• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hugo Grotius dalam Ilmu Hubungan Interna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hugo Grotius dalam Ilmu Hubungan Interna"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah Ringkasan I Pengantar Ilmu Hubungan Internasional

NPM : 1406541266

Sumber Utama : Bull, Heddley., Benedict Kingsbury, Adam Roberts. Hugo Grotius and International Relations, New York : Oxford University, 1992

Sepanjang perkembangan ilmu hubungan internasional, terdapat berbagai kontribusi pemikiran berupa konsep-konsep hingga teori dari berbagai tokoh yang terkait dengan ilmu ini, salah satunya adalah Hugo Grotius. Untuk itu, pada tulisan ini akan dibahas mengenai konsep dan ide yang dikemukakan oleh Hugo Grotius semasa hidupnya. Dalam menjelaskannya, tulisan ini menggunakan metode historis dan konseptual yang terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan dimulai dengan sejarah singkat Hugo Grotius. Pada bagian kedua akan menjelaskan mengenai konsep dan idenya seperti sovereignity, just war, freedom of the sea, hingga international society beserta kritikan dari tokoh lain. Kemudian, pada bagian terakhir akan ditutup dengan sebuah kesimpulan mengenai kontribusi Hugo Grotius dalam ilmu hubungan internasional.

Hugo Grotius, yang lahir di sebuah kota di utara Belanda, Delft pada 10 April 1583 merupakan seorang ahli hukum, filsuf, dan sastrawan terkenal di zamannya. Beliau adalah seorang pemikir yang hidup di abad ke-15 yang ide-idenya dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah kondisi eropa ketika itu yang dilanda perang selama tiga puluh tahun, perjuangan kemerdekaan Belanda dari Spanyol, dan perebutan akses jalur perdagangan wilayah timur jauh.1 Pemikiran Hugo Grotius juga kemudian banyak terinspirasi oleh filsuf

zaman klasik seperti Aristotle dan Stoics. Paham Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran Hugo Grotius didapatkannya ketika beliau menempuh pendidikan liberal arts di Universitas Leiden. 2

Setelah menyelesaikan pendidikannya tersebut, pada umurnya yang ke-lima belas, Hugo menerima tawaran untuk menjadi bagian dari delegasi Belanda yang diutus untuk menemui Mahkamah Agung Prancis pada tahun 1598.3 Delegasi yang dipimpin oleh Jan Van

1 Heddley Bull, Benedict Kingsbury, Adam Roberts. Hugo Grotius and International Relations. ( New York : Oxford University, 1992 ) hlm. 1

2 A. Bloom. 2014. “Hugo Grotius, Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses dalam

http://www.iep.utm.edu/grotius/ pada 14 Februari 2015, pukul 19.25

3 Miller, Jon, "Hugo Grotius", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2014 Edition), Edward N. Zalta (ed.) diakses dalam

(2)

Oldenbarnevelt ini bertujuan untuk memperoleh dukungan Prancis bagi kemerdekaan Belanda.

Meskipun misi tersebut gagal mencapai tujuannya, namun, Hugo Grotius berhasil mendapatkan apresiasi dari Raja Henry IV dengan menjulukinya sebagai “the miracle of Holland”.4 Apresiasi itu diberikan karena keterlibatan Hugo sebagai delegasi di umurnya

yang masih cukup muda. Implikasi dari hal tersebut, membuat Hugo berkesempatan untuk tinggal lebih lama di Prancis dan melanjutkan pendidikan doctoral di bidang hukum sebelum kembali ke Belanda di tahun berikutnya.

Kembalinya dari Prancis, Hugo Grotius harus menghadapi berbagai dinamika politik yang berkembang di negaranya. Dinamika-dinamika itu kemudian melahirkan fondasi dari berbagai konsep yang dikenal dalam hubungan internasional kontemporer seperti,

sovereignity, the freedom of the sea, law of nation, international society dan on the law of war and peace. Masing-masing konsep dan teori ini tidak terlepas dari pemahaman Hugo Grotius mengenai natural law.5

Merujuk pada buku International Relations Theory :Fourth Edition karya Viotti dan Kaupi, natural law merupakan sebuah hukum yang datangnya dari tuhan, dan melekat secara alamiah melebihi hukum-hukum lain yang dibuat oleh manusia. Meskipun konsep natural law bukan merupakan hasil pemikiran Hugo Grotius secara murni, tetapi pemahamannya mengenai natural law memiliki posisi tersendiri dalam hukum internasional.

Unsur-unsur Natural Law pada pemikiran Hugo Grotius dapat terlihat dari konsep

Sovereignity yang beliau kemukakan. Berdasarkan buku Hugo Grotius in International Thought karya Rene Jefferey, sovereignity merupakan hak luar biasa untuk memimpin dan memerintah negara yang mana tidak ada otoritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehendak masyarakat yang ada di negara itu. Menurut Hugo, masyarakat memiliki hak “alamiah” untuk menentukan oleh siapa mereka dipimpin dan kepada siapa sovereignity akan diberikan.6 Hal ini dikarenakan setiap bagian dari masyarakat perlu memastikan bahwa

kepentingan mereka dijamin oleh otoritas pengelola sovereignity.

4 Jeferee Renee, Hugo Grotius in International Thought. (London : Palgrave Macmilan 2006), hlm. 4

5 Ibid., hlm. 15

6 A. Bloom. 2014. “Hugo Grotius, Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses dalam

(3)

Konsep sovereignity yang dicetuskan oleh Hugo Grotius, dilatar belakangi oleh pemberontakan Belanda terhadap pemerintahan Spanyol pada tahun 1601.7 Sebagai pemikir

yang bekerja bagi pemerintah Belanda, Hugo Grotius diminta untuk membuat justifikasi hukum dari tindakan tersebut. Melalui karyanya, De Antiquate Reipublicae Batavicae, Hugo menyampaikan beberapa inti pernyataan sebagai bentuk justifikasi hukum itu.8 Inti

pernyataan pertama berisi bahwa Belanda memiliki hak penuh atas sovereignity-nya sendiri dan berhak pula untuk menentukan kepada siapa hak pemerintahan diberikan. Inti pernyataan kedua adalah pemberontakan yang dilakukan Belanda dapat dikonsiderasi sebagai tindakan yang benar secara hukum, karena pemberontakan itu bertujuan untuk memperjuangkan hak rakyat Belanda. Karya ini kemudian berujung pada pertanyaannya mengenai legitimasi okupansi Spanyol atas Belanda.

Konsep sovereignity Hugo Grotius, merupakan sebuah kritik dari ide awal

sovereignity yang dikemukakan oleh Jean Bodin di tahun 1579.9 Jean Bodin berpendapat

bahwa kaum royalist-lah yang menguasai sovereignity secara absolute dan tidak terpisahkan. Hal-hal tersebut yang kemudian dibantah oleh Hugo Grotius dalam Commentarius in Theses XI. bahwa penguasaan sovereignity tidak terfokus kepada kaum royalist tetapi dapat dibagi kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat.10

Pandangan Hugo Grotius mengenai sovereignity memiliki kaitan dengan teorinya yang lain yaitu Just War. Kaitannya adalah perang yang dilakukan dalam rangka mempertahankan sovereignity dapat dikategorikan sebagai just war. Just War adalah perang yang tidak bertentangan dengan hukum karena dilakukan untuk tujuan yang baik. Hugo Grotius dalam karyanya yang berjudul The Rights of War and Peace : Book 2, menyatakan bahwa perang dapat menjadi just war apabila dilakukan untuk pertahanan, merebut kembali hak kepemilikan, dan sebagai hukuman atas pelanggaran yang dilakukan.

Konsepsi just war dirumuskan oleh Hugo Grotius berdasarkan pengamatan Cicero, dimana tidak ada binatang yang tidak ingin tubuhnya utuh dan hidup lama, semua binatang akan melakukan pertahanan diri apabila diserang, dan menjaga diri tetap hidup dengan makan.11 Hal ini memberikan pandangan bahwa beberapa perang tidak bertentangan dengan

7 Ibid., Renee, Hugo Grotius In International Thought, hlm. 5 8 Ibid.,

9 Ibid.,

10 Ibid.,

(4)

hukum alam. Selanjutnya, pandangan dan analogi tersebut dapat dipahami dalam konteks kehidupan manusia dengan argumentasi dari Galen yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang siap berperang dan berdamai.12

Prinsip-prinsip just war sendiri sesungguhnya sudah disusun oleh berbagai tokoh seperti Cicero, Agustine, Aquinas, Gentili, Vitoria, dan Suarez, sejak berabad-abad sebelumnya, tetapi perbaikan datang ketika Hugo Grotius berhasil mengimplementasikan konsep just war dalam hukum internasional. Meskipun demikian, Hugo mengakui bahwa ketika perang, pelaksanaan hukum ditunda sementara dan hanya ketika just war-lah hukum dilaksanakan.13 Pelaksanaan hukum disini adalah ketaatan perang terhadap hukum.

Sebagai salah satu filsuf just war, Hugo Grotius tidak menyarankan penyelesaian masalah dengan menggunakan perang sebagai pilihan utama. Hugo Grotius berpandangan bahwa perang adalah pilihan terakhir ketika masalah tidak terselesaikan melalui proses pengadilan.14 Setelah perang terpaksa harus terjadi, Hugo Grotius menekankan bahwa

cara-cara yang digunakan tetap harus berlandaskan moral dan hak manusia, karena hal tersebut menunjukkan komitmen pihak yang berperang terhadap hukum. Komitmen terhadap hukum ini dalam dunia kontemporer dikenal dengan istilah pacta sunt servanda (janji yang harus ditepati).

Selain Just War, kontribusi lain Hugo Grotius dalam hubungan internasional adalah konsep mare liberum atau Freedom of the sea. Konsep ini dilatarbelakangi oleh klaim Portugis atas monopoli perdagangan di wilayah Samudera Hindia. Monopoli perdagangan ini dinilai sangat merugikan Belanda karena kebijakannya yang mewajibkan pihak-pihak yang berdagang untuk memiliki lisensi resmi dari pemerintahan Portugis15

Perusahaan dagang Belanda yang beroperasi di sekitar Samudera Hindia, Dutch East Indies Company belum memiliki lisensi resmi sehingga harus mengurusnya terlebih dahulu dengan pemerintah Portugis.16 Tetapi, dengan adanya kedekatan antara Portugis dan Spanyol,

pemerintah Portugis melarang Dutch East Indies Company untuk mendapatkan lisensi resmi-nya karena Belanda sedang berperang terhadap Spanyol. Terhambatresmi-nya ekspansi

12 Galen dalam Hugo Grotius, The Rights of War and Peace Book 1, (Indianapolis: Liberty Fund, Inc, 2005), hlm. 184

13 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory, (New York: Pearson, 2010), hlm. 259

14 Ibid., hlm. 257

15 Stephen Neff. Hugo Grotius on the law of war and peace. ( New York : Cambridge University Press, 2012 ), hal. xv

(5)

perdagangan Belanda menjadi implikasi dari keputusan sepihak pemerintahan Portugis itu. Aktivitas ekonomi Belanda ikut terganggu akibat kesulitan mendapatkan bahan baku.

Berdasarkan pertimbangan kerugian tersebut, pada tahun 1602, Dutch East Indies Company menangkap dan menyita seluruh isi kapal “Catherina” milik Portugis yang sedang berlayar di Samudera Hindia.17 Penangkapan ini terjadi sebagai reaksi atas monopoli

perdagangan yang dijalankan oleh Portugis. Belum adanya hukum internasional yang melarang sebuah negara melakukan monopoli perdagangan di wilayah tertentu, membuat tindakan perusahaan dagang Belanda tersebut dipertanyakan legalitas-nya. Hal ini menjadi tanggung jawab yang berat bagi Hugo Grotius, bukan hanya karena beliau bertugas sebagai pengacara perusahaan ketika itu, tetapi Dutch East Indies Company ini juga dikelola oleh keluarganya. Lebih jauh lagi, Hugo juga menyadari bahwa aktor utama dalam hubungan internasional pada awal abad ke 17 bukan lagi sebuah negara melainkan sebuah perusahaan swasta.18

Hugo Grotius harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tekanan tidak hanya datang dari pihak internasional, melainkan datang juga dari kaum pacifist

domestik yang mempertanyakan mengapa penangkapan dan penyitaan dipilih sebagai reaksi dari monopoli yang dijalankan oleh pemerintahan Portugis.19

Setelah melalui proses berfikir mendalam, akhirnya semua pertanyaan tersebut mampu dijawab oleh Hugo Grotius dalam karyanya yang berjudul Mare Liberum atau The Freedom Of The Sea. Terdapat beberapa argumentasi Hugo Grotius dalam karyanya tersebut. Pertama, seorang yang berkewarganegaraan Belanda, berhak untuk melakukan pelayaran ke

east Indies. Argumentasi ini didukung oleh aksioma yang terdapat dalam karyanya yang lain,

the law of nation, yaitu “Every nation is free to travel; to every other nation, and to trade with it”.20 Menurut beliau, meskipun dalam proses gencatan senjata dengan Spanyol, Spanyol

tidak dapat melarang rakyat Belanda untuk melakukan pelayaran dan perdagangan, karena kedua komponen tersebut merupakan bagian dari hak setiap bangsa yang dijamin oleh hukum alam.

17 Ibid., Renee, Hugo Grotius In International Thought, hlm. 6

18 Richard Tuck (ed.),. The Rights of War and Peace: Book 1.( Indianapolis: Liberty Fund, 2005 ) hlm. xiii

(6)

Lebih lanjut terkait dengan argumentasi pertama, Hugo menjelaskan bahwa tujuan Tuhan menciptakan dunia dengan angin yang berhembus dari suatu tempat ke tempat lainnya adalah agar manusia dapat berlayar ke mana saja untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadi hak setiap bangsa untuk melakukan tindakan tersebut. 21 Dengan demikian, tidak boleh ada

pihak lain yang membatasi manusia untuk mengakses tempat tertentu dan melakukan perdagangan di tempat tersebut.

Argumentasi kedua yang disampaikan Hugo Grotius adalah Belanda terpaksa melakukan penangkapan kapal Portugis karena Portugis tidak percaya terhadap Belanda dalam persaingan perdagangan di Samudera Hindia. Hal ini dibuktikan dengan Portugis yang menggunakan power mereka untuk memonopoli perdagangan di wilayah tersebut. 22 Dengan

demikian, menurut Hugo, penggunaan armada Belanda dalam rangka menangkap kapal Portugis adalah tidak bertentangan dengan hukum, karena dilakukan untuk melindungi hak berdagang Belanda.

Argumentasi ketiga Hugo Grotius adalah laut terbuka bagi semua bangsa untuk melakukan perdagangan dan pelayaran. Hugo percaya bahwa laut tidak dapat dimonopoli oleh salah satu pihak dan tidak sepatutnya dibagi berdasarkan kekuasaan.23 Apabila hal itu

dilakukan maka akan menimbulkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan dengan laut tersebut. Hanya saja garis batas tetap diperlukan untuk menandai wilayah negara yang berbatasan langsung dengan laut. Dalam buku International Relations Theory :Fourth Edition karya Viotti dan Kaupi, awalnya wilayah teritorial negara adalah tiga mil ditarik dari pantai terluar negara tersebut. Jarak itu dipilih karena merupakan jarak jangkauan terjauh meriam ketika itu.24

Melalui ketiga argumentasi yang terdapat dalam karyanya tersebut, Hugo Grotius mampu memberikan justifikasi atas penangkapan kapal Portugis, sekaligus menginvalidasi klaim monopoli perdagangan dan pelayaran laut. Dengan segala manfaatnya tersebut, karya Hugo Grotius, Freedom of the sea di kemudian hari menjadi fondasi dari hukum perdagangan internasional dan hukum internasional lainnya.

(7)

Selanjutnya pemikiran Hugo Grotius terakhir yang akan dijelaskan oleh penulis dalam tulisan ini adalah mengenai konsep international society. Konsep International Society yang dirumuskan oleh Hugo Grotius memiliki sumbangsih besar dalam perkembangan ilmu hubungan internasional. Konsep ini menjadi paradigma baru dalam memahami hubungan antar negara-negara dan komponen penyusunnya. Bull, dalam karyanya yang berjudul

Anarchial Society : A Study of Order in World Politics, menjelaskan pandangan Hugo Grotius mengenai international society itu sendiri.

Idea of international society: the notion that states and rulers of states are bound by rules and form a society or community with one another, of however rudimentary a kind”.25

Menurut Keene, pandangan Hugo Grotius ini berada pada posisi diantara kedua paradigma besar yang dikemukakan oleh Machiaveli, Hobbes dengan teori realisme dan Imannuel Kant dengan teori cosmopolitan.26 Machiavelli dan Hobbes menyatakan bahwa

negara dan pemimpin dalam menghadapi state of nature tidak dibatasi oleh ikatan hukum apapun, sehingga mereka berhak untuk menentukan kebijakan apa saja yang diambil. Sedangkan, Kant menyatakan bahwa negara dan pemimpin dapat melakukan transformasi hubungan internasional ke arah hubungan moralitas yang independen agar terlepas dari state of nature.27

Setelah mempertimbangkan hal penting dari pandangan Machiavelli, Hobbes, dan Kant, Hugo Grotius kemudian merumuskan pandangan baru yang dinamakan dengan rasionalisme. Pandangan ini berisi bahwa negara dan pemimpin diikat oleh aturan-aturan dan bersama mereka membentuk sebuah masyarakat. Mereka memang independen antara satu dengan yang lain, memiliki otoritasnya masing-masing, dan berdaulat. Meskipun begitu, mereka tidak berada pada state of nature melainkan pada sebuah masyarakat yang sangat besar. Tanpa adanya institusi sentral, menurut Hugo, masyarakat yang berdiri diantara pemimpin dan rakyat adalah masyarakat tanpa pemerintahan atau masyarakat anarki 28

Penerapan konsep international society yang dirumuskan oleh Hugo Grotius dapat dilihat pada Peace of Westphalia . Peace of Westphalia merupakan traktat perjanjian damai yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Jerman, dan perang selama delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol. Peace of Westphalia juga menjadi penanda lahirnya

25 Ibid, Bull, Kingsbury, Roberts. Hugo Grotius and International Relations, hlm. 71 26 Ibid,

27 Ibid , hlm. 72.

(8)

nation-states dan bergantinya tatanan hubungan internasional dari international system

menuju ke arah international society.29

Dalam konsep international society, setidaknya ada 5 fitur yang menjadi inti pandangan Hugo Grotius.30 Pertama, natural law memiliki posisi sentral dalam international society. Pemimpin adalah seorang manusia. Negara atau rakyat adalah kumpulan dari manusia. Alasan dasar natural law memiliki posisi sentral adalah karena pemimpin dan negara merupakan subjek hukum dari natural law. Hukum tersebut mengikat seluruh anggota masyarakat.

Kedua, nilai universalitas dalam internasional society. Grotius menyadari bahwa dunia tidak tersusun hanya oleh negara mayoritas Kristen atau katolik saja, tetapi sangat beragam. Oleh karena itu dalam international society, perlu menjunjung tinggi nilai universal dan penghormatan terhadap hak anggota seluruhnya. Ketiga, posisi individu dan kelompok non-negara. Menurut Hugo, anggota dari international society tidak hanya negara dan pemimpin, melainkan juga individu dan kumpulan individu yang ada di dalam negara tersebut. Meskipun demikian, Hugo membedakan antara individu dan kelompok non-negara dengan negara.

Menurut Hugo, individu dan kelompok non-negara tidak memiliki hak dan otoritas untuk mengadakan perang. Hanya negara saja sebagai otoritas pemegang sovereignity yang berhak mengadakan perang. Individu dan kelompok non-negara diperbolehkan untuk menyelenggarakan perang apabila dalam kondisi yang sangat mendesak. Kumpulan dari pendapat Hugo tersebut sebenarnya juga relevan dengan konsep yang ia kemukakan, bahwa

sovereignity tidak absolute pada individu tertentu melainkan dimiliki bersama-sama. Kemudian, posisi Individu dan kelompok non-negara ini meningkat setelah adanya revolusi amerika dan Prancis, yang sebelumnya sesuai konsep international society of states menjadi

international society of nations.

Keempat, solidarisme dalam menerapkan hukum dan aturan. Hukum yang berlaku wajib ditaati oleh seluruh anggota international society dengan derajat pelaksanaan yang sama. Ketika terjadi perang,, setiap pihak wajib menghargai keputusan pihak lain, baik untuk tetap netral, menolak maupun bergabung dalam perang. Paska perang dunia pertama, poin solidarisme ini muncul kembali dan menjadi landasan ide dari collective security dibawah

(9)

Liga Bangsa-Bangsa. Kelima, absennya institusi internasional. Dengan tidak adanya institusi internasional maka pelaksanaan hukum di masyarakat menjadi tidak terkontrol. International Society menurut Hugo Grotius dapat menjadi fondasi berdirinya institusi internasional ini.

Dengan beragamnya teori dan konsep yang dirumuskan oleh Hugo Grotius, sebagai seorang pemikir, beliau juga harus menerima berbagai bentuk saran dan kritik terhadap teori dan konsep-konsepnya tersebut. Salah satunya adalah kritik yang datang dari Professor B.V.A.Rolling terkait dengan teori “the freedom of the seas”.31 Menurut Rolling, Hugo

Grotius telah menjustifikasi penyebaran imperialisme dan kolonialisme Eropa di wilayah peripheri seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Hal ini dikarenakan konsep yang beliau gunakan sangat permisif.

Kritik kedua yang disampaikan oleh Rolling adalah, Hugo Grotius menafsirkan hukum internasional untuk melindungi kepentingannya sendiri. Hugo Grotius dinilai melakukan multiinterpretasi terhadap konsep yang beliau kemukakan. Contohnya pada latar belakang perumusan teori “the freedom of the seas”, Hugo menentang klaim monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Portugis di wilayah Samudera Hindia. Klaim tersebut sangat merugikan Belanda ketika itu. Namun beberapa tahun berikutnya, Hugo Grotius justru berusaha melindungi klaim monopoli Belanda di wilayah yang sama, dalam persaingan perdagangannya melawan Inggris.

Kritik lainnya datang pada konsep “Just War”. Pada masa kebangkitan teknologi nuklir sebagai persenjataan militer seperti sekarang, membuat konsep dari Hugo Grotius ini menjadi tidak relevan dan sudah ketinggalan zaman.32 Konsep ini dianggap akan

menjustifikasi penggunaan nuklir dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari ancaman apapun baik secara langsung maupun tidak. Berangkat dari anggapan inilah justru yang membuat “Just War” justru akan lebih mengancam kehidupan manusia dibandingkan dengan “Unjust War”.

Dari berbagai teori dan konsep yang telah dibahas oleh penulis dalam tulisan ini, tidak dapat dibantah lagi, bahwa pemikiran Hugo Grotius telah banyak berpengaruh dalam perkembangan dunia hubungan internasional. Secara nyata, Hugo telah memberikan sebuah paradigma baru yang dinamakan rasionalisme dalam melihat hubungan antar negara-negara.. Paradigma ini juga merupakan titik tengah sekaligus gabungan dari kedua paradigma besar

(10)

yakni, Realist dari Machiavelli dan Thomas Hobbes, serta cosmopolitan atau revolutionist dari Immauel Kant. Kontribusi lain Hugo Grotius bagi hubungan internasional adalah dukungannya terhadap teori just war yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, dan pemikirannya yang menjadi pondasi dari hukum perdagangan internasional, dan hukum internasional lain. Keseluruhan kontribusi Hugo Grotius ini, tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, A., 2014. “Hugo Grotius, Internet Encyclopedia of Philosophy diakses dalam

http://www.iep.utm.edu/grotius/ pada 14 Februari 2015, pukul 19.25

Bull, Heddley. Benedict Kingsbury, Adam Roberts. Hugo Grotius and International Relations, New York : Oxford University, 1992

Cicero dalam Hugo Grotius, The Rights of War and Peace Volume 1, Indianapolis: Liberty Fund, Inc, 2005

Galen dalam Hugo Grotius, The Rights of War and Peace Book 1, Indianapolis: Liberty Fund, Inc, 2005

Jefferey, Renee, Hugo Grotius in International Thought. London : Palgrave Macmilan, 2006

Miller, Jon, "Hugo Grotius", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2014 Edition), Edward N. Zalta (ed.) diakses dalam

http://plato.stanford.edu/archives/spr2014/entries/grotius/ pada 14 Februari 2015, pukul 20.23

Neff, Stephen, Hugo Grotius on the law of war and peace. New York : Cambridge University Press, 2012.

Tuck, Richard (ed.), The Rights of War and Peace: Book 1. Indianapolis: Liberty Fund, 2005

Tuck, Richard (ed.), The Rights of War and Peace Book 2, Indianapolis: Liberty Fund, 2005

Referensi

Dokumen terkait

Serikat menjadi satu-satunya negara superpower yang mendominasi konteks hubungan internasional dalam segala dimensinya (militer, politik, ekonomi,

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan diplomatik antara satu negara dengan negara lain menurut hukum Internasional, bagaimana

Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel

“Hubungan Diplomatik Taiwan dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai. Subjek