• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pramoedya dan Ilmu Sejarah dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pramoedya dan Ilmu Sejarah dan "

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pramoedya dan Ilmu Sejarah Oleh Bagas Yusuf Kausan

Pasca kejatuhan rezim militer Soeharto, geliat dunia literasi dan kebudayaan menapaki jalan baru yang lebih bebas. Segala bentuk pengekangan, penyeragaman, hingga indoktrinasi dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia, perlahan-lahan mulai memudar (meskipun tidak semuanya). Gelombang reformasi, masih menyisakan banyak sektor yang berjalan stagnan dan—alih-alih mendapat angin segar reformasi—sektor-sektor tersebut justru menguat dan sukar untuk berubah. Sementara salah satu sektor yang mendapat dampak cukup signifikan dari gelombang reformasi ialah studi kesejarahan. Monopoli kebenaran dalam sejarah, yang dahulu dipraktekan oleh Pemerintahan Orde Baru melalui narasi sejarah dan produk kebudayaannya, mulai menemukan banyak kritik dan narasi tandingannya. Sebanyak 1600 judul buku yang mempersoalkan kisah masa lalu versi Orde Baru, beramai-ramai terbit dengan bantuan dana yang besar dari Ford Foundation, pasca Mei 1998 (Nordholt, dkk, 2013). Sedangkan sederet nama tokoh-tokoh yang sempat dianggap berbahaya, mulai direhabilitasi dan kembali mencuat ke permukaan. Dari sekian nama tokoh-tokoh yang dilupakan pada masa Orde Baru, adalah sosok Pramoedya Ananta Toer.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu korban pembuangan massal ke Pulau Buru, pada masa-masa awal berkuasanya Orde Baru. Pram dianggap sebagai orang komunis, yang pada tahun 1965, diceritakan telah melakukan pengkhianatan terhadap ideologi pancasila. Cap sebagai komunis yang disandang oleh Pram —yang mengantarkannya menuju pembuangan massal, sirna setelah Pram dinyatakan bebas pada tahun 1979. Meski demikian, dengan rekam-jejak sebagai eks-tapol, Pram tetap dikenang sebagai salah-satu sastrawan terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia.

(2)

Dari sekian produk tulisan yang dilahirkan oleh Pram, Tetralogi Pulau Buru bisa dibilang merupakan Magnum Opus dari karya-karya yang dihasilkan lelaki asal Blora tersebut. Melalui karyanya itu, Pramoedya melejit menjadi salah satu penulis karya fiktif terkemuka di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadikan karya-karya Pram lainya menjadi lesu dan tak bernilai. Puluhan karya ilmiah-akademik—baik berupa buku, disertasi, skripsi, dan artikel—yang menyangkut pembahasan, peninjauan, dan kajian atas karya-karya Pramoedya Ananta Toer—baik karya-karya diawal karir penulisan, maupun semasa menjadi tahanan Pulau Buru—merupakan simbol pengakuan atas karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainya.

Dengan bekal keberagaman bentuk tulisan dan segudang penghargaan dan apresiasi yang luar biasa bagi sosok Pramoedya Ananta Toer, sayangnya, Ia tetap hanya dikenal dan diposisikan sebagai sastrawan dan seorang novelis semata. Jarang sekali ada yang memposisikan Pram sebagai seorang sejarawan, misalnya, atau memposisikan Pramoedya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Farid, 2013). Padahal, jika menelusuri kembali karya-karya Pramedya Ananta Toer, kita akan menemukan berbagai tulisan yang tidak hanya bergenre novel. Banyak tulisan Pramoedya yang berbentuk artikel dan terbit dalam koran, maupun pamplet di masa itu. Disamping itu, terdapat pula produk penulisan Pramoedya yang dijadikan bahan diktat perkuliahan.

(3)

Latar belakang ini lah yang kerap luput dari penglihatan, terutama oleh instansi-akademik kesejarahan. Hal ini, secara tidak sadar, telah menimbulkan pelbagai dampak yang terus-menerus menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Maka pertanyaan semacam; apakah novel Pram layak dijadikan sumber sejarah; apakah layak Pram disebut sebagai sejarawan; dan mengapa nama Pramoedya Ananta Toer sempat dianggap berbahaya oleh negara—pada akhirnya, tak kunjung juga menemukan jawabannya.

Historiografi, Stigma, dan Hegemoni

Dalam studi keilmuan sejarah, historiografi merupakan sebuah tahapan terakhir dari serangkaian metodologi penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini, historiografi merupakan sebuah proses menyusun secara tertulis hasil temuan-temuan dalam satu penelitian sejarah yang siap dibaca oleh pembacanya. Historiografi dapat pula dipandang sebagai bentuk akhir dari sebuah rekonstruksi masa lalu dalam bentuk sebuah tulisan sejarah. Tak heran, banyak juga yang menganggap historiografi adalah sebentuk dari penulisan sejarah itu sendiri.

Perkembangan historiografi, tidak dapat dipisahkan pula dari konteks kekuasaan dan ilmu pengetahuan di suatu zaman tertentu. Hal-hal tersebut, berdampak cukup jelas dalam corak historiografi yang dihasilkan. Pada masa penjajahan Belanda, historiografi mengenai Indonesia disesaki oleh kecenderungan Belandasentris. Sementara pasca Seminar Sejarah tahun 1957, historiografi Indonesia bergeser menjadi Indonesiasentris, dengan semangat untuk menulis sejarah Indonesia dari perspektif orang Indonesia sendiri atau history from within. Dekolonisasi menjadi term utama dalam setiap penulisan sejarah. Diponegoro yang dipandang Belanda sebagai seorang ‘pemberontak’, mulai diputar menjadi seorang ‘pahlawan’. Pergeseran corak historiografi dari Belandasentris ke Indonesiasentris—yang sesuai dengan tema pembangunan nasion oleh Bung Karno—ternyata memiliki pula implikasi yang cukup mengejutkan, yaitu; menguatnya kecenderungan jawasentris. Kecenderungan baru ini disebabkan oleh penelusuran asal-usul nasion Indonesia, yang disadur dari pengalaman keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa. Sontak, kecenderungan ini menimbulkan ragam kritik dan tawaran alternatif untuk melihat asal-usul nasion Indonesia.

(4)

dipengaruhi oleh ketersediaan basis Critical Studies, keberadaan aliran sejarah Mazhab Annales, dan mulai munculnya pendekatan Multidementional Approach yang menyediakan ruang bagi ilmu-ilmu sosial lain dalam sebuah penelitian sejarah. Produk intelektual Sartono Kartodirdjo dalam hal ini ialah dengan munculnya buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang menyisakan porsi yang besar bagi masyarakat kecil dalam sejarah.

Gerbang baru penulisan sejarah (historiografi) Indonesia kembali menemukan babak kelamnya, ketika Presiden Soeharto dengan kekuatan militer dan jejaring Internasionalnya menduduki singgasana kepresidenan Indonesia. Historiografi pada masa ini, yang berbarengan dengan memuncaknya politik Floating Mass yang digawangi Orde Baru, memunculkan sekian produk penulisan sejarah—yang sarat akan kepentingan penguasa. Lebih parahnya lagi, kebenaran dalam sejarah, oleh Orde Baru, dimonopoli sedemikian rupa hingga membentuk memori kolektif tertentu dalam pemikiran masyarakat. Kondisi demikian berkelindan dengan terjadinya geger politik tahun 1965, dimana konstruksi sejarah sangat diperlukan untuk melegitimasi kekuasaan yang baru terbentuk. Dan Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis sejarah, yang menjadi korban atas bangunan kesejarahan masa Orde Baru. Stempel komunis yang disandang Pram, semakin memperjelas kesuraman karir kepenulisan Pramoedya Ananta Toer ini.

(5)

kelompok kiri. Maka dari segi pemikirannya, sebenarnya, Pramoedya lebih dekat dengan tradisi nasionaliskiri yang diwakili oleh Partindo dan Soekarno sendiri, ketimbang tradisi Marxis PKI (Farid, 2013).

Perbedaan kerangka berpikir dalam melihat kesenian antara realisme sosialisnya Lekra dan humanisme universalnya Manikebu, sempat mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Indonesia pada tahun 1960an. Meski pada akhirnya kelompok Manikebu harus dibubarkan oleh Presiden Soekarno, namun pikiran dan tokoh-tokohnya masih tersisa dan menciptakan hegemoni kebudayaan pasca tahun 1965. Pramoedya yang terlibat dalam perseteruan tersebut, baik secara tulisan dan tindakan untuk menggasak lawan politiknya, berdampak pula pada status dan stigma yang mengantarkannya ke Pulau Buru. Perlu diingat, Manikebu yang dekat juga dengan PSI, merupakan salah satu kelompok yang mendapatkan posisi tawar paling meyakinkan setelah berkuasanya Presiden Soeharto. Dengan rekam jejak Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu seniman Lekra, sekaligus sebagai gerombolan komunis yang melakukan pemberontakan pada tahun 1965, maka Pramoedya pantas untuk dibuang ke Pulau Buru.

(6)

Disamping label yang terlanjur melekat dalam diri Pramoedya Ananta Toer sebagai eks-tapol, terdapat pula faktor lain yang turut menyumbang kesukaran menentukan posisinya dalam Ilmu Sejarah. Pemisahan antara sastra dan sejarah, terutama semenjak sejarah mulai diproyeksikan sebagai sebuah ilmu—yang dengan itu memiliki kaidah, metodologi, dan kekhasannya sendiri—berdampak besar pada posisi karya-karya Pramoedya dalam diskurs penulisan sejarah. Disamping itu, menguatnya cara pandang dan cara kerja positivisme dalam sejarah, yang identik dengan obsesinya pada objektivitas, kenetralan, dan berkaidah ilmiah yang ketat, secara tidak langsung, memojokan pula posisi Pramoedya Ananta Toer yang dipandang sebagai penulis yang penuh gairah, sangat subjektif, bermuatan politik, dan tidak terlalu peduli pada kaidah ilmiah dalam tiap-tiap penulisan sejarah (historiografi) yang Ia buat. Hegemoni cara pandang positivistik inilah yang mekar di tubuh Ilmu Sejarah, hingga saat ini. Meskipun, dari segi ke-obyektif-an dalam penulisan sejarah pun, telah menuai banyak kritik yang mendasar. Semisal, dalam pengembangan pemikiran Michael Foucault, dimana Ia mampu membuka peluang penyingkapan relasi kekuasaan dalam ilmu pengetahuan, yang berarti bahwa; pada dasarnya, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sejarah) sebenarnya tidak dapat bersifat netral, obyektif, dan tak berdosa. Hal ini dikarenakan oleh keterkaitannya dominasi dan relasi kekuasaan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri (Fakih, 2001). Selain itu, berpijak pada sejarah historiografi, akan terlihat pula bahwa historiografi pada masa apapun—termasuk pemikir dan aliran penyokongnya—sulit untuk benar-benar mampu obyektif dan netral sebagaimana yang diimpikan oleh cara pandang positivistik. Pada titik ini, Pramoedya adalah contoh sempurna sosok pemikir cum penulis sejarah yang terbunuh oleh hegemoni cara pandang positivisme.

Pramoedya Ananta Toer Melampaui Ilmu Sejarah

Bisa dikatakan bahwa meskipun Pramoedya Ananta Toer menempuh kesunyian dalam studi kesejarahan, Ia tetap memiliki kontribusi yang meyakinkan bagi Ilmu Sejarah. Alih-alih hanya berpikir untuk mengkonstruksi sejarah, Pram justru berdiri pada simpul yang lebih tinggi dengan menawarkan dekonstruksi dalam studi kesejarahan. Meskipun Pramoedya tidak telibat langsung dalam perdebatan mengenai historiografi kolonial yang diposisikan diametral dengan historiografi Indonesia, Pram turut berkomentar pula mengenai hal tersebut, seperti yang ditangkap oleh Hilmar Farid (2013);

(7)

ditjapai, jaitu sosialisme, dan sedjalan dengan itu filsafat sedjarah jang paling tepat ialah filsafat jang mendjadi dasar negara, jaitu Pantjasila dengan program umumnya Manipol”

(Toer 1964), (Farid, 2013)

Kritik Pram terhadap historiografi kolonial, tidak hanya menyasar pada perspektif kolonial dalam membangun sejarah kita semata, namun juga menyisir sisi perbuatan kolonial dalam membersihkan sejarah dengan memusnahkan arsip, menyingkirkan karya dan orang tertentu dari catatan sejarah, dan membuang orang agar dilupakan oleh masyarakatnya. Untuk melawan kecenderungan kolonial ini, Pramoedya giat mengenalkan sosok Tirti Adhisoerjo, Mas Marco, dan Kartini dalam studi kesejarahan. Selain itu, berbeda dengan sejarawan akademik Indonesia lainya, Pramoedya justru lebih mempedulikan sumber-sumber sejarah lokal-tradisional, yang dianggap Pramoedya merupakan sebentuk dokumen sosial yang akan membantu memahami konteks dan kesadaran sosial dalam kurun waktu tertentu. Kemudian, Pramoedya berdiri berbeda pandangan dalam hal menilai sebuah arsip. Bagi Pramoedya, arsip perlu dibaca terbalik dan tidak lagi memposisikan arsip sebagai jalan satu-satunya dalam menemukan fakta. Karena arsip pun, merupakan konstruksi kebenaran yang ditulis oleh elit masyarakat dan penguasa. Dengan kesadaran ini, maka wajar jika Pramoedya dianggap sebagai pelopor aliran sejarah lisan di Indonesia. Sumber-sumber sejarah yang ditelusuri oleh Pramoedya yang tak hanya berbentuk arsip, mengharuskan pula Pramoedya untuk mencari sumber informasi lainya seperti peninggalan sejarah dan bentuk-bentuk peninggalan visual lainya. Dan Pramoedya merupakan salah satu penulis sejarah pertama yang menggunakan foto sebagai informasi.

Ketika sejarawan berpandangan bahwa titik permulaan nasionalisme bermula pada pendirian Boedi Oetomo, Pramoedya justru melihat semangat kebangsaan jauh lebih lama, hingga ke masa-masa akhir abad ke-19, dimana mulai muncul tokoh-tokoh seperti Tirtho Adhisurjo yang melek akan nasib bangsanya. Tidak berhenti disitu, Pramoedya memberi pemahaman yang agak berlainan dalam melihat konteks pembentukan nasion itu sendiri dalam tubuh Indonesia. Bagi Pramoedya, Indonesia tidak dibangun oleh Barat atau Timur, melainkan oleh keinginan melawan ketidakadilan yang berakar pada kolonialisme oleh Barat dan tradisi feodal Timur, dengan senjata pemikiran yang memiliki banyak sumber (Farid, 2013).

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi faktor penyebab dilakukan menggunakan new seven tools dimana metode ini merupakan alat-alat bantu yang digunakan dalam eksplorasi kualitatif meliputi beberapa tahapan

Caris Hips 6.0 ( Hydrographic Information Processing System ) adalah suatu perangkat lunak yang didesain khusus untuk mengolah data batimetri dengan jumlah yang

Sejak UUPA lahir, Indonesia mempunyai Politik Agraria Nasional yang didasarkan pada prinsip pandangan hidup yang luhur, yang terdiri dari lima sila sebagai

diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pada Pasal 24 ayat (1) bahwa Retribusi ditetapkan dengan

Pertama, kami ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk semua guru SMPN 1 Mandalawangi yang telah mengajar, mendidik, dan menuntun kita agar kita bisa

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tax avoidance. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Dalam rangka membantu peserta didik (siswa) menyelesaikan studinya di sekolah, maka sekolah diharapkan dapat menyediakan pembimbing akademik maupun non akademik yang berkaitan

Mereka, pelaku pernikahan beda agama yang telah me­ langsungkan perkawinan untuk membentuk dan membangun tatanan keluarga dalam kondisi perbedaan dengan memeluk agama berbeda,