• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Sosiolinguistik Bahasa Gayo di Aceh Tengah: Sebuah Survei Sosiolinguistik yang berbasis Komunitas [Sebuah Laporan Kemajuan]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keadaan Sosiolinguistik Bahasa Gayo di Aceh Tengah: Sebuah Survei Sosiolinguistik yang berbasis Komunitas [Sebuah Laporan Kemajuan]"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Keadaan Sosiolinguistik Bahasa Gayo di Aceh Tengah: Sebuah Survei Sosiolinguistik yang berbasis Komunitas

[Sebuah Laporan Kemajuan] Rindu Parulian Simanjuntak SIL International - Indonesia

Abstract. The main purpose of the study described in this paper was to identify the current sociolinguistic situation of the Gayo language, spoken in the central part of Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) province, Sumatra Island, Indonesia. The dialects, the language vitality, language domains, and language attitude toward the Gayo language were the major foci of this research. Ten villages in Central Aceh regency were selected as research sites. The instrument used to identify the language situation was a sociolinguistic questionnaire, and Participatory Dialect Mapping was also used to identify the dialects of the Gayo language. Results indicate that the dialects spoken in the Gayo language are Toa, Uken, Deret, Lut/Lot, Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, and Alas. For both older and younger adults, the language use of Gayo is still strong, and children also use Gayo, but beginning to use Indonesian more as they enter school age. As far as language domains, the Gayo language is still strongly used in 1) domestic domain, such as in the home, during field work, and in the neighborhood; and 2) public places, such as in cultural ceremonies, announcing events, and in the village leader meetings. However, in the domain of education, bahasa Indonesia is dominant, although there are still some who use Gayo, but only a few. Most Gayo speakers have a positive attitude toward their language. They are very proud to use it amongst themselves, and even with migrants.

1. Pengantar. Tim Survei SIL International - Indonesia dan mahasiswa dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon mengadakan survei bahasa yang berbasis komunitas pada tanggal 10-14 April 2011, di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi NAD, Pulau Sumatra, Indonesia. Penelitian ini dilakukan atas kerja sama antara SIL International - Indonesia dengan STAI Gajah Putih Takengon. Penelitian bahasa di Kabupaten Aceh Tengah ini merupakan salah satu tempat yang dikunjungi, dan masih ada beberapa kabupaten lagi di sekitar Aceh Tengah yang akan dikunjungi.

2. Pembahasan. Bahasa Gayo, suatu bahasa ibu yang dituturkan di sekitar Aceh Tengah, merupakan salah satu bahasa daerah dari 722 bahasa di Indonesia (Ethnologue 2009), yang saat ini, keberadaannya layak untuk tetap dijaga dan dilestarikan. Kekhawatiran semakin jarangnya penggunaan bahasa ini, khususnya bagi anak-anak, dan kekhawatiran kepunahan bahasa ini oleh penutur Gayo sendiri (Waspada online 2007), serta kesimpangsiuran jumlah dan nama-nama dialek, maka lewat penelitian awal ini berusaha untuk mengungkapkan situasi sosiolinguistik di antara orang Gayo, dan berdasarkan hasil-hasil temuannya, menilai ketahanan bahasa Gayo pada masa yang akan datang dan juga untuk memverifikasi dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo.

2.1 Geografi.Secara geografis, Aceh Tengah terletak di bagian 4̊ 10̋ - 4̊ 58̋ LU dan 96̊ 22̋ BT. Ibu kota Aceh Tengah adalah Takengon, merupakan tempat asal bagi penutur Gayo. Daerah ini berdekatan dengan Laut Tawar berada di dataran tinggi dan terletak sekitar 1000-1600 m di atas permukaan laut dengan suhu yang sejuk dan dikeliliingi dengan hutan tropis dan gunung Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatra.

(2)

Mayoritas penutur Gayo tersebar di beberapa kabupaten di Aceh Tengah, antara lain: Kabupaten Aceh Tengah, sebagian Kabupaten Aceh Timur, beberapa daerah dalam Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Aceh Utara (Baihaqi 1981:1), Sumber lain menyebutkan, suku-bangsa Gayo ini dibagi atas tiga kelompok, yaitu Orang Gayo-Lut bersama Gayo-Deret di Kabupaten Aceh Tengah, dan dua kelompok lainnya ialah orang Gayo Lues yang tinggal di empat kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara; dan orang Gayo Serbejadi (Semamah) bersama orang Gayo Kalul di Kabupaten Aceh Timur (Melalatoa 1981:12). Akan tetapi, menurut seorang penutur asli Gayo, bahasa Gayo itu dituturkan di enam kabupaten, yakni: Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara, tepatnya di Kota Cane (Komunikasi pribadi, 2011). Dari enam kabupaten ini, mayoritas penutur asli Gayo banyak ditemukan di beberapa desa, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.

Peta: Titik Pengamatan Desa-Desa di Kabupaten Aceh Tengahi

Menurut Eades (2005:18), secara adat atau tradisi, pembagian bahasa Gayo, terdiri atas lima wilayah, berdasarkan geografis, budaya dan linguistik. Tiga wilayah terdapat di Aceh Tengah, yaitu: wilayah Bukit dan Cik yang letaknya secara adat mengacu ke wilayah Danau atau disebut juga ‘Gayo Lot’, di tengah sekitar Danau Tawar; dan wilayah Gayo Deret, di tengah sekitar desa-desa Linge. Dua wilayah lagi ada di luar Aceh Tengah, yakni wilayah Gayo Lues, ditengah sekitar desa Belangkejeren di Aceh bagian

Selatan-Timur, dan Gayo Serbejadi, ditengah sekitar desa Lukup di Aceh Timur. Kelima dialek ini bisa saling mengerti, tetapi berbeda dalam penggunaan kata, dan pengucapan dari beberapa bunyi

vokal.Dialek yang dituturkan di Aceh Tengah (Bukit, Cik dan Deret), umumnya diperlakukan oleh orang Gayo sebagai dialek yang prestis.Sedangkan, dialek Gayo Serbejadi dan Gayo Lues diperlakukan sebagai dialek yang kasar. Menurut Bowen (1991:16, dikutip dalam Eades 2005:18):

Northern Gayo characterize southern speech as “coarse”, referring to the omission of certain particles that are used to “soften” speech… Gayo from Takéngën [Takengong] or Isak perceive southern speech as loud and too direct, whereas southerners consider it to be honest and forthright. Conversly, southerners consider the more “refined” speech of northerners as

(3)

designed to hide malicious intentions and emotions. [Bagian utara Gayo menggambarkan tutur wicara di bagian selatan “kasar,” khususnya dengan penghilangan partikel tertentu yang digunakan untuk melembutkan bunyi ujaran… Bahasa Gayo dari Takengon atau Isak merasa tutur wicara dari selatan keras dan langsung ke sasaran, sedangkan penutur dari selatan berpendapat tutur wicara ini berujar apa adanya dan berterus terang. Sebaliknya, penutur dari selatan menganggap bunyi ujaran yang lebih halus yang dituturkan oleh penutur selatan dibuat untuk menyembunyikan niat jahat dan emosi.]

Menurut Abdul,120 tahun, penutur asli dan sesepuh Gayo, berdasarkan asal muasal Gayo, bahasa Gayo berkerabat dengan tiga bahasa, yakni bahasa Batak Toba, Batak Karo dan Aceh. Selain itu, berdasarkan informasi dari masyarakat Gayo menyatakan beberapa orang Gayo percaya kalau bahasa Gayo dekat dengan India dan Proto-Melayu.Sebutan untuk asal bahasa Gayo ini adalah Batak 27. Dalam laporan ini, kata Gayo digunakan untuk menyebutkan nama bahasa dan nama suku yang menuturkannya.

Masyarakat Gayo sangat mentaati dan menghormati nilai-nilai adat karena membantu dalam

pembentukan akhlak.Hal ini dapat dilihat, apabila seseorang tidak bisa mengerjakan sesuatu, mereka tidak langsung mengatakan kata ‘bodoh’. Akan tetapi, mereka akan lebih membantu atau langsung

menawarkan bantuan ke orang tersebut. Nilai-nilai ini tidak saja berlaku di antara mereka sendiri, tetapi juga dengan suku-suku lain yang datang ke tanah Gayo, seperti Aceh, Tionghoa, Minangkabau, Jawa, Batak dan Sunda. Masyarakat Gayo juga memegang teguh nilai-nilai kebenaran.Pepatah yang biasa digunakan dalam masyarakat Gayo adalah “Hidup Benar, Mati Suci,” artinya, mereka tidak takut untuk suatu kebenaran.

Pekerjaan utama masyarakat Gayo adalah berkebun kopi dan coklat, bertani, bertambak ikan, dan beternak.

2.2 Gol-Gol Riset. Tujuan utama diadakannya survei ini adalah untuk mengidentifikasi keadaan sosiolinguistik dalam bahasa Gayo yang dituturkan di Kabupatean Aceh Tengah dan mengkaji kemungkinan program pengembangan bahasa di masa yang akan datang. Konsep-konsep utama, pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk menjawab semua pertanyaan riset adalah:

1) Sosiolinguistik

• Apa peranan bahasa Gayo bagi penuturnya dalam kehidupan sehari-hari?

• Bagaimana sikap orang Gayo terhadap penggunakan bahasa Gayo dalam bahan-bahan tertulis ataupun lisan?

• Dialek-dialek apa saja yang dituturkan dalam bahasa Gayo? 2) Ketahanan atau Daya Hidup Bahasa

• Apakah anak-anak, ketika mereka beranjak dewasa, akan menjadi lancar dalam bahasa Gayo? • Di ranah mana saja bahasa Gayo dituturkan?

• Untuk keperluan-keperluan apa saja bahasa Gayo digunakan baik itu oleh anak-anak maupun orang dewasa?

2.3 Instrumen Riset dan Metodologi.Instrumen riset yang digunakan untuk memenuhi target-target survei bahasa Gayo ini, antara lain: kuesioner sosiolinguistik terstruktur, kuesioner untuk kepala desa,

(4)

kuesioner untuk kepala sekolah, kuesioner pemetaan dialektologi berbasis komunitas, dan wawancara atau pengamatan.

Seluruh data yang dikumpulkan dalam kuesioner dipindahkan ke format atau template dalam bentuk excel.Masing-masing kuesioner memiliki satu template, terdiri atas beberapa tabel dengan beberapa pertanyaan yang sudah dirancang.Jawaban-jawaban yang diberikan oleh reseponden, kemudian dikelompokan berdasarkan kategori untuk memberikan gambaran awal hasil penelitian, seperti penggunaan bahasa, perubahan bahasa, ketahanan bahasa, dialektologi, dan sikap terhadap bahasa. 2.3.1 Penyampelan Desa dan Titik Pengamatana) Penutur Asli Gayo.Desa-desa yang dipilih sebagai sampel di Kabupaten Aceh Tengah adalah desa-desa yang mayoritas penduduknya asli penutur Gayo, atau setidak-tidaknya 75% asli orang Gayo; b) Jarak.Lebih dari 20 km dan kurang dari 10km dari sekolah.Sumber titik perhitungan jarak adalah dari Takengon; c) Dialek. Setiap dialek mewakili setidak-tidaknya dua desa, antar lain: 1) Desa Atu Payung; 2) Desa Linge; 3) Desa Kute Lintang; 4) Desa Serule; 5) Desa Bebesan Belah Melala; 6) Desa Celala; 7) Desa Jongok; 8) Desa Toweren; 9) Desa Kuyun; dan 10) Desa Paya Reje.

2.3.2 Prosedur. Di setiap titik pengamatan atau sampel desa, para peneliti pertama-tama melapor kepada kepala desa atau kepala adat setempat, dan kemudian salah seorang dari tim peneliti menjelaskan tujuan-tujuan survei bahasa. Dari sepuluh desa yang dikunjungi, tidak semua dilakukan pemetaan dialek yang berbasis masyarakat, hanya di empat desa saja.

2.4 Kuesioner Pemetaan Dialek berbasis Komunitas.Kuesioner pemetaan dialek berbasis komunitas ini terdiri atas tiga pertanyaan utama, yakni: nama tempat/ragam bahasa/dialek, persentase kependudukan dari masing-masing kelompok, dan asal bahasa. Dalam memfasilitasi kegiatan ini, terdiri atas tiga orang, yakni sebagai penanya, pengamat dan penerjemah (jika diperlukan).Hanya di empat desa saja dilakukan pemetaan dialek, yakni di desa Serule, Atu Payung, Linge dan Kuyun.

Adapun prosedur pemetaan dialek berbasis komunitas adalah: 1. Perlengkapan yang diperlukan:

• Sebuah kertas besar untuk nama-nama bahasa

• Gunting kertas besar untuk nama kecamatan dan nama bahasa • Tali untuk menandai ragam-ragam yang sama

• Kartu-kartu kecil yang bernomor 1-15 • Spidol, dan

• Pena

2. Persyaratan untuk Peserta: • 6-10 peserta

• Masyarakat yang berbeda: muda dan tua, pemimpin dan orang desa

• Semua peserta adalah penduduk asli desa atau dari suku lain asalkan orang tersebut lahir dan besar di desa asal.

(5)

• Pendahuluan.

• Memilih sebuah nama bahasa. • Mendaftarkan daerah-daerah bahasa. • Mengelompokan ragam bahasa

• Menggolongkan tingkat kesulitan Pemahaman • Menjelaskan tanda tingkat pemahaman dari pemetaan • Menemukan bentuk bahasa yang paling ‘baik’

• Menemukan ragam yang paling baik untuk bahan bacaan • Memeriksa dan menyimpulkan peta bahasa, dan

• Mencatat hasil-hasil fasilitasi 3. Hasil-Hasil Penelitian.

3.1 Keadaan Sosiolinguistik di Kabupaten Aceh Tengah.Penelitian sosiolinguistik di Kabupaten Aceh Tengah ini berusaha mengungkapkan keadaan bahasa dan dialek yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Informasi sosiolinguistik yang mencakup dalam hasil penelitian, antara lain: penggunaan bahasa Gayo, perubahan bahasa Gayo, ketahanan bahasa Gayo, dialektologi, dan media.

3.1.1 Penggunaan Bahasa. Bagi masyarakat Gayo, bahasa Gayo memiliki peran atau berkedudukan sebagai bahasa informal, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa formal di lingkungan pendidikan dan pemerintah. Ranah-ranah penggunaan bahasa Gayo, antara lain: 1) ranah domestik, seperti di rumah, di lingkungan tetangga di ladang atau tempat bekerja; 2) ranah tempat umum seperti upacara adat, mengumumkan sesuatu; dan 3) ranah keagamaan, seperti di tempat ibadah, mayoritas masyarakat Gayo menggunakan bahasa Gayo.Selain dari itu, di beberapa ranah, seperti di pasar dan pengumuman di tempat ibadah, selain bahasa Gayo, bahasa Indonesia juga digunakan.

3.1.2 Dialek-Dialek. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari kuesioner sosiolinguistik di sepuluh desa dan kuesioner pemetaan dialek berbasis komunitas di empat desa, Kabupaten Aceh Tengah, bahasa Gayo berasal dari desa Serule dan Linge. Dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo, antara lain: Dialek Toa, Uken, Deret, Lut/Lot, Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas. Hasil lain yang diperoleh dari penutur Gayo, juga menyebutkan dialek Uken dan Toa merupakan dialek yang paling banyak dipakai orang. Sedangkan, dialek Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas merupakan dialek yang sangat berbeda dibandingkan dengan dialek Toa, Uken, Deret, dan Lut/Lot, sehingga sulit untuk dimengerti oleh mayoritas penutur Gayo yang berasal dari dialek Toa, Uken, Deret, dan Lut/Lot ini. Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini belum dapat disimpulkan sebagai dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo di seluruh Aceh Tengah, karena belum semua kabupaten di Aceh Tengah dijajaki. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dalam penelitian sosiolinguistik ini membantu memberikan gambaran awal terhadap keadaan sosiolinguistik dan dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo, khususnya di kabupaten Aceh Tengah..

3.1.3 Perubahan Bahasa. Bagi kaum muda, hampir di seluruh desa, mereka selalu menggunakan bahasa Gayo.Selain itu, para orang tua juga selalu menggunakan bahasa Gayo kepada anak-anak mereka.Dan sebaliknya, ketika para orang tua menggunakan bahasa Gayo, anak-anak selalu menjawab dengan menggunakan bahasa Gayo, termasuk ketika mereka sedang bermain-main di kampung halaman, mereka sering menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, ketika orang tua menggunakan bahasa Gayo kepada anak

(6)

muda sekarang ini, ada beberapa kata yang sudah tidak dimengerti lagi, seperti: kata “tengkep” atau “jendela,”“kletek” atau “sandal,” dan “mentarong” atau “memasak.”Contoh kata-kata ini sudah sangat jarang, dan bahkan sudah tidak pernah digunakan lagi oleh kaum muda sehingga kata-kata ini sudah tergantikan dengan kata-kata bahasa Indonesia.Sebaliknya, kata-kata yang digunakan oleh anak muda kepada orang tua mereka, hampir seluruh desa menjawab kalau orang tua mereka mengerti semua kata-kata tersebut.

3.1.3 Ketahanan Bahasa. Ketahanan bahasa atau language vitality adalah untuk melihat seberapa lama suatu bahasa itu bisa bertahan yang digunakan secara aktif oleh para penuturnya pada generasi-generasi yang akan datang. Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu bahasa itu dapat bertahan, antara lain: ranah penggunaan bahasa, kontak bahasa, sikap terhadap bahasa, pergeseran/peralihan bahasa, dan

pemeliharaan atau pengembangan bahasa.

3.1.4 Kontak Bahasa. Kebanyakan para pendatang yang datang ke desa-desa ini berasal dari suku Jawa, Aceh, Padang, Batak, dan suku Gayo sendiri yang bahasa atau dialeknya berbeda dan berasal dari daerah lain. Biasanya, kaum muda di desa-desa ini, menikah dengan suku Gayo sendiri, meskipun bagi

masyarakat Gayo tidak ada larangan untuk menikah dengan orang yang berbeda suku, bahasa dan adat. Selain itu, para kaum muda, ketika mereka selesai menamatkan pendidikan, sebagian dari mereka senang berpindah ke daerah lain dan sebagian lagi senang menetap di desa, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Alasan mereka berpindah ke daerah lain adalah ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan, bagi mereka yang tidak ingin berpindah ke daerah lain, yaitu mereka lebih senang membuka ladang pekerjaan sendiri, seperti berkebun, beternak dan membuka usaha kecil-kecil.Alasan kaum muda untuk berpindah atau menetap di desa, selain keinginan mereka sendiri, juga adanya faktor dorongan dari para orang tua. Menurut mereka, selain fungsi bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, juga bisa dipakai untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan/atau mencari pekerjaan. Bahasa Gayo, bagi mereka juga penting untuk tetap dipelihara dan dipertahankan karena bahasa Gayo merupakan identitas atau jati diri mereka.

Tabel: Ranah Penggunaan Bahasa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah:

Ranah Bahasa yang Digunakan

Gayo Bahasa Indonesia Lain-Lain

Rumah X

Lingkungan Tetangga X

Ladang/Tempat Bekerja X

Pasar Harian X X (sedikit) Aceh dan Padang

(sangat sedikit)

Pasar Mingguan X X (sedikit) Aceh dan padang

(sangat sedikit)

Puskesmas/Klinik X

Saat istirahat di sekolah X X

Bahasa Pengantar kelas I X

Upacara Adat X

Mengumumkan Sesuatu X X (jarang)

Pertemuan-Pertemuan Pemimpin Desa

X X (jarang)

(7)

Berdoa Berjamaah X X Arab

Berdoa Sendirian X X Arab

Pengumuman di Tempat Ibadah X X Khotbah/Ceramah di Mesjid X X

3.1.5. Sikap terhadap Bahasa. Masyarakat Gayo sangat bangga apabila mereka menggunakan bahasa Gayo. Mereka tetap menggunakan bahasa Gayo apabila mereka bertemu dengan sesama orang Gayo, dan bahkan dengan suku-suku lain. Mereka tidak pernah malu menggunakan bahasa Gayo baik yang ada di desa maupun yang di kota. Hal ini menunjukan kalau mereka memiliki sikap yang positif terhadap bahasa ibu mereka.

3.1.6. Pergesaran atau Peralihan Bahasa. Bahasa Gayo merupakan bahasa pertama yang diperoleh dan diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka.Sejak dini, anak-anak sudah bisa berbicara dengan bahasa Gayo, sampai mereka dewasa. Selain itu, juga disebutkan kalau anak-anak juga bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, dan mereka akan lancar berbahasa Indonesia apabila mereka sudah dewasa. Berdasarkan hasil kuesioner di sepuluh desa, kecenderungan kaum muda sekarang menggunakan bahasa Gayo kasar.Sedangkan, orang tua yang berusia di atas 60 tahun, mereka juga sudah jarang menggunakan bahasa Gayo halus karena kebanyakan anak muda tidak mengerti.Selain itu, juga ada banyak kata dalam bahasa Gayo sudah tergantikan dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia.Di beberapa desa yang jaraknya jauh dari perkotaan, anak-anak, kaum muda dan orang tua masih menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, desa-desa yang jaraknya dekat dengan perkotaan, mereka sehari-hari cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena di daerah perkotaan telah banyak pendatang dan adanya dukungan dari orang tua dengan menguasai bahasa Indonesia anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kaum muda bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebagian orang tua juga menganjurkan anak-anak mereka belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Inggris.

3.1.7. Pengembangan Bahasa. Masyarakat Gayo memiliki keinginan yang besar untuk tetap

mengembangkan, dan atau memelihara bahasa Gayo.Usaha masyarakat Gayo untuk mengembangkan atau memelihara bahasa Gayo ini pertama-tama dapat dilihat dari adanya materi muatan lokal yang diajarkan di beberapa sekolah. Meskipun mulok ini belum ada dalam kurikulum, para guru telah mulai

mengajarkannya kepada murid-murid dimulai dari kelas 1 SD. Usaha lain untuk mempertahankan bahasa Gayo adanya rekaman dalam bentuk VCD dan tayangan di TV dan Radio tentang drama dan lawak, seperti didong dan atu belah.

4. Kesimpulan.Berdasarkan data-data sosiolinguistik yang terkumpul dari sepuluh desa di Kabupaten Aceh Tengah, dapat disebutkan bahasa Gayo mempunyai ketahanan atau daya hidup di antara level 6a (kuat) dan 6b (terancam), berdasarkan skala EGIDSii.Atau, juga dapat dikatakan bahasa Gayo menuju level 6b (terancam). Bahasa ini masih digunakan di beberapa ranah oleh sebagian besar penuturnya, dimulai dari anak-anak, kaum muda, dan kaum tua/orang tua, antara lain: 1) ranah domestik, seperti di rumah, di lingkungan tetangga, di ladang atau tempat bekerja; 2) ranah tempat umum seperti upacara adat, mengumumkan sesuatu; dan 3) ranah keagamaan, seperti di tempat ibadah. Akan tetapi, berdasarkan wawancara dengan beberapa kepala desa dan kepala sekolah atau guru di desa-desa yang jaraknya kurang dari 10 km dari kota Takengon, dan bahkan di kota Takengon sendiri, bahasa Gayo sudah mulai jarang

(8)

digunakan oleh anak-anak, kaum muda, dan orang tua. Kecenderungannya, mereka lebih suka dan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Gayo. Selain itu, di beberapa ranah tertentu yang dulunya bahasa Gayo lebih banyak digunakan, kini sudah tergantikan dengan bahasa

Indonesia.Meskipun demikian, hampir seluruh penutur Gayo memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Gayo.Mereka tidak pernah malu, dan bangga apabila menggunakan bahasa Gayo baik dengan

antarsukumaupun dengan para pendatang atau diluar dari suku mereka. Sedangkan, dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo, antara lain: Toa, Uken, Deret, Lut/Lot, Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas.

5. Rekomendasi. Keinginan masyarakat Gayo agar bahasa Gayo tidak mengalami keterancaman

kepunahan merupakan suatu indikasi positif yang sebaiknya terus dilestarikan.Selain itu, keinginan untuk mempertahankan dan mengembangkan cerita-cerita daerah yang telah diterbitkan sebagai bahan ajar dalam muatan lokal sebaiknya perlu penanganan yang serius.Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang masalah-masalah pergesaran bahasa dan/atau ketahanan bahasa di seluruh kabupaten yang ada di Aceh Tengah.Dengan demikian, ketahanan atau daya hidup bahasa Gayo dan peralihannya dapat dirangkumkan dengan lebih tegas lagi.

Hal lain untuk memberikan sumbangsih kepada dunia ilmiah terhadap dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo, diperlukan pengumpulan data-data atau penelitian sosiolinguistik yang lebih mendalam di beberapa kabupaten yang lain, antara lain: Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tenggara, dan Luwes. Dengan demikian, jumlah dan nama-nama dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo dapat ditemukan dengan lebih tepat dan akurat.

6. Pustaka Acuan.

AcehPedia – “Ensiklopedia Aceh Terlengkap”. 2009. Kabupaten Aceh Tengah. (http://acehpedia.org/Kabupaten_Aceh_Tengah. Diakses pada bulan Agustus 2011).

Baihaqi, A.K., Abdul Gani Asyik, Surya Nola Latif, dan Sulaiman Sanusi. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan.

Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A language of Aceh, Sumatra. Pacific Linguistics 567. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australia National University.

Lewis, Paul M, ed. 2009. Ethnologue Languages of the World. 16th ed. Dallas: SIL International, 435. Melalatoa, M.J. 1981. Kebinet Dalam Sastra Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan.

Simons, Gary, Paul Lewis. 2011. Making EGIDS assessments for the Ethnologue. SIL International.Unpublished draft.

Waspada Online. 2007. Bahasa Gayo Harus Diselamatkan.

(http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8099:bahasa-gayo-harus-diselamatkan&catid=13:aceh&Itemid=26. Diakses pada bulan Agustus 2011).

(9)

i

Desa Bebesan Belah Melala tidak tercantum dalam peta ini karena berdasarkan data PODES (Potensi Desa) tahun 2003, desa ini belum dimasukan ke data PODES. Desa Bebesan Belah Melala merupakan salah satu desa yang juga dikunjungi oleh tim peneliti. Desa Bebesan Belaha Melala termasuk Kecamatan Bebesan, Kabupaten Aceh Tengah.

iiEGIDS atau Extended Intergenrational Disruption Scale merupakan suatu skala ketergantungan antargenerasi

berlandai yang diperluas. EGIDS membantu memberikan gambaran untuk mengidentifikasi tingkat ketahanan suatu bahasa.

Referensi

Dokumen terkait

Informasi harus dapat disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti, dapat disajikan secara detail atau ringkasan, dapat diatur dalam urutan tertentu, dapat

Indikator kemampuan menuliskan aspek yang ditanyakan memiliki nilai p < 0.001 < 0.05 yang diartikan bahwa indikator kemampuan menulis aspek yang ditanyakan signifikan

[r]

Hasil analisis tutupan terumbu karang di Perairan Kota Makassar ditemukan dalam tiga kondisi menurut standar ukuran Braun-Blanquet (1965) yaitu Bagus (50-75%) ditemukan

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah dimensi- dimensi dari pegas daun kendaraan, material pegas dan memvariasikan berat beban angkut kendaraan untuk diukur, kemudian

Maka dari itu penelitian ini ialah penelitian deskriptif kuantitatif yang disimpulkan menggunakan angka-angka secara faktual dan akurat tentang hubungan latar belakang

Pada penelitian ini diketahui bahwa rerata fleksi dan ekstensi lutut responden setelah menjalani intervensi berupa terapi MWD dan latihan RGS secara aktif dan pasif

Dalam konteks kajian ini yang dimaksudkan dengan perubahan akhlak ialah perubahan-perubahan yang dihadapi oleh Saudara Kita dari sudut perbuatan dan percakapan