dalam perlindungan konsumen diantaranya adalah:

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Disebut juga dengan liability based on fault yaitu prinsip tanggung jawab atas kesalahan. Seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika memenuhi unsur kesalahan yang diperbuatnya. Hal ini tercermin dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum yang harus memenuhi 4 (empat) unsur antara lain ; a. Adanya perbuatan b. Adanya kesalahan c. Adanya kerugian yang diderita d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian Berdasarkan prinsip ini maka tidak ada orang yang tidak bersalah diharuskan mengganti kerugian yang diderita orang lain

b. Prinsip Praduga untuk selalu bertanggung jawab Disebut juga dengan presumption of liability principle.

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang dianggap bertanggung jawab sampai dirinya bisa membuktikan ia tidak bersalah. Sehingga beban pembuktian berada di tangan tergugat. c. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) atau sering juga disebut dengan tanggung jawab absolut (absolut liability) menyatakan bahwa strict liability adalah“Concept of strict liability in tort is founded on the premise that when manufacturer presents his good to the public for sale he represents they are suitable for their intended use, and to incoke such doctrine it is essential to prove that the product was defective when place in the stream of commerce.”Strict liability tidak mensyaratkan adanya perjanjian atau kontrak antara produsen

23Adi Setiadi Saputra, Perlindungan Terhadap Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen Dan Tanggung Jawab Penyelenggara

Peer ToPeer Lending Dalam Kegiatan Peer To Peer Lending Di Indonesia, Jurnal Veritas Et Justitia, Volume 5, No. 1, Juni

(15)

dengan konsumen. Sebab, dasar gugatan strict liability dapat didasarkan atas perbuatan melawan hukum dari produsen sehingga menimbulkan kerugian.

Dapat dikatakan bahwa strict liability adalah tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum (tort) dengan adanya unsur kesalahan, kerugian, serta kausalitas di antara keduanya. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Dalam perlindungan hukum konsumen, konsep pertanggungjawaban hukum pelaku usaha terdiri atas; a. Product liability b. Contractual liability c. Profesional liability

d. Contractual Liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban kontrak. Tanggungjawab ini merupakan pertanggungjawaban atas dasar adanya kontrak atau perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen baik berupa perjanjian barang atau jasa (privity of contract). Dan atas dasar perjanjian ini (hubungan kontraktual) maka produsen barang atau jasa tersebut bertanggungjawab atas segala bentuk kerugian yang dialami konsumen karena barang yang dikonsumsinya atau jasa yang dimanfaatkannya. Pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability) mensyaratkan adanya hubungan hukum berupa hubungan kontraktual. Perumusan mengenai tanggung jawab pelaku usaha, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pelaku usaha sudah sewajarnya mempunyai iktikad yang baik dalam menjalankan usahanya. Perwujudan adanya iktikad baik tersebut, tercermin pada kesediaan pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi atau kesalahan yang terjadi dalam rangkaian kegiatan usaha apabila terjadi suatu hal yang merugikan konsumen.

Dalam prakteknya banyak terjadi kasus-kasus konsumen terkait dengan pinjaman online ini sampai berakibat bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Zulfandi seorang sopir taksi di Jakarta. Dia bunuh diri karena diduga tidak bisa membayar pinjaman onlinenya dan cara yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara layanan pinjaman online ini yaitu menagih keluarga, teman dan sahabatnya. Karena merasa malu dan depresi akhirnya dia melakukan aksi bunuh diri.24

Kalau kita melihat dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur hak konsumen yang berbunyi “hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Melihat hak konsumen tersebut di atas maka pihak penyelenggara layanan pinjaman online telah melanggar hak konsumen yaitu hak atas kenyamanan dalam penggunakan jasa layanan pinjaman online. Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum sehingga apabila konsumen merasa hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatannya dilanggar oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat melakukan tuntutan terhadap pelaku usaha tersebut.

Ketidaksediaan pelaku usaha untuk memberikan tanggapan atau menolak ganti rugi akan mengakibatkan pelaku usaha dapat dibawa ke gugatan pengadilan atau jalur penyelesaian

24

(16)

perkara diluar pengadilan. Adapun pasal–pasal mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha berdasarkan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

1. Pasal 7 Butir f dan g, Kewajiban pelaku usaha adalah a. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang diperdagangkan; b. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian Pasal 7 butir f dan g, mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi atau kompensasi jika barang atau jasa yang diperoleh dari pelaku usaha menimbulkan kerugian. Kewajiban ini berkaitan erat dengan tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen.

2. Pasal 19 a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pergantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu (7 hari) setelah melakukan transaksi. d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Lewat pengaturan pasal ini pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Pemberian ganti rugi didasarkan atas dasar pertanggungjawaban produk ataupun pertanggungjawaban profesional baik bagi konsumen barang maupun konsumen jasa yang mengkonsumsi atau memakai barang atau jasa dari pelaku usaha. Pasal di atas merupakan bentuk dari tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum dengan tidak mensyaratkan ada/ tidaknya hubungan kontraktual (privacy of contract) diantara keduanya.

3. Pasal 22: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana yang dimaksud pasal 19(4), pasal 20, dan pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.” Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik dalam kasus pidana. Beban pembuktian merupakan tanggung jawab pelaku usaha atas gugatan yang diajukan konsumen akibat kerugian yang dialami konsumen akibat kesalahan pelaku usaha yang menimbulkan kematian, luka berat, cacat permanen. Sebagai wujud tanggung jawab hukumnya, pelaku usaha berkewajiban membuktikan kesalahan yang didugakonsumen dilakukan seorang pelaku usaha sehingga menimbulkan kerugian konsumen.

(17)

4. Pasal 28: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban tanggung jawab pelaku usaha.” Apabila seorang pelaku usaha melakukan suatu kesalahan yang menimbulkan kerugian terhadap konsumen, adalah menimbulkan tanggung jawab hukum pelaku usaha dengan konsekuensi untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, manakala kesalahan tersebut merupakan dasar pengajuan gugatan ganti rugi konsumen.

e. kesimPulan

Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen dalam kredit online sudah diberikan garis besar oleh hukum perjanjian yaitu pada mengenai Causa yang halal yaitu bermakna bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selain itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam kredit online secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun karena perkembangan bisnis kredit pembiayaan secara online yang sering menimbulkan masalah bagi masyarakat baik dari segi perizinan, pengawasan dan perlindungan terhadap data pribadi nasabah yang sering disalahgunakan oleh perusahaan pemberi kredit. Belum adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang pengawasan oleh OJK terhadap kredit online. Peraturan khusus tentang itu hanya diatur dalam POJKentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, dan Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam POJK tersebut salah satu cara untuk melindungi konsumen dalam aturan tersebut adalah di mana setiap perusahaan financial technology yang akan beroperasi di Indonesia harus melalui pengujian Regulatory Sandbox. Selain itu, untuk memberikan perlindungan terhadap data pribadi, menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga dimusnahkan yang sudah dituangkan dalam POJK No. 77/POJK.01/2016.

dAftAr PustAkA

a. Buku

Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, cet. II, Sinar Grafika, Jakarta. Herowati Poesoko, 2012, Dinamika Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja

Pressindo, Yogyakarta.

Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-undang), Bandung, Mandar Maju.

Puwahid Patrik, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang :Badan Penerbit UNDIP.

R. Setiawan, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Bina Cipta.

Salim HS, 2003, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

(18)

Sony Harsono, 1996, Sambutan MenteriAgraria/Kepala BPN pada Seminar Hak Tanggungan alas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung.

B. makalah, kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, Jakarta, 1999.

Adi Setiadi Saputra, Perlindungan Terhadap Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen Dan Tanggung Jawab Penyelenggara Peer ToPeer Lending Dalam Kegiatan Peer To Peer Lending Di Indonesia, Jurnal Veritas Et Justitia, Volume 5, No. 1, Juni Tahun 2019, hlm. 251

Anonim, Finansialku, diakses melalui https://www.finansialku.com, pada tanggal 29 Nopember 2018.

Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, and Monica Rotua Angelina, ‘Pencegahan Dan Penanggulangan Kehilangan Uang Kreditur Dalam Siklus Peer to Peer Lending’2018. https://www.researchgate.net/publication/325658963_PENCEGAHAN_DAN_ PENANGGULANGAN_KEHILANGAN_UANG_KREDITUR_DALAM_ SIKLUS_PEER_TO_PEER_LENDING>.

CNBS Indonesia, Indonesia Kini Punya Payung Hukum Aturan Fintech, 1 September 2018,https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180901144740-37-31329/indonesia-kini,punya-payung-hukum-aturan-fintechdataboks.katadata.co.id, ‘Akses Perbankan Masih Rendah, Peluang Besar Bagi Fintech’, DATABOKS.CO.ID, 2017 <https:// databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/10/akses-perbankan-masih-rendah-peluang-besar-bagi-fintech> [accessed 17 May 2019].

databoks.katadata.co.id, ‘Berapa Nilai Investasi ke Fintech Indonesia?’, DATABOKS.CO.ID, 2018 <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/26/berapa-nilai-investasi-ke-fintech-indonesia> [accessed 17 May 2019].

https://krjogja.com/web/news/read/73795/Korban_Pinjol_Berjatuhan_Waspadai_Kredit_ Online dikases 20 februari 2019.

https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-46107193 diakses tanggal 9 November 2019

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190212172134-78-368602/respons.aftech-soal-pria-bunuh-diri-terjerat-pinjaman-online

https://www.hukumonline.com, pada tanggal 29 Nopember 2018 www.pemantauperadilan.com, 16 September 2009

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tangggungan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Tarsia (2010) di Hutan Gunung Semahung Dusun Petai Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak, Wahyudi (2012) di

Tidak sesuai dengan minat saya Materi kuliah tidak sesuai dengan minat saya Materi kuliah terlalu sulit Materi kuliah tidak update Proses belajar mengajar kurang baik Lingkungan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti masyarakat desa sesaot kecamatan Narmada menggunakan sistem kekerabatan bilateral atau parental karena masyarakat desa

Berbeda dengan energi mekanik air laut, pemanfaatan energi panas air laut memerlukan fluida kerja dalam konversi energi panas yang digunakan untuk menggerakan turbin listrik..

Dapat saya sampaikan bahwa bidang tersebut telah saya geluti selama lebih dari tiga puluh tahun, bahkan dalam beberapa tahun terakhir, saya juga mendapat kesempatan

Dengan berbagai narasi yang di paparkan dalam pembahasan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Guru yang berda di lembaga pendidikan KB PAUD Meraje

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem pembacaan data RFID terhadap kartu tag RFID dengan menggunakan modul ID-12 sampai pada penyimpanan

Gagasan ini dapat dilakukan secara efektif dengan mendesain kembali perubahan penguatan kelembagaan dan kewenangan DKPP untuk secara aktif menangani dugaan pelanggaran kode etik