• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU PENCEGAHAN HIVAIDS PADA KELOMPOK WANITA PEKERJA SEKS DAN WARIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERILAKU PENCEGAHAN HIVAIDS PADA KELOMPOK WANITA PEKERJA SEKS DAN WARIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

23

Bambang Murwanto

1) 1)

Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang bamurwanto@yahoo.co.id

Abstract: HIV/AIDS Behaviours of Shamales (Transgenders) and Famale Sex Wokers Around in Kalianda. The growing number of cases of HIV / AIDS each year , both national, provincial and district/city level . In Kabupaten Lampung Selatan, on 2005 amounted to only 4 people and on 2013 to be 44 The Man With HIV/AIDS (ODHA) . The geographical position of South Lampung district is southeast tip of Sumatra island and makes migration into the gate of the island of Sumatra to Java provides an opportunity occurs of disease transmission, including HIV/AIDS. Improvement of HIV / AIDS or transmission and chain termination coaching them through high-risk groups . The coaching has been done through the Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Lampung Selatan, Women groups including Famale Sex Workers (Wanita Pekerja Seks/WPS)) and behave Shemale (Transgender) in the prevention of HIV/AIDS. The aim this study is the behavior sex workers (Wanita Pekerja Seks/WPS) and behave Shemale that has been coaching by the Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Lampung Selatan. This research method is qualitative with approach Verivikatif-Descriptive, the group interviewed Female Sex Workers (FSW) and Transgender, with FGD Techniques and Triangulation and Depth Interviews , with triangulation of sources such as VCT Clinic , KPA and South Lampung Hospital Kalianda. The results of this study are behavioral prevention of HIV/AIDS among Female Sex Workers (FSW) and Transgender around Kalianda City. Even though their knowledge and attitude is not good. However, several other variables that describe as a predictor of such seriousness, vulnerability, anxiety, benefits and barriers to behavior that illustrate the positive (good) on the prevention of HIV/AIDS.

Keywords : HIV/AIDS ,WPS , Shemale.

Abstrak: Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Kelompok Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Waria di Kalianda. Meningkatnya jumlah kasus penyakit HIV/AIDS setiap tahun, baik secara nasional, provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2005 hanya berjumlah 4 orang, tahun 2013 menjadi 44 Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Letak geografis Kabupaten Lampung Selatan diujung tenggara pulau Sumatra menjadi pintu gerbang pulau migrasi pulau Sumatra ke pulau Jawa memberi peluang terjadi penularan penyakit termasuk HIV/AIDS. Upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS atau pemutusan mata rantai penularan diantaranya melalui pembinaan kelompok-kelompok resiko tinggi. Pembinaan yang telah dilakukan tersebut melalui KPA Lampung Selatan diantaranya kelompok Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Waria dalam berperilaku terhadap pencegahan penyakit HIV/AIDS. Tujuan penelitain, mengetahui perilaku WPS danWaria yang telah di bina oleh KPA Lampung Selatan terhadap penyakit HIV/AIDS. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Deskriptif Verivikatif, yaitu mewawancarai kelompok Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Waria, dengan teknik FGD dan triangulasi melalaui wawancara mendalam, dengan melalui trianggulasi sumber-sumber seperti dari Klinik VCT, KPA dan Dinas Kesehatan Lampung Selatan.Hasil penelitian, perilaku pencegahan HIV/AIDS pada kelompok WPS dan Waria di Kalianda dan sekiratnya sangat baik, walaupun pengetahun dan sikap mereka kurang baik. Namun beberapa variabel lain yang menggambarkan sebagai prediktor seperti keseriusan, kerentanan, kecemasan, manfaat dan hambatan-hambatan menggambarkan ke arah perilaku positif (baik) terhadap pencegahan penyakit HIV/AIDS.

Kata Kunci : Pencegahan, HIV/AIDS, WPS, Waria

Tujuan pembangunan di Indonesia pada hakikatnya adalah membangun manusia seutuhnya, dengan kata lain membangun kesejahteraan masyarakat Indonesia, Tujan pembangunan tersebut digambarkan oleh

(2)

gambungan (Composite Index) dari Umur Harapan Hidup (UHH), Tingkat Partisipasi Pendidikan dan Tingkat Pendatapatan Masyarakat. Dengan kata lain pembangunan manusia atau kesejahteraan dibangun tiga sektor utama yaitu Kesehatan yang bertanggung jawab terhadap UHH, Pendidikan yang bertanggung jawab terhadap Tingkat Partisipasi Pendidikan dan sektor-sektor lingkup pendapatan yang bertanggung jawab terhadap Tingkat Pendatapatan Masyarakat. IPM Indonesia saat ini kendati mengalami peningkatan dibandingkan dengan beberapa tahun lalu (Tempo.com, 2013) namun ini masih dibawah negara-negara serumpun seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam Filipina, (UNDP, 2013).

Permasalahan sektor kesehatan sebagai penyebab rendahnya IPM Indonesia adalah sangat kompleks. Berbagai penyakit menular banyak yang dapat diberantas. Bahkah penyakit-penyakit yang telah lama diberantas kini masih muncul dan untuk beberapa tahun kedepan sebagai Emerging Infectious Diseases (EID), seperti malaria, Influenza A, SARS, termasuk juga HIV/AIDS, dsb. Sementara penyakit-penyakit tidak menular atau degeratif dan penyakit-penyakit yang berbasis perilaku masyakat kini juga mulai bemunculan

Secara nasional penyakit HIV/AID sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 penemuan kasus baru semankin meningkat (Kemkes RI, 2012). Tahun 2011 kasus baru ditemukan berjumlah 559 kasus baru dan tahun 2011 ditemukan 4,162 kasus baru, sehingga secara kumulatif jumlahnya menjadi 29,879 kasus. Hal mungkin merupakan penemuan dari Fenomena Gunung ES (Iceberg Phenomena) seperti yang diramal oleh para ahli dua dekade terakhir. Artinya kemungkinan kasus tersebut terutama penderita HIV di masyarakat jauh lebih banyak dari angka tersebut di atas. Dan sebagai Emerging Inkcrious Diseases (EID) kedepan dengan metode penemuan kasus Voluntary, Conseling and Testing (VCT), sero survey dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) maka akan terus ditemukan kasus baru maupun lama HIV dan AIDS, apalagi sebagai salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals (MDGs) sehingga setiap negara termasuk Indonesia berpacu untuk memberantas penyakit HIV/AIDS.

Propinsi Lampung sebagai propinsi serambi Sumatra tidak terlepas dari

pemlasalahan tersebut, Sebagai serambi Sumatra dengan tingkat migrasi keluar (emigrasi) dan migrasi masuk (imigrasi) yang tinggi, maka propinsi Lampung rentan terjadinya penularan berbagai penyakit termasuk HIV/AIDS sebagai akibat arus mobilisasi, baik masuk maupun keluar cukup tinggi. Demikian pula penderita HIV/AID, kasus AIDS sejak tahun 2002 sampai 2011 kecenderungannya makin meningkat. Pada tahun 2002 ditemukan 1 kasus dan pada tahun 2011 jumlah sebanyak 233 kasus baru ( Dinas Kesehatan Provinsi lampung, 2012).

Dari hasil wawancara dengan Sdr. Zakaria Anwar dari sekretariat Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Lampung Selatan, pada tauggal 2 Juni 2013 bahwa di Kabupaten Lampung Selatan kecenderungannya juga semakin meningkat, yaitu Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2005 ditemukan 4 orang, dan pada tahun 2013 ini telah menjadi 44 orang baik kelompok Wanita Pekerja Seks (WPS) maupun Komunitas Waria.

Penyakit HIV/AIDS atau Human Inmmunodeyfeciency Disease adalah penyakit kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh dan merupakan perilaku yang tidak sehat. Perilaku tidak sehat itu diantaranya perilaku seks yang menyimpang, perilaku pengguna narkotik dan obat yang berbahaya seperti Napza khususnya yang menggunakan jarum suntik (Praptoraharjo, 2007), di Manado perilaku seks berkaitan dengan pengetahuan HIV/AIDS pada WPS dau sikap tentang dan perilaku penggunaan kondom pada pria pelanggan WPS (Juliastika, 2011).

Sebagai pintu gerbang Pulau Sumatra Kabupaten Lampung Selatan yang merupakan bagian dari Provinsi Lampung, khususnya di Kalianda dan sekitamya dengan tingkat migrasi keluar (emigrasi) dan migrasi masuk (imigrasi) ke Kabupaten Lampung Selatan maka hal tersebut meperbesar resiko(rentan) penularan HIV/AID di Kalianda dan sekitarnya.

Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut, yaitu tingginya resiko penularan dan penyebaran HIV/AIDS baik lingkungan WPS dan Komunitas Waria di Kalianda dan sekitarnya, Kabupaten Lampung Selatan.

(3)

WPS dan Waria serta peranan faktor-faktor determinannya, di Kalianda dan sekitarnya, Kabuapten Lampung Selatan

METODE

Jenis penelitian bersifat kualitatif dengan desain Deskriptif-Kualitatif, yaitu gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan HIV/ADS yaitu pada kelompok resiko tinggi Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Waria. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kalianda dan sekitarya Kabupaten Lampung Selatan. Waktu penelitian adalah Tahun 2013.

Karena penelitian ini bersifat kualitatif maka sampel diambil secara Purposiv (Purposive Sampling), jumlah informan maksimal masing-masing kelompok WPS 10 orang dan Waria 10 orang, untuk diwawancarai melalui Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dan Wawancara Mendalam (Indepth Interview) sebanyak 2 orang sehingga jumlah seluruhnya 20 orang.

Teknik penelitian keulitatif dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) maka subyek penelitian adalah para informan yang berasal dari kedua kelompok tersebut (WPS dan Waria). Untuk pelaksanaan trianggulasi data mauapun sumber menggunakan metode Indepth Interview (Wawancara Mendalam), baik kepada informan tersebut maupun kepada informan lain seperti petugas kesehatan dan tokoh LSM.

Pengumpulan data, Data Primer, dikumpulkan melalui alat perekam (perekam kaset). Data Sekunder melalui observasi pencatatan dan pelaporan, dan trianggulasi data maupun sumber dengan pihak-pihak terkait. Dsb. Setelah data hasil rekaman dikumpulkan, didiskripsikan dalam bentuk tulisan kedalam bentuk matriks. Langkah berikutnya setelah data yang diskripsikan adalah yaitu analisis isi atau makna kalimat yaitu sebagai berikut :

a. Reduksi data. : rnembuang kata-kata yang tidak penting dan mengambil kata-kata yang mengandung makna atau arti dari kalimat para informan;

b. Menyimpulkan mengambil kata-kata yang mengandung makna kalimat para

informan;

Untuk memperoleh veritikasi data agar akurat dalam metode kualitatif, maka Validasi

digunakan dengan teknik Triang-gulasi. Trianggulasi bila mungkin dengan :

a. Trianggulasi sumber, misalnya dengan Cross check sumber data yang lain, membandingkan dan melakukan kontras data, dengan gunakan kategori informasi yang berbeda

b. Trianggulasi metode, misalnya bila mungkin dengan metode Indepth Interview atau Wawancara Mendalam;

c. Trianggualsi data atau analisis, misalnya minta umpan balik dari Informan Lain;

Penyajian data penelitian kualitatif disajikan dalam berbagai bentuk yaitu :

a. Kuotasi adalah kutipan kalimat informan dalam bentuk aslinya berupa kalimat-kalimat atau dialog dan terpisah dalam paragraph tersendiri bila kalimat atau dialog tersebut cukup panjang.

b. Model yaitu hasil hipotesis hasil kesimpulan interaksi berbagai pihak dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Karakteristik Informan.

Karakteristik informan yang tergambarkan dari informan adalah mulai tamat SD sampai tamat SLTA. Sebagian besar informan hanya tamat SD (50%) dan sebgian kecil tamat SLTA (15%), umur informan antara 20 tahun-45 tahun, dengan mayoritas 20-30 tahun (60%) dan yang palin sedikit umur diatas 40 tahun (15%). Dengan latar belakang social ekonomi keluarganya sebagian besar petani dan miskin.

2. Sosiopsikologis.

(4)

pada Komunitas Waria Dimulai dari kumpul-kumpul merasa senasib. Kelompok Waria ini mereka beri nama “Gaila”. Dan tidak secara formal sehingga lebih cocok disebut “Paguyuban” (Kotak 2).

Pada dasarnya mereka aktif dalam melaksanakan peranan dalam kelompok. Hal ini karena mereka mempunyai berbagai kepentingan, baik secara pribadi (solidaritas) maupun organisasi terutama dengan KPA, termasuk minta perhatian pemerintah. Karena ajang kumpul-kumpul selai untuk perluan KPA mensuplai kondom dan lubrikan, juga untuk ajang silatuhami, curhat, dsb. Dengan adanya KPA selain untuk mendapat informasi tentang HIV/AIDS dan mendapatkan jatah alat pencegahan penularan HIV/AIDS seperti kondom, lubricant, alat peraga, dan sebagainya. KPA juga menjadi tempat berkumpul mereka jika ada pertemuan yang diadakan oleh KPA sendiri. Namun yang lebih penting bagi mereka adalah mereka sekarang mulai merasa ada yang mempedulikan mereka yaitu KPA. Peduli yang dimaksud adalah perhatian secara psikis.

3. Struktur Sosial.

Semua kelompok baik Komunitas WPS maupun Waria mempunyai panutan. Untuk Komunitas WPS adalah Bunda Sully (Suliyati) yang merupakan mucikari mereka. Dari komunitas Waria adalah Zahri dengan julukan “Bunda Ratu” seorang penjangkau di KPA dan Syukur yang dijuluki “Madam” yang memiliki Salon Kecantikan dimana tempat sering komunitas Waria mangkal. Seorang petugas KPA pun Zakaria Anwar mereka menganggap sebagai panutan.

Komunitas Waria keberadaannya di masyarakat sudah lebih terbuka atau dianggap hal yang biasa saja, terutama tetangga. Kecuali ada orang baru yang masih menganggapnya asing, itu pun dilihat dari ekspresi wajahnya bila pas berjumpa misalnya serombongan anak remaja yang kadang menggoda. Namun secara

lebih formal mereka merasakan masih ada pro dan kontra di masyarakat. Lain halnya keberadaan komunitas WPS yang belum diterima di masyarakat keberadaannya (masih tertutup), beberapa contoh pernyataan berikut:

4. Kerentanan HIV/AIDS Yang Dirasakan.

Kerentanan terhadap penyakit HIV/AIDS yang digambarkan dengan perasaan mereka terhadap keberadaan, dan keganasan. Tentang keberadaan penyakit HIV/AIDS mereka menggapanya biasa-biasa saja, sudah tidak asing lagi, diantara mereka sudah ada yang menjadi ODHA (Kotak 15). Namun demikian mereka tetap waspada dalam menghadapai penyakit HIV/AIDS dengan berperilaku mencegah penyakit HIV/AIDS (Kotak 16).

5. Keseriusan HIV/AIDS Yang Dirasakan.

Dari kelompok Waria mereka menyatakan tetap serius menghadapi penyakit HIV/AIDS didepan mata mereka (sebagai kelompok resiko tinggi), contoh pernyataan mereka pada Kotak 17. untuk itu mereka tetap waspada untuk tetap menjaga agar tidak ketularan dengan berperilaku mencegah ketularan penyakit HIV/AIDS (Kotak 18). Kotak 2 :

....nama kelompok gak ada….….mungkin lebih

tepat disebut komunitas… namanya “Gaila”… ..Tapi.. kalu ngumpul-2 sih dah sering.. dimana

gitu… diSalonnya Syukur yg paling sering....

WR 04

Kotak 13

... ya saya pergi dari rumah

…kemana gitu…merantau...”

WP06

Kotak 15

“..maksudnya yang penting kalau ada teman yg

dah jadi ODHA.. … yang positif temen kita ada

3.. tadinya ada 5 yg 2 dah meninggal…”

WR10

Kotak 16

“…biasa aja tentang AIDS..gak ada yang kita

cemaskan…. Yang penting kita atau gimana

mencegahnya itu aja…”

WR06

Kotak 17

“….penyakit yang mematikan, menyeramkan,

mengerikan...”

(5)

Sedangkan dari kelompok WPS menganggapnya sebagai hal biasa-biasa saja. Menurut mereka bukan hal yang asing lagi. Mungkin mereka menganggap biasa karena mereka terbiasa menghadapi dan yang lebih penting sudah terbiasa melakukan pencegahan.

6. Manfaat dan Rintangan Yang Dirasakan.

Manfaat yang dirasakan terutama adalah minimal pengetahuan tentang cara-cara pencegahan penyakit HIV/AIDS bagi dirinya sendiri. Selain itu juga manfaat bagi orang lain, bagi yang belum mengetahui. Bagi pendatang baru (baik yang baru bergabung di komunitas maupun yang baru menjadi WPS), maka sebagai teman yang sudah tahu kemana bila mengalami keluhan sakit, dengan gejala-gejala yang dipersepsikan oleh mereka sebagai kelompok penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), maka mereka akan membawa ke klinik VCT di RSUD dr. H. Bob Bazar, SKM., dan untuk yang berikutnya mereka diajak KPA bila ada pertemuan. Selain itu secara manfaat kelompok yang dirasakan adalah dalam rangka silaturahmi kelompok.

Sedangkan hambatan dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS yang utama adalah dari para pengguna/pelanggan, sebagian dari mereka dalam kelompok Waria disebut “Kucing”,

“Brondong”, tidak mau meng-gunakan

kondom. Untuk kelompok WPS taktik mereka agar mereka mau adalah dengan menaikan tarif kencan mereka dua kali lipat. Bila tetap tidak mau menggunakan kondom, mereka berkomitmen tidak mau main dengan semboyan mereka “No Condom, No Sex”. Taktik kedua supaya nyaman menggunakan kondom adalah dengan dimasukan melalui mulut WPS yang bersangkutan.

7. Peranan Media Dalam Kampanye HIV/AIDS.

Media yang sangat berperan disini adalah media yang berasal dari KPA sendiri termasuk klinik VCT. Hampir setiap pertemuan di KPA dia mendapatkan media-media terutama berupa brosur/leaflet yang paling banyak kemudian poster serta dari penyampaian langsung jika ada pertemuan. Sedangkan dari sumber lain mereka rasakan masih sedikit, seperti melalui televisi, atau mediamedia luar gedung seperti Poster, Baliho, Billboard, dan sebagainya.

8. Perilaku Pencegahan HIV/AIDS.

Secara keseluruhan perilaku pencegahan HIV/AIDS baik dari komunitas WPS maupun waria sudah baik, walaupun masih ada kekurangan sedikit bila dilihat dari bagian. Kekurangan tersebut misalnya bagian atau segmen dari pengetahuan dari komunitas WPS. Sebagian besar dari mereka tidak bisa menjawab pertanyaan apa itu penyakit HIV/AIDS, seperti digambarkan pada kotak-kota berikut ini.

Kotak 18

“….ya gmn lagi perasaan kita kita ..sy pribadi

biasa aja tuh. ..maksudnya dah biasa perasaan sy bukan hal yag asing…”

WP07

Kotak 22

“….…istilahnya no condom no

sex……maksudnya ..caranya… ya kita masukin

melalui mulut kita waktu ngisep

barangnya…….”

WP04

Kotak 20

“…….. kalau ada yg kerasan gak enak di badan

yak ke klinik VCT……

WP06

Kotak 24

“…betul selain brosur poster yang banyak ttg AIDS… ada juga apa namanya yg kaya iklan itu……..oh ya baliho, Billboard juga

banyak…..”

WP07

Kotak 29

“….…menurut saya penyakit menular yang mematikan….karena kekurangan daya tahan

tubuh………”

WR06

Kotak 30

“…..… penyakit akibat berhubungan seks…

jarum suntik narkoba juga……..”

(6)

Demikian pula tentang penyebab penyakit HIV/AIDS, sebagian besar mereka juga tidak mengerti tentang penyebab penyakit HIV/AIDS.

Sedangkan tentang cara penularan mereka mengerti semua yaitu tidak pake kondom, jarum suntik pengguna narkoba yang digunakan bergantian, seks bebas, ganti pasangan bahkan ada yang mengerti juga dapat melalui air susu ibu kepada anaknya, dsb. Hal ini wajar karena hal tersebut merupakan jargon mereka sehari-hari dalam melaksanakan pencegahan, sehingga sering disalahartikan kepada bagian perilaku yang lain yaitu tentang apa arti dan penyebab HIV/AIDS tersebut diatas.

Tempat terjadinya penularan HIV/AIDS sebagian besar informan mengerti yaitu dimana saja dapat terjadi, artinya tidak harus ditempat khusus atau pelacuran. Menurut mereka dapat terjadi dimana saja misalnya di Hotel, di rumah, dan sebagainya.

Sikap informan terhadap penyakit HIV AIDS sebagian besar biasa saja. Namun demikian meraka tetap waspada terhadap penularannya. Kenapa mereka menganggap biasa saja, karena sebagian dari teman mereka sudah terjangkiti penyakit tersebut atau telah mejadi ODHA yaitu berjumlah lima orang dan yang dua orang telah meninggal dunia.

Dari semuanya yang menarik adalah perilaku pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS, telah positif atau baik tingkat perilakunya. Sebagian besar informan telah memahami usaha-usaha pencegahan penyakit tersebut. Penggunaan kondom adalah jargon dalam melayani pasangannya. Bahkan jargon “ No Condom, No Sex” telah melekat dihati mereka. Jargon yang lain menu-rut informan untuk tidak menghindari penggunaan jarum suntik (penasun) secara bergantian terutama bekas penggunaan Narkoba.

Mereka telah mengenal semboyan penyuluhan dari KPA yaitu “ABCDE”. A ber -arti Abstimen (menjauhi hubungan seks), B artinya Being Faithful (setia pada pasangannya bila ingin berhubungan seks), C (condom) menggunakan kondom bila tidak bisa setia pada Kotak 35

“…..… macam-2 bang ….. main ama cewek..

.dari narkoba.. …maksudnya jarum

suntiknya……..”

Kotak 32

“… hubungan seks yg ganti-2 pasangan…

kalau gak ganti pasangan gak kena……” WR08

Kotak 33

“…seks bebas atau ganti-2 pasangan tanpa

menggunakan alat kontrasepsi…”

WR04

Kotak 36

“…....seks bebas atau ganti-2 pasangan gak

peke kondom, melalui cairan vagina, air susu ibu…….”

WR04

Kotak 38

“….sekarang diamana aja bisa..la ibu rumah

tangga aja bisa kena kok…..”

WR04

Kotak 39

“…....kalau kita main di rumah atau di kebon

juga bias..pokoknya dimana aja bisa…….”

WR07

Kotak 40

“…. Dimana aja sih sekarang… klu mau

ketularan…. Gak harus di tempat

pelacuran…..maksudnya di pantai..di gubuk

…di rumah….”

WP01

Kotak 41

“……..ya biasa-2 aja mas sekarang mah..lha

diantara kita udah ada yang kena AIDS kok..biasa aja tuh sikap kita………”

WR03

Kotak 42

“… ya biasa-2 aja tuh mas …. Abis gmn

lagi…… maksudnya sih kita menentang..tapi

kakalu tau-2 kita ketularan gmn… yg penting

(7)

pasangannya, D (Drugs) tidak mengkonsumsi narkoba, terutama penggu-naan jarum suntik (penasun), E (education) member penyuluhan pada teman dan orang lain, setelah kita sendiri melakukannya. Namun semboyan “ABCDE” sulit secara tepat para informan karena keterbatasan tingkat pendidikan khususnya bahasa Inggris walaupun prinsipnya informan tersebut mengerti, seperti pada kotak berikut ini.

Khusus untuk komunitas Waria ada

satu lagi cara pencegahan setelah menggunakan kondom yaitu menggunkan pelicin berupa Lubricant yang didapat dari KPA. Lubricant digunakan untuk menghindari terjadinya kondom robek akibat gesekan. Namun jumlah lubricant yang di berikan dari KPA tidak sebanding dengan jumlah kondom yaitu hanya 1/12 nya (1 Kotak Lubricant berisi 1 lusin atau 12 buah, sedangkan kondom 1 kotak berisi 1 gross atau 144 buah). Bila kehabisan Lubricant mereka menggunakan Hand Body.

Khusus informan dari komunitas WPS salah satu yang persepsikan sebagai pence-gahan adalah cuci vagina namun jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan bukan dengan dokter tetapi dilakukan sendiri menggunakan sabun atau daun-daun pohon tertentu.

Klinik VCT dan KPA merupakan tumpuan akhir mereka bila mereka menghadapi masalah misalnya tertular dengan penyakit IMS (Infeksi Menular Seksual) seperti sifilis, gonoerhoe, dsb. Selain untuk mengantar teman (biasanya orang baru) yang mengalami masalah penyakit IMS atau HIV/AIDS dan belum tahu ada klinik VCT dan KPA.

Pembahasan

1. Kondisi Karakteristik (Demografi)

Kondisi demografis yaitu keadaan sosial ekonomi yang sangat rendah (pendapatan dan pendidikan) dengan umur yang relatif muda para informan memberi peluang khususnya untuk menjadi WPS, demikian juga terjadi di Crotia dimana resiko atau rentan penderita HIV/AIDS (Stullhofer, A., et. al. 2005), Didukung oleh kondisi georgafi Kec. Kalianda dan sekitarnya yang merupakan pintu gerbang Provinsi Lampung sekaligus Pulau Sumatra ke Pulau Jawa untuk mencari pekerjaan. Tingginya mirgrasi penduduk dan mudahnya akses berjumpa berbagai kelompok resiko tinggi penyakit IMS dan HIV/AIDS, misalnya para sopir truk lintas dan kelompok lainnya. Hasil triangulasi data melalui wawan-cara mendalam pada WP02, memang menun-jukan bahwa para WPS berasal dari yang jauh mulai dari Palembang (Sumsel), panjang Bandar Lampung, maupun dari Pulau Jawa, misalnya dari Jakarta dan Wilayah Banten, walaupun dari dekat juga seperti dari Kalianda atau sekitar Gayam kecematan penengahan.

2. Sosiopsikologis

Pembentukan kelompok atau komunitas baik WPS maupun Waria yang lansung dibawah pembinaan KPA berdampak positif terhadap pengendalian dan pencegahan penyakit IMS maupun HIV/AIDS. Namun yang lebih berfanfaat lagi justru memberi dampak psikologis positif juga bagi mereka seperti tempat bersilaturahmi, “curhat” mem-bangun kebersamaan diantara mereka mereka juga mempunyai orang-orang yang menjadi panutan dan mereka sekarang merasa ada yang mempedulikan seperti pernyataan mereka pada Kotak 3, 4 dan 5 diatas.

Orang-orang yang menjadi panutan tersebut dapat menjadi penjangkau di KPA. Dampak positif secara psikologis tersebut akhirnya kembali lagi memberi dampak positif kepada pengendalian dan pencegahan penyakit IMS maupun HIV/AIDS.

3. Struktur Sosial

Secara struktur social kelompok informan Waria relatif merasa lebih diakui keberadaanya Kotak 46

“….. apa itu istilahnya ABCDE… sy lupa

lagi....maksudnya A itu Abstinen tidak

berhubungan seks..B setia dgn pasangannya… C ..condom alias pake kondom, D jangan pake Jarum suntik narkoba.. E …..…”

WR08

Kotak 48

“…..semua kondom dan lumbrican dapet dari KPA, tiap bulan… kondom dapet 1 pak 144 tapi

pelicinya itu cuma 20 biji perkotak……”

(8)

di masyarakat ini artinya lebih terbuka, dibandingkan kelompok informan dari WPS yang lebih tertutup keberadaannya seperti juga terjadi di Lokalisasi Sunan Kuning, Kota Semarang (Macmudah, dkk, 2011 sehingga lebih sulit dalam pengendalian dan pencegahan penyakit IMS maupun HIV/AIDS.

Dengan demikian mereka dalam menja-lankan tugas lebih bersifat terselubung (diam-diam) yang oleh Iryanto dalam Yuniarti D., 2012 disebut WPS Tidak Langsung.

4. Kerentanan Terhadap HIV/AIDS Yang Dirasakan

Walaupun mereka merasa rentan terhadap penyakit HIV/AIDS (sebagai kelompok resiko tinggi) dan menjadi ancaman namun mereka menggagap penyakit tersebut hal yang biasa-biasa saja, tidak asing lagi karena sudah ada diantara mereka yang menderita HIV/AIDS (ODHA), seperti pernyataan mereka pada Kotak 14 dan 15. Perasaan kerentanan juga merupakan hal wajar dilingkungan para WPS, contohnya terjadi WPS di Lokalisasi Sunan Kuning, Kota Semarang, Jawa Tengah (Machmudah, dkk., 2011), seperti pada contoh pernyataan berikut :

“Saya bisa terkena penyakit kelamin….bahkan

penyakit seperti AIDS”. (R2)

5. Keseriusan Terhadap HIV/AIDS Yang Dirasakan

Demikian juga dalam hal keseriusan terhadap penyakit HIV/AIDS yang dirasakan para informan WPS maupun Waria, mereka menganggap serius terhadap ancaman penya-kit HIV/AIDS namun mereka merasakan dan menanggapinya biasa-biasa saja.

6. Manfaat dan Rintangan Yang Dirasakan

Manfaat yang dirasakan dari kedua kelompok ini (WPS dan Waria) setelah bergabung KPA Lampung Selatan, minimal untuk diri membantu sendiri memahami apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara-cara pencegahannya dan menghilangkan stigma-stigma. Kemudian dapat membanu orang lain (teman sebaya) yang merasa kesulitan mengadapi penyakit HIV/AIDS maupun IMS. Dengan bergabungnya mereka dengan KPA

berarti secara tidak sadar mereka terhubung dengan jaringan penanggulangan penyakit HIV/AIDS (termasuk IMS) yaitu Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM (RSUD Kalianda dahulu) Kab. Lampung Selatan (pernyataa Kotak 19), dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan dan pihak-pihak lain yang terkait.

Hambatan-hambatan yang mereka rasakan dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS adalah selain keberadaan mereka yang belum diterima oleh masyarakat (khususnya WPS) adalah konsumen mereka yang tidak mau menggunakan kondom. Namun dengan mereka mempunyai taktik dan komitmennya. Taktiknya adalah dengan menaikan tarif dan komitmen mereka “No Condom, No Sexs”.

7. Peranan Media Dalam Kampanye HIV/AIDS

Peranan media dalam kampanye HIV/AIDS dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS dikelompok ini yang mereka rasakan paling dominan adalah media-media berasal dari KPA (poster, brosur, alat peraga) dibandingkan sumber-sumber lain seperti TV, Surat Kabar. Media-media luar gedung (out doors) seperti spanduk, billboard, baliho, mereka rasakan sedikit peranannya.

Peranan KPA dalam penyebaran informasi sangat besar kepada mereka karena memang tugas KPA adalah memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS. Selain frekuensi tingkat pertemuan mereka yang dilaksanakan oleh KPA cukup tinggi. Menurut keterangan Sdr. Zakaria Anwar selaku Asisten Koordinator KPA Lampung Selatan dalam setahun rata-rata dilakukan pertemuan 4 kali yaitu Pelatihan PE (Peer Edicator). Menurut Zakaria Anwar diperkirankan kelompok yang dibinanya mencapai tiga ratusan orang untuk WPS dan seratusan orang untuk Waria.

8. Perilaku Pencegahan HIV/AIDS

(9)

penyakit mereka dengan sigap menjawab dengan baik, demikian pula tentang empat terjadinya penyakit.

Tentang sikap para informan tampak “ambigu”, atau mungkin “ragu-ragu”. Dilain pihak mereka mengangap penyakit tersebut menakutkan namun sikap mereka biasa-biasa saja dengan berbagai alasan.

Namun yang menarik adalah perilaku mereka sangat positif terhadap penanggu-langan dan pencegahan penyakit HIV/AIDS. Misalnya semboyan “No Condom No Sexs” seolah menjadi jargon mereka sehari-sehari, karena hampir semua jawaban tentang pencegahan penyakit HIV/AIDS yang utama menajawab “dengan memakai kondom”, kemudian jarum suntik pengguna narkoba dan yang lainnya. Demikian juga terjadi pada WPS di Kota Manado, Sulawesi Utara, dimana mereka selalu menawarkan dan mewajibkan pelanggan untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks (Juliastika, dkk, 2011).

Mereka juga mengerti tentang cara pencegahan yang disemboyankan oleh KPA yaitu “ABCDE” atau A berarti Abstenence (hindari hubungan seks), B artinya Being Faithful (setia pada pasangannya bila ingin berhubungan seks), C (Condom) menggunakan kondom bisa tidak bisa setia pada pasangannya, D (Drugs) tidak mengkonsumsi narkoba, terutama dengan penggunaan jarum suntik (penasun), E (education) memberi penyuluhan pada teman sebaya (peer education) dan orang lain, setelah kita sendiri melakukannya, walaupun secara tidak lengkap karena keterbatasan bahasa Inggris sebagai akibat pendidikan mereka yang rendah. Namun bentuk aksi lain adalah peer education atau memberikan pengetahuan dengan teman sebayanya, seprofesinya, misalnya dengan menberi tahu koseling ke Klinik VCT bila mengalami keluhan-keluhan yang dicurigai penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Peranan peer education ini sangat penting juga terjadi Kota Pontianak (Suwarni, 2009). Sedangkan pengetahuan dan perilaku HIV/AIDS tidak mempunyai hubungan bermakna juga ditemui para WPS di Kota Manado (Juliastika, dkk., 2011), demikian pula hubungan pengetahuan dengan sikap.

Jadi walaupun factor-faktor yang beresiko untuk terjadinya kasus HIV/AIDS, seperti faktor demografi atau karakteristik

informan, struktur social, keseriusan penyakit, kerentanan terhadap penyakit, hambatan-hambatan dan manfaat serta peranan media akhirnya terakumulasi dalam bentuk perilaku yang positif dalam mencegah tertularnya penyakit HIV/AIDS. Program HIV/AIDS lainya ke masya-rakat melalui Dinas Kesehatan Kab. Lampung Selatan selalu bekerja sama dengan KPA dan Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM.

Menurut keterangan pengelola Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM yaitu dr. Reni Indrayani, MKM dan Bambang Riyanto, SKM, dalam menjalankan tugasnya terkadang bersifat “mobile” yaitu memberi layanan konseling dan pemeriksaan di lapangan, seperti di Pelabuhan Penyebrangan Bakauheni. Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM . Klnik VCT sekrang sudah berfungsi sebagai PITC atau Provider Iniciative Testing and Conceling. Kalau Klinik VCT hanya mengandalkan kesukarelaan (Volunteery) yang bersangkutan untuk diperiksa, kalau PITC pemeriksaan insiatif dari pihak petugas bila dicurigai atau masuk dalam kelompok resiko tinggi (para supir truk transit di Pelabuhan Penyebrangan Bakaheni, para penjual/ pedangan asongan, dan para pekerja pelabuhan lainnya).

(10)

Gambar 1. Model Hubungan Kerjasama dan keterkaitan Penaggulangan HIV/AIDS di Kalianda dan Sekitarnya Kabupaten Lampung Selatan

9. Gambaran Kontradiksi Perilaku Penanggulangan HIV/AIDS dengan Jumlah Kasus HIV/AIDS

Keadaan kasus HIV/AIDS positif (ODHA) di Lampung Selatan makin tahun makin meningkat, seolah tidak ada hasil pembinaan jajaran Pemda Lampung Selatan, khususnya pihak KPA, dengan kata lain perilaku pencegahan HIV/AIDS yang sudah baik yang dilaksanakan oleh komunitas WPS dan Waria di Kalianda dan sekitarnya tidak ada gunanya. Sebagai contoh dalam bulan Januari 2014 menurut informasi dari KPA maupun Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM, kasus baru ada 3 orang.

Setelah peneliti mencari informasi bahwa 3 orang tersebut bukan dari kelompok WPS dan Waria binaan KPA dan Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob bazaar, SKM, serta jajaran Pemdakab. Lampung Selatan sebagaimana tergambar pada Gambar 1. Memang seperti yang telah dikatakan oleh para informan tentang keberadaan teman mereka yang telah menjadi ODHA (Kotak 14), bahwa mereka

itu bukan kasus baru, artinya mereka terinfeksi dari sebelum dibina oleh KPA, KPA dan Klinik VCT RSUD Dr. H. Bob bazaar, SKM, sertaj ajaran Pemdakab. Lampung Selatan saat ini belum ada laporan kasus baru penderita HIV/AIDS.

SIMPULAN

1. Perilaku pencegahan penyakit HIV/AIDS oleh kelompok WPS dan Waria sudah baik. Hal ini terbukti tidak ada kasus baru penderita HIV/AIDS dari kalngan mereka (WPS dan Waria);

2. Kinerja KPA, Klinik VCT/PITC RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM, sudah baik namun terus ditemukan penderita baru HIV/AIDS dari kalangan luar, yang belum terjangkau oleh pembinaan dari KPA, Klinik VCT/PITC RSUD Dr. H. Bob Bazar, SKM. 3. Jaringan kerjasama antar pihak terkait dalam

penanggulangan penyakit HIV/AIDS sudah terbentuk di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.

Komunitas WPS

Komunitas Waria

Komisi Penanggulngan AIDS (KPA) Kab. Lampung Selatan

Klinik VCT/ PITC RSUD Dr. H. Bob

Bazar, SKM

Dinas Kesehatan

Badan Pemerdayaan Perempuan dan Keluarga

Berencana (BP2KB) Dinas Tenaga

Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

(BPMD)

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II Kalianda

PT ASPD Indonesia Ferry

(11)
(12)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2012. Profil Keseharan Propinsi Lampung Tahun 2011. Lampung : Dinas Kesehatan Propinsi Lampung.

Juliastika, dkk. 2011. Hubungan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dan Sihap dan Tindakan Penggun Kondom Pria dan Wanita Pekerja Seks di kota Manado, Fakultas Kesehatan Masyamkat. Manado : Universitas Sam Ratulangi.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kemenkes RI.

Praptorahaijo, L, dkk. 2007. Jaringan Seksual dan Perilaku Berisiko Pengguna Napsa Suntik :Episode lain Penyebaran HIV di Indonesia, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 23 No. 3 September 2007.

Machmudah, dkk. 2011. Studi Etno-metodologi Wanita Penjaja Seks (WPS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) di Lokalisasi Sunan Kuning, Kota Semarang;http://jurnal.unimus.ac

Stullhofer, A., et. al. 2005. HIV/AIDS-Realted Knowledge, Attitudes and Sexual Behaviors as Preditors of Condom Use Among Young Adult in Croatia; Croatia: International Family Planning Prespectives, Zagreb, Croatia

Suwarni, L., 2009. Monitoring Parental danPerilaku Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksiual Remaja SMA di Kota Pontianak. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol4/No.2/Agustus 2009.

Tempocom. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Naik. UNDP.

UNDP. 2013. Human Development Indexs Report, 2013.

Gambar

Gambar 1.  Model Hubungan Kerjasama dan keterkaitan Penaggulangan   HIV/AIDS di Kalianda dan Sekitarnya  Kabupaten Lampung Selatan

Referensi

Dokumen terkait

pahlawan yang waras, dan hanya The Joker yang digambarkan sebagai orang gila dalam cerita di novel grafis tersebut. Akan tetapi jika pembaca ingin mengamati lebih dalam

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.36/MEN/2007 tentang Kurikulum Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Edisi

It should be noted, that in contrast to all other prediction methods for aqueous solubility COSMO-RSol is able to predict solubility in almost arbitrary solvents and solvent

Hipotesis awal dari penelitian dengan menambahkan fiber pada tanah lempung yaitu agar kandungan kadar air dan fiber yang ada pada campuran lebih merata

AICS - Inventarisasi Bahan Kimia Australia; ASTM - Masyarakat Amerika untuk Pengujian Bahan; bw - Berat badan; CERCLA - Undang-Undang Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab

Ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat Syattariyah ini, Sebagaimana yang di kutip dalam Ensiklopedi Islam yaitu :

Pidgin juga merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak mengerti apa yang dibicarakan satu

Bapak Agus Samekto, selaku dosen pembimbing yang sangat membantu dan membimbing saya dalam mengerjakan skripsi hingga akhirnya saya lulus.. Terimakasih Bapak atas waktu, tenaga,